Anda di halaman 1dari 29

TASAWUF AKHLAKI, IRFANI DAN FALSAFI

Makalah disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Dosen pengampu :
A. MUWAHID M., S.HI, MM

Disusun oleh : kel. 4


Achmad Hakiki 21.2.2285
Muhamad Bahtiar 21.2.2293
Adelia Harfitriyani 21.2.2286
Muhadir Musa Sulaiman 22.2.2310

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-KARIMIYAH
(STAISKA) SAWANGAN DEPOK
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada bpk A. MUWAHID M., S.HI, MM selaku
dosen matakuliah Akhlak Tsawuf dan juga tak lupa kepada rekan - rekan
kelompok 4 yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Penyusun

Depok , 11 juni 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan Pembelajaran ..................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Tasawuf Akhlaki ............................................................................................ 2
B. Tasawuf Irfani ................................................................................................ 8
C. Tasawuf Falsafi ............................................................................................ 17
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 25
A. Kesimpulan .................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dapat dikatakan bahwa pada perkembangan sejarah Islam abad ke III
H./VIII M. hampir segala aspek dari disiplin intelektual Islam seperti hukum,
teologi, tafsir, hadis, dan tata bahasa mulai didefinisikan dan dikodifikasikan.
Begitu pula, pengetahuan spiritual dan jalan untuk menggapainya yang diwarisi
dari Nabi Muhammad saw telah mulai jelas dan tersistemasi dengan baik. Jalan itu
mulai dikenal sebagai Tasawuf.1
Tasawuf adalah ajaran-ajaran dan amalan-amalan yang berhubungan dengan
jalan yang dapat memandu secara langsung kepada Allah (attariqah ila Allah).
Tasawuf, dalam Islam, bagaikan organ jantung bagi tubuh yang tidak terlihat dari
luar namun ia menyuplai santapan rohani pada seluruh bagian organismenya. Ia
adalah spirit yang menjadi elemen terdalam (esoterik) yang memberikan nafas
bagi bentuk lahiriah (eksoterik) dari agama.2 Tasawuf telah mengalami
perkembangan, mulai dari yang bersifat individual hingga yang bersifat
terorganisir dalam bentuk suatu tarekat atau ribat Sufi tertentu, sehingga ia dapat
menghadirkan tipe-tipe dari kebutuhan spiritual dan psikologis manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian yang ada pada latar belakang tersebut,maka
masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud tasawuf akhlaki?
2. Apa yang dimaksud tasawuf irfani?
3. Apa yang dimaksud tasawuf falsafi?
C. Tujuan Pembelajaran
1. Untuk memahami tasawuf akhalaki.
2. Untuk memahami tasawuf irfani.
3. Untuk memahami tasawuf falsafi.

1
Seyyed Hossein Nasr, the Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s
Mystical Tradition, (New York: HarperCollins, 2007), h. 170
2
Seyyed Hossein Nasr, Islam; Agama, Sejarah, dan Peradaban, terj. Koes Adiwidjajanto,
Islam; Religion, History, and Civilization, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 95-96

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tasawuf Akhlaki
1. Pengertian Tasawuf Akhlaki
Pada prinsipnya, tasawuf adalalah ilmu tentang moral Islam, hingga abad
keempat hijriah. Pada periode ini, aspek moral tasawuf berkaitan erat dengan
pembahasan tentang jiwa, klasifikasinya, kelemahan-kelemahannya, penyakit-
penyakit jiwa dan sekaligus mencari jalan keluarnya atau pengobatannya.
Dengan kata lain, pada mulanya tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan
moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam upaya
menciptakan moral yang sempurna.
Nampaknya pada periode ini para sufi telah melihat, bahwa manusia
adalah makhluk jasmani dan rohani yang karenanya wujud kepribadiannya
bukanlah kualitas-kualitas yang bersifat matrerial belaka tetapi justru lebih
bersifat kualitas-kualitas rohaniyah-spiritual yang hidup dan dinamik. Manusia
sempurna adalah setelah ruh ditiupkan Tuhan ke dalam jasad tubuh, yang tanpa
ruh itu ia belum bernama manusia seutuhnya. Oleh karena itu, adalah cita-cita
sufi untuk menjadikan insan kamil sebagai prototipe kehidupan moralnya
melalui peletakan Asmna Al- Husna sebagai cita moral sufi.3
Akhlak dan tasawuf sebenarnya dua displin ilmu Islam yang digali dan
dikembangkan oleh ulama Islam dari konsep dasar keIslaman, Al- Quran dan
Al-Hadits, serta diperkaya dari aktivitas Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Sama dengan ilmu keIslaman yang lain seperti, Fiqh, Tauhid, Tajwid dan lain-
lain, ilmu akhlak tasawuf hadir dalam Islam pada perkembangan keilmuan
Islam. Ketika Islam masih berda di tempat kelahirannya, mekah dan madinah,
ilmu-ilmu keIslaman tersebut belum di kenal, tak terkecuali akhlak dan tasawuf
dalam pengertian Islam secara formal.4

3
H.A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke NeoSufisme, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2002, h, 96.
4
Abdulrahman Abdul Khaliq Dan InsanIlahi Zhahir, Pemikiran Sufisme: Di Bawah
Bayang-Bayang Patamorgana, Jakarta, Amzah, 2002, h, 13.

