Anda di halaman 1dari 8

Islam Struktural dan Islam Kultural

Judul Asli: Islam Struktural dan Islam Kultural*, Model Gerakan Islam: Sintesa dalam
Mencapai Masyarakat Madani

Sejarah Islam tidak dapat dipisahkan dengan sejarah peradaban Islam. Karena pada
hakikatnya sejarah Islam merupakan sejarah peradaban Islam itu sendiri. Berbagai
spekulasi dewasa ini berkembang di tubuh Islam. Isu-isu sekularisasi, partai Islam, dan
gerakan Islam menjadi perbincangan hangat pada lima dekade terakhir. Beragamnya isu-
isu yang berkembang diakibatkan oleh benturan-benturan antara peradaban barat dan
peradaban timur (clash of civilization). Ghawzul Fikr pun menjadi perang bergengsi
antara ilmuwan-ilmuwan muslim dan orientalis. Salah satu konsepsi yang menjadi topik
utama pada dekade ini adalah adanya kategorisasi Islam dalam wujud Islam struktural
dan Islam kultural. Dalam sejarah kemunculan Islam, tidak ada satu ulama pun yang
memberitakan adanya kategorisasi Islam struktural dan Islam kultural. Islam di masa
Rasulullah SAW adalah mencakup semuanya. Pemahaman syumulnya Islam didapat
dari Rasulullah SAW yang bersumber dari Allah SWT. Namun, dewasa ini karena
terjadinya pertarungan ideologi di seluruh dunia yang didukung dengan globalisasi, maka
ada sebuah fenomena menarik. Kajian pemikiran menunjukkan bahwa pertarungan-
pertarungan ini diakibatkan perbedaan secara prinsip dari masing-masing ideologi.
Perang pemikiran dalam hal ideologi tergambar jelas dalam sejarah peradaban manusia.
Di era perang dingin (cold war), perang ideologi komunis dan demokrasi menjadi
perseturuan yang berakhir pada kemenangan Demokrasi pada dekade 90-an.
Berakhirnya perang dingin menyebabkan Negara barat menjadi satu-satunya penguasa
di dunia. Negara yang mewakili peradaban barat adalah Amerika Serikat dengan ideologi
demokrasi liberalnya. Kekalahan komunis tidak menjadikan barat menjadi lengah. Oleh
karena itu dengan segera barat melakukan berbagai rekayasa sosial dan menjadikan
Islam sebagai the new enemy, menggantikan komunisme. Bernand Lewis[1] pernah
mengeluarkan statement “But a significant number of muslim … are hostile and
dangerous” dan For Almost a thousand years… Europe was under constant threat for
Islam. Statement ini dengan sangat jelas menggambarkan betapa barat sangat
mengkhawatirkan pergerakan Islam yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Hal
in dilatarbelakangi oleh sejarah kelam masa lampau dimana barat menjadi sangat sensitif
dan merupakan pihak yang paling ketakutan melihat Islam mencapai kejayaannya
kembali. Usaha-usaha untuk mendekonstruksi dan menjauhkan Islam dari pemeluknya
pun dijadikan proyek besar-besaran. Salah satu gerakan dekonstruksi Islam yang
dilakukan oleh barat adalah dengan dijadikannya pusat-pusat studi Islam di Negara barat
agar banyak para cendikiawan muslim yang bersekolah disana. Model pembelajarannya
pun diubah sama sekali. Tafsir Quran diganti dengan interpretasi hermeneutika yang
mengikuti kaidah interpretasi bible. Syumuliyatul Islam pun direka menjadi sebuah
konsep yang usang dan tak layak pakai sesuai dengan kepentingan politik barat dan yang
paling ekstrem adalah digencarkannya sekularisme dan pluralisme agama.
Tinjauan historis yang dilakukan oleh para pemikir Islam menyimpulkan bahwa
dekonstruksi Islam oleh barat disebabkan oleh ketakutan barat akan dijadikannya Islam
sebagai alat kekuasaan untuk memerintah manusia sebagaimana terjadi dalam the dark
age yang menimpa eropa pada saat mereka diperintah oleh kalangan gereja. Adanya
superioritas kalangan gereja disebabkan karena prinsip-prinsip dasar Kristen sudah tidak
sesuai lagi dengan kondisi zaman. Bahkan, sejak kemunculan agama Kristen hingga saat
ini, Yesus yang dipuja sebagai salah satu tuhan dari yang tiga bermasalah dalam
teologinya. Klaim Yesus sebagai tuhan baru muncul satu abad setelah Yesus disalib.
Yesus sendiri pun tak pernah mengklaim dirinya tuhan. Konsep teologi Kristen berasal
dari konsili nicea berdasarkan asas demokrasi/voting[2].
Kategorisasi Islam Struktural vs Islam Kultural
Islam Kultural sebagai sebuah gerakan Nampak sebagai sebuah gerakan dimulai
pada tahun 1970-an yang tergambar sebagai sebuah arus utama (mainstream) pemikiran
daripada sebuah gerakan yang tampak secara fisik, namun dampaknya dampaknya
dapat dirasakan terutama dalam menimbulkan wacana public dan penyadaran terhadap
umat Islam dalam menyikapi masalah sosial di sekitarnya[3]. Namun, gagasan Islam
kultural secara geneologis sebenarnya baru terstruktur pada saat Abdurrahman Wahid
(baca: Gusdur) mengungkapkannya dengan istilah indigenization of Islam (pribumisasi
Islam). Menurut Gusdur, Islam sebagai ajaran agama diakomodasikan ke dalam
kebudayaan masing-masing sehingga identitas kebudayaan masing-masing akan tetap
hidup dan tidak ada lagi pemurnian Islam atau penyamarataan dengan praktik
keagamaan di Timur Tengah.

