1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyikapi kata gharib di dalam Al-Qur’an harus baik dan benar. Para sahabat
Nabi saja yang sezaman dengan wahyu, tahu kebahasaan Arab dan benar-benar
mengetahui kondisi bagaimana, di mana dan untuk apa wahyu Al-Qur’an turun itu
tidak berani gegabah menyikapi makna Al-Qur’an. Maka, bahasan ini tidak boleh
serampangan, spekulasi dan tebak-tebakan bebas tanpa data yang jelas dan riwayat
yang mempertegasnya.
Dalam hal ini perlu dipertegas karena ini berkaitan dengan penentuan makna
ayat Al-Qur’an. Akal murni tanpa riwayat itu sulit menjangkaunya. Apalagi dengan
bacaan modern yang budaya dan peradabannya jauh berkembang dan bisa disebut
berbeda dengan saat Al-Qur’an itu diturunkan.
Selain itu, ayat-ayat Al-Qur’an merupakan firman Allah. Mengada-ada dan
membuat statemen pribadi tentang ayat Al-Qur’an itu sama saja dengan menisbatkan
sesuatu yang tidak difirmankan Allah. Bahkan bisa saja disebut sebagai berdusta atas
nama Tuhan. Dan itu adalah sikap keterlaluan yang besar. Oleh karena itu, di sini
pemakalah akan membahas tentang solusi mengurai gharib Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Solusi Mengurai Gharib Al-Qur’an?
2. Bagaimana Contoh Kata Gharib dalam Syair-syair Bangsa Arab?
2
BAB II
PEMBAHASAN
)Al-Baqarah: 37( َاب َعلَ ْي ِه ۗ اِنَّهُ هُ َو التَّوَّابُ ال َّر ِح ْي ُم ٍ ٰفَتَلَ ّࣤقى ٰا َد ُم ِم ْن َّرب ِّٖه َكلِم
َ ت فَت
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun
menerima tobatnya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang”.
)Al-A’raf: 23( َقَاالَ َربَّنَا ظَلَ ْمنَآ اَ ْنفُ َسنَا َواِ ْن لَّ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُكوْ ن ََّن ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين
“Keduanya berkata “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri.
Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami
termasuk orang-orang yang rugi”.
1
MA. Zuhurul Fuqohak and Abdul Karim, Tafsir Gharib Al-Qur’an: Sistematika Dan Metodologi
(Kudus: IAIN Kudus Press, 2021), hal. 67-68.
2
Nabil Mubarok Ajrah, “Manahij Gharib Al-Qur’an, Journal Ar-Royyan Li al-’Ulum al-Insaniyyah Wa
Ath-Thathbiqiyyah” 1.1 (2018): hal. 61.
3
Kedua, menjelaskannya dengan hadis Nabi. Misalnya penjelasan QS. Al-
Baqarah: 187 tentang al-khaith al-abyadh (benang putih) dan al-khaith al-aswad
(benang hitam). Ini dijelaskan oleh hadis riwayat Adi bin Hatim r.a yang menanyakan
pada Baginda Nabi apakah itu maksudnya adalah benang putih dan hitam dalam arti
sebenarnya, lalu Nabi saw menjawab bahwa maksud benang hitam adalah pekatnya
malam hari dan maksud benang putih adalah terangnya siang hari.3
Ketiga, menafsirkan kata gharib dengan perkataan para sahabat Nabi saw. Hal
ini dilakukan oleh para sahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah saw. Dan perkataan
mereka bisa dibuat hujjah karena mereka hidup di masa Al-Qur’an turun. Sehingga
sedikit banyak mereka benar-benar mengetahui dan menguasai alasan, hikmah, latar
belakang dan semangat Al-Qur’an itu bagaimana. Di antaranya adalah Ibnu Abbas,
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Mas’ud r.a.
Contohnya adalah tafsiran Ibnu Abbas tentang Alif Lam Mim yang menurutnya
adalah alif itu lambang Allah, lam adalah Jibril dan mim adalah Nabi Muhammad.4
Begitu pula tafsiran beliau tentang QS. Al-Anbiya’: 30 tentang asal muasal semesta
adalah rotqon (bersatu) kemudian fataq (menyibak). Itu ditafsirkannya bahwa langit
itu dulunya tidak bisa menurunkan hujan dan bumi itu tidak bisa menumbuhkan
tanaman kemudian dibuat Allah bisa melakukan keduanya.5
Keempat, mengetahui ilmu bahasa dan kata, baik tentang kata benda (isim),
kata kerja (fi’il) dan kata sambung (huruf). Ini semua bisa diambil dari kitab-kitab
tentang kebahasaan Arab. Semisal kitab Ibnu as-Sayyid, at-Tahdzib karya al-Azhari,
al-Muhkam karya Ibnu Sayyidah, al-Jami’ karya al-Qazzaz, as-Sihhah karya al-
Jauhari, al-Bari’ karya al-Farabi dan Majma’ al-Bahrain karya ash-Shaghani.
Kelima, memahami kata gharib dari syair-syair bangsa Arab. Sahabat Nabi
yang banyak sekali berhujjah dengan syair-syair Arab untuk memberikan penafsiran
dan menyingkap kata gharib adalah Ibnu Abbas r.a. beliau berkata:
3
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih al-Musnad al-Muttasil Ila Rasulillah Saw
(Kairo: Dar asy-Syu’ab, 1987), hal. 4510.
4
Abdul Qahir bin Abdurrahman al-Jurjani, Duroju Ad-Duror Fi Tafsiri al-Ayi Wa as-Suwar (Yordania:
Dar al-Fikri, 2009), hal. 104.
5
Mukhamad Ali as-Shabuni, At-Tibyan Fi ’Ulumi al-Qur’an (Jakarta: DKI, 2004), hal. 23.
4
“Jika kalian bertanya kepadaku tentang kata gharib di dalam Al-Qur’an maka
carilah artinya di dalam syair. Karena sesungguhnya syair itu adalah diwan
(kumpulan ucapan) orang-orang Arab..”
6
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ajrah, Nabil Mubarok. “Manahij Gharib Al-Qur’an, Journal Ar-Royyan Li al-’Ulum al-
Insaniyyah Wa Ath-Thathbiqiyyah” 1.1 (2018).
Bukhari, Muhammad bin Ismail al-. Al-Jami’ Ash-Shahih al-Musnad al-Muttasil Ila
Rasulillah Saw. Kairo: Dar asy-Syu’ab, 1987.
Jurjani, Abdul Qahir bin Abdurrahman al-. Duroju Ad-Duror Fi Tafsiri al-Ayi Wa as-Suwar.
Yordania: Dar al-Fikri, 2009.
MA. Zuhurul Fuqohak, and Abdul Karim. Tafsir Gharib Al-Qur’an: Sistematika Dan
Metodologi. Kudus: IAIN Kudus Press, 2021.
Shabuni, Mukhamad Ali as-. At-Tibyan Fi ’Ulumi al-Qur’an. Jakarta: DKI, 2004.