Anda di halaman 1dari 16

PAPER

STUDI ISLAM INTERDISIPLINER di ERA DISRUPSI


DAN MILENNIAL

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan dan Metode


Studi Islam
Dosen Pengampu : Dr. Zakiyyudin Baidhawi, M.Ag.

Disusun Oleh:

Rosidiana Ma’rufah

12020170003

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2018
A. Pengertian Studi Islam
Istilah “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah dipergunakan dalam
jurnal-jurnal professional, departemen akademik, dan lembaga-lembaga perguruan
tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang
memiliki dimensi “Islam” dan keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam, apakah
dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi keagamaan, telah semakin
sering dipakai dengan munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai bahasa
Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam politik, atau
Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara tentang perbankan Islam, ekonomi
Islam, tatanan politik Islam, demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan
sebagainya. Sejumlah buku-buku terlaris sejak 1980-an berhubungan dengan judul-
judul “Islam” dan hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat “Islami”, yang
menunjukkan betapa semua itu telah diistilahkan dengan sebutan “Islamic Studies” di
dunia akademik1.
Dua pendekatan mendasaar mengenai definisi Islamic Studies, yaitu definisi
sempit dan definisi yang lebih luas (Seleiman & Shihadej)2:
1. Definisi Sempit
Pendekatan pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu disiplin
dengan metodologi, materi dan teks-teks kuncinya sendiri, bidang studi
tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan
klasik, memperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi kuallitas
kajiannya. Di samping itu, Islamic Studies berbeda dari ilmu-ilmu sosial
dan akan diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan tentang Islam
dan studi Islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua disiplin tersebut.
Meski ada perbedaan nyata antara antropologi dan ilmu-ilmu sosial
lainnya, dan Islamic Studies hanya sebagai distingsi yang dibuat dalam
hubungannya dengan disiplin-disiplin lainnya seperti Christian Studies.
Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan:
a. Studi tentang disiplin dan tradisi intelektual keagamaan klasik
menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung kebudayaan
yang dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam, dan
karena banyak Muslim terpelajar masih memandangnya sebagai

1
Zakiyudin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan dan Metode, Yogyakarta: Insan Madani, 2011, 1
2
Ibid, 2
persoalan penting. Pengertian Islamic Studies sebagai studi tentang
teks-teks Arab pra-modern utamanya karena itu mesti
dipertahankan. Keterampilan utama yang dibutuhkan adalah bahasa
Arab.
b. Islamic Studies adalah suatu bidang yang sempit. Upaya-upaya
untuk memperluas bidang kajiannya dapat mengakibatkan
berkrangnya kualitas kajian. Namun demikian, bidang ini terus
menghadapi tekanan komersial untuk memperluas ruang
lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi tentang
pengobatan dan keuangan Islam.
c. Pendidikan berbasis keilmuan bagi Muslim mengenai Islam, dan
studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu
humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan
yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies bagaimanapun berbeda
daari keduanya dan jangan dipertipis garis batasnya. Minat ilmu
antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap Islam memag dapat
dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan sebagai
Islamic Studies.
2. Definisi yang Lebih Luas (Interdisipliner)
Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pada
peryataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam modern
yang penuh teka-teki. Juga adanya kebutuhan untuk memahami apa yang
dimaksudkan oleh teks-teks tentang caara orang-orang mengalami dan
menjalankan kehidupan mereka. Membatasi bidang kajian pada studi teks
saja akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang seperangkat
praktik keagamaan Islam, sehingga menutupi realitas yang lebih kompleks.
Islam mesti diajarkan baik sebagai tradisi teks maupun sebagai realitas
sosial. Islamic Studies harus memiliki inti wilayah-wilayah dan teks-teks
yang definitif, pada hakikatnya ini terdiri dari ilmu-ilmu keislaman klasik.
Meskipun demikian, di sekitar inti ini ada wilayah-wilayah lain yang dapat
dimasukkan, seperti antropologi dan ilmu-ilmu sosial. Dalam definisi ini,
bidang Islamic Studies perlu juga memasukkan pendekatan sosiologia dan
studi tentang dunia modern.
Mengajarkan Islamic Studies di perguruan tinggi mesti menjembatani
kesenjangan antara pendekatan tekstual dan pendekatan etnografi, karena
mahasiswa seringkali berminat pada teks-teks tradisional, meskipun studi
teks dapat mencakup berbagai tradisi yang berbeda-beda. Artinya
membatasi diri pada bidang kajian teks semata berisiko memberikan
pengertian yang keliru tentang Islam dan masyarakat Islam.
Teks-teks tradisi klasik besar telah dihasilkan dan dipergunakan oleh
kaum Muslim dalam konteks sosial tertentu. Islam harus diajarkan baik
sebagai tradisi tekstual dengan seluruh kesatuan sejarahnya, dan sebagai
realitas sosial yang dinamis dan terus berubah. Keduanya saling
berhubungan, yakni tradisi teks menunjukkan bahwa Islam, di samping
merupakan seperangkat ajaran keagamaan, adalah cara mendekati
tantangan-tantangan ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini.