2
3

Dalam bahasa Arab kata Khuluqun berarti perangai, sedang jama‟nya


adalah Akhlakun. Dalam bahasa Indonesia berarti tabi‟at atau watak.
Berdasarkan leksinal makna ini, maka hadits-hadits di atas di pahami, bahwa
apa yang kongkrit dari setiap aktivitas, sangat ditentukan oleh kondisi jiwa
pelakunya yang berupa, perangai, tabi‟at dan watak.5 Tasawuf akhlaqi
bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku.
Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya.
Tasawuf akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk
menjaga akhlak manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas
masyarakat.
Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang beorientasi pada perbaikan akhlak,
mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat
Allah SWT, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf
akhlaki biasa juga disebut dengan istilah sunni. tasawuf model ini berusaha
untuk mewujudkan akhlak yang mulia dalam diri si sufi, sekaligus menghindari
diri dari akhlak mazmumah (tercela). tasawuf akhlaki ini dikembnagkan oleh
ulama salaf as-salih.
Dalam diri mausia ada potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk
buruk. tasawuf akhlaki tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik
supaya manusia menjadi baik, sekaligus mengendalikan potensi yang buruk
supaya tidak berkembang menjadi perilaku (akhlak) yang buruk. potensi buruk
menjadi baik adalah al-Aql dan alQabl. Sementara potensi untuk menjadi
buruk adalah annafs, nafsu yang dibantu oleh syaitan.6
Oleh karena itu, tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat
memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai
sebuah pengetahuan, tetapi harus dilakukan dengan aktifitas kehidupan
manusia. Di dalam diri manusia juga ada potensi-potensi atau kekuatan-
kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan.
Ada juga yang disebut dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan. Jadi,
5
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002, h,
45.
6
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2012, h, 31.
4

tasawuf akhlaqi yaitu ilmu yang memperlajari pada teori- teori perilaku dan
perbaikan akhlak.
2. Karakteristik Tasawuf Akhlaki
Adapun karaktersitik tasawuf akhlaki ini antara lain:7
a. Melandaskan diri pada Al-Quran dan As-Sunnah. dalam ajaran- ajarannya,
cenderung memakai landasan Qurani dan Hadis sebagai kerangka
pendekatannya.
b. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat, yaitu keterkaitan antara
tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dan fiqh (sebagai aspek lahirnya).
c. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antartuhan dan
manusia.
d. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan
pengobatan jiwa dengan cara latihan mental.
e. Tidak mengunakan terminologi-terminologi filsafat.
3. Tahapan untuk mrncapai Tasawuf Akhlaki
Untuk merehabilitir sikap mental yang tidak baik menurut seorang sufi
tidak akan berhasil baik apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah saja. Itulah
sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
kadidat diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup
berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu sampai ke titik terendah
dan atau bila mungkin mematikan hawa nafsu itu sama sekali. sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
a. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang sufi.
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari akhlak tercela. Salah satu hal
tercela yang paling banyak menyebabkan timbulnya akhlak jelek lainnya
adalah ketergantungan pada kelezatan duniawi. Takhalli berarti

7
Ahmad Bangun Nasution Dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada, 2013, h, 31.
5

membersihkan diri dari sifat sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat
bathin.8
Maksiat lahir, melahirkan kejahatan kejahatan yang merusak
seseorang dan mengacaukan masyarakat. Adapun maksiat bathin lebih
berbahaya lagi, karena tidak kelihatan dan biasanya kurang disadari dan
sukar dihilangkan. Maksiat bathin itu adalah pembangkit maksiat lahir dan
selalu menimbulkan kejahatan kejahatan baru yang diperbuat oleh anggota
badan manusia. Dan kedua maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia
setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa disadari.
Semua itu merupakan hijab atau dinding yang membatasi diri dengan
Tuhan.9 Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan
hawa nafsu.10
b. Tahalli
Tahalli adalah upaya menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak akhlak
tercela. Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri
dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu
berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar maupun
yang bersifat dalam. Kewajiban yang bersifat luar adalah kewajiban yang
bersifat formal, seperti sholat, puasa, dan haji. Adapun kewajiban yang
bersifat dalam, contohnya yaitu iman, ketaatan, dan kecintaan kepada
Tuhan.
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada
tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala
sikap mental buruk (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ke tahap
berikutnya yang disebut tahalli. Apabila satu kebiasaan telah dilepaskan
tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan

8
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, h, 66.
9
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, 1973, h, 74-75.
10
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf , Jakarta, Hamzah, 2015, h, 212.
6

frustasi. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinggalkan harus segala
diisi kebiasaan baru yang baik.11
c. Tajalli
Tajalli ialah hilangnya Hijab (penutup) dari sifat sifat kemanusiaan,
jelasnya Nur (cahaya) yang sebelumnya ghaib, dan musnah segala sesuatu
ketika tampaknya wajah Allah SWT. Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib.12 Agar hasil yang telah diperoleh jiwa ketika melakukan takhalli
dan tahalli tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut.
Kebiasaan yang dilkakukan dengan kesadaran dan rasa cinta dengan
sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Setiap calon sufi perlu mengadakan latihan jiwa, berusaha
membersihkan dirinya dari sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat hati,
dan melepaskan segala sangkut paut dengan dunia. Setelah itu mengisi
dirinya dengan sifat terpuji, segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah,
memperbanyak zikir, dan menghindarkan diri dari segala yang dapat
mengurangi kesucian diri baik lahir maupun bathin. Seluruh hati semata
mata di upayakan untuk memperoleh tajalli dan menerima pancaran Nur
Ilahi. Apabila Tuhan telah menembus hati hamba-Nya, dengan Nur-Nya
maka berlimpah ruahlah karuniaNya. Pada tingkat ini seorang hamba akan
memperoleh cahaya yang terang benderang dan dadanya lapang.
4. Tokoh Tasawuf Akhlaki
Tasawuf Akhlaki pertama kali berkembang di pertengahan abad kedua
hingga abad keempat hijriyah. Adapun tokoh-tokoh sufi yang tergabung dalam
tasawuf ini , meliputi Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-
Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, dan al-Harowi. Selanjutnya di abad
kelima hijriyah, imam Al Ghozali, Al Harawi, dan Al Qusyairi mulai
mengadakan pembaharuan dengan mengembalikan dasar-dasar tawasuf yang
sesuai dengan Al Quran dan as Sunnah.

