Anda di halaman 1dari 15

DESAIN PENELITIAN HUKUM ISLAM

DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGI

MAKALAH
DIAJUKAN GUNA MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM

OLEH:
MUGHNIATUL ILMA
1420310074

DOSEN PENGAMPU:
DR. ALIM ROSWANTORO, M.AG.

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA


PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
DESAIN PENELITIAN HUKUM ISLAM
DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGI

A. Pendahuluan
Kajian terhadap bidang keilmuan tidak dapat meninggalkan Pendekatan serta
Metodologi, kedua hal tersebut acapkali disebut lebih penting dari materi keilmuan itu sendiri.
Sehingga tidak berlebihan jika Atho Mudzhar menyatakan bahwa Pendekatan dan Metodologi
sangat penting untuk mengetahui derajat keilmuan yang dihasilkan dari sebuah studi tanpa
terkecuali dalam studi Islam. 1 Mempelajari bagaimana Islam semestinya dikaji merupakan hal
yang penting agar pemahamaan tentang Islam tidak berhenti pada aspek normatif-dogmatif,
tetapi juga bagaimana ajaran-ajaran normatif dalam Islam dapat hidup di tengah-tengah
kehidupan masyarakat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat atau biasa disebut sebagai
kajian Islam sosiologis.
Melihat dari pentingnya kajian Islam Sosiologis, dalam tulisan ini ingin menjawab
tentang bagaimana Islam sebagai agama dapat dikaji dengan perangkat ilmu sosial, serta
bagaimana bentuk-bentuk studi Islam dengan pendekatan sosiologi dan bagaimana fungsi teori
dalam penelitian sosial. Guna menjawab semua pertanyaan tersebut, terlebih dahulu dijelaskan
pengertian sosiologi sebagai ilmu, serta menjelaskan agama sebagai budaya dan gejala sosial,
bentuk-bentuk studi Islam maupun hukum Islam dengan pendekatan sekaligus teori yang dapat
digunakan.

B. Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan

Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan pertama
kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan Auguste
Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya
sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.

Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki


kepentingan bersama dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat,
perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok
yang dibangunnya sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan masyarakat

1
M. Amin Abdullah dkk, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), hlm
173.

2
yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis oleh
orang lain atau umum.

 Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh


ilmuwan Perancis, bernama August Comte tahun pada tahun 1842. Sosiologi sebagai
ilmu yang mempelajari tentang masyarakat lahir di Eropa karena ilmuwan Eropa pada
abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan
sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan
ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia. Comte membedakan
antara sosiologi statis, dimana perhatian dipusatkan pada hukum-hukum statis yang
menjadi dasar adanya masyarakat dan sosiologi dinamis dimana perhatian dipusatkan
tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tersebut
disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di
bidang sosiologi. Mereka antara lain Herber Spencer, Karl Marx, Emile
Durkheim, Ferdinand Tonnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin
(semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam
pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.2

C. Agama Sebagai Gejala Budaya dan Gejala Sosial

Bidang ilmu terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni ilmu alam (natural
science), ilmu sosial (social science), dan ilmu budaya (humanical science).3 Pada
awalnya ilmu hanya ada dua, yaitu : ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman,
seperti fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-
hukum alam, mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam yang dilakukan
dengan menengarai keterulangan suatu gejala alam. Oleh karena itu suatu penemuan
yang dihasilkan pada suatu waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat dites
kembali oleh peneliti lain, pada waktu lain, dengan memperhatikan gejala eksak. Contoh:
air mengalir dari atas ke bawah. Sebaliknya ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang
tetapi unik. Contoh: batu nisan seorang raja atau arsitektur istananya.4

2
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, akses 5 Desember 2014 pukul 23.03 WIB.

3
Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi (Malang: UIN Maulana
Malik Ibrahim, 2009), hlm., 15.