B. Metode Studi Islam Pendekatan Interdisipliner


Setidaknya ada tiga sitilah yang hampir sama dengan interdisipliner, yakni:
interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Kajian interdisipliner adalah kajian
yang menggabungkan atau melibatkan dua atau lebih disiplin atau bidang studi
(combining or involving two or more academic disciplines or field of study).
Pendekatan Studi Islam dengan kajian interdisipliner dapat dijelaskan secara ringkas
sebagai berikut, bahwakajian interdisipliner sudah ditawarkan penggunaanya dalam
studi Islam dengan istilah yang berbeda. Istilah-istilah yang dimaksud adalah integrasi
(integratif), induksi (induktif), interkoneksi (interkonektif), dan pendekatan dan
analisis sistem.
Secara sederhana integrasi berarti menyatukan, induksi berarti mengenalisir,
interkoneksi berarti menghubungkan, dan analisis sistem adalah menyeluruh. Adapun
ilmu yang hendak diintegrasikan muncul dalam beberapa bentuk, dan di antaranya
adalah:
1. Antara normatif (agama) dan saintifik.
2. Antara burhani, bayyani dan ‘irfani.
3. Antara ‘ilm, nash, dan
4. Antara ilmu agama, sosial sain, natural sain, humaniora.
5. Antara intelektual, emosional, spiritual.
6. Antara ‘alim dan arif.
7. Antara normatif dan empiris.
Adapun hubungan antar ilmu (integratif dan atau interkonektif) dapat
dikambengkan dengan enam model sebagai berikut:
1. Similarisasi, yakni berusaha menyamakan konsep-konsep ilmu umum
dengan konsep-konsep ilmu Islam.
2. Paralelisasi, yakni melihat pararelisasi antara konsep ilmu umum dengan
ilmu Islam karena ada kemiripan konotasi tanpa menyamakan keduanya.
3. Komplementasi, yakni berusaha agar terjadi saling mengisi dan saling
memperkuat antara ilmu umum dan ilmu Islam, tetapi tetap
mempertahankan eksistensi masing-masing.
4. Komparasi, yakni membandingkan konsep atau teori ilmu umum dengan
konsep atau teori ilmu Islam mengenai gejala-gejala yang sama.
5. Induktifikasi, yakni asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmu umum yang
didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara
teoritis ke arah pemikiran metafisik atau ghaib, kemudian dihubungkan
dengan prinsip-prinsip ilmu agama (Islam) mengenai hal tersebut.
6. Verifikasi, yakni mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmu umum yang
menunjang dan membuktikan kebenaran-kebenaran ilmu Islam.

Pendapat lain tentang model hubungan antar ilmu (integratif dan atau
interkonektif) ada tiga model, yaki:
1. Informatif, berarti satu disiplin ilmu perlu diperkaya dengan informasi
yang dimiliki disiplin ilmu lain, sehingga dengan pengayaan tersebut
membuat wawasan civitas akademika bertambah luas.
2. Konfirmatif, bahwa untuk membangun teori studi Islam perlu diperkuat
dan diperkokoh oleh disiplin ilmu lainnya.
3. Korektif, yakni saling koreksi antara penemuan di bidang kajian Islam
dengan bidang ilmu lainnya. Dengan demikian perkembangan disiplin ilmu
akan semakin dinamis3.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa pendekatan
interdisipliner adalah pendekatan yang menggabungkan atau melibatkan dua atau
lebih disiplin atau bidang studi. Dengan pendekatan tersebut pada akhirnya
permasalahan-permasalahan yang sering muncul dikarenakan perbedaan disiplin

3
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia, 2009, 122 - 123
bidang studi akan dapat di kompromikan sehingga permasalahan-permasalahan
tersebut dapat diselesaikan. Tidak hanya itu, pendekatan interdisipliner ini juga dapat
dijadikan bahan penguat antara disipli satu dengan yang lain sehingga akan lebih
menyempurnakan hasil dari temuan yang dikaji.

C. Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Islam


Pendekatan interdisipliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan
menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi
misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis dan normatif secara
bersamaan. Pentingnya penggunaan pendekatan ini semakin disadari keterbatasan dari
hasil-hasil penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya,
dalam mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya
mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan
sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan
hermeneutik misalnya.
Dari kupasan diatas melahirkan beberapa catatan. Pertama perkembangan
pembidangan studi islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kedua, adanya penekanan terhadap
bidang dan pendekatan tertentu dimaksudkan agar mampu memahami ajaran Islam
lebih lengkap (komprehensif) sesuai dengan kebutuhan tuntutan yang semakin
lengkap dan kompleks. Ketiga, perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan
seharusnya memang terjadi, kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak
mendapat perhatian4. Contoh dalam penggunaan pendekatan interdisipliner adalah
dalam menjawab status hukum aborsi. Untuk melihat status hukum aborsi perlu
dilacak nash Al Qur’an dan sunnah Nabi. Tentang larangan pembunuhan anak dan
proses atau tahap penciptaan manusia dihubungkan dengan teori embriologi. Sebagai
tambahan Leonard Binder secara implisit menawarkan beberapa pendekatan studi
islam, yakni:
1. Sejarah (history)
2. Antropologi (anthropology)
3. Sastra islam dan arkeologi (islamic art and archeology)
4. Ilmu politik (political science)

4
Ibid, 230-232
5. Filsafat (philosophy)
6. Linguistik
7. Sastra (literature)
8. Sosiology (sociology)
9. Ekonomi (economics)

Dari pembahasan ringkas tentang pendekatan yang dapat digunakan dalam


studi islam ada beberapa catatan. Pertama, sejumlah teori memang sudah digunakan
sejak lama oleh para ilmuan klasik, meskipun teori-teori tersebut mengalami
perkembangan. Kedua, ada beberapa teori yang mendapat penekanan pada beberapa
dekade terakhir5

D. Beberapa Pendekatan Interdisipliner


1. Pendekatan Filsafat
a. Pengertian Pendekatan Filsafat
Filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang berarti
ilmu atau hikmah, secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Menurut istilah (terminologi) filsafat islam adalah cinta terhadap
hikmah dan berusaha mendapatkan falsafah dan menciptakan sikap positif
terhadap falsafah islam. Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi berikut6:
1) Segi Semantik : filsafat berasal dari bahasa arab yaitu falsafah. Dari bahasa
Yunani yaitu philosophia yaitu pengetahuan hikmah (wisdom). Jadi
philosophia berarti cinta pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebenaran.
Maksudnya adalah orang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan
hidupnya dan mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2) Segi Praktis : filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir.
Orang yang berpikir tentang filsafat disebut filosof. Yaitu orang yang
memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sesuatu dengan sungguh-
sungguh di dalam tugasnya filsafat merupakan hasil akal manusia yang
mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
Jadi, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh
hakikat kebenaran segala sesuatu.

5
Ibid, 234
6
M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006, 290
b. Ruang Lingkup Filsafat
Filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang terdiri dari gabungan ilmu-
ilmu khusus7. Dalam perkembangan ilmu-ilmu khusus satu demi satu
memisahkan diri dari induknya yakni filsafat. Ruang lingkup filsafat
berdasarkan struktur pengetahuan yang berkembang datap dibagi menjadi tiga
bidang, sebagai berikut:
1) Filsafat sistematis terdiri dari:
a) Metafisika
b) Epistemologi
c) Metodologi
d) Logika
e) Etika
f) Estetika
2) Filsafat khusus terdiri dari:
a) Filsafat seni
b) Filsafat kebudayaan
c) Filsafat pendidikan
d) Filsafat bahasa
e) Filsafat sejarah
f) Filsafat budi pekerti
g) Filsafat politik
h) Filsafat agama
i) Filsafat kehidupan
j) Filsafat nilai
3) Filsafat keilmuan terdiri dari:
a) Filsafat ilmu-statistik
b) Filsafat psikologi
c) Filsafat ilmu-ilmu sosial.
Dalam studi filsafat untuk memahami secara baik paling tidak kita harus
mempelajari lima bidang politik, yaitu:
1) Metafisika
2) Epistimologi