11
Samsul Munir Amin, MA. Ilmu Tasawuf, Jakarta, Amzah, 2012, h, 215.
12
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, h, 71.
7

Berikut ini beberapa tokoh dan pemikirannya yang paling berpengaruh


dalam pengembangan tasawuf akhlaki:
a. Hasan Al-Basri (21 H- 110 H)
Menurut Hasan Al-Bashri, tasawuf merupakan ajaran untuk
menanamkan rasa takut (baik itu takut akan dosa-dosa, takut tidak mampu
memenuhi perintah dan larangan Allah, takut akan ajal atau kematian ) di
dalam diri setiap hamba dan senantiasa mengingat Allah SWT. Beliau
berpendapat bahwa dunia adalah ladang beramal, banyak duka cita di dunia
dapat memperteguh amal sholeh.
b. Al-Muhasibi (165 H – 243 H)
Menurut Al-Muhasibi, tasawuf berarti ilmu yang mengajarkan untuk
selalu bertakwa kepada Allah SWT, menjalankan kewajiban sebagai
seorang hamba dan meneladani akhlak Rasulullah Saw. Beliau juga
berpendapat ada 3 hal yang perlu ditekankan untuk membersihkan jiwa dan
mencapai jalan keselamatan, yaitu melalui Ma’rifat (Mengenal Allah SWT
dengan mata hati), Khauf (rasa takut), dan Raja’ ( pengharapan).
c. Al-Qusyairi (376 H- 465 H)
Ajaran tasawuf Al-Qusyairi didasarkan pada doktrin Ahlusunnah Wal
Jama’ah dan berlandasakan ketauhidan. Beliau mengadakan pembaharuan di
ajaran tasawuf, dengan menentang keras doktrin-doktrin aliran Karamiyah,
Syi’ah, Mu’tazilah, dan Mujassamah. Ia juga menjelaskan pembeda antara
dzahir dan bathin, serta syariat dan hakikat. Menurutnya, tidak haram jika
seseorang menikmati kesenangan dunia, asalkan tetap berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan Assunnah.
d. Al-Ghazali (450 H – 505 H)
Seperti halnya Al-Qusyairi, Al-Ghazali juga berupaya mengembalikan
ajaran tasawuf yang sesuai syariat agama dan bersih dari aliran-aliran asing
yang menyesatkan islam, dengan berpedoman pada Al Quran dan As sunnah
(Ajaran Rasulullah Saw). Tasawuf Al-Ghazali lebih kepada penekanan
pendidikan moral, dimana seseorang dianjurkan memperdalam ilmu aqidah
dan syariat terlebih dahulu sebelum mempelajari ketasawufan.
8

B. Tasawuf Irfani
1. Pengertian Tasawuf Irfani
Secara etimologis, kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata
‘arafa’(mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan
diindentikkan dengan makrifat sufistik. Orang yang ‘irfan/makrifat kepada
Allah adalah orang yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf
(ketersingkapan). Ahli irfan adalah orang yang bermakrifat kepada Allah.
Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang
memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi
hati tertentu (ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-
mubasyir al-wujdani (penangkapan langsung secara emosional), bukan
penangkapan langsung secara rasional.13
Sedangkan dalam konteks kebahasaan, ‘irfani dalam Bahsa Arab adalah
bentuk masdar dari ‘arafa yang artinya ma’rifat (ilmu pengetahuan). Kata
tersebut kemudian lebih dikenal sebagai terminologi mistis yang bermakna
pengetahuan tentang Tuhan.14 Dalam versi yang hampir sama, Soleh
menjelaskan, ‘irfani berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kalimat ‘arofa
semakna dengan ma’rifat yang berarti pengetahuan. Secara terminologis,
‘irfani bisa diartikan sebagai penyatuan ungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya
(kasyaf/ketersingkapan) setelah adanya olah ruhani (riyadloh) yang dilakukan
atas dasar cinta (mahabbah).15
Pendapat di atas diperkuat lagi oleh pendapatnya Shams C. Inati dalam
Mulyadi Kertanegara yang menjelaskan bahwa, ada dua modus dalam
memperoleh ilmu pengetahuan yang diakui ilmuwan-ilmuwan muslim.
Pertama, “bergerak dari objek-objek yang diketahui menuju objek-objek yang
tidak diketahui”. Kedua, “semata-mata merupakan hasil iluminasi langsung

13
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 145
14
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah,
2005), h. 95
15
Khudori Sholeh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013), h. 194
9

dari dunia Ilahi. Modus pengetahuan pertama adalah metode demonstratif atau
penalaran logika, sedangkan yang kedua dicapai melalui jalan intuitif.16
2. Konsep Tasawuf Irfani
Menurut Mulyadi Kertanegara, metode ‘irfani didasarkan pada
pengamatan indriawi atau intelektual (akal), tetapi lebih pada pengamatan
intuisi. Adapun ciri khas pengenalan intuitif adalah kelangsungannya, dalam
arti pengenalan langsung terhadap objeknya, tanpa melalui perantara
(intermediasi). Ini, pada gilirannya, terjadi karena adanya identitas antara yang
mengetahui (the knower) dan yang diketahui (the known) atau antara subjek
dan objek.17
Kaitannya dengan itu, intuisi dalam pandangan Suhrawardi dan Husserl
(dalam Hanafi) adalah asas atau landasan bagi teori pencapaian. Menurut
Suhrawardi intuisi mendahului pemehaman teks dan merupakan syarat
pencapaian maqam. Intuisi merupakan mediasi pencapaian substansi dinamis
yang mempolarisasikannya dari substansi statis maupun al-barazikh (objek-
objek pertengahan). Intuisi adalah cahaya, kasyf (penyingkapan), ilmu laduni
(yaitu ilmu pengetahuan yang didapatkan secara langsung dari Allah tanpa
melalui proses belajar maupun latihan) atau pengalaman spritual yang
menghasilkan sebuah ilmu pengetahuan. Sedangkan intuisi dalam pandangan
Husserl adalah pencapaian (pencerapan) yang jelas terhadap esensi otonom-
independen, atau pandangan kebatinan terhadap objek-objek temporer yang
lebih dekat pada pandangan rasional daripada pengalaman mistik.18
Hal di atas dipertegas oleh pendapatnya Murtadha Muthahhari dalam
Solihin dan Anwar, yang menjelaskan bahwasanya, sebagai sebuah ilmu, ‘irfan
memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Sebagai ilmu
teoriti, ‘irfan memiliki arti ilmu yang menjelaskan relasi sekaligus

