Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ad-Dakhil yang merupakan infiltrasi dalam menafsirkan Al-Quran membuka


kritik kembali tentang ontetitas ayat-ayat Al-Quran. Pada dasarnya ayat-ayat Al-
Quran tidak diragukan lagi kemurnian dan keasliannya, namun keragaman penafsiran
terhadap ayat-ayatnya lah yang sepatutnya dikritisi kembali. Untuk itulah Ad-Dakhil
hadir, sebagai upaya meredamkekacauan penafsiran yang sengaja dilakukan pihak-
pihak yang memiliki maksud tertentu. Terlebih memanfaatkan ayat-ayat Allah swt,
untuk melegitimasi tujuan-tujuan selain ibadah dan kepentingan agama.

Perpecahan umat islam menjadi latar belakang utama berlomba-lomba nya


masing masing kelompok unjuk keilmuan dan kebenaran pendapat mereka. Dalam hal
ini sekte mukatzilah mengambil porsi besar mengunggulkan tafsir bir-ra’yi nya,
begitupun kaum zindiq dengan tafsir sufistik yang tidak didasarkan dengan ilmu-ilmu
syariat sebagai pondasi utamanya. Makalah ini akan mengulas jenis ad-dakhil atau
virus yang mengkontaminasi penafsiran sekte muktazilah dan kaum zindiq.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang munculnya penafsiran sekte Muktazilah?

2. Bagaimana bentuk Ad-Dakhil dalam penafsiran sekte Muktazilah?

3. Bagimana latar belakang munculnya penafsiran kaum zindiq?

4. Bagaimana bentuk Ad-Dakhil penafsiran kaum zindiq?

C. Tujuan Masalah

1. Memahami perkembangan penafsiran sekte Muktazilah sekaligus bentuk Ad-


Dakhil yang menginfiltrasinya

2. Memahami perkembangan penafsiran kaum Zindiq sekaligus bentuk Ad-


Dakhil yang menginfiltrasinya

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Corak Penafsiran Sekte Muktazilah

Muktazilah merupakan sekte yang dipelopori Wasil Bin Atha’ yakni salah satu
murid Imam Hasan Basri yang memisahkan diri dari majelisnya kemudian mendirikan
majelis dan berdiri sendiri sebagai aliran teologi. Kemunculannya sejak era dinasti
Umayyah dan berkembang pesat pada era Abbasiyah bahkan menjadi teologi resmi
negara menggambarkan betapa pesatnya pengaruh aliran Muktazilah. Pada masa
kekuasaan khalifah, Muktazilah berani memberi pengaruh di lingkaran kekuasaan
pada masa itu yakni memberi hukuman bagi ulama-ulama yang menentang doktrin
Muktazilah, tradisi hukuman ini disebut dengan mihnah.1 Aliran ini kemudian
mencari legitimasi dan justifikasi untuk menguatkan dan mendukung pendapatnya
dengan merujuk pada ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangannya aliran ini berdiri
tidak semata-mata dilatarbelakangi oleh persoalan teologis, namun juga persoalan
politis2. Berdasarkan kepentingan-kepentingan yang bersifat politis maupun teologis
inilah embrio dari kemunculan ad-dakhil dalam penafsiran aliran Muktazilah, karena
Al-Quran merupakan media utama untuk doktrinisasi ajaran mereka. Tokoh Mufassir
Muktazilah diantaranya Az-Zamakhsyari dengan kitab Al-Kasysyaf, Al-Qadhi Abdul
Jabbar Al-Muktazili dengan kitab Tanzih Al-Quran ‘An Mutha’in3 dan Abu Ubaidah
dengan kitab Majaz Al-Quran.

Corak penafsiran yang dianut sekte Muktazilah dominan pada Tafsir bi Ra’yi,
yakni mazhab penafsiran yang mendasarkan pada akal atau rasio dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran. Secara khusus aliran rasio versi muktazilah memberi ruang
berlebihan dalam meninggikan derajat akal dan merendahkan dalil-dalil atau nash Al-
Quran dan Hadis. Keberanian penafsirannya sampai mengabaikan mukjizat sebab
tidak sesuai dengan konsep ilmiah.

Seperti ayat ‫س ٰى ت َ ۡك ِل ٗيما‬ َّ ‫ َو َك َّل َم‬dalam penafsirannya, Az-Zamakhsyari


َ ‫ٱَّللُ ُمو‬
menafsirkan ‫ َك َّل َم‬bukan berbicara sebagaimana pada umumnya khazanah bahasa arab.
Melainkan dengan ‫ جرح‬yang berarti melukai. Sebab fanatisme sekte Muktazilah

1
Nadirsyah Hosen, Islam Yes Khilafah No Jilid 2,(Yogyakarta: Suka Press, 2018) hal 54
2
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, (Yogyakarta: Adab Press, 2012) hal 22
3
Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Al-Quran Kita (Kediri: Lirboyo Press, 2011) hal 241

2
menafikan sifat-sifat Allah yang tidak mampu dicapai rasio atau tidak bisa dibuktikan
secara ilmiah, dalam konteks ayat ini yaitu sifat Kalam4.

Penafsiran semacam ini mengundang kritik para ulama yang berpegang teguh
pada obyektifitas kaidah-kaidah penafsiran Al-Quran seperti komentar Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Khaldun yang menyesalkan Az-Zamakhsyari berasal dari sekte
Muktazilah. Fanatisme aqidah secara berlebihan telah mendominasi penafsiran sekte
Muktazilah dan menyebabkan kekaburan terhadap makna ayat Al-Quran.5

B. Ad-Dakhil pada Penafsiran Sekte Muktazilah

Secara umum Ad-Dakhil yang mengkontaminasi penafsiran Al-Quran terbagi


menjadi dua. Pertama Ad-Dakhil fi al-Ma’thur yakni penafsiran melalui jalur riwayat
yang tidak shahih baik merujuk pada hadis Rasul, qaul Sahabat maupun Tabi’in.
Kedua Ad-Dakhil fi ar- Ra’yi yakni penafsiran Al-Quran dengan pemikiran yang
keliru.6 Dalam konteks penafsiran yang dilakukan sekte Muktazilah, Ad-Dakhil jenis
kedua inilah yang dominan menginfiltrasi ayat-ayat yang ditafsirkan.

Ad-Dakhil fi ar- Ra’yi terbentuk dari beberapa faktor, diantaranya adalah


mengingkari ayat-ayat Allah dan memiliki niat buruk terhadapnya, mengambil
zhahirnya tanpa melalui kajian analisis, menyalahgunakan teks Al-Quran,
memfinalkan pada makna batin tanpa disertai dalil yang jelas, keluar dari kaidah-
kaidah bahasa arab yang baku, menafsirkan tanpa memenuhi persyaratan sebagai
mufasssir, memaksakan dalam memadukan teks Al-Quran dan Hadis. 7Ad-Dakhil fi
ar- Ra’yi terbagi menjadi dua jenis:8

4
Muhammad Bin Umar Az-Zamakhsyary, Al-Kasyaf, Muhaqqiq: Asy-Syaikh Adil Ahmad, Asy-
Syaikh Ali Muhammad (Riyadh: Maktabah Al ‘Ibykaan, 1998) hal,179
5
Syihabudin Al-Qulyubi, Tafsir Al-Quran Corak Kebahasaan Kajian Awal Tafsir Al-Kasyaf Karya Az-
Zamkahsyari, Jurnal Bahasa dan Sastra Arab: Adabiyyat Vol 1 Maret 2003, hal 95
6
Ahmad Fakhrudin Fajrul Islam, Ad Dakhil Fit Tafsir Studi Kritis Dalam Metodologi Tafsir,
Tafaqquh: Vol.2 No.2, Desember 2014 hal. 86
7
Ahmad Fakhrudin Fajrul Islam, Ad Dakhil Fit Tafsir Studi Kritis Dalam Metodologi Tafsir hal. 86
8
Ahmad Fakhrudin Fajrul Isam, Ad Dakhil Fit Tafsir Studi Kritis Dalam Metodologi Tafsir hal. 87

