i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat allah swt, hanya dengan izin-nya juga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pengertian Tafsir, Tafsir al-
Isti’azhah dan Tafsir Basmallah”.salawat dan salam tercurah buat
junjungan alam, yakni nabi Muhammad SAW, dengan kehadiran beliau
telah terjadi perubahan dari pola jahilliah ke pola islamiah. Ucapan
salawat juga pada keluarga dan sahabat beliau serta seluruh pengikutnya
yang setia dan ikhlas.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran demi perbaikan masih sangat di perlukan untuk lebih
menyempurnakan. Semoga makalah ini menambah wawasan dan
memberi manfaat bagi pembaca sebagaimana yang diharapkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.....................................................................................4
B. Identifikasi Masalah............................................................................4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir……………………………..…………...…..…….5
B. Tafsir Isti’azhah.................................................................................6
C. Tafsir Basmallah...............................................................................11
BAB II PENUTUP
A. kesimpulan......................................................................................20
B. Saran……………………………………………………………...20
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam dengan sumber utamanya adalah Al-Qur’an, merupakan
agama yang yang mencakup segala segi kehidupan, berlaku untuk seluruh umat
dan sepanjang masa. Nabi Muhammad . sebagai pembawa Al-Qur’an telah
meninggal, dengan sendirinya wahyupun terhenti namun kejadian-kejadian
(waqi’ah) tidak pernah berhenti dan akan terus bertambah, untuk itu perlu
penafsiran-penafsiran baru terhadap Al-Qur’an yang tentu saja tidak boleh keluar
dari ruh syar’i.
Penafsiran seseorang terhadap sesuatu ayat, mungkin saja salah bahkan
menyesatkan. Untuk itu diperlukan syarat-syarat, adab-adab bagi seorang mufassir
dan cara pelaksanaannya pada masa sekarang ini. Salah satu jalan yang dapat
ditempuh untuk bisa memahami teks Al-Qur’an, kemudian memahami konteknya
yang selanjutnya mengontektualkan untuk kehidupan sehari-hari, adalah bertanya
atau bermusyawarah dengan orang yang ahli dalam hal tersebut.
B. Identifikasi Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Tafsir?
b.Apa itu Tafsir Isti’azhah?
c. Apa itu Tafsir Basmalah?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Pengertian Tafsir
b. Untuk Mengetahui Tafsir Isti’adzah
c. Untuk Mengetahui Tafsir Basmallah
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa (lughat) mengikuti wazan taf'il berasal dari akar kata
al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak1.
Adapun tafsir menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah 2 :
“Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur'an, tentang
petunjukpetunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-
hal lain yang melengkapinya”.
Menurut az-Zarkasyi: "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad , menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.3
Menurut Chazin Nasuha4: Tafsir secara etimologis ulama berbeda pendapat,
tapi kesimpulannya sama yaitu tafsir ialah ungkapan sesuatu yang tersembunyi
melalui medium yang dianggap sebagai tanda bagi mufasir, melalui tanda itu, ia
dapat sampai pada sesuatu yang tersembunyi. Tafsir dan ta’wil yang baik adalah
tafsiran yang dikontekstualisasikan pada kepentingan masyarakat umum.
Seorang mufassir sering terbentur pada pengertian tentang tafsir Qur’an,
karena dilingkari oleh konteks yang sering berubah dan tidak tetap, sehingga
mufassir membutuhkan kejelian ketika ia akan masuk didalamnya. Perubahan
konteks dan sistem kehidupan masyarakat menjadikan makna penafsiran tidak
satu, bahkan relatif, tergantung kapan dan siapa yang menyusun konsep.
1
Manna Khalil al-Qattan,Mabahits Fi “ulum AlQur’an, Mansyurat al-“ashr al-hadits,
tanpa kota, 1973,Hlm 323
2
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Majlis al-“ala al-Indonesiy li al-da wah al-
islamiy, Jakarta, 1972, Hlm. 324
3
al-Zarkasyi, al-Itqan, jilid 2, hlm. 174
4
Cik Hasan Bisri dll. Mengerti Qur’an: Pencarian Hingga Masa Senja, 70 Tahun Prof.