Gerakan Islam secara kultural sebagaimana yang dipahamai Gusdur merupakan


jembatan yang menghubungkan antara agama dan kebudayaan. Artinya, pelaksanaan
Islam sebagai ajaran agama tidak harus mutlak sama persis dengan pelaksanaan Islam
di timur tengah. Konsepsi Islam kultural yang dibawa oleh Gusdur menekankan pada
aspek pluralisme dan moderat. Gusdur yang mengaimini pendapat Nurcholish
Madjid menjadikan slogan “Islam Yes, Partai Islam no” sebagai upaya membentuk nilai-
nilai Islam yang tidak secara yuridis diatur oleh undang-undang. Pemikiran Gusdur yang
cenderung liberal ini secara implisit ingin memfatwakan bahwa dalam membumikan nilai-
nilai Islam cukup dengan mendakwahkan Islam secara horizontal, tanpa dukungan partai
politik. Dengan kata lain, Gusdur ingin memberikan pendapat bahwa penerapan nilai-nilai
Islam hanya boleh berada pada domain budaya dan bukan yuridis (politik). Pendapat
Gusdur ini sejalan dengan bentuk Islam yang bersifat substansilistik yang dilontarkan
oleh Nurcholish Madjid Melalui makalahnya yang berjudul Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, ia melontarkan gagasannya mengenai
sekulerisasi dan anjurannya kepada kaum muslimin untuk membedakan mana yang
substansial dan transendental. Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan
terbentuknya ]negara Islam. Menurut pemikiran ini, yang paling penting adalah
dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi, dan
musyawarah. Dalam istilah Nurcholish Madjid, Islam kultural ini kemudian menjadi jelas
dengan sekularisasi atau desakralisasi dan penolakan terhadap negara Islam (Jamilludin,
2010)[4].
Pendapat yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid ini menjadi perbincangan yang tiada
habisnya. Ada dua kubu yang pro dan kontra terhadap pemikiran Nurcholish Madjid.
Kubu Pro diwaliki oleh Dawam Rahardjo dan Harun Nasution sedangkan kubu yang
kontra antara lain: Prof. Dr. H. M. Rasjidi, M. Natsir, Buya Hamka, Ismail Hasan
Matareum, dan Endang Saefuddin Anshari.
Arus pemikiran Islam kultural didasari pada nalar mentransformasikan Islam dalam
merespons perubahan sosial. Kemajuan pemikiran dalam masyarakat muslim sendiri dan
masyarakat luar muslim mengenai berbagai persoalan sosial menuntut jawaban yang arif
dan menghargai pandangan yang berbeda[5]. Dalam buku “Deradikalisasi Melalui “Islam
Budaya” yang ditulis oleh Syaiful Arif tampak dengan jelas bahwa Syaiful Arif sangat
mendukung pemikiran yang diinisiasi oleh Gusdur. Dalam sebuah resensi[6] buku ini
disebutkan bahwa pribumisasi Islam adalah proses, maka perwujudan kultural Islam
adalah hasil. Ia merupakan penjelmaan antropologis atas wujud Islam yang bersifat
kultural. Wujud kultural inilah yang menjadi lawan-banding dari radikalisme Islam. Artinya,
ketika kaum radikalis hendak mereislasmisasi masyarakat melalui Negara, maka agenda
ini akan terbentur oleh fakta antropologis di masyarakat yang menampakkan wujud
kultural Islam yang begitu kuat. Pada halaman 145 buku ini dengan lebih lanjut
menjelaskan, “ReIslamisasi Islam via politik akan sia-sia, sebab Islam telah mengkultur
dalam keseharian masyarakat. Akan tetapi, ReIslamisasi ini juga berbahaya, sebab ia
hendak menempatkan politik di atas kebudayaan. Pokok-pokok dari Islam kultural secara
tegas disampaikan oleh Nurcholish Madjid. Ia memaparkan pendapatnya pada makalah
yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam
makalah ini ada dua tema besar yang dibahas, yakni: Sekularisasi dan Slogan “Islam
Yes, Partai Islam No”. Sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid dimaksudkan
untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi (profane) dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan kata
lain, sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah desakralisasi terhadap
segala sesuatuselain hal-hal yang bersifat Illahiah (transedental), yaitu dunia ini. Apapun
didesakralisasikan. Sedangkan yang harus didesakralisasikan hanya Allah.