3
1. Ad-Dakhil fi al-lughah yaitu penafsiran yang menggunakan bahasa tidak
sesuai pada tempatnya. Contoh dalam penafsiran sekte Muktazilah terhadap
َ َ‫ ِمن ش َِر َما َخل‬, lafaz ‫ ش َِر‬dalam ayat kedua sengaja dibaca tanwin
surat Al-Falaq ‫ق‬
َ َ‫ َما َخل‬sebagai huruf nafy. Sehingga pemahaman
dan huruf ‫ َما‬dalam kalimat ‫ق‬
ayat ini menjadi “dari keburukan yang tidak diciptakan oleh Allah, tapi
diciptakan oleh pelakunya sendiri”.9 Sangat tampak terjadi sikap tendesius
mazhab dalam penafsiran ayat ini sebab dalam ajaran muktazilah yang
menganut paham Qadariyah, manusia mempunyai daya yang besar dan bebas
dalam menciptakan perbuatan-perbuatannya. Artinya bukan Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia, tetapi manusialah menentukan dan
menciptakan perbuatannya.10

2. Ad-Dakhil fi Ar-Ra’yu yaitu penafsiran dengan pendapat yang keliru dan


tercela. Dalam arti lain, mufassir bil ra’yi tidak berpegang teguh dengan
kaidah-kaidah penafsiran yang benar sesuai dengan syariat.11 Seperti contoh
ِ ‫ ِإ َل ٰى َر ِبهَا َن‬. lafaz ‫اظ َرة‬
penafsiran Zamakhsyari dalam surat Al-Qiyamah ayat ‫اظ َرة‬ ِ َ‫ن‬
disini memiliki makna khusus, bukan melihat dzat Allah SWT dengan mata
telanjang, sebab apabila diberi makna melihat Allah, maka hal ini
bertentangan dengan ajaran kaum muktazilah yang menyatakan bahwa Tuhan
bersifat immateri, tidak bisa dilihat dengan mata kepala, apabila Tuhan bisa
dilihat dengan mata kepala, berarti Tuhan bisa dilihat ketika di dunia, namun
pada kenyataannya tidak ada yang pernha melihat Tuhan 12. Makna khusus
ِ ‫ َن‬disini adalah bukan melihat
yang diberikan Muktazilah terhadap lafadz ‫اظ َرة‬
wajah Allah tetapi menunggu dan berharap balasan pahala yang diberikan
Tuhan.13

9
M. Ulinnuha, Metode Kritik Ad-Dakhil, (Cirebon: Qaf Media, 2018) hal. 163
10
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016) hal. 191
11
Ahmad Fakhrudin Fajrul Islam, Ad Dakhil Fit Tafsir Studi Kritis Dalam Metodologi Tafsir hal. 88
12
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016) hal. 203
13
Muhammad Bin Umar Az-Zamakhsyary, Al-Kasyaf, Muhaqqiq: Asy-Syaikh Adil Ahmad, Asy-
Syaikh Ali Muhammad (Riyadh: Maktabah Al ‘Ibykaan, 1998) hal, 270

4
C. Latar Belakang Penafsiran Kaum Zindiq

Zindiq adalah term yang merujuk pada individu yang sesat atau individu yang
tidak beriman pada agama islam. Dalam pengertian lain, zindiq berarti orang yang
tidak memiliki kesetiaan. Menurut Muhammad Sabit Al-Fandi, zindiq diarahkan pada
bahasa arab maksudnya sama dengan tafsir atau takwil yang keluar dari kaidah-kaidah
yang sesuai dengan ajaran syariat islam atau takwil yang tertolak sebab bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran islam sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al-
Quran dan Hadis. 14

