Anda di halaman 1dari 8

Nama : Cahaya Melynia

NIM : 1810111220036
Kelas : A1
Mata Kuliah : Sejarah dan Studi Pemikiran Islam

1. Intelektualisme pemikiran Islam di Indonesia


a. Periode pra-kemerdekaaan
Periode pra-kemerdekaan dengan tokoh intelektual seperti Mohammad Natsir, Agus
Salim dan generasinya yang banyak bergulat tentang tema seputar hubungan Islam
dengan nasionalisme atau Islam dan negara.
b. Periode generasi pertama pasca kemerdekaan
Generasi pertama pasca-kemerdekaan yang mencakup tokoh pemikir dan intelektual
semacam Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Syaëi Maarif dengan
generasinya; sebagian sudah almarhum dan ada pula yang masih aktif. Mereka juga
masih terlibat dalam subyek tentang Islam dan negara, Islam dan politik, dan juga Islam
dan modernisasi.
c. Periode kotemporer
Generasi yang betul-betul kontemporer, yang aktif berkiprah dan mencapai prominensi
sejak masa pasca Soeharto. Generasi ini hidup di masa pasca-Nurcholish Madjid dan
Abdurahman Wahid yang ditandai dengan liberalisasi politik dan demokrasi yang
memberikan peluang besar bagi setiap orang atau kelompok untuk mengembangkan
aspirasi, gagasan dan nilai yang sering bertolakbelakang dan terlibat kontestasi satu
sama lain.
Pemikiran Islam Indonesia kontemporer, sedikit banyak memiliki kontinuitas
dengan intelektualisme masa sebelumnya. Pemikiran Islam Indonesia yang pernah disebut
sebagai ‘tradisional’ sering juga disebut sebagai ‘tradisionalisme Islam’, dalam batas
tertentu kian memudar. Pada saat yang sama, corak pemikiran ini juga mengadopsi aspek
intelektualisme yang lazim dinisbahkan kepada pemikiran ‘modernisme’. Pada sisi lain,
pemikiran Islam yang disebut sebagai ‘modernisme Islam’ juga mengalami perubahan.
Perubahan itu banyak terkait dengan kegagalan proyek modernisme di lingkungan
masyarakat Muslim tertentu, dan juga dengan kebangkitan agama (religious revival) di
berbagai lingkungan komunitas di dalam dan luarnegeri. Karena itu, ‘modernisme Islam
kian memberikan apresiasi lebih besar pada warisan Islam (al-turāth al-Islāmīyah) baik
pada aspek pemikiran maupun kelembagaan. Dalam konteks itu, jelas dinamika pemikiran
Islam Indonesia sangat terkait dengan dinamika masyarakat baik di ranah domestic
maupun global. Kontekstualisasi dan indigenisasi Islam seperti pernah dianjurkan para
pemikir sebelumnya semacam Munawir Sjadzali, Cak Nur, atau Gus Dur, terus menjadi
paradigma pemikiran Islam Indonesia kontemporer. pemikiran Islam Indonesia
kontemporer dapat disebut sebagai berada pada tahap post-modernism. Tetapi dia
menegaskan tahap-tahap sejarah pemikiran Islam tidak harus selalu bersifat sequensial
atau sambung menyambung (successive) seperti tradisional, moderen, dan pasca-
modernisme. Kontestasi pemikiran Islam kontemporer menurut dia, jika dikategorisasikan
terutama menyangkut pemahaman berbeda tentang sekularisme, pluralisme, liberalisme
dan demokrasi. Subyek-subyek ini, yang menjadi perdebatan dan kontestasi, hadir sebagai
motif pokok dalam uji daya tahan Indonesia dalam proses demokratisasi yang kini sudah
memasuki tahap konsolidasi lebih lanjut. kontestasi pemikiran Islam kontemporer untuk
mencapai hegemoni terhadap masyarakat, gagasan, dan nilai terlihat jelas dalam banyak
tulisan para pemikir Islam masa ini. Mereka berusaha mengkonseptualisasi dan
merumuskan berbagai wacana. Sementara itu, para aktivis yang aktif dalam LSM advokasi
dalam berbagai bidang mencoba mencarikan jalan untuk artikulasi dan implementasi
kongkrit gagasan atau pemikiran yang berkembang.