Dr. H.A. Chozin Nasuha, Pusat Penjaminan Muta dan Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung
Djati Bandung, tt, Hlm. 41.
5
Tafsir sebagai usaha manusia untuk bisa memahami pesan-pesan Allah
dalam Al-Qur’an, telah mengalami perkembangan. Sebagai hasil karya manusia
timbul aneka ragam corak penafsiran. Keaneka ragaman itu ditimbulkan dari
berbagai hal, diantaranya perbedaan kecenderungan, motifasi penafsir, perbedaan
misi yang diemban, perbedaan ragam keilmuan yang dikuasai penafsir , perbedaan
zaman dan lingkungan yang berada disekitar penafsir, perbedaan situasi dan
kondisi yang dihadapi, situasi politik saat itu dan lain sebagainya. Keadaan seperti
itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi
aliran tafsir yang bermacam-macam.
B.Tafsir Isti’adzhah
Makna isti’âdzah.
Lafadhz-lafadhz isti’âdzah.
Rukun-rukun isti’âdzah.
Kondisi-kondisi yang dianjurkan membaca isti’âdzah.
5
Abu Al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w. 395 H, Maqâyîs Al-Lughah (Kairo:
Dâr Al-Hadits, Cet. 2008 M) h. 622.
6
Ahmad Warson Al-Munawwir, AL-MUNAWWIR (Surabaya: PUSTAKA
PROGRESSIF, Cet. 25 tahun 2002 M) h. 1254.
6
Isti’âdzah adalah memohon perlindungan, dan tafsirnya adalah aku memohon
perlindungan kepada Allah -dari selainNya yaitu seluruh makhlukNya- dari
syaithân agar tidak mencelakakan aku akan agamaku dan memalingkan aku dari
sesuatu hak yang diharuskan untuk rabbku.”7
“Makna isti’âdzah adalah aku berlindung disisi Allah dari syaithân yang
terkutuk yang hendak mencelakakan dunia dan agamaku, atau hendak
memalingkanku dari perbuatan yang telah diperintahkan, atau hendak
menyuruhku untuk melakukan perbuatan yang dilarang, sesungguhnya tidak ada
yang bisa mencegah syaithân untuk mengganggu manusia kecuali Allah.8”
7
Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr Ath-Thabariy w. 310 H, Jâmi’ Al-Bayân ‘An Ta’wîl
Âyi Al-Qur’an (Kairo: Dâr Al-Hadits, Cet. 2010) h. 115, Jilid I.
8
Abu Al-Fidâ’ Ismâîl bin Umar bin Katsîr Al-Qurasyiy w. 774 H, Tafsîr Al-Qur’an
Al-‘Adzhîm (Riyâdh: Dâr Thayyibah, Cet. 2009 M) h. 114, Jilid I, Juz I.
9
Ibnu Fâris, Maqâyîs Al-Lughah, h. 447.
7
“Syaithân adalah segala sesuatu yang membangkan dari kalangan jin, manusia,
binatang dan lainnya. Yang demikian itu Allah berfirman: “demikianlah kami
jadikan bagi setiap nabi musuh dari kalangan syaithân manusia dan syaithân
jin”, maka Allah telah jadikan syaithân dari kalangan manusia sebagaimana
telah dijadikan syaithân dari kalangan jin.10”
Ar-Rajîm bermakna yang dilaknat dan yang dicaci ()اَ ْل َم ْلعُوْ نُ اَ ْل َم ْشتُوْ ُم13.
Lafadz ini memiliki dasar dalil Al-Qur’an sebagaimana pada surat An-Nahl ayat
98, Allah Tabâraka wa ta’âla berfirman:
ِ فَإ ِ َذا قَ َر ْأتَ ْالقُرْ آنَ فَا ْستَ ِع ْذ بِاهَّلل ِ ِمنَ ال َّش ْيطَا ِن الر
َّج ِيم
10
Ath-Thabariy, Jâmi’ Al-Bayân, h. 115, Jilid I.
11
Ibnu Faris, Maqâyîs Al-Lughah, h. 373.
12
Ath-Thabariy, Jâmi’ Al-Bayân, h. 116, Jilid I.
13
ibid
8
“Dari Sulaiman bin Shurad berkata: dahulu aku duduk bersama Nabi –Shallallahu
‘alaihi wa sallam- dan ada dua orang lelaki yang saling mencaci sehingga
memerah salah satu wajahnya dan urat lehernyapun menegang, maka Nabi –
Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: sungguh aku mengetahui sebuah kalimat
yang jika dia baca maka akan hilang apa yang ada pada dirinya, jikalah dia
membaca “a’ûdzubillahi minasy-syaithânirrajîm” maka apa yang ada padanya
(marah) akan hilang. Beberapa shahabat berkata kepada lelaki itu: sesungguhnya
Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: berlindunglah kepada Allah dari
syaithân! Lalu lelaki itu berkata: apakah saya ini gila” (H.R Al-Bukhari dan
Muslim).
“Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui, dari
syaithân yang terkutuk”
“Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui, dari
kegilaan, tiupan dan kesombongan syaithân yang terkutuk ” (H.R Ahmad).
Dua lafadz diatas (2,3) memiliki dasar sebagai berikut, firman Allah Ta’âla:
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada
Allah, sesungguhnya Dia maha mendengar dan maha mengetahui”. (Q.S Al-
A’râf [7]:200).
9
Adapun dalil dari hadits adalah:
c. Rukun-rukun Isti’âdzah14
1. ُص ْي َغة
ِ ااْل ِ ْستِ َعا َذ ِةBentuk lafadznya.
2. اَ ْل ُم ْست َِع ْي ُذAl-Mustaîdz (yang meminta perlindungan), dialah orang mukmin yang
ridha kepada Allah sebagai rabbnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad
sebagai nabi dan rasulNya. Yang mana dia mengucapkan isti’âdzah dengan lisan
dan hatinya, dan dia yakin bahwa isti’âdzah ini akan melindunginya dari syaithân
dengan izin Allah.
3. بِ • ِه اَ ْل ُم ْس •تَ َعا ُذAl-Musta’âdz bihi (yang diminta perlindungan) yaitu Allah, baik
berkait dengan asma dan sifat-sifatNya ataupun kalimatNya. Seperti;
Sementara al-Musta’âdz bihi berupa orang yang sudah mati atau orang hidup yang
jauh dan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan maka ini
adalah sebuah kesyirikan. Adapun berlindung kepada sesuatu yang
memungkinkan dari kalangan makhluk seperti manusia atau tempat yang bisa
melindunginya maka ini diperbolehkan, 15dalilnya adalah hadits Rasulullah –
Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
14
DR. Sulaimân bin Ibrâhîm Al-Lâhîm, Al-Lubâb Fi Tafsîr Al-Isti’âdzah Wa Al-
Basmalah Wa Fâtihati Al-Kitab (Riyâdh: Dâr Al-Muslim, Cet. I, 1999 M) h. 22.
15
Muhammad bin Shalih Al-Ûtsaimin, Syarhu Tsalâtsati Al-Usûl (KSA: Dâr Ats-
Tsarya, Cet. II 2005 M) h. 63.
10
“Akan terjadi fitnah-fitnah , dimana seorang yang duduk lebih baik dari pada
yang berdiri, dan yang berdiri lebih baik dari pada yang berjalan dan yang
berjalan lebih baik dari orang yang berusaha (berupaya mengikuti fitnah), siapa
saja yang menghadapi fitnah tersebut maka hendaknya dia menghindarinya, dan
siapa saja yang mendapati tempat berlindung maka berlindunglah
dengannya.” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
4. ِم ْنهُ اَ ْل ُم ْس•تَ َعا ُذAl-Musta’âdzu minhu (yang diminta perlindungan darinya), yaitu
syaithân.
5. Permohonan dari maksud isti’âdzah yaitu keselamatan dunia dan agama dari
was-was, tipu daya dan segala keburukan syaithân.
d. Hukum Isti’adzhah
Disunnahkan bagi setiap yang ingin membaca sesuatu dari Alqur’an satu
surat atau lebih, ucapkanlah :” (”أعوذب••••ا هللا من الش••••يطان ال••••ر جيمA’udzubillahi
minasyaithonirrojiim), kemudian baru membacanya.
Seperti yang disukai bagi orang yang sedang marah atau orang yang khawatir
akan kejelekan yang akan menimpanya maka berlindunglah kepada Allah dari
syaithon yang terkutuk.
َّح ِيم ِ ْبِ ْس••• ِم هَّللا ِ ال•••رَّح “Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha
ِ من ال•••ر
Penyayang”
11
mengawali nama-Nya, Bārī’ (Yang Maha Menciptakan). Sin adalah sanā-un
(keagungan-Nya) dan sumuwwun (keluhuran-Nya). Sin juga mengawali nama-
Nya, sa‘īdun, samī‘un (Yang Maha Memberi Harapan Baik, Yang Maha
Mendengar). Mim adalah mulkun (kerajaan-Nya), majdun (kemulian-Nya), serta
mannatun (anugerah-Nya) yang dilimpahkan kepada hamba-hamba yang telah Dia
tunjukkan pada keimanan. Mim juga mengawali nama-Nya, majīdun (Yang Maha
Mulia).
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang16
17
Maksudnya adalah Saya memulai membaca surah Al-Fatihah ini dengan
menyebut nama Allah sambil memohon pertolongan kepada-Nya agar dapat
membaca firman-Nya, memahami maknanya dan dapat mengambilnya sebagai
petunjuk. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma
Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan, menaiki kendaraan, membaca
Al-Qur’an di awal surah, masuk dan keluar masjid, mengunci pintu, masuk dan
keluar rumah, menulis surah, hendak berwudhu’ dan sebagainya. Allah ialah nama
Zat Yang Maha suci, yang satu-satunya berhak disembah dengan sebenarnya
disertai rasa cinta, takut dan berharap kepada-Nya, Zat yang tidak membutuhkan
makhluk-Nya, tetapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha
Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah memiliki
16
17
12
rahmat (kasih-sayang) yang luas mengena kepada semua makhluk-Nya,
sedangkan Ar Rahiim artinya Allah Maha Penyayang kepada orang-orang
mukmin. Kepada orang-orang mukmin itu diberikan-Nya rahmat yang mutlak,
selain mereka hanya memperperoleh sebagian daripadanya. Ar Rahmaan dan Ar
Rahiim merupakan nama Allah yang menetapkan adanya sifat rahmah (sayang)
bagi Allah Ta’ala sesuai dengan kebesaran-Nya.
Para sahabat memulai bacaan Kitabullah dengan basmalah, dan para ulama
sepakat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari surah An-Naml.
Kemudian mereka berselisih pendapat apakah basmalah merupakan ayat tersendiri
pada permulaan tiap-tiap surah, ataukah hanya ditulis pada tiap-tiap permulaan
surah saja. Atau apakah basmalah merupakan sebagian dari satu ayat pada tiap-
tiap surah, atau memang demikian dalam surah Al-Fatihah, tidak pada yang
lainnya; ataukah basmalah sengaja ditulis untuk memisahkan antara satu surah
dengan yang lainnya, sedangkan ia sendiri bukan merupakan suatu ayat.
Mengenai masalah ini banyak pendapat yang dikatakan oleh ulama, baik Salaf
maupun Khalaf. Pembahasannya secara panjang lebar bukan diterangkan dalam
kitab ini.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud dengan sanad yang sahih:
13
Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim, yaitu Abu Abdullah An-
Naisaburi, di dalam kitab Mustadrak-nya. Dia meriwayatkannya secara mursal
dari Sa’id ibnu Jubair.
Tetapi hadits yang melalui riwayat Umar ibnu Harun Balkhi, dari Ibnu Juraij, dari
Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah ini di dalam sanadnya terkandung
kelemahan.