16
Mulyadi Kertanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia,
(Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2007), h. 73.
17
Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2005), h.142.
18
Hasan Hanafi, Islamologi 2: dari Rasionalisme ke Empirisme, terj. Miftah Faqih,
(Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 301.
10

pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan Allah


SWT.
Sedangkan sebagai ilmu praktis, ‘irfan merupakan sebuah suluk atau
perjalanan rohani, yakni bagaimana seorang penempuh-rohani (salik) yang
ingin mencapai tujuan puncak kemanusian, yakni tauhid. Dalam
mempraktikkan tasawuf ‘irfani seseorang calon sufi harus mengawali
perjalanan dengan melewati tahapan-tahapan (maqamat) secara berurutan, dan
keadaan jiwa (hal) yang akan dirasakan oleh calon sufi ketika mencapai
maqamat itu.19
Adapun ‘irfan ilmi berhubungan dengan ontologi yang membicarakan
Tuhan, dunia, dan manusia. Aspek ini sangat mirip dengan filsafat Teologi.
Bidang yang dibahas adalah falsafah Ilahiah. Term ini merupakan gabungan
antara filsafat dan israqiyah. Dalam istilah Mulla Shandra gabungan kedua
aspek tersebut disebut hukmah al-muta’alliyah. Para pelaku ekstase memilki
suatu maqam khusus yang di dalamnya mereka sanggup mewujudkan ide-ide
otonom menurut bentuk yang mereka kehedaki, itulah apa yang disebut sebagai
“maqam kun”(mewujudlah!)..., ketika seseorang mengalami ekstase tertentu, ia
akan mendengar suara tersebut; selanjutnya ia mengisyaratkan dan mendapati
imajinasinya turut mendengar suara itu. Itulah bisikan dari sebuah ide terkait.
Setiap orang yang bergerak menaiki “tujuh rentang periode ketuhanan”, tak
kan kembali hingga melompati lapis demi lapis dari bentuk-bentuk indahnya.
Setiap kali ia mendaki lebih sempurna, penyaksiannya atas bentuk-bentuk
tersebut akan lebih jernih dan lebih menyenangkan. Ia pun akan terlempar ke
dalam cahaya dan terdorong untuk memasuki Cahaya Mahacahaya.20
Dari paparan di atas terlihat ada perbedaan yang mendasar. Jika filsafat
hanya mendasarkan argumentnya pada prinsip-prinsip rasional, tasawuf ‘irfani
mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.21 Ketersibakan yang dialami oleh

19
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,.... h. 146
20
Syihab Ad-Din Yahya As-Suhrawardi, Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya dan
Metafisika Huduri, terj. Muhammad Al-Fayyadl,(Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 213.
21
Opcit,.. h. 146.
11

seorang salik tergantung atau sesuai dengan keadaan jiwa (hal) dan tingkatan
rohaninya (maqam). Karena itu, pengetahuan ‘irfani tidak diperoleh
berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian
hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.
Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis.
3. Tahapan untuk Mencapai Tasawuf Irfani
Untuk bisa mencapai tasawuf‘irfani ada beberapa tahapan (maqamat)
yang harus dilalui oleh calon sufi, yaitu:
a. Maqamat sebagai tahap Persiapan
Maqamat adalah tahapan yang harus dilalui oleh setiap calon sufi
untuk bisa menjadi seorang sufi atau mencapai tingkatan tertinggi dalam
tasawuf irfani (mahabbah dan ma’rifat). Menurut Qusyairi, maqamat adalah
tingkatan yang dicapai oleh seseorang dalam menempuh jalur sufi, dan
setiap orang maqamnya berbedabeda. Calon sufi tersebut tidak bisa naik ke
maqam tertentu sebelum memenuhi maqam tertentu.22 Dan jika dia sudah
mencapai maqam tertentu, kemudian dia melakukan suatu hal yang
menjadikan dia rusak maqamnya, maka dia harus kembali pada maqam
yang paling dasar yakni tauba.
Adapun maqamat dalam tasawuf ‘irfani meliputi 7 tahap / tingkatan
yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, syukur, tawakkal dan ridha.
1) Taubat.
Taubat adalah menyesali atas perbuatan tercela yang telah
dilakukan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.
Menurut Imam Ghazali, taubat adalah sebagai tahapan awal para salik
dalam menapaki maqamat. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
agar taubat seseorang diterima yaitu (1) menyesali dengan sungguh-
sungguh perbuatan jelek yang telah dilakukan; (2) bertekad untuk tidak

22
Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Beirut: Daar al-Khair, tt), h. 57
12

mengulangi perbuatan jeleknya itu; (3) jika ada kaitannya dengan orang
lain maka harus meminta maaf dan meminta kerelaan.23
2) Zuhud.
Zuhud adalah upaya melepaskan diri dari ketergantungan nafsu
duniawi dan mengorientasikan segala sesuatu pada kehidupan ukhrawi.
Menurut Ghazali, zuhud adalah mengurangi kecintaan pada dunia dan
selanjutnya menjauhinya secara sadar dan ikhlas.
3) Sabar.
Menurut al-Ghazali ada 2 jenis kesabaran, yaitu (1) kesabaran jiwa,
artinya sabar dalam menahan nafsu makan dan seks, dan (2) kesabaran
badani, artinya sabar dalam menahan penyakit jasmani.24 Sedangkan Ibnu
Abbas mengklasifikasikan kesabaran ke dalam 3 bentuk yaitu (1) sabar
dalam menjalankan perintah Allah, (2) sabar dalam menjauhi larangan-
Nya, dan (3) sabar dalam menghadapi musibah dan cobaan.25
4) Faqr.
Faqr adalah sikap menerima dengan apa yang dipunyai tanpa menuntut
yang lainnya.26 Sikap ini dapat menjauhkan seseorang dari keserakahan.
Perbedaan faqr dengan zuhud yaitu jika faqr lebih dalam bentuk
penerimaan dan pemanfaatan fasilitas hidup yang dimiliki, sedangkan
zuhud lebih mengorientasikan segala sesuatu untuk kehidupan akhirat,
tanpa meninggalkan dunia karena dunia sebagai bekal untuk kehidupan
akhirat.
5) Syukur.
Syukur adalah berterimakasih kepada Allah SWT atas segala yang
telah diberikan kepada kita dalam bentuk apapun dan berapapun. Syukur
adalah menguatnya motivasi agama dalam mengalahkan motivasi
syahwat. Syukur kepada Allah merupakan bukti rasa terimakasih atas

23
Dimyati Syatha, Kifayat-Al-Atqiya’ terj., (Surabaya: Nur-Al-Huda), h. 14
24
Abu Hamid Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, Juz IV, (Beirut : Dar-Al-ma’rifah), h. 58-59
25
Mursyid Al-Amin, (Jakarta: Dar-Alkutub Al-Islamiyah), h. 185
26
Al-Kalabadzi, Taaruf fi madzhab Al-Tasawuf, (Mesir, 1960), h.105
13

nikmat dan karunia yang diberikan kepada hamba-Nya.27 Dengan


bersyukur maka hati akan tentram karena merasa bahwa segala sesuatu
adalah milik allah SWT dan manusia tidak mempunyai apapun.
6) Tawakal.
Tawakal berarti berserah diri kepada Allah SWT atas segala usaha
(ikhtiar) yang telah dilakukan. Dalam tawakkalh hanya Allah SWT lah
yang dijadikan sebagai tempat bergantung. Menurut al-Ghazali, tawakal
terdiri dari tiga tingkatan yaitu: (1) tawakal, (2) taslim dan (3) tafwidh.28
Tawakkal atau pasrah kepada Allah harus dilakukan setelah adanya
usaha dengan sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah tanpa adanya usaha
terlebih dahulu.
7) Ridla.
Ridha’ diartikan sebagai sikap menerima dengan senang hati dan
puas terhadap apa yang yang telah diberikan oleh Allah SWT. Menurut
Mahmud, ridha dapat memotivasi manusia untuk mencapai apa yang
disukai dan menjauhi apa yang dibenci oleh Allah.29 Dengan kata lain,
jika seseorang telah ridha terhadap apa yang diberikan oleh Allah maka
orang tersebut tidak akan pernah mengeluh dan kecewa. Apapun yang
diberikan allah baik itu kesenangan maupun ketidaksenangan (ujian)
maka dia akan selalu merasa bersyukur dan menerima dengan lapang
hati.
b. Ahwal sebagai Tahap Penerimaan
Ahwal merupakan jama’ dari kata hal yang artinya keadaan batin
salik.30 Ahwal adalah kondisi batin atau kejiwaan seorang sufi ketika sudah
mencapai pada suatu maqam dan naik ke maqam selanjutnya, sekaligus
ketika seorang sufi harus turun ke maqam yang paling dasar ketika dia gagal
mencapai maqam tertentu. Maqam atau tingkatan ini harus dilalui oleh

27
Syamsun Ni’am, ........, h. 59.
28
Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din....., h. 332.
29
Barmawie Umarie, Sistematika Tasawuf, (Sala, 1966), h. 81.
30
Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut, (Malang: UIN Press, 2010), h.
80.
14

seorang sufi dari tahapan yang paling rendah hingga mencapai tahapan
tertinggi. Adapun macam-macam ahwal yang dialami seorang sufi adalah
sebagai berikut:
1) Muhasabah.
Muhasabah dapat diartikan sebagai upaya intropeksi diri. Artinya
mengukur dan melihat kembali diri sendiri apakah segala perilakunya
telah sesuai dengan perintah Allah SWT, serta lebih banyak mana
kebaikan yang dilakukan dibanding dengan kejelekan yang telah
diperbuat.31
2) Mahabbah.
Dalam pandangan tasawuf, cinta atau mahabbah merupakan
kecenderungan hati untuk menyukai sesuatu. Jika cinta itu diarahkan
pada cinta kepada Allah, maka segala sesuatu yang ia cintai arahnya
adalah dalam rangka menggapai cinta kepada Allah.
3) Raja’ dan Khauf.
Raja’ mempunyai arti mengharapkan. Raja’ ini muncul karena ada
rasa suka atau cinta. Dalam sikap raja’ ada 3 hal yang selalu
mengiringinya yaitu: (1) mencintai terhadap apa diharapkannya, (2) ada
rasa khawatir atau takut yang diharapkan itu menghilang, (3) akan selalu
berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan harapan itu. Tanpa ada 3 hal
tersebut maka tidak akan disebut raja’ melainkan hanya sebagai hayalan.
Sedangkan khauf adalah rasa takut yang sangat bahwa dia tidak akan
mendapatkan balasan dari apa yang disukai. Atau rasa takut yang sangat
akan mendapatkan siksa dari Allah SWT.
4) Syauq.
Rindu akan muncul jika sudah ada rasa cinta.32 Menurut al-Ghazali,
besarnya rindu kepada Allah dapat diketahui dari seberapa besar cintanya
kepada Allah SWT. Kerinduan ini selalu menginginkan yang dirindukan
ada bersamanya dan juga merindukannya. Jika rindu itu kepada Allah

