Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS TEMATIK


“Metodologi Penafsiran Al-Qur'an: Ijmali, Tahlili, Muqorin,

Ma'udhu’i”

Dosen Pengampu:
Dr. Mohammad Samsul Ulum, M.A

Disusun Oleh:
Nurul Mubin (210106210012)

Nur Khulailatul Hurriyah (210106210024)

JURUSAN MANEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur selalu kami limpahkan kehadirat


Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga
kelompok kami dapat menyelesaikan makalah Studi Al-Qur‟an Dan Hadist
Tematik dengan judul “Metodologi penafsiran Al-Qur'an; Ijmali, Tahlili,
Muqorin, Ma'udhui” dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada junjungan agung Nabi Muhammad SAW
beserta seluruh keluarga dan sahabat-Nya, semoga mendapatkan istiqomah
terhadap sunnah dan ajaran yang beliau bawa hingga hari akhir kelak.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi serta menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca yang
ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Malang, 6 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 3
A. Latar Belakang....................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
C. Tujuan .................................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 4
A. Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an ......................................................................... 4
B. Macam-Macam Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an............................................... 5
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 16

2
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur‟an menduduki posisi penting dalam kehidupan umat Islam.
Sedangkan kebutuhan mereka untuk memahami dan mengamalkan al-Qur‟an tidak
dapat dipisahkan dari tafsir. Karena itu, kitab-kitab tafsir selalu bermunculan dari
masa ke masa untuk memenuhi kebutuhan umat. Al-Qur‟an adalah sumber ajaran
Islam. Kitab suci itu menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangannya
ilmu-ilmu ke-Islaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu
gerakan-gerakan umat Islam sepanjang 14 abad sejarah pergerakan umat ini.
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berbagai aspek kehidupan
mansusia, Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang terbuka (open ended), untuk
dipahami di tafsirkan dan di ta‟wilkan dalam prespektif metode tafsir maupun
prespektif dimensi-dimensi atau tema-tema kehidupan manusia dari sini mencullah
ilmu-ilmu untuk mengkaji AlQur‟an dari berbagai aspeknya (asbab al – nuzul,
filologi tradisi dan substansi) termasuk di dalamnya ilmu tafsir.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana metodelogi penafsiran Al-Qur‟an?
2. Apa saja macam-macam metodelogi penafsiran Al-Qur‟an?

C. Tujuan
1. Memahami dan mengetahui metodelogi penafsiran Al-Qur‟an.
2. Memahami dan mengetahui macam-macam metodelogi penafsiran Al-Qur‟an.

3
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN

A. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an


Kata metode berasal dari bahasa yunani “methodos” yang berarti “cara atau
jalan”. Dalam bahasa Inggris kata ini ditulis “method” dan bahasa Arab
menerjemahkannya dengan “tariqat” dan “manhaj”. Dalam pemakaian Bahasa
Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan berpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan”.1
Kata tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassaara, yufassiru, tafsiran yang
berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti
alidlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Imam al-Zarqani mengatakan
bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur‟an baik dari segi
pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah Swt menurut kadar
kesanggupan manusia. Selanjutnya Abu Hayyan, sebagaimana dikutip al-Suyuti,
mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan
mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Quran disertai makna serta hukum-
hukum yang terkandung didalamnya. Maka metode tafsir adalah cara yang
ditempuh untuk melakukan manafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an.
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu : metodologi tafsir dan metode
tafsir. Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir,
yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟an, sedangkan
metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut.2 Katakan saja, pembahasan
teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbadingan), misalnya disebut
analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara
penerapan metode terhadap ayat-ayat alQur‟an, disebut pembahasan metodik.
Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan

1
Hadi Yasin, „Mengenal Metode Penafsiran Al Quran‟, Tahdzib Al-Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam, 3.1
(2020), 34–51 <https://doi.org/10.34005/tahdzib.v3i1.826>.
2
Hujair A.H. Sanaky, „Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau Corak
Mufassirin]‟, Al-Mawarid, 18 (2008), 263–84 <https://doi.org/10.20885/almawarid.vol18.art7>.

4
teknik atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah
yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur‟an dan seni atau teknik ialah
cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode,
sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode Al-
Qur‟an.

