Anda di halaman 1dari 5

KISI-KISI DAN MATERI UJIAN KOMPREHENSIF

MATERI FAKULTAS

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2020
KISI-KISI DAN MATERI UJIAN KOMPREHENSIF
MATERI FAKULTAS

A. Keislaman Umum
1. Pluralitas Keagamaan : Q.S. Al-Hujurat 13, ali Imron 85, at
Taubah 29, al-Baqarah 11
2. Kutub al-Sittah meliputi
3. Hadis: Qudsi, Mutawatir, ahad, Dhoif dll.
4. Ketauhidan
5. Orientalisme v.s. Oksidentalisme
6. Fenomena Eutanasia
7. Sejarah Islam: Perang Badar, Perang siffin, dll
8. Aliran-Aliran dalam Islam: Shiah, Khowarij,Murjiah, Mu;tazilah
9. Makna Kaidah Ushul Fiqh:
“Dar ‘ul MafasidMuqoddamun ‘ala jalbi Masholih”

B. Metode Studi Islam


(Buka kembali buku buku perkuliahan metodologi studi Islam)
C. Moderasi Islam

Sejak zaman dahulu, Islam datang ke Indonesia melalui pendekatan


kesufian dan kebudayaan, sehingga Islam Indonesia memiliki corak unik
tersendiri. Dari sinilah budaya dan Islam di Indonesia seperti satu koin dua sisi
yang bergabung menjadi satu namun tidak sama. “Perkawinan” antara budaya dan
Islam yang bernuansa itu diperkenalkan para ulama yang dikenal masyarakat
sebagai Wali Songo atau Wali Sembilan.

Di masa sekarang, Islam khas Nusantara ataupun Islam berkemajuan


menjadi model Islam Indonesia yang memiliki distingsi dengan Islam di negara
lain. Corak itu tergambar dengan kenyataan bahwa Islam Indonesia itu terkenal
ramah, toleran, moderat, dan inklusif (terbuka).

Memang benar apa yang dikatakan oleh almarhum Cak Nur dalam buku
Ensiklopedi-nya bahwa pluralitas masyarakat di Indonesia bukanlah satu-satunya
hal unik yang perlu dibanggakan, karena kenyataannya di negara-negara lain—
apalagi di era ini—entitas sebuah negara tak bisa terlepas dari berbagai macam
agama, ras, dan etnis yang berbeda. Oleh karena itu, keunikan Islam Indonesia
tidak hanya melulu dari masyarakatnya yang plural, akan tetapi sebaliknya,
“keberkahan” Islam Indonesia bertumpu pada cirinya yang bersifat inklusif,
toleran dan fleksibel atau tidak kaku dalam melihat dan menjalankan ajaran
agama.
Dilihat dari sisi historisnya, tantangan baru bagi Islam khas Indonesia
pertama kali muncul sekitar tahun 1924-1925, tahun di mana ajaran Wahabi di
Mekkah dan Madinah mulai mempengaruhi beberapa ulama’ di Indonesia.
Fenomena ini kemudian dikenal dengan sebutan ideologi trans-nasional. Akan
tetapi, gelombang kelompok baru yang sering bersikap hitam-putih ini singkat
cerita mampu diredam dengan berdirinya NU tahun 1926, sebuah organisasi
masyarakat terbesar di Indonesia yang berciri tradisional dan lebih menghargai
kearifan lokal dalam beragama.

Namun itu dulu, sekarang situasi sudah sangat berbeda. Kalau dulu hanya
orang-orang tertentu (ulama) yang bisa memperoleh informasi tentang
perkembangan Islam global, khususnya Timur Tengah dikarenakan mereka
berhaji dan menuntut ilmu di sana. Sebaliknya, di era Milenial ini dengan hanya
bermodal hp android saja semua orang bisa mendapatkan informasi dari berbagai
macam sumber, terkhusus munculnya kajian keislaman di Youtube menjadi
alternatif solutif yang mampu menjawab berbagai persoalan yang bisa diakses
kapanpun dan di manapun.

Munculnya semangat atau ghirah keberagamaan yang meningkat ini satu


sisi memang sangat positif. Namun di sisi lain, hal ini bisa berubah menjadi
negatif ketika tidak dibarengi dengan wawasan yang mumpuni, akibatnya
kecenderungan mencemooh dan menyalahkan pihak yang berbeda menjadi hal
yang biasa. Tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa umumnya mereka ini
adalah orang yang “baru” mengenal Islam.

Contoh yang mungkin masih hangat adalah kasus pembakaran bendera


bertuliskan kalimat tauhid kemarin. Terlepas dari sikap salah satu anggota Banser
yang kurang pas karena tersulut emosi, akhirnya toh para pembela bendera ini
mengadakan demo besar-besaran, lagi dan lagi. Entah sudah berapa kali demo
yang dilakukan oleh kelompok Muslim ini—momentum dan puncaknya adalah
ketika kasus Ahok mengemuka.

Azyumardi Azra, melalui videonya di “Yayasan Abad Demokrasi” pernah


menyampaikan ungkapan optimistik tentang karakter Islam Indonesia sebagai
Islam with smiling face atau Islam yang ramah dan mudah senyum. Memang
karakter utama masyarakat Islam Indonesia sangat moderat (tawassuth). Apabila
muslim Indonesia tidak ramah senyum, mungkin pemahaman keislamannya
belum pernah “jalan-jalan”. Sebaliknya, masih di situ-situ saja.

