Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

METODOLOGI ISLAM MODERAT


(Integrasi Tekstualitas Dan Kontekstualitas)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam Moderat
Dosen Pengampu : Abd. Halik, S.Pd.I, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Mohammad Jafar (201010083)
2. Moh. Wahyudin (201010091)
3. Riska (201010082)
4. Fitri Bella (201010076)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak
lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad
SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Metodologi Islam
Moderat”. Pada makalah ini membahas secara ringkas mengenai metode ilmiah dalam filsafat
ilmu.
Selama proses penyusunan makalah, kami mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak. Kami sangat berterima kasih terutama kepada dosen matakuliah Islam
Moderat, Abd. Halik, S.Pd.I, M.Pd.I. Dan tak lupa pula teman-teman kelas PAI 3 yang
berkontribusi dalam kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi pembacanya. Akan tetapi
dari pembuatan makalah ini pasti ada kekurangan atau ketidakpasan tentang masalah yang kami
bahas dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami harap agar semua pihak dapat memakluminya
serta dapat memberikan kritik dan sarannya. Sekian dan terima kasih.

Wassalammualaikum Wr.Wb.

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1

1.3. Tujuan .............................................................................................................. 2

BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

2.1. Metodologi Tekstualitas ................................................................................... 3

2.2 Metodologi Kontekstualitas .............................................................................. 3

2.3 Moderasi Islam diantara Tekstual dan Kontekstual.......................................... 5

BAB III. PENUTUP ......................................................................................................... 7


3.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam studi Alquran sebagai sumber utama hukum Islam, akhir-akhir ini muncul
perbedaan serta perdebatan antara tekstualisasi ataupun kontekstualisasi Alquran.
Golongan pertama mengajak umat Islam untuk kembali menggunakan cara sahabat dan
tabiin dalam mengambil kesimpulan hukum dengan hanya bersumber dari Alquran dan
hadis, secara tekstual. Oleh karena itu, peran akal dalam pengembangan nash Alquran
secara kontekstual sangat tidak diperbolehkan. Sedangkan, ulama lain berpendapat bahwa
eksistensi konteks tidak bisa dinihilkan perannya dalam mengurai isi dari Alquran.
Menurut mereka, konteks yang diartikan sebagai realitas sosial-historis merupakan unsur
penting dalam penentuan sebuah hukum. Dengan pengetahuan akan realitas yang
melatarbelakangi suatu keputusan hukum, pembaca dapat mengetahui hakikat asal
terbentuknya hukum tersebut.
Bagi kaum muslim yang hidup pada masa awal Alquran diturunkan, pemahaman
mereka terhadap Alquran secara benar bukanlah suatu masalah. Keseriusan para sahabat
dalam membaca, menghafal dan mencerna Alquran menjadi dinamika yang aman dari
segala ‘keterbelokan’. Di samping itu, keberadaan Nabi sebagai sumber utama penjelas
Alquran jelas menjadi garansi terjaganya otentitas ayat-ayat Tuhan. Namun, sepeninggal
Nabi, pemahaman yang dianggap paling benar akan Alquran menjadi masalah yang mulai
menggurita hingga mencapai puncaknya pada pertempuran Shiffin. Sejak itu pula muncul
perdebatan tentang dasar dan metode pengambilan hukum Islam

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana model pemahaman islam dalam metodologi tekstualitas ?
2. Bagaimana model pemahaman islam dalam metodologi kontekstualitas ?
3. Bagaimana moderasi islam diantara tekstual dan konteksual ?

1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui model pemahaman islam dalam metodologi tekstualitas
2. Mengetahui model pemahaman islam dalam metodologi kontekstualitas
3. Mengetahui moderasi islam diantara tekstual dan kontekstual.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Metodologi Tekstualitas


