Anda di halaman 1dari 5

PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT

Nama/ NIM : Zuhliyah Fitriani Luthfi/ 17.26.005


Prodi/ Semester : IAT/ VI
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Haris Nasution, M.Si
Mata Kuliah : Pemikiran Tafsir Orientalis

Kajian Islam (Islamic studies)  terkait dengan semangat orang-orang Barat dalam
mengkaji Timur (orient). Kegiatan pengkajian ini telah berlangsung lama, terutama ketika Barat
bersentuhan dengan Islam di Andalusia (Spanyol). Namun kajian Islam dan ketimuran yang
kemudian dinamakan orientalisme  baru dimulai sekitar abad ke-18. Saat ini cukup banyak buku
yang mengkaji tentang proyek orientalisme, misalnya karya Edward W. Said. Ia adalah pengritik
yang gigih terhadap orientalisme. Kegigihannya dibuktikan dengan mengkaji berbagai karya
para orientalis yang hasilnya kemudian menjadi buku Orientalisme. Buku itu telah berhasil
membongkar orientalisme secara mendasar. Namun, kehadiran buku itu, kata Amien Rais suatu
kali, belumlah meruntuhkan sendi-sendi orientalisme secara keseluruhan.

Mengapa Barat tertarik mengkaji kebudayaan Timur dan Islam? Prosesnya cukup
panjang dan kompleks. Namun, paling tidak ada dua motif secara umum. Pertama adalah motif
keagamaan. Barat yang nota bene Kristen memandang Islam sejak awal kemunculannya
menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah banyak mengoreksi
agama itu. Karena itulah Barat selalu ingin bagaimana melawan ancaman Islam.

Kedua lebih kepada motif politik. Islam dalam pandangan Barat adalah peradaban yang
tersebar dan membebaskan dunia dengan begitu cepat. Tak ada kebudayaan yang dengan cepat
dapat tersebar secepat Islam. Barat yang baru bangkit dari zaman kegelapan sadar bahwa Islam
tidak sekedar istana dan militer, namun Islam memiliki khazanah dan ilmu pengetahuan yang
tinggi. Oleh karena itu Barat harus merebut khazanah itu untuk kemajuan mereka, walaupun
dengan cara apapun. Motif politik  ini kemudian berkembang ke motif perdagangan dengan jalan
kolonialisme. Selaian dua motif tersebut, mereka pun memasuki bidang kajian ilmiah. Kajian
yang dilakukan para orientalis beragam, namun tulisan ini hanya menyoroti hal yang berkaitan
dengan kajian al-Qur’an. Kajian Al-Qur’an yang mereka lakukan banyak menyisakan persoalan.
Banyak pendapat mereka yang tidak sesuai dengan pandangan para ulama, karena kebanyakan
mereka mendekati Al-Qur’an sesuai dengan kacamata mereka. Hal itu dimulai dari abad-abad
awal hingga abad kini.

Orang-orang Barat pada awal persentuhannya dengan Islam pada abad ke-12. Pada masa itu
sudah ada yang mulai menerjemahkan Al-Qur’an. Dan hasil terjemahan mereka terus
berkembang hingga zaman Renassan Barat, dan abad ke-19 dan ke-20. Kebanyakan para
penerjemah adalah pendeta dan orientalis-misionaris, sehingga banyak terjemahan Al-Qur’an
mereka yang keliru dan disengaja diselewengkan untuk kepentingan misi mereka. Oleh karena
itu, orang Islam sendirilah yang kemudian menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Barat,
Inggris di antaranya oleh Pickthall dan Abdullah Yusuf Ali yang banyak dicetak ulang.

A. Metode Bibel atas Al-Qur’an


PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT

Di samping mereka berusaha menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa


Barat mereka pun mulai mengkaji berbagai aspek Al-Qur’an. Namun para orientalis itu
dalam mengkaji Al-Qur’an menggunakan pendekatan seperti terhadap Bibel, seperti
dilakukan oleh Arthur Jeffery. Ia ingin mengedit Al-Qur’an secara kritis. Karena ia
meragukan otentisitas Al-Qur’an yang umat Islam baca saat ini. Untuk merealisasikan
gagasannya “ia mulai menghimpun berbagai variasi teks yang diperoleh dari berbagai
sumber”.   Apa yang dilakukan oleh Jeffery ditiru oleh beberapa sarjana di dunia Islam,
seperti di Indonesia.

Mereka ingin umat Islam meniru apa yang mereka lakukan yakni membuang 
tuntutan Rasulullah SAW, karena ternyata setelah mengkaji Bibel mereka  meragukan
otentisitas dan lalu mencampakkan ajaran Yesus. Mengenai otentisitas Al-Quran yang
perlu diingat, sebagaimana Arif katakan bahwa, pertama, pada prinsipnya Al-Qur’an
bukanlah “tulisan” (rasm/ writing) tetapi merupakan “bacaan” (qira’ah/ recitation) dalam
arti ucapan dan sebutan. Jadi sejak awal yang dimaksud “membaca” Al-Qur’an adalah
“membaca dari pikiran (qara’a ‘an zhahri qalbin). Hal ini berbeda dengan kitab Bibel.
Kedua, walaupun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hapalan, Al-Qur’an
juga dicatat dengan berbagai media tulisan, dan ketiga, mereka salah faham tentang rasm
dan qira’at. Perlu diketahui, bahwa tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan,
dari gundul tanpa harakat hingga sempurna seperti sekarang ini. Meskipun ditulis, namun
mereka tidak tergantung pada manuskrip atau tulisan.

Jadi orientalis seperti Jeffery menganggap bahwa teks gundul adalah penyebab
perbedaan Al-Qur’an, dengan membandingkan kitab Bibel yang mengalami banyak
perbedaan. Padahal membaca Al-Qur’an, kala  itu dari ingatan bukan dari tulisan.

B. Menyebarkan keraguan atas Al-Qur’an

Sudah mafhum bagi kaum Muslim dan para pengkaji bahwa Al-Qur’an ditulis
dalam bahasa Arab. Tulisan Arab sendiri mengalami perkembangan, mulai tanpa titik
hingga kemudian disempurnakan seperti yang kita saksikan saat ini. Perkembangan
seperti itu tidak hanya terjadi pada tulisan Arab, namun juga terjadi pada tulisan Latin
atau lainnya.

Begitupun dengan tulisan Al-Qur’an. “Salinan mushaf ‘Utsmani tidak bersyakl


dan bertitik. Cara yang demikian itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam
bacaan di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri
sesuai dengan kebiasaan dan adat istiadat masing-masing”, kata Subhi Shaleh. Namun
bagi kaum muslimin ketika itu untuk membaca mushaf ‘Utsmani tersebut tidak
membutuhkan harakat (tanda-tanda bunyi) dan tanda titik. Baru setelah mereka
bersentuhan dengan orang – orang bukan Arab banyak yang keliru membaca kata (lafadz)
Al-Quran dan huruf-hurufnya. Dan bahasa-bahasa non Arab mulai menyentuh kemurnian
dan keaslian bahasa Arab, maka pada tahun 65 H para pembesar pemerintahan Abdul
PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT

Malik mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya perubahan pada nash-nash Al-Qur’an,


jika penulisan al-Qur’an dibiarkan tanpa syakl dan titik. Oleh karena itu mulailah ada
usaha untuk menciptakan tanda-tanda tertentu agar memudahkan dalam membaca tulisan,
dimulai dari yang sederhana hingga mencapai keindahannya pada abad ke-3 H, di antara
tokohnya Abul Aswad ad-Duali. Ia dikenal karena dialah yang pertama kali yang
meletakkan kaidah tata bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib ra. Mengenai awal
tulisan Arab itulah, yang tidak ada syakl dan titik, yang dianggap oleh kebanyakan
orientalis menimbulkan variasi dalam bacaan. Dengan anggapan seperti itu maka mereka
mulai menebarkan keraguan di kalangan muslim atas otentisitas Al-Qur’an.

C. Meng-counter  tesis orientalis

Pendapat para orientalis Barat tidak dapat dibiarkan tanpa kritik. Apakah
pendapat mereka cukup kokoh menghadapi kritik dari para sarjana muslim? Siapakah
yang paling benar di antara kaum orientalis dan sarjana Muslim? Seperti yang dilakukan
oleh Muhammad Al-Bahi  dan Prof. M Mustafa A’zami . Untuk tujuan meng-counter
pendapat mereka A’zami menulis sejarah teks Al-Qur’an dan dibandingkan dengan
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia mengatakan bahwa kaum orientalis untuk
membuktikan naskah Al-Qur’an mengalami perubahan mereka mencurahkan pada aspek
naskah bahasa Arab dengan menyentuh segi-segi kelemahannya. Dan perubahan itu
terjadi dalam penyusunan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Mereka menuduh bahwa
pada periode tersebut terjadi pemalsuan teks asli.  Padahal pada periode itu selain banyak
penghapal Al-Qur’an dan mereka pun memiliki naskah tertulis. Sebenarnya anggapan
mereka tentang “naskah yang tidak lengkap” tidaklah berpengaruh terhadap keutuhan Al-
Qur’an. Berbeda dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang keasliannya
diragukan.

Jika kita perhatikan kitab PL dan PB banyak versinya. Dari banyak versi tersebut
siapakah yang dapat menjamin yang mana dari semua itu yang asli, atau semuanya telah
mengalami perubahan? Banyak sarjana meyakini bahwa kedua kitab itu telah mengalami
perubahan dengan dukungan hasil penelitian sejarah. Namun Al-Qur’an yang dibaca
kaum Muslim selama lima belas abad lalu hingga kini tidak ada yang berbeda. Hal ini
menunjukkan bahwa Al-Qur’an tetap utuh.

Namun, kaum orientalis dengan segala cara ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an
mengalami perubahan. Untuk itu gagasan mereka tuangkan dalam berbagai tulisan, dan
mereka seakan-akan ilmuwan yang menjunjung tinggi kejujuran dan obyektivitas.
Padahal sebenarnya, seperti telah banyak diteliti oleh para sarjana Muslim, kebanyakan
mereka tidak jujur dan mengada-ada. Karena itu mereka menolak pendapat yang 
diyakini kaum Muslim.

A’zami melihat  terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan kaum orientalis
sebagai alat penyerang teks Al-Qur’an, yang pertama adalah menghujat tentang
PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT

penulisan dan kompilasinya. Dengan semangat ini mereka mempertanyakan mengapa,


jika Al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab
khawatir dengan kematian para penghapal (huffaz) pada peperangan Yamamah dan
memberitahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini. Mengapa bahan-
bahan yang telah ditulis tidak disimpan oleh Nabi SAW sendiri? Mengapa pula Zaid bin
Tsabit tidak memanfaatkan bahan itu untuk menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh kaum Muslimin, penjelasan itu oleh
mereka bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.

Lalu ia mengatakan, “Mungkin karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul),


atau pengingkaran terhadap kebijakan pendidikan kaum Muslimin merupakan
permasalahan sentral yang melingkari pendirian mereka.”

Pintu gerbang kedua, yakni masuknya  serangan terhadap Al-Qur’an adalah


melalui perubahan besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan bahasa
Barat, seperti yang dilakukan oleh Schackt dalam menulis tentang hukum Islam dan
Wansbrough terhadap Al-Qur’an. Dan pintu gerbang ketiga dalam menyerang Al-Qur’an,
yakni tuduhan yang diulang-ulang terhadap Islam sebagai pemalsuan terhadap agama
Yahudi dan Kristen.Pintu gerbang terakhir adalah mereka hendak memalsukan Kitab
Suci  Al-Qur’an itu sendiri, seperti yang dilakukan Arthur Jeffery mengenai ragam
bentuk Al-Qur’an.

D. Bagaimana sikap kita?

Bagi kaum Muslim sudah jelas bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang
diwayukan Allah SWT melalui Jibril ra kepada nabi Muhammad SAW. Nabi yang ummy
dan dikenal jujur tak mungkin mengubahnya. “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya
sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.”(QS Al-Baqarah: 2).  Dan
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap
memeliharanya.” (QS Al-Hijr: 9)

Kita harus mengingat bahwa kaum orientalis perilakunya hampir sama dengan
kaum kafir Quraisy hanya saja mereka menggunakan kedok ilmiah. Padahal Arab Jahili
itu memiliki kemampuan bahasa dan sastra Arab yang tinggi tapi mereka menolak isinya,
dan tentu mereka yang kemampuan bahasa lebih payah dari itu hanya mampu
menjangkau sedikit.  Mereka dengan keras kepala menolak penjelasan para sarjana
Muslim, lalu apa tujuan mereka? Sebagaimana telah banyak diungkap mereka adalah
para ilmuwan-misionaris yang hendak memadamkan sinar Islam, dan bukan untuk
mencari kebenaran. Mereka mempelajari Islam dan bahasanya untuk mencari kelemahan
dan menanamkan keraguan di kalangan kaum Muslimin. Memang ada sebagian kecil
mereka yang obyektif dalam memandang Islam.  Untuk ‘menyentuh’ al-Qur’an perlu
kebersihan hati tanpa itu maka tidak akan mendapatkan apa-apa, demikian kata Rumi,
(SH Nasr). Wallahu a’lam.
PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT

Anda mungkin juga menyukai