Imam Daruqutni ikut meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’. Hal
semisal diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas serta selain keduanya
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya mengatakan bahwa
basmalah bukan merupakan salah satu ayat dari surah Al-Fatihah, bukan pula
bagian dari surah-surah lainnya.
Imam Syafii dalam salah satu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian jalur
mazhabnya menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari Al-
Fatihah, tetapi bukan merupakan bagian dari surah lainnya. Diriwayatkan pula
14
dari Imam Syafii bahwa basmalah adalah bagian dari satu ayat yang ada dalam
permulaan tiap surah. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut garib (aneh).
Orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan suatu ayat dari permulaan
setiap surah, berselisih pendapat mengenai pengerasan bacaannya. Mazhab Syafii
mengatakan bahwa bacaan basmalah dikeraskan bersama surah Al-Fatihah, dan
dikeraskan pula bersama surah lainnya. Pendapat ini bersumber dari berbagai
kalangan ulama dari kalangan para sahabat para tabi’in. dan para imam kaum
muslim. baik yang Salaf maupun Khalaf.
Dari kalangan sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Abu Hurairah,
Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Mu’awiyah. Bacaan keras basmalah ini diriwayatkan
oleh Ibnu Abdul Bar dan Imam Baihaqi dari Umar dan Ali. Apa yang dinukil oleh
Al-Khatib dari empat orang khalifah, yaitu Abu Bakar. Umar, Usman. dan Ali
merupakan pendapat yang garib.
15
Dari kalangan tabi’in yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Sa’id ibnu Jubair,
Ikrimah, Abu Qilabah, Az-Zuhri, Ali ibnul Husain dan anaknya (yaitu
Muhammad serta Sa’id ibnul Musayyab), Ata, Tawus, Mujahid, Salim,
Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, Ubaid dan Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu
Amr ibnu Hazm, Abu Wail dan Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Munkadir, Ali ibnu
Abdullah ibnu Abbas dan anaknya (Muhammad), Nafi’ maula Ibnu Umar, Zaid
ibnu Aslam, Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Azraq ibnu Qais. Habib ibnu Abu Sabit.
Abusy Syasa, Makhul, dan Abdullah ibnu Ma’qal ibnu Muqarrin. Sedangkan
Imam Baihaqi menambahkan Abdullah ibnu Safwan, dan Muhammad ibnul
Hanafiyyah menambahkan Ibnu Abdul Bar dan Amr ibni Dinar.
Hujah yang mereka pegang dalam mengeraskan bacaan basmalah adalah Karena
basmalah merupakan bagian dari surah Al-Fatihah, maka bacaan basmalah
dikeraskan pula sebagaimana ayat-ayat surah Al-Fatihah lainnya.
Telah diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya oleh Ibnu
Khuzaimah serta Ibnu Hibban dalam kitab Sahih-nya masing-masing, juga oleh
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Hurairah: bahwa ia
melakukan shalat dan mengeraskan bacaan basmalahnya; setelah selesai dari
shalatnya itu Abu Hurairah berkata, Sesungguhnya aku adalah orang yang
shalatnya paling mirip dengan shalat Rasulullah ﷺdi antara kalian.
Hadits ini dinilai sahih oleh Imam Daruqutni, Imam Khatib, Imam Baihaqi, dan
lain-lainnya.
Abu Daud dan Turmuzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
ﷺpernah membuka shalatnya dengan bacaan bismilahir rahmanir
rahim. Kemudian Turmuzi mengatakan bahwa sanadnya tidak mengandung
kelemahan.
16
Hadits yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-
nya melalui Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah
ﷺmengeraskan bacaan bismillahir rahmanir rahim. Kemudian Imam
Hakim mengatakan bahwa hadits tersebut sahih.
Di dalam Sahih Bukhari disebutkan melalui Anas ibnu Malik bahwa ia pernah
ditanya mengenai bacaan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, maka ia
menjawab bahwa bacaan Nabi ﷺpanjang, beliau membaca
bismillahir rahmanir rahim dengan bacaan panjang pada bismillah dan Ar-
Rahman serta Ar-Rahim. (Dengan kata lain, beliau ﷺmengeraskan
bacaan basmalahnya).
