Anda di halaman 1dari 15

TAFSIR TAHLILI

SEBUAH METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Hadits

Dosen Pengampu Ali Hamdan, MA, Ph.D

Disusun oleh :

Wahyu (220201220016)

JURUSAN MAGISTER AKHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah materi kuliah “Tafsir Tahlili: Sebuah Metode Penafsiran Al-Qur’an”
Bagaimanapun, kami juga tidak bisa memendam ucapan terima kasih yang ingin kami
sampaikan kepada dosen pengampu kami dalam pembelajaran mata kuliah studi hadits, kedua
orang tua kami yang tak pernah lelah mendukung kami atas tercapainya semua cita-cita kami,
serta kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada
kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
serta masih banyak terdapat kekurangannya. Oleh Karena itu, kritik saran yang bersifat
membangun dari pembaca adalah sangat berharga bagi kami guna perbaikan dan peningkatan
kualitas penyusunan makalah kami yang lainnya di masa yang akan datang.
Besar harapan kami semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta menjadi
tambahan referensi bagi penyusunan makalah dengan tema yang senanda di waktu yang akan
datang. Semoga bermanfaat, Amin Ya Robbal Alamin.

Malang, 20 Mei 2023

Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................4
A. Latar belakang...............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................5
5. Makna Dan Sejarah Tafsir Tahilili.................................................................................................6
6. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Tahlili...................................................................................10
7. Contoh Kitab Tafsir Tahlili..........................................................................................................11
KESIMPULAN.......................................................................................................................................12
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kajian atas tafsir atau penafsiran ayat-ayat al-Qur'an penting untuk dilakukan
sebab al-Qur'an adalah pedoman bagi umat (Islam), memuat informasi dan pesan-
pesan penting dari Allah Swt. tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak di
muka bumi, yang sesuai dengan syariat Islam. Pada saat yang sama, harus diakui
bahwa dalam mengarungi hidup, setiap manusia memiliki kebutuhan yang amat
beragam, pun dengan masalah yang diperhadapkan padanya. Sebagaimana fungsinya,
yakni pedoman dan petunjuk,1 al-Qur'an harus mampu menjawab tantangan zaman,
baik yang terjadi di masa lalu, sekarang, dan akan datang, sehingga derajatnya selalu
terjaga, utamanya dari mereka yang tidak mempercayainya.
Pada dasarnya al-Qur'an memuat penjelasan-penjelasan yang masih umum.
Meminjam bahasa Muhammad Arkoun (1928-2010 M), ayat-ayat al-Qur'an
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Senada dengan
Arkoun, Shihab mengatakan ayat al-Qur'an tertutup dalam interpretasi tunggal,
artinya ia selalu terbuka untuk diinterpretasikan1 dalam rangka menemukan jawaban
dan penjelasan atas segudang pertanyaan maupun penemuan jawaban dari
permasalahan yang muncul kemudian. Namun, meski demikian pentingnya penafsiran
harus dilakukan, tetapi yang perlu dicatat dan diketahui adalah bahwa tidak semua
orang dapat menafsirkan al-Qur'an. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi atau
dimiliki mufasir dalam menafsirkan al-Qur'an, utamanya dari segi penguasaan ilmu
dan mental.2 Hal ini menjadi penting sebab dapat memengaruhi kualitas penafsiran
yang dilakukan, termasuk penggunaan metode yang digunakan mufasir ikut membuat
corak tafsir itu beragam antara satu dengan yang lainnya.
Adapun metode tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir dalam penafsiran al
Qur‟an dapat dikategorikan menjadi empat metode; Pertama, Metode tafsir
Ijmali.Kedua, metode tafsir tahlili. Ketiga, metode tafsir maudhu‟i.Keempat, metode
tafsir muqoron.Pembagian kategori ini merupakan pengkategorian baru, karena
kategori ini muncul setelah penelitian pada buku-buku tafsiryang beragam, sehingga
para ahli ilmu membagi metode tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir menjadi 4
macam.

