Di Susun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas tentang Kaidah Isim
Nakirah Dan Ma’rifah. Shalawat dan salam kami sampaikan kepada Rasulullah
saw. Sebagai suri tauladan bagi umatnya.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran bersifat membangun untuk makalah ini
agar dapat menjadi penulisan yang berikutnya lebih baik lagi. Semoga apa yang
ditulis ini dapat bermanfaat bagi semua khususnya mahasiswa. Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen Ushul Al-Tafsir Wa Qawaiduh yang telah membimbing kami dalam
menulis makalah ini.
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir Al-Qur’an merupakan diskursus yang telah ada dalam tradisi
keilmuan Islam sejak masa klasik, yang mana diskursus keilmuan ini terus
berkembang seiring perkembangan zaman. Dimulai dengan metodologi tafsir
yang berlandaskan riwayat atau At-Tafsir bi Al- Ma’tsur dan tafsir yang
berlandaskan pemikiran / logika atau At-Tafsir bi Ar-Ra’yi, hingga memunculkan
metode-metode atau corak penafsiran lain semisal tafsir ahkam, tafsir falsafi,
tafsir isyari, tafsir ilmi, dan lain sebagainya.1
Namun meski perkembangan zaman dan metode tafsir itu sendiri, tetap saja
tidak bisa lepas dari faktor kebahasaan yang menjadi instrumen utama penafsiran.
Bahkan para ulama menarik kesimpulan jika syarat mutlak untuk memahami
makna dan pesan dari Al-Qur’an adalah memiliki kemampuan dalam berbahasa,
utamanya bahasa arab.2 Hal ini dikarenakan orang yang menfasirkan Al-Qur’an
tanpa memahami kaidah bahasa arab akan cenderung menyimpang dalam
penafsirannya sehingga keluar dari makna lafadz Al-Qur’an itu sendiri.3
Karena itulah, kajian bahasa yang dalam konteks tafsir ini yaitu bahasa arab
penting untuk dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya penyelewengan atau
penyimpangan makna dari makna sebenarnya pada makna yang salah. Maka para
ulama kemudian menyusun kaidah-kaidah tafsir yang berkenaan dengan bahasa
arab, atau dikenal sebagai kaidah-kaidah kebahasaan (Al-Qawaa’id Al-
Lughawiyah). Tujuannya adalah memberikan batasan agar penafsiran tidak
serampangan dan melenceng jauh dari makna asal yang dikehendaki dari ayat Al-
Qur’an itu sendiri.4
Diantara kaidah kebahasaan yang penting untuk dibahas yaitu yang
berkiatan dengan sifat dari kata nomina (kata benda), apakah definitif ataukah
1
Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th.),
vol. 1, hal. 183.
2
M. Quraisy Syihab, Kaidah Tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), hal. 35.
3
li Mutakin, “Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir”, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-
Qur’an dan Tafsir, No. 2, Desember 2016, hal. 86.
4
Ibid., hal. 89.
1
tidak definitif. Yang dalam keilmuan nahwu (gramar bahasa arab) dikenal dengan
istilah ma’rifah (kata benda definitif) dan nakirah (kata benda tidak definitif).
Yang masing-masing diantara keduanya akan memberikan konsekuensi makna
yang berbeda terhadap kalimat Al-Qur’an.
Secara khusus, makalah ini membahas mengenai isim nakirah atau kata
benda tidak tentu (definitif) yang terdapat dalam Al-Qur’an. Juga membahas
mengenai konsekuensi makna dari kata tersebut serta contoh penerapannya dalam
ayat-ayat Al-Qur’an.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
(Dan seorang laki-laki datang bergegas dari ujung kota...)
Kata رجلpada ayat di atas berarti seorang laki-laki, yaitu Habib al-Najjar,
yang datang kepada Nabi Musa untuk memberi nasihat kepadanya agar keluar dari
kota, karena pembesar kota hendak membunuhnya.
b. Iradah an-Nau' (untuk menunjukkan jenis atau macam) Seperti dalam Al-Qur'an
surat Al- Baqarah/2:96,
(Dan sungguh kamu akan mendapati mereka. manusia yang paling tamak kepada
kehidupan di dunia)
4
َ ََوهَّللا ُ خَ ل
ق ُكل دَابَّ ٍة ِم ْن َما ٍء
Maksudnya adalah setiap binatang melata berasal dari satu macam dari
macam- macam air, dan setiap individu (satu) binatang berasal dari satu nuthfah.