B. Macam-Macam Metodologi Penafsiran Al-Qur’an


Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan
diterapkan oleh pakar-pakar Al-Qur'an, diantaranya:
1. Tafsir Ijmali

Metode Ijmali (global) menjelaskan ayat-ayat Qur‟an secara ringkas


tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak
dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam
mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur‟an.
Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat
demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya
dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan
secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna
ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek
yang diulas secara panjang lebar.3 Mufasir menyebutkan rangkaian ayat al-
Qur‟an yang panjang, atau sekelompok ayat al-Qur‟an yang pendek,
kemudian menyebutkan maknanya secara umum tanpa panjang lebar
maupun terlalu singkat. Dalam hal ini, dia berusaha untuk mengaitkan
antara teks al-Qur‟an dengan makna, yaitu mengutarakan makna tersebut
dengan sesekali menyebutkan teks al-Qur‟an yang berkaitan dengan makna-
makna itu secara jelas. Di antara kitab tafsir yang disusun dengan cara
seperti ini adalah: Tafsir Jalalain karya al-Suyuti dan al-Mahalli.4

2. Tafsir Tahili (Analitis)


Kata tahlili berasal dari bahasa Arab halalla-yuhalillu-tahlilan yang
berarti mengurai atau menganalisa. Dengan metode ini, seorang mufasir

3
Sanaky.
4
Yasin.

5
akan mengungkap makna setiap kata dan susunan kata secara rinci dalam
setiap ayat yang dilaluinya dalam rangka memahami ayat tersebut dalam
secara koheren dengan rangkaian ayat di sekitarnya tanpa beralih pada ayat-
ayat lain yang berkaitan dengannya kecuali sebatas untuk memberikan
pemahaman yang lebih baik terhadap ayat tersebut. Dalam metode ini,
penafsir akan memaparkan penjelasan menggunakan pendekatan dan
kecenderungan yang sesuai dengan pendapat yang dia adopsi empat
Pendekatan yang digunakan bisa pendekatan bahasa, rasio, riwayat maupun
isyarat. Contoh literatur tafsir yang disusun dengan metode ini antara lain:
Tafsir al-Tabari, dan Tafsir Ibnu Kathir.5

3. Tafsir Muqoran
Kata muqaran merupakan masdar dari kata ‫يقبرَت‬-ٌ‫يقبر‬-ٌ‫ قبر‬yang
bearti perbandingan (Komparatif).6
Metode Tafsir muqaran adalah “membandingkan ayat-ayat AlQuran
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang
masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda
bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama”. Termasuk dalam
objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran
dengan sebagian yang lainnya, yang tampaknya bertentangan, serta
membandingkan pendapatpendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran
ayat-ayat Al-Quran.7
Nasruddin Baidan menyatakan dalam tafsir metode muqâran adalah:
Satu, membandingkan teks ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki
redaksi yang berbeda bagi kasus yang sama. Dua, membandingkan ayat al-
Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan. Tiga,
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-

5
Yasin.
6
Abd. Al-Hay- al-Farmawi, BIdayah Fiy al-Tafsir al-Maudhu‟I (Kairo: Hadrat alGharbiyah, 1977), hal.
52.
7
Mula Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman : Teras, 2005), hal. 85.

6
Qur'an. Metode ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman komprehensif
terhadap ayat-ayat al-Qur'an.8
Secara global, tafsir muqaran antar ayat dapat diaplikasikan pada
ayat-ayat al-Quran yang memiliki dua kecenderungan. Pertama adalah ayat-
ayat yang memiliki kesamaan redaksi, namun ada yang berkurang ada juga
yang berlebih. Kedua adalah ayat-ayat yang memiliki perbedaan ungkapan,
tetapi tetap dalam satu maksud. kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak
hanya terbatas pada analisis redaksional (mabahits lafzhiyat) saja,
melainkan mencakup perbedaan kandungan makna masing-masing ayat
yang diperbandingkan. Disamping itu, juga dibahas perbedaan kasus yang
dibicarakan oleh ayat-ayat tersebut, termasuk juga sebab turunnya ayat serta
konteks sosio-kultural masyarakat pada waktu itu. Berikut ini akan
diuraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode tafsir
muqâran pada masing-masing aspek:
Perbandingan ayat dengan ayat
Quraish Shihab mempraktikkan penggunaan metode muqâran
dengan membandingkan dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu ayat
126 Surat Ali `Imrân dengan ayat 10 Surat al-Anfâl.