1
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'ān (Bandung: Mizan, 1992), 72.
2
Muhammad Ibrahim, Rawai' al-Bayan fī 'Ulūm al-Qur'ān (Mesir: Dār alTaba’ah Muhammadiyah,
1984), 135, 138-143.
Metode tahlili merupakan metode penafsiran yang digunakan oleh para ulama
dahulu dan paling luas cakupan bahasannya. Hal itu dikarenakan mufasir membagi
beberapa jumlah ayat pada satu surat dan menjelaskannya kata perkata secara rinci
dan komprehensif.
Pada kesempatan ini, penulis berusaha untuk membahas metode tafsir
tahlili.Dari empat metode penafsiran yang dijelaskan di paragraph sebelumnya,
makalah ini membatasi pembahasannya pada metode penafsiran tahlili.
B. Rumusan Masalah
Kajian ini memiliki dua rumusan masalah:
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir tahlili?
2. Bagaimana sejarah tafsir tahlili ?
3. Apa kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili ?
4. Apa contoh kitab tafsir tahlili ?

C. Tujuan
Kajian ini memilki tujuan dari rumusan masalah, antara lain:
1. Mengetahui makna tafsir tahlili.
2. Mengetahui sejarah tafsir tahlili.
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili.
4. Mengetahui contoh kitab tafsir tahlili.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Dan Sejarah Tafsir Tahlili