Kata teks, dalam bahasa Arab disebut nash, telah dipakai dalam wacana keilmuan Islam
klasik khususnya dalam bidang hukum Islam. Dalam Mu’jam Maqāyis al-Lughah, nash
diartikan dengan mengangkat atau batas akhir sesuatu. Di kalangan ulama Ushul Fiqh nash
berarti lafal yang hanya bermakna sesuai dengan ungkapannya dan tidak dapat dialihkan pada
makna lain.
Secara sederhana pendekatan tekstual dapat diasosiasikan dengan tafsir bi al-ma’tsur.
Nash yang dihadapi ditafsirkan sendiri dengan nash baik AL-Qur’an ataupun hadist. Penafsiran
tekstual mengarah pada pemahaman teks semata, tanpa mengaitkannya dengan situasi lahimya
teks, maupun tanpa mengaitkannya dengan sosiokultural yang menyertainya. Kesan yang
ditimbulkannya mengarah pada pemahaman yang sempit dan kaku, sehingga sulit untuk
diterapkan pada era modern ini dan sulit pula untuk diterima. Misalnya asas perkawinan Islam
dipahami oleh ulama klasik, boleh juga sampai kini, adalah asas poligami sesuai dengan
pemahaman ayat 3 surat al-Nisa' .
Contoh lain adalah masalah hak waris antara laki-laki dan perempuan yang sudah tegas
di dalam Al-Qur’an 1:2, dari segi teks perubahan pada arah penyamaan hak waris itu menyalahi
dan bertentangan dengan nash yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Di luar teks tidak ada makna yang bisa dipertanggungjawabkan dan diyakini
kebenarannya. Kebanyakan tafsir yang menggunakan pendekatan tekstual setidaknya dapat
diberikan ciri-ciri berikut:
1. Banyak melakukan pengkajian nahwiyah atau bacaan yang berbeda-beda (strukturalis)
2. Melakukan pengkajian asal-usul bahasa dengan melansir syair-syair Arab (heruistik dan
hermeneutik).
3. Banyak mengandalkan cerita atau pendapat sahabat dalam menafsiri makna lafal yang
sedang dikaji (riwayat)

2.2. Metodologi Kontekstualitas


Metode kontekstualitas merupakan metode yang menjadikan rasio atau akal manusia
sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas

3
pelbagai ajaran islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual,
kritis, logis dan rasional..
Dalam kaitan dengan kajian al-Qur’an, setidaknya terdapat dua makna konteks : (1)
konteks teks, yaitu konteks yang berkaitan dengan pembentukan teks al-Qur’an, dalam hal ini
adalah sosio historis dan antropologis masyarakat yang bertindak sebagai audiens ketika al-
Qur’an diturunkan, dan (2) konteks penafsir, yaitu konteks yang ada dan melingkupi pembaca
saat ini. Pembaca saat ini dimaksudkan bukan lagi sebagai audiens pertama dari munculnya
teks, tetapi yang melakukan proses interpretasi sudah berada di luar medan audiens dan jauh
dari masa munculnya teks.
Secara sederhana bahwa tafsir kontekstual itu paradigma berfikir baik cara, metode
maupun pendekatan yang berorientasi pada konteks kesejarahan. Dengan kata lain, istilah
“kontekstual” secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan yang mengacu
pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada makna teks secara lahiriyah
(literatur), tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir
dalam aktifitas penafsirannya. Tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan
keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya.
a. Contoh Tafsir Kontekstual
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’yang kerap dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan praktik
poligami adalah :

(٣) ‫ﻋ َﻔﺈِ ْﻧﺨِ ْﻔﺘ ُ ْﻤﺄَﻻﺗَ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا َﻓ َﻮاﺣِ ﺪَةًأ َ ْو َﻣﺎ َﻣ َﻠ َﻜ ْﺘﺄ َ ْﯾ َﻤﺎ ُﻧ ُﻜ ْﻤﺬَ ِﻟﻜَﺄَدْﻧَﯨﺄَﻻﺗَ ُﻌﻮﻟُﻮا‬ َ ‫ﺴﺎءِ َﻣ ْﺜﻨ‬
َ ‫َﯨﻮﺛُﻼﺛَ َﻮ ُر َﺑﺎ‬ َ ‫طﺎ َﺑ َﻠ ُﻜ ْﻤﻤِ ﻨَﺎﻟ ِّﻨ‬ ْ ‫ﻄﻮاﻓ‬
َ ‫ِﯿﺎﻟ َﯿﺘَﺎ َﻣﯨﻔَﺎ ْﻧ ِﻜ ُﺤﻮا َﻣﺎ‬ ُ ‫َوإِ ْﻧﺨِ ْﻔﺘ ُ ْﻤﺄَﻻﺗ ُ ْﻘ ِﺴ‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”
Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak.Praktek ini
tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Status wanita yang
selama ini cenderung dinomor duakan akan menjadi semakin kuat jika praktek poligami tetap
diberlakukan. Al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan
hak yang sama. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat
orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif.Ada syarat yang
diajukan oleh Al-qur’an, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga.