Pemikiran dan langkah berbeda membuat kontestasi di antara para pemikir beserta
aktivis yang mewakili kecenderungan pemikiran berbeda menghasilkan perdebatan hangat
dan bahkan diwarnai ‘konfrontasi’. Di sini Kersten meminjam ungkapan mantan Menhan
AS, Donald Rumsfed tentang ‘perang gagasan’ atau apa yang disebut kalangan Islamis
sebagai ghazw al-íkr atau ‘invasi intelektual’. Sekali lagi, intelektualisme Islam Indonesia
tidak bisa dibahas dan dipahami secara terpisah tanpa mempertimbangkan berbagai faktor
domestik dan internasional konteks sehingga membentuk apa yang disebut sebagai
‘formasi diskursif’. Hasilnya, seperti antropolog-cum-Indonesianis-Islamisis, ‘menjadikan
Indonesia sebagai salah satu situs utama di muka bumi ini untuk mengkaji keragaman
sosial, gagasan politik dan komitmen keagamaan’ (Munhanif, 2016).

2. Islam itu sendiri, secara lughawi, bermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan
terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam
tidak bebasi. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya
membebaskan manusia dari belenggu peribadahan kepada manusia atau makhluk lainnya.
Bisa disimpulkan, Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”. istilah islam liberal menurut
Charlez Kurzman di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook menyebut enam gagasan
yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal"
yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2).
mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak
non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun
saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah
seorang Islam Liberal.
Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-
pemahaman yang beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah
tradisi yang disuarakan dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia
Barat. Para penerjemah tradisi ini mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka
pada umumnya "masih diacuhkan" oleh para sarjana dan media massa Barat yang lebih
tertarik pada sensasionalisme wacana kaum ekstrimis-fundamentalis.
Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena
membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia
Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara
pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat
menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima
usaha-usaha ijtihad kontekstual (Hussein, 2000).
Latar belakang munculnya islam liberal ini, menurut Luthfie, mulai dipopulerkan tahun
1950-an. Tapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia pada tahun 1980-an, yaitu
oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau jaringan Islam Liberal,
Nurcholish Madjid. Meski Nurcholish sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah
Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak
menentang ide-ide Islam Liberal.
Karena itu Islam liberal sebenarnya “tidak beda” dengan gagasan-gagasan Islam yang
dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dan kelompoknya. Yaitu, kelompok Islam yang
tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara), kelompo yang
giat memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, “menyamakan agama islam” dengan
agama lain (pluralise teologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
Reaksi tokoh-tokoh islam akan pemikiran ini seperti yang dikemukakan oleh Luthfie
yaitu menjelaskan tentang agenda-agenda Islam liberal, “saya melihat, paling tidak, ada
empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para
pembaru dan intelektual muslim selama ini. Yakni, agenda politik, agenda toleransi agama,
agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Kaum muslimin dituntut
untuk melihat keempat agenda ini dari perspektif masa silam yang lebih banyak
memunculkan kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik. Islam Liberal juga
“mendewakan modernitas, sehingga islam harus disesuaikan dengan kemodernan. “jika
terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan,
menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran
tersebut. Disinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal, “kata Luthfi” (Husaini & Nuim,
2006).