Beberapa intelektual muslim maupun pengamat muslim seperti Fazlur


Rahman, John L Esposito dan Bruce Lawrence, pernah dengan begitu optimis
melihat masa depan Islam khas Indonesia dapat menjadi role model bagi negara-
negara muslim lainnya. Karena dalam pandangan mereka, hanya di Indonesia lah
demokrasi dan Islam bisa berjalan beriringan—tanpa menutupi berbagai
kekurangan yang ada.

Pertanyaannya adalah, mampukah Islam Indonesia benar-benar menjadi


role model di tengah upaya sebagian kelompok yang masih mementingkan
simbol-simbol tertentu, cenderung kaku dan yang mencoba mendengungkan
kembali gagasan negara khilafah? Sebuah pola pikir yang bisa dikatakan sangat
mundur. Hal inilah yang menjadi PR besar bagi ulama maupun masyarakat
Indonesia untuk mencari jalan keluar dalam arus “pertarungan” ini.

Urgensi Moderasi Islam untuk Indonesia yang Damai

Kita patut prihatin terhadap kondisi negara-negara di Timur Tengah yang


dewasa ini luluh lantak dan mudah dipecah belah. Penyebabnya tidak lain karena
memaksakan metode syiar dakwah yang radikal. Pada taraf tertentu, juga tidak
jarang menggunakan jubah agama sebagai simbol. Seperti Islamic State of Iran
and Syiria (ISIS), Al-Qaeda dan HTI.

Mereka melakukan pembunuhan dan pengeboman dengan dalih atas dasar


agama dan dengan lantang memproklamirkan negara Islam. Fenomena kekerasan
tersebut tentu menimbulkan banyak efek negatif bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Karena itu, muncullah moderasi Islam atau Islam
washatiyah. Konsepnya adalah selalu mengarahkan pada kebenaran, berbagi
keadilan, belajar memahami ketidaksamaan dari berbagai sudut pandang positif
alias toleransi.

Moderasi Islam merupakan pemahaman Islam moderat, dengan gagasan


menentang segala bentuk kekerasan, melawan fanatisme, ekstrimisme, menolak
intimidasi, dan terorisme. Moderasi Islam adalah Islam yang toleran, damai, dan
santun, tidak menghendaki terjadinya konflik serta tidak memaksakan kehendak.

Moderasi merupakan sebuah keseimbangan (tawazun) dalam bersikap


yang tidak memihak siapapun. Basis teologis moderasi Islam menggunakan dalil
dari Q.S Al- Baqarah : 143 yang berbunyi :

Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam tengah-
tengah)..

Nurcholish Madjid atau biasa dikenal dengan panggilan Cak Nur,


memberikan pemahaman terkait dengan "ummatan washatan", yaitu kelompok
masyarakat yang punya karakteristik moderat, dengan sikap-sikap moderasi,
sebagai ciri utamanya dalam menghadapi berbagai konflik dan konfrontasi yang
disebabkan karena perbedaan. Moderasi Islam juga menjadi pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inilah ciri-ciri dari moderasi
Islam yang saat ini semakin relevan untuk kita galakkan, tidak hanya dalam
akidah, tapi juga dalam hal ibadah dan muamalah.

Moderasi Islam adalah metode pemahaman keagamaan yang menekankan


sikap washatan (jalan tengah); tidak terlalu ekstrim (melampaui batas). Ia
berupaya menempatkan Islam sebagai solusi terhadap masalah-masalah sosial
kemanusiaan menurut ruang dan waktunya. Islam harus bisa menjawab tantangan
modernitas yang sedemikian kompleks, tetap berpegang kepada tradisi masa lalu
dan bisa menerima nilai-nilai baru yang dianggap lebih baik.

Dari urgensi tersebut, ada beberapa upaya untuk dapat memperkokoh visi
moderasi yang harus dikembangkan oleh generasi muda Indonesia, antara lain :
(a) tasamuh (toleransi) yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam
aspek agama maupun sosial, (b) tawassuth (mengambil jalan tengah) yaitu tidak
berlebih-lebihan dan tidak mengurangi ajaran agama, (c) tawazun
(berkeseimbangan) yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang,
(d) i'tidal (lurus dan tegas) yaitu menepatkan sesuatu pada tempatnya, (e)
menerapkan sikap toleran, bersikap hati-hati dalam menjatuhkan vonis kafir dan
sesat, (f) menciptakan ruang dialog inklusif (terbuka) baik dengan kelompok atau
aliran intern internal dalam Islam maupun dengan berbagai kalangan pemuka
agama non-Islam, (g) egaliter, yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain
disebabkan perbedaan keyakinan atau agama dan tradisi, (h) musyawarah, yaitu
setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat
dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.

Penanaman Moderasi Islam ini dimaksudkan agar generasi muda memiliki


sikap keagamaan yang inklusif. Sehingga jika berada di masyarakat yang
multikultural dan multireligius, kita bisa menghargai dan menghormati perbedaan
yang ada dan bisa menempatkan diri secara bijak dalam interaksi sosial di tengah-
tengah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai