Anda di halaman 1dari 14

‘URF, ISTISHHAB, SYAR’U MAN QABLANA

Dosen Pembimbing : H.j Andriana L.c. ,M.Ua.

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
- Nurul Husnina ( 170802083)
- Septian Eka Wahyu P (170802106)

ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS FISIP
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR RANIRY
BANDA ACEH 2018/2019
Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SAW, atas segala limpahan rahmat
dan karunia-nya sehingga dapat menyelesaikan makalah Ushul Fiqhinin dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk menambah sedikit pengetahuan mengenai „Urf, Istishab, dan Syar‟u
Man Qablana, sehingga kita dapat memahami secara mendalam dan terperinci.

Penyusun makalah ini dapat terselenggara berkat sumber-sumber referensi yang


sangat membantu mengenai „Urf, Istishab, Syar‟u Man Qablana dan untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan-bantuan materinya yang bermanfaat.

Banda Aceh, 30 November 2018

Kelompok 8
i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………… i

Daftar Isi …………………………………………………………………………………… ii

BAB I Pendahuluan

1. Latar Belakang ……………………………………………………………………. 1


2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 1

BAB II Pembahasan
A. „Urf atau Adat Kebiasaan ………………………………………………………… 2
B. Istishab atau Persangkaan Hukum ……………………………………………….. 5
C. Syar‟u Man Qablana ……………………………………………………………… 7

BAB III Penutup

Kesimpulan ………………………………………………………………………………. 9

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………. 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ilmu Ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang sangat penting dalam
menjelaskan syariat-syariat islam serta dalam menggali hukum yang tidak dimiliki
nash. Dalam Ilmu Ushul Fiqh ini banyak sekali pembahasan tentang sumber hukum
islam selain yang terdapat dalam al-quran dan sunnah.
Meskipun terdapat banyak perbedaan mengenai kehujjahan dari „Urf sebagai
salah satu sumber islam, namun merujuk pada hadits-hadits nabi dan juga praktek
para ulama terdahulu, maka hal itu dapat menunjukkan bahwasannya
diperbolehkannya memakai „Urf sebagai sumber hukum islam. Karena pada
prinsipnya agama islam menerima dan mengakui adat dan tradisi dalam masyarakat
selama tidak bertentang dengan al-quran dan sunnah. Islam tetap melestarikan tradisi
yang dianggap baik dalam masyarakat dan menghapus secara bertahap tradisi yang
dianggap bertentangan dengan al-quran dan sunnah.
Dalam peristilaan ahli ushul, Istishab berarti menetapkan hukum menurut
keadaan terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Ia diartikan juga
sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku
hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu
Al-quran dan sunnah telah memisahkan salah satu diantara hukum dalil Syar‟I,
ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan.
Tidak di syari‟atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil nashih.

2. Rumusan Masalah
1. „Urf atau Adat Kebiasaan ?
2. Istishab atau Persangkaan Hukum ?
3. Syar‟u Man Qablana ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. „Urf atau Adat Kebiasaan

Dilihat dari segi bahasa, kata‟Urf berarti sesuatu yang dikenal. Kata lain yang sepadan
dengannya adalah adat atau tradisi atau kebiasaan. Menurut istilah Syara‟ segala sesuatu yang
sudah dikenal masyarakat dan telah dilakukan seara terus menerus baik berupa perkataan atau
perbuatan. Sebagian ulama ushul fiqh, „Urf disebut juga adat sekalipun dalam pengertian
istilah tidak ada perbedaan antara „Urf dengan adat. Namun demikian,dalam pemahaman
biasa diartikan bahwa pengertian „Urf lebih umum daripada pengertian adat, karna adat selain
telah dikenal oleh masyarakat juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan- akan
merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi bagi orang yang melanggarnya.

Dilihat sepintas seakan akan ada kesamaan antara Ijma‟ dengan „Urf, karna keduanya
sama-sama ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya.
Perbedaannya ialah pada ijma‟ ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan
hukumnya. Oleh karena itu, para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya kemudian
ternyata pendapatnya sama. Sedangkan pada „Urf bahwa telah terjadi peristiwa atau kejadian,
kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya dan
ini dianggap baik pula oleh nasyarakat yang lain, lalu mereka juga mengerjakannya dan
menjadi terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah
berlaku diantara mereka. Pada ijma‟,masyarakat melaksanakan suatu pendapat karna para
mujtahid telah menyepakatinya, sedangkan pada „Urf, masyarakat mengerjakannya karna
telah biasa mengerjakannya dan memandang apa yang dikerjakan itu bernilai baik,

2
Berdasarkan hasil seleksi tentang „urf, maka „Urf dapat dibagi menjadi 4 kelompok,
yaitu: pertama,‟Urf yang lama secara substansial dan dalam pelaksanaannya mengandung
unsur kemaslahatan, tidak ada unsur mudaratnya.‟Urf dalam bentuk ini diterima sepenuhnya
dalam hukum islam. Kedua,‟Urf lama yang pada prinsipnya mengandung unsur maslahat
tidak ada unsur mafsadat, tetapi dalam pelaksanaannya tidak disambut baik oleh islam. „Urf
dalam bentuk ini dapat diterima dalam islam tetapi dalam pelaksanaannya mengalami
perubahan dan penyesuaian. Ketiga,‟Urf yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung
unsur mafsadat (merusak), maksudnya yang dikandungnya hanya unsur perusak dan tidak
mengandung unsur manfaatnya atau ada unsur manfaatnya, tetapi unsur merusaknya lebih
besar.‟Urf dalam bentuk ini ditolak oleh islam secara mutlak. Keempat,‟Urf yang telah
berlangsung lama, diterima oleh orang banyak karna tidak mengandung unsur mafsadat dan
tidak bertentangan dengan dalil syara‟ yang datang kemudian, tetapi secara jelas belum
terserap kedalam syara‟ baik secara langsung maupun tidak langsung. Adat atau „Urf dalam
bentuk ini jumlahnya banyak sekali dan menjadi perbincangan dikalangan para ulama. Bagi
kalangan para ahli hukum islam yang mengakuinya mempergunakan kaidah “Al „adatu
muhakkamatun” (adat dapat dijadikan sumber hukum sepanjang tidak bertentangan dengan
syara‟).1

„Urf dapat dibagi beberapa bagian. Pertama, apabila ditinjau dari segi sifatnya maka
„Urf dapat berupa perkataan, seperti perkataan walad yang berarti anak, termasuk didalamnya
anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi,dalam percakapan sehari-hari diartikan sebagai
anak laki-laki saja, dan dapat berupa perbuatan seperti jual beli dalam masyarakat tanpa
mengucapkan sighat akad jual beli, padahal sighat jual beli merupakan rukun yang harus
dilaksanakan, tetapi karena „Urf tidak melakukannya maka syara‟ membolehkannya.
Kedua,apabila ditinjau dari segi diterima atau tidaknya maka ada „Urf sahih yaitu „Urf yang
baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara‟, ada „Urf fasid,yaitu „Urf
yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara‟ seperti
mengadakan sesajen pada suatu tempat yang keramat.

1
Abdul Manan, reformasi hukum islam di Indonesia , Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm 90-94.
Ketiga, ditinjau dari ruang lingkup berlakunya maka „Urf dapar berupa „Urf „am, yaitu
„Urf yang berlaku pada satu tempat masa dan keadaan, seperti mengucapkan terima kasih
pada orang yang telah membantu kita dan pada „Urf khash, yaitu „Urf yang hanya berlaku
pada satu tempat, masa atau keadaan tertentu saja, seperti mengadakan halal bi halal yang
biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama islam setiap selesai melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan.

Dalam literatul yang membahas kehujaan „Urf sebagai sumber hukum,dapat diketahui
bahwa „Urf itu telah diamalkan oleh semua para ahli hukum islam terutama dikalangan
mazhab Hanafiah dan Malikiyah.ulama Hanafiah menggunakan istihsan dalam berijtihad
dan salah satu bentuk istihsan ini adalah istihsan al „Urf (istihsan yang menyandarkan pada
„Urf) ulama Malikiyah juga mempergunakan „Urf sebagai sumber hukum terutama „Urf
(tradisi) yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan
mendahulukannya dari hadis ahad. Ulama syafi‟yah banyak menggunakan „Urf dalam hal-
hal yang tidak ditemukan ketentuannya dalam hukum syara‟. Mereka mengemukakan
kaidah “ setiap yang datangnya syara‟ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara‟
maupun dalam bahasa, maka hal tersebut dikembalikanlah kepada „Urf. Ada juga hadis yang
berasal dari Abdullah bin mas‟ud yang dikeluarkan imam ahmaddalam musnadnya: “apa-
apa yang dilihat oleh umat islam sesuatu yang baik, maka yang demikian itu juga disisi
Allah juga adalah baik”, Imam Syafi‟I mempergunakan „Urf sebagai sumber hukum atas
dasar pertimbangan kemaslahatan ( kebutuhan orang banyak), dalam arti orang banyak akan
mengalami kesulitan bila tidak menggunakan „Urf sebagai hukum dalam menyelesaikan
berbagai masalah sosial yang timbul dalam masyarakat. Adat isttiadat atau „Urf yang tidak
bertentangan dengan hukum islam dapat dikukuhkan tetap harus berlaku bagi masyarakat
yang bersangkutan. Adat istiadat ini tentu saja yang berkenaan dengan soal muamalah.

4
Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di dunia perdagangan pada masyarakat
tertentu melalui inden misalnya, jual beli buah-buahan dipohon yang dipetik sendiri oleh
pembelinya, melamar wanita dengan memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran
mahar secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain (Mukhtar
Yahya, 1979:119,A, Azhar Basyir, 1983:4), harta bersama suami-istri dalam masyarakat
muslim Indonesia. Sepanjang adat istiadat itu tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Quran
dan As-Sunnah atau Al-hadist, dan transaksi dibidang muamalah itu didasarkan atas
persetujuan kedua belah pihak serta tidak melanggar asas-asas hukum perdata islam dibidang
muamalah (kehidupan sosial), menurut kaidah hukum islam yang menyatakan “adat dapat
dikukuhkan menjadi hukum” (al-adatu muhakkamah) hukum adat yang demikian dapat
berlaku bagi umat islam.2

A. Istishab atau Persangkaan Hukum

Dilihat dari segi bahasa kata istishab berarti Thalab al Mushahabah atau pemikiran, yaitu
berusaha menetapkan suatu ketentuan hukum tetap menjadi sesuatu. Menurut istilah, yang
dimaksud dengan istishab adalah memberlakukan hukum dengan tetap memberlakukan
hukum yang ada untuk saat ini dan akan datang, sesuai dengan hukum yang berlaku pada
masa sebelumnya, sebelum dalil yang mengubahnya.

Dari pengertian istishab tersebut dapat dipahami bahwa istishab itu adalah segala hukum
yang telah ditetapkan pada masa lalu dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali
jika telah ada yang mengubahnya dan segala hukum yang ada pada masa sekarang tentu telah
ditetapkan pada masa yang lalu. Contohnya, telah terjadinya pernikahan antara laki-laki A
dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada pada tempat yang berjauhan
selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C.
Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan
A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama
berpisah. Berpegang pada hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, tetap sah nya perwainan
A dan B, dan hukum ini ditetapkan dengan teori istishab.

2
Muhammad Daud Ali, hukum islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 123-124.
Sebagai sebuah teori dalam mengistinbat hukum, istishab dirumuskan dalam beberapa
kaidah, yaitu : pertama, bahwa segala sesuatu yang belum ada ketentuan pengharamannya
adalah mubah. Kaidah ini dirumuskan berdasarkan surat Al-Baqarah[2] : 29 dan surat Al-
Araf [7] :32 yang mengatakan bahwa Allah lah yang menjadikan segala yang ada dibumi ini
untuk umat manusia. Kedua, semua ketentuan-ketentuan umum yang tetap berlaku ke
umumannya sebelum ada dalil yang mentashishnya. Ketiga, semua ketentuan umum yang
telah terbentuk lewat suatu akad syar‟i tetap berlaku selama belum ada akad lain yang
menghilangkannya. Keempat, setiap ketentuan hukum yang telah terbentuk sebelum ada
kejadian yang mengubahnya, seperti orang yang berwudhu tetap kesuciannya sebelum ada
kejadian yang membatalkannya. Kelima, stiap mukalaf pada dasarnya tidak dibebani dengan
berbagai perbuatan, setiap laki-laki tidak punya kewajiban memberikan nafkah terhadap
perempuan sebelum melakukan akad nikah. Para pakar hukum islam dikalangan mashab
Syafi‟I, Hanafi dan Dzahiriyah mengemumakan dua argumentasi logika untuk mendukung
keabsahan pengguaan teori istishab sebagai metode penemuan hukun, yaitu : pertama, bahwa
ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya baik kajian nash maupun
kajian ijtihad, secara logika tetap berlaku sebelum ada yang mengubahnya. Kedua, para pakar
hukum islam sependapat bahwa ikatan suami-istri tetap berjalan sebelum ada tindakan yang
membatalkannya. Atau seseorang yang berwudhu tetap dalam kesuciannya sebelum ada
tindakan yang membatalkannya, bahwa keraguan akan batal atau wudhunya itupun tidak
dapat menghilangkan kesuciannya.

6
B. Syar‟u Man Qablana
Syar‟u Man Qablana adalah syariat atau ajaran Nabi-Nabi sebelum islam yang
berhuvungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.3
Contoh dari Syar‟u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqarah:183 yang
artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
 Pendapat para ulama tentang Syar‟u Man Qablana
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas ulama Hanafiah,Malikiyah, sebagian ulama
Syafii‟yah dan salah satu pendapat imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa
apabila hukum-hukum syariat sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW. Melalui wahyu, yaitu al-quran, bukan melalui kitab agama mereka yang telah
berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu maka umat
islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang dikemukakan adalah :4
1. Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena
itu, apa yang disyariatkan kepada para Nabi terdahulu dan disebutkan dalam al-
quran berlaku pada umat Muhammad Saw.
2. Selain itu tedapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para Nabi terlebih
dahulu, yaitu surat An-Nah:1235
 Pengelompokkan Syar‟u Man Qablana :
Syar‟u Man Qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-quran atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al-
quran atau hadist Nabi bahwa yang demikian telah di nasakh dan tidak berlakun
lagi bagi umat Nabi Muhammad seperti firman Allah dalam surat Al-An‟am :
146 yang artinya “kami haramkan atas orang-rang yahudi setiap binatang yang
punya kuku, dan dari sapi dan kambing kami harkam kan kepada mereka
lemaknya”

3
Satria Effendi, ushul fiqh , Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 162-163.
4
Nasrun Haroen, ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 152.
5
Satria Effendi, ushul fiqh , Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 165-166.
Hukum-hukum dijelaskan dalam Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan
Allah untuk orang yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam al-quran
bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad.
2. al-quran maupun hadist Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan
dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk
selanjutnya.
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-quran atau hadist Nabi, dijelaskan
berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak
dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut
telah di nasakh.6

6
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 417-419.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
„Urf adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan
suda mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka.
Istishab adalah apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu pada prinsipnya
berlaku pada masa yang akan datang.
Syar‟u Man Qablana adalah syari‟at sebelum kita yaitu syari‟at hukum dan ajaran-
ajaran yang berlaku pada para Nabi Muhammas SAW, diutus menjadi rasul seperti
syari‟at Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa dan Nabi Isa.
Jadi kesimpulan dari makalah kami yang kami baca bahwa „Urf, Isttishab, Syar‟u
Man Qablana adalah dalil hukum yang tidak disepakati.

9
DAFTAR PUSTAKA

Manan, Abdul. 2006. Reformasi hukum islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada

Ali, Mohammad Daud. 2006. Hukum islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Effendi, Satria. 2009. Ushul fiqh, Jakarta: Kencana

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

10

Anda mungkin juga menyukai