ت اَ َّن لَهُ ْم َج ٰنّات تَجْ ِريْ ِم ْن تَحْ تِهَا ااْل َ ْن ٰه ُر ّ ٰ ۗ َوبَ ِّش ِر الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َو َع ِملُوا ال
ِ صلِ ٰح
(Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat
kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di
bawahnya sunga-sungai...)
(Dan jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah
bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu).
7
Ahmad husnul Hakim IMZI, (2017). Kaidah-Kaidah Penafsiran, Pedoman Bagi Pengkaji Al-
quran, hal. 56
5
Maksud kata حربpada ayat di atas adalah peperangan yang sangat besar
lagi dahsyat.
ََو َج ۤا َء ال َّس َح َرةُ فِرْ عَوْ نَ قَالُ ْٓوا اِ َّن لَنَا اَل َجْ رًا اِ ْن ُكنَّا نَحْ نُ ْال ٰغلِبِ ْين
(Dan para pesihir datang kepada Fir'aun. Mereka berkata: (Apakah) kami akan
mendapat imbalan, jika kami menang?)
Kata أجراdalam bentuk nakirah, yang berarti pahala (upah) yang banyak.
Kata رسلpada ayat di atas adalah para rasul yang mulia dan jumlahnya banyak.
(Dari apakah Allah menciptakan? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu
menentukannya)
Kata نطفةberbentuk nakirah yang berarti setetes mani, yaitu dari sesuatu yang
hina, rendah dan remeh.
6
ِ ت تَحْ ِري ِم ْن تَحْ تِهَا اَأْل ْنهَا ُر خَالِ ِدينَ فِيهَا َو َم َسا ِكنَ طَيِّبَةً فِي َجنَّا
ت َع ْد ٍن ٍ ت َجنَّا ِ َو َع َد هللاُ ْال ُمْؤ ِمنِينَ َو ْال ُمْؤ ِمنَا
ك ه َُو ْالفَوْ ُزال َكبِي ُر
َ ِان ِمنَ هَّللا ِ َأ ْكبَ ُر َذلٌ َو ِرضْ َو
(Allah menjanjikan kepada orang- orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan
mendapatkan) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan
keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar).
Keridhaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar dari pada surga, karena
keridhaan itu adalah pangkal segala kebahagiaan."8
Kata ِ( إلهTuhan) pada ayat mengindikasikan makna tunggal. Hal ini dikuatkan
dengan konteks ayat yang membahas tentang keَesaan Allah SWT. Hal ini
dijelaskan dengan kata selanjutnya yaitu وا ِحدyang berarti esa atau tunggal.
Adapula yang menyebutkan maksudnya adalah menunjukan jenis.9
8
Jalaluddin as Suyuthi, (t.th). Al-Itqan fi Ulumil Quran, Jilid II, hal. 174
9
Ibnu ‘Asyur At-tunisi, At-tahrir wa at tanwir, vol 2, hal. 75
7
ُ ْضهُ قُلْ ِإنَّ َما ُأ ِمر
ت َأ ْن َأ ْعبُ َد هَّللا َ َواَل َ َب يَ ْف َرحُوْ نَ بِ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي
ِ ك َو ِمنَ اَأْلحْ َزا
َ ب َم ْن يُ ْن ِك ُر بَ ْع َ الَّ ِذ ْينَ َأتَ ْينَهُ ُم ْال ِكت
ٍ ك بِهلَ ْي ِه ا ْد ُعوْ ا َوِإلَ ْي ِه َما
ب َ ُأ ْش ِر
“...Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada- Nya aku kembali.” َ
Pada ayat di atas terdapat kata ( مآبtempat kembali), dan makna ayat ini yaitu
hanya kepada Allah lah tempat kembali pada hari kiamat dan bukan kepada
selain-Nya. Dia-lah pula yang akan memberikan balasan amal kepada manusia.Ini
menunjukan bahwa makna isim nakirah tersebut bermakna tunggal.
2. Menunjukan jenis
Contoh pertama terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 7 :
َ ار ِه ْم ِغ َشا َوةٌ َولَهُ ْم َع َذابٌ َع ِظي ٌم
ِ صَ خَ تَ َم هللاُ َعلَى قُلُوبِ ِه ْم َو َعلَى َس ْم ِع ِه ْم ۖ َو َعلَى َأ ْب
“...penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat”
ََ
Pada ayat terdapat kata ِ( غشاوةpenutup), makna dari ayat sendiri yaitu bahwa pada
pendangan atau pengelihatan orang yang kafir itu telah tertutup dengan suatu jenis
penutup yang belum diketahui oleh manusia.10
10
Nashiruddin Al-Baidhawi, Anwar At-tanzil wa asrar At-taqwil, Hal. 43
8
4. Menunjukan hal yang banyak
Contoh nya terdapat dalam surat Al-Mursalat ayat 26:
حْ يَاء َوَأ ْم َوانا
“Bagi yang masih hidup dan yang sudah mati.”
َأ ْم َواتًاyang hidup) dan( َأ ْحيَاءPada ayat ini terdapat dua kata, yaitu (yang mati),
kedua kata ini merupakan isim nakirah yang berfungsi menunjukan jumlah
banyak. Maka makna ayat yaitu bumi menghimpun banyak sekali baik orang-
orang yang hidup maupun yang sudah mati.
“Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka (juga) tidak
dapat kembali kepada kelَuarganya.”
Pada ayat di atas terdapat kata ( ت ْو ِص َيةmemberi wasiat), yang mana maknanya
yaitu apabila terjadi kiamat maka tidak ada seorangpun yang akan sempat
9
memberikan wasiat atau nasehat walaupun hanya berupa sebuah kata yang
pendek. Hal ini menunjukan bahwa isim nakirah terseْbut menunjukan jumlah
yang sedikit
b. Menyebutkan nama untuk menunjukkan arti memuliakan seperti dalam QS. Al-
Fath/48:29
Sesungguhnya Karun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku zhalim terhadap
10
mereka…
d. Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti dalam Q.S luqman
ayat 11
Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah
diciptakan oleh (sesembahanmu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang
zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata.
ٰۤ ُ ٰۤ ُ
َك هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن
َ ول ِٕى ك ع َٰلى هُدًى ِّم ْن َّربِّ ِه ْم ۙ َوا
َ ول ِٕى ا
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-
orang yang beruntung.
f. Menghinakan dengan menggunakan kata tunjuk dekat, seperti dalam QS. Al-
Ankabut/29:64.
ََو َما ٰه ِذ ِه ْال َح ٰيوةُ ال ُّد ْنيَٓا اِاَّل لَ ْه ٌو َّولَ ِع ۗبٌ َواِ َّن ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ لَ ِه َي ْال َحيَ َو ۘانُ لَوْ َكانُوْ ا يَ ْعلَ ُموْ ن
Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya
negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.
g. Memuliakan dengan menggunakan kata tunjuk jauh, seperti dalam QS. Al-
Baqarah/2:2.
َ ِٰذل
َ ك ْال ِك ٰتبُ اَل َري
ْب ۛ فِ ْي ِه
11
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa,
h. Mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu
sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut. Seperti
dalam QS. Al-Baqarah/2:2-5.56
والَّ ِذ ْينَ يُْؤ ِمنُوْ نَ بِ َمٓا اُ ْن ِز َل اِلَ ْيكَ َو َمٓا-َ َب َويُقِ ْي ُموْ نَ الص َّٰلوةَ َو ِم َّما َر َز ْق ٰنهُ ْم يُ ْنفِقُوْ نِ الَّ ِذ ْينَ يُْؤ ِمنُوْ نَ بِ ْال َغ ْي- َهُدًى لِ ْل ُمتَّقِين
ٰۤ ُ ٰۤ ُ ۗ
َول ِٕىكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن ك ع َٰلى هُدًى ِّم ْن َّربِّ ِه ْم ۙ َوا َ ول ِٕى ا- َك ۚ َوبِااْل ٰ ِخ َر ِة هُ ْم يُوْ قِنُوْ نَ ِاُ ْن ِز َل ِم ْن قَ ْبل
petunjuk bagi mereka yang bertakwa (2), yaitu mereka yang beriman kepada yang
gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan
kepada mereka (3), dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur‟an) yang
diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan
sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat (4), Merekalah yang
mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung
(5).
ٰ فَ َع-ۗ اِنَّٓا اَرْ َس ْلنَٓا اِلَ ْي ُك ْم َرسُوْ اًل ەۙ َشا ِهدًا َعلَ ْي ُك ْم َك َمٓا اَرْ َس ْلنَٓا اِ ٰلى فِرْ عَوْ نَ َرسُوْ اًل
ْ َ صى فِرْ عَوْ نُ ال َّرسُوْ َل فَا
خَذ ٰنهُ اَ ْخ ًذا
ۚ َّوبِ ْياًل
12
Huruf alif-lam ( )الpada lafazh الرسولberfungsi sebagai penjelas dari kata رسوال
yang berbentuk nakirah. Kedua kata itu menunjukkan hakikat yang sama, yaitu
nabi Musa. Namun ada yang berpendapat lain bahwa huruf (al) pada lafazh الرسول
menunjukkan arti istighraq al-jins. Sehingga berarti menentang semua Rasul.