Di dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Daud, Sahih Ibnu Khuzaimah
dan Mustadrak Imam Hakim, disebutkan melalui Ummu Salamah radiyallahu
‘anha yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺmembacanya dengan
cara berhati-hati pada setiap ayat, yaitu:
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang
menguasai hari pembalasan ….
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii meriwayatkan, begitu pula Imam Hakim dalam
kitab Mustadrak-nya melalui Anas, bahwa Mu’awiyah pernah shalat di Madinah;
ia meninggalkan bacaan basmalah, maka orang-orang yang hadir (bermakmum
kepadanya) dari kalangan Muhajirin memprotesnya. Ketika ia melakukan shalat
untuk yang kedua kalinya barulah ia membaca basmalah.
17
Semua hadits dan atsar yang kami ketengahkan di atas sudah cukup. dijadikan
sebagai dalil yang dapat diterima guna menguatkan pendapat ini tanpa lainnya.
Bantahan dan riwayat yang garib serta penelusuran jalur, ulasan, kelemahan-
kelemahan serta penilaiannya akan dibahas pada bagian lain.
Menurut Imam Malik, basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dengan
suara keras ataupun perlahan. Mereka mengatakan demikian berdasarkan sebuah
hadits di dalam Sahih Muslim melalui Siti Aisyah radiyallahu ‘anha yang
menceritakan bahwa:
Di dalam kitab Sahihain yang menjadi dalil mereka disebutkan melalui Anas ibnu
Malik yang mengatakan:
Aku shalat di belakang Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Us’man.
Mereka membuka (bacaannya) dengan alhamdu lillahi rabbil ‘alamina.
18
imam dalam masalah ini, semuanya berdekatan, karena pada kesimpulannya
mereka sangat sepakat bahwa shalat orang yang mengeraskan bacaan basmalah
dan yang memelankannya adalah sah.
Hanya Allah Yang Maha mengetahui dan segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam.
19
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tafsir menurut bahasa (lughat) mengikuti wazan taf'il berasal dari akar kata
al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak.
Isti’adzah adalah mashdar (kata dasar) dari kata kerja (fi’il) isti’adza-yasta adzu
yang berarti memohon perlindungan.Menurut istilah isti’adzah adalah kalimat
yang berisi ungkapan dalam rangka memohon perlindungan kepada allah dari
godaan syaitan yang terkutuk ‘’. Pengertian ini didasarkan pada bentuk kalimat.
Makna Basmalah yaitu memulai dengan menyebut Asma Allah dan
mengingatNya sebelum segala sesuatu, mengharap pertolongan kepada Allah Jalla
wa ’ala disemua urusan, hanya meminta pertolongan kepadaNya saja,
sesungguhnya Rabb yang disembah, yang memiliki segala kelebihan, kemurahan
hati, keluasan rahmah, banyak keutamaanNya. Dan kebaikan yang rahmatNya
mencakup atas segala sesuatu dan kebaikanNya meliputi seluruh makhluk.
B.Saran
Kepada para pembaca tulisan ini, diharapkan dapat mengambil ilmu dan
pelajaran yang ada padanya, dan tentu saja dalam penulisan makalah ini, masih
banyak kesalahan dan kesilapan yang berasal dari penulis sendiri. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kepada pembaca, dan dosemn mata kuluah Bahasa
Indonesia khususnya, untuk memberikan krtitik dan saran atas kesalahan dalam
penulisan malakah ini, agar dapat menjadi perbaikan bagi penunlis untuk
selanjutnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
M. Syakur Chudlori (2013). Tafsir Ahkam dan Kontekstualisasi Hukum Islam. Al
Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. Vol.1 No. 02
https://kecilnyaaku.com/2016/06/03/tafsir-basmalah-dan-hukum-hukumnya/
Diakses pada 4 September 2021 Pukul 11.40
https://elhijaz.com/tafsir-al-istiadzah/#_ftn8 Diakses pada 4 September 2021
pukul 11.35
21