Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Sejarah Pendidikan Islam (SPI)

Dinasti Umayyah (661-750 M)

Oleh:

Nurul Nazirah

Almawati

Daftar isi
I. Pendahuluan……………………………………………………………………….1
A. Latar Belakang…………………………………………………………............1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...2
II. Tentang Dinasti Umayyah (661-750 M)…………………………………….……3

1. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah………………………………………….3


2. Para Kholifah Dinasti Umayyah…………………………………………….…5
3. Masa Kemajuan Dinasti Umyyah…………………………………………..….8
4. Masa Kemunduran Dinasti Umayyah………………………………………....18
III. Penutup…………………………………………………………………………..20
A. Kesimpulan…………………………………………………………………...20
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………21

I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Bangsa yang maju dan beradap adalah bangsa yang tidak terlepas dari beradaban
(civilization) dan memakaikan agama (religion) sebagai baju bangganya, HAR. Gibb (1859-
1940) mengatakan, Islam is a complete civilization (Islam adalah sebuah peradaban yang
sempurna). Meskipun demikian, kenyataannya masyarakat masih banyak yang belum
mengerti betul apa itu peradaban dan Islam sebagai agama yang sempurna belum masuk di
hati bangsa ini.
Ro aitu al-Muslimah duna al-Islam, wa ro aitu al-Islama duna al-Muslimah, yaitu
nilai-nilai Islam dapat ditemukan di tengah-tengah non-Muslim, dan sebaliknya nilai-nilai
non-Muslim banyak ditemukan pada masyarakat Islam. Mengapa? Karena masyarakat
Muslim sekarang sudah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan yang membuat
Islam sendiri runtuh dari nilai tauhidnya.
Dalam perkembangan dan tuntutan zaman yang semakin lama dikuasai oleh non-
Muslim, alangkah baiknya, sebagai negara yang menghormati peradaban dan sejarah.
Khususnya Muslim ditekankan mengetahuai sejarah-sejarah nenek moyang yang sudah
mendahuluinya sebagai bahan renungan dan pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya sejarah Bani Umayyah?
2. Siapa sajakah khalifah-khalifah Bani Umayyah?
3. Bagaimana masa kemajuan Bani Umayyah?
4. Bagaimana masa kemunduran Bani Umayyah?

II
Tentang Dinasti Umayyah (661-750 M)

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah.

Dinasti Umayyah merupakan pemerintah kaum muslimin yang berkembang setelah


masa Khulafa Rasyidin yang di mulai pada tahun 41H/ 661 M. Nama Dinasti Umayyah
dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh
penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf
selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan bin Harb. Muawiyyah
sebagai pendiri daulah Bani Abbasiyyah juga sekaligus menjadi khalifah pertama. Ia
memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Kuffah ke Damaskus.
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun Dinasti yang oleh sebagian besar
sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas
kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara yang curang. Lebih dari
itu, Muawiyyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan
Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih
oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang diwariskan turun-temurun (monarchy heredity).
Diatas segala-galanya jika dilihat dari sikap dan prestasi politiknya yang
menakjubkan, sesungguhnya Muawiyyah adalah seorang pribadiyang sempurna dan
pemimpin besar yang berbakat. Didalam dirinya terkumpul sifat-sifat seorang penguasa
Politikus, dan Administrator.
Muawiyyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya
dirinya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah
seorang pemimpin pasukan di bawah komando Paglima Abu Ubaidah bin Jarrah yang
berhasil merebut wilayah Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Romawi yang
telah menguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Kemudian Muawiyyah menjabat kepala
wilayah di Syam yang membawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus
selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Utsman telah
menobatkannya sebagai “Amr Al-Bahr” (prince of the sea) yang memimpin armada besar
dalam penyerbuan ke kota Konstantinopel walaupun belum berhasil.
Muawiyyah berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya dikarenakan
kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali. Melainkan sejak semula
gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan
politiknya di masa depan.
Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari masyarakat Suriah dan dari keluarga
Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyyah mempunyai
pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam melawan peperangan
melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari
keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Muawiyyah dan memasoknya dengan
sumber-sumber kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun
kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang
berlimpah. Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber
kemakmuran dan suplai bertambah bagi Muawiyyah.
Kedua,sebagai seorang Administrator, Muawiyyah sangat bijaksana dalam
menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat
perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Ketiga
pembantu Muawiyyah merupakan empat politikus yang sangat menggunakan di kalangan
Muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam perpolitikan Muawiyyah.
Amr bin Ash sebelum masuk Islam dikagumi oleh bangsa Arab, karena kecakapannya
sebagai mediator antara Quraisy dan suku-suku Arab lainnya jika terdapat perselisihan.
Setelah menjadi Muslim hanya beberapa bulan menjelang penaklukan Mekkah, nabi segera
memanfaatkan kepandaiannya itu sebagai pemimpin militer dan diplomat. Tokoh besar ini
terutama dikenang sebagai penakluk Mesir di zaman Umar dan menjabat gubernur pertama
diwilayah itu. Sejak wafatnyaKhalifah Utsman, ‘Amr bin Ash mendukung Muawiyyah dan
ditunjuk olehnya sebagai penengah dalam peristiwa tahkim. Sayang hanya dua tahun ia
mendampingi Muawiyyah. Orang kedua adalah Mughirah bin Syu’bah, seorang politukus
independen. Karena keterampilan politiknya yang besar, Muawiyyah mengangkatnya
manjadi gubernur di Kufah yang meliputi wilayah bagian utara, suatu jabatan yang pernah
dipegangnya kira-kira satu atau dua tahun semasa pemerintah Umar. Keberhasilan Mughirah
yang utama adalah kesuksesan menciptakan situasi yang aman dan mampu meredam gejolak
penduduk Kufah yang sebagian besar pendukung Ali. Sedangkan orang yang ketiga bernama
Ziyad bin Abihi, seorang pemimpin kharismatik yang netral, ditetapkan oleh Mu’awiyah
untuk memangku jabatan gubernur di Bashrah dengan tugas khusus si Persia selatan. Sikap
politiknya yang tegas, adil, dan bijaksana menjamin kekuasaan Muawiyyah kokoh di wilayah
provinsi paling timur itu dikenal sangat gaduh dan sukar diatur.
Ketiga, Muawiyyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan
mencapai tingkat “hilm”, sifat yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu.
Seorang manusia hilm seperti Muawiyyah dapat menguasai diri secara mutlak dan
mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran dari sifat mulai tersebut dalam diri Muawiyyah setidak-tidaknya tampak
dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun-temurun.
Situasi ketika Muawiyyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan.
Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah
persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak
Khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri
Khalifah Utsman dan perang saudara sesama Muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin intergrasi kekuasaan di
masa-masa yang akan datang, Muawiyyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang
damai, dengan pembantaian putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal
dunia.
Ketika Yazid bin Muawiyyah naik takhta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah
tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyyah kemudian mengirim surat
kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah
setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin
Abi Thalib dan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi’ah
(pengikut Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan
kembali dan menghasut Husain melakukan perlawanan. Husain dibaiat sebagai khalifah di
Madinah. Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyyah mengirim pasukan untuk kembali
memaksanya setia pada pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi pertempuran tidak
seimbang yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Karbala.