Huruf alif-lam ( )الpada lafazh الرسولberfungsi sebagai penjelas dari kata رسوال
yang berbentuk nakirah. Kedua kata itu menunjukkan hakikat yang sama, yaitu
nabi Musa. Namun ada yang berpendapat lain bahwa huruf (al) pada lafazh الرسول
menunjukkan arti istighraq al-jins. Sehingga berarti menentang semua Rasul.
13
sifat Allah menunjukkan fungsi di atas, seperti ،الغفور، الرحيم الرحمنdan seterusnya.
Karena itu, dalam terjemahan selalu dibarengi kata “Maha”.
11
2. Ma’rifah yang berupa nama orang dan benda bertujuan untuk meyakinkan
lawan bicara. Salah satu contohnya adalah pada Surat al-Ikhlas ayat satu ُ قُ ۡل هُ َو ٱهَّلل
ٌدEَأ َح. Ma’rifah dalam ayat ini adalah kata ahadun. Penggunaan kata esa dengan
disini bertujuan untuk meyakinkan pembaca bahwa Allah itu esa, hanya ada satu
dan tidak ada yang lain.
3. Ma’rifah yang menggunakan isim isyarah (kata tunjuk) bermaksud untuk:
a. Menjelaskan suatu hal yang ekstrem.
b. Mengindikasikan kebodohan dari mitra bicara
c. Menunjukkan jarak (jauh atau dekat)
11
M. Agus Yusron, Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir: Kaidah yang diperlukan mufassir, bogor, 2021
14
d. Merendahkan objek yang ditunjuk (yang berjarak dekat)
e. Menjelaskan bahwa objek yang ditunjuk pantas mendapatkan sifat yang disebut
sesudahnya.
Dalam ayat tersebut, tidak disebutkan nama istri Raja mesir disini namun
menggunakan isim maushul “allati” yang menunjuk pada perempuan (dalam hal
ini istri raja Mesir).
15
bermakna umum adalah pada Surat an-Nur ayat 63.
Ma’rifah pada ayat ini adalah kata َأمۡ ِر ِهyang bermakna perintah Allah. Perintah
disini tidak terkhusus pada suatu perintah, namun perintah Allah secara
keseluruhan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kaidah bahasa adalah salah satu kaidah
terpenting dalam memahami Al-Qur’an. Karena itu seseorang yang tidak
memahami bahasa Al-Qur’an akan sulit untuk bisa menangkap tujuan aplikatif
dari ayat-ayatnya.
16
Salah satu kaidah kebahasaan yang harus dipahami yaitu kaidah yang
berkenaan dengan kata benda yang bersifat non definitif (isim naikrah), yang
mana dia mengandung kemungkinan 6 makna : untuk menunjukan makna
tunggal, menunjukan jenis dari sesuatu, menunjukan pengagungan, menunjukan
makna hal yang banyak, menunjukan makna merendahkan sesuatu, dan
menunjukan makna hal yang sedikit.
Penentuan makna dari isim nakirah tersebut dapat dilakukan dengan melihat
qarinah (petunjuk) baik berupa kata-kata tertentu ataupun kontek kalimat (siyaq
al-jumlah). Semisal, kata benda yang berbentuk jamak bisa menunjukan makna
banyak, dan kata tunggal (isim mufrad) menunjukan makna tunggal atau sedikit.
atau ketika mengetahui perendahan (at-tahqir) pada surat ‘Abasa ayat 18 dan 19.
Karena penentuan makna diperoleh melalui ijtihad dengan memperhatikan
petunjuk dan konteks kalimat, maka kadangkala terjadi perselisihan mengenai
maknanya atau bahkan diperoleh makna ganda pada kata tertentu. Semisal kata َ
( ْشيئاsesuatu) pada surat Ali Imran ayat 76 yang memiliki makna menyedikitkan
(at-taqlil) sekaligus merendahkan (at-tahqir).
Karena itu penting untuk dibuat suatu rumusan yang lebih baku mengenai
petunjuk dan konteks kalimat tersebut dalam kaidah yang lebih terperinci (al-
qawaa’id al-far’iyyah) dari kaidah umum di atas.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh
hubungannya dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca.
17
18