Pendapat di atas tidak lah benar. Pendapat Nurcholish Madjid dan Gusdur yang
cenderung liberal tidak dapat dijadikan acuan untuk mendefinisikan Islam kultural secara
ideal. Nurcholish dan Gusdur merupakan pemikir muslim yang banyak terpengaruh oleh
barat. Hasan Al-banna menjelaskan bahwa Islam adalah aqidah dan ibadah, Negara
dengan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan, moral dan material, peradaban dan
perundang-undangan. Sesunggunya seorang muslim dengan hukum Islamnya dituntut
untuk memperhatikan semua persoalan umat. Barangsiapa yang tidak memperhatikan
persoalan kaum muslimin, ia bukan termasuk golongan mereka[7]. Pendapat Hasan Al-
Banna ini berseberangan dengan pendapat Gusdur dan Nurcholish Madjid. Pemikiran Al-
Banna cenderung menitikberatkan pada dua dimensi keIslaman, dimensi struktural dan
dimensi kultural. Menurutnya, dimensi struktural dibangun untuk memayungi semua
penerapan syariah sedangkan dimensi kultural dibangun sebagai basis untuk
menyiapkannya masyarakat menuju Negara Islam yang menerapkan syariah secara
keseluruhan. Selain itu, Hamid Fahmi Zarkasyi dalam menjelaskan bahwa pendapat
Nurcholish Madjid sangat lah menyesatkan. Menduniakan hal-hal yang
bersifat duniawi dan mengukhrawikan hal-hal yang sifatnya ukhrawi merupakan bentuk
kesesaatan berpikir. Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, syahadat tidak dapat dipisahkan
secara dikotomis, iman secara setengah-setengah juga berdosa[8]. Pendapat yang
dikatakan Hamid Fahmi Zarkasyi ini dilatarbelakangi oleh sekularisasi yang terjadi di
Barat atas Kristen. Menurutnya, ide-ide Nurcholish Madjid yang tertuang pada
makalahnya merupakan modifikasi dari Bible. Islam Kultural dalam konteks kekinian tidak
relevan dengan pendapat Nurcholish Madjid. Dalam konteks kekinian, Islam kultural
merupakan proses dakwah yang dilakuka gerakan dakwah yang menitikberatkan pada
meleburkan diri dengan masyarakat, membangun atau mencitrakan nilai-nilai Islam
sehingga dapat mendarah daging dalam kultur masyarakat.
Gagasan Islam Struktural merupakan titik tolak dari Islam kultural. Jika Islam
kultural mengedepankan bagaimana proses peleburan dakwah di masyarakat, maka
Islam Kultural secara praktik melebarkan sayapnya ke zona-zona pemerintah/politik.
Islam Struktural adalah gerakan yang menghendaki revitalisasi nilai-nilai Islam dalam
kehidupan dunia[9], sedangkan Seyyed Vali Reza Nasr lebih suka menggunakan istilah
revivalisme. Menurutnya, revivalisme menyimpan makna yang lebih dalam, tidak hanya
menggambarkan fenomena gerakan penafsiran agama yang didasarkan pada tulisan
(scripture), akan tetapi juga merupakan gerakan yang sangat berkaitan dengan
persoalan-persoalan politik umat (commucal politics), pembentukan identitas (identitiy
formation), persoalan kekuasaan dalam masyarakat yang plural, serta mengenai
nasionalisme[10]. Sedangkan menurut Muhammad Sulthon (2003), Islam Struktural
adalah dakwah secara serius dan intensif mengupayakan Islam menjadi bentuk dan
mempengaruhi dasar Negara, untuk itu kecenderungan dakwah ini seringkali mengambil
bentuk dan masuk ke dalam kekuasaan, terlibat dalam proses eksekutif, yudikatif, dan
legislatif serta bentuk-bentuk struktur sosial, politik, ekonomi, guna menjadikan Islam
menjadi basis ideologi Negara, atau setidaknya memanfaatkan perangkat Negara untuk
mencapai tujuannya. Dalam definisi yang lain Islam struktural merupakan sebuah Negara
yang berorientasikan pada ajaran Islam. Negara Islam tidak identk dengan Islam itu
sendiri. Sebagai perbandingan, Islam bukan filsafat, tetapi ada filsafat Islam, yakni filsafat
yang berorientasi pada Islam. Hal yang sama, filsafat Islam tidak identik dengan Islam itu
sendiri[11]. Islam Struktural melihat bahwa akses dakwah akan menadi semakin mudah
manakala perangkat-perangkat pemerintah telah diposisikan menjadi pro Islamis. Hal ini
bukan tanpa alasan. Dengan masuknya Islam secara struktural, maka kebijakan-
kebijakan yang menyentuh pada level terendah masyarakat dapat dengan mudah
dilaksanakan. Contoh Struktural adalah partai Islam, yakni Masyumi, PKS, dan lain-lain.
Adanya sistem kepartaian ini merupakan bentuk yang berkembang dari sistem
demokrasi. Demokrasi yang didengungkan orang-orang sekular dan para propagandis
hukum positif bukan merupakan pemecahan final bagi kader amal Islami dalam realitas
gerakannya[12]. Oleh sebab itu, apabila Islam struktural di masa depan boleh jadi akan
berbeda dengan Islam struktural saat ini. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh sistem
perpolitikan yang terjadi dalam suatu Negara tertentu.
Pembahasan mengenai Islam struktural di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dengan berdirinya berbagai partai Islam dan gerakan-gerakan sosial Islam seperti PKS,
PBB, PAN, PKB, PBR, KAMMI, Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), dan lain-lain. Gerakan-gerakan partai dan gerakan mahasiswa
sebagaimana disebut di atas menemukan bentuknya kembali pasca Orde Baru. Berbagai
gerakan ini muncul sebagai counter terhadap keprihatinan dan demoralisasi yang terjadi
secara intensif.
Islam Kultural dan Islam Struktural: Model Gerakan Islam Ideal
Kategorisasi Islam Struktural dan Islam kultural bukan merupakan metode yang
baik untuk dapat melanggengkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Islam kultural
memang kuat dari sisi bagaimana membuat masyarakat itu paham akan Islam, namun di
sisi lain ia tidak kuat secara politik. Apabila hanya mengandalkan pada ukuran kultural
saja maka Islam tentu tidak dapat diberlakukan secara kaffah. Karena ada beberapa
penerapan hukum Islam yang hanya dapat dilakukan apabila model Negaranya adalah
Islam. Dalam realitas di lapangan, kita pun tak dapat menafikan bahwa saat ini tak ada
satuu gerakan dakwah pun yang sifatnya hanya struktural atau kultural saja. Contoh
gerakan dakwah seperti Jamaah Tarbiyah, Hizbut Tahrir, NU, Muhammadiyah, dan lain-
lain adalah sebagian kecil yang telah memadukan antara konsep Islam struktural dan
Islam kultural. Paduan antara Islam struktural dan Islam struktural dianggap lebih relevan
dalam ruang demokrasi. Mungkin memang benar adanya suatu harakah yang
dominannya ke Islam struktural atau Islam kultural, namun sebagimana harakah lainnya,
ia pasti akan memiliki kelemahan.

Studi Kasus Partai AKP (Adalet Kalkinma Partisi)


Pasca Kekhalifahan Turki Utsmani (1924), Negara Turki di bawah Musthafa
Kemal Pasha menjadi Negara Republik Sekuler. Dalam masa pemerintahan Mustafa
Kemal Pasha, terjadi berbagai proses sekularisasi yang ekstrem. Kemal Pasha
memeperkenalkan kehidupan modern barat dengan sebuah revolusi gila. Kemal pasha
di awal-awal kepemimpinanya langsung menghapuskan Bahasa Arab dan menggantinya
dengan bahasa latin, muslimah dilarang mengenakan jilbab, ratusan madrasah dan
masjid ditutup, pelbagai kelompok tarekat dibubarkan, Alquran dan Shalat dilarang
menggunakan bahasa arab, dan semua simbol agama dihapuskan. Sebagai gantinya
Kemal Pasha memperkenalkan simbol nasionalisme baru Turki yang berpijak pada
gagasan Turanisme (Turki Kuno)[13].
Seorang Samuel Huntington pernah menulis, “Gerakan Islamis Kultural sukses
membangun republic Islami alternative dalam konstruksi sekular yang gagal.[14]. AKP
sebagai partai politik dapat memainkan peran ganda. Peran politik dimainkan pada saat
pesta demokrasi sedangkan peran sosial dilakukan secara horizontal dalam kultur
masyarakat yang miskin yang berada di bawah rezim sekular. Dalam aspek ini, gerakan
AKP sebagai gerakan partai mampu untuk melakukan mobilitas vertikal dan mobilitas
horizontal, sehingga pada akhirnya AKP pun dalam pesta demokrasi memenangkan
pemilu.
Studi Kasus Partai PKS
PKS (Partai Keadilan Sejahtera) merupakan partai Islam yang terbentuk pada era
reformasi, persis setelah jatuhnya rezim orde baru. Kemunculan PKS dimulai dari
gerakan dakwah kampus, pelembagaan gerakan mahasiswa, dan gerakan politik. Jika
ditinjau dari gerakan dakwahnya, maka PKS juga menganut paduan antara Islam Kultural
dan Islam Struktural. Islam struktural dijewantahkan dalam slogan al-jamaah hiya al-hizb
wa al-hizb huwa al-jamaah, yang artinya gerakan adalah partai dan partai adalah
gerakan[15]. PKS sebagai gerakan dan partai sebenarnya merupakan klimaks dari
ketidakpuasan dari kaum intelektual yang didominasi oleh mahasiswa Islamis di kampus
yang cenderung sekularis. Seorang Ekonom Rizal Ramli menuturkan, “Waktu saya kuliah
di ITB akhir 1970-an, semua aktivitas politik mahasiswa ada di sekitar pusat kegiatan
mahasiswa (student center). Tapi sejak pemerintah membatasi aktivitas politik kampus,
student center mati. Sekarang semua aktivitas tersalurkan di masjid. Orang-orang muda
butuh tempat bagi sarana penyaluran aspirasi politik dan mereka akan caei mana pun
mereka bisa[16]. Sebagai partai, PKS memainkan perannya secara apik. Islam kultural
ia mainkan dengan sistem usrah[17]. Selain itu, PKS juga membangun gerakan sosial
dengan aktivisme Islam seperti membangun sekolah-sekolah Islam Terpadu, tanggap
bencana, dan lain-lain. Sebagai gerakan partai, PKS banyak ikut andil dalam mengambil
kebijakan UU yang berkaitan dengan kehidupan beragama di Indonesia. Tidak hanya itu,
PKS dengan ideologisasi Islamnya, banyak melakukan counter terhadap kebijakan luar
negeri Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia dengan cara melakukan aksi-aksi di
jalan. PKS ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi memainkan perannya sebagai partai
politik. Namun di sisi lain, ia juga memainkan perannya sebagai gerakan sosial yang
berlandaskan pada ideologi Islam sedang metodenya adalah demokrasi.
Studi Kasus Jamaah Islamiyah
Jamaah Tabliq (JT) meupakan sebuah gerakan dakwah yang didirkan idi
Kabupaten Saharanpur, anak benua India oleh Muhammad Ilyas bin Syaikh Muhammad
Ismail[18]. Jamaah Islamiyah yang berada di Negara induknya (Pakistan), memisahkan
agama dan politik. Setiap anggota tidak berhak mengkaji politik atau terjun dalam urusan
yang ebrhubungan dengan pemerintah. Atas dasar itu, mereka tidak terlibat dalam front
oposisi Pakistan. Jamaah Islamiyah merupakan gerakan Islam kultural. Ia tidak mau
melibatkan diri dalam kancah politik, sehingga secara umum, JT mendominasi dalam hal
meleburkan diri dengan masyarakat sebagai obyek dakwah.
*NB: Istilah Islam Kultural dalam konteks kekinian tidak sama dengan definisi Islam
Kultural menurut Nurcholish Madjid yang mendukung sekularisasi agama.

