Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

TAFSIR AYAT EKONOMI


Tentang
SEJARAH DAN PERKEMBANGASN ILMU TAFSIR

DI SUSUN OLEH:

RITA SUKRIA
19050101081

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI KENDARI
TAHUN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan salah-satu tugas
makalah yang berjudul “Sejarah dan perkembangasn ilmu tafsir ” tepat pada
waktunya. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan serta
ilmu pengetahuan terhadap penulis, pendengar sekaligus pembaca mengenai
materi Sejarah dan perkembangasn ilmu tafsir, penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada bapak, Mahfudz Lc., M.E selaku dosen bidang studi tafsir
ayat ekonomi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis pelajari.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu saran yang membangun akan Penulis nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Kendari, 11 Maret 2021

Penulis

RITA SUKRIA
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3

A. Latar Belakang.....................................................................................................3

B. Rumusan Masalah.................................................................................................3

C. Tujuan...................................................................................................................5

D. Manfaat.................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................6

SEJARAH DAN PERKEMBANGASN ILMU TAFSIR...........................................6

1. Tafsir Pada Masa Rasulullah Saw..................................................................9

2. Tafsir Pada Masa Sahabat............................................................................12

3. Tafsir Di Era Tabi’in Dan Tabi’u At-Tabi’in...............................................16

4. Tafsir Di Era Tdwin Al Haadis (Pembukuan Hadis)....................................24

5. Tafsir Di Era Kontemporer..........................................................................33

BAB III............................................................................................................................36

PENUTUP.......................................................................................................................36

A. Kesimpulan.........................................................................................................36

B. Saran....................................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................37
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu tafsir adalah ilmu pokok dalam Al-Qur‟an mengapa demikian?.
Sebab ilmu tafsir menjelaskan kalimat, serta huruf dalam Al-Qur’an.
Memahamkan Al-Qur‟an harus berdasarkan ilmu tafsir yang diberi otoritas
khusus oleh para Ulama. Tidak semua orang bebas menafsirkan Al-Qur‟an
kecuali para mufassiriin yang mempunyai kewenangan dalam menafsirkan
Al-Qur‟an. Alquran salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah
memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan
untuk manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci
melainkan juga petunjuk yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka
dalam memainkan peran sebagai manusia di muka bumi ini. Ibarat katalog
sebuah produk barang, Alquran adalah petunjuk bagi pengelola alam ini
sehinga berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya managemen dan
pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas
komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Karena itu, tafsir dan yang
berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal
perkembangan Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat
posisi sentral yang dimilikinya sebagai petunjuk.1
ilmu tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzul ayat, keadaan-
keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, nasikh-nya, „amnya,
muthlaq-nya, mujmal-nya, mufassar-nya (mufashshal-nya), halalnya,
haramnya, wa‟ad-nya, wa‟id-nya, amr-nya, nahyu-nya, i‟bar-nya, dan amsal-
nya.2

1
Ali Hasan Al-Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir (terj.).(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), 124.
2
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur‟an &
Tafsir(Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra, 2009),159.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Tafsir Pada Masa Rasulullah Saw?
2. Bagaimana Tafsir Pada Masa Sahabat?
3. Bagaimana Tafsir Di Era Tabi’in Dan Tabi’u At-Tabi’in?
4. Bagaimana Tafsir Di Era Tdwin Al Haadis (Pembukuan Hadis) ?
5. Bagaimana Tafsir Di Era Kontemporer?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui Tafsir Pada Masa Rasulullah Saw
2. Mengetahui Tafsir Pada Masa Sahabat
3. Mengetahui Tafsir Di Era Tabi’in Dan Tabi’u At-Tabi’in
4. Mengetahui Tafsir Di Era Tdwin Al Haadis (Pembukuan Hadis)
5. Mengetahui Tafsir Di Era Kontemporer
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Sebagai bentuk referensi bagi pembaca yang mempelajari mengenai
Historis dan perkembangasn ilmu tafsir. Sekaligus sebagai sarana belajar bagi
pembaca sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta mampu
mengiimplentasikan pengetahuan yang dipelajari tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGASN ILMU TAFSIR


Sejarah mencatat, penafsiran al-Qur'an telah tumbuh dan berkembang
sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini
didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah
melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan
kandungannya kepada Nabi. Dalam konteks ini Nabi berposisi sebagai
mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat. Penafsiran-penafsiran
yang dilakukan Nabi memiliki sifat-sifat dan karakteristik tertentu, 13
diantaranya penegasan makna (bayan al-tashrif); perincian makna (bayan al-
tafshil); perluasan dan penyempitan makna; kwalifikasi makna serta pemberian
contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran Nabi Saw terhadap ayat-ayat
al-Qur'an mempunyai tujuan, pengarahan (bayan irsyad), peragaan (thatbiq),
pembentukan (bayan tash hih) atau koreksi. Kemudian Al-Qur‟an turun
membawa hukum-hukum dan syariat secara berangsur-angsur menurut konteks
peristiwa dan kejadian selama kurun waktu dua puluh tahun lebih. Namun
hukum-hukum dan syariat ini ada yang tidak dapat dilaksanakan sebelum arti,
maksud dan inti persoalannya dimengerti dan difahami.
Pada saat al-Qur‟an diturunkan, Rosululloh Saw. menjelaskan kepada
para sahabat tentang arti dan kandungan ayat yang samar artinya. Keadaan ini
berlangsung sampai dengan wafatnya Rosul Saw. Jika pada masa Rosul Saw.
para sahabat bisa langsung menanyakan kepadanya, tetapi setelah beliau wafat
mau tidak mau mereka harus melakukan ijtihad, padahal masih banyak ayat al-
Qur‟an yang belum diketahui tafsirannya.
Di samping itu, para sahabat juga ada yang menanyakan tentang sejarah
nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur‟an kepada para tokoh
ahlul kitab yang telah memeluk agama Islam. Dari sini lahirlah benih-benih
israiliyat. Di samping itu, para sahabat juga mempunyai murid-murid dari
kalangan tabi‟in, sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan
tabi‟in, seperti Sa‟id bin Zubair, Ka‟ab Al-Ahbar, Zaid bin Aslam, Hasan Al-
Bashri dan lain-lain.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul Saw.,
penafsiran para sahabat, serta penafsiran tabi‟in, disebut tafsir bil ma‟tsur.
Masa ini disebut dengan periode pertama dalam perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi‟in, sekitar
tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode ini, hadis-hadis telah beredar dengan sangat pesat, dan
juga mulai bermunculan hadist-hadist palsu dan lemah di kalangan masyarakat.
Sementara itu, perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah persoalan
yang belum pernah terjadi pada masa nabi, sahabat dan tabi‟in.
Pada mulanya usaha penafsiran al-Qur‟an berdasar ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung
oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan berkembangnya laju masayarakat,
berkembangdan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam
penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula
oleh al-Qur‟an yang keadaannya dikatakan oleh „Abdullah Darraz dalam Al-
Naba‟ Al-Azhim: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak
mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan
melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.3
Muhammad Arkonoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis
bahwa: “al-Qur‟an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak
terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan
penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu
terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam
interpretasi tunggal.”
Corak-corak penafsiran yang terkenal antara lain. Pertama, Corak
Bahasa Arab, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk

3
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), 72.
Islam, serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang
keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur‟an di bidang ini.
Kedua,corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang
mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama
lain ke dalam Islam yang dengan atau tanpa sadar masih mempercayai
beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.Kesemuanya menimbulkan
pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
Ketiga,corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha
penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an sejalan dengan berkembangnya
ilmu. Keempat,corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqh, dan
terbentuknya madzhab-madzhab fiqih. Kelima,Corak tasawuf, akibat
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecendrungan berbagai
pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan. Keenam,bermula pada masa Muhammad Abduh, corak-corak
tersebut mulai berkurang dan perhatian mulai tertuju kepada corak sastra
budaya kemasyarakatan,yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk
ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat,
serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-
masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir al-Qur‟an berlangsung
melalui berbagai tahap dan kurun waktu yang panjang sehingga mencapai
bentuknya yang kita saksikan sekarang ini berupa tulisan berjilid-jilid
banyaknya, baik yang tercetak maupun yang masih berupa tulisan tangan.
Pertumbuhan tafsir al-Qur‟an dimulai sejak dini, yaitu sejak zaman hidupnya
Rasulullah Saw., orang pertama yang menguraikan Kitabullah al-Qur‟an dan
menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan Allah Swt. ke dalam
hatinya. Pada masa itu hanyalah Rasul yang bisa menjelaskan dengan rinci
pengertian dari ayat-ayat al-Qur‟an, adapun para sahabat hanya bisa merujuk
kepadanya dan mereka tidak berani menafsirkan karena beliau masih di sisi
mereka.
Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur'an tidak berhenti malah
boleh jadi semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring
dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong umat Islam generasi
awal sampai sekarang mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab
problematika umat.4
Berikut sejarah perkembagan ilmu tafsir :
1. Tafsir Pada Masa Rasulullah Saw
Pada zaman Rasulullah SAW masih hidup, penafsiran terhadap ayat-
ayat al-Qur‟an dilakukan oleh Rasulullah sendiri atas dasar wahyu dari
Allah SWT yang diterimanya lewat malaikat Jibril. Oleh sebab itu bisa
dikatakan penafsir al-Qur‟an yang pertama adalah Rasulullah SAW.5
Penafsiran al-Qur‟an yang dibangun oleh Rasulullah SAW adalah
menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dan menafsirkan al-Qur‟an
dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian terkenal dengan sebutan
al-Sunnah dan al-Hadits. Jika al-Qur‟an sifatnya murni semata-mata wahyu
Allah, baik teks lafal maupun maknanya, maka hadits kecuali hadits qudsi
pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat al-
Qur‟an. Dengan kata lain, sumber tafsir al-Qur‟an pada masa Rasulullah
SAW adalah al-Qur‟an dan Hadits. Adapun mufassir pada masa Rasulullah
pada hakikatnya adalah Rasulullah sendiri sebagai mufassir tunggal.6
Nabi Muhammad saw setiap menerima ayat Al-Qur’an, beliau langsung
menyampaikannya kepada para sahabatnya dan menafsirkan yang perlu
ditafsirkan. Penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an
adakalanya dengan ayat Al-Qur’an pula dan adakalanya dengan
Hadis/Sunnah,7 baik dengan sunnah qauliyyah, dengan sunnah fi`liyyah
4
M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk., Metodoogi Ilmu Tafsir, cet. I, teras, yogyakarta, 2005, h. 218-
225.
5
Orientasi Pengembangan Tafsir(Departeman Agama RI, 1989), 26.
6
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2(Jakarta: Pustaka Firdaus,2001),31,34.
7
Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu(Orasi PengukuhanGuru Besar, Ujung
Pandang; IAIN Alauddin, 28 April 1999), h. 24.
maupun dengan sunnah taqririyyah.8 Dan penafsiranayat Al-Qur’an
denganayat Al-Qur’an merupakan jalan penafsiran yang paling baik.9
Tetapi, tafsir yang diterima dari Nabi Muhammad saw sedikit sekali.
`Aisyah binti Abī Bakar, isteri Nabi sendiri mengatakan bahwa: Nabi
Muhammad saw menafsirkan hanya beberapa ayat Al-Qur’an sesuai dengan
petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Malaikat Jibril.10
Contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an
dengan ayat Al-Qur’an sesudahnya yaitu:
Firman Allah dalam Q.S.Maryam/19:71

Terjemahnya: Dan tidak ada seorangpun dari  padamu, melainkan mendat
angi neraka itu, hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu
kemestianyang sudah ditetapkan.

Hafşahbinti Umar memahami ayat di atas bahwa semua orang akan


masuk ke dalam neraka. Faham ini diperbaiki oleh Nabi Muhammad saw
dengan mengingatkan Hafşahakan lanjutan ayat tersebut yaitu:11

Terjemahnya: Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang
bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam
neraka dalam keadaan berlutut.

Adapun contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayatAl-


Qur’andengan ayat Al-Qur’an yang bukan sesudahnya yaitu:
Firman Allah dalam Q.S. al-An’ām/6:82

Terjemahnya: Orang-orang yang beriman dan tidakmencampuradukkan


iman mereka dengan kezaliman

8
M. Hasbi Ash Shiddieqy,op. cit.,h. 205.
9
Ahmad bin Taimiyyah,op.cit.,h. 93.
10
M. Hasbi Ash Shiddieqy,loc.cit.
11
Abd. Muin Salim,op.cit.,h.25
Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw dengan Q.S.
Lukman/31:13

Terjemahnya: Sesungguhnya syirik (mempersekutukan  Allah) adalah


benar-benar kezaliman yang besar.
Penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap Q.S. al An’ām/6:82denganQ.S.L
ukman/31:13disebutkan dalam sebuah Hadis yangditakhrijkan oleh Imamal-
Bukhārī dalam kitabşahīhnya yaitu:

Terjemahnya: Dari Abdullah r.a., dia berkata:  Ketika turun ayat
sahabat-sahabat berkata: Siapakah di
antara kita  yang  tidak menganiaya dirinya ? Maka turunla
h ayat  (Sesungguhnya syirik adalah
benar-benar aniaya yang besar).

Jadi pada dasarnya ketika Rasulullah SAW masih hidup semua yang
berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an dikembalikan kepada beliau.
Rasulullah SAW merupakan penafsir pertama. Namun, bukan berarti semua
ayat al-Qur’an telah Rasullah tafsirkan. Karena apa yang beliau tafsirkan
hanya yang sesuai dengan petunjuk dari Jibril dan setiap ayat yang
dipertanyakan oleh para Sahabat.
Kata ’Aisyah ra: ”Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja, menurut
petunjuk-petunjuk yang diberi Jibril”. Rasulullah SAW menafsirkan al-
Qur’an mengikuti hawa nafsunya atau fikiran beliau sendiri, tetapi menurut
wahyu Allah. Beliau menanyakan kepada malaikat Jibril demikian juga
malaikat Jibril tidak menafsirkan menurut kemampuannya sendiri tetapi
menyampaikan apa yang diterinya dari Allah SWT.
Kegiatan penafsiran pada masa ini masih berupa penyampaian dari mulut
ke mulut yang menurut istilah ahli tafsir adalah Musyafahah. Selain itu,
tafsir pada masa awal pertubuahan Islam disusun pendek-pendek dan
tampak ringkas, karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu
cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al-Qur’an.
2. Tafsir Pada Masa Sahabat
Pasca wafatnya Nabi Muhammad, proses penafsiran berlanjut pada
generasi sahabat, mempelajari tafsir bagi para sahabat tidaklah mengalami
kesulitan, karena mereka menerima langsung dari Shahib al-Risalah
(pemilik tuntunan), mereka mudah memahami al-Qur’an, karena dalam
bahasa mereka sendiri dan karena suasana turunnya ayat dapat mereka
saksikan.12 Setelah mendapat tuntunan dan ajaran tafsir dari Nabi
Muhammad, kemudian para sahabat merasa terpanggil ambil bagian dalam
menafsirkanal-Qur’an,13 penafsiran sahabat terhadap al-Qur’an senantiasa
mengacu pada inti dan kandungan al-Qur’an, mengarah kepada penjelasan
makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat
serta menggambarkan makna yang tinggi.14 Namun, mereka
tidakmenambahnya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang terkandung
didalamnya.15
Setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian para sahabat dalam
menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad. Namun tidak semua
sahabat melakukan ijtihad, hanya dilaksanakan oleh para sahabat yang
kapasitas keilmuannya maupun militansinya mumpuni. Disamping
menggalakkan ijtihad, dalam menafsirkan persoalan tertentu, seperti kisah
dalam al-Qur’an atau sejarah Nabi terdahulu, para sahabat berdialogdengan
ahli kitab Yahudi dan Nasrani. Dan dari proses inilah dikemudian hari
muncul kisah Israiliyyat dalam kitab tafsir.16
Dalam pada itu, para sahabat adalah orang-orang yang paling mengerti
dan memahami al-Qur’an, akan tetapi para sahabat itu sendiri mempunyai