              

   

Artinya: Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan
sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya.
dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Imran: 126)

               

    

8
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hal. 65.

7
Artinya: Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu),
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan
kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 10)
Perbedaan antara ayat pertama dan ayat kedua adalah: Pertama,
dalam surat Ali 'Imrân dinyatakan ‫ بشري نكى‬sedangkan dalam surat al-Anfâl
tidak disebutkan kata ‫ نكى‬.Kedua, dalam surat Ali 'Imran dinyatakan ٍ‫ونتطًئ‬
‫قهىيكى به‬yakni menempatkan kata ‫به‬setelah ‫ قهىيكى‬sedang dalam surah al-Anfâl
kata ‫ثه‬diletakkan sebelum ‫قهىيكى‬.Ketiga, surah Ali 'Imrân ditutup dengan
‫ويبنُصر إال يٍ عُد هللا انعسيسانحكي‬tanpa menggunakan kata ٌ‫إ‬sedang surat al-
Anfâl ditutup dengan menggunakan‫ ٌإ‬yang berarti "sesungguhnya", ‫هللا عسيس‬
‫ إٌ حكبى‬Ayat al-Anfâl disepakati oleh ulama sebagai ayat yang berbicara
tentang turunnya malaikat pada Perang Badar. Sedang ayat Ali 'Imran turun
dalam konteks janji turunnya malaikat dalam Perang Uhud. Dalam perang
tersebut malaikat tidak jadi turun karena kaum muslimin tidak memenuhi
syarat kesabaran dan ketakwaan yang ditetapkan Allah ketika
menyampaikan janji itu (sebagaimana tersebut di ayat 125).
Perbedaan redaksi memberi isyarat perbedaan kondisi kejiwaan dan
pikiran lawan bicara, dalam hal ini kaum muslim. Pada Perang Badar, kaum
muslim sangat khawatir akibat kurangnya jumlah pasukan dan perlengkapan
perang. Berbeda dengan Perang Uhud, jumlah mereka lebih banyak --sekitar
700 orang, sehingga semangat menggelora ditambah keyakinan akan
turunnya bantuan malaikat sebagaimana pada Perang Badar. Tidak
ditemukannya kata ‫نكى‬pada ayat kedua mengisyaratkan kegembiraan yang
tidak hanya dirasakan oleh pasukan Badar, tapi semua kaum muslimin
karena bukankah kemenangan pada perang itu merupakan tonggak utama
kemenangan Islam di masa datang? Di ayat pertama, penggunaan kata ‫نكى‬
mengisyaratkan bahwa berita gembira hanya ditujukan kepada yang hadir
saja, itupun dengan syarat-syarat. Didahulukannya ‫ثه‬atas ‫قهىيكى‬dalam surat
al-Anfâl adalah dalam konteks mendahulukan berita yang menggembirakan
untuk menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang tercurah terhadap
berita dan janji itu. Berbeda dengan surat Ali 'Imrân, konteks ayat itu tidak
lagi memerlukan penekanan karena bukankah sebelumnya hal itu sudah

8
pernah terjadi pada Perang Badar?. Itu pula sebabnya dalam surat Ali 'Imrân
tidak dipakai kata ٌ‫إ‬sebagai penguat karena, sekali lagi, ia tidak diperlukan.9
Perbandingan ayat dengan al-Qur’an
Tentunya, yang sepadan untuk dibandingkan dengan ayat al-Qur'an
adalah hadits yang berkualifikasi shahîh, sehingga hadits dha`if tidak perlu
dijadikan perimbangan dengan ayat al-Qur'an. Salah satu contoh adalah
sabagai berikut:
a) Al-Qur'an:

            

           

 

Artinya: Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata:


"Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa
kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku
menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (QS. An-Naml 22-23)

              

        

Artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada
mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba‟: 15)
a. Al-Hadits:

9
Qurais Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung : Mizan 2000), hal. 194-196

9
‫يبأفهح قىيب ونىا أيرهى أيرأة‬
Artinya: “Tidak pernah spukses (beruntung) suatu bangsa yang
menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhori)
Jika diperhatikan secara sepintas, teks hadits di atas bertentangan
dengan kedua ayat terdahulu karena al-Qur'an menginformasikan
keberhasilan Ratu Balqis memimpin negaranya, Saba‟. Sebaliknya, hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan ketidak suksesan sebuah
negara (manapun) yang diperintah oleh perempuan. Dengan demikian,
perempuan diposisikan pada kedudukan tidak seimbang dengan laki-laki.
Padahal -kecuali Balqis- sejarah dunia dan sejarah peradaban Islam
mencatat tokoh-tokoh perempuan yang sukses memimpin negara, semisal
Syajarat al-Durr, pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah Afrika
Utara sampai Asia Barat (1250-1257 M).10
Untuk mengkomparasi dan mengkompromikan kedua teks tersebut
diperlukan kepastian akan kualifikasi hadits tersebut karena ayat tidak
diragukan lagi keotentikannya. Setelah itu dilihat asbâb al-wurûd hadits
tersebut. Pada kasus hadits ini, asbâb al-wurûd-nya adalah saat Rasulullah
mendengar berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu
menggantikan ayahnya yang mangkat. Berdasarkan itu, tidak mengherankan
jika pemahaman bahwa perempuan tidak pas memimpin negara muncul ke
permukaan. Namun jika dipakai kaidah ‫انعبرة بعًىو انهفظ ال بخضىض‬
‫انسبب‬pemahaman dijumpai akan maka lain.
Melalui analisis kaidah itu terhadap hadits tersebut, maka akan
ditemui bahwa kata ‫ ايرأة قىو‬dibentuk dalam format nakirah (indefinite). Itu
berarti bahwa yang dimaksud oleh kata-kata itu adalah semua kaum, semua
perempuan, dan semua urusan. Jadi, terjemahan dari hadits tersebut (kira-
kira) berbunyi: "Suatu bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua
urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri
(tanpa melibatkan kaum pria)". Jika dipahami demikian, maka jelas bahwa
sangat wajar kalau suatu bangsa tidak akan sukses kalau semua bidang yang
ada dalam bangsa tersebut ditangani mutlak oleh perempuan tanpa sedikit

10
Nasruddin Baidan, ....., hal. 94-100

10
pun melibatkan laki-laki karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki
keterbatasan-keterbatasan yang jika digabungkan akan terjalin kerja sama
yang baik.
Perbandingan Mufassir
Pada kesempatan lain, Quraish Shihab mempraktikkan metode
muqâran dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti saat ‫انى‬
.Menurutnya, mayoritas ulama pada abad ketiga menafsirkannya dengan
ungkapan: ‫هللا أعهى‬. Namun setelah itu, banyak ulama yang mencoba
mengintip lebih jauh maknanya. Ada yang memahaminya sebagai nama
surat, atau cara yang digunakan Allah untuk menarik perhatian pendengar
tentang apa yang akan dikemukakan pada ayat-ayat berikutnya. Ada lagi
yang memahami huruf-huruf yang menjadi pembuka surat al-Qur'an itu
sebagai tantangan kepada yang meragukan al-Qur`an. Selain itu, ia juga
mengutip pandangan Sayyid Quthub yang kurang lebih mengatakan:
"Perihal kemukjizatan al-Qur'an serupa dengan perihal ciptaan Allah
semuanya dibandingkan dengan ciptaan manusia. Dengan bahan yang sama
Allah dan manusia mencipta. Dari butir-butir tanah, Allah menciptakan
kehidupan, sedangkan manusia paling tinggi hanya mampu membuat batu-
bata. Demikian pula dari huruf-huruf yang sama (huruf hija`iyyah) Allah
menjadikan al-Qur'an dan al-Furqân. Dari situ pula manusia membuat prosa
dan puisi, tapi manakah yang labih bagus ciptaannya?" Quraish juga
menambahkan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang
mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah isyarat tentang huruf-huruf yang
terbanyak dalam surat-suratnya. Dalam surat al-Baqarah, huruf terbanyak
adalah alif, lam, dan mim. Pendapat ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Namun 11 Quraish Shihab terlihat masih meragukan kebenaran
pendapat-pendapat yang dikutipnya hingga ia mengambil kesimpulan bahwa
pendapat yang menafsirkan ‫انى‬dengan ‫ هللا أعهى‬masih relevan sampai saat ini.11