B. Khalifah Khalifah Dinasti Umayyah

Para sejarawan umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah Umayyah
ialah Muawiyyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul aziz.
Masa Kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun,
dengan 14 orang khalifah. Adapun urutan khalifah umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyyah I bin Abi Sufyan (41-60 H/661-679M)
Muawiyyah bin Abi sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Bani Umayyah dialah tokoh
pembangunan yang besar. Muawiyyah mendapat kursi kekuasaan setelah Hasan bin Ali bin
Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 4 H, karena Hasan menyadari kelemahannya
sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Muawiyyah sehingga
tahun itu dinamakan ‘Amul Jama’ah, tahun persatuan. Muawiyyah dibaiat oleh umat Islam di
kufah. Diantara jasa-jasa Muawiyyah ialah mengadakan dinas pos dengan menggunakan
kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. Ia juga berjasa mendirikan kantor cap (percetakan
mata uang), dan lain-lain. Muawiyyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan
digantikan oleh anaknya Yazid.
2. Yazid I bin Muawiyyah (60-64H/679-683M)
Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya,
antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husein
sepeninggal Muawiyyah. Terjadi perang di karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain.
Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding ka’bah
runtuh dikarenakan terkena lemparan manjaniq, peristiwa tersebut merupakan aib besar
terhadap masanya. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan
oleh anaknya, Muawiyyah II
3. Muawiyyah II bin Yazid (64 H/683M)
Ia hanya memerintahkan kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai
khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup
memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat besar tersebut. Dengan wafatnya,
maka habislah keturunan Muawiyyah dalam melenggangkan kekuasaan dan berganti ke Bani
Marwan.
4. Marwan I bin Hakam (64-65 H/683-684M)
Ia adalah gubernur Madinah di masa Muawiyyah dan penasihat Yazid di Damaskus di
masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ia di angkat menjadi khalifah karena
dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya. Ia dapat
menghadapi kesulitan satu demi satu dan dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahak bin Qais,
kemudian menduduki mesir. Marwan menundukan palestina, hijaz, dan irak. Namun ia cepat
pergi hanya memerintah 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya Abdul
Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalannya secara berurutan.
5. Khalifah Abdul Malik (65-86H/684-705M)
Dia adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah
yang disebut-sebut sebagai ‘pendiri kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai
seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqh. Ia telah berhasil
mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah
dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari
gerakan sparatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij,
sampai kepada aksi teror yang dilakuakn oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah
kufah, dan pemberontakan yang di pimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak.
Ia juga menundukan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi
pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
Administrasi di wilayah Umayyah, ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara
teratur, membangun beberapa gedung, dan masjid serta slauran-saluran air, memajukan
perdagangan, memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan dan
menyempurnakan tulisan huruf Al-Qur’an dengan titik pada huruf-huruf tertentu.
Khalifah abdul Malik memerintah selam 21 tahun dan wafat 86 H dan di ganti oleh putranya
Al-Walid
6. Al Walid I bin Abdul Malik (86-96H/705-714M)
Memerintah 10 tahun lamanya. Pada masa pemerintahannya, kekayaan dan
kemakmuran merintah ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan
pasukan Thariq bin Ziyad ketika afrika utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair.
Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan pembanguna gedung-gedung, pabrik-
pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para khalifah yang berlalu lalang
di jalan tersebut. Ia membangun masjid Al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di
Damaskus. Di samping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para
yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit kusta.
Khalifah Walid bin Absul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman.
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99H/714-117M)
Dia tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang
diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari Spanyol yang
dibawa oleh Musa bin Nushair.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang
kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-
orang yang berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf
dan Muhammad bin Qasim yang menundukan India. Ia meninggal pada tahun 99 H dan
menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
8. Umar bin Abdul Aziz. (99-101H/717-719M)
Adapun khalifah yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya
sangat singkat, nama Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode
yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh berbagai
kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi
seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada
sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah yang adil ini adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan
dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber lain. Rupanya keadilannya menurun dari
Khalifah Umar bin Khatab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan
waktunya di Madinah untuk mendalami ilmu Agama Islam, khususnya ilmu hadis dan ketika
ia menjadi khalifah ia memerintahkan kaum Muslimin untuk menuliskan hadis, dan inilah
perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian,
memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga
mode Umar itu ditiru orang pada masanya.
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, khalifah Umayyah yang sekaligus
sebagi pamannya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid bin Abdul
Malik, salah seorang sepupunya. Tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra
mahkota. Berbekal pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta, serta sebagi
bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat sebagai Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-
Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid,
sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya memerintah kurang
lebih dua tahun.
Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaj, Syiria, Mesir,
Yaman dan Bahrain yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah
menduduki jabatan barunya Khalifah Umar bin Abdul Azizi mengembalikan tanah-tanah
yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual
barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Di samping itu
ia mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan
peperangan serta caci maki terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan
diganti dengan bacaan ayat berikut :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengerjakan keadilan dan bijaksana, serta
memberi kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, munkar dan aniaya. (QS An-Nahl :
90)
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada di masa
kekhalifahannya seperti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan
memberi santunan kepada fakir miskin, dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan
kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab.
Ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru.
Khalifah Umar meninggal tahun 101 H dan di ganti Oleh Yazid II bin Abdul Malik.
9. Yazid II bin Abdul Malik (101-105H/719-723M)
Pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudariyah dan
Yamaniyah. Pemerintahan yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Bani Umayyah.
Kemudian diganti oleh Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125H/723-745M)


Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyur sebagimana tersebut di atas.
Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 Tahun. Ia dapat dikategorikan sebagai
khalifah Umayyah yang terbaik karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada
keindahan, berakhlak mulia dan tergolong teliti terutama soal keuangan, disamping bertaqwa
dan berbuat adil. Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum
Syi’ah serta bersekutu dengan kaum Abbasiyyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan
yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut terhadap
semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan tentang putra
mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih ada empat khalifah lagi yang setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu
tujuh tahun, yakni :
11. Al-Walid II bin Yazid (125-126H/742-743M)
12. Yazid III bin Al-Walid (126H/743M)
13. Ibrahim bin Al-Walid (126-127H/743-744M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132H/744-750M)
Dia adalah penguasa terakhir yang terkenal dengan julukan marwan al-himar
(manusia keledai). Karena kebesarannya yang luar biasa dan kesanggupannya menahan
perasaan. Sebenarnya ia adalah penguasa yang besar tapi sayang, ia muncul ketika daulat
Bani Umayyah sedang merosot.
Dia wafat pada tahun 132 H/750 M terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyyah
C. Masa Kemajuan Dinasti Ummayah

Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai era agresif, dimana perhatihan
tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman kedua
Khulafa’ Arrasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di empat
penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke dalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah
Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Syiria, Palestina, sebagian daerah
Anatholia, Irak, Persia, Afganistan, India, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan
Turkmenistan, Usbekistan, dan Kirgististan yang termasuk Soviet dan Rusia.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi, Penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup
front tiga penting, yaitu sebagai berikut: Pertama, front melawan bangsa Romawi di Asia
kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibukota Konstantinopel, dan peneyrangan ke
pulau-pulau di laut tengah. Kedua, front Afrika Utara. Selain menundukkan derah hitam
Arfika, pasukan Muslim juga menyebrangi selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.Ketiga,
front timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi
menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun
(Amudarya). Sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Syin, wilayah India bagian
Barat.
Saat-saat yang paling mengesankan dalam ekspansi ini ialah terjadi pada paruh pertama dari
seluruh masa Kekhalifahan Bani Umayyah, yaitu ketika kedaulatan dipegang oleh
Muawiyyah bin Sofyan dan tahun-tahun terkahir dari zaman kekuasaan Abdul Malik. Diluar
masa-masa tersebut, usaha-usaha penaklukan mengalami degradasi atau hanya mencapai
kemenangan-kemenangan yang sangat tipis.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah diraih dalam kemajuan besar dalam perluasan
wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa paling mencolok
ialah keberaniannya mengepung kota Konstantinopel melalui suatu ekspedisi yang di
pusatkan di kota pelabuhan Dardanela, setelah terlebih dahulu menduduki pulau pulau di
Laut Tengah seperti Rodhes, Kreta, Cyprus, Sicilia dan sebuah pulau yang bernama Award,
tidak jauh dari ibukota RomawiTimur itu. Di belahan timur, Muawiyyah berhasil
menaklukkan Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afghanistan.
Ekspansi ke Timur yang telah dirintis oleh Muawiyyah, lalu disempurkan oleh
Khalifah Abdul Malik. Dibawah komando gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, tentara kaum
Muslimin menyeberangi sungai Amudaria dan mmenundukan Balk, Bukhoro, Khawarizm,
Fargana, Samarkhand, pasukan Islam juga melalui Makron masuk ke Balukhistan, Syin dan
Punjab sampai ke Multan, Islam menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumu India.
Kemudian tiba masa kekuasaan Al Walid I yang disebut-sebut sebagai masa
kemenangan yang luas. Pengepungan yang gagal atas kota Knstantinopel di zaman
Muawiyyah, dihidupkan kembali denagn memberikan pukulan-pukulan yang cukup kuat.
Walaupun cita-cita untuk menundukkan ibukota Romawi tetap saja belum berhasil, tetapi
tindakan itu sedikit banyak berhasil menggeser kapal batas pertahanan Islam lebih jauh ke
depan, dengan menguasai basis-basis militer kerajaan Romawi di Mar’asy dan ‘Amuriah.
Prestasi yang lebih besar dicapai oleh Al-Walid I ialah di front Afrika Utara
sekitarnya. Setelah segenap tanah Afrika bagian Utara diduduki, pasukan Muslim di bawah
pimpinan Thariq bin Ziyad menyebrangi selat Gibraltar masuk ke Spanyol. Lalu ibukotanya,
Cordova segera dapat di rebut, menyusul kemudian kota-kota lain seperti Sevilla, Elvira dan
Toledo. Gubernur Musa bin Nushair kemudian menyempurnakan penaklukan atas Tanah
Eropa ini dengan menyisir kaki Pegunungan Pyrenia dan menyerang Carolingian Prancis.
Berikut kemajuan-kemajuan semasa Dinasti Umayyah berdasarkan bidangnya masing-
masing:
1. Bidang Kemiliteran
Kemajuan masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah yang paling menomjol adalah
di bidang kemiliteran. Selama peperangan dengan militer Romawi pasukan Arab mengambil
tekhnik kemiliteran mereka dan memadukannya dengan sistem pertahanan yang telah di
miliki sebelumnya. Pasukan Islam mendirikan tenda-tenda yang terdiri dari 2-4 pintu dengan
perlindungan benteng dan parit. Kuffah dan Basroh merupakan basis militer untuk wilayah
timur, formasi kekuatan pasukan Muslim terbagi dua barisan. Barisan depan dan barisan
belakang. Seluruhnya terdiri lima lapisan, yakni satu lapisan pusat, dua lapisan pasukan
sayap, lapisan penyerbu , dan lapisan prtahanan. Kekuatan pasukan-pasukan Dinasti
Umayyah ini telah mencatat sukses-sukses besar dalam tugas-tugas ekspansi. Kemajuan
kekuatan militer pada masa ini juga di tandai dengan terbentuknya angkatan laut Islam oleh
Muawiyyah. Ia mengarahkan para pakar kelautan untuk merancang pembuatan galangan
perkapalan di pantai Syiria.
2. Sistem Sosial
Terdapat empat kelompok masyarakat, yakni Arab Muslim. Mawalli, non Muslim,
dan kelompokm Arab-Muslim menduduki kelas sosial tertinggi di sebabkan karena mereka
sebagai kelompok pendatang yang berkuasa, juga di karenakan sistem aristokrasi. Namun
pada prinsipnya mereka semua mendapat perlindungan hak-hak secara penuh sehingga
mereka dapat hidup dengan tenang dan damai. Perbedaan yang menonjol adalah dalam hal
beban kewajiban pajak. Hampir di katakan tidak ada perselisihan antaragama. Yang muncul
perselisihan antarsuku. Contohnya kelompok Mudariyah dengan kelompok Arab Himyariyah.
3. Kemajuan Arsitektur
Penguasa Dinasti Umayyah pada umumnya mahir dalam seni arsitektur, mereka
mencurahkan perhatiaanya demi kemajuan bidang ini hasilnya adalah ssejumlah bangunan
megah, Masjid Baitul Maqdis di Yerussalem, yangn terkenal dengan kubah batunya (qubah
al-sakhra) didirikan pada masa Abdul Malik pada tahun 691 M. Ia adalah masjid pertama
yang di tutup kubah di atasnya. Dan juga masjid al Aqsa yang tidak kalah tinggi arsiteknya
sebuah masjid terindah yang terdapat di Damaskus yang didirikan oleh Walid bin Abdul
Aziz. Ia juga merehap masjid Madinah antara beberapa monument peninggalan Umayyah
yang terkenal adalah istana Qusayr Amrah. Istana ini terbuat dari batu kapur yang berwarna
kuning kemerah-merahan.
4. Bidang Politik
Dalam bidang politik, Bani Muawiyyah menyusun tata pemerintahan yang sama
sekali baru. Guna untuk memenuhi tuntutan perkembangan wilayah dan administrasi
kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat majelis penasehat sebagai
pendamping, khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa orang ‘Al Kuttab (sekretaris)
untuk membantu dalam pelaksanaan tugas, yang meliputi:
a. Kartib ar-Rasail, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat
menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b. Kattib al Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan pemasukan dan
penerimaan negara.
c. Katib al Jundi, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan
dengan ketentaraan.
d. Katib as-Syurtah, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban.
e. Katib al Qudat, yaitu sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui
badan-badan peradilan dan hakim setempat.
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika
itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan
fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M).
Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa
Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik,
keagamaan, intelektual dan peradaban.

1. Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, Dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya
yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus. Kebijakan
itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi Dinasti yang telah mendapat legitimasi
politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri
yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
a. Sistem Penggantian kepala Negara bersifat Monarchi. Pemindahan sistem kekuasaan juga
dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi
dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah
menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis).
b. Sistem Sosial (Arab dan Mawali). Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan
masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga
masyarakat secara garis besar terdiri Muslim dan non Muslim, dan dalam memperlakukan
orang Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus
kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua
berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai
tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus
berasal dari orang Arab, sedangkan orang non-Arab setelah menjadi Muslim harus mau
menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakat Muslim pada masa
Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.
Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakan rahasia yang terkenal dengan nama Asy-
Syu’ubiyyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat kaum Muslimin
yang sebetulnya mereka bersaudara, dan yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka
serta banyak kaum Mawali yang bersikap membantu gerakan Bani Hasyim turunan
Alawiyah, bahkan juga memihak kaum Khawarij.
c. Kebijaksanaan dan Orientasi Politik. Selama lebih kurang 90 tahun Dinasti Bani
Umayyah ini memerintah, banyak terjadi kebijaksanaan politik yang dilakukan pada masa ini,
seperti:
1) Pemisahan Kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama (spiritual power) di
tunjuklah qadhi/ hakim dan kekuasaan politik (temporal power). Dapatlah dipahami bahwa
Mu’awiyah bukanlah seorang yang ahli dalam keagamaan sehingga diserahkan kepada para
Ulama.
2) Pembagian wilayah. Khalifah bin Khattab terdapat 8 Provinsi, maka pada masa Bani
Umayyah menjadi 10 Provinsi Wilayah kekuasaan terbagi dalam 10 provinsi, yaitu:
a) Syiria dan Palestina;
b) Kuffah dan Irak;
c) Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah;
d) Arenia;
e) Hijaz;
f) Karman dan India;
g) Egypt (Mesir);
h) Ifriqiyah (Afrika Utara);
i) Yaman dan Arab selatan, dan
j) Andalusia.
3) Bidang Administrasi Pemerintahan. Di bidang pemerintahan, Dinasti membentuk
semacam Dewan Sekretaris Negara (Dewan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang
sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib
al Qadi.[2] Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al
Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat
departemen pokok (dewan) yaitu :
a) Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Dewan ini berfungsi untuk
mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau menerima surat-surat
dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama, sekretariat negara (dipusat) yang
menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Kedua, sekretariat Provinsi yang
menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsi sebagai bahasa pengantarnya kemudian
menjadi bahasa Arab sebagai pengantar ini terjadi setelah bahasa Arab menjadi bahasa resmi
di seluruh negara Islam.
b) Dewan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh Shahib al-
Kharraj diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab langsung kepada khalifah.
c) Dewan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai
berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan Abdul Malik
berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan pemerintah.
d) Dewan al-Khatam (departemen pencatatan). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh
khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirim
ke alamat yang dituju.
4) Politik Arabisasi. Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan
ambisi penguasa Dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,yaitu
membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum Muslimin. Usaha-usaha ke
arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-
anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk
daerah Islam dan bahkan adat-istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.
Pada masa Bani Umayyah (sejak Khalifah Abd Malik bin Marwan), berkembang istilah
Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang
dikuasai Islam. Bidang ini dilakukan Bani Umayyah antara lain dalam pengangkatan kepala-
kepala wilayah dari bangsa Arab untuk ditempatkan pada wilayah-wilayah yang dikuasai. Di
samping itu ia mengajarkan bahasa Arab di seluruh wilayah Islam. Penerjemahan buku-buku
berbahasa asing ke dalam bahasa Arab.
5) Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah
kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang
kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di
sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah
barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain
di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap
Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai
penaduduk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir,
ekspansi ke barat dan mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin
Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin
Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan
dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol
jatuh ke tangan pasukan Muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang
kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan
melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica
di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan
Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang
mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I
memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke
Damaskus.
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur
Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaybah dapat
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke
Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling
tukar-menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan
pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada
tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus,
kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan
sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.

2. Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan
orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan
tanah. Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah,
namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non Muslim sehingga mengakibatkan
banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara
berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium
Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi
Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara. Kebijakan Dinasti di bidang
ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas
darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik,
obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk
mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading, dan bulu-buluan.
Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas
perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah
lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus.
Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti
Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz
(semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar
pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz "La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar
produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan
setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan
penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.
3. Dinamika Sosial
Seperti yang suda di jelaskan sebelumnya, pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab
mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan
tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun
Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-
orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada
perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani
Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang
mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan
tahta kepada keturunan raja.
4. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam
administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur
Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa
administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya
penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu
Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani
Iskandariyah. Antiokia, Harran, dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-
ilmuwan Yahudi, Nasrani, dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang
seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi,
kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu
rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada
di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi
untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar,
seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[5]
Pengaruh lain dan ilmuwan Kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara
sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan
menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan
ilmu adalah golongan non-Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi
ilmu menjadi ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang
filsafat. Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu
Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin
Jabbar (ahli tafsir).
5. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke tujuh sampai permulaan
abad ke delapan, salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu
dalam suatu kesatuan sosial politik yang disebut Dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu
merupakan suatu kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama.
Wilayah inti meliputi daerah-dearah bekas kerajaan Persia, Imperium Bizantium di Suria dan
Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterinian (Afrika Utara dan Spanyol) itu, merupakan
salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan Internasional yang terbentang antara
China dan Spanyol, dan antara Afrika Hitam dengan Asia Tengah.
6. Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa ini Amir al-Mu’minin hanya bertugas sebagai khalifah dalam bidang
temporal sedangkan urusan keagamaan di urus oleh para ulama. Berbeda dengan Khulafa al-
Rasydun yang menguasai keduanya. Pada masa ini khalifah diangkat secara turun-temurun
dari keluarga Umayyah.
7. Sistem Fiskal
Sumber uang masuk pada Dinasti Bani Umayyah, pada umumnya seperti di zaman
permulaan Islam. Walaupun demikian ada beberapa tambahan seperti al-Dharaaib yaitu
kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara dan terdapat pajak-pajak istimewa. Adapun
saluran uang keluarnya sama seperti permulaan Islam, seperti gaji para pegawai dan tentara,
serta biaya tata usaha negara, pembangunan pertanian termasuk irigasi dan penggalian
terusan-terusan, ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang, perlengkapan
perang, serta hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para Ulama.
Pada masa Umayyah dicetak mata uang Muslimin secara teratur dan pembayaran
dengan mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin Khattab sudah dicetak mata uang kaum
Muslimin namun belum begitu teratur seperti pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.
8. Interregnum (Masa Peralihan Pemerintahan) Umar bin Abdul Aziz
Interregnum ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mana pada
perintahan yang dulunya kejam, menekan rakyat dan sebagainya, menjadi kepada masa yang
damai, lemah, lembut dan makmur. Dengan kebijaksanaannya ini banyak orang yang masuk
Islam, dan mengadakan dialog dengan orang Syi’ah dan Khawarij sehingga mereka puas dan
tidak mengganggu lagi. Namun, kedamaian dan kemakmuran ini dimanfaatkan oleh Bani
Hasyim untuk membentuk gerakan bawah tanah. Gerakan ini terdiri dari orang-orang Syi’ah
dan keluarga Abbas. Gerakan inilah yang berhasil menumbangkan Bani Umayyah nantinya.
9. Sistem Peradilan
Kehakiman pada masa ini mempunyai dua ciri khas, yaitu pertama, qadhi
memutuskan perkara dengan ijtihadnya berdasarkan Nas. Kedua, kehakiman belum
terpengaruh dengan politik.
10. Pembangunan Peradaban, Intelektual, bahasa dan sastera Arab
Masa Bani Umayyah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam
yang nanti pada masa Bani Abbas merupakan puncak dari peradaban Islam. Pada masa ini
ilmu Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang saling menonjol adalah ilmu tafsir
dan ilmu hadits. Dan terjadi pengumpulan hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yang dikumpulkan oleh ‘Ashim al-Anshari. Muncul juga ilmu Nahwu (tata bahasa Arab)
sehingga Sibawaihi menyusun al-kitab untuk memperlajari tata bahasa Arab
Khalifah Mu’awiyah memerinthkan karya-karya bangsa Yunani yang mengandung
berbagai macam Ilmu. Dengan demikian umat Islam pada masa ini mulai mengenal ilmu
kedokteran, ilmu Kalam, seni bangunan (architecture) dan sebagainya. Diantara peninggalan
seni bangunan yang terkenal sampai sekarang adalah Qubbah al-Sakhr (Dome of the Rock)
yang didirikan di Yerussalem pada 91 H pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik.
11. Sistem Militer
Pada masa Dinasti Bani Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan dipaksa
atau setengah dipaksa. Untuk menjalankan kewajiban ini dikeluarkan semacam undang-
undang wajib militer yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbary. Politik ketentaraan dari Bani
Umayyah, yaitu politik Arab, di mana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab
atau unsur Arab. Maka dari itu mereka terpaksa meminta bantuan kepada bangsa Barbari
untuk menjadi tentara karena wilayah mereka yang luas meliputi Afrika Utara, Andalusia,
dan lain-lain.
a.Perluasan ke Asia Kecil
Dengan armada laut yang terdiri dari 1700 kapal, lengkap dengan perbekalan dan
persenjataannya. Lalu Mu’awiyah menyerang pulau-pulau dilaut tengah sehingga berhasil
menduduki pulau Rhodes tahun 53 H dan pulau Kreta tahun 54 H. Kemudian diserang kota
Konstatinopel. Pulau-pulau ini dekat Cyprus yang telah ditaklukkan pada zaman Usman.
Penyerangan ini dipimpin oleh Janadah bin Abi Umayyah. Kemudian mengepung kota
Konstatinopel di bawah pimpinan Yazid bin Mu’awiyah dan didampingi oleh pahlawan Islam
yang berani seperti Abu Ayyub al-Anshar, Abdullah ibnu Zuber, Abdullah ibnu Umar dan
Ibnu Abbas. Pengepungan ini selama 7 tahun (54-61 H). Abu Ayyub al-Anshar gugur pada
peperangan ini. Penyerangan pertama ini gagal karena ada pengkhianatan Loen Mar’asy.
b. Perluasan ke Timur
Ke arah Timur dapat menaklukkan daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan dari
Afghanistan sampai ke Kabul. Kemudian diteruskan pada zaman Abd. Malik di bawah
pimpinan Al- Hajjaj ibn Yusuf. Kemudian dapat menundukkan daerah Balkh, Bukhara,
Khawarizan, Fergnana, dan Samarkand. Selanjutnya pasukan Muslim juga samapi ke India
serta dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Multan (713 H).
c. Perluasan ke Afrika Utara
Uqbah ibn Nafi’ al-Fahri telah menetap di Barqah setelah wilayah itu dikuasai. Oleh karena
kemahiran dan keberaniannya, ia mengalahkan armada Bizantium di daerah pantai, barbar
dipedalaman, serta Tripoli dan Fazzan. Kekuatan Maritim Islam menjadi lebih berkembang
pada masa Umayyah timur. Pada masa Khalifah al-Walid. Jenderal Thariq bin Ziyad dapat
menyeberangkan ajaran Islam ke Spanyol. Pada tahun 95 H/ 713 M dapat membebaskan
rakyat Spanyol dan Eropa dari penindasan bangsa Visigoth (Gothik) Barat yang telah
berkuasa selama 300 tahun.
12. Pemberontakan: al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair
Ketika Yazid ibn Mu’awiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka Madinah tidak
mau menyatkan setia kepadanya. Yazid kemudian mendirim surat kepada Gubernur Madinah
meminta untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini
semua orang terpaksa tunduk kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Pada tahun
680 M, Husein pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah di Irak. Umat
Islam di daerah ini mengakui khaifahnya adalah Husein. Sehingga terjadi pertempuran dan
tentara Husein kalah sedangkan Husein mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke
Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela. Gerakan Syi’ah semakin keras, gigih dan
tersebar luas. Pemberontakan yang paling terkenal diantaranya adalah pemberontakan
Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Walaupun dibantu oleh kalangan kaum Mawali di
Persia, Armenia dan lain-lain, Mukhtar terbunuh oleh pasukan oposisi lainnya yaitu gerakan
Abdullah ibn Zubair. Abdullah ibn Zubair baru secara terbuka menyatakan khalifah setelah
Husein bin Ali terbunuh. Tentara Yazid kemudian mengepung Mekkah dan akhirnya terjadi
pertempuran, pada pertempuran ini Abdullah bin Zubair dikabarkan wafat, maka tentara
Yazid kembali ke Damaskus. Gerakan Abdullah ini baru dapat dihancurkan pada masa
khalifah Abdul Malik pada tahun 693 M.
Adapun prestasi Dinasti Umayyah
1. Bidang Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah didirikan pos-pos yang pada
pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan. Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa
beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam pembangunan fisik adalah sebagai berikut:
a. Membangun pos-pos serta menyediakan kelengkapan peralatannya,
b. Membangun jalan raya,
c. Mencetak mata uang,
d. Membangun panti asuhan,
e. Membangun gedung pemerintahan,
f. Memblingun masjid,
g. Membangun rumah sakit, dan
h. Membangun sekolah studi kedokteran.
2. Perluasan Wilayah Kekuasaan.
Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjalankan ekspansi sebagai
berikut:
a. Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi',
b. Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur,
c. Menguasai Bizantium,
d. Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani,
e. Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan
Maroko,
f. Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni
Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova,
g. Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica,
h. Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand,
dan
i. Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.

