THALIB
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat adalah
merupakan Agam Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian
Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW.
Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah
empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang
dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan
oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam
mempertahankan dan juga dalam menyebarkan islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi.
Perkembangan islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban
kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa islam pada zaman
Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa pengaruhnya.
Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah
kita melupakannya. Sekaitan dengan itu perlu kiranya kita melihat kembali dan mengkaji
kembali bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.
Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin
Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada
waktu itu, terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti
Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara
golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di dalam al-Quran sebagai
Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para
sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus
diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah
yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka saya sebagai mahasiswa
Islam selain dalam rangka menyelesaikan tugas MID semester Sejarah Peradaban Islam,
kami juga merasa ada kewajiban untuk ikut serta meluruskan opini-opini miring tentang Ali
bin Abi Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis dan para pengikutnya yang
tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah Islam. Konflik-konflik yang terjadi di masa
itu menjadi bulan-bulanan untuk memberikan citra buruk terhadap Islam.
Sebenarnya, pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para
muarrikhin. Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang
dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA, dalam buku
yang berjudul Akar Konflik Umat Islam, Sebuah Pelajaran dari Konflik Politik Pada Zaman
Sahabat. Meskipun dalam judul bukunya terdapat kata Zaman Sahabat, namun fokusnya
adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu secara spesifik membahas tentang konflik politik yang
terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[1] Buku itu cukup representatif untuk
meng-counter buku-buku sejarah Islam yang ada di Indonesia yang tidak adil dalam
memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga buku yang membahas Ali ra, yang menurut
kami tidak proposional/subyektif sebagai sosok yang telah dicederai oleh para ulama Sunni,
seperti yang dilakukan oleh George Jordac. Jordac dalam bukunya tersebut menyebut bahwa
Abdullah bin Saba yang sering disebut Sunni sebagai tokoh fiktif yang sengaja dibuat-buat.
[2]
Tentunya, membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah
akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku di atas, kami berusaha
untuk memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian
menguatkan atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang
tidak sesuai dengan data-data sejarah yang ada. Kami akan mulai pembahasan ini dengan
menganalisa situasi di akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Kemudian akan kami bahas
tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting yang terjadi. Adapun masalah
futuhat, di sini kami akan membahasnya secara sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak
akan menhadirkan biografi Ali, sebab yang jadi fokusan kami adalah masa kekhalifahannya.
Ini sengaja kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Menarik untuk dibahas, meskipun pembaiatan Ali berjalan mulus dan lancar, akan
tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi
kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Diantaranya :
Kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya
Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembaiatan pengangkatan Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya
adalah tokoh dari Bani Umayah :
Marwan bin al-Hakam
al-Walid bin Uqbah
Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam
adalah :
Qudamah bin Madhun
Abdullah bin Sallam
Mughirah bin Syubah
Numan bin Basyir.
Kelompok yang menangguhkan pembaiatan terahadap Ali dan menyatakan menunggu
perkembangan situasi. Diantaranya adalah :
Saad bin Abi Waqqas
Abdullah bin Tsabit
Muhammad bin Salamah
Usamah bin Zaid
Salamah bin Salamah bin Raqis.
Kelompok yang sengaja tidak mau memberikan baiat kesetiannya kepada Ali bin Abi
Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah :
Hasan bin Tsabit
Kaab bin Malik
Zaid bin Tsabit
Rafi Khadij
Abu Said al-Khudry
Muhammad bin Maslamah
Maslamah bin Mukhallad
Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan
belum pulang saat terjadi pembaiatan. Setelah terjadi pembaiatan, sebagian kecil mereka
tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk
di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu anhaa.[8]
Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali
di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas cukup
menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman.
Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun,
Madinah adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad
Saw hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati
penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk
saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah
berkumpulnya para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika
penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik public,
maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya