Anda di halaman 1dari 5

PENDEKATAN PENELITIAN SOSIAL DAN AGAMA

Nama/ NIM : Zuhliyah Fitriani Luthfi/ 17.26.005


Prodi/ Semester : IAT/ VI
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Haris Nasution, M.Si
Mata Kuliah : Metodologi Penelitian Sosial Keagamaan

Realitas berupa fakta dan fenomena. Fakta adalah kejadian yang muncul dalam
kontak budaya di masyarakat. Fakta ada yang dapat diamati dan ada yang hanya dapat
dirasakan. Fakta adalah realitas yang benar-benar terjadinya atau ada. Fakta dapat diamati
dan mendukung hadirnya realitas. Sedangkan teralitas dapat benar-benar terjadi, akan dan
sedang terjadi. Realitas ini bersifat alamiah sehingga wujudnya pun apa adanya. Realitas
dan fakta tersebut akan memunculkan sebuah fenomena. Maka tugas penelitian adalah
mengolah fenomena tersebut agar menjadi sebuah data yang akurat.

Realitas sosial dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu : Pertama, realitas dalam
alam kodrat/alam anogranik (fisika/ilmu kealaman) dan realitas dalam alam organik/alam
hayat (biologi). Realitas dalam kedua alam ini bersifat empiris, kuantitatif, materialistik,
dan rasionalistik. Kedua, realitas dalam gejala-gejala sosial budaya (termasuk gejala
keberagaman). Ini merupakan gejala serupa organik yang bersifat abstrak dan tak teraba.
Lebih-lebih gejala sosial agama yang berkaitan dengan keyakinan terhadap yang
adikodrat (beyond life).

Semua gejala keagamaan itu tidak sekedar dilihat bentuk, frekuensi (intensitas),
pola, melainkan (yang lebih penting) adalah pemaknaannya. Oleh karena itu, realitas
sosial dalam studi-studi sosial pada galibnya lebih banyak bergumul dengan konsep-
konsep atau konstruksi sosial (social construction).

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara mendefinisikan realitas


sosial ke dalam suatu konsep, padahal realitas sosial itu bersifat kompleks dan
multidimensional. Maka seorang peneliti harus mengenali seluruh aspek yang menjadi
indikator dari realitas itu lalu melakukan imajinasi dan abstraksi yang kemudian
diformulasikan secara verbal menjadi rational construction yang disebut konsep.
Permbuatan konsep (konseptualisasi) ini sangat penting, karena perbedaan konsep akan
menghasilkan perbedaan temuan data, dan perbedaan temuan data akan mengakibatkan
perbedaan hasil analisis yang disebut kesimpulan. Persoalan berikutnya adalah siapakah
yang membuat konsep, peneliti (subjek peneliti) atau yang diteliti (subjek yang diteliti)?

Paradigma kaum strukturalis (paradigma makro) menyatakan bahwa peneliti yang


berdasarkan kepakaran atau berdasarkan teori-teori yang ada, mestinya harus mengenali,
mendefinisikan dan memformulasikan konsepnya. Realitas sosial tentang kemiskinan
misalnya, ditentukan oleh peneliti berdasarkan konsumsi kalori perhari, keadaan fisik dan
fasilitas yang dimiliki, dan sebagainya.

Adapun paradigma kaum fenomenologis/interaksionis (mikro) menyatakan bahwa


konsep yang harus dipakai untuk menyatakan secara definitif terhadap suatu objek
harulah menurut pelaku sosial sebagai realitas.
PENDEKATAN PENELITIAN SOSIAL DAN AGAMA

Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran obyektif, yaitu upaya
untuk mencari kebenaran tentang realitas. Menurut kaum strukturalis, realitas dan
obyektifitas itu ditentukan oleh peneliti berdasarkan teori yang ada. Karena itu,
kebenaran bersifat subjectivied objectives atau objektif yang subjektif menurut peneliti.
Peneliti ibarat ahli biologi yang melihat bakteri melalui mikroskop. Sebaliknya, menurut
kaum fenomenologis bahwa realitas sosial itu sesungguhnya adalah struktur kognitif
seseorang atau sejumlah orang dan berada di alam imajinasi, pikiran, perasaan, dan cita.
Hal inilah yang justru menjadi objek kajian dalam ilmu-ilmu sosial yang utama dan
pertama. Oleh karena itu, subjektivitas awam itu justru merupakan objectivied
subjectivies atau subjektif yang objektif. Dalam hal ini, peneliti ibarat murid yang belajar
dari masyarakat yang diteliti.

Pada dasarnya, penelitian sosial merupakan penelitian pada keadaan-keadaan


yang dengan nyata terdapat dalam masyarakat atau masalah-masalah kemasyarakatan.
Sementara penelitian dalam bidang agama terkadang dipahami dengan dua makna yang
berbeda, yaitu penelitian agama dengan penelitian keagamaan. Yang pertama lebih
menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya adalah tiga elemen pusat, yaitu :
ritus, mitos dan magik. Sedangkan yang kedua lebih menekankan kepada agama sebagai
sistem atau sistem keagamaan. Dengan demikian, sasaran penelitian agama adalah agama
sebagai doktrin, sedangkan sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala
sosial.

Apabila penelitian keagamaan memandang agama sebagai gejala soaial, maka


tentu saja akan sangat erat hubungannya dengan penelitian sosial yang juga meneliti
berbagai keadaan dalam masyarakat. Penelitian agama sebagai usaha akademis berarti
menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Secara metodologis, agama harus
dijadikan sebagai suatu fenomena rill, meskipun agama itu terasa abstrak. Dari sudut
pandang ini, dapat dibedakan tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi
subject metter peneliti, yaitu agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat
dibentuk oleh agama, dan sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin. Kategori
pertama bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan memahami esensi agama itu
sendiri. Penelitian atau kajian yang banyak dilakukan umumnya bercorak sejarah
intelektual dan biografi tokoh agama. Teks-teks keagamaan, tradisi dan catatan sejarah
merupakan bahan-bahan utama yang harus digali.

Kategori kedua adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama di sini
adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif. Artinya bahwa agama
merupakan awal dari terbentuknya komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh
keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan berlakunya suatu
patokan pengetahan yang sama pula.

Kategori ketiga adalah berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap


agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran, dengan
PENDEKATAN PENELITIAN SOSIAL DAN AGAMA

segala refleksi terhadap ajaran, sedangkan kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui
corak pemahaman masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.

Jika dilihat dari dua kategori terakhir ini, maka dapat dipahami bahwa penelitian
sosial dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan tak dapat dipisahkan satu sama
lain. Sebab, ketika melakukan penelitian terhadap agama, maka hampir tidak terlepas dari
penggunaan pendekatan-pendekatan atau pun kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial.
Dalam konteks ini, secara sosiologis misalnya, agama dianggap sebagai bagian dari
konstruksi realitas sosial. Dengan demikian, penelitian sosial jika dihubungkan dengan
penelitian agama semuanya dapat dikatakan merupakan paradigma penelitian yang
bersifat empiris.

Muhammad Arkoun adalah sosok yang tengah mencoba menggugat kemapanan


kajian keagamaan dan menawarkan paradigma kajian agama yang lebih bercorak empris.
Menurutnya, perlu pengembangan metode pemikiran keagamaan dengan menggunakan
pendekatan empiris-historis, dalam artian pendekatan sosiologis-antropologis terhadap
teks-teks dan naskah-naskah keagamaan pada abad lampau. Jadi, kajian agama yang
bersifat empiris memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai alat analisis.

Hal tersebut membuktikan perlunya pemahaman mendalam terhadap khazanah


intelektual keagamaan klasik dan tradisi lokal masyarakat. Dengan demikian, corak
pemikiran keagamaan yang dikembangkan tidak lepas dari masa lampaunya dan benar-
benar menyatu dengan problem kultur suatu masyarakat. Lebih dari itu, penggalian
khazanah pemikiran keagamaan dan pemanfaatan ilmu-ilmu sosial dimaksudkan untuk
menghasilkan kajian keagamaan yang mempunyai bobot otoritas yang tinggi dalam
mendorong “transformasi ummat”. Penelitian sosial dan agama semakin terlihat
hubungannya yang erat dengan melihat faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai
pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan. Sehingga ketika seorang peneliti
ingin mengetahui tingkat keberagamaan seseorang atau suatu kelompok masyarakat,
maka ia juga harus meneliti perilaku seseorang atau masyarakat tersebut. Sebab, tingkat
keberagamaan seseorang lebih banyak nampak pada perilakunya dalam bermasyarakat.
Dalam hal ini, agama dianggap sebagai bagian dari konstruksi realitas sosial. Dengan
demikian, apabila dilihat dari sisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penelitian sosial
merupakan paradigma penelitian agama yang bersifat empiris. Persamaan dan Perbedaan
Penelitian Sosial dan Penelitian Agama

Uraian terdahulu telah banyak dikemukakan bahwa objek penelitian sosial adalah
manusia dan segala sesuatu yang dipengaruhi dan mempengaruhi manusia. Oleh karena
itu, sumber data dalam penelitian bidang sosial akan selalu berhubungan dan dipengaruhi
oleh keunikan manusia. Keunikan itu berasal dari individualitas manusia sebagai
perpaduan/kesatuan unsur fisik dan psikis yang tidak sama satu sama lain. Sehingga
dalam hal ini, objek dalam penelitian sosial tentunya manusia dengan segala perilakunya
dalam kehidupannya.
PENDEKATAN PENELITIAN SOSIAL DAN AGAMA

Di satu sisi, kenyataan telah membuktikan bahwa manusia sangat membutuhkan


agama, di mana harapan untuk mendapatkan keamanan dengan menggunakan kekuatan-
kekuatan spiritual yang dianggap sebagai salah satu sumber sikap keagamaan. Karena itu,
masalah keagamaan adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan ummat
manusia sepanjang sejarahnya sebagaimana masalah sosial lainnya. Sikap keberagamaan
kini telah menjadi bagian dari kebudayaan manusia yang telah dikembangkan sedemikian
rupa, baik berupa ritus, pranata sosial, maupun perilaku dalam berbagai dimensinya.
Ilmu pengetahuan sosial dengan berbagai paradigma dan metodenya, dikembangkan
dalam rangka mengkaji perilaku manusia, termasuk dalam perilaku beragama. Karena itu,
sebuah penelitian disebut sebagai penelitian agama atau penelitian sosial didasarkan pada
objek yang dikaji, bukan karena metodologinya. Objek studilah yang akan menentukan
metode, bukan sebaliknya. Misalnya, perilaku poligami masyarakat pengusaha dikatakan
sebagai penelitian agama ketika dihubungkan dengan keberagamaannya. Tetapi
dikatakan sebagai penelitian sosial apabila dihubungkan dengan misalnya, kondisi
ekonomi atau pranata sosial. Oleh karena itu, penelitian tentang fenomena keberagamaan
oleh sebagian ahli dikatakan sebagai bagian dari penelitian sosial atau penelitian sosial
keagamaan.

Menurut Mattulada, bahwa untuk menentukan metode yang relevan dalam


mengkaji agama sebagai fenomena sosial-budaya, tidaklah sulit. Menurutnya, ilmu
pengetahuan sosial dengan cara, metode, teknik dan peralatannya masing-masing dapat
mengamati dengan cermat perilaku manusia itu hingga menemukan segala unsur yang
menjadi komponen terjadinya perilaku itu.

Sementara menurut Dhavamony, bahwa fokus penelitian agama adalah fakta


agama dan pengungkapannya. Untuk itu, dapat dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu,
meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, namun berbagai disiplin tersebut
mengkajinya dalam perspektif masing-masing sesuai dengan objek formalnya.

Metode ilmu sejarah menekankan proses terjadinya perilaku manusia dalam


masyarakat dan membaginya dalam tahap-tahap tertentu (periodesasi) secara kronologis.
Proses itu menjelaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang ikut berperan di dalamnya.
Metode sejarah yang dengan amat teliti mengamati suatu proses sosial budaya dapat
digunakan untuk memahami proses formasi sebuah agama, persebaran agama ke seluruh
perkumpulan hidup manusia. Dengan singkat, sejarah agama mengkaji proses sebuah
agama dari pertumbuhan, perkembangan dan kehancurannya.

Metode antropologi mempelajari terbentuknya pola-pola perilaku dalam tatanan


nilai yang dianut dalam kehidupan manusia; bagaimana doktrin dan simbol-simbol agama
dipahami, disosialisasikan dan diinternalisasi dalam sistem budaya setempat. Melalui
metode antropologi ini, diketahui keragaman dan keunikan pola, corak, tingkat dan
stereotype keberagamaan suatu komunitas. Style keberagamaan dalam lingkungan sekte
maupun ormas-ormas dapat dikaji dalam perspektif antropologi ini.
PENDEKATAN PENELITIAN SOSIAL DAN AGAMA

Metode sosiologi mengkaji posisi dan peranan tertentu dari seseorang atau
sekelompok orang. Posisi dan peranan-peranan itu menyatakan diri dalam kehidupan
bersama, sehingga kehidupan sosial dapat terselenggara melalui hubungan-hubungan
fungsional dalam masyarakat, yang bersumber dari kedudukan dan peranannya dalam
kehidupan ummat beragama. Dengan beberapa paradigma, teori dan metode, dengan
cermat sosiologi mengkaji perilaku beragama individu dan kelompok, hubungan antar
kelompok, dan hubungan antar masyarakat (agama).

Metode psikologi agama mengkaji perilaku beragama dan pengalaman beragama


dalam hubungannya dengan kondisi kejiwaan seseorang; bagaimana hubungan agama
dengan kondisi kejiwaan seseorang dalam berbagai peristiwa, seperti kematian, tertimpa
bencana dan sebagainya. Fenomena keagamaan seperti pelaksanaan ritus-ritus maupun
upacara-upacara keselamatan akan dapat dicermati dengan teliti melalui psikologi agama.

Setelah memperhatikan metode-metode tersebut, semuanya dapat digunakan


dalam penelitian agama. Dari sini dapat dipahami bahwa metodologi penelitian sosial dan
agama memiliki persamaan dan perbedaan. Karena itu, sebagaimana telah dikemukakan
di awal tadi bahwa sebuah penelitian disebut penelitian agama bukan karena metodenya,
melainkan karena objek kajiannya. Dengan demikian, letak persamaan dan perbedaan
antara penelitian agama dan penelitian sosial terdapat pada objeknya.

Dalam hal ini, objek penelitian agama terdiri dari dua kelompok: pertama, agama
sebagai norma yang lebih dominan watak teologisnya, kedua, agama sebagai fenomena
sosial yang bersifat historis. Dengan objek tersebut, berarti penelitian agama memiliki
dua pendekatan, yaitu normativitas dan historitas.

Anda mungkin juga menyukai