Anda di halaman 1dari 31

ILMU TAFSIRIL QUR’AN

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
STUDI QUR’AN

Penyusun :
1. Lailatul Fitjriyah (D95219068)
2. Putri Rahmantika (D95219079)

Dosen Pengampu :
Mohamad Salik,M.Ag

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, kami panjatkan kehadirat


Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Studi Quran.

Makalah ini dapat diselesaikan dengan adanya bimbingan dari Bpk.


Mohamad Salik,M.Ag selaku dosen mata kuliah Studi Quran. Oleh karena
itu kami mengucapkan terima kasih kepada pihak pembimbing yang telah
membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Kami menyadari di
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik
maupun saran yang bersifat membangun bagi kami sangat diharapkan dari
para pembaca sehingga dapat memperbaiki kualitas dalam penulisan
makalah ini.

Demikian yang kami hanya dapat berharap semoga dalam penulisan


makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi semua pihak-pihak yang
memerlukannya. Semoga Allah SWT. Selalu meridhoi usaha kita semua.

Surabaya, 20 April 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarjamah,Tafsir,dan Ta’wil 5
B. Sejarah Ilmu Tafsir 7
C. Urgensi Ilmu Tafsir 14
D. Syarat Syarat Mussafir 15
E. Kode Etik Mussafir 18
F. Metode Metode Tafsir Al – Qur’an 19
G. Penyimpangan dalam Penafsiran Al – Qur’an 21
H. Mazhab – Mazhab dalam Tafsir Al – Qur’an 24
I. Kitab Kitab Tafsir dan Corak Pendekatannya 26

BAB III PENUTUP


A. Simpulan 29

DAFTAR PUSTAKA 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al Qur'an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia.


Al Qur`an menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut
sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan) antara
yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan
petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap
petunjuk yang ia dapati dari al Qur`an.

Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan


ungkapan al Qur’an tidaklah sama, walaupun penjelasannya
sedemikian gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci.
Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang
tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami
makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara
global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat
mengumpulkan beberapa makna. Dan diantara cendikiawan
kelompok ini terdapat pula aneka ragam dan tingkat
pemahaman.Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an digali
melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan
kata-kata garib (aneh/ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan
kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah
dipahami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,dapat dirumuskan masalah
masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini,yaitu :
1. Apa pengertian tafsir, ta’wil, dan terjemah?
2. Bagaimana Sejarah Ilmu Tafsir?

3
3. Bagaimana Urgensi Ilmu Tafsir?
4. Apa Syarat Syarat Mussafir?
5. Bagaimana Kode Etik Mussafir?
6. Bagaimana Metode Metode Tafsir Al – Qur’an?
7. Bagaimana Penyimpangan dalam Penafsiran Al – Qur’an?
8. Bagaimana Mazhab – Mazhab dalam Tafsir Al – Qur’an?
9. Bagaimana Kitab Kitab Tafsir dan Corak Pendekatannya?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini,yaitu:

1. Untuk mengetahui Pengertian Tarjamah,Tafsir,dan Ta’wil


2. Untuk mengetahui Sejarah Ilmu Tafsir
3. Untuk mengetahui Urgensi Ilmu Tafsir
4. Untuk mengetahui Syarat Syarat Mussafir
5. Untuk mengetahui Kode Etik Mussafir
6. Untuk mengetahui Metode Metode Tafsir Al – Qur’an
7. Untuk mengetahui Penyimpangan dalam Penafsiran Al –
Qur’an
8. Untuk mengetahui Mazhab – Mazhab dalam Tafsir Al –
Qur’an
9. Untuk mengetahui Kitab Kitab Tafsir dan Corak
Pendekatannya
10.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tarjamah,Tafsir,dan Ta’wil


1. Terjamah
Al-Qur’an sebagaimana kita ketahui adalah berbahasa Arab. Oleh
sebab itu perlu dilakukan terjemahan untuk memahami Al-Qur’an
yang di peruntukkan bagi orang-orang non – Arab.
Terjemah merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab yang berupa
kata al-tarjamah (‫الترجمة‬ ). Dalam bahasa Arab kata Al-tarjamah
memiliki dua pengertian yaitu :
a)        Tarjamah adalah memindah kalimat atau perkata dari satu
bahasa ke bahasa lainnya dengan tanpa menjelaskan makna asli.
b)        Tarjamah adalah memindah kalimat atau perkata dan
menjelaskan maknanya ke bahasa lain.
Dari pengertian dasar ini, Al-Tarjamah dibedakan menjadi dua yaitu :
1)        Terjemah secara huruf (al-tarjamah al-harfiyyah) adalah
memidahkan suatu kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain dengan
tetap menjaga kesesuaian makna dan runtutannya dari kalimat yang
dipindah.
2)        Terjemah secara penafsiran (al-tarjamah al tafsiriyyah) adalah
penjelasan kalimat dengan bahasa lain dengan tanpa adanya batasan
runtutan dan makna-makna kalimat asli. Terjemah model ini adalah
yang banyak digunakan.

2.      TAFSIR
Secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para
pakar. Al-Zarqoni menjelaskan tafsir adalah ilmu untuk memahami al-
Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menjelaskan

5
makna-maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.1
Sedangkan menurut Abû Hayyân sebagaimana dikutip Manna al-
Qaththân, mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas cara
pengucapan lafaz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya
baik ketika berdiri sendiri maupun tersusun, dan makna yang
dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal lain yang
melengkapinya.
Ilmu tafsir merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia
dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan
dengan Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta
petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah
dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman
modern sekarang ini. Kebutuhan akan tafsir semakin mendesak
lantaran untuk kesempurnaan beragama dapat diraih apabila sesuai
dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak
bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.2
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu
memahami dan mempelajari Al- Qur’an,baik dari segi makna,cara
membaca,sebab diturunkannya ayat dalam Al-Qur’an,dan sejarahnya.
3.      TA’WIL
Pengertian ta’wil menurut bahasa adalah kembali kepada keadaan
semula. Pendapat lain mengatakan ta’wil berarti pengaturan atau
siasat. Sedangkan ta’wil menurut istilah juga memiliki pengertian yang
berbeda-beda pula. Ada ulama yang menyatakan ta’wil adalah sinonim
dari tafsir. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Suyuthi yang
dinisbahkan kepada Abi Ubaidah.

1
Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Maktabah
al-Arabiyah, 1995), vol 2, h. 6.
2
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah Hijazy, tt.) Juz II,
hlm. 172.

6
Disamping itu ada sebagian ulama yang membedakan ta’wil dengan
tafsir, umumnya di kemukakan oleh ulama-ulama abad pertengahan
yang terdiri dari ahli fiqih, ahli hadits, para teolog dan kalangan sufi
yang menyatakan bahwa ta’wil sebagai upaya pengarahan lafaz dari
maknanya yang kuat ke makna lafaz yang lemah berdasarkan dalil
yang ada.

B. Sejarah Ilmu Tafsir


1. Tafsir Masa Klasik
Perkembangan tafsir pada masa klasik dibagi menjadi 3, yakni (1).
Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in
dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan).
a) Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Kegiatan penafsiran telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih
hidup. Nabi pun menjadi sosok sentral dalam penafsiran al-Qur’an.
Bagi para sahabat, untuk mengetahui makna al-Qur’an tidaklah
terlalu sulit. Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi
sebagai penyampai wahyu, atau kepada sahabat lain yang lebih
mengerti. Jika terdapat makna yang kurang dimengerti, mereka
segera menanyakan pada Nabi.3 Sehingga ciri penafsiran yang
berkembang kalangan sahabat adalah periwayatan yang dinukil
dari Nabi. Hal ini mempertegas firman Allah Sûrah al-Nahl: 44
bahwa Nabi diutus untuk menerangkan kandungan ayat al-Qur’an.
‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ‫َوأَ ْنزَ ْلنَا إِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Sedikit sekali kalangan sahabat yang menggunakan penafsiran bil
ra’yî dalam menafsirkan al-Qur’an. Diantara sahabat yang dengan

3
al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 2005), h. 43.

7
tegas menolak penggunaan akal dalam penafsiran adalah Abû
Bakar dan Umar ibn Khattâb. Abû Bakar pernah berkata:
‫ب هللاِ َماالَ أَ ْعلَ ُم‬ ُ ‫ض تُقِلُّنِي َو أَيُّ َس َما ٍء تُ ِظلُّنِي إِ َذا قُ ْل‬
ِ ‫ت فِي ِكتَا‬ ٍ ْ‫أَيُّ أَر‬
“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang
menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah
sesuatu yang tidak aku ketahui”
Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna
Abbân. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abû Bakar
tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia
menggunakan ijtihad, bil ra’yî. Tetapi ada pula beberapa sahabat
yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yî selain dengan
riwayat, yaitu Ibn Mas’ûd dan Ibn Abbâs. 4Secara garis besar para
sahabat berpegang pada tiga hal dalam menafsirkan al-Qur’an,
yaitu al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad sebagai penjelas
(mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad.
Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena
pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini
merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum
tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak
untuk ayat-ayat yang berbeda.5
b) Tafsir pada masa tabi’in
Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah,
Sa’îd ibn Jubaîr (w. 712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Mujâhid
ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abbâs. Kedua, aliran
Madinah, Muhammad ibn Ka’âb (w. 735 M), Zaîd ibn Aslâm al-
Qurazhî (w. 735 M) dan Abû Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru
pada Ubay ibn Ka’âb. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qaîs (w.
720 M), Amir al-Sya’bî (w. 723 M), Hasan al-Bashrî (w. 738 M)

4
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1900), h. 209.
5
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 337.

8
dan Qatâdah ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru
pada Abdullah ibn Mas’ûd.6
Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in
dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abbâs dan Ibn
Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zaîd ibn Aslâm dan Imam
Malîk ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa
Mujâhid adalah mufassir yang besar. Sehingga al-Syafi’i dan Imam
Bukhari berpegang padanya.7 Namun ada pula pandangan yang
menolak penafsiran Mujâhid. Hal ini dikarenakan bahwa Mujâhid
banyak bertanya pada ahli kitab.8 Selain dianggap banyak
mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal sebagai mufassir
yang memberi porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan
al-Qur’an.9
Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal
dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari
nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in
tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak
penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak
menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an
diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran
tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in
meriwayatkan dari sahabat.10
c) Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan)

6
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41.
7
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karîm,
1971), h. 37
8
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218.
9
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Hadîtsah,
2005), juz 1, h. 97.
10
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 339.

9
Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa
pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah
dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani
Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan
mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para
tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat
lalu mengutip hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut dari
sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari
kitab hadis. Diantara ulama yang mengumpulkan hadis guna
mendapat tafsir adalah: Sufyân ibn Uyainah (198 H), Wakî’ ibn
Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajjâj (160 H), Abdul Rozaq bin
Hamam (211 H).
Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan
dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri.
Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib mushaf.
Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H),
Ibn Jarîr al-Thabâri (w. 310 H), Ibn Abî Hatîm (w. 327 H), Abu
Syaikh ibn Hibbân (w. 369 H), al-Hakîm (w. 405 H) dan Abû
Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).11
Sementara al-Dzahabî membagi beberapa tahapan tafsir pada masa
kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik. Pertama, penulisan
tafsir bersamaan dengan penulisan hadis. Pada saat hadis
dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya.
Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun
penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan
pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran
bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini penulisan tafsir tetap mencantumkan
riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan,
riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini,
al-Dzahabî mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan permualan

11
Ibid h. 340-341.

10
awal masuknya kisah-kisah isrâiliyyât dalam tafsir. Keempat,
sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan
ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.12

2.      Tafsir pada Abad Pertengahan


Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M
hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu
pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).13
Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu
pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat
dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan
kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an
pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingan-
kepentingan mazhab/aliran tertentu.
Pada perkembangannya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H)
yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi
menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul
wujud.14 Kelahiran Imâduddîn Ismail ibn Umar ibn Katsîr pada 700
H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad
ini. Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang terdiri sepuluh jilid
menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab lainnya yang ia tulis. 15
Pada abad ini muncul pula tafsir Jamî’ al-Ahkâm al-Qur’ân karya
Abdullah al-Qurtubî (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap
bahwa ia merupakan ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh,
namun al-Qurtubî tidak membatasi pada ulasan mengenai ayat-ayat

al-Dzahabî al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Dawâfi’uha wa


12

Daf’uhâ, h. 7-8.

Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
13

2008), h. 25.
14
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47.
15
Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.

11
hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan al-Qur’an secara
keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asbâb
nuzûl, macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.16
Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhît karya Ibn Abû Hayyân
al-Andalusî. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak
mencurahkan perhatiannya dalam masalah I’rab dan Nahwu. Karena
perhatian yang cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan
menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu, bukan
tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu
Nahwu. Namun Abû Hayyan seringkali tidak sependapat dengan
Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilah-annya.17

3.      Tafsir pada era Modern


Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi
pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada
masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat
pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini.
Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama
penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi
identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir.
Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami
spirit al-Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-
Qur’an.
Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari
pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran
rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau
kembali pada al-Qur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-
ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.18

16
Manna al-Khallil al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 380.
17
Manna al-Khallil al-Qaththân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, h. 504.

12
Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (1849-1905), ia
adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-
Qur’an atas saran muridnya, Rasyid Ridha. Meskipun pada awalnya ia
merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-
Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier.
Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal
yang berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata
untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat.19
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’în al-Marâghi juga
mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan
karya tafsirnya, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang sering dikenal dengan
sebutan Tafsîr al-Marâghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia
menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.20
Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir
tersebut. Ia merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap
problem keummatan yang terjadi di masyarakat dengan berpegang
teguh pada al-Qur’an.21
Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa
penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains
(tafsir ilmi) dan sastra.22 Perkembangan selanjutnya, muncul kajian
baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak
menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai
metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an.

Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta:
18

PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43.


19
J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8.
20
Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153.

21
Ahmad Mustafa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, vol. 1, h. 3.

Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001),
22

vol. 2,  h. 126-132.

13
C. Urgensi Ilmu Tafsir

Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat


Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan
bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar
aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun
manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun,
Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-
masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur'an yang membutuhkan
tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat
namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat
terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan
penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.

Mempelajari tafsir Al-Qur'an adalah kewajiban berdasarkan firman


Allah swt yang artinya sebagai berikut. :

 "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu


penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya
dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai
pikiran." (QS Sad [38]: 29) Allah swt menjelaskan bahwa hikmah
diturunkannya Al-Qur'an yang penuh dengan berkah adalah agar
manusia men-tadabbur-i ayat-ayatnya dan meneliti ayat-ayat itu.
Tadabbur adalah merenungi lafal-lafal Al-Qur'an untuk memahami
maknanya. Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan
hikmah tersebut dan lafal-lafal Al-Qur'an tidak akan memberi
pengaruh.
 "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an
ataukah hati mereka terkunci?" (QS Muhammad [47]: 24) Allah
swt mencela orang-orang yang tidak men-tadabbur-i Al-Qur'an
serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan
pada hati mereka.

14
Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari
tafsir Al-Qur'an. Mereka mempelajari lafal dan makna Al-Qur'an
sehingga mereka bisa melaksanakan amal yang Allah maksudkan
dalam Al-Qur'an. Tidak mungkin melakukan suatu amal yang tidak
diketahui hakikat maknanya.[3]

Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang


mengajari kami Al-Qur'an, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah
bin Mas'ud, ketika belajar sepuluh ayat dari Al-Qur'an kepada Nabi
Muhammad, mereka tidak meminta tambah sampai mereka
memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka
berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Al-Qur'an sekaligus
ilmu dan amal.'"23

D. Syarat Syarat Mussafir


Adapun syarat syarat mussafir,yakni24 :
1. Shahihnya aqidah si mufassir
Seorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an haruslah seorang yang
lurus aqidahnya. Seorang ateis dan mubtadi’ tidak bisa diterima
tafsirnya terhadap al-Qur’an, karena yang mereka inginkan dari
tafsir tersebut adalah fitnah bagi umat Islam dan ta’wil untuk
mendukung kesesatan mereka.
2. Menguasai ilmu bahasa Arab
Seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an wajib menguasai ilmu
bahasa Arab, karena bahasa Arab merupakan bahasanya al-Qur’an.
Tak mungkin seseorang bisa memahami al-Qur’an, jika ia tak
paham bahasa Arab. Di sinilah relevansinya perkataan Syaikhnya
para ahli tafsir dari kalangan tabi’in, Imam Mujahid -sebagaimana

23
Al-Utsaimin 2001, hlm. 23-24.

24
Irma Apriliani,dkk,Tafsir Al-Quran,Makalah. Hal. 4 - 9

15
dinukil oleh Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan-, “Tidak halal bagi
seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berbicara
tentang Kitabullah jika ia bukan seorang yang ‘alim dalam bahasa
Arab”. Maksud beliau, terlarang bagi seseorang yang tak
menguasai bahasa Arab untuk menafsirkan al-Qur’an.
3. Menguasai ilmu ushul fiqih
Ilmu ini merupakan ilmu yang wajib dikuasai oleh seorang
mujtahid. Ilmu ini juga wajib bagi mufassir yang ingin menggali
hukum dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini, dapat diketahui
bagaimana cara menggunakan dalil (dalam hal ini adalah al-
Qur’an), yang dari dalil tersebut bisa diambil kesimpulan hukum
tentang suatu perkara. Jadi, mengambil suatu kesimpulan hukum
dari al-Qur’an (dan juga asSunnah) tidak bisa hanya dengan
membaca satu-dua ayat al-Qur’an, kemudian langsung ambil
kesimpulan hukum dari sana, apalagi jika ia hanya memahaminya
dari terjemahan. Yang tak mengerti ushul fiqih, tidak usah
bermain-main dengan al-Qur’an, mengira dirinya berdalil dengan
al-Qur’an, padahal ternyata hanya menggunakan al-Qur’an untuk
memenangkan hawa nafsunya, wal ‘iyaadzu billah.
4. Menguasai ilmu ushuluddin
Ilmu ini wajib dikuasai oleh setiap mufassir, agar ia tidak keliru
dan tergelincir dalam aqidahnya. Dengan aqidah yang shahih, ia
bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam
semesta, manusia dan kehidupan dengan pemahaman yang benar
dan lurus. Seorang mufassir juga wajib mengenal perkara-perkara
yang menjadi ‘ushul i’tiqadiyyah’, seperti apa yang wajib bagi
Allah dan apa yang mustahil, serta yang wajib bagi para Rasul dan
yang mustahil bagi mereka. Abu Hayyan -sebagaimana disebutkan
oleh Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan- menyatakan tentang ilmu ini:
“Para ulama umat Islam dari seluruh kelompok telah menulis ilmu
ini dalam banyak kitab, dan ia adalah ilmu yang sulit, yang jika

16
tergelincir di dalamnya, wal ‘iyadzu billah, maka orang tersebut
akan mendapatkan kebinasaan di dunia dan akhirat.”
5. Menguasai ulumul Qur’an
Untuk memahami al-Qur’an dengan benar, mau tidak mau seorang
mufassir harus menguasai ulumul Qur’an. Di antara cabang ulumul
Qur’an yang wajib dikuasai oleh seorang mufassir adalah:
a. Ilmu qiraat
b. Ilmu asbabun nuzul
c. Ilmu nasikh-mansukhd
d. Ilmu qashashul Qur’an
6. Mengetahui hadits-hadits Nabi yang berisi tafsir
terhadap ayatayat al-Qur’an
Orang yang paling memahami al-Qur’an adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, agar seorang mufassir tidak
menyimpang tafsirnya, ia wajib mengetahui hadits-hadits Nabi
yang terkait dengan ayat yang ingin ia tafsirkan.
7. Mengetahui tafsir shahabat
Setelah Nabi, para shahabatlah yang paling mengetahui al-Qur’an,
karena mereka hidup di masa turunnya al-Qur’an, hari-hari mereka
dihabiskan dengan membersamai Rasul, sang penerima wahyu.
Jadi, seorang mufassir wajib mengetahui tafsir para shahabat, dan
menjadikannya sumber ketiga dalam penafsiran al-Qur’an setelah
alQur’an itu sendiri dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

E. Kode Etik Mussafir


Sebagaimana adanya syarat-syarat bagi seorang mufassir, terdapat pula
Kode etik yang selayaknya diperhatikan oleh mufssir, antara lain:
a. Ikhlas.

17
Hendaklah berniathanya kepada Allah SWT, mengharapkan
ridhanya, tidak mengharapkan kemuliaan dan kehormatan
(kewibawaan).
b. Melakukan paling awal.
Jika seorang mengajak kearah kebaikan, maka ia harus
melaksanakannya terlebih dahulu sehingga diterima oleh orang
lain. Jika melarang sesuatu, wajib yang melarang menjauhuinya
terlebih dahulu sebelum orang lain. Karena, jika manusia melihat
seseorang memerintahkan sesuatu, padahal dia sendiri tidak
melakukannya atau ia melarang sesuatu, sedangkan ia sendiri tidak
menghindari larangan tersebut, sekalipun yang dikatakan adalah
kebenaran.
c. Berakhlak mulia.
Adanya akhlak yang mulia harus tercipta dan terapresiasi, baik
dalam perkataan, perbuatan, serta kepribadian hidup. Hal inilah
yang menarik perhatian manusia, jika hati telah tertarik, maka
pendengaran dan penglihatan akan menerimanya.
Maka seorang mufassir harus memperhatikan serta
melaksanakan akhlak yang baik. Dalam perkataan harus baik,
menghindari kata-kata kasar yang membuat pendengarannya lari
dan ketakutan, selalu menganjurkan kebenaran dalam seluruh
perkataan, sehingga manusia merasa tenang.25

F. Metode Metode Tafsir Al – Qur’an

Metode penafsiran Al-Qur’an dalam hal ini adalah suatu cara yang
sistematis dengan menggunakan kacamata tertentu yang digunakan
untuk menafsirkan Al-Qur’an. Metode tafsir al-Qur’an dibagi menjadi
empat macam, yaitu:

25
PerpustakaanNasionalRi, Mukadimah Al-Qur’an danTafsirnya (Jakarta: WidyaCahaya, 2011), 220

18
1. Metode Tahlili (Analitik)
Metode ini adalah yang paling tuadan paling sering
digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini ia
sebut sebagai metode tajzi'I yaitu metode yang mufasir-nya
berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur'an dari
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Al-Qur'an
sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an.
Langkah-langkahnya dimulai dari pembahasan kosa kata,
baik dari sudut makna dan bahasanya maupun dari sudut qira’at
dan konteks struktur ayat, kemudian munasabah ayat dan sebab
turunnya, sampai pada syarah ayat, baik dengan menggunakan
riwayat-riwayat dari Nabi, parasahabat, tabi’in, maupun dengan
menggunakan pendapat mufassir sendiri sesuai dengan latar
belakang social dan budayanya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan
Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar
rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur'an, sesuatu
yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagiumat Islam
dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran
karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan
terpisah-pisah .
Sedangkan kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa
bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu
kepada persoalan-persoalan khusus yang
merekaalamidalammasyarakatmereka,
sehinggamengesankanbahwauraianitulah yang merupakan
pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa
terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
2. Metode Ijmali (Global)
Metode ini berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat
dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap

19
kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami.
Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki
perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang
lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga
dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara
merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang
terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas
dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat
dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-
pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu
dari objek yang diperbandingkan itu.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam
Al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Al-Qur'an
yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan
untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode
tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu,
yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan
menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan
sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan
hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian
mengambil hukum-hukum darinya.26