4
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, cet. VIII (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 12. Baca juga Asmawi, Studi Hukum Islam Dari Tekstualis-Rasionalis Sampai Rekonsiliatif,
cet. I (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 192. Baca juga M. Amin Abdullah, dkk, Antologi studi Islam: Teori dan
Metodologi, cet. I (Yogyakarta: SUKA Press, 2000), hlm. 240. Baca juga M. Amin Abdullah dkk, Rekonstruksi

3
Di antara kedua ilmu tersebut muncul ilmu sosial yang memiliki karateristik
sebagimana ilmu budaya, namun bersamaan dengan itu juga mencoba menyamakan
posisi seperti ilmu alam dengan mencoba memahami keterulangan gejala sosial.
Berangkat dari hal tersebut, lahirlah aliran kuantitatif dalam ilmu sosial yang mencoba
mengukur gejala-gejala sosial secara lebih cermat dan baku menggunakan statistik, aliran
ini kemudian dikenal dengan aliran positivis.5 Di sisi lain muncul juga aliran kualitatif
yang mengkategorikan ilmu sosial lebih dekat dengan ilmu budaya karena memiliki
keunikan, pada tataran ini dikenal sebagai aliran strukturalis.6
Adapun posisi studi-studi agama tidak terkecuali studi Islam, jika dilihat dari
karateristiknya, agama bukanlah gejala ilmu kealaman yang memiliki sifat keterulangan
seperti halnya air yang selalu mengalir ke bawah. Definisi agama sebagai kepercayaan
akan adanya Yang Maha Kuasa menempatkan agama sebagai sebuah gejala budaya.
Sedangkan interaksi antara pemeluk agama atau antara pemeluk suatu agama dengan
yang lain adalah gejala sosial. Dengan demikian agama dapat dilihat sebagai gejala
budaya dan gejala sosial.7 Sehingga agama dapat didekati secara kuantitatif dan kualitatif
sekaligus, atau salah satunya tergantung agama yang sedang diteliti itu dilihat sebagai
gejala apa.8
Dalam hal ini, menurut Atho Mudzhar, setidaknya ada lima gejala yang perlu
diperhatikan, antara lain:
1. Scripture berupa naskah-naskah sumber ajaran dan simbol-simbol agama.
2. Para penganut, pemimpin, dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para pemeluknya.
3. Ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti shalat, puasa, haji,
perkawinan dan waris.
4. Alat-alat, seperti masjid, lonceng, peci, atau semacamnya.
Metodologi..., hlm 174.

Aliran positivis berasumsi bahwa memahami masyarakat haruslah dengan mengamati apa yang dilihat
5

(abservable), dapat diukur (measurable) dan dapat dibuktikan (veriviable) sebagaimana halnya dalam ilmu
pengetahuan alam. Lihat Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi..., hlm. 44.

6
Aliran struktualis berasumsi bahwa tingkah laku sosial pada dasarnya selalu mengacu kepada aturan-aturan
tingkah laku (ruler of behavior) yang berdasar atas pola ideal yang bersumber dari nilai, sehingga kunci
memahami masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat itu. Lihat Atho’ Mudzhar, Pendekatan
Studi..., hlm. 44.
7
M. Amin Abdullah, dkk, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000), hlm. 29.

8
Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi..., hlm. 13.

4
5. Organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyyah, Gereja Protestan, Syi’ah dan
lain-lain.
D. Bentuk-Bentuk Studi Islam dengan Pendekatan Sosiologi

Studi Islam dengan pendekatan sosiologi merupakan bagian dari studi sosiologi
agama. Setidaknya sosiologi agama dapat dibedakan menjadi dua yakni sosiologi agama
klasik dan modern yang keduanya memiliki perbedaan dalam tema pusatnya. Sosiologi
agama klasik, tema pusatnya adalah hubungan timbal balik antara agama dan
masyarakat, bagaimana agama mempengaruhi masyarakat dan masyarakat
mempengaruhi pemikiran serta pemahaman agama. Sedangkan inti kajian sosiologi
agama modern hanya terletak pada satu arah, yakni bagaimana agama mempengaruhi
masyarakat. Dalam hal ini, studi Islam dengan pendekatan sosiologi lebih dekat dengan
konsep sosiologi agama klasik, berupa kajian hubungan timbal balik antar agama dengan
masyarakat.9
Setidaknya ada lima tema dalam studi Islam yang dapat menggunakan
pendekatan sosiologi, di antaranya:
1. Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat.Studi Islam dalam
bentuk ini mencoba memahami seberapa jauh pola-pola budaya masyarakat (seperti
menilai sesuatu itu baik atau buruk) berlandaskan pada nilai-nilai agama, atau
seberapa jauh struktur masyarakat (seperti supremasi kaum lelaki) berpangkal pada
ajaran tertentu suatu agama, atau seberapa jauh perilaku masyarakat (seperti pola
konsumsi atau berpakaian masyarakat) berpangkal pada ajaran tertentu dalam suatu
agama.
2. Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman
ajaran agama atau konsep keagamaan, seperti letak geografis antara Basrah dan Mesir
melahirkan qaul qadim dan qaul jadid oleh Imam Syafi’I atau bagaimana fatwa yang
dilahirkan oleh ulama yang dekat dengan penguasa tentu berbeda dengan ulama
independen yang tidak dekat dengan penguasa hal tersebut terjadi karena ada
perbedaan struktur sosial.
3. Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat. Studi ini dapat digunakan
untuk mengevaluasi pola penyebaran agama dan seberapa jauh ajaran agama itu
diamalkan oleh masyarakat. Studi evaluasi tersebut juga dapat diterapkan untuk
9
Atho’ Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi dalam M. Amin Abdullah, dkk,
Rekonstruksi..., hlm 175-176.

