Disusun oleh :
Wahyu (220201220016)
Penyusun
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................4
A. Latar belakang...............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................5
5. Makna Dan Sejarah Tafsir Tahilili.................................................................................................6
6. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Tahlili...................................................................................10
7. Contoh Kitab Tafsir Tahlili..........................................................................................................11
KESIMPULAN.......................................................................................................................................12
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kajian atas tafsir atau penafsiran ayat-ayat al-Qur'an penting untuk dilakukan
sebab al-Qur'an adalah pedoman bagi umat (Islam), memuat informasi dan pesan-
pesan penting dari Allah Swt. tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak di
muka bumi, yang sesuai dengan syariat Islam. Pada saat yang sama, harus diakui
bahwa dalam mengarungi hidup, setiap manusia memiliki kebutuhan yang amat
beragam, pun dengan masalah yang diperhadapkan padanya. Sebagaimana fungsinya,
yakni pedoman dan petunjuk,1 al-Qur'an harus mampu menjawab tantangan zaman,
baik yang terjadi di masa lalu, sekarang, dan akan datang, sehingga derajatnya selalu
terjaga, utamanya dari mereka yang tidak mempercayainya.
Pada dasarnya al-Qur'an memuat penjelasan-penjelasan yang masih umum.
Meminjam bahasa Muhammad Arkoun (1928-2010 M), ayat-ayat al-Qur'an
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Senada dengan
Arkoun, Shihab mengatakan ayat al-Qur'an tertutup dalam interpretasi tunggal,
artinya ia selalu terbuka untuk diinterpretasikan1 dalam rangka menemukan jawaban
dan penjelasan atas segudang pertanyaan maupun penemuan jawaban dari
permasalahan yang muncul kemudian. Namun, meski demikian pentingnya penafsiran
harus dilakukan, tetapi yang perlu dicatat dan diketahui adalah bahwa tidak semua
orang dapat menafsirkan al-Qur'an. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi atau
dimiliki mufasir dalam menafsirkan al-Qur'an, utamanya dari segi penguasaan ilmu
dan mental.2 Hal ini menjadi penting sebab dapat memengaruhi kualitas penafsiran
yang dilakukan, termasuk penggunaan metode yang digunakan mufasir ikut membuat
corak tafsir itu beragam antara satu dengan yang lainnya.
Adapun metode tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir dalam penafsiran al
Qur‟an dapat dikategorikan menjadi empat metode; Pertama, Metode tafsir
Ijmali.Kedua, metode tafsir tahlili. Ketiga, metode tafsir maudhu‟i.Keempat, metode
tafsir muqoron.Pembagian kategori ini merupakan pengkategorian baru, karena
kategori ini muncul setelah penelitian pada buku-buku tafsiryang beragam, sehingga
para ahli ilmu membagi metode tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir menjadi 4
macam.
1
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'ān (Bandung: Mizan, 1992), 72.
2
Muhammad Ibrahim, Rawai' al-Bayan fī 'Ulūm al-Qur'ān (Mesir: Dār alTaba’ah Muhammadiyah,
1984), 135, 138-143.
Metode tahlili merupakan metode penafsiran yang digunakan oleh para ulama
dahulu dan paling luas cakupan bahasannya. Hal itu dikarenakan mufasir membagi
beberapa jumlah ayat pada satu surat dan menjelaskannya kata perkata secara rinci
dan komprehensif.
Pada kesempatan ini, penulis berusaha untuk membahas metode tafsir
tahlili.Dari empat metode penafsiran yang dijelaskan di paragraph sebelumnya,
makalah ini membatasi pembahasannya pada metode penafsiran tahlili.
B. Rumusan Masalah
Kajian ini memiliki dua rumusan masalah:
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir tahlili?
2. Bagaimana sejarah tafsir tahlili ?
3. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili ?
4. Apa contoh kitab tafsir tahlili ?
C. Tujuan
Kajian ini memilki tujuan dari rumusan masalah, antara lain:
1. Mengetahui makna tafsir tahlili.
2. Mengetahui sejarah tafsir tahlili.
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili.
4. Mengetahui contoh kitab tafsir tahlili.
BAB II
PEMBAHASAN
Tafsir tahlili secara istilah adalah metode yang digunakan seorang mufasir
dalam menyingkap ayat sampai pada kata perkatanya, dan mufasir melihat petunjuk
ayat dari berbagai segi serta menjelaskan keterkaitan kata dengan kata lainnya dalam
satu ayat atau beberapa ayat. Tidak ditemukan definisi pada ulama terdahulu,
dikarenakan metode ini dikenalkan setelahnya.
Menurut Musaid al Thayyar, tafsir tahlili adalah mufasir bertumpu penafsiran ayat
sesuai urutan dalam surat, kemudian menyebutkan kandungannya, baik makna,
pendapat ulama, I‟rab, balaghah, hukum, dan lainnya yang diperhatikan oleh
mufasir. Jadi tafsir tahlili dapat kita katakan; bahwa mufassir meneliti ayat al Qur‟an
sesuai dengan tartib dalam mushaf baik pengambilan pada sejumlah ayat atau satu
surat, atau satu mushaf semuanya, kemudian dijelaskan penafsirannya yang berkaitan
dengan makna kata dalam ayat, balagahnya, I‟rabnya, sebab turun ayat, dan hal
yang berkaitan dengan hukum atau hikmahnya.3
Lebih lanjut Alfarmawī (1942-2017) metode taḥlīlī adalah menjelaskan ayat-
ayat al-Qur'an dengan cara meneliti dan menyingkap semua aspek dan maksudnya,
yang dimulai dari menjelaskan kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan,
kaitan-kaitan (munāsabah) dan berbagai aspeknya, asbābun nuzūl, riwayat-riwayat
Nabi Saw., sahabat dan tabi'in. Adapun prosedurnya, dilakukan mengikuti susunan
mushaf, ayat per ayat, atau per surat. Biasanya juga menyertakan sejumlah uraian
kebahasaan dan materi khusus lainnya, yang keseluruhannya dimaksudkan untuk
memahami ayat al-Qur'an.
Penelitian tentang sejarah dan periode yang dilalui „ilmu‟ tafsir ini, kita dapati
bahwa tafsir melalui periode yang banyak, sampai pada zaman sekarang ini.Secara
gelobal penjelasannya sebagai berikut;
Periode pertama, pada masa Nabi saw, tafsir waktu itu terbatas pada
penjelasan pada kata-kata yang samar atau asing. Analisa tafsir secara kebahasaan
kata dalam ayat di masa Nabi sangat jarang sekali, dikarenakan waktu itu masyarakat
tidak membutuhkan corak tafsir Mengenal Metode Tafsir Tahlili seperti ini. Mereka
sangat paham dengan bahasanya dan belum banyak tercampur dengan orang-orang
3
Syaeful Rokim, “Mengenal Metode Tafsir Tahlili,” Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 2, no. 03
(2017): 41–56, https://doi.org/10.30868/at.v2i03.194.
asing.
Pada zaman Nabi saw, tafsir terfokus pada asbab nuzul. Yakni sebab
diturunkannya ayat al Qur‟an kepada Nabi saw. Sahabat yang menyaksikan turunnya
ayat meriwayatkan kepada sahabat yang tidak sempat hadir menyaksikan turunnya
ayat.Masa itu juga, ada penjelasan langsung dari Nabi saw, yaitu menyelaskan al
Qur‟an dengan Al Qur‟an, penjelasan istilah tertentu dalam ayat, penjelasan hukum
hala dan haram, atau penegasan tentang hukum yang terdapat pada ayat. Sehingga
banyak hadits yang memiliki keterkaitan dengan tafsir ayat baik secara langsung atau
tidak.
