Makalah
Disusun Oleh:
Naura Izzati :
Fakultas Ushuluddin
Kelompok 7
1
Daftar Isi
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULU....................................................................................
1.3 Tujuan................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Sebagai Nabi terakhir yang diutus Allah SWT untuk membawa pesan-
pesan dari Allah SWT. sehingga tidak akan turun lagi kitab samawi setelah Al-
Qur’an.
Nabi sebagai penafsir pertama, karena beliau adalah seorang penjelas.
Setelah Nabi SAW. wafat, kegiatan penafsiran tidak berhenti, bahkan semakin
meningkat lagi. Munculnya beberapa persoalan baru seiring dinamika masyarakat
yang progresif mendorong umat Islam generasi awal (sahabat).1 Maka para
sahabat melakukan upaya-upaya penafsiran al-Qur’an dilakukan dengan berdasar
pada riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi saw. penafsiran tersebut
kemudian dikenal dengan tafsir bi al-Mas’ur atau metode riwayah2, kemudian
diikuti oleh tabi’in.3
Kemajuan dalam bidang pemikiran sangat berpengaruh terhadap
perkembangan keilmuan dan pengetahuan, baik ilmu eksak maupun ilmu religi
atau agama. Ilmu tafsir dalam kapasitasnya sebagai mubayyin atau penjelas
terhadap teks atau nas suci al-Qur’an tidak bisa lepas dari kemajuan
perkembangan.
Banyak sekali perkembangan dan kemajuan yang terjadi terhadap ilmu
tafsir, mulai dari corak, metode, pedekatan maupun teori pemaknaan.
1
Al-Suyuti menyebutkan ada sepuluh sahabat yang terkenal dalam bidang tafsir, yaitu
Khulafa’al-Rasyidin, Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Ubai ibn Ka’b, Zaid ibn |s|abit, Abu Musa al-
Asy’ari dan ‘Abdullah ibn al-Zubair. Lihat Jalaluddin ‘Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Itqan fi
‘Ulum Alquran, Jilid II (Cairo: Dar al-Hadis|, 2004), 479.
2
Lihat M. Alfatih Suryadilaga, et al, Metodologi Ilmu Tafsir (Cet. I; Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2005), 41.
3
Diantara Tabi’in yang terkenal sebagaimana di katakan oleh Ibn Taimiyah dalam al-
Itqan fi ‘Ulum Alquran bahwa yang paling mengetahui tentang tafsir adalah penduduk Mekkah
karena mereka adalah murid Ibnu ‘Abbas di Mekkah diantaranya Sa’id ibn Jubair, Mujahid,
Ikrimah Maula ibn ‘Abbas, Thowus ibn Kisan al-Yamani dan Atha’ ibn Abi Rabah dan lain-lain.
Demikian pula yang berada Kufah murid dari Ibn Mas’ud, dan ulama Madinah di bidang tafsir
diantaranya Za’id ibn Aslam yang diambil Riwayatnya oleh putranya, ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid
dan Malik ibn Anas. Lihat al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, 485.
3
Terkadang sebuah metode berdasarkan sumber dalam tafsir kita anggap
sebagai metode penulisan tafsir, atau corak sebagai metode. Padahal ketiga hal ini
merupakan satu-kesatuan yang berbeda. Dalam makalah ini penulis tidak akan
membahas ketiga unsur tersebut, akan tetapi hanya akan membahas corak-corak
tafsir.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari corak tafsir
2.Untuk mengetahui bagaimana kemunculan dan keberagaman corak
penasiran Al Qur’an
3. Untuk mengetahui corak-corak tafsir Al Qur’an
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
penjelasan, komentar, dan keterangan6. Arti tafsir itu sendiri menurut bahasa
(lughah) Arab adalah D التبيينdan ( اإليضاحmenjelaskan, menerangkan).7
Sedangkan tafsir menurut istilah adalah:
6
kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran atau ide
tersebut. Kecenderungan inilah yang kemudian muncul ke permukaan pada
periode abad pertengahan.11
Muhammad Husein al-Dhahabi mengatakan bahwa setiap orang yang
membaca kitab-kitab tafsir dengan berbagai macam corak (alwan)- nya tidak akan
memiki keraguan bahwa segala hal yang berkaitan dengan kajian-kajian tafsir
tersebut telah dibahas dan dirintis oleh mufasir-mufasir terdahulu (al-Aqdamun). 12
Adapun corak-corak tafsir yang berkembang dan populer hingga masa
modern ini adalah sebagai berikut:
2.3 Corak-corak Tafsir
1. Tafsir Lughowi (Corak Bahasa)
Corak lughawi adalah penafsiran yang dilakukan dengan kecenderungan atau
pendekatan melalui analisa kebahasaan. Tafsir model seperti ini biasanya banyak
diwarnai dengan kupasan kata per kata (tahlil al-lafz), mulai dari asal dan bentuk
kosa kata (mufradat), sampai pada kajian terkait gramatika (ilmu alat), seperti
tinjauan aspek nahwu, sarf, kemudian dilanjutkan dengan qira’at. Tak jarang para
mufasir juga mencantumkan bait-bait syair Arab sebagai landasan dan acuan.13
Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan
pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu
bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu,
balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufasir
akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat
al-Qur’an sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut.
Bahkan Ahmad Shurbasi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu,
sarf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang
mufasir14. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-
Qur’an. Di antara kitab tafsir yang menekankan aspek bahasa atau lughah adalah
Tafsir al-Jalalain karya bersama antara al-Suyuti dan al-Mahalli, Mafatih al-
Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, dan lain-lain.
2. Tafsir Fiqhy (Corak Hukum)
Tafsir fiqhy lebih populer disebutkan tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam
karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum pada Al-Qur’an (ayat al-ahkam).
Berbeda dengan tafsir-tafsir lainya seperti tafsir ilmy dan tafsir falsafy yang
11
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 61.
12
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Maktabah Mus’ab ibn Umar al-
Islamiyah, 2004), 194.
13
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 2008), 87- 89
14
Ahmad Shurbasi, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I,
1999), 31.
7
eksitensi dan proses pengembangannya diperdebatkan oleh pakar tafsir,
keberadaan tafsir ayat al-ahkam diterima oleh hampir seluruh lapisan mufassirin.15
Tafsir ayat al-ahkam ini telah berusia sudah sangat tua karena
kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir al-Qur’an itu sendiri. Banyak
judul kitab tafsir yang layak untuk disebutkan dalam deretan daftar nama kitab-
kitab tafsir ayat al-ahkam, baik dalam bentuk tafsir tahlili maupun maudhu’i,
antara lain Ahkam al-Qur’an al -Jashshah susunan Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr
Ahmad bin Ali Ar-Razi al-Jashshash (305-370 H/917-980 M), salah seorang ahli
fiqhi Mazhab Hanafi; Ahkam al-Qur’an Ibn al-Arabi, karya Abi Bakar
Muhammad bin Abdillah yang lazim popular dengan nama Ibn Al-Arabi (468-543
H/1075-1148 M).
Contoh tafsir fiqhi antara lain adalah: kalimat وأرجلكمdalam masalah
wudhu’ yang terdapat dalam surah al-Ma’idah ayat 6. Jika dibaca mansub (fathah)
maka yang wajib dilakukan pada kaki ketika berwudhu’ adalah membasuh bukan
mengusap. Akan tetapi jika majrur (kasrah) maka yang wajib hanya mengusap.