12
M. Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Jakarta:Bulan
Bintang, 1954), h. 207
13
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 54
14
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah Dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1992), h. 11
15
Syaikh Muhammad Shaleh al-‘Utsaimin, Muqaddimmat Al-Tafsir Ibnu Taimiyyah,
(Kairo:Dar Ibnu Hazm, 2009), h. 54
16
Saiful Amin Ghofur, Profil Mufassir Al-Qur’an, h.13
tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami al-Qur’an. Faktornya karena
perbedaan tingkatan kecerdasan. Adapun penyebab perbedaan
tingakatannya ialah:
1. .Walaupun sahabat adalah orang yang berbahasa arab, tetapi pengetahuan
mereka berbeda pengetahuan tentang sastra, gaya bahasa, dan adat
istiadat.
2. Ada beberapa kedekatan antara Nabi Muhammad dengan sahabat,
sehingga selalu mendampingi kemanapun Nabi pergi dan mengetahui
sebab turunnya al-Qur’an.
3. Perbedaan perbuatan para sahabat tentang adat istiadat dan perbuatan,
perkataan, pada masa Arab Jahiliyyah.
4. Perbedaan tingkat pengetahuan sahabat mengenai orang Yahudi dan
Nashrani.17
Pada periode sahabat ini, banyak permasalahan yang terjadi, yaitu
hadits-hadits telah beredar pesat dan bermunculan hadits-hadits palsu dan
lemah di tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin
menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau
dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad.18
Secara umum sumber dan metode yang ditempuh sahabat dalam
menafsirkan al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-
Qur’an dengan hadits, dan ijtihad, ragam qira’at dan informasi dari para ahli
kitab yahudi dan nashrani, kebahasaan.19
1. Al-Qur’an dengan al-Qur’an
Sumber utama penafsiran sahabat adalah al-Qur’an sendiri, yakni
pernyataan al-Qur’an yang mempunyai relevansi yang sama dengan
pernyataan al-Qur’an ialah yang sedang dibahas ditafsirkan,
sekalipun demikian, para sahabat tetap merasa perlu untuk

17
Fatihuddin, Sejarah Ringkas Al-Qur’an Kandungan Dan Keutamaannya, h. 22
18
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 72
19
Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Tafsir, h. 37
mendiskusikan dan mengkaji sebagian ayat yang maknanya sangat
dalam dan jauh dari yang bisa dicapai. 20
2. Al-Qur’an dengan Hadits
Sunnah atau hadits Nabi adalah merupakan sumber yang penting
dalam menafsirkan al-Qur’an. Para sahabat selalu akan merujuk
terlebih dahulu kepada sunnah. Hadits dijadikan sebagai sumber
dalam menafsirkan al-Qur’an oleh para sahabat karena banyak hadits
yang terdapat penjelasan ayat-ayat yang musykil yang ditanyakan
para sahabat kepada Nabi. Namun, walaupun hadits merupakan
penafsir al-Qur’an perlu diteliti kembali otentisitas hadits, apakah ia
benar-benar hadits yang berasal dari Nabi atau bukan.21
3. Ijtihad atau Akal
Sumber atau metode ijtihad adalah proses yang dilakukan oleh
para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an dengan carapendapat atau
pemikirannya sendiri. Jika mereka tidak mendapatkan penjelasan dari
Rasulullah, maka mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan
segenap kemampuan. Para sahabat melakukan ijtihad atau istinbath
dengan memanfaatkan kekuatan akal sehat, berbekal kepada
pengetahuan dan aspek bahasa yang dikuasai. 22 Pada mulanya
menafsirkan dengan menggunakan ijtihad masih sangat terbatas dan
terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti yang dikandungnya
pada suatu kosakata.23
4. Ragam Qira’at
Pengertian qira’at yaitu beberapa bacaan. Menurut al-Zarkasyi
adalah sistem penulisan dan artikulasi lafadz yang memiliki ragam
variasi.24 Keragaman variasi qira’at memberikan penafsiran terhadap
al-Qur’an di masa sahabat.

20
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah Dan Metodologi Tafsir, h. 16
21
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 58
22
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 60
23
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 72
24
Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at Al-Qur’an Di Nusantara, (Jakarta:Pustaka STAINU,
2008), h. 21
5. Informasi dari Para Ahli Kitab Yahudi dan Nashrani
Informasinya berupa pengkabaran yang berasal dari orang-orang
yang ahli kitab kalangan Yahudi dan Nashrani.25 Sebagaimana
diketahui bahwa terdapat kesamaan antara al-Qur’an dengan kitab
Taurat dan Injil dalam beberapa masalah tertentu, seperti dalam
beberapa cerita-cerita Nabi dan umat terdahulu. Tujuan al-Qur’an
memuat cerita Nabi dan umat terdahulu yaitu untuk sekedar
tamsildan ibarat saja. Para sahabat mengambil keterangan dari ahli
kitab yang telah masuk islam, seperti ‘Abd Allah bin Salam, Ka’ab
bin Akhbar, dan Wahhab bin Munabbih.26
6. Kebahasaan
Para shabatpun menggunakan bahasa Arab sendiri untuk
menafsirkan al-Qur’an. Salah satu sahabat yang menggunakan
penafsirandengan ranah kebahasaan yaitu Ibn Abbas. Ibnu Abbas
yaitu seorang sahabat yang memiliki wawasan pengetahuan yang luas
tentang bahasa Arab, syair dan sejarah masa Arab jahiliyyah.
Berdasarkan hal tersebut, Ibnu Abbas dijuluki sebagai tarjuman al-
Qur’an(penerjemah al-Qur’an). Tidak ada kosakata asing dalam al-
Qur’an, kecuali dia mengetahui asal-usul pengambilannya.
Adapun karakteristik tafsir pada masa saahabat adalah sebagai berikut ;
1. Penafsiran sahabat bersifat universal (ijmali) dan belum merupakan
tafsir utuh. Artinya al-Qur’an tidak ditafsirkan semua, hanya ayat-
ayat tertentu yang dianggap sulit pengertiannya yang diberi tafsiran.
2. Penafsiran pada saat itu masih sedikit terjadi perbedaan dalam
memahami al-Qur’an, sebab kebanyakan masih menggunakan
riwayat dari Nabi dan problem yang dihadapi umat pada waktu itu
tidak serumit sekarang.
3. Membatasi penafsiran dengan dengan penjelasan berdasar makna
bahasa yang primer dan belum muncul corak.

25
Fatihuddin, Sejarah Ringkas Al-Qur’an Kandungan Dan Keutamaannya, h. 24
26
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 63
4. Belum ada pembukuan tafsir. Pembukuan tafsir baru muncul pada
setelah abad ke 11 H. Meskipun sudah ada shahifah yang berisi
tafsir, tapi oleh para mufassir muta’akhirin dianggap sebagai bentuk
catatan belaka.
5. Penafsiran saat itu masih merupakan bentuk pengembangan dari
hadits.27
Adapun kelebihan penafsiran masa sahabat dapat dijadikan sumber
rujukan, ada beberapa pertimbangan tentang keutamaan para sahabat, antara
lain :
1. Para sahabat menyaksikan langsung turunnya al-Qur’an dan
mengetahui langsung hal yang berkaitan dengan al-Qur’an dan
tafsirnya.
2. Para sahabat pemilik bahasa yang dengannya al-Qur’an diturunkan.
3. Para sahabat mengetahui kepada siapa ayat al-Qur’an ditujukan.
4. Para sahabat mengetahui tujuan yang baik.
5. Para sahabat memiliki pemahaman yang baik.28

3. Tafsir Di Era Tabi’in Dan Tabi’u At-Tabi’in

Setelah periode pertama berakhir yang ditandai dengan berakhirnya


generasi sahabat, maka mulailah periode kedua atau periode tabi‘in yang
belajar dan menerima langsung riwayat dari sahabat.
Perkembangan tafsir pada masa tabi’in yang dimulai sejak berakhirnya
tafsir masa sahabat. Tafsir pada masa sahabat dianggap berakhir dengan
wafatnya tokoh-tokoh mufassir sahabat yang dulunya menjadi guru para
tabi’in dan digantikan dengan tafsir para tabi’in. Penafsiran Nabi
Muhammad dan para sahabat tidak mencakup semua ayat al-Qur’an dan
hanya menafsirkan bagian-bagian al-Qur’an yang sulit dipahami orang pada
masa tersebut, menjadikannya muncul problem baru, yakni bertambahnya
persoalan yang baru.