5
mengujicoba dan mengukur efektifitas suatu program. Misalnya seberapa besar
dampak penerapan UU No. 1 Tahun 1974 dalam mengurangi angka perceraian
4. Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim. Studi ini misalnya mempelajari pola-
pola perilaku masyarakat muslim desa dan kota, perilaku toleransi beragama
masyarakat muslim terdidik dan kurang terdidik dan seterusnya.
5. Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan
atau menunjang kehidupan beragama, seperti studi tentang gerakan-gerakan kelompok
Islam yang mendukung faham kolonialisme, sekulerisme, komunisme dan atheisme
yang merupakan contoh gerakan yang mengancam kehidupan beragama. Demikian
pula munculnya kelompok-kelompok masyarakat Islam yang mendukung
spiritualisme, sufisme dan lain-lain yang menunjang kehidupan beragama.
E. Bentuk-Bentuk Studi Hukum Islam
Seperti halnya studi Islam, studi hukum Islam dapat dipandang sebagai gejala
budaya ketika kajiannya difokuskan pada filsafat dan aturan hukum Islam, begitu pula
dapat dipandang sebagai gejala sosial apabila kajiannya difokuskan pada interaksi orang-
orang Islam dengan sesamanya atau dengan masyarakat non muslim di sekitar persoalan
hukum Islam.10
Studi hukum Islam dibedakan menjadi tiga, yakni:
1. Penelitian hukum Islam sebagai doktrin azaz. Fokus utamanya adalah dasar-dasar
konseptual hukum Islam seperti konsep hukum, sumber hukum, maqashid asy-
syari’ah dan seterusnya.
2. Penelitian hukum Islam normatif. Fokus utamanya adalah hukum islam sebagai aturan
atau norma, baik yang masih berupa nash atau pun produk pemikiran. Contoh ayat-
ayat ahkam dan hadits ahkam yang masih berupa nash, sedangkan produk pemikiran
seperti kitab-kitab fikih, yurisprudensi, undang-undang dan seterusnya.
3. Penelitian hukum sebagai gejala sosial. Fokus utamanya adalah perilaku hukum
masyarakat muslim dan masalah-masalah interaksi antar sesama manusia, baik antar
sesama muslim maupun antar muslim dan non muslim di sekitar masalah-masalah
hukum Islam. Penelitian ini mencakup:
 politik perumusan dan penerapan hukum,
 perilaku penegak hukum,
 perilaku pemikir hukum seperti mujtahid, fuqaha, mufti dan anggota badan
legislatif,
10
M. Amin Abdullah, dkk, Mencari Islam..., hlm. 33-34.