[1] Seorang pemikir sejarah dan politik AS paling berpengaruh sesudah perang dingin. Ia
pernah menulis buku Islam and the west dan the muslim discovery of Europe yang
menjadi referensi utama Pemerintah Amerika Serikat dalam membuat kebijakan
terhadap Negara-negara muslim di seluruh dunia. (Husaini, Adian. 2005. Wajah
Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema
Insani Press)
[2] Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press)
[3] Muslim Rengga dalam Kompasiana.com dengan judul “Islam Kultural ?” diakses oleh
Aries Setiawan pada tanggal 4 Septemebr 2012
[4] Ibid
[5] Mukhotib, M.D. 2010. Islam Politik VS Islam
Kultural. http://www.kompasiana.com/mukhotibmd diakses oleh Aries Setiawan pada
tanggal 4 Septemebr 2012
[6] Muhammad Yunus, Santri Pesantren Ciganjur
dalam http://www.rifaizaonline.co.cc/index.php/literatur/review-buku.html diakses oleh
Aries Setiawan pada tanggal 4 Septemebr 2012
[7] Al-banna, H. 2009. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2. Surakarta: Era Adicitra
Intermedia
[8] Zarkasyi, F, H. 2012. MISYKAT Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi.
Jakarta: INSISTS
[9] LihatSheila MC.Donough. Muslim Etnics and Modernity: A Comparative of the Ethnical
Thought of Sayyid Ahmad Khan and Mawlana Maududi. Canada: Canadian Corporation
for Studies in Regional, tahun 2000
[10] Seyyed Vali Reza Nasr. 1996. Mawdudi and the Making of Islamics Revivalism. New
York – Oxford: University Press, halaman 4
[11] Endang S. Azhari. Kritik atas Faham dan Gerakan Pembaharuan
[12] Shawi, Shalah. 2011. Ats Tsawabit Wal Mutaghayyirat: Prinsip-Prinsip Gerakan
Dakwah yang Mutlak dan Fleksibel. Surakarta: Era Adicitra Intermedia
[13] Dzakirin, Ahmad. 2012. Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi dan Kebijakan
AKP Turki Memenangkan Pemilu. Surakarta: Era Adicitra Intermedia.
[14] Ibid
[15] Muhtadi, Burhanuddin.2012. DILEMA PKS Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan
Popular Gramedia.
[16] Ibid
[17] Usrah adalah kelompok-kelompok kecil yang saling berrubungan secara dekat serta
dirajut melalui struktur hierarkis. Usrah merupakan sebuah sistem sel ynag diadopsi dari
gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin di Mesir.
[18] Muhammad Ilyas bin Syaikh Muhammad Ismail merupakan ulama yang bermadzab
hanafi. Beliau dilahirkan pada tahun 1303 H dan wafat tahun 1364 H. Keluarganya
penganut tarikat Jisytiyah, tarikat yang tersebar luas di benua anak India. Ayahnya dari
keluarga berada dan alim. Muhammad Ilyas mempelajari buu-buku dasar dan menghapal
Al-Quran di kampungnya, kemudian pergi ke Dyupandi setelah mengambil bai’at dari
pemimpin tarikat, Syaikh Rasyid Ahmad Katskuhi. (Husain bin Muhammad bin Ali Jabir,
M.A. 2011. Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem Jamaah dalam Gerakan Islam.
Jakarta: Robbani Press)

By: Aries Setiawan


Link: http://jogjaasahan.blogspot.co.id/2013/02/islam-struktural-dan-islam-kultural.html

Anda mungkin juga menyukai