27
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 68
28
Rosihon Anwar, dkk, Ilmu Tafsir, h. 44
Pengaruh utama yang melatar belakangi dalam perkembangan tafsir
pada masa tabi’in yaitu ketika wilayah kekuasaan Islam semakin meluas,
ketika ekspansi Islam yang semakin meluas, maka hal itumendorong tokoh-
tokoh sahabat berpindah ke daerah-daerah dan masing-masing membawa
ilmu, dari tangan inilah kemudian para tabi’in sebagai murid dari para
sahabat menimba ilmu.29 Sebagai hasil nyata dari penaklukan para tentara
Islam ke wilayah atau negara sekitarnya para sahabat pun banyak yang
berpindah ke wilayah baru yang ditaklukkan, termasuk juga sahabat yang
ahli dalam bidang tafsir al-Qur’an. Di wilayah baru, para ahli tafsir kalangan
sahabat banyak yang mendirikan madrasah-madrasah tafsir. Dari situlah
kajian tafsir al-Qur’an mulai mengalami perkembangan yang sangat pesat di
kalangan generasi setelah sahabat yakni kalangan tabi’in. Madrasah yang
didirikan oleh para sahabat itupun kemudian banyak yang menyebar ke
wilayah-wilayah lain.30
Dari madrasah-madrasah sahabat itu terhimpunlah tafsir bi al-ma’tsur
(tafsir atsariy) yang sebagainnya disandarkan pada Nabi, sedangkan
kebanyakannya disandarkan pada sahabat, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud, akan tetapi himpunan tafsir tersebut banyak dicampuri oleh
israiliyyat yang dapat merusak tafsir yang benar, atau memalingkan dari
makna sebenarnya. 31
Tatacara para sahabat mentransfer dalam menafsirkan al-Qur’an dengan
cara talaqqi (mengajari secara langsung) seperti halnya mempelajari hadits.32
Para tabi‘in yang termasyhur dalam ilmu tafsir adalah murid-murid
Ibnu ‘Abbas, murid-murid Ibnu Mas‘ud dan murid-murid Ubaybin Ka‘ab.
Murid-murid Ibnu ‘Abbas yang termasyhur, Yaitu: Mujāhid
binJabar,‘Aţā’ bin Abī Rayāh, ‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair,Ţāwūs. Sedangkan
murid-murid Ibnu Mas‘ud yang termasyhur, yaitu:‘ Alqamahbin

29
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 77-79
30
Imam Musbikin, Mutiara Al-Qur’an Khazanah Ilmu Tafsir Dan Al-Qur’an, h. 11
31
M. Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, h. 223
32
Syaikh Muhammad Shaleh al-‘Utsaimin, Muqaddimmat Al-Tafsir Ibnu Taimiyyah, h. 65
Qais,Masrūqbin al-Ajda‘,al-Aswad bin Yazid, Murrah bin al-Hamdanī,
‘Amir al-Sya‘bī, al-Hasan al-Başrī dan Qatādah
Adapun murid-murid Ubaybin Ka‘ab yang termasyhur, yaitu:Zaid bin
Aslam, Abu al-’Āliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazī.
Kalau sahabat-sahabat Nabi Muhammad sawy ang ahli dibidang tafsir
menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya atau dengan pendapatnya, maka
tabi`in yang ahli di bidang tafsir juga menafsirkan Al-Qur’an dengan
ijtihadnya. Dengan demikian Sumber dan Metode Tafsir di Masa Tabi’in
Para mufassir di kalangan tabi’in berpegang teguh pada kita bullah dan
sumber-sumber lain sebagai rujukan bagi tafsir mereka tentang kitabullah.
Sumber-sumbernya yaitu :
1. Ayat al-Qur’an yang menjadi penafsir bagi ayat yang lain yangmasih
universal.
2. Hadits Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrir
(persetujuan).
3. Semua informasi yang didengar oleh tabi’in dari Nabi Muhammad dan
para sahabat.
4. Menerima dari ahli kitab, selama keterangan tersebut tidak bertentangan
denganal-Qur’an.
5. Hasil perenungan dan ijtihad dan pemikiran mereka atas al-Qur’an
sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat.33
Metode yang dipakai para tabi’in sama dengan yang dipakai oleh para
sahabat. Hanya saja di kalangan tabi’in sudah mulai dimasuki oleh
israiliyyat, Meskipun israiliyat banyak diwarnai oleh kalangan Yahudi,
kaum Nasrani juga turut ambil bagian dalam konstelasi penafsiran versi
israiliyat ini. Hanya saja dalam halini kaum Yahudi lebih populer dan
dominan. Karena kaum Yahudi lebih diidentikkan lantaran banyak di antara
mereka yang akhirnya masuk Islam.34 Di samping karena kaumYahudi lebih

33
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-TafsirAl-Qur’an,h. 48
34
Jurnal Israiliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Tafsir al-Quran yang di tulis oleh
Raihanah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN
Antasari, Banjarmasin, h. 102
lama berinteraksi dengan umat Islam .terlebihi tu banyak terjadi
pemotongan sanad dan pemalsuan hadits. Dan kemudian metode ijtihad
masih digunakan pada masa tabi’in berdasarkan latar belakang, yaitu :
pertama, karena penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat belum
mencakup semua ayat al-Qur’an. Kedua, jauhnya sebagian tempat mereka
dari pusat studi hadits, sehingga ketika tidak mendapatkan hadits atau qaul
sahabat, mereka menggunakan ra’yu untuk berijtihad dalam memahami al-
Qur’an. Bahkan mereka bergerilya ke berbagai wilayah, sehingga
berdampak pada corak tafsir yang berbeda.35
Nilai Tafsir Tabi’in Sehubungan dengan hasil ijtihad tabi’in, ulama
memberikan penilaian mengenai hal tersebut:
1. Apabila penafsiran tabi’in mencakup asbab al-nuzul dan hal-hal yang
ghaib, memiliki kekuatan hukum marfu, seperti tafsir Mujahid.
2. Apabila penafsiran tabi’in merujuk pada Ahli Kitab, hukumnya seperti
penafsiran isra’iliyat (maksudnya hadis isra’iliyat).
3. Apa yang di sepakati oleh tabi’in dapat menjadi hujjah.
4. Jika terdapat perbedaan pendapat, pendapat yang satu tidak dapat
mengalahkan pendapat lainnya.
5. Jika tafsir tabi’in tidak ada yang menentang, tafsir ini lebih rendah
daripada tafsir sahabat. Akan tetapi, nilainya lebih berharga apabila
dibandingkan dengan tafsir generasi setelah mereka.36
Kedudukan Penafsiran Tabiin. Ulama berbeda pendapat dalam
menyikapi penafsiran tabiin ketika tidak ada riwayat dari Rasulullah saw
atau dari sahabt.Ada duasikap ulama terhadap penafsiran tabiinyaitu:
menerima atau menolak. Ulama menolak penafsiran tabiin dengan alasan:
1. Tidak adanya kemungkinan seorang tabiin mendengar langsung dari
Rasulullah saw.

