Anda di halaman 1dari 5

Pengertian Khawarij

Secara etimologi kata khawarij berasal dari bahasa Arab kharaja yang berarti
ke luar, muncul, timbul atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi ini
pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam. 1
Secara harfiah istilah Khawarij berarti "orang-orang yang keluar atau eksodus".
Penamaan kelompok yang dikenal radikal dan ekstrim baik dalam pemahaman
maupun tindakan keagamaannya ini tampaknya dikaitkan dengan sejarah
kemunculannya yang dipicu ketidaksepakatan mereka atas cara penyelesaian
konflik melalui tahkim antara kubu Ali dan Muawiyah karena dinilai menyelisihi
apa yang telah diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur'an. Bagi mereka, hukum
haruslah dikembalikan kepada pesan al-Qur'an dan bukannya kepada akal
manusia yang ikut berpartisipasi dalam diplomasi. Mereka meneriakkan slogan
"tidak ada hukum kecuali hukum Allah" (laa hukma illa lillah). Sikap politik ini
lantas berkembang menjadi pengkafiran terhadap para sahabat yang menerima
tahkim dan pengabsahan tindakan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap
mereka yang tidak sependapat.2
Abu Hasan al-Asy’ari menjelaskan bahwa penamaan khawarij dinisbatkan
kepada mereka yang keluar dari barisan khalifah keempat, Ali ibn Abi Thalib.
Sebab penamaan itu karena mereka ke luar dari pemerintahan Ali. Al-Syahrastani
mengatakan, bahwa penamaan khawarij mutlak dialamatkan kepada siapa saja
yang keluar dari imam yang sah yang disepakati oleh mayoritas kaum muslim,
baik pada masa sahabat (khulafāur rāsyidīn), atau pada masa tabi’in, dan masa-
masa setelahnya.3
Ibnu Hajar al-Asqalani mengartikan khawarij sebagai kelompok yang ingkar
kepada Ali dan berlepas tangan darinya, juga berlepas tangan dari Utsman dan
keluarganya, serta memerangi mereka. Jika di antara mereka ada yang secara total
mengkafirkan, maka yang demikian itu termasuk ghulat (melampaui batas).4

1
Ikrom Shaliadi, Khawarij: Arti, Asal-Usul, Firqoh-Firqoh, dan Pendapatnya, Jurnal Islamuna, Vol.
2 No. 1 Juni 2015, hlm. 17
2
Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Fenomena Pemikiran Islam, (Sidoarjo: Uruanna Books, 2015),
hlm. 10
3
Ikrom Shaliadi, Op.Cit., hlm. 18
4
Ikrom Shaliadi, Op.Cit., hlm. 18
Aliran Khawarij ini ada yang menamakannya dengan sebutan Haruriyah,
yakni dinisbatkan kepada Harura, tempat mereka pertama kali melakukan
konsolidasi dengan mengangkat Abdullah bin Wahhab al-Rasyidi sebagai imam.
Tetapi para pengikut kelompok ini lebih suka menyebut diri mereka sebagai
Shurah yang berakar dari kata yashri yang berarti menjual. Maksudnya bahwa
mereka adalah kelompok yang berani menjual atau mengorbankan dirinya kepada
Allah.5
Menurut banyak ahli sejarah, aliran ini pecah menjadi sekitar 20 sekte, tetapi
yang terkenal ada 5, yaitu: Azariqah (pengikut Nafi bin al-Azraq), Shufriyah
(pengikut Ziad bin Asfar), Baihasiyah (pengikut Abu Baihas al-Hisayam bin
Jabir), Najdat (pengikut Najdah bin Atiyah bin Amr al-Hanafi), dan Ibadiyah
(pengikut Abdullah bin Ibadah al-Murri).6
Dari definisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Khawarij adalah
sekelompok orang yang memisahkan diri dari kelompok Ali bin Abi Thalib,
setelah tahkim terjadi antara kelompok Ali dan kelompok Muawiyah pada
peperangan Shiffin.

Pemikiran Khawarij
Pada awalnya pemikiran kelompok Khawarij adalah hukum kafir bagi pelaku
yang melakukan tahkim. Namun seiring perkembangan kelompok yang menjadi
beberapa sub sekte pada masa Dinasti Bani Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah.
Mereka mengkritik pemerintahan pada waktu itu. Mereka anggap telah
menyeleweng dari Islam oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan. 7
Pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab mereka akui, keduanya tidak ada
penyelewengan dan sesuai dengan syariat Islam. Akan tetapi, pada masa
pemerintahan Ustman bin Affan terhitung pada tahun ketujuh masa
pemerintahannya terjadi menyelewengan dan berlanjut pada masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib yang mereka anggap menyeleweng, karena menyetujui tahkim.

5
Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Fenomena Pemikiran Islam, (Sidoarjo: Uruanna Books, 2015),
hlm. 12
6
Ibid
7
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 12
Diantara pemikiran pokok khawarij adalah sebagai berikut:
a) Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b) Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab.
c) Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi syarat.
d) Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil
dan menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika
melakukan kezaliman.
e) Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi
setelah tahun ketujuhdari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap
telah menyeleweng.
f) Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah terjadi arbitrase, ia di anggap
menyeleweng.
g) Mu’awiyah bin Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap
menyeleweng dan telah menjadi kafir.
h) Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir.
i) Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karenanya harus
dibunuh. Mereka menganggap bahwa seorang muslim tidak lagi muslim
(kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap
kafir, dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
j) Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.
Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar
al harb (Negara musuh), sedangkan golongan mereka di anggap berada
dalam daar al islam (Negara islam).
k) Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
l) Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan
yang jahat harus masuk kedalam neraka).
m) Amar makruf nahi mungkar.
n) Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar).
o) Al- Qur’an adalah makhluk.
p) Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.8

Metode Istinbat Khawarij


Dalam aspek fikih Khawarij berpendapat bahwa perbuatan ibadah merupakan
bagian dari iman sehingga siapapun yang berbuat dosa besar (kabair) akan
menjadi kafir. Bahkan kesalahan pemikiran atau pendapat juga masuk dalam
kategori perbuatan dosa yang dapat menyebabkan kekafiran. Karena itulah
mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah dan sahabat lainnya yang menerima
keabsahan tahkim. Pandangan-pandangan ekstrim mereka itu sebagian besarnya
didasarkan pada nash-nash yang dipahami secara tekstual.9
Dalam persoalan taharah, mereka memandang bahwa kesucian tidak cukup
hanya dengan bersihnya badan tetapi juga bersihnya lisan dari dusta dan perkataan
batil lainnya. Atas dasar ini mereka menjadikan perkataan kotor dan sejenisnya
sebagai hal-hal yang membatalkan wudhu.10
Bagi mayoritas mereka yang menjadi sumber hukum hanyalah al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, dan mereka menolak ijtihad dan juga menolak ijma’
(kesepakatan dalam masalah hukum).11
Hadits hanya mereka terima sebagai sumber hukum bilamana sifatnya
menjelaskan isi al-Qur’an. Bilamana ada Hadits yang terkesan berbeda dengan isi
al-Qur’an, maka Hadits itu ditolak karena mereka meyakini bahwa Hadits seperti
itu bukan berasal dari Rasulullah. Oleh sebab itu mereka menolak hukuman rajam
bagi seorang yang berzina padahal telah pernah menikah, karena Hadits yang
menerangkan hukuman rajam itu terkesan bertentangan dengan al-Qur’an yang
hanya mewajibkan dera 100 kali atas orang yang berzina.12
Mereka juga tidak menerima Hadits yang dipakai oleh kalangann sunny yaitu
Hadits yang menjelaskan tidak boleh berwasiat untuk ahli waris. Dalam satu
8
Rubini, Khawarij Murjiah Persepektif Ilmu kalam, Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, Vol. 7
No. 1, Juni 2018, hlm. 101-102
9
Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Fenomena Pemikiran Islam, (Sidoarjo: Uruanna Books, 2015),
hlm. 36
10
Ibid, hlm. 37
11
A. Khisni, Aliran-Aliran Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Semarang: Unissula Press, 2013), hlm.
35
12
Ibid. hlm. 36
hadits yang digunakan sebagai hujjah bahwa ''Tidak ada wasiat pada ahli waris'',
mereka justru mempertanyakan : bagaimana dengan firman Allah yang berbunyi
''Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan {tanda-
tanda} maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara ma'ruf''.13 Maka dari itu, kelompok ini menolak
hadits atau pendapat yang menyatakan bahwa ahli waris tidak boleh diberi wasiat
Golongan Khawarij tidak mau memakai hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, atau Muawiyah bin Abu Sufyan atau
sahabat lain yang condong kepada mereka. Demikian pula fatwa-fatwa dan
ijtihad-ijtihad mereka ditolak. Khawarij mengutamakan apa yang diriwayatkan
oleh ulama mereka sendiri serta fatwa-fatwanya. Dengan demikian, mereka
mempunyai aliran hukum Islam sendiri.14

13
A. Khisni, Ibid., hlm. 36
14
Rohidin, Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia, (Yogyakarta:
Lintang Rasi Aksara Books, 2016), hlm. 133

Anda mungkin juga menyukai