Anda di halaman 1dari 7

KAEDAH PENGULANGAN ISIM

Makalah

Disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Qawa’id Tafsir

Disusun oleh :

AISYAH AWALIYAH (S1.VI.19.021.045)

SUSPAWATI TANJUNG (2219032)

NOFA FATMAWATI (S1.VI. 19.17.094)

Dosen Pengampu :

Dr. AHMAD DESKI, S.S.I., M.A.

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL QUR’AN PAYAKUMBUH

TAHUN AJARAN 2023/2024


BAB I

PENDAHULUAN

Ada satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli
zaman wa makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai
doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada
ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau paling tidak sampai pada waktu
ulama-ulama klasik saja.

Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang


mampu menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis,
reformatif, komunikatif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan
problem kontemporer yang dihadapi umat manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang


berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Kaidah-
kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam
kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan
perkembangan zaman.

Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat


justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini
lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat
obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada
dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Dalam konteks ma’rifah dan nakirah para pakar mengemukakan kaidah


yang dapat diterapkan pada umumnya ayat-ayat Al-Quran, yaitu :

1. Pengulangan ma’rifah dengan ma’rifah, pada umumnya mengandung makna


bahwa yang kedua sama dengan yang pertama.
2. Pengulangan nakirah dengan nakirah. Ini kebalikan dengan yang pertama,
objek yang ditunjuk kata pertama berbeda dengan objek yang ditunjuk kata kedua.
Berikut contoh dari kedua kaedah pengulangan isim diatas :
6‫) أ نرّ عَ عَ ساُْيْ رسً ُيْ رسًا‬5( ‫(فعا نرّ عَ عَ ساُْيْ رسً ُيْ رسًا‬
“karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan” )QS.Asy-Syarh [94] : 5-6(
Ayat diatas menggunakan bentuk ma’rifah untuk kata al-Usr
)ًُْْ‫(ا‬/kesulitan, sedang kata Yusr )ًُْ( berbentuk nakirah. Ini berarti kesulitan
yang disebut pada ayat 6 sama dengan kesulitan yang disebut pada ayat 5.
sehingga ini berarti bahwa setiap ada satu kesulitan, maka dicelahnya/bersamanya
ada dua kemudahan.
3. Pengulangan nakirah dengan ma’rifah. Jika yang pertama nakirah dan yang
kedua ma’rifah, maka yang kedua sama dengan yang pertama. Seperti firman
Allah swt :
‫ُ سْل‬ ‫ فعُع ع‬.ً‫ُ سْ ر‬
‫َى فر سً عَ سّْي ن‬
‫اًْ ي‬ ‫ُ سَْعا أرْعى فر سً ع‬
‫َ سّْع عر ي‬ ‫ عَ عَا ا ع سر ع‬.
“… sebagaimana kami mengutus kepada Fir’aun rasul, lalu Firaun
mendurhakai rasul )itu(” )QS. Al-Muzammil [73] : 15-16(
4. Pengulangan ma’rifah dengan nakirah. bila sebaliknya, yang pertama ma’rifah
dan yang keduanya nakirah, maka ini

2
memerlukan pengamatan indikator untuk merumuskan maknanya. Karena
terkadang sangat berbeda maksudnya.
Seperti kata sa’ah yang terulang dalam firman-Nya :
ٍ‫ُا عَ ة‬ ‫عَُع سْ عَ َعْي سْ يل اْْنا عٍَي ُي سْ رْ يُ اْ يَْس رً يَ سّْع عَا ْع رُِ ي سْا ع‬
‫َْ عسً ع‬
“pada hari datangnya as-Sa’ah )kiamat( para pendurhaka bersumpah;
mereka tidak tinggal didunia kecuali sesaat )waktu yang singkat(")QS. Ar-Rum
[35] : 55(