4. Tafsir Maudhu’i

11
Qurais Shihab, ....., hal.83-84

11
Metode tafsir maudhu‟i atau menurut Muhammad Baqir al-Shadr
sebagai metode al-Taukhidiy adalah metode tafsir yang berusaha mencari
jawaban al-Qur‟an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang
mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul
tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya dan selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian pemperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan
hubunganhubungannya dengan ayat-ayat yang lain, kemudian
mengistimbatkan hukum-hukum.
Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud
dengan metode tafsir jenis ini adalah tafsir yang menjelaskan beberapa ayat
al-Qur‟an mengenai suatu judul/tema tertentu, dengan memperhatikan
urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan sebab-sebab
turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari segala
seginya dan diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu
pengetahuan yang benar yang membahas topik/tema yang sama, sehingga
lebih mempermudah dan memperjelas masalah, karena al-Qur‟an banyak
mengandung berbagai macam tema pembahasan yang perlu dibahas secara
maudhu‟i, supaya pembahasannya bisa lebih tuntas dan lebih sempurna.12
Dari definisi metode maudhu‟i, sekurang-kurangnya ada dua
langkah pokok dalam proses penafsiran secara maudhu‟i:13
a) Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu maudhu‟ tertentu
dengan memperhatikan masa dan sebab turunnya.
b) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan
nisbat (korelasi) satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk
menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan. Akhirnya, secara
induktif suatu kesimpulan dapat dimajukan yang ditopang oleh dilalah
ayat-ayat itu.

12
Ichwan, Tafsir „Ilmiy Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern. (Yogyakarta: Menara
Kudus, 2004), hal. 121-122
13
Syafe‟i, Pengantar Ilmu Tafsir. (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 293-294

12
Contoh Tafsir Maudhu’i
Judul yang di ambil oleh Al-Farmawi adalah Ri‟ayat Al-Yatim fi
AlQur‟an Al Karim, Al-Farmawi telah mengambil langkah-langkah sebagai
berikut:
a) Mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan anak yatim
sekaligus mengelompokkan ayat-ayat trsebut ke dalam Makkiyyah dan
Madaniyah. Makkiyyah sebanyak 5 ayat dan Madaniyah sebanyak 17
ayat.
b) Bertitik tolak dari ayat-ayat yang terkumpul itu, di tetapkan sub-sub
bahasan. Pembahasan tentang pemeliharaan anak yatim berdasarkan
ayat-ayat Makkiyyah dipisahkan menjadi 2 bagian, yaitu: 1)
Pemeliharaan diri/fisik anak yatim , membahas 4 ayat. 2) Masalah harta
anak yatim, 1 ayat.
Adapun pembahasan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Madaniyah,
terbagi ke dalam tiga subbahasan, yaitu:
1) Pentingnya pembinaan akhlak dan pendidikan anak yatim
menurut Al-Qur‟an, membahas 4 ayat.
2) Pemeliharaan harta anak yatim, 9 ayat.
3) Perintah berinfak kepada anak yatim, 4 ayat.
c) Pada tahap pembahsan, Al-Farmawi kelihatannya memperhatikan masa
turunnya surah dan urutan ayat-ayat jika kebetulan terdapat beberapa
ayat dalam satu surah yang sedang dibahas.
Munasabah (korelasi) antara ayat dengan ayat disajikan dalam suatu
kaitan yang rasional, historis, dan semangat pedagogis. Hal tersebut dapat
kita rasakan misalnya sewaktu mengikuti penyajian yang cukup menarik
surah 6 ayat) (‫ )أَنَ ْى يَ ِج ْدكَ يَتِي ًًب فَ َآوي‬:yaitu, Makkiyah ayat tiga hubungan tentang
ad-Dhuha), suatu pernyataan kepada Nabi yang cukup menggugah bila yang
َ ِ‫ )فَؤ َ َّيب ْانيَت‬:Nabi belakang latar dengan dihubungkan
sikap suatu), ‫يى فَبل تَ ْق َه ْر‬
dituntut untuk menghormati atau menyayangi anak yatim, sedangkan ayat
َ ِ‫ ) َكبل بَم ال ت ُ ْك ِر ُيىٌَ ْانيَت‬:berbunyi ketiga yang
Semacam). 17 ayat Fajr-al surah ) (‫يى‬
kecaman Tuhan yang ditunjukkan kepada orang yang berupaya, tetapi tidak
merasa penting untuk mengurus anak yatim. Ayat yang ketiga ini sangat