Perbuatan kaum zindiq merupakan upaya untuk menciptakan rekayasa buruk


dalam agama. Dalam hal ini zindiq berarti sebagai musuh islam yang berusaha
merusak islam dengan memberikan pencitraan yang buruk terhadap islam. Hal ini
diwujudkan dengan menebar khurafat, kebatilan, untuk memfitnah dan mengadu
domba kaum muslimin dan menimbulkan keragu-raguan dalam penafsiran Al-Quran.
Menurut Hammad ibn Ziyad hadis palsu yang dibuat-buat oleh kaum zindiq mencapai
empat belas ribu hadis. Diberitakan dari Ibn ‘Adi bahwa Ibn Abi Al-‘Arja tatkala

14
Zakiah Binti Ablillah, Konsep Zindiq Kajian dari Prespektif Islam, Desertasi Jabatan Akidah
Pemikiran Islam Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya, Kuala Lumpur, hal. 38

5
diekekusi mengaku telah membuat empat ribu hadis palsu yang mana berisi
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.15

Melalui keterangan diatas, dapat ditarik kesimpulan bibit kemunculan kaum


zindiq sudah terlihat sejak masa nabi Muhammad menyebarkan agama islam. Yakni
kebencian musuh islam yang mencoba memecah belah islam dengan segala cara
melahrikan bibit-bibit kemunafikan yang menyesatkan ajaran islam, yakni disebut
zindiq. Pada lahirnya islam namun batinnya tidak beriman pada Allah. Bibit-bibit
munafiq inilah menjadi cikal bakal sebutan zindiq bagi siapa saja yang berniat
menghancurkan islam dari dalam.

D. Ad-Dakhil dalam Penafsiran Kaum Zindiq

Kaum zindiq yang berarti kaum yang hendak menyesatkan umat muslim
terhadap ayat-ayat Allah menjadikan timbul pertanyaan siapa saja yang termasuk
kaum zindiq. Salah satu diantaranya adalah kelompok Syi’ah. Sebab penafsiran
kelompok ini telah melampaui batas-batas kewajaran dan berbuat sewenang-wenang
terhadap ayat-ayat Allah. Syiah yang dipelopori Abdullah bin Saba’ yakni seorang
yahudi yang masuk islam berhasil menciptakan propaganda untuk perpecahan umat
islam sekaligus menjadi sumbu penyelewengan terhadap kebenaran penafsiran ayat-
ayat Allah. Tokoh munafik ini adalah yang pertama kali menyebarkan bahwa Ali bin
Abi Tahlib adalah yang paling berhak menjadi pengganti setelah Nabi.16

Sikap Syiah secara berlebihan dalam menyanjung ahlul bait dan membenci
para sahabat selain ahlul bait menyebabkan ayat-ayat yang ditafsirkannya bertujuan
untuk meligitimasi keyakinannya. Ad-Dakhil yang menginfiltrasi penafsiran kaum
syiah menggunakan corak Ad- Dakhil fil Matsur, yakni melalui jalur periwayatan
yang diada-adakan.Diantaranya ayat tentang wilayah Al Maidah ayat 55 dan tentang
mubahalah Ali Imran ayat 61.

َ‫الزكَاةَ َو ُه ْم َرا ِكعُون‬


َّ َ‫ص ََلةَ َويُؤْ ت ُون‬
َّ ‫سولُهُ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا الَّ ِذينَ يُ ِقي ُمونَ ال‬ َّ ‫ِإنَّ َما َو ِليُّ ُك ُم‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬

15
Fathul Bari, Dakhil dalam Kitab Tafsir Anwarut Tanzil Wa Asrar At-Ta’wil Karya Al-Baydawi,
Desertasi Program Studi Ilmu Keislaman Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, hal. 91
16
http://eprints.walisongo.ac.id/1546/3/094211032_Skripsi_Bab2.pdf, diakses pada tanggal 30
November pukul 08.00