3. Tafsir Ilmy (Corak Ilmiah)
Tafsir ilmy ialah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan istilah-
istilah (terma-terma) ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Qur’an. Tafsir ini
berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan
melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Menurut pendukung tafsir ilmy, model penafsiran semacam ini membuka
kesempatan yang sangat luas bagi mufassir untuk mengembangkan berbagai
potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam dan dari al-Qur’an. Al-
Qur’an tidak hanya sebagai sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah
(keyakinan) dan amaliah (perbuatan). Ia juga tidak hanya disebut al-‘ulum al-
diniyah wal- i’tiqadiyah wal- amaliyyah, tetapi juga meliputi semua ilmu
keduniaan (al-‘ulum ad-dunya) yang beraneka macam jenis dan bilangannya.16
Beberapa ulama yang memberi lampu hijau untuk mengembangkan tafsir
ilmy ialah al-Ghazali (450-505 H/1057-1111 H), Jalal al-Din al-Suyuthi (w
911H/1505 M), Thanthawi Jauhari (1287-1358 H/1870-1939 M). Namun, tidak
sedikit mufassir yang merasa keberatan terhadap penafsiran al-Qur’an yang
bersifat keilmu-teknologian. Beberapa ulama yang mengingkari kemungkinan
pengembangan tafsir ilmi adalah Asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M), Ibn Taymiyah
(661-728 H/1262-1327 M), M. Rasyid Ridha (1282-1354 H/1865-1935 M), dan
Mahmud Syaltut (1311-1355 H/1893-1936 M).
4. Tafsir Falsafy (Corak Filsafat)
15
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur,2009), 200.
16
Ibid 201.
8
Tafsir falsafi ialah penafsiran al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau
pemikiran filsafat yang liberal dan radikal. Ketika mengomentari tafsir falsafi,
Muhammad Husayn adz-Dzahabi, antara lain, menyatakan bahwa menurut
penyelidikannya, dalam banyak segi pembahasan filsafat bercampur-baur dengan
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya, ia menyebutkan penafsiran sebagian
filosof yang mengingkari kemungkinan Mi’raj Nabi Muhammad saw. hanya
dengan ruh tanpa jasad.17
Sebenarnya, penafsiran fislafat relatif banyak dijumpai di sejumlah kitab
tafsir yang membahas ayat-ayat tertentu yang memerlukan pendekatan filsafat.
Namun, kitab-kitab tafsir yang secara spesifik memerlukan pendekatan penafsiran
secara keseluruhan terhadap semua ayat al-Qur’an tidak begitu banyak.
17
Ibid 201.
18
Ibid 203.
19
Ibid 203.
9
Sungguhpun demikian, ketiga buku ini memberi sumbangsih yang sangat
berharga bagi perumusan model tafsir tarbawi dan pengembangannya.
7. Tafsir I’tiqady (Corak Teologi)
Tafsir teologis merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang tidak
hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh ia
merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang sebuah aliran
teologis. Tafsir model ini lebih banyak membicarakan dan memperbincangkan
tema-tema teologis daripada mengedepankan pesan-pesan pokok al-Qur’an.20
Seperti layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur ilmu kalam
(teologi Islam), tafsir ini sarat muatan sektarian dan pembelaan-pembelaan
terhadap paham-paham teologis yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya.
Ayat-ayat al-Qur’an yang tampak memiliki konotasi berbeda satu sama lainnya
acapkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis sebagai basis bagi
penafsirannya. Ayat-ayat seperti inilah yang memberi peluang dan berpotensi
menjadi alat pembenar (menjustifikasi) atas paham-paham teologis. Kategorisasi
ayat yang dipakai al-Qur’an sendiri , seperti muhkam dan mutasyabih, merupakan
sumber teoretis tentang perbedaan penafsiranteologis yang dibangun di atas
keyakinan-keyakinan teologis.