3. Peranan politik yang telah diambil dan dijalankan ICMI adalah Para cendikiawan muslim
mulai membangun hubungan mutualistik dengan partai penguasa, yaitu Golkar, sejak
pemilu 1992, banyak cendikiawan muslim yang berhasil menjadi anggota DPR RI
mewakili Golkar, termasuk Din Syamsuddin yang pernah menjadi Ketua Umum
Muhammadiyah, Din sejak lahir 1980-an telah menjadi anggota aktif Golkar, beberapa
cendikiawan lainnya aktif dalam partai penguasa tersebut. Cendikiawan muslim lainnya
tetap bersikap kritis terhadap penguasa, baik cendikiawan muslim yang menyetujui
berdirinya ICMI maupun mereka yang menentang kelahiran ICMI. Kalangan dalam ICMI
yang secara terbuka mengkritik pemerintah khususnya korupsi dan kebijakan politik yang
tidak memihak rakyat seperti pada kasus Freeport dan kasus Busang Kaltim adalah Amien
Rais (Ketua Dewan Pakar ICMI dan Ketua Umum Muhammadiyah sama itu), bahkan oleh
sebagian kalangan Amien Rais, masih ada Adi Sasono, Nurcholis Madjid, Syafii Maarif,
Dawam Rahardjo dan lain-lain yang tetap menunjukkan sikap independensi
kecendikiawaan, khususnya berkaitan dengan kepentingan publik, ketidakadilan dan
praktik politik yang menyimpang. Manifestasi dari kegiatan politik para cendikiawan
ditunjukkan dengan berbagai kegiatan yang merefleksikan ide-ide dan gagasan politik yang
dirumuskan pada level partai. Sebagian besar partai-partai yang menggunakan Islam
sebagai asas perjuangan politiknya adalah berdirinya atas prakarsa cendikiawan muslim.
Lahirnya Partai Bulan Bintang (PBB) atas prakarsa Dr. Anwar Haryono, MA yang
didukung oleh cendikiawan muslim yang lebih muda, tujuannya bagaimana cita-cita
perjuangan masyumi dahulu dilanjutkan melalui PBB. Partai ini semula diharapkan akan
dipimpin oleh Prof. Dr. Amien Rais, MA (tokoh reformasi 1998) sebagai ketua umum dan
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra sebagai sekretaris jenderal, namun dengan berbagai
pertimbangan dan alasan-alasan tersendiri, Amien Rais menolak tawaran itu dan
mendirikan partai tersendiri yang lebih plural dan bervisi kebangsaan, tanpa menggunakan
label agama, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), akhirnya PBB dipimpin oleh Yusril Ihza
Mahendra. Cendikiawan muslim terkemuka lainnya yang juga mendirikan partai adalah
Prof. Dr. Deliar Noer, yakni Partai Umat Islam (PUI) yang didukung oleh sejumlah
cendikiawan yang memiliki ide dan gagasan yang sama mengenai wadah memperjuangkan
Islam dalam medan politik praktis. PAN dan PBB pada pemilu 1999 berhasil melewati
ambang batas minimal (electoral treshold) 2 persen sementara PUI gagal memenuhi
ketentuan UU pemilu (Bahrum, 2019).
Pemikiran cendikiawan muslim dalam perpolitikan Indonesia sangat berpengaruh dan
memiliki kecenderungan dominan dalam proses melahirkan sebuah kebijakan. Para
cendikiawan muslim yang memiliki komitmen terhadap Islam serta memiliki keahlian
dalam ilmu ilmu agama Islam. Sehingga dalam kebijakan politik di Indonesia sangat
berpengaruh terhadap pemikiran ke Islamannya dalam proses pengambilan keputusan
politik. Dalam proses pengambilan politik memunculkan beberapa pemikiran yang
didominasi sesuai dengan latar belakang dari cendikiawan muslim tersebut, beberapa
pemikiran cendikiawan muslim dalam perpolitikan Indonesia, diantaranya adalah: (1)
Kebangkitan Islam Kultural; (2) Islamisasi Birokrasi; (3) Penerapan nilai-nilai Politik Islam
(Bahrum, 2019).