6
Terjemah Arti: Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).
Kelompok syiah menafsirkan lafadz ‫ َو ِليُّ ُك ُم‬yang dimaksud adalah Ali bin Abi
Thalib. Merujuk pada asbabun nuzul versi mereka, kala itu ada seorang pengemis
yang datang ke masjid Nabawi. Tidak ada seorang pun yang memberinya sedekah,
kecuali ‘Ali yang sedang ruku dalam salatnya. Saat itu Ali mengulurkan jari
kelingkingnya agar si pengemis mengambil cincin yang ada di sana. Oleh karennaya
yang berhak dengan ‫ َو ِليُّكُم‬disini adalah Ali bin Abi Thalib. Al-Bahrani, salah satu
tokoh mufassir Syiah meriwayatkan banyak sekali hadis lain yang mendukung hadis
pertama—yang menerangkan bahwa peristiwa yang mengiringi turunnya ayat tersebut
adalah peristiwa Ali. Sehingga hak kekuasaan dan kekhalifahan merupakan hak
khusus yang dianugerahkan Allah untuk Ali dan anak cucunya dari sang istri, Fatimah
binti Rasµl.17
َ ُ‫سنَا َوأ َ ْنف‬
‫س ُك ْم‬ َ ُ‫سا َء ُك ْم َوأ َ ْنف‬ َ ِ‫ع أ َ ْبنَا َء َنا َوأَ ْبنَا َء ُك ْم َون‬
َ ِ‫سا َء َنا َون‬ ُ ‫فَ َم ْن حَا َّجكَ فِي ِه ِم ْن بَ ْع ِد َما جَا َءكَ ِمنَ ا ْل ِع ْل ِم فَقُ ْل تَ َعالَ ْوا َن ْد‬
َ‫ع َلى ا ْلكَا ِذبِين‬ َّ َ‫ث ُ َّم نَ ْبت َ ِه ْل َفنَجْ عَ ْل لَ ْعنَت‬
َ ِ‫َّللا‬
Terjemah Arti: Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu
(yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil
anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri
kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita
minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.

Mubalah merupakan salah satu derivasi dari bahala yang artinya membiarkan
dan meninggalkan sesuatu tanpa perlindungan. Karenanya, bahala dalam bahasa Arab
berarti mereka berkumpul dan saling berdoa agar siapa yang zalim di antara mereka
dilaknat oleh Allah

Bagi al-Bahrani, ayat mubahalah ini sama sekali tidak menunjukkan apa pun
kecuali keutamaan ahlul bait dalam hak mendapatkan kepemimpinan atas kaum
muslimin. Untuk menguatkan pendapatnya, al-Bahrani meriwayatkan banyak sekali
hadis yang menyebutkan hal itu. Di mana kalangan Syiah berpendapat bahwa ayat

17
Ulya Fikriyati, Corak Akhbārī dalam Tafsir Syi’ah Kajian atas al-Burhān fī Tafsīr al-Qur’ān Karya
Sayyid Hāsyim al-Bahrānī, Shuhuf, Vol. 5, No. 2, 2012: hal. 202-201

7
mubahalah ini menunjukkan kejeniusan ahlul bait, kemuliaan juga kebesaran mereka
dibandingkan dengan semua muslim lainnya.18

Pemahaman syiah yang menyesatkan sangat tampak ketika kelompok ini


menyatakan tentang ketidakotentikan Al-Quran. Hanya Al-Quran yang ada ditangan
Ali Bin Abi Thalib lah yang paling shohih sedangkan yang diedarkan dengan rasm
ustmani pada waktu itu telah terjadi perubahan. Pengurangan dan penambahan ayat
yang tidak sesuai dengan rasm Ali. Hal ini dikutip dalam kitab-kitab para pembesar
Syiah. Dalam kitab al-Kafi karya Muhammad Ya’qub al-Kulaini—yang bagi kaum
Syiah kedudukannya seperti kitab Shahih al-Bukhari bagi kaum muslimin—, al-
Kulaini meriwayatkan dari jalur Hisyam bin Salim, dari Abu Abdillah Ja’far as-
Shadiq, ia berkata,