31
Mursyid Al-Amin, (Jakarta: Dar-Alkutub Al-Islamiyah), h. 226.
32
Ibid, h. 214
15

maka seseorang itu akan selalu menginginkan dekat dengan Allah dan
ingin Allah SWT juga merindukannya.33
5) Intim ( uns ).
Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tidak pernah merasa
kesepian.34 Jika seseorang telah mencapai pada ma’rifatullah, maka dia
tidak akan pernah merasa kesepian. Hal ini dikarenakan di setiap sisi
kehidupannya dipenuhi dengan cintanya dan pengetahuannya kepada
Allah SWT. Dia akan selalu merasa dekat dengan Allah SWT di
manapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun.
4. Tokoh dalam Tasawuf Irfani
a. Rabi’ah al Adawiyah (mahabbah)
Rabiah al-Adawiyah telah membuktikkan bahwa meskipun seorang
wanita dia mampu mencapai maqamat tertinggi dalam tasawuf. Jadi Jenis
kelamin tidak membatasi orang untuk bisa beribadah secara total kepada
Allah, oleh karena itu Allah tidak pernah melihat hambanya dari aspek
apapun kecuali dari tingkat ketaqwaanya. Dan itulah yang telah dibuktikan
oleh Rabiah al-Adawiyah.
Rabiah merupakan tokoh tasawuf pertama yang dianggap sebaga
pelopor dotrin cinta tanpa pamrih (kepada Allah). Di dalam sejarah
perkembangan tasawuf, hal ini merupakan konsepsi baru di kalangan sufi
kala itu. Karena itulah ia disebut “The Mother of The Grand Master atau Ibu
dari para sufi besar.
Ada dua batasan cinta yang dimunculkan oleh Rabiah al Adawiyah,
yaitu:
1) Cinta sebagai ekspresi cinta hamba kepada Allah, maka cinta itu harus
menutup selain yang dicintai. Artinya, jika seseorang benar-benar
mencintai Allah maka (1) dia harus memalingkan dirinya dari segala
sesuatu selain Allah SWT; (2) dia harus memisahkan dirinya dari hal-hal

33
Ghazali, Mendekati Allah dengan kecintaan.... .terj.Rosihan Anwar dan Asep Suhendat.
34
Solihi dan Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf...., h. 83.
16

selain Allah SWT; (3) dan dia harus meninggalkan semua hawanafsunya
yang mengarah pada kesengangan dunia.
2) Cinta tanpa pamrih kepada yang dicinta (Allah SWT). Artinya, ketika
seseorang benar-benar mencintai Allah SWT, maka sesungguhnya dia
tidak pernah mengharap imbalan dari Allah SWT baik itu berupa pahala
(surga) atau dijauhkan dari siksanya (neraka), tetapi dia benar-benar
mencintai Allah dan menerima dengan ihlas apapun yang diberikan Allah
kepada dirinya.35
b. Dzun Nun Al- Mishri (ma’rifat)
Julukan Dzu al-Nun diberikan kepadanya berhubungan dengan
berbagai kelebihan yang diberikan Allah kepadanya. Posisi Al-Mishri dalam
tasawuf dilihat penting karena dia lah orang pertama di Mesir yang
membicarakan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dia juga dipandang
sebagai bapak faham ma’rifah.36
1) Maqam
Maqam dari segi bahasa berarti kedudukan, tempat berpijak dua
telapak kaki. Bentuk jamaknya adalah Maqamat. Dalam ilmu tasawuf,
istilah maqam mengandung arti “ kedudukan hamba dalam pandangan
Allah, menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, latihan,dan
perjuangan menuju Allah “Azza wa jalla”.
2) Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal, yang dari segi bahasa berarti
sifat dan keadaan sesuatu. “Hal” merupakan pemberian yang berasal dari
Tuhan kepada hamba-Nya yang dikendaki-Nya.37
3) Ma’rifah
Ma’rifah secara etimologi berarti pengetahuan atau mengetahui
sesuatu yang seyakin-yakinnya. Sedangkan secara terminologi ma’rifah
adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
melihat Tuhan. Zun Nun al-Mishri di dalam kitabnya al-Qalam ‘alam
35
Rosihan Anwar, Akhlak Tasawuf ., h. 146-150.
36
Jamil, Akhlak Tasawuf, (Medan: Referensi, 2013), h.121-122.
37
Ris’an Ruslin, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2013), h.54-59.
17

alBasmalah membagi ma’rifat atau pengetahuan menjadi tiga klasifikasi.


Pertama, ma’rifat tauhid yang dialami oleh orangorang awam. Kedua,
ma’rifat alasan dan uraian mengenai Tuhan yang dialami oleh ilmuan,
filsuf,dan sastrawan. Ketiga, ma’rifat tentang sifat-sifat keesaan dan
ketunggalan Tuhan yang dialami oleh para wali dan para kekasih Allah
SWT.38
C. Tasawuf Falsafi
1. Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara
visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki,
tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.
Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang
telah memengaruhi para tokohnya.39 Tasawuf falsafi secara sederhana juga
dapat didefinisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk
mengembangkan kesucian bathin yang kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis.40 Sedangkan dalam definisi lain, tasawuf falsafi adalah sebuah konsep
ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan rasio
(filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal
Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul
wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.41
Dalam tasawuf falsafi, terdapat pemikiran-pemikiran mengenai
bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat beberapa term yang
telah masyhur yaitu:
a. Hulul

38
Ibid,. h, 63.
39
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 277.
40
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf, (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), h.
131.
41
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2015), h. 33.
18

Hulul merupakan salah satu konsep di dalam tasawuf falsafi yang


berimplikasi kepada bersemayamnya sifat-sifat keTuhanan ke dalam diri
manusia. Paham hulul ini disusun oleh Al-Hallaj.
b. Wahdah Al-wujud,
Wahdah Al-wujud dapat berarti penyatuan eksistensi atau penyatuan
dzat. Sehingga yang ada atau segala yang wujud adalah Tuhan. Tokoh
pembawa faham ini adalah Ibnu Arabi.
c. Ittihad
Ittihad kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah yang berarti satu
atau tunggal. Jadi ittihad artinya bersatunya manusia dengan Tuhan,
berdasarkan keyakinan bahwa manusia adalah pancaran Nur Illahi. Tokoh
pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-Busthami. Tingkatan ini
diperoleh oleh Yazid hampir selama 30 tahun. Selama itu Ia membentuk diri
dengan selalu dzikir kepada Allah. Hingga merasa bahwa Dia adalah diriku
sendiri.42
2. Konsep Tasawuf Falsafi
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan
tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol
kepada segi praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis
sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio
dengan pendekatan-pendekatan filosof yang sulit diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam.43
Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang
samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh
mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat
dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa
(dzauq) tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam

42
Ris’an Ruslin, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 96.
43
Ibid,.
19

pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa


filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.44
Menurut Ibnu Khaldun, ada empat objek utama yang menjadi perhatian
para sufi filosof antara lain sebagai berikut:
a. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
darinya.
b. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib seperti sifat-sifat
rabbani, Arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh.
c. Peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk
kerahmatan atau keluarbiasaan.
d. Menciptakan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya dan menyetujuinya.45
3. Tokoh dalam Tasawuf Falsafi
Tokoh-Tokoh Tasawuf Falsafi Di antara tokoh-tokoh tasawuf falsafi
adalah sebagai berikut:
a. Ibn Masarrah
Ibn Masarrah merupakan seorang sufi yang dianggap sebagai perintis
tasawuf falsafi yang hidup di Andalusia. Sekaligus dia dapat dianggap
sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam. Ajaran tasawufnya
dipengaruhi oleh pandangan filsafat emanasi sebagai kelanjutan dari
emanasi Plotinus.
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya
dari belenggu/penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa
penyinaran hati dengan nur Tuhan. Suatu ma’rifah yang memberikan
kebahagiaan sejati. Ia juga menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat
bersifat ruhani, sehingga di akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja,

44
Opcit,. h. 278.
45
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, h. 34.
20

tidak dengan badan. Pandangan yang amat mirip dengan pernyataan Ibnu
Sina tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat.46
b. Syibabuddin Suhrawardi
Inti ajaran tasawuf Isyraqiah yang dibawa Suhrawardi adalah bahwa
sumber segala sesuatu yang ada (al-maujudat) adalah Nur Al-Anwar (cahaya
mutlak atau cahaya segala cahaya) kosmos diciptakan Tuhan melalui
penyinaran sehingga kosmos terdiri atas tingkatan-tingkatan pancaran
cahaya. Cahaya tertinggi, sebagai sumber segala cahaya itu dinamakan Nur
Al-Anwar dan menurutnya itulah Tuhan yang abadi.
c. Ibnu Arabi
Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan
Islam bagian barat. Di antara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama
seperti, Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah. Ia
dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibnu
Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh
banyak pengaruh di Andalusia.47
Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-Makkiyah yang
ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya
lainnya adalah Tarjuman Al-Asuywaq yang ditulisnya untuk mengenang
kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga
seorang sufi di Persia.48
Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan
wujud). Namun, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut
ajaran sentralnya tidak berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah.49
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu
wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan,
sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan begitu, wahdat al-wujud berarti
kesatuan wujud. Pengertian wahdat al-wujud yang digunakan para sufi yaitu

46
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak & Tasawuf, h. 132.
47
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, h. 279.
48
Ibid,.
49
Ibid, h. 280.
21

paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu
kesatuan wujud.50
Menurut Ibnu Arabi, Tuhan adalah Pencipta alam semesta. Adapun
proses penciptaannya adalah sebagai berikut:
1) Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2) Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-
realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
3) Tanazul pada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nasfiah berpikir.
4) Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam
mitsal (ide) atau khayal.
5) Alam materi, yaitu alam indriawi.
Selain itu, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak
bisa dipisahkan dari ajaran hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad.
Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan
hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak
berhajat pada suatu apa pun.
2) Wujud hakikat Muhammadiyah merupakan emanasi (pelimpahan)
pertama dari wujud Tuhan. Dari sini, kemudian muncul segala yang
wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana yang
dikemukakan di atas.51
d. Al- Jili
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil
(manusia sempurna). Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy
Tuhan, seperti disebutkan dalam hadits.52

َ‫ىَصَوَرَةهَ َالرحَن‬
َ‫اللهَآدَ هَمَعَلَ ه‬
َ ََ‫خَلَق‬
”Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha Rahman.”

50
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h.
215.
51
Opcit,. h. 286.
52
Ibid,..
22

Hadits lain menyebutkan:

َ‫ىَصَوَرتَه‬
َ‫اللهَاَدَ هَمَعَلَ ه‬
َ ََ‫خَلَق‬
“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.”

Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiah pada


dasarnya merupakan milik insan al-kamil sebagai suatu kemestian yang
inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak
memiliki tempat berwujud, tetapi pada insan kamil.
Lebih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan
Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin yang seseorang tidak akan dapat
melihat bentuk dirinya, kecuali dengan melalui cermin itu. Demikian pula
halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan
cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya,
kecuali melalui cermin insan kamil.
Insan kamil bagi Al-Jili merupakan proses tempat beredarnya segala
yang wujud (aflak al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu
(wahid) sejak wujud dan untuk selamanya. Di samping itu, insan kamil
dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. Ia diberi
nama dengan nama yang tidak diberikan kepada orang lain; nama aslinya
adalah Muhammad, nama kehormatannya Abu Al-Qasim dan gelarnya
Syamsu Ad-Din.
Untuk mendekatkan diri pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh
jalan panjang berupa stasiun-stasiun atau disebut maqamat dalam istilah
Arab. Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat insan kamil
merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang
menurut istilahnya ia sebut al-martabah atau jenjang (tingkat). Tingkat-
tingkat tersebut adalah:53
1) Islam
2) Iman
53
Ibid, h. 292.
23

3) Shalah
4) Ihsan
5) Syahadah
6) Shiddiqiyah
7) Qurbah
e. Ibnu Sab’in
Ibnu Sab’in adalah seorang pengagas sebuah paham dalam kalangan
tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan
esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud
Allah semata. Adapun wujud lainnya adalah wujud Yang Satu itu sendiri.
Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari
wujud yang Satu. Dengan demikian, wujud dalam kenyataannya hanya satu
persoalan yang tetap. Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham
kesatuan mutlak.54
Dalam paham ini, Ibnu Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat
pertama. Sebab, wujud Allah menurutnya adalah asal segala yang ada pada
masa lalu, masa kini ataupun masa depan. Sementara, wujud materi yang
tampak justru dia rujukkan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan
demikian, paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual, bukan
materiil.55
Orsinalitas filsafat Ibnu Sab’in terletak pada perbandingan yang ia
buat antara lain alirannya tentang kesatuan wujud dengan aliran-aliran
fuqaha, teolog, filsuf, ataupun sufi, yang semuanya dia kaji dalam karyanya,
Budd Al-‘Arif.Dalam karya ini, dia menyatakan bahwa sebenarnya semua
aliran tersebut telah keliru, dibanding dengan paham para pencapai kesatuan
mutlak. Inilah yang dimaksud dengan lima peringkat atau lima tokoh.56
Paham Ibnu Sab’in tentangkesatuan mutlak membuatnya menolak
logika Aristotelian. Oleh karena itu, dalam karyanya, Budd Al-‘Arif, dia
berusaha menyusun logika baru yang bercorak iluminatif sebagai pengganti
54
Ibid,. h. 298.
55
Ibid,. h. 299.
56
Ibid,. h. 300
24

logika yang berdasarkan pada konsepsi jamak. Ibnu Sab’in berpendapat


bahwa logika barunya, yang dia sebut juga dengan logika pencapaian
kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan
penalaran. Akan tetapi termasuk embusan Ilahi, yang membuat manusia bisa
melihat yang belum penah dilihatnya ataupun mendengar yang belum
pernah didengarnya. Dengan demikian, logika tersebut bercorak intuitif.57

57
Ibid,. h. 301.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf Akhlaki adalah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna
memperoleh kebahagiaan yang optimal. Dengan kata lain tasawuf akhlaki adalah
tasawuf yang berkonsentrasi pada teori-teori prilaku, akhlak atau budi pekerti atau
perbaikan akhlak.
Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat
kebenaran atau ma’rifah diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran
atau pemikiran tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah).Ilmu itu diperoleh
karena si sufi berupaya melakukan tasfiyat al-Qalb.Dengan hati yang suci
seseorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan atau
ma’rifah dimasukkan Allah kedalam hatinya,hakikat kebenaran tersingkap lewat
ilham (intuisi).
Tasawuf Falsafia dalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan
(ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih
tinggi,bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih
tinggi dari itu, yaitu wahdatul wujud (kesatuan wujud).
Adapun orientasi dari masing-masing ilmu tersebut adalah :
1. Merupakan cabang dari ilmu tasawuf.
2. Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’I (tujuan-
tujuan syara’),karena bertasawuf pada hakikatnya melakukan serangkaian
ibadah.
3. Sama-sama bertujuan beribadah (pendekatan diri) kepada Allah secara murni.
4. Ketiga bagian tersebut secara esensial semua bermuara pada penghayatan
terhadap ibadah murni (mahdhah) untuk mewujudkan akhlak-alkarimah baik
secara individu maupun sosial.

25
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid,, Ihya Ulum Al-Din, Beirut : Dar-Al-ma’rifah, Juz


IV Al-Ghazali, Risalah Al-Ladunniyah, dalam Al-Qushur Al-Awali, Jilid I. Mesir:
Maktabah Al-Jundi. 1970.
Al-Kalabadzi. Taaruf fi Madzhab Al-Tasawuf. Mesir. 1960.
Al-Qusyairi. al-Risalah al-Qusyairiyah. Beirut: Daar al-Khair, tt Anwar,
Rosihan. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia. 2010.
As-Suhrawardi, Syihab Ad-Din Yahya. Hikmah Al-Isyraq: Teosofi Cahaya
dan Metafisika Huduri, terj. Muhammad Al-Fayyadl.Yogyakarta: Islamika. 2003.
Ruslin, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2013.
Said, Usman et.al, Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan
PTAIN SUMUT. 1998.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Supardi Djoko
Damono dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000.
Sholeh, Khudori. Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Solihin dan Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2008
Syatha, Dimyati. Kifayat-Al-Atqiya’, Surabaya: Nur-Al-Huda Tamrin,
Dahlan. Tasawuf Irfani: Tutup Nasut Buka Lahut. Malang: UIN Press. 2010
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawu f.Bandung: Pustaka Setia.2010.
Fadil SJ.Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang:
UIN Malang Press.2008.
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar.Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Rajawali Pers. 2015.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta: Rajawali Pers.
2015.
Solichin,Mohammad Muchlis. Akhlak & Tasawuf. Surabaya: Pena
Salsabila.2014.

26

Anda mungkin juga menyukai