Tafsir tahlili secara istilah adalah metode yang digunakan seorang mufasir
dalam menyingkap ayat sampai pada kata perkatanya, dan mufasir melihat petunjuk
ayat dari berbagai segi serta menjelaskan keterkaitan kata dengan kata lainnya dalam
satu ayat atau beberapa ayat. Tidak ditemukan definisi pada ulama terdahulu,
dikarenakan metode ini dikenalkan setelahnya.
Menurut Musaid al Thayyar, tafsir tahlili adalah mufasir bertumpu penafsiran ayat
sesuai urutan dalam surat, kemudian menyebutkan kandungannya, baik makna,
pendapat ulama, I‟rab, balaghah, hukum, dan lainnya yang diperhatikan oleh
mufasir. Jadi tafsir tahlili dapat kita katakan; bahwa mufassir meneliti ayat al Qur‟an
sesuai dengan tartib dalam mushaf baik pengambilan pada sejumlah ayat atau satu
surat, atau satu mushaf semuanya, kemudian dijelaskan penafsirannya yang berkaitan
dengan makna kata dalam ayat, balagahnya, I‟rabnya, sebab turun ayat, dan hal
yang berkaitan dengan hukum atau hikmahnya.3
Lebih lanjut Alfarmawī (1942-2017) metode taḥlīlī adalah menjelaskan ayat-
ayat al-Qur'an dengan cara meneliti dan menyingkap semua aspek dan maksudnya,
yang dimulai dari menjelaskan kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan,
kaitan-kaitan (munāsabah) dan berbagai aspeknya, asbābun nuzūl, riwayat-riwayat
Nabi Saw., sahabat dan tabi'in. Adapun prosedurnya, dilakukan mengikuti susunan
mushaf, ayat per ayat, atau per surat. Biasanya juga menyertakan sejumlah uraian
kebahasaan dan materi khusus lainnya, yang keseluruhannya dimaksudkan untuk
memahami ayat al-Qur'an.
Penelitian tentang sejarah dan periode yang dilalui „ilmu‟ tafsir ini, kita dapati
bahwa tafsir melalui periode yang banyak, sampai pada zaman sekarang ini.Secara
gelobal penjelasannya sebagai berikut;
Periode pertama, pada masa Nabi saw, tafsir waktu itu terbatas pada
penjelasan pada kata-kata yang samar atau asing. Analisa tafsir secara kebahasaan
kata dalam ayat di masa Nabi sangat jarang sekali, dikarenakan waktu itu masyarakat
tidak membutuhkan corak tafsir Mengenal Metode Tafsir Tahlili seperti ini. Mereka
sangat paham dengan bahasanya dan belum banyak tercampur dengan orang-orang
3
Syaeful Rokim, “Mengenal Metode Tafsir Tahlili,” Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 2, no. 03
(2017): 41–56, https://doi.org/10.30868/at.v2i03.194.
asing.
Pada zaman Nabi saw, tafsir terfokus pada asbab nuzul. Yakni sebab
diturunkannya ayat al Qur‟an kepada Nabi saw. Sahabat yang menyaksikan turunnya
ayat meriwayatkan kepada sahabat yang tidak sempat hadir menyaksikan turunnya
ayat.Masa itu juga, ada penjelasan langsung dari Nabi saw, yaitu menyelaskan al
Qur‟an dengan Al Qur‟an, penjelasan istilah tertentu dalam ayat, penjelasan hukum
hala dan haram, atau penegasan tentang hukum yang terdapat pada ayat. Sehingga
banyak hadits yang memiliki keterkaitan dengan tafsir ayat baik secara langsung atau
tidak.
Pada zaman Nabi saw, tersisa banyak ayat yang tidak ditafsirkan oleh Nabi
saw. Dikarenakan masyarakat waktu itu tidak membutuhkannya, atau dibiarkan agar
manusia setelahnya mendalami ilmu tafsir itu dan menggunakan pemahaman mereka
untuk ber-istinbat makna, hukum atau hikmah yang terkandung dalam ayat.
Periode kedua, terjadi perluasan penafsiran secara besar besaran. Hal itu
menjadi kebutuhan primer bagi orang-orang yang baru masuk Islam, di mana mereka
tidak menyaksikan langsung turunnya wahyu. Muailah adanya kebutuhan tafsir secara
bahasa setahap-setahap. Hingga Islam menyebar di timur dan barat. Sebagaimana
dinukil bahwan Umar bin Khattab memberikan perhatian khusus pada segi bahasa.