‫ف آَيَ ٍة‬ َ َ‫س ْبعَة‬


ِ ‫عش ََر أَ ْل‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َوآ ِل ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫س ََل ُم ِإلَى ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫أَنَّ ا ْلقُ ْرآنَ الَّذِي جَا َء ِب ِه ِجب ِْري ُل‬
َّ ‫علَ ْي ِه ال‬

“Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril ‘Alaihisslam kepada


Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam berjumlah 17.000 ayat.” (Ushul al-Kafi, karya al-
Kulaini, Kitab Fadhlul Qur’an, bab “an-Nawadir”, 2/134)

Para ulama Syiah menyatakan riwayat mereka ini sahih. Al-Majlisi berkata,
“Berita ini sahih.” (Mir’atul Uqul Syarah al-Ushul wal Furu’, 2/536) Pengarang kitab
asy-Syafi Syarah Ushul al-Kafi berkata, “Berita ini dibenarkan seperti sahih.” (7/227)
Sementara itu, kita mengetahui bahwa jumlah ayat al-Qur’an hanya enam ribu lebih.
Artinya, hampir dua pertiga bagian yang hilang dari al-Qur’an, menurut ajaran kaum
Syiah. Keyakinan adanya perubahan al- Qur’an tersebut dikuatkan lagi oleh riwayat
yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam al-Kafi (1/457), dari Abu Bashir, dari Abu
Abdillah (Ja’far ash-Shadiq, -red.) ia berkata, “Sesungguhnya kami memiliki mushaf
Fatimah. Tahukah mereka, apa itu mushaf Fatimah?” Aku bertanya, “Apa itu mushaf
Fatimah?” Ia menjawab, “Mushaf Fatimah dibandingkan Qur’an kalian ini lebih
banyak tiga kali lipat. Demi Allah, tidak ada satu huruf pun seperti yang terdapat
dalam Qur’an kalian.” Aku menjawab, “Demi Allah, ini adalah ilmu.”

Muhammad Shalih al-Mazindarani berkata, “Sesungguhnya ayat-ayat al-


Qur’an yang berjumlah enam ribu lima ratus, dan selebihnya telah hilang karena
terjadinya tahrif (perubahan).” (Syarah Jami’ alal Kafi, 11/76).19

18
Ibid, hal. 205

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam perkembangannya aliran ini berdiri tidak semata-mata dilatarbelakangi
oleh persoalan teologis, namun juga persoalan politis20. Berdasarkan
kepentingan-kepentingan yang bersifat politis maupun teologis inilah embrio
dari kemunculan ad-dakhil dalam penafsiran aliran Muktazilah, karena Al-
Quran merupakan media utama untuk doktrinisasi ajaran mereka. Tokoh
Mufassir Muktazilah diantaranya Az-Zamakhsyari dengan kitab Al-Kasysyaf,
Al-Qadhi Abdul Jabbar Al-Muktazili dengan kitab Tanzih Al-Quran ‘An
Mutha’in21 dan Abu Ubaidah dengan kitab Majaz Al-Quran. Corak penafsiran
yang dianut sekte Muktazilah dominan pada Tafsir bi Ra’yi, yakni mazhab
penafsiran yang mendasarkan pada akal atau rasio dalam memahami ayat-ayat
Al-Quran.

2. Muktazilah menggunakan Ad-Dakhil jenis Ra’yi yang mencakup pada dua hal.
Yakni Ad-Dakhil fi Al-Lughah dan Ad-Dakhil fi Ra’yi

3. Perbuatan kaum zindiq merupakan upaya untuk menciptakan rekayasa buruk


dalam agama. Dalam hal ini zindiq berarti sebagai musuh islam yang berusaha
merusak islam dengan memberikan pencitraan yang buruk terhadap islam. Hal
ini diwujudkan dengan menebar khurafat, kebatilan, untuk memfitnah dan
mengadu domba kaum muslimin dan menimbulkan keragu-raguan dalam
penafsiran Al-Quran. Menurut Hammad ibn Ziyad hadis palsu yang dibuat-
buat oleh kaum zindiq mencapai empat belas ribu hadis. Diberitakan dari Ibn
‘Adi bahwa Ibn Abi Al-‘Arja tatkala diekekusi mengaku telah membuat empat
ribu hadis palsu yang mana berisi menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.

4. Kaum zindiq yang berarti kaum yang hendak menyesatkan umat muslim
terhadap ayat-ayat Allah menjadikan timbul pertanyaan siapa saja yang

19
https://www.nahimunkar.org/tuduhan-syiah-terhadap-al-quran/ diakses pada tanggal 30 November 2019
pukul 08.00
20
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran, (Yogyakarta: Adab Press, 2012) hal 22
21
Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Al-Quran Kita (Kediri: Lirboyo Press, 2011) hal 241

9
termasuk kaum zindiq. Salah satu diantaranya adalah kelompok Syi’ah. Sebab
penafsiran kelompok ini telah melampaui batas-batas kewajaran dan berbuat
sewenang-wenang terhadap ayat-ayat Allah. Syiah yang dipelopori Abdullah
bin Saba’ yakni seorang yahudi yang masuk islam berhasil menciptakan
propaganda untuk perpecahan umat islam sekaligus menjadi sumbu
penyelewengan terhadap kebenaran penafsiran ayat-ayat Allah. Tokoh
munafik ini adalah yang pertama kali menyebarkan bahwa Ali bin Abi Tahlib
adalah yang paling berhak menjadi pengganti setelah NabiSikap Syiah secara
berlebihan dalam menyanjung ahlul bait dan membenci para sahabat selain
ahlul bait menyebabkan ayat-ayat yang ditafsirkannya bertujuan untuk
meligitimasi keyakinannya. Ad-Dakhil yang menginfiltrasi penafsiran kaum
syiah menggunakan corak Ad- Dakhil fil Matsur, yakni melalui jalur
periwayatan yang diada-adakan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hosen, Nadirsyah, Islam Yes Khilafah No Jilid 2, Suka Press, 2018, Yogyakarta
Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran Adab Press, 2012 Yogyakarta
Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2011, Al-Quran Kita, Lirboyo Press, 2011 Kediri
Bin Umar Az-Zamakhsyary , Muhammad, Al-Kasyaf, Muhaqqiq: Asy-Syaikh Adil
Ahmad, Asy-Syaikh Ali Muhammad, Maktabah Al ‘Ibykaan, 1998, Riyadh
Al-Qulyubi, Syihabudin, Tafsir Al-Quran Corak Kebahasaan Kajian Awal Tafsir Al-
Kasyaf Karya Az-Zamkahsyari, Adabiyyat Vol 1 Maret 2003, Jurnal Bahasa dan Sastra Arab
Fajrul Islam, Ahmad Fakhrudin, Ad Dakhil Fit Tafsir Studi Kritis Dalam Metodologi
Tafsir, Vol.2 No.2, Desember 2014, Tafaqquh
Ulinnuha, M. Metode Kritik Ad-Dakhil, Qaf Media, 2018, Cirebon
Rozak Abdul dan Anwar, Rosihon Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, 2016 Bandung
Binti Ablillah, Zakiah, Konsep Zindiq Kajian dari Prespektif Islam, Desertasi Jabatan
Akidah Pemikiran Islam Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya, Kuala Lumpur
Bari, Fathul Dakhil dalam Kitab Tafsir Anwarut Tanzil Wa Asrar At-Ta’wil Karya Al-
Baydawi, Desertasi Program Studi Ilmu Keislaman Program Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel,
http://eprints.walisongo.ac.id/1546/3/094211032_Skripsi_Bab2.pdf, diakses pada
tanggal 30 November pukul 08.00
Fikriyati, Ulya Corak Akhbārī dalam Tafsir Syi’ah Kajian atas al-Burhān fī Tafsīr al-
Qur’ān Karya Sayyid Hāsyim al-Bahrānī, Shuhuf, Vol. 5, No. 2, 2012: hal. 202-201

11

Anda mungkin juga menyukai