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan pada masa orde baru dan
dipimpin oleh B.J. Habibie. Cendikiawan Muslim adalah dua kata yang dipilih oleh Orde
Baru untuk menyatukan kaum intelektual Muslim dalam sebuah lembaga Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Namun pada tahun 1995-an ICMI mengalami
gejolak, karena beberapa anggota ICMI memandang ICMI telah disalah gunakan dan tidak
dianggap pancasilais dan nasionalis. Sehingga perlu dibentuk sebuah wadah yang universal
dan dibentuklah ‘Persatuan Cendikiawan Pembangunan Pancasila (PCPP)’. Beberapa
faktor pendirian lembaga yang dianggap menyatukan intelektual Muslim; Pertama,
kebangkitan sosio-kultural Islam. Pendirian ICMI merupakan simbol transformasi
struktural masyarakat muslim melalui peningkatan jumlah kelas menengah Muslim yang
mencerminkan peningkatan standar ekonomi dan strata sosial yang artinya merupakan
‘political-resource’ yang tidak bisa diabaikan Orde Baru. Kedua, sebagai proses Islamisasi
pemerintahan dan birokrasi. Ketiga, pemerintah mendukung ICMI dikarenakan keinginan
untuk mengontrol Islam. Orde Baru berharap akan dapat mempergunakan Islam untuk
mempertahankan status quo.Keempat, sebagai wujud untuk realisasi dan implementasi
nilai-nilai politik Islam dalam kehidupan sehari hari. Keinginan keempat ini tidak
disetujui oleh Orde Baru karena akan menganggu stabilitas nasional, ICMI harus
didasarkan pada Pancasila. Pendirian ICMI tidak hanya merefleksikan kematangan
intelektual Islam namun merupakan supaya untuk memberi warna dalam diskursus politik
nasional. Keanggotaan ICMI terdiri dari beragam profesi, latar belakang politik dan
ideologi. ICMI menampilkan modernisme Islam yang dapat berkontribusi dalam
menyelesaikan masalah Indonesia dengan cara rasional dan pendekatan ajaran Islam.
Cendikiawan muslim memasuki sejumlah partai politik sejak masa Orde Baru, seperti
Akbar Tandjung (Mantan Ketua Umum PB HMI) menjadi ketua umum Partai Golkar dan
diikuti oleh Eky Sjahruddin, Marwah Daud Ibrahim, Prof. Dr. Din Syamsuddin (sejak 2000
Din keluar dari Golkar), Prof. Dr. Muladi dan beberapa cendikiawan lapis kedua seperti
Hajriyanto Y. Thohari, Dr. Happy Bone Zulkarnaen, Dr. Yudi Crisnandi dan lain-lain.
Selain Golkar, cendikiawan muslim banyak di PPP dan juga terdapat di PDI-P seperti
Zulfan Lindan (sejak tahun 2004 keluar dari PDI-P dan bergabung dengan Partai
Demokrasi Pembaruan (PDP), Prof. Dr. Buchari, Harry Ahmadi dan lain-lain (Bahrum,
2019).