G. Penyimpangan dalam Penafsiran Al – Qur’an

26
https://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Al-Qur%27an

20
Penyimpangan tafsir Al-Quran adalah aturan-aturan yang salah serta
menyimpang yang tidak sesuai dengan kaidah tafsir dalam usaha
memahami atau mempelajari ilmu- ilmu yang terkandung dalam Al-
Quran yang didasarkan pada nafsu bukan karena ilmu. Penyimpangan
dalam penafsiran lahir dari adanya hawa nafsu sang penafsir untuk
mengalihkan makna satu ayat ke makna yang sesuai dengan keinginan
hawa nafsunya. Dengan kata lain, adanya prakonsepsi yang dibenarkan
melalui penafsiran. Mengabaikan ketentuan-ketentuan yang disepakati
oleh yang memiliki otoritas dalam satu disiplin ilmu juga dapat dinilai
sebagai penyimpangan walaupun hasilnya benar.
Dalam kontek ini harus dipahami sebuahri wayat yang dinisbatkan
kepada Rasulullah Saw:
‫من قال في القران برايو فاصاب فقذ اخظا‬
“Barang siapa yang berbicara tentang Al-Quran dengan
pendapatnya sendiri kemudian ternyata benar dalam penafsirannya,
maka sesungguhnya dia telah bersalah.”27
Maksudnya siapa yang menafsirkan Al-Quran pada pendapatnya
sendiri yang tidak didasarkan pada ketentuan keilmuan dalam
penafsiran dan tidak berlandaskan dalil yang sudah ditetapkan, dans
ekalipun hasilnya benar, maka dia bersalah. Sebaliknya, orang yang
menyimpulkan maknanya berlandaskan ilmu dan dasar-dasar yang
kuat maka orang tersebut mendapatkan pujian dan pahala dari Allah
Swt.
Diantara beragam bentuk penyimpangan dalam tafsir, penulis
mengelompokkannya sebagai berikut, yakni penyimpangan dalam
tafsir historis; penyimpangan dalam tafsir teologis; penyimpangan
dalam tafsir sufi; penyimpangan dalam tafsir linguistik; penyimpangan
dalam tafsirilmi dan penyimpangan dalam tafsir modern. Berikut
pembahasannya:
1. Penyimpangan dalam Tafsir Historis

27
Abdurrahman IbnSalihIbnSulaiman, al-Ahwal al-Syaddah fi-Tafsir, h. 26.

21
Sosionaratif yang dijelaskan di dalam al-Quran bersifat
ringkas dalam menuturkan kisah-kisah. Al-Quran tidak
menuturkan kisah secara rinci dan detail. Karena yang ditekankan
di dalam al-Quran bukanlah alur cerita, akan tetapi subtansi dalam
setiap ayat. Al-Quran bukan menitik-beratkan kepada alur
ceritanya, akan tetapi pada pesan moral yang
dikandungnya.28Contoh perihal ini ialah tentang penafsiran di masa
Sahabat Nabi tentang kisah Adam As. Menurut Ad-Dzahabi, di
dalam al-Quran saat menjelaskan kisah Nabi Adam As tidak rinci
dan sedetail dalam Taurat dan Injil. Seperti misalnya tidak
disebutkan terkait nama Surga; letakpohon; dan nama pohon.
Ketika itu para sahabat menanyakan kepada orang-orang yang baru
memeluk Islam, yaitu orang-orang Ahlul Kitab, seperti Abdullah
Ibn Salam dan Ka‟ab Ibn Akbar.Sehingga ia menjelaskan tentang
kejadian Adam. Yaitu bahwa nama Surganya ialah „And; letak
pohon ada di tengah-tengah Surga; dan Pohonnya bernama pohon
kesedihan, dan pohon kesenangan.29
2. Penyimpangan dalam Tafsir Teologis
Lahirnya berbagai aliran teologi yang mewarnai dunia
Islam bukan menjadi pelerai perbedaan pandangan dalam
pemahaman agama, akan tetapi di sisi lain, justru menjadi
kesempatan bagi kelompok-kelompok teologi suntuk
memanfaatkan al-Quran sebagai justifikasi bagi mazhabnya
masing-masing.
3. Penyimpangan dalam Tafsir Sufi
Penyimpangan selanjutnya ialah pada tafsir-tafsir yang
menggunakan esoterik dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Pendekatan itu kemudian dikuatkan dengan isyarat-isyarat yang
didapatkan dari suluk seorang sufi.
28
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 2008), h. 552.

29
Muhammad Husain Ad-Dzahabi, Ittijahat al-Munkharifat fi Tafsir al-Quran, h. 27.

22
4. Penyimpangan dalam Tafsir Linguistik
Al-Quran adalah wahyu yang saratakan makna.
Keberadaannya tidak dapat dipahami secara benar sebelum
seseorang memahami bahasa Arab dengan baik.41 Ini berarti
bahwa bahasa Arab memiliki peran yang cukup penting dalam
memahami pola-pola kalimat al-Quran guna menafsirkannya.
5. Penyimpangan dalam Tafsir
IlmiBetulklaimmufaisirilmi bahwa al-Quran merupakan
wahyu yang memuat segala persoalan.Setidaknya al-Quran
mendukungnya, sebagaimana dalam Qs. Al-An‟amayat
3843.Namun yang menjadipersoalanialahmanakala al-Quran
dijadikan sebagai buku ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai
justifikasi kebenaran empirik ilmu- ilmu alam. Karena al-Quran
mengandungprinsip-prinsip yang mandiri yang manusia dapat
mengembangkannya.Dalam artian, tidak mencocok-cocokan
semaunya pembaca al-Quran.
6. Penyimpangan dalam Tafsir Modern
Modernasi dalam Islam merupakan suatu keharusan jika
Islam tidak ingin dianggap sebagai agama yang out to date. Akan
tetapi tidak berarti kemudian menciptakan bentuk-bentuk
penafsiran yang tidak sesuai prosedur dan proposional.
Penyimpangan- penyimpangan tafsir al-Quran bisa terjadi
di dalam corak-corak tafsir itu sendiri, termasuk ialah di dalam
tafsir-tafsir teologis yang bermuara kepada keyakinan umat Islam
atas agamanya sendiri. Penyimpangan – penyimpangan tafsir al-
Quran dapat memberikan efek – efek negative kepada aqidah umat
Islam.