35
Abdul Mustaqim, Dinamika Tafsir Al-Qur’an,h. 81
36
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta:Amzah, 2014),h.48
2. Tabiin tidak menyaksikan berbagai kondisi mengenai turunnya ayat Al-
Qur’an, sehingga kemungkinan mereka salah dalam memahami maksud
ayat.
3. Status tabiin tidak dinaskan seperti status adil para sahabat. Abu
Hanifah berkata: Apa yang datang dari Rasulullah saw, maka aku
terima bulat-bulat. Apa yang datang dari sahabat, maka aku pilah-pilah.
Dan apa yang datang dari tabiin, maka mereka manusia danakupun
manusia.
Akan tetapi, umumnya mufassir berpendapat bahwa ucapan tabiin
dalam bidang tafsir dapat diterima sebagai acuan, karena tabiin mengutip
sebagian besar penafsiran sahabat. Sebagaimana kata Mujahid bahwa: Aku
membaca mushaf di hadapan Ibnu `Abbās sebanyak tiga kali, dari surah al-
Fātihah sampai surah al-Nās. Aku berhenti pada setiap ayat dan
menanyakan kepadanya.
Karakteristik TafsirTabi’in
Pada masa ini, corak tafsir bi al-riwayah masih mendominasi, karena
para tabi’in meriwayatkan tafsir dari para sahabat sebagaimana juga para
sahabat mendapatkan riwayat dari Nabi Muhammad. Meskipun sudah
muncul ra’yu dalam menafsirkan al-Qur’an, tetapi unsur periwayatan lebih
dominan.
Adapun karakteristik tafsir pada masa tabi’in secara ringkas dapat
disimpulkan seperti berikut :
1. Pada masa ini, tafsir belum juga dikodifikasi secara tersendiri.
2. Tradisi tafsir juga masih bersifat hafalan melalui periwyatan.
3. Tafsir sudah mulai dimasuki oleh cerita israiliyyat, karena keinginan
sebagian tabi’in untuk mencari penjelasan secara detail mengenai
unsur cerita dan berita dalam al-Qur’an.
4. Sudah mulai banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabi’in
dengan para sahabat.37

37
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 82
5. Tafsir mereka senantiasa dipengaruhi oleh kajian-kajian dan riwayat-
riwayat menurut corak yang khusus identitas dengan tempat belajar
masing-masing.
6. Di masa tabi’in mulai timbul kontroversi-kontroversi dan perselisihan
pendapat seputar tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara
akidah.38
Secara garis besar tokoh dan aliran tafsir pada masa tabi’in dapat
dikategorikan menjadi tiga sesuai dengan tempatnya, seperti sebagai
berikut:
1. Tokoh dan Aliran Mekkah Aliran ini didirikan oleh murid dari ‘Abd
Allah bin Abbas, seperti ; Said bin Jubair, ‘Atha bin Abi Rabbah,
Ikrimah Maula Ibnu Abbas dan Thawus bin Kisan Al-Yamani. Mereka
semua merupakan maula (hamba sahaya yang telah dibebaskan). Aliran
ini berawal dari keberadaan Ibnu Abbas sebagai guru tafsir yang berada
di Mekkah yang mengajar tafsir pada sahabat.
2. Tokoh dan Aliran MadinahAliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka’ab
yang didukung oleh sahabat-sahabat yang lain berada di Madinah dan
kemudian dilanjutkan oleh tabi’in Madinah seperti Abu Aliyah, Zaid
bin Tsabit, Zaid bin Aslam Dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
Aliran tafsir Madinah muncul karena banyaknya sahabat yang menetap
di Madinah. Pada aliran tafsir Madinah telah ada sistem penulisan pada
naskah-naskah dari Ubay bin Ka’ab melalui Abu Aliyah dari Rabi Abu
Ja’far al-Razy. Dengan demikian penafsiran pada masa Madinah sudah
timbul tafsir bi al-Ra’yi.
3. Tokoh dan Aliran IraqAliran Iraq ini dipelopori oleh Abd ‘Allah ibn
Mas’ud (dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal aliran bi al-
Ra’yi) dan dilindungi oleh Gubernur Iraq. Berawal dari perintah
Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Yasir sebagai Gubernur di

38
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an, h. 48
Kuffah dari Ibnu Mas’ud sebagai ulama di Kuffah, penafsiran ini
akhirnya banyak diikuti di Iraq.39
Generasi Tabi’i al-Tabi’in (generasi ketiga kaum muslimin)
meneruskan ilmu yang mereka terima dari para Tabi’in. Mereka
mengumpulkan semua pendapat dan penfsiran al-Qur’an yang dikemukakan
oleh para ‘ulama terdahulu, kemudian mereka terangkan kedalam kitab-
kitab tafsir. Seperti yang dikemukakan oleh Sufyan bin Uyainah, Rauh bin
‘Ubadah al-Basri, ‘Abd al-Razzaq bin Hammam, Adam bin Abu Iyas. Tafsir
golongan ini sedikitpun tidak ada yang sampai pada kita, yang kita terima
hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka, seperti termuat
dalam kitab-kitab tafsir bi al-Ma’tsur.
Secara epistemologi, telah terjadi pergeseran mengenai rujukan
penafsiran antara sahabat dengan tabi’in dan tabi’i al-tabi’in. Jika pada masa
sahabat, mereka tidak begitu tertarik dengan menggunakan israiliyyat dari
para ahli kitab, maka tidak demikian halnya pada masa tabi’in dan tabi’i al-
tabi’in yang sudah mulai banyak menggunakan referensi israiliyyat sebagai
penafsiran, terutama penafsiran ayat-ayat yang berupa kisah dimana al-
Qur’an hanya menceritakan secara global. Faktor utama pengaruh adanya
kisah israiliyyat dalam tafsir pada masa tabi’indan tabi’i al-tabi’in yaitu
adalah banyaknya ahli kitab yang masuk Islam dan paratabi’in ingin
mendalami informasi dengan detail mengenai kisah-kisah yang masih global
dari mereka.
Adapun pergeseran yang terjadi, mulai dari masa sahabat ke tabi’in
tersebut, namun yang jelas tradisi penafsiran al-Qur’an itu tetap tumbuh dan
berkembangsampai dengan pada tahun 150 H dengan berakhirnya masa
tabi’in yang kemudian dilanjutkan dengan tabi’i al-tabi’in. Karena pada
masa Nabi, sahabat, tabi’in merupakan masa dimana penafsiran pada awal
dan pertumbuhan dan pembentukan tafsir, maka menurut hemat penulis,
masa tersebut dinamakan dengan masa formatif atau dengan bahasa lain
disebut dengan masa pembentukan.

39
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 79
Meskipun demikian, al-Qur’an justru masih terbuka secara luas untuk
ditafsirkan dan belum banyak klaim-klaim kufr terhadap orang yang
menfsirkan secara berbeda dari mainstream pemikiran yang ada, kecuali
beberapa saja yang terjadi pada masa tabi’in.Tfsir-tafsir yang muncul pada
masa formatif-klasik ini masih sangat kental dengan nalar bayani dan
bersifat deduktif, dimana teks al-Qur’an menjadi penafsiran dasar dan
bahasa menjadi perangkat analisisnya. Itulah sebabnya menurut Nashr
Hamid Abu Zaid sering menyebut bahwa peradaban Arab identik dengan
peradaban teks, dengan kata lain, mereka lebih suka menggunakan ‚nalar
langit ‛(deduktif) daripada‚ nalar bumi‛(induktif).40
Pada masa tabi’i al-tabi’i inilah mulai disusun kitab-kitab tafsir yang
berukuran besar yang cukup banyak. Tafsir pada masa ini biasanya
menggunakan aqwal al-shahabah(perkataan shahabat) dan tabi’in.
Diantara nama-nama yang patut disebut dari angkatan ini ialah : Sufyan
bin Uyainah, Waki’ bin Al-Jarrah, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yazid bin Harun,
‘Abd Al-Razzaq, Adam bin Abi Ilyas, Ishaq bin Rahawaih, Rawah bin
Ubadah, Abid bin Humed, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Ali bin Abi
Thalhah, Al-Bukhari dan lain-lain. Pada masa ini kemudian mulai muncul
kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur. Kemudian angkatan berikutnya muncul :
Ibnu Jarir Al-Thabari Dengan Kitabnya yang Mashur, Ibnu Abi Hatim, Ibnu
Majjah, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Ibnu Hibban dan lain-lain.41
Masa pembukuan dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal
dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadits mendapat prioritas utama
pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah
satu dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini belum
dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir surat demi surat daan
ayat demi ayat dari awal al-Qur’an sampai akhir.
Perhatian segolongan ulama terhadap periwayatan tafsir yang
dinisbahkan pada Nabi Muhammad, sahabat atau tabi’in sangat besar