6
 masalah-masalah administrasi dan organisasi hukum seperti pengadilan,
 perhimpunan penegak dan pemikir hukum seperti perhimpunan hakim agama,
 perhimpunan atau kelompok studi atau peminat hukum Islam,
 lajnah-lajnah fatwa dari organisasi keagamaan,
 lembaga penerbitan atau pendidikan yang mengkhususkan diri atau mendorong
studi-studi hukum Islam,
 evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum agama,
 pengaruh hukum terhadap perkembangan masyarakat dan sebaliknya,
 sejarah perkembangan hukum,
 sejarah administrasi hukum,
 masalah-masalah kesadaran dan sikap hukum masyarakat.
Studi hukum Islam sebagai doktrin azaz dan studi hukum Islam normatif dapat
digabungkan dan disebut studi hukum Islam doktrinal. Sedangkan bentuk studi hukum
Islam sebagai gejala sosial dapat disebut sebagai studi hukum Islam sosiologis. Dua
bentuk studi yang pertama melihat hukum Islam sebagai gejala budaya, dan bentuk studi
yang ketiga memandang hukum Islam sebagai gejala sosial.
Pendekatan sosiologi dalam studi hukum Islam memiliki beberapa tema, antara
lain:
1. Pengaruh hukum Islam terhadap masyarakat dan perubahan masyarakat
2. Pengaruh perubahan dan perkembangan masyarakat terhadap pemikiran hukum Islam.
3. Tingkat pengamalan hukum agama masyarakat.
4. Pola interaksi masyarakat di seputar hukum Islam.
5. Gerakan atau organisasi kemasyarakatan yang mendukung atau kurang mendukung
hukum Islam.11
F. Teori dalam Pendekatan Sosiologi
Para ahli ilmu sosial mengungkapkan beberapa pendapat tentang penggunaan
teori dalam penelitian sosial. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa teori tidak
diperlukan dalam suatu penelitian. Sebagian ahli ilmu sosial yang berpendapat demikian
adalah Barney G. Glaser dan Anselm Strauss. Terkait hipotesis mereka tidak menolak
secara mutlak, hanya saja hipotesis menurut mereka dibangun atas dasar data yang
diperoleh setelah mengadakan penelitian lapangan, bukan hipotesis yang dirumuskan di
belakang meja sebelum penelitian dilakukan. Literatur tentang teori hanya berfungsi

11
Ibid., hlm. 36

7
mempertajam kepekaan peneliti dalam melihat data. Bagi Glaser dan Anselm dalam
perjalanan penelitian beberapa hipotesis akan tereliminasi, sedangkan hipotesis yang
masih tetap tegak yang ditopang oleh data akhir di lapangan itulah yang akan menjadi
hasil penelitian sekaligus teori hasil penelitian. Teori semacam ini dikenal dengan nama
grounded theory dan proses penelitian semacam ini dinamakan grounded research.12
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa teori merupakan pelengkap ilmu,
sebagaimana pendapat Prof. Goode dan Hatt. Ketiga, pendapat yang memiliki pandangan
yang lebih mengikat tentang teori. Bagi golongan ini, teori dapat dijadikan titik tolak
penelitian untuk membatasi konsep-konsep, bahkan mengarahkan data apa yang perlu
dikumpulkan.13
Terlepas dari perbedaan pendapat terkait fungsi teori dalam penelitian sosial
tersebut, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan dalam penelitian dengan
pendekatan sosiologi. Minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam pendekatan
sosiologi ini, yakni teori fungsional, teori interaksional, dan teori konflik.
1. Teori fungsional, mengasumsikan bahwa masyarakat terbentuk atas kelompok-
kelompok atau bagian-bagian tertentu yang masing-masing bagian memiliki fungsi
yang berbeda dengan yang lain. Hal yang menjadi kajian penelitian agama dengan
pendekatan sosiologi dengan teori ini adalah dengan melihat atau meneliti fenomena
masyarakat dari sisi fungsinya. Teori ini berhubungan dengan teori peran, yakni teori
tentang tindakan yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan di
masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa apabila seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya, maka orang tersebut menjalankan perannya.14
Langkah-langkah menggunakan teori fungsional ini sebagai berikut:
a. Membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik
b. Mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi obyek penelitian
c. Mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.
12
Metode grounded research adalah metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori
melalui data yang diperoleh secara sistematik dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan. Dari
definisi tersebut ada tiga hal pokok yang menjadi ciri grounded research, yaitu: (a) Adanya tujuan menemukan
atau merumuskan teori; (b) Adanya data sistematik; (c) Digunakan analisis komparatif konsistan. Lihat Atho’
Mudzhar, Pendekatan Studi..., hlm. 47.

13
Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi..., hlm. 46.

14
Khoiruddin Nasution, Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan Kemungkinan Pendekatannya
dalam M. Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: Panitia Dies IAIN
ke-50 tahun 2001 dengan Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 137-138. Baca juga Khoiruddin Nasution,
Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2007), hlm. 160.

