Anda di halaman 1dari 21

TAFSIR MUQARIN

TAQDIM WATA’KHIR

Di Susun Oleh Kelompok 3

Agung Pratama ( 1910304013 )

M. Alfikran ( 2030304070 )

Tia Warohma ( 1910304006 )

Dosen Pengampuh :

Kamaruddin S. Ag. M. Hum

Prodi Ilmu Al qur’an Tafsir

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Uin Raden Fatah Palembang

Tahun Akademik 2022/2023


Kata Pengantar

Segala Puji Bagi Allah Swt Yang Masih Memberikan Kesehatan dan kesempatannya Kepada
Saya Sebagai Penulis Makalah Ini. Sehingga Saya dapat Membuat dan Menyelesaikan Makalah
Ini Yang Berjudul taqdim wata’khir Dengan lancar.

Berikut Ini Saya Sebagai Penulis Mempersembahkan Maklah ini sebagai karya tulis dalam
memenuhi tugas Tafsir Muqarin. Adapun Saya sebagai penulis mengharapkan makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya dan masyarakat umum.Khsususnya bagi diri saya sendiri
sebagai penulis makalah ini. Dengan saya juga menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan dalam makalah ini karena saya sendiri masih tahap belajar. Dengan demikian saya
sebagai penulis terbuka menerima semua kritikan dan saran dari pembaca makalah ini.
Demikianlah makalah ini saya buat dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat
umu ataupun pembacanya dan terkhusus bagi diri saya sendiri.

Palembang, 21 september 2022.

Penulis.
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Diantara keunikan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang mengandung unsur-unsur


kebalag|aan yang tinggi, sehingga tak satupun yang dapat menandinginya. Al-Quran merupakan
kitab yang dijamin keautentikannya, mengandung ajaran-ajaran yang universal yang tidak lekang
oleh waktu dan tidak lapuk oleh pergantian zaman. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT. untuk
menjadi pedoman umat manusia dalam melakoni kehidupan dimuka bumi ini. Ia diturunkan
dengan berbahasa Arab1 yang tidak diperuntukkan hanya untuk orang Arab saja, akan tetapi
untuk semua umat manusia dengan berbagai latar bangsa dan bahasa. Dengan demikian, al-
Qur’a>n sebagai kitab yang mengandung tuntunan dan ajaran-ajaran agama, tentunya harus
selalu dibaca, dikaji, dianalisa dan dipahami isi dan kandungan ajarannya. Problemanya adalah
tidak semua manusia menguasai bahasa Arab, sehingga diperlukan penafsiran dan penerjemahan
al-Qur’an kedalam berbagai bahasa agar ia dapat dipedomani oleh semua umat manusia. Untuk
dapat menafsirkan dan memahami bahasa al-Quran -dengan kedalaman kandungan dan
ketinggian uslub bahasanya itu- maka dibutuhkan pula pengetahuan tentang kaidah-kaidah
penafsiran al-Quran dan penguasaan ilmu-ilmu pendukung lainnya.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir, diantaranya adalah memiliki pengetahuan bahasa Arab dan penguasaan
kaidah-kaidahnya,serta memiliki wawasan keilmuan yang erat kaitannya dengan unsur-unsur
‘ulum alQur’an. Jalal al-Din al-Suyuti dalam kitab al-Itqan fi al-‘Ulum al-Quran menyebutkan
bahwa; setidaknya ada 30 unsur-unsur ‘ulum al-Qur’an yang perlu diketahui oleh para pemerhati
penafsir al-Qur’an. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa jika unsur-unsur ini diketahui, maka
akan memperoleh kebenaran dan taufik dan sebaliknya jika tidak diketahui, maka akan
mendekatkan kepada kesalahan atau kekeliruan , terlebih lagi jika dikaitkan dengan upaya
penerjemahan dan penafsiran serta upaya untuk memahami kandungan al-Qur’an. Diantaranya
yang dimaksudkan adalah kaidah al-Taqdim wa al-Takhir yang merupakan salah satu unsur
kaidah penafsiran al-Qur’an. Kaidah ini berorientasi pada uslub kebahasaan dengan tidak lepas
dari aturan tata bahasa Arab atau ilmu Nahwu (Grammar) dan sangat terkait dengan Ilmu
Balagah. Akan tetapi terkadang susunan kalimat bahasa Arab keluar dari struktur sebagaimana
umumnya kita ketahui dengan tujuan seni kebahasaan, sehingga nampaklah ; terkadang fa’il
mendahului fi’il, khabar mendahului mubtada’, serta maf’ul mendahului fi’il dan fa’inya. Pola
kalimat seperti inilah menjadi kajian utama dalam pembahasan ka’idah taqdim dan takhir.

Taqdîm dan ta’khîr adalah salah satu keistimewaan gaya bahasa ( ushlûb ) balâghah yang
memiliki keindahan makna serta pengaruh yang mendalam bagi pendengar maupun si
pembicara. Dan setiap kalimat yang terucap melalui kata-kata serta susunan kalimat yang teratur
merupakan ketinggian serta keindahan gaya bahasa ini. Ushlûb menurut pandangan para-
sastrawan ( al-Balîgh ) adalah salah satu seni ilmu balâghah yang dapat mengungkap dan
menyingkap rahasia serta sebab-sebab kalimat dalam menempatkan kata-kata yang dapat
menggugah dan menyentuh perasaan. Dan taqdîm dan ta‟khîr dalam Al-Qur’an terdapat
bermacam-macam yang memiliki sebab-sebab dan rahasia yang jelas, kemudian diungkap oleh
para ulama tafsir dengan berbagai penafsiran terhadap ayat-ayatnya.

