· Ulama Ushul => (yaitu sabda, perbuatan dan taqrir Nabii SAW yang membawa konsekuensi
hukum dan menetapkannya).
Hadits => segala sesuatu yang baru, yakni yang biasa digunakan untuk sesuatu yang
diriwayatkan oleh Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan dan taqrir.
Khabar => khabar adlh apa yg datang dari selain Nabi SAW. Oleh krn itu orang yang ahli
dengan sunnah disebut MUHADDITS. Sedangkan orang yang sibuk dengan sejarah dan
sejenisnya disebut AKHBARIY
· Menurut Ulama Hadits=> segala sesuatu yang mencakup pada diri Rasul, Sahabat dan
Tabi’in.
} Hadits Qudsi => Yaitu setiap hadis yang mengandung penyandaran RASUL SAW kpd ALLAH SWT.
Perbedaan antaraHADIS QUDSIY dinisbatkan kpd Allah, HADIS NABAWI dinisbatkan kpd Rasul
SAW. dan diriwayatkan dari Rasul.
} Taqrir => segala sesuatu yang muncul dari sahabat yang diakui keberadaannya oleh Rasul baik
berupa ucapan maupun perbuatan dgn cara diam tanpa pengingkaran atau persetujuan dan
keterusterangan Rasul menganggapnya baik bahkan menguatkannya.
· Matan=> secara etimologis yakni segala sesuatu yang keras bagian atasny (bagian permukaan yg
tampak darinya)
· Sanad=> secara etimologi berarti bagian bumi yang menonjol dan sesuatu yang berada di
hadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda memandangnya.” Bentuk jamaknya
adalah ISNAD.
Segala sesuatu yang anda sandarkan kpd yang lain disebut MUSNAD.
Klasifikasi Hadits Berdasarkan Kuantitas Sanad
Syarat2 Mutawatir=>
b. Ashhab Al Syafi’i menentukan minim 5 org yg diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang
mendapat Ulul Azmi.
3) Adanya keseimbangan jumlah antara rawy-rawy dalam tahabaqah (lapisan) pertama dengan
jumlah rawy-rawy dalam thabaqah berikutnya.
Hadits Ahad=> satu, hadits yang tdk memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Hadits ini
terbagi menjadi 3 => Hadits Masyhur => Hadis yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih
pada setiap tingkatan sanad dan tidak mencapai tingkat mutawatir(terkenal), Hadits Aziz
=> Hadis yg diriwayatkan oleh dua org walaupun dua orang rawi itu pd satu thabaqat saja,
setelah itu diriwayatkan orang banyak (Mulia/Kuat) dan Hadits Gharib => Hadis yg dlm
sanadnya terdapat seorang perawi saja dlm meriwayatkan dimana saja. Hadis gharib ada 2
yaitu gharib muthlaq=>penyendirian rawi mengenai personalianya mulai tabi’i. gharib
nisby=> suatu hadis dimana ada rawi yang memiliki sifat atau keadaan yang berbeda dgn
yang lainnya. Penyendirian rawi dapat terjadi dari segi sifat keadilan (kedhabitan) rawi,
tempat tinggal, meriwayatkan dari rawi tertentu.
MODUL MATA KULIAH ULUMUL HADITS
1
MODUL MATA KULIAH
ULUMUL HADITS
2
DAFTAR ISI
MATA KULIAH : ULUMUL HADITS
1. Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam………………………….. hal
2. Sejarah dan Perkembangan ilmu Hadits hal
3. Pengantar Mustholah Hadits hal
4. Hadits Shohih dan Permasalahannya hal
5. Hadits Hasan dan Permasalahannya ………………………………………………. Hal
6. Hadits Dhoif (1) …………………………………………. Hal
7. Hadits Dhoif (2) ……………………………………….. hal
8. Nasikh wal Mansukh …………………………………………………………….. hal
9. Rambu-rambu mengenal Sunnah ………………………………………….. hal
3
MATERI 1 :
SUNNAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM SYARIAT ISLAM
A. PENGERTIAN AS-SUNNAH :
As-Sunnah secara etimologis berarti : ath-thoriiqoh wa siroh jalan dan perjalanan ,
sama saja apakah terpuji atau tercela. Dan bentuk jamak / pluralnya adalah : sunan
Pengertian as-sunnah dari dengan makan tersebut ini bisa kita lihat dalam beberapa
ayat dan hadits, diantaranya :
“ Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum
(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (QS
Al Ahzab 22)
Sementara secara istilah, As-Sunnah diartikan secara berbeda sesuai dengan
penekanan bidang ilmu masing-masing, diantaranya adalah sebagai berikut :
4
Maka As-Sunnah adalah pokok yang kedua dari sumber-sumber dalil syariat Islam.
Kedudukannya setelah Al-Quran. Legalitas As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam,
dikuatkan dengan dalil-dalil diantaranya sebagai berikut :
Pertama : Dari Al-Qur’anul Karim :
1) Allah SWT telah menegaskan perintah untuk mengikuti dan mentaati Rasulullah
SAW. Firman Allah SWT :
“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah “ ( QS Al Hasyr7 ).
Firmannya yang lain : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya),2)
Allah SWT juga menegaskan larangan untuk ragu-ragu atas hukum yang
dikeluarkan Rasulullah SAW.
Firman Allah SWT : “ Dan tidaklah patut bagi lakilaki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka “ ( QS al-Ahzab 36 )
5
Perintah diatas baik sholat, zakat, puasa maupun haji sangat bersifat general, dan
tidak dapat dikerjakan kecuali dengan perincian teknisnya yang ada pada Sunnah.
Maka dalam As-Sunnah kita dapat mengetahui misalnya : waktu-waktu sholat,
jumlah rekaatnya, dan cara pelaksanaannya. Begitu pula dengan zakat, kadar
wajibnya, waktu pengeluarannya, dan harta-harta yang wajib dizakati. Begitu pula
pada shaum dan haji.
C. TINGKATAN AS-SUNNAH DIANTARA DALIL-DALIL SYAR’I LAINNYA.
Tingkatan As-Sunnah di dalam urutan dalil syar’I ada pada urutan kedua setelah Al-
Quran, hal ini dilandaskan pada hal-hal sebagai berikut :
2) Karena As-Sunnah adalah berfungsi sebagai bayan atau penjelas dari hukum
Al-Quran, maka As-Sunnah baru dianggap / dipakai setelah tidak ada sebuah
hukum yang jelas dalam Al-Qur’an tentang sebuah masalah.
3) Apa yang ditunjukkan dalam akhbar dan atsar, diantaranya hadits Muadz
saat diutus Rasulullah SAW ke Yaman : Ketika itu Rasulullah SAW bertanya
padanya : “ Dengan apa engkau berhukum ? “ , maka dijawab : “ dengan
Kitabullah “ , kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau
dapatkan ( dalam Kitabullah )”, maka dijawab : “ Dengan sunnah Rasulullah
SAW “, kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau dapatkan (
dalam Sunnah ) ?”. Maka Muadz menjawab : “ aku akan berijtihad dengan
pikiranku “
6
perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-Quran dan dikuatkan oleh As-
Sunah. Yang keduanya digunakan sebagai dalil.
Kedua : As-Sunah sebagai perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal)
dari Al-Quran, sebagai pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham),
sebagai pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, dan memberi
pengkhususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum ('am) dari Al-Quran.
Ketiga : As-Sunah sebagi dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan hukum.
Di dalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan larangan, tanpa ada di
dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan As-Sunah, bukan Al-
Quran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat fitrah, menolong orang
yang dianiaya, dan lain-lain. Di dalam bentuk larangan seperti hukum dilarangnya
bagi suami untuk berpoligami dengan mengumpulkan perempuan bersama bibi
perempuan tersebut (bibi dari pihak ayah atau ibu), hukum haramnya bersetubuh di
siang hari bulan Ramadhan, hukum haramnya memakan daging binatang buas yang
bertaring, dan lain-lain.
7
didipannya,kemudian dia berkatayang artinya :"Kalian harus berpegang dengan Al
Qur'an saja, perkara yang dihalalkan didalamnya kita halalkan dan yang diharamkan
kita haramkan", ketahuilah apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama dengan yang
diharamkan oleh Allah "(HR Abu Daud ).
Tuduhan dari paham ingkarus sunnah dan hujjah-hujjahnya sangat lemah dan bisa
dibantah dengan mudah. Salah satunya adalah dalam Al-Quran banyak dalil dan
perintah untuk mengikuti dan mengambil Rasulullah SAW sebagai rujukan. Artinya,
mereka yang tidak mau mentaati Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah
menentang perintah Al-Quran itu sendiri. Bantahan selanjutnya, secara logika
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tidak mungkin ajaran syariat
Islam bisa diimplementasikan dengan sempurna, kecuali setelah mengetahui
penjelasan teknisnya dari As-Sunnah. Wallahu a’lam.
8
MATERI 2 :
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS
A. PERHATIAN ULAMA ISLAM TERHADAP HADITS NABI
Umat Islam –khususnya para ulama- sejak dulu sangat mempunyai perhatian khusus
terhadap hadits-hadits nabi, baik secara periwayatan, hafalan maupun
pengkajiannya, sehingga hadits menjadi tetap terjaga sebagai sumber kedua dalam
sumber perundangan dan hukum Islam setelah Al-Quran. Setidaknya ada dorongan
yang membuat mereka melakukan hal tersebut.
Pertama : Motivasi Menjalankan Agama ( al-Baits ad-diiny)
Sudah sangat jelas bahwa hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam. Dimana
banyak sekali permasalahan-permasalahan kehidupan, baik ibadah maupun
muamalah yang membutuhkan hadits untuk menjawabnya, ketika tidak terdapat di
dalam Al-Quran. Karenanya, eksistensi kehidupan beragama kaum muslim tidak bisa
di pisahkan dengan keterjagaan dan kemurnian hadits-hadits nabi. Maka tidak heran
jika kemudian para ulama bersemangat dalam mengembangkan ilmu hadits.
Kedua : Motivasi Sejarah ( al-baaits at-tarikhy)
Umat Islam sebagaimana umat yang lainnya juga menghadapi gangguan dan
tantangan budaya /pemikiran dari pihak luar. Sehingga diperlukan penjagaan
kemurnian kekayaan pemikiran dan budayanya agar tidak hilang, punah atau
ternodai dengan budaya lainnya.Hadits nabi sebagai salah satu warisan kekayaan
pemikiran umat Islam harus senantiasa di jaga kemurniannya, maka kemudian
lahirlah kaidah-kaidah yang selanjutnya disebut ulumul hadits. Bukan rahasia pula,
bahwa salah satu sebab munculnya kaidah-kaidah tersebut juga karena sudah mulai
timbul banyak pemalsu hadits (wadhi' al hadits), yang sebagian besar membawa
unsur budaya luar.
9
lahirnya ulumul hadits. Diantara usaha-usaha yang dilakukan para sahabat dalam
masalah ini antara lain :
Pertama : Meminimalisir periwayatan hadits dari Rasul SAW ( taqlil ar-riwayah 'an
rasulillah ) :
Para sahabat ra dahulu khawatir dengan banyaknya periwayatan hadits akan
menyebabkan mereka terjatuh dalam kesalahan atau kealpaan dalam sebuah hadits,
sehingga kesalahan tersebut dapat menyebabkan 'pendustaan / kebohongan' atas
nama Rasulullah SAW yang diancam sangat keras oleh Islam. Rasulullah SAW
bersabda : " Barang siapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka
tunggulah tempatnya di neraka " (HR Ahmad, Tirmidzi dan yang lainnya)
Selain sebab di atas, para sahabat juga khawatir dengan banyaknya periwayatan
hadits akan menyibukkan mereka dan mengalihkan perhatian mereka dari Al-Quran.
Contoh bentuk riil yang dilakukan sahabat : Umar bin Khatab ra mengingkari siapa
saja yang meriwayatkan hadits terlalu banyak. Abu Hurairah ra , seorang sahabat
yang paling banyal meriwayatkan hadits , suatu ketika ditanya seseorang : " Apakah
engkau membacakan hadits pada jaman Umar persis seperti sekarang ini ? ". Maka
Abu Hurairah ra segera menjawab : " Seandainya aku membacakan hadits pada
jaman Umar seperti aku membacakan hadits kepada kalian saat ini (yaitu banyak
hadits), sungguh ia (Umar) pasti akan memukulku dengan tongkatnya ".
Contoh lain bentuk kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan hadits, sebagaimana
yang dilakukan oleh Anas bin Malik ra. Beliau setiap kali usai menyampaikan hadits
dari Rasulullah SAW, beliau segera mengatakan : “ au kama qoola ar-rasuul “ Atau
sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW. "
Kedua : Memastikan Kejelasan sebuah Riwayat ( at-tastsabbut fi ar-riwayah)
Para sahabat juga berhati-hati dalam menerima sebuah riwayat hadits yang belum
pernah di dengarnya. Sebagian mensyaratkan adanya kesaksian, sebagian lain
mensyaratkan untuk bersumpah.
Adalah Abu Bakar ra yang dikenal pertama kali berhati-hati dalam menerima sebuah
khobar. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab bahwa suatu ketika ada seorang nenek tua
yang mendatangi Abu Bakar dan meminta kejelasan tentang haknya dalam harta
waris. Abu Bakar kemudian menjawab : " Aku tidak mendapatkan bagianmu (hak
10
waris) di Kitabullah, begitu pula aku tidak tahu jika Rasulullah SAW pernah
menyebutkan soal itu ". Setelah itu Abu Bakar ra bertanya kepada sahabat lainnya,
maka berdirilah Mughiroh dan mengatakan : " Aku mendengar Rasulullah SAW
memberikan bagian baginya (nenek) seperenam ".Kemudian Abu Bakar bertanya : "
Apakah ada yang lain bersamamu (mendengarkannya) ? ". Maka kemudian
Muhammad bin Maslamah ikut bersaksi, dan Abu Bakar pun menerima dan
menjalankan aturan tersebut.
Ketiga : Mengembangkan Kritik muatan yang diriwayatkan ( naqdu al-marwiyat)
Caranya adalah dengan membandingkan apa yang diriwayatakan dengan apa yang
terkandung dalam Al-Quran. Seandainya bertentangan maka mereka
meninggalkannya. Salah satu contohnya adalah : Umar bin Khatab mengeluarkan
fatwa bahwa bagi seorang wanita yang ditalak ba'in tetap mendapat hak nafkah dan
tempat tinggal. Maka kemudian datang Fatimah binti Qais yang meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengatakan kepadanya dalam masalah ini,
yaitu tidak ada lagi hak nafkah dan tidak juga tempat tinggal. Mendengar hal
tersebut Umar mengatakan : " Kita tidak akan meninggalkan Kitabullah karena
perkataan seorang perempuan, mungkin saja ia hafal atau mungkin juga telah lupa ".
Yang dimaksud Umar tentu adalah ayat-ayat sebagai berikut : "serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang" (QS at Tholaq 1), dan juga firman Allah SWY : “Tempatkanlah mereka
(para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS at-
Tholaq: 6)
Memang masalah ini dalam pembahasan fiqh memang terdapat perbedaan di
antara ulama. Kisah tersebut ditampilkan sebagai salah satu contoh upaya kritik
muatan riwayat yang dilakukan pada masa sahabat.
C. PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Pada masa selanjutnya, ketika terjadi perbedaan antara Ali bin Abi Tholib dan
Muawiyah bin Abu Sufyan, berkembanglah paham fanatisme pada masing-masing
pihak. Mereka membela pemimpinnya dengan banyak cara. Ada yang mentakwilkan
11
ayat Al-Quran, memaksakan penafsiran menurut keinginannya, dan ada pula yang
melakukan hal yang sama terhadap as-Sunnah. Tidak berhenti begitu saja, mereka
mulai memalsukan hadits untuk kepentingan fanatismenya atau membela
golongannya.
Contohnya, di pihak Ali beredar sebuah hadits palsu : " Barang siapa yang ingin
melihat ilmunya Adam, ketakwaan Nuh, kelembutan Ibrohim, kekuatan Musa,dan
ibadahnya Isa, maka lihatlah pada Ali ". Begitu pula di pihak Muawiyah, diriwayatkan
sebuah hadits palsu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : " Orang yang
terpercaya (al-umana') itu ada tiga : Aku (Rasulullah), Jibril dan Muawiyah ! ".
Maka kemudian berkembanglah pemalsuan hadits hingga para ulama mulai
berusaha mencegahnya. Setidaknya mulai dari akhir masa sahabat dan awal-awal
masa tabi'in, mereka mulai memperhatikan dan mengkaji tentang isnad hadits, dan
keadaan para perawinya.
Muhammad bin Sirin berkata : Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang
isnad (perawi-sandaran hadits), kemudian setelah terjadi fitnah ( antara Ali dan
Muawiyah-red) maka mereka mulai mengatakan ketika mendengar hadits : "
Sebutkan pada kami siapa saja sumber riwayatmu ", ketika dilihat para perawi dari
ahli sunnah maka hadits tersebut diambil. Sebaliknya, jika para perawi berasalah
dari ahli bid'ah, maka haditsnya di tolak.
D. PENULISAN HADITS
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan
penulisan Al-Qur’an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada
keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat
duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)
12
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang
mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H)
yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah” . Demikian pula dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih
belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai
akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama
Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di
daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau
menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis haditshadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits
ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang
ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad
bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah
wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur. Menurut pendapat yang populer di
kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta
membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di
kota-kota besar yang lain.Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan
disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’, Kutubus Sittah
dan lain sebagainya.
13
lupa ilmu mustholahul hadits. Namun secara umum, ilmu hadits dari bidang
pembahasaanya bisa dibagi menjadi dua bagian besar :
Pertama : Ilmu hadits riwayah
Adalah ilmu yang membahas proses pemindahan/pencatatan apa-apa yang
disandarkan pada Rasulullah SAW, baik yang berupa ucapan, perbuatan, ketetapan
atau sifat akhlak dan sifat lahiriah beliau. Sehingga fokus pembahasan adalah haditshadits
Rasulullah SAW itu sendiri dan proses perpindahannya. Manfaat ilmu ini
adalah : menjaga sunnah dan memastikannya terbebas dari kesalahan dalam proses
perpindahannya.
Kedua : Ilmu Hadits Diroyah
Yaitu kumpulan kaidah-kaidah dan permasalahan yang dengannya bisa diketahui
kondisi/keadaan para perawi (rowi) dan yang diriwayatkannya (marwa), dari segi
apakah bisa diterima atau tidak. Yang dimaksud dengan keadaan perawi adalah :
Mengetahui kondisinya secara objektif baik ataupun kurang baik, dan apa-apa yang
berhubungan dengan proses bagaimana dia meriwayatkan hadits. Fokus
pembahasan ilmu ini pada sanad dan matan hadits, serta kondisi yang melingkupi
keduanya. Manfaat utama dari pembahasan ilmu ini adalah mengetahui sebuah
hadits bisa diterima atau ditolak.
Pada perkembangan selanjutnya, Ilmu Hadits Diroyah juga biasa disebut dengan
Ilmu Hadits saja, atau juga dengan sebutan Ilmu Mustholahul Hadits.
14
MATERI 3 :
PENGANTAR ILMU MUSTHOLAHUL HADITS
A. PENGERTIAN AL-HADITS
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1) al jadid minal asyya’ (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup
sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2) Qorib (yang dekat)
3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari
makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah,
yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik
setelah diangkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz
hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir
beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir
beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli
ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits,
seperti urusan pakaian.
15
(setelah berjalan lagi) mereka menemukan air dan masih dalam waktu
sholat. Maka seorang dari mereka mengulang wudhu dan sholatnya,
sementara yang lainnya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah SAW
dan menyebutkan hal tersebut, maka Rasulullah mengatakan pada yang
tidak mengulangi sholat dan wudhu : “ engkau mendapatkan sunnah, dan
sholatmu sah “, dan mengatakan pada yang mengulangi sholat dan wudhu : “
bagimu pahala dua kali “. ( HR Abu Daud & an-Nasa’i)
4. Sifat atau Siroh, berupa penggambaran sifat-sifat Rasulullah SAW, baik secara
fisik maupun akhlak. diantaranya hadits : dari Jabir bin Abdullah ia berkata :
Rasulullah SAW tidak pernah melihatku sejak aku masuk islam kecuali ia
senantiasa tersenyum padaku . ( HR Tirmidzi )
16
Dzat Allah SWT al-Muqoddasah ( yang suci ) . Hadits Qudsy secara istilah : Apa-apa
yang disandarkan Nabi SAW pada Allah SWT
Format periwayatan Hadits Qudsy terbagi dalam dua bentuk :
Pertama : Rasulullah SAW bersabda , dari apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya Azza
wa jalla . Contoh :
Dari Abu Dzar ra, dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Allah tabaaroka wa ta’ala,
Dia berkata : “ Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku
menjadikannya haram diantara kamu, maka janganlah saling menzhalimi … “ ( HR
Muslim )
Kedua : Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : Contoh :
Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : “
Aku berada dalam dugaan (dzhan) hamba-Ku pada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia
menyebut-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, maka Aku akan Menyebutnya
dalam diri-Ku, dan jika ia menyebut-Ku dalam kumpulan (berjamaah), maka Aku
akan Menyebutnya dengan kumpulan yang lebih baik dari itu “ ( HR Bukhori )
17
Pengertian, Objek dan Fungsi
• Yang dimaksud dengan Ilmu Mustholahul Hadits adalah : Ilmu tentang pokokpokok
dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan
sebuah hadits dari sisi diterima atau tidaknya.
• Objek pembahasannya adalah : Sanad (jalan hadits) dan matan (lafadz hadits)
dari sisi diterima atau tertolaknya.
• Fungsi dari ilmu ini adalah : membedakan hadits yang shohih dengan yang cacat
dari hadits-hadits yang ada.
18
Hadits menurut proses periwayatan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
mutawattir dan ahad. Keduanya mempunyai pembahasan tersendiri sebagaimana
berikut :
PERTAMA : HADITS MUTAWATIR
Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabbi’ yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang
dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan."
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
19
mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah
200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
• Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.
Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah: "Wahai nabi cukuplah Allah dan
orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
Tarjih dari Mahmud Muhammad Thohan ( Taysir Mustholah hadits) adalah
jumlah sepuluh perawi.
3) Jumlah tawattur ada baik dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syaratsyarat
seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi
menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat
bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu
Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar.
Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan
hadits.
20
2) Muttawattir makna :adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun
lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya
hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf, hadits tentang
membasuh atas khuf, mengangkat kedua tangan dalam doa, tentang al-Quran
diturunkan dalam tujuh huruf, dst.
Hadits Masyhur :
• Secara istilah, hadits masyhur adalah : hadits yang diriwayatkan minimal tiga
perawi dalam setiap tingkatannya selama belum mencapai jumlah tawattur.
Contoh hadits Masyhur adalah, diriwayatkan dari Amr Ibn Ash, Rasulullah SAW
bersabda :" Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari
hambanya, akan tetapi dengan mengangkat para ulama (meninggal), hingga
ketika tidak tersisa seorang alim, orang-orang menjadikan pemimpin mereka
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa
menggunakan ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan" (HR Bukhori dan
Muslim)
• Selain definisi di atas, ada juga pengertian hadits masyhur yang tanpa terikat
dengan jumlah perawinya. Yaitu hadits yang 'masyhur' atau benar-benar dikenal
secara umum, baik pakar hadits, fiqh maupun orang awam.
Contoh : " Hal yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq
(perceraian) " (HR Al-Hakim)
• Hadits Masyhur tidak bisa langsung dihukumi sebagai hadits shohih atau tidak,
karena di dalamnya ada yang termasuk kategori shohih, hasan, dhoif atau
bahkan maudhu’.
Hadits 'Aziz :
21
yaitu hadits yang diriwayatkan minimal dua perawi dalam semua tingkatannya .
Contoh hadits aziz, Rasulullah SAW bersabda dari Anas bin Malik:
" Tidak (sempurna) keimanan seorang dari kalian, hingga aku lebih ia cintai dari
orangtuanya, anaknya, dan orang lain semuanya " ( HR Bukhori dan Muslim)
Hadits Ghorib :
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi saja, baik di asli sanadnya (
shohabat) yang disebut dengan Gharib Mutlaq, ataupun di tengah dan akhir
tingkatan sanadnya yang disebut Ghorib Nisby.
• Contoh Gharib Mutlaq adalah hadits tentang Niat : Innamal a'maalu
binniyat..dst, yang diriwayatkan sendirian oleh Umar bin Khatab ra pada asli
sanadnya.
• Contoh Gharib nisby adalah hadits Malik dari Zuhri dari Anas ra : bahwa
Rasulullah SAW memasuki Mekkah dan di atas kepalanya ada mighfar
(semacam topi besi) (HR Bukhori Muslim). Dalam hadits ini Malik sendirian
menerima dari Az-Zuhri.
22
MATERI 4 :
HADIST SHOHIH DAN PEMBAHASANNYA
Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya
terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahîh dan Hasan. Masing-masing dari
keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan
demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu:
1) Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen)
2) Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen)
3) Shahîh Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung)
4) Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung)
A. PENGERTIAN SHOHIH
Secara bahasa (etimologi), kata shohih (sehat) adalah antonim dari kata saqiim
(sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya
(haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya,
maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: Hadits yang bersambung sanadnya
melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat
semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur sanad), dengan tanpa adanya syudzûdz
(kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)
Penjelasan Definisi & Syarat Hadits Shohih
1) Ittisolu sanad : Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat
di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya.
2) Adalatu rowy :Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan
juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
3) Ad-Dlobit : Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para
periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan
pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab)
23
4) Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori
Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat
orang yang lebih Tsiqah darinya)
5) Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl
(yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar,
tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya
kelihatan terhindar darinya.
B. CONTOH HADIST SHOHIH
Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya
kami berikan sebuah contoh untuk itu.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-
Bukhâriy, dia berkata:
‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan
kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari
ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam
telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
a) Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya
mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ‘an (dari) oleh Malik,
Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya
karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai
Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
b) Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut
data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama al-
Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm
Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka
berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat
c) Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih
kuat darinya.
24
d) Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
25
aku tinggalkan lebih banyak.” Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus
ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
Jumlah Hadits dalam Shohih Bukhori Muslim
• Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits.
• Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga.
26
kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini
masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh.
Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun
per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm
Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di
dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama
Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H
dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan
bab-bab.
Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan
hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109)
Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena
penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali.
Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu
keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.
F. TINGKATAN KESHAHIHAN SEBUAH HADITS
Jalur Periwayatan /Sanad yang Terbaik
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan
secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan
keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara
sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat
keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad
tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian,
sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap
paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat
yang menurutnya lebih kuat.
27
Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling
shahih adalah:
a) Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad.
b) Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan
yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
c) Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini
adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
d) Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
e) Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari
Imam al-Bukhariy.
28
4) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan
keduanya tidak mengeluarkannya
5) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia
tidak mengeluarkannya
6) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak
mengeluarkannya
7) Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah
dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits
tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
29
Muslim, beliau menyebutkan istilah “ akhrojaahu “ ( dikeluarkan oleh mereka
berdua)
H. HADITS SHOHIH LIGHOIRIHI
Pengertian
Hadist Shohih lighoirihi adalah Hadist Hasan Li Dzatihi yang mempunyai riwayat dari
jalan lain yang setara dengannya atau bahkan lebih kuat darinya. Dinamakan shohih
lighoirihi (karena yang lainnya), karena keshahihan disini tidak muncul dari sanadnya
tersendiri, tetapi karena bergabungnya sanad atau riwayat lain yang menguatkan
hadits tersebut.
Tingkatan Hadits Shohih Lighoirihi
Tingkatannya termasuk tingkatan hadits hasan yang paling tinggi, tetapi dibawah
shohih lidzatihi. Dan termasuk kategori khobaru maqbul , yaitu kabar atau
periwayatan hadits yang diterima.
Contoh Hadits Shohih Lighoirihi
Hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi
Hurairoh bahwa Nabi SW bersabda :
Tingkatan hadits di atas masuk pada kategori hasan lighorihi. Menurut Ibnu Sholah :
karena Muhammad bin Amr bin al-Qomah sebenarnya dikenal sebagai perawi yang
jujur dan amanah, namun ia tidak termasuk mereka yang kuat hafalan. Sehingga
sebagian mendhaifkannya karena termasuk orang yang lemah dalam hafalannya,
namun sebagian lain menganggapnya tsiqoh karena kejujuran dan kemuliannya.
Sehingga asli hadits ini masuk kategori hasan li dzatihi.
Namun kemudian diketahui bahwa hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh
al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari dan yang lainnya, maka ketakutan lemahnya
hafalan Muhammad bin Amr dalam hadits ini menjadi hilang, dan terangkat
tingkatannya menjadi shohih lighoirihi.
30
[Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd ath-Thahân- terjemahan oleh Abu Al
Jauzaa]
31
MATERI 5 :
HADIST HASAN DAN PEMBAHASANNYA
A. PENGERTIAN HADITS HASAN
Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti
al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits
hasan sebagai berikut,
a) Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat,
para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh
banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
b) At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam
sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula
melalui jalan lain.
c) Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi
yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya
bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz.
Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang
diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan
oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak
ada syudzudz dan illat.
G. HASAN LIGHOIRIHI
Pengertian
Hadits Hasan lighoiri adalah hadist dhoif yang mempunyai banyak jalan periwayatan,
dan sebab kedhaifan hadits tersebut bukan karena kefasiqan perawinya atau
kedustaannya. Dengan demikian, dari pengertian di atas, kita bisa ambil kesimpulan
bahwa hadits dhoif bisa naik tingkatannya menjadi Hasan lighoirihi dengan dua
syarat :
1) Diriwayatakan dari satu atau lebih jalan periwayatan lain, yang minimal jalan
tersebut setara dengannya atau lebih kuat kualitasnya.
2) Sebab kedhaifan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawinya,
atau terputus sanadnya, atau adanya status jahalah (tidak terkenal )pada
35
perawinya. Sehingga bukan karena kefasiqan perawi atau dikenal karena
kedustaannya.
Tingkatan dan Hukum Hadits Hasan Lighoirihi
Tingkatan hadits ini adalah dibawah hasan li dzatihi, sehingga jika ada pertentangan
harus didahulukan hadits hasan. Hadits hasan lighoiri termasuk kategori hadits
maqbul yang layak untuk dijadikkan hujjah dalam beramal.
Contoh hadits hasan lighoirihi
Yaitu yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh beliau, dari jalan Syu’bah
dari Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Robi’ dari ayahnya, bahwa ada
seorang perempuan dari bani Fazaroh yang menikah dengan mahar sepasang
sandal. Maka Rasulullah SAW pun bertanya kepadanya : “ Apakah engkau ridho
terhadap dirimu dan hartamu dengan sepasang sandal ini ? “ Perempuan tadi
menjawab : “ Ya “. Maka kemudian Rasulullah SAW membolehkannya.
Di dalam sanad di atas ada nama Ashim bin Ubaidillah yang dikenal sebagai perawi
dhaif karena hafalannya yang buruk, namun Tirmidzi menghasankan karena
periwayatannya yang tidak hanya pada satu jalan saja.
(Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân,)
36
MATERI 6 :
SEPUTAR HADIST DHOIF
Setelah kita mempelajari tentang pembagian berita/ khobar yang maqbul (diterima)
atau layak dijadikan hujjah dan dalil, maka pembahasan kali ini adalah mengenai
khobar mardud atau riwayat hadits yang tertolak atau tidak bisa diterima sebagai
hujjah. Para ulama membagi khobar mardud ini dengan pembagian yang begitu
banyak, bahkan hingga mencapai empat puluh macam, dimana setiap macamnya
diberikan istilah khusus yang membedakan dengan yang lainnya, namun ada juga
yang tidak diberikan istilah secara khusus, dan diberikan istilah umum yaitu ‘dhoif’
saja.
Sebuah hadits masuk dalam kategori tertolak disebabkan oleh banyak hal, namun
umumnya bisa dikategorikan dalam dua sebab utama, masing-masing :
1) Adanya permasalahan pada sanad ( riwayat ), ada yang terputus atau hilang dan
semacamnya
2) Adanya tuduhan pada perawinya, bisa karena sisi hafalannya ( ad-dhobt) atau
juga karena sisi kepribadian dan ketakwaan ( ‘adalah)
Setiap sebab diatas kemudian menurunkan ragam macam hadits dhoif yang akan
dibahas lebih khusus dalam kesempatan materi berikutnya. Untuk pembahasan
awal, kita akan mengkaji seputar hadits dhoif secara umum.
37
B. TINGKATAN SANAD HADITS DHOIF
Sebagaimana hadits shohih yang mempunyai tingkat dan kekuatan sanad yang
berbeda, sehingga ada yang disebut dengan asohhul asanid (sanad yang terbaik),
maka para ulama pun menyebutkan dalam pembahasan hadits dhoif apa yang
disebut dengan sanad yang terlemah atau “auha al asanid”. Diantara contoh dari
sanad (jalur periwayatan) hadits dhoif antara lain :
a) Dari jalur Abu Bakar As-Shiddiq : “ Shidqoh bin Musa ad-daqiqiy dari Farqod As-
Subhy dari Murroh At-Thiib dari Abu Bakar “
b) Dari jalur Ulama Syam : Muhammad bin Qois dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin
Yazid dari Qosim dari Abi Umamah “
c) Dari Jalur Ibnu Abbas : As-Suudy As-Shogir Muhammad bin Marwan dari al-
Kalby dari Abi Sholih dari Ibnu Abbas.
C. CONTOH HADITS DHOIF
Salah satu contoh hadits dhoif adalah riwayat yang berbunyi :
" Barang siapa sholat enam rekaat setelah maghrib, dan tidak berbicara buruk
diantara itu semua, maka seimbang dengan ibadah dua belas tahun " (HR Tirmidzi) .
Hadits diatas diriwayatkan oleh Umar bin Rosyid dari Yahya bin Abi Bakar dari Abu
Salamh dari Abu Huroiroh. Tentang nama perawi Umar bin Rosyid di atas, Imam
Ahmad, Ad-Daruqutni mengatakan : dia dhoif. Imam Ahmad menambahkan
tentangnya : hadistnya tidak bernilai sedikitpun. Tirmidzi mengomentari hadits
tersebut : Ini Hadits Gharib kami tidak mengetahuinya kecuali melalui jalan Umar,
sementara saya mendengar Bukhori mengatakan tentangnya bahwa Umar : dia
munkarul hadits.
39
Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar
memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib
dengan tiga syarat berikut:
1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak
diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau
yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah
termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang
bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama
sekali tidak mempunyai asal/dasar.
3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita
mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak
mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat Ketiga : Diriwayatkan dari sebagian besar fuqoha’ yaitu kebolehan
beramal dengan hadits dhoif secara mutlak, jika tidak ditemukan hadits selainnya
dalam sebuah tema atau pembahasan. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah,
Syafi’I, Malik dan Ahmad. Meskipun khusus untuk imam Ahmad, pendapat seperti ini
bisa dipahami karena menurut beliau pembagian hadits adalah Shohih dan Dhoif
saja, sehingga sangat memungkinkan yang dimaksud imam Ahmad di sini adalah
hadits dhoif yang bernilai hasan.
40
MATERI 7 :
RAGAM MACAM HADITS DHOIF
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa hadits dhoif adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat shohih dan hasan. Secara umum Hadits dhoif dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian besar : yaitu dhoif karena suqut fi isnad ( ada
sanad yang gugur atau tidak bersambung), dan juga bagian yang disebabkan karena
at-tho’n fi rowy ( tuduhan pada perawinya). Berikut pembahasan singkat dan contoh
sederhana dari ragam hadits dhoif tersebut.
2) HADITS MURSAL
Pengertian dan Contoh
Yaitu hadits yang disandarkan oleh Tabi’in langsung kepada Rasulullah SAW.
Misalnya seorang Tabi’in mengatakan : Rasulullah SAW bersabda ……, tanpa
menyebutkan perantara (wasithoh) antara dia dan Rasulullah SAW. Bisa jadi
perantara tersebut adalah seorang sahabat, atau seorang sahabat dan tabiin yang
lain misalnya.
Contoh hadits Mursal : Yang dikeluarkan imam Muslim dalam shohihnya kitab Jual
beli, ia menuliskan (setelah menyebutkan perawi setelahnya) dari Ibnu Syihab, dari
Saiid bin Musayyab, bahwasanya “
Rasulullah SAW melarang jual beli muzabanah (menukar buah kurma belum matang
yang masih di atas pohon dengan kurma yang ada di karung “. Said bin Musayyab
adalah pembesar tabi’in, ia tidak menyebutkan perantara antara dia dengan
Rasulullah SAW, maka tergolong hadits mursal.
Mursal Shohaby
Yaitu Hadist yang dikabarkan oleh sahabat tentang ucapan, perbuatan Rasulullah
SAW, sementara sahabat tersebut tidak mendengar atau melihat langsung, karena
42
masih kecil, atau belum masuk Islam, atau sedang bepergian. Contoh : ibnu Abbas,
ibnu Zubair dan yang lainnya.
Hukum Hadits Mursal :
a) Mursal sahabat disepakati penerimaannya oleh jumhur ulama.
b) Mursal Tabi’in diterima oleh Malikiyah, Hanafiyah dan Syafi’iyah khususnya
yang berasal dari Kibaru Tabiin seperti Sa’ad bin Musayyab, Hasan Al Bashry,
Ibrahim an-Nakh’iy,
c) Imam Ahmad menolak mursal tabi’in, begitu pula Ibnu Sholah dalam
muqoddimahnya yang kemudian menjadi standar dalam ulumul hadits
secara umum.
3) HADITS MUNQOTHI’
Hadits Munqothi menurut Ulama Muhadditsin adalah : Hadist yang sanadnya
terputus pada salah satu atau lebih dari perawinya, dibawah tingkatan sahabat dan
tidak secara berturut-turut. Sementara menurut Fuqoha , hadits munqothi’ adalah
semua yang tidak bersambung sanadnya.
Contoh hadits ini adalah : Apa yang diriwayatkan Abdurrozaq, dari Syauri, dari Abu
Ishaq, dari Zaid , dari Hudzaifah secara marfu’ : “ jika engkau mengangkat Abu Bakar,
maka dia kuat lagi terpercaya “.
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin
Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Syarik dari Abu Ishaw. Dari
riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah
termasuk hadits yang munqoti’.
4) HADITS MU’DLOL
Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah sanadnya.
Contoh : Yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya : Malik Mengatakan :
Telah sampai kepadaku Abu Hurairah mengatakan: “ bagi budak (berhak)
mendapatkan makanan dan pakaian secara makruf ( baik sesuai kebiasaan)”. Hadits
ini tergolong hadits mu’dhlol karena antara Malik dan Abu Huroirah terdapat dua
43
tingkatan perawi, seharusnya adalah : dari Malik, dari Muhammad bin Ajlan, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah.
5) HADITS MUDALLAS
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya untuk
menyembunyikan aib sanadnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam,
gambaran umumnya sebagai berikut :
a) Tadlis Isnad : perawi meriwayatkan dari syeikh yang pernah ia temui atau
yang ia hidup sejaman dengannya, tetapi sebenarnya ia tidak pernah
mendengar hadits tersebut langsung darinya. Karenanya ia menggunakan
lafadz yang kabur, seperti : ‘an fulan (dari fulan) .. qoola fulan (berkata
fulan), yang tidak menunjukkan arti ia mendengar darinya. Jika perawi
tersebut menggunakan kata yang jelas seperti : aku mendengar dari fulan ,
maka ia adalah pendusta bukan seorang mudallis.
b) Tadlis Taswiyah : Seorang perawi meriwayatkan dari syeikhnya, kemudian
menggugurkan salah satu sanad diatasnya yang dhoif yang terdapat diantara
dua tsiqoh yang masih mempunyai kemungkinan bertemu, dengan
menggunakan kata-kata yang mengambang. Ini dilakukan untuk menjaga
hadits dari aib, sehingga hasilnya sanadnya tsiqoh semua.
c) Tadlis Suyukh : menyamarkan nama syeikhnya yang mungkin masuk kategori
dho’if dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga
menjadi tidak dikenal. Misalnya : Abu Bakar Bin Mujahid mengatakan : telah
menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Abdallah, padahal yang ia maksud
adalah Abu Bakar bin Abi Daud
B. HADITS DHOIF KARENA PERMASALAHAN PADA PERAWI
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyusun urutan tingkatan kelemahan sebuah hadits dari sisi
ini menjadi tujuh : Maudhu’, Matruk, Munkar, Muallal, Mudroj , Maqlub dan
Mudthorib
1) HADITS MAUDHU’
Pengertian & Hukumnya
44
Hadits yang disebabkan karena perawinya berdusta atas nama Rasulullah SAW maka
disebut dengan hadits maudhu’. Secara istilah, hadits maudhu’ adalah khabar palsu
dan dusta yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Secara tingkatan hadits dhoif, hadits
maudhu’ masuk dalam tingkatan yang paling buruk dari yang lainnya, sehingga
sebagian ulama lain memasukkan dalam kategori yang tersendiri, tidak termasuk
dalam golongan hadits dhoif. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh
meriwayatkan hadits maudhu’ -dengan sepengetahuannya- tanpa menjelaskan
tentang status kepalsuannya tersebut.
Bagaimana Mengenali Hadits Maudhu’ ?
Hadits maudhu’ bisa dikenali melalui beberapa hal sebagai berikut :
a) Pengakuan dari pemalsu hadits tersebut, sebagaimana pengakuan Abi Ismah
Nuh bin Abi Maryam, yang mengaku bahwa ia telah membuat hadits tentang
fadhilah setiap surat dari Al-Quran dengan mengatasnamakan dari Ibnu Abbas.
b) Semacam pengakuan secara tidak langsung. Misalnya seorang meriwayatkan
hadits dari syeikhnya, kemudian ditanya tentang tanggal wafatnya syeikh
tersebut, ternyata wafatnya sebelum ia lahir, sementara hadits itu tidak dikenal
kecuali dari jalurnya sendiri.
c) Bukti pembanding (qorinah) yang ada pada diri perawi, seperti bahwa perawi
masuk dalam golongan rofidhoh sementara haditsnya berkaitan tentang
keutamaan ahlul bait, misalnya.
d) Keterangan dalam matan atau konteks hadits, yang biasanya berlebihan,
menyalahi logika atau penjelasan Al-Quran.
Motivasi membuat Hadits Maudhu’
1) Penodaan dan Pelecehan Agama : Yaitu membuat hadits palsu untuk membuat
keraguan dalam ajaran Islam atau hal-hal baru yang menyesatkan. Misalnya
Muhammad bin Said as-Syaami yang meriwayatkan dari Humaid dari anas
secara marfu’ : “ aku penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah
berkehendak lain “.
2) Menuruti Hawa Nafsu untuk Memenangkan Golongannya : sebagaimana yang
dibuat oleh pengikut rafidhoh yang melebih-lebihkan Ali bin Abi tholib untuk
menguatkan dan memenangkan madzhabnya.
45
3) Upaya mendekati Penguasa : sebagian yang lemah iman berupaya
memunculkan hadits palsu untuk mendapatkan simpati dan kedekatan dengan
para penguasa, baik gubernur maupun khalifah pada waktu tersebut.
4) Mengejar Popularitas dan Ketertarikan Manusia : dengan hadits yang palsu
tersebut ia membuat banyak orang terperangah dengan kisah-kisah hebatnya
yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Contoh dalam hal ini adalah
Abu Said al Madainy yang menjadikan kisah-kisah tersebut diperdengarkan ke
pada orang-orang agar mereka memberikan uang sebagai penghargaannya.
5) Motivasi Beramal Sholih : ini bentuk maudhu’ yang tersembunyi karena
seringkali manusia tertipu, mengingat isi hadits ini berisi kebaikan, berupa
fadhilah dan keutamaan sebuah amal yang sangat memotivasi bagi yang
mendengarnya untuk dikerjakan. Contohnya : “barang siapa yang sholat dhuha
maka mendapat pahala 70 nabi. “
2) HADITS MATRUK
Adalah hadits yang didalam sanadnya ada perawi yang disangka suka berdusta.
Sebab tuduhan dan sangkaan ini bisa jadi karena salah satu dari hal berikut.
Pertama, bahwa memang tidak ada riwayat lain dari hadits tersebut kecuali dari
jalannya. Kedua, perawi dikenal dengan pendusta dalam ucapan-ucapannya
terdahulu, meskipun belum muncul atau terbukti dalam hadits nabawi.
Contoh hadits matruk : Hadits seorang penganut syiah Amru bin Syamir al-Kuufi :
dari Jabir dari Abi Thufail dari Ali dan ‘Ammar keduanya mengatakan : adalah Nabi
SAW melakukan qunut pada sholat fajr, dan memulai bertakbir pada hari arafat
pada sholat shubuh, dan menghentikannya pada sholat ashar hari tasyriq yang
terakhir”. Imam An-Nasa’iy dan Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang
Amru bin Syamir : matrukul hadits .
3) HADITS MUNKAR
Hadits munkar mempunyai setidaknya dua pengertian dengan penekanan yang
berbeda :
1) Hadits yang di dalam sanadnya ada satu perawi yang dikenal buruk
hafalannya, atau sering teledor (lalai) atau terlihat kefasikannya.
46
2) Menurut Ibnu Hajar : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhoif yang
bertentangan dengan riwayat perawi lain yang tsiqoh.
Tingkatan hadits ini termasuk kategori dhoif jiddan (lemah sekali) dan mengikuti
tingkatan hadits setelah matruk. Contoh hadits ini ( pengertian pertama ) : Yang
diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ibnu Majah dari riwayat Abu Zukair Yahya bin
Muhammad bin Qois dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra secara
marfu’ : “ makanlah balah (jenis kurma kering) dan kurma, sesungguhnya setiap ibnu
adam memakannya, setan menjadi marah. “. Imam An-Nasaiy mengatakan : ini
hadits munkar, diriwayatkan secara sendirian oleh Abu Zukair, dia adalah seorang
syaikh sholeh, tetapi diragukan hafalannya khususnya jika meriwayakan sendirian.
4) HADITS MUA’LLAL
Yaitu hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atau aib yang
menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohir terlihat selamat dari cacat
tersebut. Aib atau cacat tersebut bisa jadi ada pada sanad ataupun matannya, atau
bahkan keduanya.
Contoh illat yang ada pada sanad : Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dari
Sufyan At-Tsauri, dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, ia bersabda : “
kedua penjual dalam masa tenggang pemilihan …… “. Permasalahan sanad di atas
adalah, kesalahan Ya’la bin Ubaid yang menyebutkan perawi sebelum Sufyan at-
Tsauri sebagai Amru bin Dinar, padahal para ulama hadits lain menyebutkan bahwa
yang benar adalah : “Abdullah bin Dinar” bukan “Amru bin Dinar”.
5) HADITS MUDROJ
Yaitu hadits yang diubah susunan sanadnya atau disisipkan dalam lafadz matannya
apa-apa yang bukan bagian dari hadits tersebut, tanpa batasan pemisah. Misal
hadits mudroj: seorang syaikh sedang menyampaikan hadits pada murid-muridnya,
lalu ada sebuah kondisi atau kejadian yang membuatnya berhenti dan mengatakan
sebuah perkataan lain bukan dari hadits, namun disangka oleh murid-muridnya itu
adalah bagian dari hadits yang akan disampaikan. Kondisi ini bisa terjadi pada
sanadnya atau juga matan hadits, dimana ada perkataan lain yang ikut dimasukkan
dalam lafadz hadits tanpa garis pemisah yang jelas dengan hadits aslinya.
47
Contoh hadits Aisyah seputar permulaan wahyu : “ dahulu Nabi SAW betahannuts
(menyendiri) di gua hiro – yaitu beribadah – beberapa malam tertentu “. Ungkapan
“ yaitu beribadah” adalah perkataan Zuhri bukan Aisyah ra.
6) HADITS MAQLUB
Yaitu hadits yang didalamnya ada penggantian atau pembalikan lafadz hadits baik
dalam sanad maupun matannya, penggantian tersebut bisa dengan mengganti yang
awal jadi akhir, atau akhir jadi awal dan semacamnya. Contoh hadits maqlub : yang
diriwayatkan oleh Hamad bin Amru –al kadzzab- dari al-A’masy dari Abi Sholih, dari
Abu Hurairoh secara marfu’ : “ jika engkau bertemu dengan orang musyrikin di jalan
maka jangan mulai memberi salam “. Hadits ini maqlub, sanadnya diganti dari
a’masy, padahal sudah dikenal yang benar adalah dari Suhail bin Sholih dari ayahnya
dari Abu Huroiroh.
7) HADITS MUDHTORIB
Yaitu hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragam yang
mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidak memungkinkan untuk
digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dan tidak memungkinkan pula ditarjih
(dipilih) salah satu dari keduanya.
Bentuk idhtirob dalam hadits ini bisa jadi dalam sanad atau bisa jadi dalam
matannya. Seperti, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Fatimah binti
Qois, ia berkata : Rasulullah ditanya tentang zakat, lalu beliau menjawab : “
sesungguhnya dalam harta kita, ada kewajiban selain zakat”. Sementara Ibnu Majah
dengan riwayat : “ sesungguhnya tidak kewajiban dalam harta selain zakat”.
Selain pembagian dan istilah hadits di atas, terdapat juga hadits dhoif jenis kategori
lain dengan sebab yang beragam pula, kami sebutkan secara sederhana sebagai
berikut :
• Hadits Majhul : hadits yang dalam sanadny ada perwai yang tidak diketahui jarh
dan ta’dilnya.
48
• Hadits Mubham : Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian
sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul),
dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
• Hadits Syadz : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh namun
bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat dan perawinya
lebih tsiqoh
• Hadits Mushohhaf : Yaitu hadits yang terdapat perubahan dari sisi penulisannya,
baik dalam sanad dan matan. Misal dalam matan : ‘ihtajaro ..’ menjadi “
ihtajama ..”, atau misal dalam sanad : nama perawi jamroh mestinya hamzah.
49
MATERI 8 :
ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
A. PENGERTIAN AL-JARH WA AT-TA’DIIL
Pengertian Aj-Jarh :
1) Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata kerja jaroha yajrohujarhan
, yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat
mengalir. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat “
jaroha al-hakim asy-syaahid“ yang berarti “hakim itu menolak saksi”.
2) Adapun Menurut Istilah, al-Jarh ialah: “Menampakan suatu sifat rawi yang
dapat merusak sifat ‘adalahnya atau merusak kekuatan hafalan dan
ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya atau
menyebabkan riwayatnya tertolak”.
Pengertian at-Ta’diil
1) ‘Adl secara bahasa berarti : apa yang tegak dalam hati yang menunjukkan lurus
dan keistiqomahan. Seorang yang disebut ‘adl artinya bisa diterima
kesaksiannya.
2) Adapun pengertian ‘adl secara istilah adalah : yang tidak nampak sifat-sifat
merusak agama dan kewibawaannya, karenanya diterima kesaksian dan
pengabaran darinya.
3) Sementara Ta’diil adalah : mensifati perawi dengan sifat-baik baik (tazkiyah)
sehingga nampak ‘adalahnya (keadilan) dan diterima riwayat darinya.
Dengan demikian, ilmu jarh wa ta’diil adalah : ilmu yang membahas di dalamnya
seputar Jarh (rekomendasi) dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz dan
istilah tertentu, untuk menilai diterima atau ditolak riwayat dari mereka.
55
MATERI 9 :
RAMBU-RAMBU MEMAHAMI SUNNAH
A. ETIKA SALAFUS SHALIH DALAM MENGKRITIK HADITS
Kisah Umar ra dan Abu Musa Al-Asyari
Dalam riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Aku sedang dudukduduk
dalam majlis orang-orang Ansar di Madinah lalu tiba-tiba Abu Musa ra.
datang dengan ketakutan. Kami bertanya: Kenapa engkau? Ia menjawab
(menceritakan kejadian yang membuatnya takut) : Umar menyuruhku untuk datang
kepadanya. Aku pun datang. Di depan pintunya, aku mengucap salam tiga kali tetapi
tidak ada jawaban, maka aku kembali. Tetapi, ketika bertemu lagi, ia bertanya: Apa
yang menghalangimu datang kepadaku? Aku menjawab: Aku telah datang
kepadamu. Aku mengucap salam tiga kali di depan pintumu. Setelah tidak ada
jawaban, aku kembali. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda: Apabila salah seorang
di antara kalian minta izin tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka
hendaklah ia kembali. Mendengar hal tersebut Umar bin Khottob mengatakan
dengan tegas : “ Demi Allah, engkau harus mempunyai bukti bahwa ada saksi lain
yang mendengar dari Rasulullah SAW “.
Ubay bin Ka’b yang memahami ketakutan Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan : “Demi
Allah, sungguh tidak perlu bersaksi untukmu dalam masalah ini, kecuali yang paling
kecil di antara kami”. Karena pada waktu itu Abu Said Al Khudry adalah yang terkecil,
maka ia pun memberikan kesaksian kepada Umar.
Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar
bin Khottob ra. dalam menerima hadits, tapi ia tdk meragukan sahabat yg
merawikannya melainkan berhati-hati terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi
SAW. Sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut kepada sahabat Abu Musa Al
Asy’ari ra :
“ Saya tidak menuduh dan meragukanmu, tetapi aku khawatir orang-orang akan
mengada-adakan perkataan atas nama rasulullah SAW”.
Abu Musa dan Aisyah ra.
56
Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : “
Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya”. maka
Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya,
melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata
: Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari
Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT
akan menambah azab bagi orang-orang kafir”. Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits
abu Hurairah tersebut bertentangan dg ayat al-Qur'an :” Dan sesungguhnya
seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat yang lain dari Umar ra,
Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari
segi sanad kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun Abu Hurairah) shahih, maka
ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdzabu artinya yata'allama (merasa
sedih), artinya mayyit tersebut merasa sedih mengapa keluarganya tdk memahami
hakikat kehidupan, sehingga mereka menangisinya.