Memang kaidah ini tidak selalu demikian, namun paling tidak ia dapat
menjadi patokan pemahaman.
Sekali lagi, kaidah ini tidak berlaku umum, tetapi kebanyakan demikian itu
halnya, salah satu bukti bahwa kaidah diatas tidak selalu demikian adalah firman
Allah dalam QS. Az-Zukhuf [43] : 84 ;
ُ‫ِ ارْعٌه عَُ عيْ ساْ عَ رِ سْ يُ ساُْع رْ سْ ي‬
‫اِ أرْعٌه عَفرى ساًع سر ر‬ ‫عَُ عيْااْنِرى فرى اْ ن‬
‫ْ عَ ر‬
Pada ayat diatas kata Ilah )ٌْ‫ (ا‬berulang dua kali, sekali dalam kaitannya
dengan as-sama’ )ِ‫(اَْْا‬/langit dan dikali kedua dalam kaitannya dengan al-Ardh
)ِ‫(اًر‬/bumi. Jika kaidah diatas diterapkan, maka itu dapat berarti bahwa tuhan di
langit berbeda dengan tuhan yang di bumi. Karena itu, salah satu jalan keluar yang
diberikan oleh para pakar adalah memahami kata ilah )ٌْ‫ (ا‬dalam arti "ketuhanan"
bukan “tuhan” sehingga ayat tersebut bermakna :
“Dia )Allah( yang ketuhanannya terbentang di langit dan terbentang juga di
bumi ”
Disini bisa saja kedua bentuk tersebut berbeda antara lain, bahwa dilangit
ketuhanan-Nya sangat jelas, tidak ada atau hampir tidak ada satu makhluk pun
yang membangkang. Sedang ketuhanan-Nya di bumi tidak sejelas itu, karena di
sini sekian banyak makhluk yang membangkang, bahkan ada yang tidak
mengakui wujud-Nya. Lebih jauh kaidah umum itu menyatakan bahwa :

3
“kalau ma’rifah diulang ma’rifah, atau Nakirah disususn Ma’rifah maka
keduanya mengandung makna yang sama.”
Namun sekali lagi, ini tidak selalu bersifat demikian, perhatikanlah firman Allah
Swt.
‫ُْي‬ ‫ْ رُ ا نرً س ر‬
‫اًْس ع‬ ‫ُ سعْ عََع ا يِ س ر‬
‫اًْس ع‬
“bukankan balasan kebajikan tidak lain kecuali kebajikan pula”)QS. Ar-Rahman
[55] : 60(
Di sini kata al-Ihsan )ًُْْ‫ (ا‬terulang dua kali, keduanya dalam bentuk ma’rifah.
Tetapi kata al-Ihsan yang pertama ihsan duniawi, sedangkan yang kedua
merupakan balasannya adalah kenikmatan ukhrawi. Tentu yang duniawi bebeda
dengan yang ukhrawi. Namun demikian, sebagai Patokan umum kaidah itu dapat
digunakan.1

1
M. Quraish Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang : Litera Hati, 2013) hlm. 48

4
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk
menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta mampu
menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi
umat manusia adalah sebuah keharusan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan
kaidah-kaidah penafsiran. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai
referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah
penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya kaidah Ism
Ma’rifah dan Nakirah. Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan
sebagai alat justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an.
Dalam konteks ma’rifah dan nakirah para pakar mengemukakan kaidah
yang dapat diterapkan pada umumnya ayat-ayat Al-Quran, yaitu : “Pengulangan
kata yang sama dalam satu rangkaian kalimat yang keduanya dalam bentuk
ma’rifah, maka itu secara umum mengandung makna bahwa yang kedua sama
dengan yang pertama, serta pengulangan nakirah menunjukkan bahwa yang
pertama bukan yang kedua”.
Memang kaidah ini tidak selalu demikian, namun paling tidak ia dapat
menjadi patokan pemahaman. Sekali lagi, kaidah ini tidak berlaku umum, tetapi
kebanyakan demikian itu halnya.
Wallahu ‘Alam.

5
DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, )Tangerang: Litera Hati, 2013(

Prof. Dr. Salman Harun, dkk. Kaidah-kaidah Tafsir, )Jakarta: QAF, 2017( cet. 1

Anda mungkin juga menyukai