13
menggugah perasaan orang banyak untuk segera mengurus anak yatim,
sehinnga mereka segera bertanya kepada Rasulullah apa yang seharusnya
mereka perbuat. jawaban dari pertanyaan itu diberikan Allah pada surah
Madaniyah:

(al-Baqarah: 220)         

Secara keseluruhan, pembahasan tertuju pada usaha menemukan


jawaban oleh ayat terhadap masalah anak yatim. Dalam contoh ini, kita
hanya menemukan penjelasan-penjelasan yang diperlukan untuk keperluan
penekanan (stressing) tertentu. Penjelasan tersebut ada kalanya dengan
menemukan hadits Nabi, kutipan-kutipan atau pendapat mufasir sendiri,
antara lain seperti berikut, yaitu:
Memberikan penjelasan mengenai firman Allah dalam surah an-
Nisa‟ kata pemakaian bahwa menerangkan Farmawi-Al), 5: ) ‫ار ُزقُى ُه ْى فِي َهب‬
ْ ‫َو‬
ayat “fi‟ha” bukan “minha” pada ayat ini menunjukkan bahwa pemeliharaan
yatim hendaklah membiayai kehidupan anak yatim asuhannya yang bukan
diambil dari harta asal, tetapi dari harta asal anak yatim yang diamanahkan
kepadanya. Pengertian tersebut sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi:
Di akhir tulisan, kesimpulan yang didapat adalah menggambarkan
masyarakat Islam yang bersatu dan saling menolong, seperti sebuah
bangunan yang kokoh atau laksana sebuah tubuh. Masyarakat yang bebas
dari dengki dan tidak mengabaikan kehidupan dan nasib serta pendidikan
anak yang tidak punya ayah. Hal itu sekaligus menutup pintu terhadap
kerusakan masyarakat.14

14
Syafe‟i, ....., hal. 297-300

14
BAB III KESIMPULAN
KESIMPULAN

1. Metode tafsir adalah cara yang ditempuh untuk melakukan manafsirkan ayat-
ayat al-Qur‟an.
Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu : metodologi tafsir dan metode
tafsir. Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir,
yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟an, sedangkan
metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut.
2. Terdapat 4 metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan
oleh pakar-pakar Al-Qur'an, diantaranya:
a. Tafsir Ijmali
b. Tafsir Tahlili
c. Tafsir Muqorin
d. Tafsir Ma‟udhui

15
DAFTAR PUSTAKA

al-Farmawi, Abd. Al-Hay., 1977. BIdayah Fiy al-Tafsir al-Maudhu‟I (Kairo: Hadrat
alGharbiyah.
Baidan, Nasruddin., 2002. Metode Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ichwan, 2004. Tafsir „Ilmiy Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains Modern.
Yogyakarta: Menara Kudus.
Salim, Mula., 2005. Metodologi Ilmu Tafsir, Sleman : Teras.
Shihab, Qurais., 2000. Membumikan al-Quran, Bandung : Mizan.
Syafe‟i, 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.
Yasin, Hadi., 2020. „Mengenal Metode Penafsiran Al Quran‟, Tahdzib Al-Akhlaq:
Jurnal Pendidikan Islam, 3.1 , 34–51
<https://doi.org/10.34005/tahdzib.v3i1.826>.
Hujair A.H. Sanaky, 2008. „Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna Atau Corak Mufassirin]‟, Al-Mawarid, 18, 263–84
<https://doi.org/10.20885/almawarid.vol18.art7>.

16

Anda mungkin juga menyukai