40
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, h. 85-87
41
Ali Hasan, dkk, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta, PT. Bulan Bintang,1992), h. 162
disamping perhatian terhadap hadits. Dan adapun tokoh-tokohnya yang
sudah disebutkan diatas. Sesudah golongan ini, kemudian datanglah
generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independent serta
menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah sendiri.
Mereka menfsirkan al-Qur’an sesuai dengan sistematika tertib al-Qur’an.
Tafsir di masa ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad, sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in dan terkadang disertai
pen-tarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan
penyimpulan (istinbath) sejumlah penjelasan kedudukan kata (i’rob) jika
diperlukan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Jarrir Al-Thabari.
Ilmu semakin berkembang pesat, pembukuannya mencapai
kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus
meningkat, masalah-masalah ‚kalam’semakin berkobar, fanatisme madzhab
menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional bercampurbaur
dengan ilmu-ilmunaqli serta setiap golongan berupaya mendukung
madzhabnya masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir ternoda polusi
udara tidak sehat. Sehingga mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an
berpegang eguh pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai
kecenderungan.42
4. Tafsir Di Era Tdwin Al Haadis (Pembukuan Hadis)

Periode ini dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2
Hijriyah. Masa tadwin ini dimulai dari awal zaman Abbasiah. Para ulama
saat itu mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat
dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat,
kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun
demikian, ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai
dengan susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama
mengumpulkan hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang

42
Manna Khalil Al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Drs. Mudzakir AS(Bogor:
Pustaka Litera Antarnusa, 2009), h. 476-477
tafsir. Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari
berbagai kota. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi
daerah ini adalah : Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu
Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-
hadis lainnya dan disusun tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut
penelitian Ibnu Nadim, orang yang pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an menurut tertib mushaf adalah al-Farra’. Ia melakukannya atas
permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan tafsirnya kepada murid-
muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
berkembang pula ilmu tafsir. Para ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-
Kisaiy mengi’rabkan al-Qur’an. Para ahli nahwu dan bahasa menyusun
kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu Para ulama saat
itu mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan
tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat,
kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun
demikian, ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai
dengan susunan mushaf.
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu :
a. Periode Pertama
Pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang
masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadis yang telah dibukukan
sebelumnya.43 Pembukuan tafsir dilakukan secara bersama-sama dengan
pembukuan hadis. Hadis dibukukan dengan beberapa bab dan tafsir
merupakan salah satu dari bab-bab tersebut. Seperti kitab toharoh, bab
shalat, bab zakat, kitabu haji, dan yang lainnya, namun dalam salah satu
babnya terdapat bab tentang penafsiran al-Qur’an.44  Bahkan dikatakan
43
M. Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972), 237.
44
Fahri bin Abdurrahman. Usul Tafsir wa manahaju, Maktabah Taubat, 35.
bahwa hampir seluruh himpunan hadis yang banyak sekali jumlahnya
dan tersusun menurut materinya pasti memuat bab tafsir al-Qur’an, yakni
Sekumpulan kabar yang keluar dari Rasulullah dalam menafsirkan al-
Qur’an.
Ketika itu belum ada tulisan khusus yang berisi tafsir al-Qur'an baik
surat demi surat ataupun ayat demi ayat. Namun pada kurun waktu
tersebut terdapat sejumlah ulama yang bertugas mengunjungi berbagai
wilayah untuk mengumpulkan hadist, dan di antara mereka juga terdapat
ulama yang mengumpulkan tafsir yang diyakini bersumber dari
Rasulullah, dari sahabat ataupun dari tabi'in. Di antara mereka yang
tersebut belakangan adalah Yazid bin Harun as-Salmi (w: 117
H), Syu'bah bin Hajjaj (w: 160 H), Waki bin jaroh (w: 197 H) dan Abdu
bin Humyad (w: 249 H). Ke empat orang ulama ini adalah ahli-ahli
hadist yang menjadikan tafsir sebagai salah satu bab dalam kitab hadist,
dan tidak membukukannya secara terpisah sebagai kitab tersendiri45
b. Periode Kedua
Pemisahan tafsir dari hadis dan dibukukan secara terpisah menjadi
satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah
ayat tersebut, setiap ayat al-Qur'an diberi tafsiran dan dibukukan menurut
urutannya dalam mushaf (tartib mushafi). Pembukuan seperti ini selesai
dilakukan oleh sejumlah ulama, antara lain Ibnu Majah (w: 273 H), Ibnu
Jarir at-Thobary (w: 310 H) dan Ibnu Hatim (w: 327 H) dan lain-lain.[6]
Semua tafsir ini mereka tulis berdasarkan pertautan periwayatan (isnad)
kepada Rasulullah, sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in; dan sebagian besar
yang dimuat dalam tafsir-tafsir tersebut adalah tafsir bil-ma'tsur. Kecuali
Ibnu Jarir at-Thobary yang dalam tafsirnya menyebutkan berbagai
pendapat yang kemudian diperbandingkan dan dinilai kebenarannya. Dia
juga membahas i'rab (analisa bahasa Arab berdasarkan fungsi katanya) di
mana perlu mengemukakan kesimpulan hukum (istimbath) yang bisa
ditarik dari suatu teks (nash) al-Qur'an.

45
Adib Bisri. Kamus Indonesia Arab, Arab Indonesia,  (Surabaya, 1999), 214.
Sistem isnad memang bermula sejak zaman Rasulullah yang
kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad I hijriyah.
Dasar tatanan ilmu ini berpijak pada kebiasaan para sahabat dalam
transmisi hadist di kalangan mereka.
Pada masa keempat kalender Islam ungkapan-ungkapan yang belum
sempurna dirasa penting karena munculnya fitnah yang melanda pada
saat itu (pemberontakan terhadap khalifah Utsman. Ibnu Sirin (w.110 H),
misalnya mengatakan, “Para ilmuwan (pada mulanya) tidak
mempersoalkan isnad, tetapi saat fitnah mulai meluas mereka menuntut,
‘sebutkan nama orang kalian pada kami’. Bagi yang termasuk ahli
sunnah, hadist mereka terima, sedang yang tergolong tukang mengada-
ada, hadist mereka dicampakkan ke pinggiran.”
c.   Periode Ketiga
Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil
pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan
dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang
menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa
46
melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi
ketika mentafsirkan ayat :

Ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa


maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
Pada tahap ini tafsir belum keluar dari garis tafsir bil-ma'tsur. Akan
tetapi berbeda dengan keadaan sebelumnya yang dilengkapi dengan
penulisan sanad secara lengkap, pada tahap ini para ulama
menghilangkan sanad tersebut. Mereka meriwayatkan tafsir dari para
mufassir sebelumnya tanpa menyebutkan nama mufassir yang dimaksud.
Setiap orang yang mengatakan sesuatu atau terbetik di hatinya sesuatu
yang diyakini kemudian perkara itu diambil oleh orang yang datang

46
M. Hasbi Ash Shiddieqy. Sedjarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, 238.
setelahnya dengan mengira bahwa itu adalah asli tanpa melihat dari mana
perkara itu diambil. Sehingga sejak saat itu tafsir mulai dipalsukan dan
sulit untuk dilacak kebenarannya dan ketidak benarannya. Tahap ini
merupakan permulaan munculnya pemasukan dan perembesan dongeng-
dongeng israiliyyat ke dalam tafsir.
Keinginan agar hadis lebih fokus pada matan serta mudah untuk
dipahami masyarakat yaitu dengan menghilangkan  sanadnya sehingga
terlihat ringkas, namun ternyata penghilangan sanad inilah penyebab
yang paling berbahaya diantara sebab-sebab pemalsuan. Karena dengan
dihilangkannya sanad ini akan menjadikan orang yang melihat sebuah
kitab, cenderung menganggap shohih semua yang ada di dalamnya.
Bahkan ada diantara mufassir yang perhatian dengan tafsir model
itu (mengambil dari kisah-kisah israiliyat) adalah Muqatil bin Sulaiman
(w.150 H) yang karakter dan kredibilitasnya juga banyak diberitakan,
bahwa “pengetahuannya tentang al-Qur’an bersumber dari Yahudi dan
Nasrani. Dia menjadikan (ajaran) al-Qur’an sejalan dengan apa yang ada
dalam kedua kitab tersebut.
d.    Periode Keempat
Pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku tarjamahan dari
luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih
dominan dibandingkan dengan metode bin naqly (dengan periwayatan).
Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan
para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat al-Qur’an dari segi hukum
seperti Al-Qurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti
ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.47
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul SAW,
penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, dikelompokkan
menjadi satu kelompok yang dinamaiTafsir bi al-Ma’tsûr. Dan masa ini
dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir. Berlakunya