4. Muhamadiyah dan NU adalah kekuatan non-negara, kekuatan masyarakat sipil Islam yang
otoritatif, berhadapan dengan kekuatan negara. Di pihak lain, negara juga berharap banyak
pada kekuatan kedua organisasi massa itu untuk terlibat dalam proses demokratisasi dalam
masa transisi seperti saat ini. Peran kedua ormas tersebut pada faktanya memang tak bisa
diremehkan. Kekuatan moral dan intelektual menjadi modal sosial yang lebih dari cukup
untuk membangun kesadaran politik pada tingkat publik di satu pihak, dan untuk menjaga
kohesivitas antar-elemen masyarakat di pihak yang lain. Muhammadiyah adalah organisasi
Islam yang modernis, Terobosan-terobosan yang dilakukan Muhammadiyah yang cukup
revolusioner pada jamannya. Dalam konteks sejarah reformasi yang pertama dilakukan
Muhammadiyah adalah menggeser tradisi-tradisi yang kontra produktif terhadap kemajuan
umat dan bangsa. Karena alam pikiran tradisionalis telah membelenggu kreatifitas dengan
dogma-dogma yang irrasional dan anti kemajuan. Muhammadiyah merupakan gerakan
amar ma’ruf nahi mungkar, gerakan sosial dan pendidikan. Muhammadiyah dalam
perkembengannya tampil menjadi organisasi masyarakat yang besar di Indonesia. Besarnya
organisai ini ditandai dengan berbagai kiprahnya yang sukses dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat Indonesia. Terbukti dengan tumbuhnya amal usaha Muhammadiyah
seperti ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan dan amal usaha
lainya. Dengan perkembangan Muhammadiyah, perlu adanya pemikiran pada bidang
politik Muhammadiyah untuk mendukung gerakan dakwah Muhammadiyah amar ma’ruf
nahi mungkar. Cacatan sejarah mengungkapkan bahwa kelompok ini menginginkan
tegaknya satu bentuk masyarakat sosial-ekonomi dan politik Indonesia modern yang
berdasarkan kepada ajaran islam. Contoh keterlibatan muhammadiyah atau sejumlah
tokoh-tokohnya mendirikan PII, MIAI, partai masyumi dan parmusi. Dengan gerakan
bidang sosial politik, Muhammadiyah telah mampu menempatkan diri dalam kedudukan
sejajar dalam soal tawar-menawar dengan pemerintah, sehingga Muhammadiyah hingga
saat ini cukup aman dari konflik kepentingan pemerintah.
Distingsi antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam hal metode dakwah jika
disinergikan akan mampu untuk meningkatkan pengembangan ekonomi Islam di
Indonesia. Metode dakwah Muhammadiyah dititikberatkan melalui media pendidikan
sedangkan Nahdlatul Ulama lebih pada media mimbar atau pengajian-pengajian Hal ini
berimbas pada banyaknya perguruan tinggi dan sekolah-sekolah Muhammadiyah dan juga
pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama yang ada di Indonesia. Perbedaan metode dakwah
terlihat pada ajaran kepada pengikutnya di mana dalam epistemologi pengambilan dan
penentuan hukum Islam. Muhammadiyah merujuknya secara langsung dari al-Qur’an dan
hadits sedangkan Nahdlatul Ulama memahami al-Qur’an dan hadits melalui kitab-kitab
salaf, khususnya dari kalangan mazhab Syafi’iyah. Pengembangan ekonomi Islam dapat
terjadi dari sinergitas metode dakwah antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Nahdlatul Ulama yang kaya akan pandangan-pandangan terkait tafsir al-Qur’an dan hadits
dapat mengembangkan ekonomi Islam dari sisi internal ekonomi Islam. Sisi internal yang
dimaksud adalah eksplorasi hukum-hukum, kaidah-kaidah, maupun sejarah terkait
ekonomi Islam di jaman Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi`ut Tabi`in dan seterusnya.