Kaidah Taqdim dan Takhir adalah salah satu uslub balagah dan merupakan bagian
pembahasan ilmu ma’ani. Didalam ilmu Qawa’id alTafsir, kaidah Taqdim dan Takhir merupakan
salah satu qaidah yang wajib diketahui oleh siapapun yang hendak menafsirkan al-Qur’an
PEMBAHASAN

A. Pengertian Taqdim wa Taqkhir

Kata Taqdim berakar kata dari huruf-huruf )‫دم‬GGG‫ م (ق‬- ‫ د‬- ‫ق‬yang berarti mendahului,
menyegerakan1. Kemudian kata ‫ قدم‬mengalami perubahan wazan (afiksasi) dengan menambahkan
satu huruf pada ‘ain fi’ilnya (infiks) dengan cara mentasydidkannya (‫ )قدم‬sehingga mengalami
transformasi makna, dari makna mendahului atau menyegerakan menjadi mendahulukan ,
mendatangkan, memilih atau lebih menyukai. Sedangkan Takhir berakar kata dari huruf-huruf - ‫ا‬
)‫ ر (اخر‬- ‫ خ‬merupakan antonim dari kata Taqdim. Kata ‫ اخر‬juga mengalami afiksasi dengan
menambahkan satu huruf pada ‘ain fi’ilnya, sehingga menjadi (‫)اخر‬yang berarti penundaan,
penangguhan, dan perlambatan2. Maka kata Taqdim dan Takhir , keduanya adalah berasal dari
kata kerja yang dibendakan masdar dari kata ‫ تقديما‬- ‫ يقدم‬- ‫قدم‬dan ‫ يؤخر – تاخيرا‬- ‫اخر‬. Yakni sesuatu
hal yang mendahulukan dan yang mengakhirkan. In’am fawwal Akkawi mengatakan ; “Taqdim
adalah mendahulukan sesuatu dan meletakkannya didepan dari yang lainnya, sedangkan Takhir
adalah keadaan yang sebaliknya”3.

Dalam terminology ilmu Balagah, taqdim dan takhir lebih terkonsentrasi pada ketinggian
uslub (gaya bahasa) yang berpengaruh besar pada keindahan rasa bahasa dengan menampilkan
bahasa dalam bentuk makna yang sempurna sesuai situasi dan kondisi. Olehnya itu ia merupakan
seni bahasa yang paling unggul dalam menyingkap perasaan jiwa dan mengukur kedalamannya4.

Taqdim dan Takhir yang dimaksudkan dalam kaidah ini adalah mendahulukan atau
mengakhirkan satu lafad atau ayat yang satu dari satu lafad atau ayat yang lain. Atau
memposisikan suatu lafad sebelum posisinya yang asli, atau sesudahnya untuk memperlihatkan
kehususan ,keutamaan, dan urgensi dari lafad tersebut5

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ka’idah taqdim dan takhir adalah suatu dasar
atau patokan untuk mengetahui keaadan suatu lafad|, atau ayat yang didahulukan atau
1
Lihat Ibn Mandur, Lisan al-Arab. Juz 7, (Kairo: Dar al-Hadis, 2003). h. 270.
2
Lihat Ibid., h.93.
3
In’am Fawwal Akkawi, Mu’jam Mufassal fi ‘Ulum al-Balagah : al-Badi’, wa al-Bayan, wa al-
Ma’ani. (Cet. II; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 411
4
Lihat. Ibid
5
Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, Qawa‘id al-Tafsir:Jam’an wa Dirasan, Jilid I. (Cet. I; al Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Sa’udiyah: Dar Ibn ‘Affan, 1417 H./ 1996 M.), h. 378.
diakhirkan, yang bertujuan untuk menyingkap rahasia kehususan dan keutamaan dari suatu lafad
maupun ayat sesuai maksud dan tujuannya. Sehingga makna hakiki yang dikehendaki oleh suatu
ayat dapat hadir dibenak, dan dipahami oleh para pembacanya.

B. Kaidah-Kaidah Taqdim wa Takhir

Adapun kaidah taqdim wa takhir ialah:

a) Kaidah Pertama

Kaidah ini butuh penjelasan karena bentuk-bentuk taqdim dan takhir dalam al-Quran
mempunyai beberapa arti. Kadang redaksi ayat didahulukan karena beberapa alasan, misalnya
karena realitanya memang terdahulu, atau didahulukan karena mengandung makna kemuliaan
atau terkadang didahulukan karena sulitnya untuk dijelaskan (musykil) dan setelah dikaji dengan
pendekatan taqdim dan takhir maka maknanya menjadi jelas6.

Sebagai contoh atas kaidah ini, dapat dilihat pada Q.S. al-Baqarah (2): 67 dan 72 berikut ini:

َ‫ال اَ ُعوْ ُذ بِاهّٰلل ِ اَ ْن اَ ُكوْ نَ ِمنَ ْال ٰج ِهلِ ْين‬ ‫هّٰللا‬


َ َ‫ال ُموْ ٰسى لِقَوْ ِم ٖ ٓه اِ َّن َ يَْأ ُم ُر ُك ْم اَ ْن ت َْذبَحُوْ ا بَقَ َرةً ۗ قَالُ ْٓوا اَتَتَّ ِخ ُذنَا هُ ُز ًوا ۗ ق‬
َ َ‫َواِ ْذ ق‬

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar
menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami
sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk
orang-orang yang jahil.”

ۚ َ‫م فِ ْيهَا ۗ َوهّٰللا ُ ُم ْخ ِر ٌج َّما ُك ْنتُ ْم تَ ْكتُ ُموْ ن‬Gُْ‫َواِ ْذ قَت َْلتُ ْم نَ ْفسًا فَا ٰ ّد َر ْءت‬

Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seseorang, lalu kamu tuduh-menuduh tentang itu. Tetapi
Allah menyingkapkan apa yang kamu sembunyikan.

Ucapan Nabi Musa as. pada ayat diatas diungkapkan setelah terjadinya perselisihan dan saling
tuduh menuduh atas peristiwa pembunuhan tersebut. Jika kedua ayat tersebut diatas kita amati,
maka akan nampak bagi kita bahwa ayat 72 sebenarnya merupakan sebab atau latar belakang
6
Lihat Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Terj. Samudrah Ulumul Qur’an oleh
Farikh Marzuki Ammar, LC dan Imam Fauzi Ja’iz LC, Jilid 3. (Cet. I; Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2007), h.
terjadinya perintah penyembelihan sapi betina yang terdapat pada ayat pertama (67), dan pada g|
alibnya latar belakang selalu berada di depan akan tetapi pada kedua ayat di atas justru
sebaliknya.

Al-Bagawi berkata bahwa ayat 72 di atas merupakan awal kisah, walaupun pada urutan
tilawahnya berada setelah ayat 67. Sebagaimana juga yang dikatakan oleh al-Wahidi’ bahwa
perselisihan dan saling tuduh menuduh atas pembunuhan tersebut terjadi sebelum peristiwa
penyembelihan7

b) Kaidah Kedua

Bahwa kebiasaan orang-orang ’Arab ahli fus}hah bila mengabarkan sesuatu yang
berkaitan dengan hukum dan orang lain juga terlibat dalam hukum tersebut atau pada apa yang
diberitakan itu, maka dia akan mengat}afkan satu sama lainnya dengan wawu yang tanpa
menghiraukan tertibnya kalimat. Maka mereka memulai dengan mendahukuan sesuatu yang
lebih penting atau yang lebih diprioritaskan8.