D. Masa Kemunduran Dinasti Umayyah (724-743 M)

Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih
lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dri pihak
luar.
Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah
dan membawanya pada kehancuran, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi
Arab yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan
sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dikalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik
politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan
Khawarij terus terjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir
maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah.
Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara
(Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam
semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti Umayyah mendapat
kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan
Timur lainnya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas,
ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah
di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar golongan
awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat
dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa
dikelasduakan oleh pemerintah Dinasti Umayyah.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya
mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan orang-
orang Bani Abbasiyyah yang mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari Dinasti
Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang
berangsur-angsur melemah. Kekhalifan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh
yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti
Bani Abbasiyyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127
H/744 M.
III

Penutup

A. Kesimpulan

Mulai pada masa Muawiyyah bin Abu Sofyan ini banyak mengalami kemajuan
perkembangan yang cukup pesat. Pada masa Muawiyyah bi Abu Sofyan perluasan wilayah
yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di lanjutkan
kembali. Ekspansi ke Barat secara besar-besaran di lanjutkan di zama Al-Walid bin Abdul
Malik. Masa pemerintahan Al Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pembangunan di berbagai bidang. Muawiyyah bin Abu Sofyan mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang yang lengkap dengan peralatanya di
sepanjang dalam. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjatan dan mencetak mata
uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim atau qodhi mulai berkembang menjadi
profesi tersendiri. Qodhi adalah seorang spesialis di bidangnya.
Daftar Pustaka

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009).


Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Pesada, 2003).

Anda mungkin juga menyukai