Muhammadiyah dengan metode dakwahnya yang lebih berfokus pada banyaknya kegitan
yang tertuju pada pengorganisasian pembangunan tata sosial dan kemajuan pendidikan,
berbasis keIslaman yang dinamis di segala aspek kehidupan, dapat melengkapi
pengembangan ekonomi Islam melalui sisi eksternal. Sisi eksternal yang dimaksud adalah
penyebarluasan melalui sarana prasarana serta strategi pengembangan organisasi yang
dimiliki Muhammadiyah. Sarana prasarana tersebut sangat banyak ditemukan di hampir
seluruh wilayah Indonesia seperti perguruan tinggi maupun sekolah-sekolah. Banyaknya
sarana prasarana pendidikan seperti perguruan tinggi dan sekolah serta manajemen
organisasi yang baik dari Muhammadiyah dapat dimanfaatkan sebagai sarana prasarana
pengembangan ekonomi Islam di Indonesia. Strategi penyebarluasan yang cerdas, masif,
dan komprehensif dari muhammadiyah menjadikan ekonomi Islam di Indonesia semakin
berkembang pesat. Sinergitas antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah melalui jumlah
basis massa akan dapat mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang
setidaknya meliputi 100 juta penduduk Indonesia (Arianti, 2018). Jumlah massa yang
meliputi hampir setengah dari penduduk Indonesia ini akan sangat bermanfaat bagi
pengembangan ekonomi Islam jika diberdayakan. Contoh sederhananya adalah Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah bisa membuat aturan internal organisasi terkait kewajiban
memakai lembaga keuangan syariah baik bank ataupun non bank. Hal ini tentu akan
menambah jumlah nasabah lembaga kauangan syariah yang juga kedepan akan menambah
aset lembaga keuangan syariah. Basis massa NU dan Muhammadiyah yang mempunyai
latar belakang berbeda dapat juga disinergikan sehingga dapat mengembangkan
perekonomian Islam di Indonesia. Jumlah warga Nahdlatul Ulama atau basis
pendukungnya diperkirakan mencapai jutaan orang dan dari beragam profesi. Rakyat jelata,
baik di kota, maupun di desa mendominasi sebagian besar dari pengikutnya. Para
pengikutnya memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara social-ekonomi memiliki
masalah yang sama, selain itu pengikutnya juga sangat menjiwai ajaran. Ahlusunnah Wal
Jamaah. Pada umumnya warga Nahdlatul Ulama memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia
pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya. Semakin
berkembangnya jaman, basis pendukung Nahdlatul Ulama mengalami pergeseran, sejalan
dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga Nahdlatul Ulama di desa
banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri (nu.co.id). Meskipun demikian,
terlihat jelas bahwa basis massa Nahdlatul Ulama masih didominasi kalangan pedesaan.
Dalam bidang budaya, Nahdlatul Ulama lebih fleksibilitas dalam menanggapi hal
budaya. Khususnya budaya di Indonesia dibandingkan dengan Muhammadiyah.
Muhammadiyah lebih condong kedalam pmikiran tentang agama berdasarkan Al-Qur’an
dan Sunnah tanpa adanya ijtihad seperti yang dianut oleh Nahdlatul Ulama.
Dalam bidang Pendidikan, Muhammadiyah lebih berkembang dan maju daripada
Nahdlatul Ulama. Dibuktikan dengan banyaknya sekolah-sekolah yang didirikan oleh
organisasi Muhammadiyah di Indonesia.

5. Kitab Sabil Al-Muhtadin, karya Syaikh Arshad Al-Banjari ditulis atas permintaan Sultan
Tahmidullah dalam rangka proses Islamisasi dan penerapan syariat Islam. Berangkat dari
asumsi bahwa relasi antara agama dan kekuasaan itu saling membutuhkan dan substansinya
akan selalu relevan untuk setiap masa meskipun penguasa telah berganti. pertama, bahwa
substansi pemikiran politik Syaikh Arshad Al Banjari adalah tauhid, keadilan, dan
kemaslahatan yang meliputi pada taqnin, tathbiq, dan taghyir; kedua, pemikiran politik
Syaikh Arshad Al-Banjari memiliki konstribusi yang besar bagi Kesultanan Banjar yang
ditandai dengan tersebarnya kitab tersebut, serta terbentuknya struktur hukum; ketiga,
pemikiran politik hukum Syaikh Arshad Al-Banjari relevan dengan pembinaan. Penelitian
ini menemukan: pertama, bahwa pemikiran politik tumbuh dan berkembang serta diterima
oleh masyarakat luas apabila mendapat dukungan penuh dari kekuasaan pada masa itu;
kedua, bahwa produk hukum yang dibangun oleh Syaikh Arshad Al-Banjari melalui
kitabnya, merupakan produk politik hukum Sultan Tahmidullah Banjar.