4
Untuk memahami pesan Al-Qur’an, penelusuran sosio-historis hendaknya dilakukan. Masalah
ini muncul berkenaan dengan para gadis yatim yang dalam ayat sebelumnya disebutkan, yaitu
dalam surat An-Nisa’ ayat 2 :

ً ‫ﺎﻟﻄ ِّﯿ ِﺒ َﻮﻻﺗَﺄ ْ ُﻛﻠُﻮاأ َ ْﻣ َﻮا َﻟ ُﮭ ْﻤﺈِ َﻟﯨﺄ َ ْﻣ َﻮا ِﻟ ُﻜ ْﻤﺈِ ﱠﻧ ُﮭﻜَﺎ َﻧ ُﺤﻮﺑًﺎ َﻛ ِﺒ‬
(٢) ‫ﯿﺮا‬ ْ ُ‫ﻮااﻟ َﯿﺘَﺎ َﻣﯨﺄ َ ْﻣ َﻮا َﻟ ُﮭ ْﻤ َﻮﻻﺗَﺘَ َﺒﺪﱠﻟ‬
‫ﻮااﻟ َﺨ ِﺒﯿﺜَ ِﺒ ﱠ‬ ْ ُ ‫َوآﺗ‬

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama
hartamu.Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar.”
Ayat di atas melarang keras para wali untuk memakan harta anak yatim. Setelah
penekanan kemudian Al-Qur’an membolehkan para wali untuk mengawini mereka sampai
empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh ulama dalam
hal ini, yaitu : “kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berlaku demikian” (QS. Al-Nisa’4:129). Dan terdapat juga pada potongan
ayat 3 “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Dari ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan
oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya.Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an
tidak menganjurkan poligami.Ia justru memerintahkan sebaliknya, monogami (hidup yang
umumnya disepakati oleh dua belah pihak, laki-laki dan perempuan). Itulah ideal moral yang
hendak dituju Al-Qur’an.

2.3. Moderasi Islam diantara Tekstual dan Kontekstual


Dalam Islam, rujukan utama dalam penentuan hukum merupakan nash-nash yang
tertulis dalam Alquran dan Sunnah. Namun, dalam perkembangannya terbentuklah sebuah
fenomena bahwasanya Islam berwajah banyak. Wajah-wajah tersebut kadang memunculkan
konflik berskala kecil maupun besar. Tampaknya, konflik yang tercipta memang sudah menjadi
kewajaran, sunnatullah, bahkan merupakan sebuah rahmat.
Terjadinya perbedaan persepsi terhadap masalah-masalah tidak bisa dihindari, termasuk
perbedaan-perbedaan persepsi keagamaan. Terhadap hal tersebut, ada diantara umat Islam yang
bersifat konfrontatif, akomodatif, adaptif, dan bahkan ada diantara mereka yang sangat
kooperatif.
Ungkap Ali Maschan Moesa dalam bukunya. Yang menjadi permasalahan adalah
bisakah dari yang berbeda tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan, tidak