Adapun contoh berkenaan dengan kaidah di atas adalah sebagai berikut: Pada surah al-
Baqarah (2): 43 :

َ‫ َم َع الرَّا ِك ِع ْين‬G‫ الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َوارْ َكعُوْ ا‬G‫َواَقِ ْي ُموا‬

Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

Pada ayat di atas mengandung taqdim dan takhir, dimana kata salat didahulukan
pengucapannya karena lebih diprioritaskan9. Imam Fakhr alRazi menjelaskan bahwa
7
Pembicaraan tentang perselisihan pembunuhan diakhirkan karena ketika Musa as. berkata
sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyembelih sapi betina, barulah para
mukhatab umat nabi Musa as. mengetahui bahwa tujuan penyembelihan tersebut adalah untuk
mengungkap pelaku pembunuhan yang mereka tidak ketahui.Setelah perintah penyembelihan
tersebut telah mengakar dalam sanubari mereka, barulah Allah berfirman sbagaimana ayat 72 di
atas. Lihat Ibid., h. 43.
8
Lihat Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, op.cit., h. 379.
9
Lihat Ibid. h.380.
mendahulukan salat pada ayat ini, karena salat adalah ibadah badaniyah yang paling mulia, dan
zakat merupakan ibadah yang paling mulia pada harta10. Quraish Shihab menjelaskan dalam
tafsirnya “al-Misbach” bahwa dua kewajiban pokok itu merupakan pertanda hubungan harmonis,
dimana salat merupakan hubungan harmonis secara vertical (antara manusia dengan Allah), dan
zakat merupakan hubungan harmonis secara horizontal (hubungan sesama manusia)11. Keduanya
sama pentingnya akan tetapi salat tentunya lebih didahulukan.

C. Sebab-Sebab Taqdim dan Takhir serta Bentuk-Bentuknya dalam alQur’an

Pada dasarnya ayat-ayat al-Qura’an jika dikaitkan dengan perihal kaidah taqdim dan al-
takhir, adalah terbagi dua yaitu:

1) ayat mengandung makna yang musykil dilihat dari sisi d|ahirnya, dan

2) adalah apa yang tidak demikian, yakni karena mengandung hikmah tertentu atau
tujuantujuan tertentu, misalnya karena dianggap sesuatu yang lebih penting untuk dijelaskan dan
lebih diperhatikan12.

Al-‘Allamah Syamsu al-Din Ibn Al-Soig mengatakan bahwa hikmah taqdim dan takhir
dengan sebab karena adanya perhatian kepadanya, adalah bersifat umum atau menyeluruh, dan
secara rinci permasaalahan yang didahulukan dapat dilihat pada uraian berikut; yakni bahwa
diantara sebab-sebab taqdim dan takhir menurut beliau dalam kitabnya al-Muqaddimah fi Sir al-
Fad al-Muqaddamah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Suyuti dalam kitabnya13 , adalah :

10
Lihat Fakhr al-Razi, Mafatih al-G|aib, dalam Maktabah Syamiah (CD.ROM).
11
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1 (Cet.I; Ciputat: Lentera Hati,
2000), h. 171.
12
Lihat Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti, Tahdib wa Tartib al-Itqan fi Ulum
alQur’an. (Cet. I; al-Mamakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyah: Dar Ibn Affan,
2005), h.371.
13
Lihat Ibid., h. 372-377. ,Lihat juga al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an.Terj.
Samudrah Ulumul Qur’an, op. cit., h. 41-52
1) Dengan tujuan tabarruk yaitu mencari berkah. Terdapat beberapa ayat-ayat yang
mendahulukan „asmâ Allah, yaitu dengan tujuan untuk memiliki kedudukan yang
sangat tinggi dan mencari berkah.

contohnya terdapat dalam kalam Allah Ta’ala dalam Q.S.Al-Imran (3):18:

ِۗ ‫ ْال ِع ْل ِم قَ ۤاى ًم ۢا بِ ْالقِس‬G‫َش ِه َد هّٰللا ُ اَنَّهٗ ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل هُ ۙ َو َو ْال َم ٰۤلى َكةُ َواُولُوا‬
‫ز ْال َح ِك ْي ُم‬Gُ ‫ْط ٓاَل اِ ٰلهَ اِاَّل ه َُو ْال َع ِز ْي‬ ِٕ ِٕ

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.

Juga dalam surat Al-Anfâl / 8 : 41, yaitu :

‫َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ َما َغنِ ْمتُ ْم ِّم ْن َش ْي ٍء فَا َ َّن هّٰلِل ِ ُخ ُم َسهٗ َولِل َّرسُوْ ِل‬

“ Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul….” ( Al-Anfâl / 8 : 41 ).

Didahulukan Lafazh Jalâlah dalam kedua ayat di atas, dengan alasan karena lafazh Jalâlah
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan mulia. Dan tidak diragukan lagi bahwa persyaksian
terhadap Allah lebih tinggi kedudukannya dibanding persyaksian kepada Malaikat, dan
persyaksian kepada Malaikat lebih tinggi dari para ulama, maka didahulukan14. Ibn Katsîr
menafsirkan dalam ayat Ali Imrân / 3 : 18, bahwa dalam kalimat (‫ )شهيدا‬menyatakan, tentang
tingginya sifat yang dimiliki Allah SWT itu benar-benar Maha saksi, serta Maha Adil dari segala
perkatan yang disampaikan melalaui rasul-Nya. Dan ayat (‫ )انه ال اله اال هو‬memiliki makna tauhid
ulûhiyyah, hanyalah Dia satu-satunya Tuhan untuk semua makhluk yang berhak disembah. Di
samping itu Dia sebagai Tuhan ( Khâliq ), dan semua makhluknya membutuhkan kepada-Nya,
karena Dia Maha Kaya. Allah juga menyatakan persyaksiannya kepada Malaikat dan para ahli
ilmi ( ulûl-Ilmi ), hal itu merupakan pertanda salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada
14
Op.cit., h. 104 , As-Suyûtî, op.cit., h. 35
mereka, karena kedudukannya yang mulia, memiliki sifat jujur dan benar dalam setiap hal.
Kemudian ayat di atas di akhiri dengan (‫ )العزيز الحكيم‬yaitu bahwa, Allah SWT Maha Mulia dan
Maha Agung serta Maha Besar, dan Maha Bijaksana dalam setiap tindakan-Nya15. Sedangkan
dalam penafsiran ayat 42 surat al-Anfal, bahwa lafazh jalâlah dalam ayat (‫) فان هللا خمسه وللر سول‬
adalah sebagai pembuka kalâm, sebagaimana Allah mendapat Allah bahwa, yaitu (‫ا فى‬SS‫هللا م‬
‫ا فى األرض‬SS‫ماوات وم‬SS‫ )الس‬berfirman seperlima ( khumûs ), juga rasulullah SAW seperlima dari
pembagian harta rampasan sebagai hasil peperangan16