Beberapa gerakan dakwah yang dilakukan oleh SAB selama hidupnya yang
memperkuat teori Kredo/Syahadah. di antaranya; Pertama, beliau membangun pusat
pendidikan dan dakwah di dalam Pagar Martapura, tempat di mana beliau giat membuka
pengajian agama dan pendidikan nonformal sambil mengkaderkan anak cucu dan
murid muridnya dan mengirimnya ke berbagai daerah pedalaman untuk terus
menyebarkan Islam. Kedua, beliau diberi Sultan Banjar lahan perkebunan dan pertanian
untuk dikembangkan sistem irigasi dan tata pertaniannya agar lebih produktif, belakangan
daerah itu dinamai Sungai Tuan yang subur untuk pertanian dan perkebunan. Ketika wafat,
beliau juga dimakamkan di kawasan ini begitu juga istri-istri dan anak keturunannya, yang
dikenal dengan Makam Datu Kalampayan Astambul. Ketiga, SAB berhasil menjadikan
Islam sebagai hukum positif di Kerajaan Banjar, dengan mendirikan Mahkamah Syariah,
dengan beliau dan anak keturunannya sebagai Qadhi Besarnya. Sultan dalam sistem dan
struktur kekuasaan kerajaan Nusantara yang bercorak kesultanan pada abad XIX adalah
aktor yang sangat dominan dalam mengendalikan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial
budaya sehingga sultan sebagai pemegang otoritas tunggal, maka jika penulis analisis
dengan mengunakan pendekatan teori Syahadah, teori yang mewajibkan penerapan hukum
Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah sebagai konsekuensi
logis dari pengucapan kredonya. Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip
monoteisme dalam filsafat hukum Islam. Prinsip monoteisme yang menghendaki setiap
orang yang mengaku beriman kepada Allah S.W.T., maka ia harus tunduk kepada-Nya.
Keempat, salah seorang sultan Kerajaan Banjar yaitu Sultan Adam Al-Watsikbillah
kemudian membukukan aturan syariat tersebut dalam Undang-Undang Sultan Adam (UU-
SA), yang memuat aturan pidana dan perdata yang berlaku untuk seluruh kekuasaan
Kerajaan Banjar yang saat itu selain mencakup seluruh wilayah Kalimantan Selatan, juga
sampai ke Tanah Grogot Kaltim, Bulungan, Kotawaringin Sampit dan Pangkalan Bun
(Kalteng) dan Sambas Kalimantan Barat. UU-SA beserta Kerajaan Banjar ini kemudian
dihapuskan oleh Belanda. SAB sebagai penasehat sultan memberikan kontribusi pemikiran
kepada Kesultanan Banjar sehingga sultan memerintahkan SAB untuk membuat kitab
sebagai pedoman khususnya di Kesultanan Banjar dan bagi masyarakat Banjar dan kitab
tersebut bernama Sabil Al-Muhtadîn li At-Tafaqquh fî Amr Ad-Dîn, kitab tersebut di masa
kesultanan Adam dijadikan rujukan sebagai cikal bakal lahirnya Undang-undang Sultan
Adam (Al-Audah, 2019).

Referensi
Al-Audah, Abd Rochim. (2019). Pemikiran Politik Syekh Muhammad
Arsyad Al-Banjari. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam,
Vol.07(2): 211-234.
Bahrum, Syamsuddin. (2019). Kebangkitan Cendikiawan Muslim
dalam Pemikiran dan Perpolitikan Indonesia. Jurnal Politica, Vol.6(1): 1-24.
Husaini, Adian & Nuim Hidayat. 2006. Islam Liberal: Sejarah,
Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya. Jakarta: Gema Isnani.
Hussein, Mohamad Zaki. (2000). Islam Liberal. Diakses melalui luk.staff.ugm.ac.id. pada
tanggal 17 Desember 2021.

Munhanif, Ali, dkk. (2016). Studia Islamika. Journal for Islamic Studies, Vol.23(1): 175-184.

Anda mungkin juga menyukai