H. Mazhab – Mazhab dalam Tafsir Al – Qur’an

23
Madzhab tafsir merupakan tema besar yang berusaha mengkaji kritis
mengenai berbagai upaya, kelompok maupun individu, untuk
menegakkan kitab suci al-Qur’an, bagaimana setiap dari mereka
memahami dan menginterpretasikan setiap makna kata sehingga satu
kata memiliki ragam penafsiran dan pemahaman dengan berbagai
kepentingan dan tendensi yang diusungnya. Dalam buku Madzahib
Tafsir, karya Abdul Mustaqim banyak membahas tentang mazhab-
mazhab tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama
berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan
periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab
tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula
yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi
mufassiranya, sehingga muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i,
dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau
pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi,
falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi ijtimai’ dan lain sebagainya. Bahkan ada pula
yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab
tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir yang periode
mitologis, ideologis, dan ilmiah.

Dalam makalah ini, kami memaparkankan mazhab-madzhab tafsir


berdasarkan sumber (mashodir ) yaitu tafsir bi al-Riwayah  (bi al
Ma’tsur atau al-Naql), bi al-Dirayah (bi al-Aql atau al–Ra’yi)
dan tafsir bi al-Isyarah. Dan beberapa pendapat yang memetakan
madzhab tafsir dengan berbagai sudut pandang.

a. Tafsir bi al-Riwayah

Manna al-Qattan mendefinisikan: Tafsir bil riwayah(bil ma’tsur)


ialah tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang shahih
secara tertib yang sebagaimana telah diceritakan dalam syarat-
syarat mufassir, antara lain: menafsirkan Al-Quran dengan Al-

24
Quran, atau dengan sunnah karena sunnah merupakan penjelas
bagi kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat yang diterima dari
para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui kitabullah, atau
dengan riwayat-riwayat para tabi’in besar, sebab mereka telah
menerimanya dari para sahabat.Sedangkan menurut Hasbi Ash
Shiddieqy adalah “tafsir dengan ayat sendiri atau dengan hadits,
atau dengan pendapat para shahabat ”

b. Tafsir bi Ar-Ra’yi

Menurut M. Aly Ash-Shabuny: “Tafsir bi Ar-Ra’yi adalah Ijtihad


yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang
murni dan tepat, biasa diikuti dan sewajarnya diambil oleh orang
yang hendak mendalami tafsir al-Qur’an atau mendalami
pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
berdasarkan kata hati atau kehendak sendiri.”

Tafsir Bi Al-Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan kekuatan


penalaran dan unsur-unsur keilmuan yang berkembang didunia
Islam yang memang berkaitan dengan teks serta isyarat-isyarat
ilmiah yang datang dari Al-Qur’an sendiri atau dengan kata lain
seorang mufassir menafsirkan makna teks dengan menggunakan
akal / penalaraan (Rasio). Yang dimaksud dengan rasio adalah
antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh karena itu, dinamakan
dengan tafsir bi al-Dirayah, (dengan rasio) sebagai antitesis tadsir-
tafsir bir-riwayah (dengan riwayat). Al-Bhaihaqi meriwayatkan
dalam asy-Sya’ab dari Imam Malik, beliau berkata bahwa jika ada
seseorang yang tidak mengetahui ilmu bahasa arab, kemudian ia
menafsirkan kitab Allah maka datanglah ia kepadaku, niscaya akan
aku hajar dia.

c. Tafsir bi al-Isyari

25
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al Quran
berbeda dengan lahirnya lafadz atau ayat, karena isyarat-isyarat
yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi
yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau
dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan
melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al
Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang,
kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.
Sedangkan menurut Imam Ghazali yaitu usaha mentakwilkan ayat-
ayat Alquran bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan
suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir
dari ayat yang dimaksud.