Pada zaman Nabi saw, tersisa banyak ayat yang tidak ditafsirkan oleh Nabi
saw. Dikarenakan masyarakat waktu itu tidak membutuhkannya, atau dibiarkan agar
manusia setelahnya mendalami ilmu tafsir itu dan menggunakan pemahaman mereka
untuk ber-istinbat makna, hukum atau hikmah yang terkandung dalam ayat.
Periode kedua, terjadi perluasan penafsiran secara besar besaran. Hal itu
menjadi kebutuhan primer bagi orang-orang yang baru masuk Islam, di mana mereka
tidak menyaksikan langsung turunnya wahyu. Muailah adanya kebutuhan tafsir secara
bahasa setahap-setahap. Hingga Islam menyebar di timur dan barat. Sebagaimana
dinukil bahwan Umar bin Khattab memberikan perhatian khusus pada segi bahasa.
Begitu pula Ibnu Abbas ra merupakan sahabat Nabi saw yang berandil besar dalam
menafsirkan al qur‟an al karim.4
Periode ini, keseriusan para sahabat dan tabi‟in memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan tafsir. Mereka berusaha dalam menafsirkan al Qur‟an
berlandaskan kaidah-kaidah syariat dan bahasa. Mereka memiliki pendapat-pendapat
tafsir yang diriwayatkan dan terjaga dalam buku-buku tafsir dan hadits. Hanya saja
sebagian besarnya berkaitan tentang kebahasaan, atau hukum fiqih. Maka pergerakan
penafsiran di daerah Islam tumbuh subur seperti madrasah Makkah. Madinah,
Bashrah, Kufah dan Yaman. Oleh karena itu perkataan sahabat dan tabiin yang
berkaitan dengan penafsiran ayat menjadi pilar penafsiran bil-Ma’tsur. Adapun
perbedaan pendapat di antara mereka pada periode ini sangat sedikit, dan itu terjadi
dalam masalah hukum fiqih. Walaupun terjadi perkembangan tafsir pada periode ini,
al qur‟an secara rincinya belum ditafsirkan seluruhnya. Baik pada masa sahabat nabi
atau masa tabiin.5
4
Abd al-Rahman al-Suyuti, al Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Madinah Munawarah: Majma‟ al-Malik al-Fahd,
1426H) hal 1/347.
5
Muhammad Husain al-dzahabi, al-Tafsir wa al Musfassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976 M) Juz 1/100.
Periode ketiga, periode tafsir tahlili muncul setelah ilmu-ilmu keislaman
dibukukan. Dan muncul ilmu baru yang berkhidmat pada alQur‟an al-Karim. Mulai
analisa nash ayat al-Qur‟an dengan bentuk yang lebih luas. Pada periode ini, kamus
bahasa banyak dibukukan dan ilmu bahasa menjadi lebih luas, seperti nahwu, sharaf
dan balaghah. Oleh karena itu terjadi peluasan penjelasan nash ayat al-Qur‟an dalam
ilmu bahasa arab dalam rangka menjelaskan kata-kata gharib (asing) dalam al-
Qur‟an. Maka ditulislah buku secara khusus yang menjelaskan makna kata dalam al-
Qur‟an.Seperti buku Majaz al-Qur‟an yang ditulis oleh Abi Ubaidah w 210H. dia
menafsirkan petunjuk kata al-Qur‟an, menjelaskan bacaaan ayat dan berbicara
tafsirnya secara keilmuan bahasa secara murni.6
Selain dari majaz al-Qur‟an, ada buku yang bernama kutub ma’ani, seperti
tafsir, Ma’ani al-Qur‟an‟ karangan Abi Zakaria al-Fara‟ w 207. Beliau lebih fokus
pada kata-kata seputar bacaannya, I‟rabnya dan kata turunannya. Ada juga
buku ,Ma’ani al-Qur’an karangan al Akhfasy w 215, dia lebih perhatian pada suara,
sifat dan tempat keluarnya huruf. Secara umum beliau menjelaskan tafsirnya secara
bahasa, sharaf, nahwu dan balaghah.