5
menyatakan paling benar sendiri, dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan
itu benar-benar rahmat.
DR. Ramadhan al-Buthi sendiri pernah berucap, “Permasalahan fanatisme merupakan
masalah utama yang hingga sekarang masih mengurung umat Islam. Akhirnya, jika kedua belah
pihak masih ngotot dengan pendapat masing-masing, aslam-nya kembalikanlah kepada
keyakinan masing-masing”.
Di antara karakteristik Islam yang secara eksplisit Allah sebut dalam Alquran adalah
karakter wasathiyyah (moderat). Konsep ini merujuk pada makna ummatan wasathan dalam QS
Al-Baqarah ayat 143. Kata wasath dalam ayat tersebut berarti khiyar (terbaik, paling sempurna)
dan adil (adil). Dengan demikian, makna ungkapan ummatan wasathan berarti umat terbaik dan
adil.
Dengan karakter inilah ajaran Islam beserta perangkat-perangkatnya akan selalu bersifat
fleksibel serta tak usang dimakan zaman. Sebagaimana ditegaskan oleh DR. Yusuf alQardhawy,
beliau menyatakan bahwa salah satu karakteristik Islam yang menjadi faktor keuniversalan,
fleksibilitas dan kesesuaian ajarannya di setiap zaman dan tempat adalah konsep wasathiyyah-
nya. Di samping itu terdapat karakteristik lainnya, yaitu rabbaniyyah (bersumber dari Tuhan
dan terjaga otentisitasnya), al-Insaniyyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia),
as-syumul (universal dan komprehensif), al-waqi’iyyah (kontekstual), al-wudhuh (jelas), dan
al-jam’u bayna Tsabat wa almurunah (harmoni antara perubahan hukum dan ketetapannya).
Konsep moderat adalah menjunjung tinggi sikap saling menghormati terhadap segala
perbedaan. Moderasi yang dibawa oleh Islam mengedepankan pemahaman kontekstual
terhadap segala konflik dan problem yang terjadi, sesuai dengan dasar-dasar syariat yang telah
digariskan oleh mujtahid 4 (empat) madzhab. Karena, bagi seorang muslim yang beriman,
menanyakan apa yang benar-salah secara mutlak dalam keyakinan Islam yang dianutnya
bukanlah hal yang menyenangkan. Problematika benar-salah merupakan persoalan sensitif jika
dihubungkan dengan perbedaan antar golongan. Pernyataan semacam ini hanya akan membuat
seorang muslim merasa bahwa dalam beberapa hal tindakannya justru menguntungkan
kelompok-kelompok yang memusuhi Islam, baik dari dalam maupun luar.
Tindakan itulah yang memicu terbentuknya pengelompokan muslim oleh kelompok
yang memusuhi Islam. Akhirnya, kelompok-kelompok intern Islam sendiri mulai meyakini
bahwa mereka berbeda, dan diantara perbedaan tersebut hanya salah satu yang paling benar.
Pembenaran inilah yang memicu terjadinya radikalisme dan ekstrimisme dalam tubuh agama,
hingga berakhir dengan kekerasan dan intoleransi dalam tubuh agama (terorisme). Dan
mayoritas, kecenderungan melakukan kekerasan dan intoleransi itu banyak dilakukan oleh
kaum muda.
6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Metodologi Tekstual yang berasal dari kata teks, dalam bahasa Arab disebut nash telah
dipakai dalam wacana keilmuan Islam klasik. Di kalangan ulama Ushul Fiqh ia berarti lafal
yang hanya bermakna sesuai dengan ungkapannya dan tidak dapat dialihkan pada makna lain.
Nash dalam pengertian teks al-Qur’an terbagi dalam nash qath’iy dan nash zhanniy. Teks
diartikan juga sebagai sebuah naskah tertulis dalam dokumen-dokumen.
Metode kontekstualitas merupakan metode yang menjadikan rasio atau akal manusia
sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas
pelbagai ajaran islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual,
kritis, logis dan rasional. Konteks dalam kajian al-Qur’an merujuk pada dua makna yaitu
konteks yang berkaitan dengan pembentukan teks al- Qur’an, dalam hal ini adalah sosio historis
dan antropologis masyarakat yang bertindak sebagai audiens ketika al-Qur’an diturunkan dan
konteks yang ada dan melingkupi pembaca saat ini.
Konsep moderat adalah menjunjung tinggi sikap saling menghormati terhadap segala
perbedaan. Moderasi yang dibawa oleh Islam mengedepankan pemahaman kontekstual
terhadap segala konflik dan problem yang terjadi, sesuai dengan dasar-dasar syariat yang telah
digariskan oleh mujtahid 4 (empat) madzhab. Karena, bagi seorang muslim yang beriman,
menanyakan apa yang benar-salah secara mutlak dalam keyakinan Islam yang dianutnya
bukanlah hal yang menyenangkan. Problematika benar-salah merupakan persoalan sensitif jika
dihubungkan dengan perbedaan antar golongan. Penafsiran yang berbeda-beda menjadi sebuah
fenomena yang tak dapat dihindari. Karena perbedaan merupakan sebuah rahmat jika tidak
ditanggapi dengan intoleransi dan kekerasan.

3.2 Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekukarangan, apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun dalam
pemaparan, kami mohon ma'af yang sebesar-besarnya. Kesempurnaan hanya milik Allah dan
kekurangan pastilah milik manusia karena itu, tidak lupa kritik dan saran kami harapkan untuk
kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

7
DAFTAR PUSTAKA

- http://makalahmsi.blogspot.com/
- http://alldreamnews.blogspot.com/2017/10/islam-secara-tekstual-dan-kontekstual.html
- https://www.academia.edu/19849815/ISLAM_TEKSTUAL_DAN_KONTEKSTUAL
- https://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa/article/download/1281/944

Anda mungkin juga menyukai