2) Untuk Ta‟dzîm yaitu untuk mengagungkan. Sebagaimana surat An-Nisâ’ / 5 : 69 :

ٰۤ ُ
ِّ ‫ك َم َع الَّ ِذ ْينَ اَ ْن َع َم هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه ْم ِّمنَ النَّبِ ٖيّنَ َوال‬
ّ ٰ ‫ص ِّد ْيقِ ْينَ َوال ُّشهَد َۤا ِء َوال‬
َ‫صلِ ِح ْينَ ۚ َو َحسُن‬ Gَ ‫ول ِٕى‬ ‫َو َم ْن ي ُِّط ِع هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل فَا‬
ٰۤ ُ
‫ك َرفِ ْيقًا‬ َ ‫ول ِٕى‬ ‫ا‬

“ Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul ( Nya ), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orangorang saleh “. ( Al-Nisâ‟ / 5 : 69 ).

Dalam ayat di atas perintah ta’at kepada Allah didahulukan terlebih utama sebelum perintah ta’at
kepada rasul, karena Allah itu lebih Agung kedudukan-Nya dan lebih besar dari semua makluk-
Nya. Dan lafazh Jalâlah didahulukan menurut alBaidhawi, karena perintah ta’at kepada Allah
adalah sebagai sugesti ( targhîb ) bagi umat Islam untuk menta’ati Allah kemudian menta’ati
mereka-mereka yang disebutkan dalam ayat, sesuai dengan janji-Nya, karena mereka memiliki
ketinggian akhlaq yang mulia. Yaitu para nabi ( nabiyyûn ) yang sukses dalam perjuangannya
sesuai dengan ilmu dan amal mereka dalam menegakkan kalimat tauhid. Juga orangorang yang
jujur dan benar ( shiddîqun ) yang sangat tinggi derajat ketaqwaannya, serta para ahli jihad yang
mati syahid dalam menegakan agama Allah ( syuhadâ‟ ) dengan semangat yang kuat dalam
berdakwah menegakan kalimat lâ ilâha-ilallah, dan juga para orang-orang shaleh ( shâlihîn )
yang diberi umur panjang serta harta benda yang cukup yang digunakan untuk tujuan beribadah

15
Ibn Katsîr, Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, Muhamad Ali Shâbunî ( tahqiq ), ( Kairo : Dar As-
Shâbuni, t.th ), Jilid : 1, h. 272
16
Ibid, jilid ke-2. h. 106
dan mencari keridha’an Allah SWT semata. Mereka tergolong orang-orang yang diberi nikmat
( oleh Allah ) kerena mereka betul-betul lebih mengenal Allah dibanding makhluk-makhluk lain,
sehingga orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menta’ati mereka17.

3) Untuk tujuan tasyrîf 18


yaitu untuk memulyakan. Ibn Shâ’ig mengatakan, bahwa
mendahulukan muzakkar ( laki-laki ) sebelum mu‟annats ( perempuan ) seperti
yang terdapat dalam surat Al-Ahzâb ayat 35, yaitu

ِ ‫ت َو ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُمْؤ ِم ٰن‬


‫ت‬ ِ ٰ‫اِ َّن ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْسلِم‬

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min…

bahwa laki-laki ( muzhakar ) itu lebih didahulukan dari pada perempuan ( muua’nats ), karena
kedudukan laki-laki lebih dimuliakan. Dan Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat di atas diawali
dengan Islam, karena Islam mencakup di dalamnya makna iman yaitu perbuatan yang diiringi
dengan anggota badan. Kemudian disebutkannya kata ( imân ) dengan lafazh (‫ )المؤمنون‬yang
merupakan kekhususan, yakni seorang muslim yang memiliki keimanan yang sempurna.
Sebagaimana juga didahulukan lafazh al-Hurr ( orang merdeka ) sebelum al-abdu ( budak sahaya
) untuk memuliakan orang yang merdeka, sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah / 2 :

ۗ‫ بِااْل ُ ْن ٰثى‬G‫اَ ْلحُرُّ بِ ْال ُح ِّر َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد َوااْل ُ ْن ٰثى‬

17
Al-Baidlâwi, Tafsîr Al-Baidlâwi ( Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta‟wîl ), ( Beirut : Dar-alFikr,
1416 H / 1996 M ), jilid ke-2, h. 214
18
Perbedaan antara (‫ )التعظيم‬dan (‫ريف‬S‫ )التش‬yang artinya mengangungkan dan memuliakan, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan, karena mempunyai kesamaan tujuan yaitu penghormatan,
namun dilihat dari penggunaan lafazh-lafazh dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Allah SWT
mengunakan ta‟zhim sebagai penghormatan kepada yang lebih tinggi kedudukannya, seperti ;
kedudukan Allah sendiri, para nabi-nabi dan malaikat dan sebagainya ( QS. 4 : 69 ). Sedangkan
kata tasyrif digunakan untuk penghormatan kepada yang lebih rendah kedudukannya, diantara
makhluk-makhluk-Nya, seperti Allah memulyakan bagi laki-laki dari wanita, atau memulyakan
orang merdeka dari budak sahaya, orang yang hidup dari yang mati, ( QS. 33 : 35 , QS. 2 : 178,
QS. 30 : 19 ), Abdul Azhîm Ibrâhîm Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 5-6
“ Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. “
( QS. Al-Baqarah / 2 : 178 ).”

Didahulukan orang merdeka, karena ia lebih mulia dari pada hamba sahaya. Ibn Katsîr
menyatakan bahwa hukum pembunuhan yang dimaksud adalah qishas. Hukum Islam pada awal
Islam menetapkan, bahwa qishas bisa terjadi pada orang yang merdeka membunuh budak, atau
budak pria membunuh budak wanita, kemudian dijelaskan dengan riwayat yang disampaikan
kepada Ibn Abbâs, ( ۗ‫ )اَ ْلحُرُّ بِ ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد َوااْل ُ ْن ٰثى بِااْل ُ ْن ٰثى‬bahwa tidak dibenrakan seorang lelaki
merdeka membunuh wanita budak sahaya, tetapi orang merdeka mengqishas orang lelaki
merdeka juga, sebagimana juga seorang wanita mengqishas seorang wanita merdeka. Dan
menurut pendapat yang diriwayatkan Abi Mâlik, bahwasanya ayat tersebut telah di-nasakh
( diganti ) dengan ayat (‫ )النفس باالفس‬sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Mâidah / 5 :
45.

‫ف َوااْل ُ ُذنَ بِااْل ُ ُذ ِن َوالس َِّّن بِال ِّس ۙنِّ َو ْال ُجرُوْ َح‬ ِ ‫س َو ْال َع ْينَ بِ ْال َعي ِْن َوااْل َ ْنفَ بِااْل َ ْن‬
ِ ‫س بِالنَّ ْف‬
َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِ ْيهَٓا اَ َّن النَّ ْف‬
ٰ ‫ك هُم‬ ٰۤ ُ ‫هّٰللا‬ ۗ ‫ص‬
َ‫الظّلِ ُموْ ن‬ ُ Gَ ‫ول ِٕى‬ ‫ارةٌ لَّهٗ ۗ َو َم ْن لَّ ْم يَحْ ُك ْم بِ َمٓا اَ ْن َز َل ُ فَا‬
َ َّ‫ق بِ ٖه فَهُ َو َكف‬
َ ‫ص َّد‬َ َ‫اصٌ فَ َم ْن ت‬ َ ِ‫ق‬

“ Dan telah kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya ( At Taurat ) bahwasanya jiwa
( dibalas ) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka-luka ( pun ) ada kishasnya. Barangsiapa yang melepaskan ( hak kisas )
nya, maka melepaskan hak itu ( menjadi ) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang
yang zalim. “ ( Al-Mâidah / 5 : 45 ).

Juga didahulukan kata khail ( kuda ) terhadap bighâl dan hamîr ( keledai ), dalam surat An-Nahl /
16 : 8 , yang berbunyi :

ُ ُ‫ر لِتَرْ َكبُوْ هَا َو ِز ْينَ ۗةً َويَ ْخل‬Gَ ‫َّو ْال َخ ْي َل َو ْالبِغَا َل َو ْال َح ِم ْي‬
َ‫ق َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬
“ Dan ( Dia telah menciptakan ) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan
( menjadikannya ) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. “
( QS. An-Nahl / 16 : 8 ).”

Tujuan didahulukannya khail terhadap bighâl karena khail ( kuda ) lebih baik dari bighâl
disebabkan banyak manfa’atnya.

4) Untuk munasabah yaitu penyesuaian. Dalam hal ini, As-Suyutti membagi


munasabah tersebut kepada dua sebab. Pertama : penyesuaian lafazh yang
didahulukan ( al-mutaqaddim ) sebab siyaqul kalam ( konteks ).

Contohnya dalam surat Al-Nahl / 16 : 6, yaitu :

َ‫َولَ ُك ْم فِ ْيهَا َج َما ٌل ِح ْينَ تُ ِر ْيحُوْ نَ َو ِح ْينَ تَس َْرحُوْ ۖن‬

“ Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke
kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. “ ( An -Nahl / 16 : 6 ).”

Didahulukan kata (‫ )تريحون‬terhadap (‫ )تسرحون‬karena siyaqul kalâm ( konteks-nya ) yaitu sama-


sama memiliki kesamaan arti ( istirahat ), baik kata (‫ )السراح‬maupun dalam kata ( ‫ )االراحة‬Dan
kedua lafazh tersebut sama-sama indah ( jamâl ). Namun keindahan yang dimiliki kata (‫)تريحون‬
melebihi kata (‫رحون‬GG‫ )تس‬karena istirahatnya ( binatang ternak ) dari tempat pengembalaan
( mar‟ah ) itu di sore hari, tentu dalam keadaan kenyang ( bithan ), dan hal itu lebih
menyenangkan dan menarik. Berbeda dengan waktu istirahat mereka di saat melepaskannya
menuju tempat pengembalaan ( di pagi hari, tentu tidak sama dengan yang pertama, kerena
mereka dalam keadaan lapar ( khumash ). Demikian dimaksudkan as-Suyuti dalam kitabnya19.

5) Untuk mendorong dan menjaga agar tidak menyepelekan.

Contoh dari rahasia taqdîm ini sebagaimana dalam surat An-Nisâ’ / 4 : 11 tentang mendahulukan
wasiat ( washaya ).

19
As-Suyutî, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Kairo : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), cet. ke- 1, jilid
ke-2, h. 36
‫ص ْي بِهَٓا اَوْ َد ْي ٍن‬ ِ ‫ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬

“ ( Pembagian-pembagian tersebut di atas ) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau ( dan )
sesudah dibayar hutangnya. “ ( An-Nisâ’ / 4 : 11 )”.

Alasan didahulukan washiyah ( wasiat ) terhadap dain ( hutang-piutang ) bagi ibu / bapak yang
meninggal dunia, untuk mendorong berwasiat dan menjaga agar tidak menyepelekan hak
mereka, karena kebiasaan yang terjadi bahwa wasiat itu disepelehkan sedang hutang-piutang
didahulukan20. Az-Zarkasyi ( w. 794 H ) mengatakan, bahwa wasiat didahulukan terhadap dain,
karena menurut hukum syari’ah, bahwa wasiat itu berkenaan dengan warisan ( warasah ), dan
cara pengambilannya serupa dengan mirats ( harta warisan ) yang memerlukan penyelesaian
yang baik. Berbeda dengan hutang-piutang yang mudah dilaksanakan, karena merupakan suatu
kewajiban yang harus disegerakan bersamaan dengan wasiat. Sehingga digunakan kata (‫ )أو‬auw
dengan pengertian mempunyai kedudukan yang sama dalam syari’at, keduanya wajib21.

Allah SWT memerintahkan berbuat adil, karena umat pada masa jahiliyah22 tidak mengetahui
hukum dalam pembagian harta warisan ( mirâts ) bagi nishâb lakilaki dan perempuan. Dan
keduanya mempunyai hak yang sama, sebagiamana ketentuan syari’at bagian anak laki-laki sama
dengan dua anak ( perempuan ), karena seorang pria itu memiliki tanggungjawab yang penuh
untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya, dan bagi anak perempuan yang lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari yang diwariskannya, dan seorang ibu / bapak yang
ditinggalkan seperenam atau sepertiga, dan hal itu dilakukan setelah urusan wasiat serta
hutangpiutangnya telah diselesaikannya23.

6) mendahulukan karena kejadiannya lebih dahulu, seperti mendahulukan malam


terhadap siang. Karena itu para ulama ilmu falak mengawali dalam penetuan
tanggal ( târikh ) pada malam hari.

20
Abdul Azhim Muth’ini, op.cit., h. 118
21
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf’an Haqâ’iq Ghawâmidh at-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil Fî Wujûh at-
Ta‟wîl, ( Beirut : Dar- Al-Kutub Ilmiyah, 1415 H / 1995 M ), cet. Ke-1 h. 508,
22
“ Bahwa masyarakat jahiliyah, tidak memberikan yang senasab satu bapak, kecuali mereka yang
seibu dan sebapak dalam pembagian warisan “, Ibn Katsîr., op.cit., h. 363
23
Ibid., h. 363 - 364
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali-Imrân / 3 : 190

‫ب‬ ٍ ‫ار اَل ٰ ٰي‬


ِ ۙ ‫ت اِّل ُولِى ااْل َ ْلبَا‬ ِ َ‫ف الَّ ْي ِل َوالنَّه‬
Gِ ‫اختِاَل‬ ِ ْ‫ت َوااْل َر‬
ْ ‫ض َو‬ ِ ‫اِ َّن فِ ْي خَ ْل‬
ِ ‫ق السَّمٰ ٰو‬

“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, “ ( Ali-Imrân / 3 : 190 )”.

Juga mendahulukan malaikat dari manusia, sebagaimana dalam surat Al-Hajj / 22 : 75, karena
malaikat terlebih dahulu keberadaanya dari manusia.

‫هّٰللَا ُ يصْ طَفي منَ ْالم ٰۤلى َكة ُر ُساًل َّومنَ النَّ ۗ هّٰللا‬
ِ َ‫اس اِ َّن َ َس ِم ْي ۢ ٌع ب‬
ۚ ‫ر‬Gٌ ‫ص ْي‬ ِ ِ ِ ِٕ َ ِ ْ ِ َ

“ Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia “ ( Al-Hajj / 22 : 75 )”.

Di samping itu, bahwa Allah SWT dengan kehendak dan kekuasaan-Nya memilih malaikat
sebagai utusannya, karena ia lebih mampu untuk menyampaikan risalah dari Tuhan 24. Demikian
pula didahulukan sinnah (‫ )سنه‬terhadap naum (‫وم‬G‫)ن‬, karena kebiasaan manusia sebelum tidur
dimulai dengan merasa ngantuk, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah / 2 : 255, (‫االتاخذه سنة وال‬
‫ ( )نوم‬tidak mengantuk dan tidak tidur ). Demikianlah ayat datang dengan kalimat yang sesuai
dengan kebiasaan manusia. Juga zulumât ( kegelapan ) didahulukan terhadap nûr ( cahaya ),
karena kegelapan mendahului datangnya cahaya.

7) Didahulukan lafazh (‫ ()شهيدا‬saksi ) terhadap (‫) بينى و بينكم‬dalam surat Al-Isra’ / 17 :


96 sementara dalam surat Al-Ankâbut / 29 : 52 .didahulukan (‫ )بينى و بينكم‬terhadap
(‫)شهيدا‬

Surat Al-Isra’ / 17 : 96 yaitu :

‫هّٰلل‬
ِ َ‫قُلْ َك ٰفى بِا ِ َش ِه ْيد ًۢا بَ ْينِ ْي َوبَ ْينَ ُك ۗ ْم اِنَّهٗ َكانَ بِ ِعبَا ِد ٖه َخبِ ْير ًۢا ب‬
‫ص ْيرًا‬

“ Katakanlah : " Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu sekalian. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya ". “ ( Al-Isrâ‟ / 17 :
96 )

Sedangkan surat Al-Ankâbut / 29 : 52 mengatakan :


24
Ibnu Katsîr, op.cit., h. 556
ٰۤ ُ ‫هّٰلل‬ ‫هّٰلل‬
‫ول ِٕىكَ هُ ُم‬ ِ َ‫ض َوالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا بِ ْالب‬
‫اط ِل َو َكفَرُوْ ا بِا ِ ا‬ ِ ‫قُلْ َك ٰفى بِا ِ بَ ْينِ ْي َوبَ ْينَ ُك ْم َش ِه ْيد ًۚا يَ ْعلَ ُم َما فِى السَّمٰ ٰو‬
ِ ۗ ْ‫ت َوااْل َر‬
َ‫ْال ٰخ ِسرُوْ ن‬

“Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang
di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada
Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi. “ ( Al-Ankâbut / 29 : 52 ).

Didahulukan (‫ )شهيدا‬terhadap (‫ )بينى و بينكم‬dalam ayat 96 surat Al-Isra’/ 17, dan diakhirkan dalam
ayat 52 surat Al-Ankâbut / 29, disebabkan :

1. Didahulukan (‫ )شهيدا‬dalam surat Al-Isra’, karena bila kita amati sikap penolakan kafir Quraisy
terhadap Rasululullah SAW sungguh telah sampai kepada puncak keingkarannya.

2. Diakhirkan (‫ ) شهيد‬dalam al-Ankabut atau didahulukan (‫ )بينى و بينكم‬Karena ayat ini bercerita
tentang pengingkaran kafir Quraisy terhadap Rasul yang masih bersifat umum.

8) Berkenaan dengan (‫ ()األكل الرغد‬memakan banyak dan enak ). Didahulukan lafazh (


‫ )ر غدا‬terhadap (‫) حيث شئتم‬dalam surat Al-Baqarah / 2 : 35 dan didahulukan (‫حيث‬
‫ )شئتم‬terhadap (‫ ) ر غدا‬dalam Al-Baqarah / 2 : 57. Redaksi ayat tersebut adalah
sebagai berikut :

ٰ َ‫ْث شْئتُم ۖا واَل تَ ْقربا ٰهذه ال َّشجرةَ فَتَ ُكوْ نَا من‬
َ‫الظّلِ ِم ْين‬ َ ‫ ٰيٓ ٰا َد ُم ا ْس ُك ْن اَ ْنتَ َو َزوْ ُج‬G‫َوقُ ْلنَا‬
ِ َ َ ِِ ََ َ َ ِ ُ ‫ك ْال َجنَّةَ َو ُكاَل ِم ْنهَا َر َغدًا َحي‬

“ Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah
kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. “ ( Al-
Baqarah / 2 : 35 )

Surat Al-Baqarah / 2 : 58 :

ٰ ‫اب ُس َّجدًا َّوقُوْ لُوْ ا ِحطَّةٌ نَّ ْغفِرْ لَ ُك ْم خ‬


ۗ ‫َط ٰي ُك ْم‬ َ َ‫ ْالب‬G‫ْث ِشْئتُ ْم َر َغدًا َّوا ْد ُخلُوا‬
ُ ‫َواِ ْذ قُ ْلنَا ا ْد ُخلُوْ ا ٰه ِذ ِه ْالقَرْ يَةَ فَ ُكلُوْ ا ِم ْنهَا َحي‬
َ‫د ْال ُمحْ ِسنِ ْين‬Gُ ‫َو َسن َِز ْي‬
“ Dan ( ingatlah ), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini ( Baitul Maqdis ), dan
makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah
pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya
Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami)
kepada orang-orang yang berbuat baik".“ ( Al-Baqarah /2 : 58 )

Apa rahasia taqdîm dan ta‟khîr dari kedua redaksi ayat di atas ?. Rahasianya :

( a ). Didahulukan (‫) رغدا‬terhadap (‫)حيث شئتما‬, karena khitâb Allah itu ditujukan terhadap Nabi
Adam As dan Siti Hawa’ agar masuk surga dan memakan makanan di dalamnya dengan suka
hati dan banyak. Karena itu didahulukan raghadan ( banyak dan enak ) yang dimaksudkan adalah
makanan, karena didulukannya makanan itu lebih penting bagi keduanya. Sedangkan makna
yang terkandung dalam (‫ئتما‬G‫)حيث ش‬, bahwa Adam dan Hawa’ di dalam surga berada dalam
keadaan tenteram dan damai tidak ada tekanan dan ganngguan apapun.

( b ). Sedangkan didahulukan (‫)حيث شئتم‬, karena khitâb Allah itu ditujukan kepada Bani Isrâil
ketika memasuki kota Ariha dan di dalamnya terdapat banyak penduduk, maka mendahulukan
lafazh tersebut lebih penting.

9) Tentang syafâ’at dan keadilan (‫) الشفاعه و العدالة‬Terdapat dua redaksi yang sama
tetapi kata “ syafâ’ah “ didahulukan dalam suatu ayat dan diakhirkan dalam ayat
yang lain. Yaitu :

( a ). Surat Al-Baqarah / 2 : 48 berbuyi :

َ ‫س َش ْيـًٔا َّواَل يُ ْقبَ ُل ِم ْنهَا َشفَا َعةٌ َّواَل يُْؤ خَ ُذ ِم ْنهَا َع ْد ٌل َّواَل هُ ْم يُ ْن‬
َ‫صرُوْ ن‬ ٍ ‫َواتَّقُوْ ا يَوْ ًما اَّل تَجْ ِزيْ نَ ْفسٌ ع َْن نَّ ْف‬

“ Dan jagalah dirimu dari ( `azab ) hari ( kiamat, yang pada hari itu ) seseorang tidak dapat
membela orang lain, walau sedikitpun; dan ( begitu pula ) tidak diterima syafa`at dan tebusan
daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2 : 48 )

( b ). Terdapat dalam surat Al-Baqarah / 2 : 123 berbuyi :

َ ‫س َش ْيـًٔا َّواَل يُ ْقبَ ُل ِم ْنهَا َع ْد ٌل َّواَل تَ ْنفَ ُعهَا َشفَا َعةٌ َّواَل هُ ْم يُ ْن‬
َ‫صرُوْ ن‬ ٍ ‫َواتَّقُوْ ا يَوْ ًما اَّل تَجْ ِزيْ نَ ْفسٌ ع َْن نَّ ْف‬
“ Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang
lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi
manfa`at sesuatu syafa`at kepadanya dan tidak ( pula ) mereka akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2
: 123 )

Abdul Azhîm Muth’inî memberikan penjelasan tentang kedua redaksi ayat di atas,
sebagai berikut :

( 1 ). Kembalinya dlamîr dalam ayat pertama (‫ ) و ال يقبل منها شفاعة‬tentu kepada jiwa ( nafs ) karena
ayat ini berbicara tentang mereka yang tidak bisa memberikan pertolongan kepada orang lain,
juga tidak diterima syafa’at dan juga tebusan.

( 2 ). Sedangkan dlamîr dalam ayat kedua ( Al-Baqarah / 2 : 123 ), hanya kembali kepada jiwa
orang kedua yang berbuat maksiat. Dengan maksud bahwa orang-orang yang berbuat maksiat
pada hari kiamat tidak bisa digantikan sedikitpun, meskipun itu mempunyai hubungan
kekeluargaan. Dan apabila ia ingin menggantikan tebusan maka tebusan itu tidak diterima, dan
apabila memberikan syafa’at kepada orang lain, maka tidak bermanfa’at.

10) Tentang ( ‫ ) اللعب‬dan ( ‫) اللهو‬yaitu main-main dan senda gurau. Dalam hal ini
terdapat empat tempat dalam Al-Qur’an, didahulukannya ( ‫) اللعب‬terhadap (‫اللهو‬
)Yaitu :

1. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 32, bunyi ayat :

َ‫َو َما ْال َح ٰيوةُ ال ُّد ْنيَٓا اِاَّل لَ ِعبٌ َّولَ ْه ٌو َۗولَل َّدا ُر ااْل ٰ ِخ َرةُ َخ ْي ٌر لِّلَّ ِذ ْينَ يَتَّقُوْ ۗنَ اَفَاَل تَ ْعقِلُوْ ن‬

“ Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu
memahaminya ? “ ( Al-An‟âm / 6 : 32 ).

Kemudian didahulukannya ( ‫ () اللهو‬senda gurau ) terhadap (‫ ( ) اللعب‬permainan ), terdapat dalam


dua tempat, yaitu :

2. Dalam surat Al-A’râf / 7 : 51 Yaitu :


‫م نَ ْن ٰسىهُ ْم َك َما نَسُوْ ا لِقَ ۤا َء يَوْ ِم ِه ْم ٰه َذ ۙا َو َما َكانُوْ ا بِ ٰا ٰيتِنَا‬Gَ ْ‫الَّ ِذ ْينَ اتَّ َخ ُذوْ ا ِد ْينَهُ ْم لَ ْه ًوا َّولَ ِعبًا َّو َغ َّر ْتهُ ُم ْال َح ٰيوةُ ال ُّد ْنيَ ۚا فَ ْاليَو‬
َ‫يَجْ َح ُدوْ ن‬

“ ( Yaitu ) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai senda gurau dan main-main,
dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan
mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana)
mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami. “ ( Al-A‟râf / 7 : 51 ).

Az-Zarkasyi ( w. 794 H ) menyebutkan, bahwa alasan didahulukan lafazh ( ‫) اللعب‬terhadap lafazh


( ‫) اللهو‬dalam beberapa ayat di atas, karena ( ‫ ( ) اللعب‬permainan ) itu banyak dilakukan ketika
masa kanak-kanak ( shiba’ ). Sedangkan (‫ ( ) اللهو‬senda-gurau ) sering terjadi di masa dewasa
( syabbab ). Waktu sibâ’ lebih dahulu datangnya dari pada masa syabab. Sedangkan alasan
mendahulukan ( ‫ ) اللهو‬terhadap ( ‫ ) اللعب‬dalam surat Al-A’râf menurut beliau, karena senda gurau
akan berakhir setelah datangnya hari Kiamat dan juga dimulai dengan dua masa tadi, yaitu masa
shibâ’ dan masa shabab.

D. Urgensi Taqdîm dan Ta’khîr serta Macam-Macam dan Bentuknya.

Dari urgensi ( tujuan ) taqdim menurut ulama balaghah di atas terdapat tujuan secara
khusus dan juga secara umum. Tujuan secara khusus, seperti untuk tujuan takhsis, dan
sebagainya dan tujuan secara umum seperti untuk ihtimâm terhadap yang didahulukan ( bil
muqadam ) dan sebagainya. Macam-macam taqdîm juga terdapat pembagian dan bentuknya,
seperti ; mendahulukan dengan niat untuk mengakhirkan, seperti ; mendahulukan khabar
terhadap mubtada’, mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟ilnya. Macam taqdim yang lain, seperti
mendahulukan tidak bertujuan ta’khîr, seperti mendahulukan mubtada’ terhadap khabar,
mendahulukan fâ‟il terhadap fi‟ilnya dan sebagainya.

Menurut pandangan ulama bahasa, dalam taqdîm dan ta’khir terdapat banyak perbedaan
pendapat, seperti pendapat ulama Bashrah dan Kufah dalam ilmu nahwu dan sharf, mereka
masing-masing mempunyai argumentasi yang kuat. Dengan demikian taqdîm dan ta’khîr bukan
saja ilmu yang tersusun dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharf, akan tetapi juga seni
bahasa dalam rangka menyusun bentuk kalimat yang indah yang tidak terikat dengan kaidah-
kaidah tertentu yang telah dikembangkan oleh ulama balaghah dan ulama-ulama lainnya.
Sehingga dengan berkembangnya pemahaman luas tentang taqdîm dan ta’khîr terdapat juga
bentuk taqdîm dan ta’khîr secara istilah dan juga secara bukan istilah. Taqdîm dan ta’khîr
semacam ini, dikenal dengan istilah ulama balaghah, ulama sastra dan juga ulama tafsir, dengan
bentuk taqdîm dalam suatu ayat dan takhîr dalam ayat yang lain. Ini banyak dicontohkan dalam
Al-Qur’an dengan taqdîm bukan istilah ( taqdîm gharu istilahi ). Demikian taqdîm dan ta‟khîr
dalam alQur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azhim Muth’ini, op.cit., h. 118


Al-Baidlâwi, Tafsîr Al-Baidlâwi ( Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta‟wîl ), ( Beirut : Dar-alFikr,
1416 H / 1996 M ), jilid ke-2, h. 214
As-Suyutî, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Kairo : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), cet. ke- 1, jilid
ke-2, h. 36
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf’an Haqâ’iq Ghawâmidh at-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil Fî Wujûh at-
Ta‟wîl, ( Beirut : Dar- Al-Kutub Ilmiyah, 1415 H / 1995 M ), cet. Ke-1 h. 508,

Ibid., h. 363 - 364


Ibnu Katsîr, op.cit., h. 556

In’am Fawwal Akkawi, Mu’jam Mufassal fi ‘Ulum al-Balagah : al-Badi’, wa al-Bayan, wa al-
Ma’ani. (Cet. II; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), h. 411
Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, Qawa‘id al-Tafsir:Jam’an wa Dirasan, Jilid I. (Cet. I; al Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Sa’udiyah: Dar Ibn ‘Affan, 1417 H./ 1996 M.), h. 378.
Lihat Fakhr al-Razi, Mafatih al-G|aib, dalam Maktabah Syamiah (CD.ROM).
Lihat Ibid. h.380.
Lihat Ibid., h. 372-377. ,Lihat juga al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an.Terj. Samudrah Ulumul
Qur’an, op. cit., h. 41-52
Lihat Ibid., h.93.
Lihat Ibn Mandur, Lisan al-Arab. Juz 7, (Kairo: Dar al-Hadis, 2003). h. 270.
Lihat Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti, Tahdib wa Tartib al-Itqan fi Ulum alQur’an. (Cet.
I; al-Mamakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyah: Dar Ibn Affan, 2005), h.371.
Lihat Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Terj. Samudrah Ulumul Qur’an oleh
Farikh Marzuki Ammar, LC dan Imam Fauzi Ja’iz LC, Jilid 3. (Cet. I; Surabaya:
PT Bina Ilmu Offset, 2007), h.

Lihat Khalid ibn ‘Utsman al-Sabt, op.cit., h. 379.


Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1 (Cet.I; Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 171.
Lihat. Ibid
Op.cit., h. 104 , As-Suyûtî, op.cit., h. 35

Anda mungkin juga menyukai