7
Ibid. 292
3) Logika
4) Etika
5) Sejarah filsafat
c. Dasar Pendekatan Filsafat Pendidikan
Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya
mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sumber ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu adalah alquran dan
hadis. Dalam kaitan ini diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat Islam
yang tidak menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah
memahami proses dialektik. Filsafat Islam sendiri keberadaanya menimbulkan
pro dan kontra. Sebagian yang berpikian maju dan bersifat liberal cenderung
mau menerima pemikiran filsafat Islam. Bagi mereka yang berpikiran
tradisional kurang mau menerima filsafat.
Islam menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran filsafat, itulah
yang disebut filsafat Islam bukan karena orang yang melakukan kefilsafatan
itu orang muslim, tetapi dari segi obyek membahas mengenai keislaman.
Perkembangan filsafat Islam pada prinsipnya mampu bersainh dengan filsafat
Barat. Dari kedua filsafat ini ditambah dengan kajian Yahudi, amaka
tersususnlah sejarah pembahasan teoritis filsafat Islam dengan filsafat klasik,
pada pertengahan dan modern. Hubungan filsafat Yunani dengan filsafat Islam
sebagai berikut:
1) Pemikiran filsafat Islam telah dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
2) Para filsuf muslim mengambil sebagian besar pandangannya
Aristoteles.
3) Filsuf muslim banyak mengagumi Plato dan mengikutinya pada
berbagai aspek.
Hubungan filsafat Islam dengan filsafat modern, secara khusus terdapat
berbagai usaha yang ditujukan untuk menemukan hubungan antara keduanya,
baik sumber maupun pengantar-pengantar filsafat modern. Batasannya yaitu
terdapat pola titik persamaan dalam pandangan dan pemikiran. Filsafat Islam
juga dikatakan sebagai ilmu karena di dalamnya terkandung pertanyaan
ilmiah, yaitu bagaimanakah, mengapakah, dan apakah, jawaban atas
pertanyaan itu sebagai berikut:
1) Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang selalu berulang-ulang.
2) Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam
adat istiadat yang berlaju dalam masyarakat.
3) Pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai suatu hal
dijadikan pegangan.
d. Konsep Filsafat Islam
1) Konsep Ar-Razi
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi lahir di Rai kota dekat
Teheran pada tahun 862 M. Falsafahnya terkenal dengan Lima yang
Kekal8:
a) Materi: merupakan apa yang ditangkap panca indra tentang benda itu.
b) Ruang : karna materi mengambil tempat.
c) Zaman : karena materi berubah-ubah keadaanya.
d) Adanya roh.
e) Adanya pencipta.
2) Konsep Al Farabi
Abu Ali Husin Ibn Sina lahir di Asyfana 980 M., di dekat Bukhara.
Terkenal dengan:
a) Falsafah Jiwa
b) Falsafah Wahyu dan Nabi
c) Falsafah Wujud
d) Falsafah Al Kindi
Ya’kub Ibn Ishaq Al Kindi berasal dari Kindah di Yaman, tahun 796 M,
terletak dengan:
1) Falsafah Ketuhanan
2) Falsafah Jiwa
2. Pendekatan Sosiologi
a. Pengertian pendidikan dengan pendekatan sosiologi
Sosiologi adalah ilmu tentang kemasyarakatan, ilmu yang mempelajari
segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat. Sosiologi didefinisikan
secara luas sebagai bidang penelitian yang tujuannya meningkatkan
pengetahuan melalui pengamatan dasar manusia, dan pola organisasi serta
hukumnya. Sosiologi dapat juga diartikan sebagai suatu ilmu yang

8
Harun Nasution. Falsafah Dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995,21
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Selanjutnya
sosiologi digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam studi Islam yang
mencoba untuk memahami islam dari aspek sosial yang berkembang
dimasyarakat, sehingga pendidikan dengan pendekatan sosiologis dapat
diartikan sebagai sebuah studi yang memanfaatkan sosiologi untuk
menjelaskan konsep pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang
dihadapinya.
Pendidikan menurut pendekatan sosiologi ini dipandang sebagai salah
satu konstruksi sosial atau diciptakan oleh interaksi sosial. Pendekatan
sosiologi dalam praktiknya, bukan saja digunakan dalam memahami masalah-
masalah pendidikan, melainkan juga dalam memahami bidang lainnya, seperti
agama sehingga muncullah stdi tentang sosiologi agama9.
b. Agama dalam pendekatan sosiologi
Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian
definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa
studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan
mendasar terletak bahwa sosiologi membatasi secara pasti bagian dari
aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudaian mencari metode
khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki
tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan. Dengan
menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial, maka agama akan dijelaskan
dengan beberapa teori, mislnya agama merupakan perluasan dari nilai-niali
sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan
dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol dan masih banak lagi
teori lainnya. Pada intinya pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek
empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial. Tampak jelas
bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai
fenomena agama.

9
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Normatif Perenialis, Sejarah,
Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta:
Rajawali Press, 2009, 203
c. Agama adalah pendekatan fungsional-sosiologi
Teori fungsional memandang agama dalam kaitan dengan aspek
pengalaman yang mentransendensikan sejumlah peristiwa eksistesi sehari-
hari, yaki melibatkan kepercayaan dan tanggapan terhadap sesuatu yang
berada diluar jangkauan manusia. Oleh karena itu secara sosiologis agama
menjadi penting dalam kehidupan manusia dimana pengetahuan dan keahlian
tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau mekanisme penyesuaian yang
dibutuhkan. Dari sudut pandangan teori fungsional, agama menjadi atau
penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh
dari ketidakpastian, ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang
memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini
fungsi agama adalah menyediakan dua hal yaitu:
1) Suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh
manusia.
2) Sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal diluar
jangkauannya yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia
mempertahankan moralnya.
Dari sini kita dapat menyebutkan fungsi agama, antara lain:
1) Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang diluar jangkauan
manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, dan terhadap manusia
memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya menyediakan bagi
pemeluknya suatu dukungan dan pelipur lara.
2) Agama menawarkan hubungan transendetal melalui pemujaan pada
upacara ibadat.
3) Agama mensucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah
terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok diatas keinginan
individu dan disiplin kelompok diatas dorongan individu.
4) Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting.
5) Agama bersangkut paut pula dengan pertumbuhan dan kedewasaan
individu dan perjalanan hidup melalui tingkat usia yang ditentukan oleh
masyarakat.
Jadi menurut teori fungsional, agama mengidentifikasi individu dengan
kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda
kecewa, mengaitkannya dengan tujuan-tujuan masyarkat, memperkuat moral,
dan menyediakan unsur-unsur identitas. Seperti halnya teori sosiologi tentang
agama, teori fungsional juga berusaha membangun sikap bebas nilai. Teori ini
tidak menilai kebenaran tertinggi atau kepalsuan kepercayaan beragama.
Sebagaimana semua sosiologi, teori ini juga menggunakan apa yang disebut
pendekatan “naturalistis” pada agama. Sebagai ilmu sosial, sosiologi berusaha
memahami perilaku diri sebab akibat yang alamiah. Ini bukan merupakan
posisi ideologi yang anti agama, sebab jika penyebab itu diluar alam, bila
mereka bertindak terhadap manusia harus juga melalui manusia dan hakikat
manusia.
3. Pendekatan Sejarah
a. Pengertian pendekatan sejarah
Dalam bahasa Arab, kata sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti
ketentuan waktu, dan secara istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada
masa lampau / masa yang masih ada. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah
merupakan terjemahan dari kata histori yang secara harfiah diartikan the past
experience of mankind, yakni pengalaman umat manusia di masa lampau10.
b. Studi Islam dengan Pendekatan Sejarah
Melalui pendekatan sejarah ditemukan informasi sebagai berikut:
1) Sejak kedatangan Islam, umat Islam tergerak hati, pikiran dan perasaannya
untuk memberikan perhatiannya yang besar terhadap penyelenggaraan
pendidikan.
2) Model lembaga pendidikan Islam yang diadakan oleh umat Islam adalah
model lembaga pendidikan informal, non formal dan formal.
3) Lembaga pendidikan yang dibangun umat Islam bersifat dinamis, kratif,
inovatif, fleksibel dan terbuka untuk dilakukan perubahan dari waktu ke
waktu.
4) Melalui pendekatan sejarah, diketahui bahwa di kalangan umat Islam telah
terdapat sejumlah ulama yang memiliki perhatian untuk berkiprah dalam
bidang pendidikan.
5) Melalui pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang kehidupan para guru
dan pelajar.