Begitu pula Ibnu Abbas ra merupakan sahabat Nabi saw yang berandil besar dalam
menafsirkan al qur‟an al karim.4
Periode ini, keseriusan para sahabat dan tabi‟in memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan tafsir. Mereka berusaha dalam menafsirkan al Qur‟an
berlandaskan kaidah-kaidah syariat dan bahasa. Mereka memiliki pendapat-pendapat
tafsir yang diriwayatkan dan terjaga dalam buku-buku tafsir dan hadits. Hanya saja
sebagian besarnya berkaitan tentang kebahasaan, atau hukum fiqih. Maka pergerakan
penafsiran di daerah Islam tumbuh subur seperti madrasah Makkah. Madinah,
Bashrah, Kufah dan Yaman. Oleh karena itu perkataan sahabat dan tabiin yang
berkaitan dengan penafsiran ayat menjadi pilar penafsiran bil-Ma’tsur. Adapun
perbedaan pendapat di antara mereka pada periode ini sangat sedikit, dan itu terjadi
dalam masalah hukum fiqih. Walaupun terjadi perkembangan tafsir pada periode ini,
al qur‟an secara rincinya belum ditafsirkan seluruhnya. Baik pada masa sahabat nabi
atau masa tabiin.5
4
Abd al-Rahman al-Suyuti, al Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Madinah Munawarah: Majma‟ al-Malik al-Fahd,
1426H) hal 1/347.
5
Muhammad Husain al-dzahabi, al-Tafsir wa al Musfassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976 M) Juz 1/100.
Periode ketiga, periode tafsir tahlili muncul setelah ilmu-ilmu keislaman
dibukukan. Dan muncul ilmu baru yang berkhidmat pada alQur‟an al-Karim. Mulai
analisa nash ayat al-Qur‟an dengan bentuk yang lebih luas. Pada periode ini, kamus
bahasa banyak dibukukan dan ilmu bahasa menjadi lebih luas, seperti nahwu, sharaf
dan balaghah. Oleh karena itu terjadi peluasan penjelasan nash ayat al-Qur‟an dalam
ilmu bahasa arab dalam rangka menjelaskan kata-kata gharib (asing) dalam al-
Qur‟an. Maka ditulislah buku secara khusus yang menjelaskan makna kata dalam al-
Qur‟an.Seperti buku Majaz al-Qur‟an yang ditulis oleh Abi Ubaidah w 210H. dia
menafsirkan petunjuk kata al-Qur‟an, menjelaskan bacaaan ayat dan berbicara
tafsirnya secara keilmuan bahasa secara murni.6
Selain dari majaz al-Qur‟an, ada buku yang bernama kutub ma’ani, seperti
tafsir, Ma’ani al-Qur‟an‟ karangan Abi Zakaria al-Fara‟ w 207. Beliau lebih fokus
pada kata-kata seputar bacaannya, I‟rabnya dan kata turunannya. Ada juga
buku ,Ma’ani al-Qur’an karangan al Akhfasy w 215, dia lebih perhatian pada suara,
sifat dan tempat keluarnya huruf. Secara umum beliau menjelaskan tafsirnya secara
bahasa, sharaf, nahwu dan balaghah.
Dengan meluasnya ruang analisa bahasa dalam tafsir kata-kata dalam al-
Qur’an, maka perkembangan selanjutnya terjadi keluasan ruang analisa dalam istinbat
(penetapan) hukum fiqih, hal ini sesuai dengan perkembangan yang maju pada
madrasah-madrasah fiqih di dunia Islam. Mereka mulai mempelajari nash al-Qur‟an
dari segi fiqihnya saja. Oleh karena itu muncullah buku, Ahkam al-Qur‟an‟ karangan
imam Syafi‟i w 204 H, selain itu, pengikut madzhab Maliki juga menulis hal yang
sama seperti Ismail bin Ishaq al-Qadhi w 282 H. begitu juga madzhab Hanafi seperti
imam Al-Thahawi w 321 H.7
Pada periode ini juga, mucul pembukuan-pembukuan cabang ilmu-ilmu al-
Qur‟an seperti buku-buku tentang asbab nuzul, salah satunya yang ditulis oleh guru
imam bukhari, Ali bin Al-Madini w 234. Terbukukan juga ilmu qira‟at seperti buku
Abi Ubaid bin Salam w 224. Ahmad bin Zubair al-Kufi dan Ismail bin Ishaq al-Qadhi
282 H. Dibukukan juga ilmu naskh wa mansukh, yang buat oleh Qatadah alSadusi,
Ibnu Syihab al-Zuhri, dan Muqatil bin Sulaiman.