8
2. Teori interaksionisme, mengasumsikan bahwa dalam masyarakat pasti ada hubungan
antara masyarakat dengan individu, antara individu satu dengan individu yang lain.
3. Teori konflik, yaitu teori yang memiliki kepercayaan bahwa setiap masyarakat
mempunyai kepentingan (interest) dan kekuasaan (power), yang merupakan pusat dari
segala hubungan sosial. Setiap nilai dan gagasan-gagasan selalu dipergunakan sebagai
senjata untuk melegitimasi kekuasaan.15
Selain tiga teori di atas, digunakan pula teori-teori perubahan sosial untuk
melakukan penelitian dengan pendekatan sosiologi seperti teori evolusi, teori
fungsionalis struktural, teori modernisasi, teori sumber daya manusia, teori
ketergantungan, dan teori pembebasan.
Salah satu tokoh dalam dunia Islam yang terkenal dalam bidang sosiologi ini
adalah Ibnu Khaldun. Beliau telah menghimpun pemikiran sosiologinya dalam karya
monumentalnya Muqaddimah. Adapun teori yang dikemukakan Ibnu Khaldun dikenal
sebagai teori disintegrasi (ancaman perpecahan suatu masyarakat/bangsa). Teori tersebut
dicetuskan karena Ibn Khaldun melihat secara faktual ancaman disintegrasi akan
membayangi dan mengintai umat manusia bila mengabaikan dimensi stabilitas sosial dan
politik dalam masyarakatnya. Setidaknya, berkat dialah dasar-dasar ilmu sosiologi politik
dan filsafat dibangun. Tidak heran jika warisannya itu banyak diterjemahkan ke berbagai
bahasa, termasuk bahasa Indonesia.16

G. Contoh Riset Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi


Salah satu riset/penelitian hukum Islam dengan pendekatan sosiologi ialah
disertasi M. Atho Mudzhar yang berjudul Fatwas of The Council of Indonesian Ulama’:
A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988. Dalam disertasinya, beliau
meneliti tentang fatwa-fatwa MUI pada tahun 1975 hingga 1988 yang berjumlah 22
fatwa. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa 22 fatwa tersebut dapat dibagi menjadi
tiga tipologi berdasarkan pengaruh sosial politik dalam pembentukannya. Pertama,
tipologi fatwa dengan pengaruh sosial politik terkuat, antara lain: (1). Fatwa tentang
Jedah dan bandara udara Raja ‘Abd al-‘Aziz sebagai tempat miqat (2). Fatwa tentang
penjatuhan talak tiga sekaligus (3). Fatwa penyembelihan hewan dengan mesin (4).
Fatwa tentang pembudidayaan dan memakan daging kodok (5). Fatwa tentang keluarga
berencana KB secara umum (6). Fatwa tentang keabsahan penggunaan IUD (7). Fatwa

15
Ibid., hlm. 138.

16
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, pentj. Ahmadie Thoha, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).

9
tentang gerakan Syi’ah di Indonesia (8). Fatwa tentang hukum makan daging kelinci.
Kedua, tipologi fatwa dengan pengaruh sosial politik paling kecil bahkan berlawanan,
antara lain: (1). Fatwa tentang haramnya pengguguran kandungan (2). Fatwa tentang
larangan melakukan vasektomi dan tubektomi (3). Fatwa tentang larangan kehadiran
kaum muslimin pada perayaan natal. Ketiga, tipologi fatwa yang netral, antara lain: (1).
Fatwa tentang shalat jum’at bagi orang-orang dalam perjalanan (2). Fatwa tentang
perkawinan antaragama (3). Fatwa tentang pengangkatan anak (4). Fatwa tentang
penjualan tanah warisan (5). Fatwa tentang film The Message (6). Fatwa tentang film
Adam and Eve (7). Fatwa tentang penyisipan ayat al-Qur’an dalam lagu pop (8). Fatwa
tentang sumbangan kornea mata (9). Fatwa tentang pencakokan katup jantung (10).
Fatwa tentang kegiatan Ahmadiyah Qadiyani (11). Fatwa tentang gerakan Inkar as-
Sunnah.17
Untuk membantu pemahaman terhadap riset hukum Islam dengan pendekatan
sosiologi, akan dipaparkan mengenai salah satu fatwa dengan pengaruh sosial politik
yang kuat yakni Fatwa MUI tentang Keluarga Berencana.
Tinjauan Sosiologis terhadap Fatwa MUI tentang Keluarga Berencana
Fatwa MUI tentang Keluarga Berencana dikeluarkan oleh Muktamar Nasional
Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan yang diadakan di Jakarta
pada tanggal 17 hingga 20 Oktober 1983. Pernyataan Muktamar tentang Keluarga
Berencana ini merupakan bagian dari agenda mengenai masalah kependudukan pada
umumnya, kesehatan dan lingkungan. Muktamar tersebut dihadiri oleh 50 orang ulama
dan 4 orang dokter kesehatan. Pokok-pokok isi fatwa tersebut adalah:
1. Islam membenarkan pelaksanaan keluarga berencana yang ditujukan demi kesehatan
ibu dan anak, dan demi kepentingan pendidikan anak. Pelaksanaannya harus
dilakukan atas dasar sukarela, dan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dilarang
oleh Islam.
2. Pengguguran kandungan dalam bentuk apa pun dan pada tingkat kehamilan kapan pun
diharamkan oleh Islam karena perbuatan itu tergolong pembunuhan. Ini termasuk
pengaturan waktu haid dengan menggunakan pil. Pengecualian hanya diberikan
apabila pengguguran dilakukan demi menolong jiwa si ibu.

