I. PENDAHULUAN
Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu dipengaruhi oleh
konfigurasi politik penguasa. Artinya ada peemikiran dan gerakan menjadi”mazhab”
penguasa dans ebaliknya, ada yang dilarang bahkan dibrangkus dega menjaga “stabilitas”.
Mengamati dinamika pemikiran dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada
sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam terutama pasca reformasi sehingga dengan
bergulirya era reformasi membutuhkan pembacaan ulang terhadap pemikiran dan gerakan
islam indonesia, karena berbagai pemikiran dan gerakan islam yang pada mulanya
terbungkam oleh kekuatan orde baru kembali muncul dan berusaha membangkitkan kembali
romantisme masa lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam,
baik islam politik maupun islam kultural sehingga membentuk farien yang sangat beragam.
Berbagai farian pemikiran dan gerakan keislaman diindonesia sebenarnya bisa ditelusuri akar-
akarnya secara jelas sehingga dapat dipetakkan menjadi dua arus peikiran yang sangat
dominan yakni literalisme dan liberalisme
Pemahaman islam literal dan gejala fundamentalisme islam cenderug menafikkan
plruralisme pemahaman keagamaan dan pruralisme agama.
III. PEMBAHASAN
a. Modernisme dan Post Modernisme
1. Modernisme
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin “modo”, yang berarti yang kini “just now”.
Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang digunakan untuk membedakan
keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah lewat. Namun istilah
ini kemudian lebih digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan,
yakni dari tahun 1450 sampai sekarang ini.
Dari istilah – istilah “modern”, sebagaimana yang telah disebutkan diatas itulah, lahir
istilah-istilah lain, seperti : “modernisme”, modernitas dan modernisasi. Meskipun istilah itu
mempunyai arti yang berbeda-beda , karena berasal dari akar kata yang sama, maka
pengertian yang dikandungnya tidak bisa lepas dari kakar kata yang dimaksud yaitu
“modern”.
Istilah “modernism” misalnya, oleh Ahmed, dengan merujuk pada Oxford English
Dictionary, didefinisikan sebagai “pandangan atau metode modern, khususnya kecenderungan
untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah agama,agar harmonis dengan pemikiran modern.
Modernism diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada
sains, perencanaan, sekularisme, dan kemajuan. Keinginan untuk simetri dan tertib, keinginan
akan keseimbangan dan otoritas, juga menjadi karakternya. Periode ini ditandai oleh
keyakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa utopia bisa dicapai, bahwa ada
sebuah tata dunia yang mungkin. Mesin, proyek industry besar, besi, baja dan listrik,
semuanya dianggap dapat digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini. Gerakan menuju
industrialisasi, dan kepercayaan pada yang fisik, membentuk ideology yang menekankan
materialism sebagai pola hidup. Sementara modernitas dipahami sebagai efek dari
modernisasi.1[1]
Di Indonesia, modernisasi direspon positif oleh Norcholis Majid, menurut dia
modernisasi indetik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi melibatkan proses
pemeriksaan secara seksama pemikiran serta pola aksi lama yang tidak rasional, dan
menggantikannya dengann pemikiran dan pola aksi baru yang rasional.2[2]
2. Post modernisme
Setelah modernism tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang menjanjikan
pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irrasionalitas. Akan tetapi dalam
beberapa decade terakhir ini, “proyek” modernism yang demikian hebat itu diggugat oleh
sebuah gerakan yang kemudian diikenal dengan “post modernisme” dan dinilai gagal
mencapai sasarannya. Sebagai gerakan cultural-intelektual, postmodernisme sendiri sudah
1[1] Drs. Sholihan, M.Ag, Modernitas dan Postmodernitas Agama, Semarang: Walisongo Press, 2008,
hlm. 48.
b. Islam liberal
Pengertia mengena islam liberal sebagai arus baru gerakan islam diindonesia mengacu
pada penelitian yang dirumusa oleh nurkhalik ridwan mengenai islam libera rogresif. Menurut
ridwa, islam lbera bisa dirumukan dengan dua hal.
1. Klompok pembaru muslim yang memsahkan masalah publiks sebagai hal yang perlu
dimusawarahkan denga komutas bangsa sementara masalah praktik ritual diserahkan pada
masing-masing pihak.
2. Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syari’ah masih perlu ditafsir
ulang, yang perlu dibedakan islam sebagai din yang univesal dalam cita-cita etik dan
moralnya.
3. Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme, dan fundamentalisme dalam kontestansi
pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat marginalisme dan melibatkan
diri kedalam pusaran pergulatan politik demokrasi.
4. Konteks kultural yaitu derasnya arus pemikiran lewat berbagai media.
Islam secara lughawi bermakna pasrah, tunduk, kepada Tuhan (Allah) dan terikat
dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini Islam tidak bebas.
4[4] Adian husaini, Islam Liberal, Depok: Gema Insani, 2006, hlm. 20
Dari beberapa teori definisi kebudayaan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
kebudayaan adalah sega bentuk hasil kreativitas manusia dengan menggunakan segala daya
dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan kehidupannya yang sejahtera.
Dengan diketahui bersama, bahwa dalam agama islam antara agama dan kebudayaan
sungguhpun sumbernya berbeda, tapi saling mempengaruhi. Al-Qur’an adalah kalamullah
yang diturunkan kepada nabi dengan perantara malaikat jibril untuk menjadi pedoman bagi
manusia dalam mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhuwawi. Sedangkan
kebudayaan ialah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi.
Munculnya Islam cultural agak mudah dimengerti apabila kita memperhatikan ruang
lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah keagamaan seperti teologi, ibadah
dan akhlak, melainkan jugga mencakup masalah keduniaan seperti masalah perekonomian,
pertahanan keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul lah
yang dominan. Pada aspek keduniaan peran manusialah yang paling dominan.
Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami pengembangan
pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural selanjutnya muncul dalam
bentuk sikap yang lebih menunjukkan inklusissivitas. Yaitu sikap yang tidak
mempermasalahkan bentuk atau symbol dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih
penting tujuan dan missi dari pengamalan teersebut. Dalam hubungannya ini kita menjumpai
ajaran tentang dzikir ini terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah sekian ratus kali
dengan menggunakan alat semacam tasbih, ada yang menggunakan batu, ada yang dengan
memasang tulisan kaligarafi pada dinding rumah dan sebagainya.
2. Islam Struktural
Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak berwujud, yang
mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas dari pola-pola dan hubungan antar
banyak satuan terkecil di dalamnya
Dari istilah – istilah “struktural”, sebagaimana yang telah disebutkandiatas itulah, lahir
istilah lain, seperti : strukturalisme.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua
masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap strukturalisme
merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua
masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya,
kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam
memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-
ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam
bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat
strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040).
d. Post tradisionalisme
Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan seluruh
kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan post tradisionalisme
adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain adalah upaya pembaharuan tradisi yang
tidak lain adalah upaya pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam rangka berdialog
dengan modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new tradition) yang sama sekali
berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post tradisionalisme
merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang dan berakar pada pemikir-
pemikir pencerahan tempo dulu.
Dari geneologi intelektual inilah, post tradisionalisme islam melewati fase-fase awal
pembentukan hingga perumusan metodologi dan praksis sosisl politik. Fase pertama
merupakan fase pembentukan dan pengkayaan ide baik dalam pemikiran maupun aksi politik.
Pada fase ini muncul beberapa perdebatan gagasan seperti nasionalisme, pribumisasi,
sekularisas, feminisme dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah al-asasiyah), dan
sebagainya.
Sedangkan perumusan metodologi post tradisionalisme Islam menghasilkan paradigm
baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik nalar (naqd al-aql) maupun telaah
kontemporer (qira’ah muashirah) terhadap tradisi. Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad
Arkoun, dan Nashir Hamid Abu Zaid merupakan sederet nama yang berusaha melakukan
rekontruksi metodologis bagi post tradisionalisme.
Sebagai gerakan, post tradisionalisme Islam di Indonesia kemudian menjadi kontruksi
intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya likal Indonesia dan bukan tekanan dari
luar yang berinteraksi secara terbuka dengan berbagai jenis kelompok masyarakat seperti
buruh, petani, LSM, dan gerakan feminism yang kemudian membawa gerakan ini tidak hanya
bersinggungan dengan tradisi Islam, tetapi juga pemikiran-pemikiran kontemporer baik dari
tradisi liberal, radikal, sosialis Marxia, Post Strukturalis, dan Post Modernis juga gerakan
feminism dan civil society (Ahmad Baso 2001).
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin
melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong, artinya
betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui Zaman yang sering disebut sebagai
kemunduran umat Islam, kita mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan
yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry
point merumuskan tradisi baru.5[5]
Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi berbeda dengan
pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca tradisi melalui optic Al-qur’an dan
Hadits yang diadakan transenden, turun dari langit, lengkap dan mencakup segala hal.
Singkatnya bukan sebagai bagian dari dinamika sejarah yang berubah-ubah. Dalam pengertian
inilah kita diperkenalkan dengan kenyataan tradisi Islam yang historis yang sifatnya
membumi.
Berkaitan dengan upaya merekontruksi tradisi sebagai mana ditunjukkan Zuhairi
Miswari (2001) post tradisionalisme Islam terbagi kedalam tiga sayap (aliran). Pertama, sayap
eklektis (al-qiraah al-intiqaiyah). Sayap ini menghendaki adanya kolaborasi antara
orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas (al-mu’asharah) dalam rangka membangun “teori
analisis tradisi” juga menyingkap rasionalitas dan irrasionalitas dalam tradisi.
Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah at-tatswiriyah), sayap ini berkehendak untuk
mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi pemikiran
keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana diwakili Hasan Hanafi mengusulkan tiga cara
dalam tradisi dan pembaharuan yaitu menganalisi pembentukan dan latar belakang tradisi dan
mencermati bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum.
Adapun sayap ketiga adalah sayap dekontruktif (al-qiraah al-tafkiyah). Sayap ini
berusaha membongkar tradisi secara komperehensif sehingga menyentuh ranah metodologis.
5[5] M. Muhsin Jamil, M.A, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005, hlm.123.
Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan epistemology modern seperti post struktualisme dan
post modernism.6[6]
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan berjalannya waktu dan
perkembangnya zaman, islampun mengalami perkembangan dengan munculnya gerakan –
7[7] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.2006,
hlm 265.
gerakan seperti Post Modernisme dan Neo Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural,
Post Tradionalisme Islam, menunjukkan adanya perkembangan keberagaman dalam
pemikiran para cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern/ kontemporer.
Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kekurangan pastilah ada karena manusia
tempatnya salah, dan segala kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Kritik dan
saran yang membangun kami harapkan, guna memperbaikan pembuatan makalah dikemudian
hari untuk menjadi yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami pada
khusunya dan bagi khalayak pada umumnya. Amien...Amin...Amin Ya Robbal ‘alamin...
DAFTAR PUSTAKA
Jamil, M. Muhsin, MA. Membongkar Mitos Menegakkan Nalar Pergulatan Islam
Liberal Versus Islam Literal. Semarang : Pustaka Belajar. 2005
Abdullah, M. Yatmin MA. Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
2006
Nata, Abuddin, MA. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada. 2001