Periode keempat, periode penggabungan dari ilmu-ilmu yang berkaitan


6
. Muhsin abd al-Hamid, Tathawur Tafsir al-Qur‟an.Hal 50.
7
Misy‟an al-Aisawi, al-Tafsir al-Tahlili; Tarikh wa al-Tathawur, alMu‟tamar al-Ilm al-Thani li-Kulliyah al-
Ulum al-Islamiyah, 2012 M, hal 66.
dengan tafsir. Buku yang paling lama dengan metode tahlili adalah buku yang ditulis
oleh imam Muhammad bin Jarir al-Tabari w 310. Beliau menulis kitab tafsirnya
dengan metode yang komprehensif dalam mempelajari nash al-Qur‟an. Imam Suyuti
mengatakan, kitab tafsir al-tabari adalak kitab tafsir yang paling agung lagi mulia,
karena di dalamnya dipaparkan perkataan-perkataan sahabat, tabi‟in dan ulama dan
merajihkannya.Terdapat juga I‟rab dan instinbat dari altabari.Dengan itu, tafsir ini
lebih dalam dan luas dari tafsir-tafsir terdahulu.8
Imam al-Nawawi mengatakan juga tentang tafsir al-Tabari, umat sepakat
bahwa belum terdapat kitab yang disusun seperti tafsir alTabari 9. Dengan demikian,
Imam Al-Tabari adalah orang pertama yang meniti jalan tafsir tahlili dan ditulis dalam
buku.Terkandung di dalamnya kaidah-kaidah ilmu ini dan langkah-langkahnya.
Imam al Zarkasyi rhm mengatakan bahwa sesungguhnya Muhammad bin Jarir
al-Tabari mengabarkan kepada seluruh manusia tentang penafsiran yang beragam, dan
mendekatkan sesuatu yang jauh10. Jadi dapat kita katakana bahwa tafsir Ibnu Jarir al-
Tabari memiliki keutamaan tersendiri dari kitab-kitab tafsir lainnya baik dari segi
waktu, segi faniyah, dan segi pembuatannya.
Setelah imam al-Tabari, Imam Al-Tsa‟Labi al-Naisaburi (w 427 H) membuat
kitab tafsir al-Qur‟an. Dalam penafsiranyya, beliau terpengaruh dengan metode yang
digunakan oleh imam al-tabari.AlTsa‟labi mengatakan di dalam pengantar kitab
tafsirnya, bahwa beliau menyebutkan pendapat 14 ahli nahwu dalam tafsirnya.
Setelahnya muncul kitab tafsir „Ma‟alim al-Tanzil‟ karangan imam al-Bagawi (w
516).
Tafsir yang lebih jelas dan dalam lagi dalam penggunaan metode tahlili adalah
tafsir Ibnu Hayyan al-Andalusi (w 745), beliau menulis tafsir yang bernama „al-Bahr
al-Muhi>th‟. Ibnu Hayyan dalam pengantar bukunya menjelaskan langkah-
langkahnya dalam menafsirkan al-Qur‟an secara terperinci dan berurutan. Beliau
mengawali penafsiran ayat dengan menjelaskan mufradat ayat, yakni kata-perkata
dijelaskan makna bahasa dan nahwunya.Kemudian beliau menjelaskan tafsir ayat
dengan menyebutkan sebab nuzul ayat, jika memiliki asbab nuzul. Kemudian beliau
menjelaskan nasakh atau tidaknya ayat yang dibahas, dan menyebutkan keterkaitan

8
Abd al-Rahman al-Suyuti, al Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Madinah Munawarah: Majma‟ al-Malik al-Fahd,
1426H) 4/212
9
Muhyiddin Syarof al-Nawawi, Tahdzib al-Asma‟ wa al-Lugat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)1/78 76 .
Muhammad Abd
10
Ahmad Al-Tsa‟labi, al-Kasyf wa al-Bayan, (Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi 2002 M) juz 1/75
ayat dengan ayat sebelumnya, atau surat sebelumnya. Beliau juga menjelaskan
macam-macam qiraat yang mutawatir dan syad.11
B. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Tahlili
Kelebihan metode ini antara lain: [1] Ruang lingkup yang luas: Metode
analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan
oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan dalam
berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masingmasing mufassir. Sebagai contoh:
ahli bahasa, misalnya, mendapat peluang yang luas untuk manfsirkan al-Qur’an dari
pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi, karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat
seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya.
Demikian pula ahli fisafat, kitab tafsir yang dominasi oleh pemikiran-pemikiran
filosofis seperti Kitab Tafsir al-Fakhr al-Razi.
Mereka yang cenderung dengan sains dan teknologi menafsirkan al-Qur’an
dari sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Kitab Tafsir al-Jawahir karangan al-
Tanthawi al-Jauhari, dan seterusnya. [2] Memuat berbagai ide: metode analitis relatif
memberikan kesempatan yang luas kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan
gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini
dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk
yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu selebarlebarnya bagi
mufassir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-
Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15
jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-
Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.
Kelemahan dari metode tafsir analitis adalah: [1] Menjadikan petunjuk al-
Qur’an parsial: metode analitis juga dapat membuat petunjuk al-Qur’an bersifat
parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan alQur’an memberikan
pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada
suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama
dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang
mirip atau sama dengannya. [2] Melahirkan penafsir subyektif: Metode analitis ini
memberi peluang yang luas kepada mufassir untuk mengumukakan ide-ide dan
pemikirannya. Sehingga, kadangkadang mufassir tidak sadar bahwa dia tidak
menafsirkan al-Qur’an secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka

11
Muhammad Yusuf, Abu Hayyan, Al-Bahru al-Muhith (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993) juz 1/103.
yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan bahwa nafsunya tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. [3] Masuk pemikiran
Israiliat: Metode tahlili tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan pemikiran-
pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak
tercuali pemikiran Israiliat. Sepintas lalu, kisah-kisah Israiliat tidak ada persoalan,
selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’an. Tetapi bila dihubungkan
dengan pemahaman kitab suci, timbul problem karena akan terbentuk opini bahwa
apa yang dikisahkan di dalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah, atau
petunjuk Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksud Allah di dalam
firman-Nya tersebut. Di sini letak negatifnya kisah-kisah Israiliat. Kisa-kisa itu dapat
masuk ke dalam tafsir tahlili karena metodenya memang membuka pintu untuk itu.
C. Contoh Kitab Tafsir Tahlili
1. Tafsir karya al-Thabari (w.310 H)
Tafsir al-Thabari merupakan tafsir pertama di antara kitabkitab tafsir
dari segi zaman karena merupakan tafsir bil ma’tsur yang paling tua yang
sampai ke tangan kita dan dari segi penulisan dan penyusunan karena
memiliki metode tersendiri yang menarik yang menjadikannya berbobot
dan berkualitas.12
Al-Thabari dalam menafsiran al-Qur’an menggunakan metode taḥlīlī.
Dia memulai penafsirannya dengan menyebutkan terlebih dahulu nama
surah, penjelasan sebab turun ayat (jika ada), kemudian masuk kepada
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menampilkan riwayat-riwayat dari
Nabi Saw, sahabat dan para tabi’in dalam setiap penafsirannya. Setelah itu
menjelaskan perbedaan qira’at bila ayat al-Qu’an yang dibahas
mengandung perbedaan-perbedaan qira’at. Dalam menjelaskan ayat al-
Qur’an bila terdapat perbedaan riwayat tentang makna kata dari suatu ayat
al-Qur’an, dia menampilkan terlebih dahulu perbedaan itu kemudian
melakukan tarjih terhadap pendapat yang dikutipnya.13

2. Tafsir karya Fakhr al Razi (w. 606 H)


Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya al-Tafsīr al-kabīr wa mafātih al-
12
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 19976) Juz I/100
13
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 17.
Ghayb menggunakan metode taḥlīlī. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an al-Razi memulainya dengan menyebutkan munāsabah ayat. Setelah
itu ia menyajikan berbagai macam qira’at dan juga sebab turun ayat jika
surat tersebut memiliki asbābun nuzūl ayat. Ia juga melakukan analisis
bahasa secara panjang lebar. Menyebutkan nama surat, tempat turun dan
jumlah ayatnya, misalnya surat al-Zalzalah. Surat ini termasuk dalam
kategori surat Madaniyah dan terdiri dari delapan ayat. Al-Razi juga
seringkali menyajikan pertanyaanpertanyaan ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Dan pada akhir setiap penafsiran surat, al-Razi menutupnya
dengan wallahu a’lam dan ucapan shalawat kepada Nabi Saw.14
3. Tafsir Ibn Asyur (w.1393 H)
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Ibn Asyur menggunakan metode
taḥlīlī. Dalam menyajikan penafsiran dalam kitab tafsirnya, ia terlebih dahulu
menjelaskan nama surah dan nama-nama lainnya jika ada, menjelaskan
keutamaannya, menjelaskan Makkiah atau Madaniyah ayat dan jumlah ayat.
Menjelaskan kandungan surah secara global dalam poin-poin yang berbeda-beda
sesuai dengan masalah dan tema yang dibahas dan sesuai dengan susunannya
dalam alQur’an. Menjelaskan kandungan ayat demi ayat atau beberapa ayat yang
memiliki masalah atau tema yang sama secara rinci. Dimulai dari pemaknaan
kosakata dengan i’rab dan pemaparan i’jaz lughawi-nya terkadang menjadikan
syair-syair Arab jahili sebagai syawāhid atau penguat kebahasaannya. Ibnu Asyur
juga memberikan penjelasan tentang munāsabah ayat, sebab turun ayat, naskh
dan mansukh dan lain-lain.