47
Shiddie. Sejarah., 239.
periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun
150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya,
dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah
masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau
dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan
tabi’in.
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir
dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari
segi kodifikasi (penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga periode:
Periode I, yaitu masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi’in, di
mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu
tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara
resmi pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (99-101 H).
Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan
dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya
penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al-Ma’tsur. Dan
periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus
dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-
Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al-Qur’an.48
Pada tahap ini tafsir melangkah lebih luas lagi, kalau dulu tafsir hanya
membatasi diripada periwayatan tafsir dari para ulama salaf, maka tafsir
pada tahap ini menggabungkan tafsir bir-ra'yi (tafsir 'aqli, rasional)
dengan tafsir naqli, melalui beberapa tahap yang
menarik. Pertama dengan usaha-usaha penafsiran secara perorangan dan
memperbandingkan pendapat-pendapat tersebut satu sama lain dan
menguji kebenaran penafsiran masing-masing. Usaha penafsiran secara
rasional tersebut masih dibenarkan selama aspek pemikirannya masih

48
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. (Bandung : Mizan Pustaka, 1992), 108-109.
berpijak pada aturan-aturan kebahasaan yang berlaku dan pada makna
konotatif dari kata-kata yang disebutkan di dalam al-Qur'an.
Kegiatan penafsiran semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan
kriteria-kriteria inilah yang diharamkan Ibn Taimiyah, bahkan Imam ibn
Hanbal menyatakannya sebagai 'tidak berdasar', sebagai hasil dari
pemahaman hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan secara marfu’:

Atau hadist Jundub yang diriwayatkan secara marfu’ juga:

Sebaliknya keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an


dengan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu'tabarah. 
  Sebagian ulama’ mensyaratkan bagi penafsir jenis ini (bi ra’yi)
sejumlah ilmu yang harus dikuasai. Diantaranya adalah bahasa arab: dari
nahwu, syorof, isytiqaq, lughah, balaghah, qira’at, ushuluddin, ushul
fiqh, asbabun nuzul, nashikh mansukh, hadis-hadis penjelas ayat-ayat al-
Qur’an, fiqih dan terakhir: ilmu mauhibah Adz-Dzahabi menambahkan
satu syarat lagi yaitu ilmu sejarah.
Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari sifat kibr, hawa nafsu,
bid’ah, cinta dunia dan senang berbuat dosa. Ini semua adalah yang
menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang
diturunkan oleh Allah swt. Sebagaiman firman-Nya :

Artinya: Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di


muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.
mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Ku), mereka tidak beriman
kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada
petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat
jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu
adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka
selalu lalai dari padanya. (QS. Al-A’raf: 146)
Kegiatan-kegiatan rasionalistik ini berkembang terus sejalan dengan
semakin berkembangnya berbagai macam ilmu pengetahuan, pendapat
dan ide, sehingga akhirnya terdapat penulis-penulis tafsir yang
mengumpulkan berbagai macam hal yang tidak berkaitan dengan tafsir
itu sendiri.
Ilmu-ilmu bahasa, nahwu dan sharaf dibukukan dan banyak buku
filsafat diterjemahkan. Berbagai buku tentang bermacam-macam
madzhab fiqih dan aqidah juga ditulis orang. Fanatisme kepada madzhab
sangat kuat, pada saat itu setiap kelompok muslim berusaha
menyebarluaskan aliran madzhabnya masing-masing dan berusaha
mencari pengikut. Semuanya ini mengakibatkan tercampur aduknya
berbagai macam ilmu pengetahuan berikut pembahasan-pembahasannya
masing-masing dengan tafsir, dan bahkan mendesak tafsir tersebut.
Aspek aqli dalam tafsir mengalahkan aspek naqlinya sehingga ia
merupakan bagian yang paling dominan dalam buku-buku tafsir tersebut.
Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar mengemukakan tafsir
berdasarkan asbabun-nuzul atau sumber-sumber tafsir bil ma'tsur.
Akhirnya kita melihat bahwa keahlian seseorang dalam disiplin ilmu
tertentu secara eksplisit lebih mewarnai tafsir yang ditulisnya. Para ahli
nahwu lebih menekankan pada masalah i’rob dan memberikan uraian
yang panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan dengan cabang-cabang
ilmu tersebut. Para ahli sejarah banyak mengemukakan tokoh-tokoh dan
peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau dalam tafsir mereka, tetapi-
tambah adz-Dzahabi-mereka sering mencampuradukkan antara fakta-
fakta sejarah dengan dongeng-dongeng yang tidak masuk akal.
Di antara tafsir yang berorientasi pada filsafat, yang paling terkenal
adalah at-TafsirMahir atau lebih dikenal Mafatihul
Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi. Yang berorientasi pada kesufian,
terwakili oleh Gharaibul Qur'an wa Raghaibul Furqan oleh an-
Nisaburi (728/1327) dan Tafsir al-Qur'an Karim oleh Muhyidin ibn
'Arabi.
Pendek kata setiap ahli dalam bidang kajian tertentu atau pendukung
madzhab tertentu merasa terpanggil untuk menulis tafsir sesuai dengan
bidangnya masing-masing atau untuk mengukuhkan madzhab mereka.
Begitu juga ketika periode ini banyak sekali ulama-ulama yang
berusaha membatasi bidang kajian mereka dalam tafsir ini. Mereka
membahas salah satu aspek tertentu saja dari banyak aspek lainnya,
misalnya Ibnu al-Qayyim dengan aqsamnya, Abu Ubaidah dengan
majaznya, Abu Ja’far an-Nuhas dengan nasikh mansukhnya  dan Abu
Hasan al-Wahidi dengan  asbabun nuzulnya.
Di samping itu banyak sekali ulama-ulama yang mencoba menulis
tafsir tentang aspek-aspek tertentu dari al-Qur’an dan berusaha
mengkajinya dengan cara yang sangat cermat.
Kecenderungan rasionalistik dalam penulisan tafsir ini berkembang
terus dari masa ke masa. Bahkan pada zaman modern sekarang ini
dengan anggapan bahwa hal itu seakan-akan merupakan salah satu aspek
dari kumu'jizatan al-Qur'an dan bukti elastisitasnya untuk menyesuaikan
dengan perkembangan zaman. Padahal dalam kenyataannya hal itu justru
merupakan penyimpangan yang agak terlalu jauh dan tidak sesuai dengan
maksud diturunkannya al-Qur'an oleh Allah SWT, bahkan menyimpang
dari tujuan yang dikehendaki.
Berikut kitab-kitab tafsir yang menggunakan ra’yi yang oleh adz
Dzahabi termasuk kategori yang mamduh dan jaiz:
1. Mafatihul ghaib karangan ar-Razi
2. Anwarut tanzil wa asrarut ta’wil karangan Baidlawi
3.   Madarikut tanzil wa haqaiqut ta’wil karangan Nisfi
4. Lubabut ta’wil fi ma’arifit ta’wil karangan Khazin
5. Al-Bahrul muhith karangan Abu Hayyan
6. Gharaibul Qur’an wa raghaibul furqan karangan Naisaburi
7. Tafsir jalalain milik Jalaluddin al-Mahalli dan Suyuthi
8. Assirajul munir fil i’anati ‘ala ma’rifati ba’dli ma’ani kalami
rabbinal hakimil khabir karangan al-Khathib al-syarbini.
9. Irsyadul ‘aqlis salim ila mazayal kitabil karim  karangan Abi su’ud
10.Ruhul ma’ani fi tafsiril qur’anil ‘adzim was sab’il
matsani karangan al-Alusi
Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengutip pendapat (sahabat) Ibnu Abbas
yang menyatakan bahwa: "Ada 4 tema pokok dalam tafsir al-Qur'an:
yang dapat dipahami oleh orang yang menguasai bahasa Arab, yang
dapat dipahami oleh orang bodoh, yang dapat dipahami oleh para ulama
dan yang hanya diketahui oleh Allah semata".
Ibnu Taimiyah mencatat, dalam kritiknya yang tajam, bahwa tafsir-
tafsir yang berorientasi pada ideologi seperti itu (tertentu) berasal dari
umat 'yang percaya pada makna-makna tertentu dan berusaha mencari
identitas dirinya dengan mereka yang ada dalam al-Qur'an. Orang-orang
itu memperhatikan makna yang mereka pegang tanpa
mempertimbangkan uraian-uraian yang diharuskan oleh al-Qur'an'.
e.     Periode Kelima
f. Tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan
tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu
Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-
Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul
dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
5. Tafsir Di Era Kontemporer