10
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, 46.
6) Melalui pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang adanya sistem
pengaturan atau manajemen pendidikan, pendanaan atau pembiayaan
pendidikan, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang canggih.
7) Melalui pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang adanya kurikulum
yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan yang disesuaikan dengan
visi, misi, tujuan dan ideologi keagamaan yang dimiliki oleh tokoh pendiri
atau masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan tersebut.

E. Urgensi Islam Interdisipliner di Era Millenial


Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula terpola
pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik di satu sisi, yang
dipelopori oleh para ilmuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, berhadapan
pula dengan pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik di sisi
lain, yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan ahli fiqih. Keterpisahan secara
diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis,
berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada
umumnya (Abdullah, 2010: 96). Maka Studi Islam pada dekade 2000-an mengalami
pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh nalar saintifik Barat (sebagaimana
terlihat dalam filologi) ketika diterapkan untuk kebudayaan-kebudayaan atau konsep-
konsep asing di luar realitas Eropa Kristen dan peradaban Barat sekuler.
Tantangan di era globalisasi menuntut respons tepat dan cepat dari sistem
pendidikan Islam secaara keseluruhan. Jika kaum Muslimin tidak hanya ingin sekedar
survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga
berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran mengenai pendidikan
Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan keniscayaan. Umat Islam
tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari seluruh perkembangan yang terjadi
(Abdullah, 2010: 98-99). Oleh karena itu penting bagi kajian islam untuk
mengintegralkan dan menghilangkan dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama.
Hal ini penting untuk memberikan landasan moral Islam terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial-ekonomi,
sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-keagamaan, sekaligus mengartikulasikan
ajaran Islam sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, humaniora dan sosial kontemporer. Seperti dalam Baidhawy (2011 :4),
Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan
kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti
meminjam serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial.
Kurang tegasnya batasan-batasan ini justru menyediakan peluang untuk
memperkaya studi interdisipliner yang beragam. Interdisipliner sungguh penting
sebagaimana Agus Purwanto yakin bahwa kebangkitan Islam saat ini hanya dapat
diwujudkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agus Purwanto
mengingatkan bahwa fungsi al-Quran juga berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan
dengan memberi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains yang selalu dikaitkan dengan
pengetahuan metafisik dan spiritual. Dengan kata lain, wahyu (dan sunnah) dapat
dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan (2008:193).
Dengan demikian, ketika sifat integreted dan komperhensif (interdisipliner) mampu
diwujudkan lahirlah sosok manusia yang mempunyai The Conscious of God dengan
spirit liberating and civilizing (Tabrani, 2014: 232). Pendekatan Integratif-
Interkonektif menjadikan Islamic Studies mengalami proses objektivikasi dimana
keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural
(sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang
mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan,
termasuk amal, sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang (Abdullah, 2007:
54).

F. Penutup
Islamic Studies bukanlah sebah disiplin, namun ia lebih merupakan
kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Studi Islam interdisipliner di era millenial
merupakan cara untuk memahami Islam melalui berbagai disiplin ilmu agar dapat
memperoleh pengembangan keilmuan Islam yang komprehensif sehingga Islam
mampu bersaing di tengah pesatnya laju modernisasi.
Problematika zaman era modern juga tidak cukup diselesaikan dengan kajian-
kajian Islam secara klasik, karena semakin maju pergolakan kehidupan zaman,
konsekuensinya juga akan semakin banyak pula permasalahan baru yang semakin
rumit untuk dipecahkan, metodologi studi Islam di era modern juga harus disesuaikan
dengan era dan kultur budaya yang ada, selain itu juga harus dikaji dari beberapa
disiplin ilmu yang ada, agar pemahaman Islam menjadi lebih komplek dan selalu
memberikan solusi yang solutif, tidak stagnan dan kaku jika diterapkan dalam kondisi
yang lain.
REFERENSI

Abdullah, M. Yatimin. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Normatif


Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi,
Kebudayaan, Politik, Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Harun Nasution. Falsafah Dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia, 2009.
Zakiuddin Baidhawy, Studi Islam: Pendekatan Dan Metode, Yogyakarta: Insan Madani,
2011.

Anda mungkin juga menyukai