Dengan meluasnya ruang analisa bahasa dalam tafsir kata-kata dalam al-
Qur’an, maka perkembangan selanjutnya terjadi keluasan ruang analisa dalam istinbat
(penetapan) hukum fiqih, hal ini sesuai dengan perkembangan yang maju pada
madrasah-madrasah fiqih di dunia Islam. Mereka mulai mempelajari nash al-Qur‟an
dari segi fiqihnya saja. Oleh karena itu muncullah buku, Ahkam al-Qur‟an‟ karangan
imam Syafi‟i w 204 H, selain itu, pengikut madzhab Maliki juga menulis hal yang
sama seperti Ismail bin Ishaq al-Qadhi w 282 H. begitu juga madzhab Hanafi seperti
imam Al-Thahawi w 321 H.7
Pada periode ini juga, mucul pembukuan-pembukuan cabang ilmu-ilmu al-
Qur‟an seperti buku-buku tentang asbab nuzul, salah satunya yang ditulis oleh guru
imam bukhari, Ali bin Al-Madini w 234. Terbukukan juga ilmu qira‟at seperti buku
Abi Ubaid bin Salam w 224. Ahmad bin Zubair al-Kufi dan Ismail bin Ishaq al-Qadhi
282 H. Dibukukan juga ilmu naskh wa mansukh, yang buat oleh Qatadah alSadusi,
Ibnu Syihab al-Zuhri, dan Muqatil bin Sulaiman.
8
Abd al-Rahman al-Suyuti, al Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Madinah Munawarah: Majma‟ al-Malik al-Fahd,
1426H) 4/212
9
Muhyiddin Syarof al-Nawawi, Tahdzib al-Asma‟ wa al-Lugat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)1/78 76 .
Muhammad Abd
10
Ahmad Al-Tsa‟labi, al-Kasyf wa al-Bayan, (Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi 2002 M) juz 1/75
ayat dengan ayat sebelumnya, atau surat sebelumnya. Beliau juga menjelaskan
macam-macam qiraat yang mutawatir dan syad.11
B. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Tahlili
Kelebihan metode ini antara lain: [1] Ruang lingkup yang luas: Metode
analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan
oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan dalam
berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masingmasing mufassir. Sebagai contoh:
ahli bahasa, misalnya, mendapat peluang yang luas untuk manfsirkan al-Qur’an dari
pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi, karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat
seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya.
Demikian pula ahli fisafat, kitab tafsir yang dominasi oleh pemikiran-pemikiran
filosofis seperti Kitab Tafsir al-Fakhr al-Razi.
Mereka yang cenderung dengan sains dan teknologi menafsirkan al-Qur’an
dari sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Kitab Tafsir al-Jawahir karangan al-
Tanthawi al-Jauhari, dan seterusnya. [2] Memuat berbagai ide: metode analitis relatif
memberikan kesempatan yang luas kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan
gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini
dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk
yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu selebarlebarnya bagi
mufassir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-
Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15
jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-
Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.
Kelemahan dari metode tafsir analitis adalah: [1] Menjadikan petunjuk al-
Qur’an parsial: metode analitis juga dapat membuat petunjuk al-Qur’an bersifat
parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan alQur’an memberikan
pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada
suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama
dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang
mirip atau sama dengannya. [2] Melahirkan penafsir subyektif: Metode analitis ini
memberi peluang yang luas kepada mufassir untuk mengumukakan ide-ide dan
pemikirannya. Sehingga, kadangkadang mufassir tidak sadar bahwa dia tidak
menafsirkan al-Qur’an secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka
11
Muhammad Yusuf, Abu Hayyan, Al-Bahru al-Muhith (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993) juz 1/103.
yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan bahwa nafsunya tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. [3] Masuk pemikiran
Israiliat: Metode tahlili tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan pemikiran-
pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak
tercuali pemikiran Israiliat. Sepintas lalu, kisah-kisah Israiliat tidak ada persoalan,
selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’an. Tetapi bila dihubungkan
dengan pemahaman kitab suci, timbul problem karena akan terbentuk opini bahwa
apa yang dikisahkan di dalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah, atau
petunjuk Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksud Allah di dalam
firman-Nya tersebut. Di sini letak negatifnya kisah-kisah Israiliat. Kisa-kisa itu dapat
masuk ke dalam tafsir tahlili karena metodenya memang membuka pintu untuk itu.
C. Contoh Kitab Tafsir Tahlili
1. Tafsir karya al-Thabari (w.310 H)
Tafsir al-Thabari merupakan tafsir pertama di antara kitabkitab tafsir
dari segi zaman karena merupakan tafsir bil ma’tsur yang paling tua yang
sampai ke tangan kita dan dari segi penulisan dan penyusunan karena
memiliki metode tersendiri yang menarik yang menjadikannya berbobot
dan berkualitas.12
Al-Thabari dalam menafsiran al-Qur’an menggunakan metode taḥlīlī.
Dia memulai penafsirannya dengan menyebutkan terlebih dahulu nama
surah, penjelasan sebab turun ayat (jika ada), kemudian masuk kepada
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menampilkan riwayat-riwayat dari
Nabi Saw, sahabat dan para tabi’in dalam setiap penafsirannya. Setelah itu
menjelaskan perbedaan qira’at bila ayat al-Qu’an yang dibahas
mengandung perbedaan-perbedaan qira’at. Dalam menjelaskan ayat al-
Qur’an bila terdapat perbedaan riwayat tentang makna kata dari suatu ayat
al-Qur’an, dia menampilkan terlebih dahulu perbedaan itu kemudian
melakukan tarjih terhadap pendapat yang dikutipnya.13
KESIMPULAN
Artikel ini membahas tentang pentingnya penafsiran atau tafsir al-Qur'an dalam Islam.
14
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir, h. 59-61.
Al-Qur'an dianggap sebagai pedoman bagi umat Islam dan berisi informasi dan pesan penting
dari Allah tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak. Tafsir al-Qur'an harus mampu
menjawab tantangan zaman dan menjaga derajatnya agar dapat dipercaya oleh semua orang.
Artikel ini juga menjelaskan empat metode tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir,
yaitu metode tafsir Ijmali, tahlili, maudhu'i, dan muqoron. Metode tahlili adalah metode
penafsiran yang digunakan oleh para ulama dahulu dan paling luas cakupan bahasannya.
Dalam metode ini, mufasir membagi beberapa jumlah ayat pada satu surat dan
menjelaskannya secara rinci dan komprehensif.
Selanjutnya, artikel ini membahas sejarah tafsir tahlili. Pada masa Nabi Muhammad,
tafsir terfokus pada penjelasan kata-kata yang samar atau asing. Selama periode berikutnya,
terjadi perluasan penafsiran secara besar-besaran dan keseriusan para sahabat dan tabi'in
dalam menafsirkan al-Qur'an. Kemudian, dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman,
muncul metode tafsir tahlili yang lebih luas dalam analisis bahasa dan pemahaman ayat al-
Qur'an. Periode terakhir merupakan periode penggabungan dari berbagai ilmu yang berkaitan
dengan tafsir.
Artikel ini juga menyebutkan beberapa kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili, serta
memberikan contoh kitab tafsir tahlili yang dapat digunakan sebagai referensi. Secara
keseluruhan, artikel ini membahas pentingnya tafsir al-Qur'an, khususnya metode tahlili,
dalam memahami makna dan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an.
Daftar Pustaka
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'ān (Bandung: Mizan, 1992), 72.
Syaeful Rokim, “Mengenal Metode Tafsir Tahlili,” Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-
Muhammad Yusuf, Abu Hayyan, Al-Bahru al-Muhith (Beirut: Dar al-Kutub al-
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir, h. 59-61.