KESIMPULAN

Artikel ini membahas tentang pentingnya penafsiran atau tafsir al-Qur'an dalam Islam.
14
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir, h. 59-61.
Al-Qur'an dianggap sebagai pedoman bagi umat Islam dan berisi informasi dan pesan penting
dari Allah tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak. Tafsir al-Qur'an harus mampu
menjawab tantangan zaman dan menjaga derajatnya agar dapat dipercaya oleh semua orang.
Artikel ini juga menjelaskan empat metode tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir,
yaitu metode tafsir Ijmali, tahlili, maudhu'i, dan muqoron. Metode tahlili adalah metode
penafsiran yang digunakan oleh para ulama dahulu dan paling luas cakupan bahasannya.
Dalam metode ini, mufasir membagi beberapa jumlah ayat pada satu surat dan
menjelaskannya secara rinci dan komprehensif.
Selanjutnya, artikel ini membahas sejarah tafsir tahlili. Pada masa Nabi Muhammad,
tafsir terfokus pada penjelasan kata-kata yang samar atau asing. Selama periode berikutnya,
terjadi perluasan penafsiran secara besar-besaran dan keseriusan para sahabat dan tabi'in
dalam menafsirkan al-Qur'an. Kemudian, dengan berkembangnya ilmu-ilmu keislaman,
muncul metode tafsir tahlili yang lebih luas dalam analisis bahasa dan pemahaman ayat al-
Qur'an. Periode terakhir merupakan periode penggabungan dari berbagai ilmu yang berkaitan
dengan tafsir.
Artikel ini juga menyebutkan beberapa kelebihan dan kekurangan tafsir tahlili, serta
memberikan contoh kitab tafsir tahlili yang dapat digunakan sebagai referensi. Secara
keseluruhan, artikel ini membahas pentingnya tafsir al-Qur'an, khususnya metode tahlili,
dalam memahami makna dan pesan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an.

Daftar Pustaka
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'ān (Bandung: Mizan, 1992), 72.

Muhammad Ibrahim, Rawai' al-Bayan fī 'Ulūm al-Qur'ān (Mesir: Dār al Taba’ah

Muhammadiyah, 1984), 135, 138-143.

Syaeful Rokim, “Mengenal Metode Tafsir Tahlili,” Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-

Qur’an Dan Tafsir 2, no. 03 (2017): 41–56, https://doi.org/10.30868/at.v2i03.194.

Abd al-Rahman al-Suyuti, al Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Madinah Munawarah:

Majma‟ al-Malik al-Fahd, 1426H) hal 1/347.

Muhammad Husain al-dzahabi, al-Tafsir wa al Musfassirun, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 1976 M) Juz 1/100.

Muhsin abd al-Hamid, Tathawur Tafsir al-Qur‟an.Hal 50.

Misy‟an al-Aisawi, al-Tafsir al-Tahlili; Tarikh wa al-Tathawur, alMu‟tamar al-Ilm

al-Thani li-Kulliyah al-Ulum al-Islamiyah, 2012 M, hal 66.

Abd al-Rahman al-Suyuti, al Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Madinah Munawarah:

Majma‟ al-Malik al-Fahd, 1426H) 4/212

Muhyiddin Syarof al-Nawawi, Tahdzib al-Asma‟ wa al-Lugat (Beirut: Dar al-Kutub

al-Ilmiyah)1/78 76 . Muhammad Abd

Ahmad Al-Tsa‟labi, al-Kasyf wa al-Bayan, (Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi

2002 M) juz 1/75

Muhammad Yusuf, Abu Hayyan, Al-Bahru al-Muhith (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyah, 1993) juz 1/103.

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al Mufassirūn, (Kairo: Maktabah


Wahbah, 19976) Juz I/100

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 17.

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir, h. 59-61.

Anda mungkin juga menyukai