8. Tafsir Sufy (Corak Tasawwuf)
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh praktek-
praktek aksetisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam sejak
munculnya konflik politis sepeninggal Nabi Muhammad saw. selain praktek
semacam ini terus berlanjut, bahkan mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktek
ini juga diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Hal inilah yang
lalu menjadi penyebab munculnya teori-teori sufisme seperti khauf, mahabbah,
ma’rifah, hulul dan wihdatul wujud. Jadi, perkembangan dua sayap sufisme di
dunia Islam: praktisi sufi yang lebih mengedepankan sikap praktis untuk
mendekati Allah dan para teosof yang lebih concern dengan teori-teori
mistisnya.21
Kedua model sufisme ini, pada akhirnya, membawa dampak tersendiri
dalam dunia penafsiran al-Qur’an. Lalu, lahirlah dua model penafsiran sufistik
yang dikenal dengan istilah tafsir sufi ‘isyary dan tafsir sufi nadhary adalah
penafsiran yang dibangun untuk mempromosikan salah satu teori mistik dengan
menggeser tujuan al-Qur’an kepada tujuan dan target mistis mufassir. Tafsir sufi
‘isyary atau faidly adalah penakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan
makna lahirnya yang dikemudian disesuaikan dengan petunjuk khusus yang
20
Ibid 204.
21
Ibid 204.
10
diterima para tokoh sufisme, tetapi di antara kedua makna tersebut masih dapat
dikompromikan.
Tentu, selain corak-corak tersebut diatas banyak lagi corak yang lain.
Dimana kemunculannya sangat tergantung pada latar belakang seorang mufassir,
mazhab yang dianut, metode yang digunakan dan kaidah yang dipakai dalam
menafsirkan al-Qur’an serta dinamika tuntutan dan perubahan zaman yang terjadi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Corak tafsir diartikan sebagai kecenderungan atau spesifikasi seorang
mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh
pendidikan, lingkungan dan akidahnya. Pada abad pertengahan, berbagai corak
ideologi penafsiran mulai lahir, lahirnya berbagai ideologi inilah yang menjadi
embrio keberagaman corak dalam penafsiran al-Qur’an. Fase ini dimulai pada
masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti bani Abbasiyah. Hal ini terutama
ketika masa pemerintahan khalifah kelima Dinasti Abbasiyah, yaitu Harun al-
Rasyid (785-809 M). dilanjutkan oleh khalifah berikutnya yaitu al-Makmun (813-
830 M). Corak tafsir yang muncul dan berkembang pada masa itu dan masa-masa
sesudahnya antara lain, corak lughawi, corak filsafat, corak ’ilmi, corak fiqhi,
corak tasawuf dan corak adabi ijtima‘i.
3.2 Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
tidak ada satu tulisan di muka bumi ini yang terhindar dari kecacatan kecuali Al-
Qur’an. Untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan saran
serta kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan makalah kami yang akan
datang.
11
Daftar Pustaka
Al-Suyuti, Jalaluddin ‘Abd al-Rahman(2004), al-Itqan fi ‘Ulum Alquran, Jilid II
CAIRO : Dar al-Hadis
Al-Dhahabi Muhammad Husein,(2004) al-Tafsir wa al-Mufassirun,Maktabah:
Mus’ab ibn Umar al-Islamiyah
Al-Burhan Al-Zarkashi (1376 H-1957 M)fi Ulum al-Qur’an‛, Dar al-Ahya al-
Kutub al-Arabiyah
Al-Dzahabi Muhammad Husein,(2004) al-Tafsir wa al-Mufassirun,Maktabah
Mus’ab ibn Umar al-Islamiyah
Izzan Ahmad, (2009)Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur
LaL Anshori,(2010),Tafsir bi al-Ra’yi, Menafsirkan al-Qur’an dengan
Ijtihad,Jakarta, Gaung Persada Press
Munawwir Ahmad Warson ,(1997) Kamus Al-Munawwir,Yogyakarta: Pustaka
Progressif
Mustaqim Abdul,(2008) Epistemologi Tafsir, Jakarta: Pustaka Pelajar
Shurbasi Ahmad, (1999)Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim,
Jakarta: Kalam Mulia
Suryadilaga M. Alfatih,(2005), Metodologi Ilmu Tafsir Yogyakarta: Penerbit
Teras.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,(2005) Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
12
13