Pada masa ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai
saat ini dan mendatang. Penganut agama Islam setelah sekian lama ditindas
dan dijajah oleh bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana
umat Islam telah merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat
permainan serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.
Maka terkenallah periode modernisasi Islam yang antara laindilakukan
di Mesir oleh Jamal al-Din al-Afghani (1254-1315 H/1838-1897 M), Syekh
Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M) dan Muhammad Rasyid
Ridho (1282-1354 H/1865-1935 M). Dua orang yang disebutkan terakhir
yakni Syekh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridho, berhasil
menafsirkan al-Qur’an dengan nama kitabnya yaitu tafsir al-Qur’an al-
Hakim atau dikenal dengan sebutan tafsir al-Manar. Kesungguhan tafsir ini
diakui banyak orang dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi
perkembangan tafsir baik bagi kitab-kitab tafsir yang semasa dengannya dan
terutama bagi kitab-kitab tafsir yang terbitsetelahnya hingga sekarang. Cikal
bakal tafsir al-Qur’an yang lahir pada abad ke-20 dan 21 banyak yang
mendapat inspirasi dari tafsir al-Manar, diantara contohnya ialah tafsir al-
Maraghi, tafsir al-Qasimidan tafsir al-Jawahir karya Thantawi Jauhari.
Pada Masa itu bersamaan dengan upaya pembaruan Islam dan gerakan
penafsiran al-Qur’an di Mesir dan negara-negara lainnya, para ilmuan
muslim di Indonesia juga melakukan gerakan penerjemahan dan penafsiran
al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Diantaranya yang tergolong ke dalam
tafsir yang berekualitas dan monumental adalah al-Qur’an dan tafsirnya
yang diterbitkan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia dan tafsir al-
Azhar karya Prof. Dr. Buya HAMKA (1908-1981).49
Awal pertumbuhan dan perkembangan keilmuan agama Islam lebih
khususnya tafsir yaitu berasal dari al-Azhar Mesir, karena al-Azhar adalah
lembaga pendidikan Islam tertua yang menjadi pusat dunia yang pada awal
mula berdirinya dari Masjid dibawah kekuasaan 4 dinasti, yaitu Dinasti
Fathimiyah (361-567 H/972-1171 M), Dinasti Ayyubiyah (567-648 H/1171-
1250 M), Dinasti Mamalik (648-922 H/1250-1517 M) dan Dinasti
Utsmaniyah (923-1213 H/ 1517-1798 M).50
49
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 330
50
Adhi Maftuhin, Sanad Ulama Nusantara, Transmisi Keilmuan Ulama Al-Azhar Dan
Pesantren Disertai Biografi Penulis Kitab Kuning, (Depok:Sahifa, 2018), h. 1
Perkembangan karya tafsir al-Qur’an yang berada di Indonesia terbagi
menjadi dua. Yaitu, tafsir al-Qur’an kalangan pesantren (nonformal), dan
kalangan akademis (formal). Pertama, kalangan pesantren, Faid arRahman
fīTarjamah Kalam Malik al-Dayyan karya Syekh Muhammad Salih
ibnUmar as-Samarani yang dikenal dengan nama Kiai Saleh Darat (1820-
1903),Tafsir Surah Yasin (1954) dan al-Ibriz li Ma’rifa Tafsir al-Qur’an
al-‘Aziz (1960), karya KH. Bisri Mustafa, Iklil fi Ma’anīal-Tanzil (1980-an)
dan Tajul Musliminkarya K.H. Misbah Zainul Mustofa, dan ada juga KH.
Bahauddin Nursalim atau yang terkenal dengan Gus Baha adalah seorang
tokoh mufassir yang murni dari kalangan pesantren dan lain-lain. 51 Kedua,
kalangan akademis, Tafsir Al-Nurdan Tafsir Al-Bayankarya Prof. Dr. T.M.
Hasbi Ash-Shidiqiey (1322-1395 H/1904-1975 M), Al-MishbahKarya Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A, dan lain-lain.
Satu hal yang penting yang layak dicatat ialah bahwa gerakan
penafsiran al-Qur’an sebelum masa kontemporer, hampir semua kitab-kitab
tafsir ditulis oleh orang-orang muslim berkebangsaan Arab dan berbahasa
Arab. Kemudian semakin berkembangnya keilmuan zaman sekarang, geliat
para pelajar Indonesiapun ikut andil dalam kegiatan menafsirkan al-Qur’an
dengan berbahasa Indonesia.52

51
Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika, dalam Jurnal NUN,
(Vol. 1, No. 1, 2015), h. 20.
52
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 331
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah mencatat, penafsiran al-Qur'an telah tumbuh dan berkembang
sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini
didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah
melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan
kandungannya kepada Nabi. Dalam konteks ini Nabi berposisi sebagai
mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat.
B. Saran
Dengan adanya beberapa uraian di atas, maka penulis memberikan saran

untuk menjadi bahan pertimbangan yakni hendaknya bagi para pemula yang

mempelajari ilmu tafsir diharuskan di landasi teori yang betul-betul benar

serta dilandasi dengan Al-Qur’an dan hadis.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Aridl Hasan Ali, 1994 Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Ash-Shiddieqy Hasbi Muhammad Teungku,2009, Sejarah & Pengantar Ilmu


Al-Qur‟an & Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Ash-Shidieqy Hasbi M., 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, Jakarta:Bulan Bintang.
Al-‘Aridl Ali Hasan, 1992. Sejarah Dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Al-‘Utsaimin Shaleh Muhammad Syaikh, 2009. Muqaddimmat Al-Tafsir Ibnu
Taimiyyah, Kairo:Dar Ibnu Hazm.

Al-Qathan Khalil Manna, 2009. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Drs.


Mudzakir AS Bogor: Pustaka Litera Antarnusa
.
Adib Bisri. 1999. Kamus Indonesia Arab, Arab Indonesia,  Surabaya.

Djunaedi Wawan, 2008. Sejarah Qira’at Al-Qur’an Di Nusantara,


Jakarta:Pustaka STAINU.

Gusmian Islah, Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika, dalam


Jurnal NUN, (Vol. 1, No. 1, 2015), h. 20.

Hasan Ali, dkk, 1992. Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta, PT. Bulan Bintang.

Maftuhin Adhi, Sanad Ulama Nusantara, 2018. Transmisi Keilmuan Ulama


Al-Azhar Dan Pesantren Disertai Biografi Penulis Kitab Kuning,
Depok:Sahifa.

Raihanah, Jurnal Israiliyyat dan Pengaruhnya Terhadap Tafsir al-Quran,


Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan,
IAIN Antasari, Banjarmasin.

Shihab Quraish M., 2002. Membumikan Al-Qur‟an Bandung: Penerbit Mizan.

Suryadilaga Al-Fatih M., dkk., Metodoogi Ilmu Tafsir, cet. I, teras, yogyakarta.

Suma Amin Muhammad, 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2 Jakarta: Pustaka


Firdaus.

Salim Muin  Abd. , 1999. Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistimolo
gis Memantap kan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu, Orasi
PengukuhanGuru Besar, Ujung Pandang; IAIN Alauddin.
Samsurrohman, 2014. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta:Amzah.

Shiddieqy Ash Hasbi M.. 1972. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir,


Jakarta: Bulan Bintang.

Shihab Quraish M., 1992,  Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan Pustaka.

Suma Amin Muhammad, 2013.. Ulumul Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai