sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al waritsatul anbiya, sepanjang usia
umat ini, terus mengingatkan dan membentengi umatdari bid’ah yang amat tercela. Dan
seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu disampaikan dan diingatkan ketenah-tengah
umat, mengingat besarnya bahaya bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya
.Namun masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang
mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ahkepada
saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang mereka hujat sebagai
pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah ditengah-tengah umat. Hal ini
terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara
pendefinisian yang berbeda tentang apa itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita
untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang
namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian
sertakematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial.Lain
halnya bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf
maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq,
acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka
setiap kita harus lantang dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah
yang merupakan perbuatan yang sangat tercela. Namun, jika suatumasalah dirumuskan berbeda
oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya
bila kita saling menudingji dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah
yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan
pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk
memuliakanmereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan
ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah.Sehingga melalui
tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting ini, agar jangan mudah
seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah
diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah
memudahkan kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita
semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak.Amin.PENGERTIAN
BID’AHArti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)Kata Bid’ah (Jama‘nya ; Bida’) secara bahasa
berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut
“mubtadi’ “ atau mubdi’“[1]Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah
ِ بَ ِد ْي ُع الس ََّوا
SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman: ت
ِ ْ(“واألَرAllah)
ض َ Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah:117)Arti Bid’ah
Dalam Istilah Agama (Terminologis)Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama
telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits.
Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.1.Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau berkata:
"Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan
tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]2.Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata:
Bid’ah adalah semua perkara agamayang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.
[3]3.Muhammad Rasyid Ridha. Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya
dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]Penjelasan
DefinisiDari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i.
Meskipun sebenarnya hampir mustahiluntuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara
perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu
pada pembahasan mengenai definisi diatas.Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah
sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah
yangmemiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela ?Jika kita
menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan baik-
baik, jika kitamengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita
harusmengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi
diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas
tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat
itu ?- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang
sesuai syariat itu ?Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab
berikutnya.MACAM-MACAM BID’AHSetelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan
realitas mengharuskan kitamemilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-
halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.Imam Syafi’i RA berkata : ,اَلبِ ْد َعةُ بِ ْد َعتَا ِن
ق ال ُّسنَّةَ فَهُ َو َمحْ ُموْ َدةٌ َو َما خَ الَفَهَا فَهُ َو َم ْذ ُمو ْم
َ َبِ ْدعَة ٌ َمحْ ُمو َدةٌ َوبِ ْد َع ِة َم ْذ ُموْ َمةٌ فِ ْي َما َواف.“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang
terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji,
sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]Atau penjelasan beliau dalam
ُ َاَل ُمحْ َدث
riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan olehAl-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i:ات
ث ِمنَ ْالخَ ي ِْر الَيُخَ الِفُ َش ْيئًا ِ ْمن َذالِكَ فَهَ ِذ ِه
َ ث يُخَ الِفُ ِكتَابًا اَوْ ُسنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْ َماعًا فَهَ ِذ ِه بِ ْد َعةُ الضّاللَةُ َو َما اُحْ ِد
َ َما اُحْ ِد,ضرْ بَا ِن
َ
‘بِ ْد َعةٌ َغ ْي ُر َم ْذ ُموْ َمةPerkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baruyang
bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua,
perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari
yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.Dari penjelasan Imam Syafi’i
tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah
sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang
tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat
disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang
buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah).
Begitu seterusnyaDemikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan
syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogiberfikir yang sama, Bid’ah
yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang
pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu
seterusnya.Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh
Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut : “Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu
yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu
dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun
lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka
iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh
syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah.
Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[6]Al-Imam an-
Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam :1.Wajib. Contohnya, antara lain,
mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-
Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan
khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran,
membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan
lain-lain.2.Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin,
membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.3.Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain
ke Makkah, melakukanritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan
memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.4.Makruh. Contoh,
berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.5.Mubah. Contohnya sangat
banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.Demikianlah arti
pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-
Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah
sebaik-baik bid’ah”.[7]Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah
menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya
menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau
mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar
makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang dengan
cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.Dengan demikian, kami
rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah
adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya
adalah menafikan Sunnah,menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-
rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukanbahwa akan muncul banyak perbedaan,
beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-
rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah
Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.Bila kita menafikan (meniadakan) adanya
Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab
Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah
SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan
pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah
SAW justru pernah melarang menulis Haditskarena hawatir dikira al-Qur’an.Kitab Hadits,
seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya munculpada zaman Tabi’in. Walaupun
Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap membukukannya,karena
kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari
dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap
penting untukmenjaga rawiyat Hadits Nabi.Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu,
sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh
Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan
menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.Demikian pula Taraddhi (ucapan
Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak
pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran
menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak
memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh
Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.Demikian pula dengan Al-Quran yang
kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan
ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik
dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.Coba kita tarik
mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya
yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di
kulit onta, hafalanpara Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-
ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan
riwayatnya sendiri.Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama
tidak menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula
ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits,
karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.Rasulullah SAW tahu bahwa
dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah
(inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama,
makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara
perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah.
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah,
maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al
Hafid Ibnu Hajar,al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu
hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’andan Hadits.Penah
terjadi dialog menarik. Berikut kami kutip dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk
wakil kami.A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi
berdasarkan ulama’ salaf juga.B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?A : Ulama’
semisal Ibnu Taimiyah.B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi
Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlupenjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh
definisi yang dikemukakanoleh As-Syafi’i.A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas,
tidak perlu penjelasan tambahan.B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau
demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan
Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang
tidak ada di zaman Nabi?A : Itu bukan bid’ahB : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan
didiamkan setiap hal-hal baru tanpaada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti
Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami
memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami
membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.B : Nah, memang seharusnya
demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?A : Ulama’ semisal Albani dan
Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”B :
Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui
Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan
Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi
‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika
ternyataAnda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada
ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada
ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda
mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha
penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda
mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?A : Terdiam
tidak menjawab.B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan
Bin Bazsampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan
ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda,
sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa
Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat
ulama Anda. Kalau benar demikian, makaberarti Anda justru telah menistakan ulama Anda
sendiri.Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW
tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”Mereka juga berkata:
“Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segalaperbuatan
Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya?
Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para
sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi
adalah Bid’ah”.Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka
pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk
melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru
-meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’,
tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap
hukum-hukum pokok (dasar) agama.Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq
namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa
Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan
bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath
(penyimpulan hukum) yang keliru.Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAWatau salafus shalih
bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu
membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.Kaidah mereka yang
menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya
berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan
yang mendalam dari ulama salaf.Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai
suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan
jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) danyang muqayyad (terikat). Dengan demikian
maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”Ketika
kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa
Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat
ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu.
Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.Baiklah, mari kita
telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat
berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.