I. Kitab Kitab Tafsir dan Corak Pendekatannya


Penafsiran Al Qur’an juga berkembang sesuai kecenderungan para
penafsirnya, hal ini sangat erat dengan kondisi dan situasi alam
berpikir, dan problem yang dihadapi oleh para penafsir sebagai respon
terhadap zamannya. Karena itu sejak pertumbuhan awal penafsiran
sampai dengan saat ini kita dapat menyaksikan perkembangan tafsir
sebagai berikut;
a. Tafsir bercorak Fiqhiy/Ahkam
Corak penafsiran ini diakibatkan oleh kecenderungan penafsir yang
menfokuskan penafsirannya pada ayat-ayat hukum saja, dan
cenderung bersifat tekstualis dan formalis. Misalnya;
1) Ahkam Al Qur’an, karya Abu bakar Ahmad bin ‘Ali ar-Raziy
yang dikenal dengan al-Jassas (305 H-370H) representatif dari
kelompok madhhab Hanafiy.
b. Tafsir bercorak I’tiqadiy;
Corak penafsiran ini diakibatkan oleh kecenderungan penafsir yang
menfokuskan penafsirannya pada masalah-masalah teologis, dan
cenderung bersifat rasional (ra’yu). Misalnya;

26
1) Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karya ar-Raziy (544H-
606H), representatif dari kelompok Asy’ariyah.
c. Tafsir bercorak Sufiy.
Corak penafsiran ini diakibatkan oleh kecenderungan penafsir yang
menfokuskan penafsirannya pada masalah-masalah sufistik. Ada
dua jenis corak penafsiran sufiy ini;30
1) Tafsir Sufiy Faydiy Ishariy (esoterik/ iluminatif); buah
penafsiran yang dihasilkan dari upaya spiritual seorang penafsir
yang telah mencapai tingkat kashf, berupa isharat-isharat suci yang
diekspresikan dalam memahami makna ayat-ayat Al Qur’an.
Karena itu corak penafsirannya lebih menekankan pada sisi
esoterisnya (batiniyah/ishariy), misalnya;
a) Haqaiq at-Tafsir, karya Abu Abd ar-Rahman as Sulamiy (330 H-
412H).
2) Tafsir Sufiy Nazariy (teoritis/filosofis); buah penafsiran yang
dibangun berdasarkan pada premispremis ilmiah, kemudian
digunakan untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an. Para penafsirnya
berasumsi, bahwa setiap makna dimuat oleh ayat sehingga mereka
berpendapat, bahwa tidak ada makna di luar ayat, dan cakupan
makna yang dimuat sesuai kemampuan penafsir. Corak penafsiran
ini lebih bersifat filosofis dan lebih menekankan pada sumber
penafsiran rasional (ra’yu). Corak Tafsir Sufiy Nazariy ini dirintis
oleh Ibn ‘Arabir Ibn ‘Arabiy, Futuhat al-Makkiyah.
d. Tafsir bercorak Falsafiy
Corak penafsiran ini diakibatkan oleh kecenderungan penafsir yang
mendasarkan penafsirannya pada pola pemikiran filsafat.
Penafsiran ini lebih menekankan pada sumber penafsiran rasional
(ra’yu), misalnya karya penafsiran;

30
Muhammad Husayn adh-Dhahabiy,at-Tafsir wa al-Penafsirun: Bahthun
Tafsiliyun’an Nash’ah at-Tafsir Tat}awwarahu wa Alwanihi wa
Madhahibihi (T.t.:Tnp.,1397H/1976 M), II: 339-352

27
1) Fusus al-Hikam karya al-Farabi (w.339H).
e. Tafsir bercorak Lughawiyah/Adabiy
Corak penafsiran ini diakibatkan oleh kecenderungan penafsir yang
mendasarkan penafsirannya pada sisi simantiknya. Misalnya karya
penafsiran;
1) Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, karya Abul Qasim Mahmud
bin ‘Umr bin Muhammda bin Umar alKhawarizmiy, yang terkenal
dengan azZamakhshariy (467H-538H).

28
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang abadi. Al-Qur’an
ibarat samudera tak bertepi yang menyimpan berjuta-juta mutiara
ilahi. Untuk meraihnya, semua orang harus berenang dan
menyelami samudera al-Qur’an. Tidak semua penyelam itu
memperolah apa yang diinginkannya karena keterbatasan
kemampuannya. Di sinilah letak urgensi perangkat ilmu tafsir.Ilmu
tafsir senantiasa berkembang dri masa ke masa, bahkan para pakar
telah banyak menelurkan tafsir yang sesuai dengan tuntutan zaman
demi menegaskan eksistensi al-Qur’an salih li kulli zaman wa
makan.

29
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azhîm al-Zarqanî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân,
(Beirut: Dâr al-Maktabah al-Arabiyah, 1995), vol 2

Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqon fi 'ulum al-Qur'an, (Cairo: Mathba'ah


Hijazy, tt.) Juz II

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:


LKiS, 2011), h. 41.

Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-


Qur’ân al-Karîm, 1971)

Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir

Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo:


Dâr al-Hadîtsah, 2005), juz 1.

https://alqorut.wordpress.com/2012/10/07/madzab-madzhab-tafsir/
,diakses pada 21 April 2020
http://digilib.uinsby.ac.id/32863/2/Buku%20-%20Studi%20Al-
Quran.pdf, diakses pada 21 April 2020

30

Anda mungkin juga menyukai