17
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di
Indonesia 1975-1988, Pentj. Soedarso, edisi dwibahasa, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 143-144.

10
3. Vasektomi dan tubektomi dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat,
seperti untuk mencegah menjalarnya penyakit menular atau untuk menolong jiwa
orang yang hendak menjalani vasektomi atau tubek-tomi.
4. Penggunaan IUD (Intra Uterine Devices) dalam keluarga berencana dibenarkan,
asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita atau, dalam keadaan tertentu,
oleh dokter lelaki dengan dihadiri oleh kaum wanita lain atau si suami pasien.
Bila melihat pokok-pokok isi fatwa di atas, butir pertama dan butir kedua
merupakan hal yang sama sekali baru dan belum pernah difatwakan sebelumnya.
Sedangkan butir ketiga merupakan fatwa yang sudah pernah dikeluarkan MUI pada
tanggal 13 Juli 1979. Adapun butir keempat mengenai diizinkannya penggunaan IUD
merupakan penarikan/pembatalan bagi fatwa yang pernah dikeluarkan sebelumnya pada
tahun 1971 oleh 11 ulama Indonesia yang menyatakan pelarangan penggunaan IUD.
Adapun dalil-dalil yang digunakan dalam fatwa tersebut hanya berasal dari al-
Qur’an dan hadits, tanpa mengutip naskah-naskah fiqh atau karya-karya lainnya.
Mengenai diperbolehkannya penggunaan alat kontrasepsi, dianalogikan dari perbuatan
senggama terputus (‘azl) yang pernah dilakukan oleh orang-orang pada masa Nabi, dan
izin menggunakan IUD ini dianggap sebagai kelanjutan modern dari senggama terputus
yang masih tradisional.
Ibrahim Hosein selaku ketua komisi fatwa kala itu mengungkapkan bahwa fatwa
tahun 1983 tersebut bukanlah pembatalan atas fatwa 1971 tentang pelarangan
penggunaan IUD, melainkan pembetulan dasar dalil-dalil yang digunakan dalam fatwa
tersebut. Fatwa tahun 1971 melarang penggunaan IUD disebabkan karena
pemasangannya harus melihat bagian pribadi wanita (aurat). Pengharaman melihat aurat
wanita itu bukan karena dzatnya melainkan karena lisadd al-dzarāi’ yakni pencegahan
terhadap pelanggaran yang selanjutnya, yaitu zina. Pengharaman lisadd al-dzarāi’ ini
diperbolehkan apabila ada keperluan (mā hurrima lisyadz al-dzarāi’ ubīha lil hājah).
Hosein mengatakan bahwa dalam soal penggunaan IUD untuk keluarga berencana di
Indonesia ini keperluannya sudah sangat jelas. Tekanan pertambahan jumlah penduduk di
Indonesia adalah demikian besarnya, sehingga keluarga berencana adalah satu-satunya
jalan yang praktis untuk tekanan itu, dan IUD oleh para ahli dianggap salah satu alat
kontrasepsi yang paling efektif dan yang paling murah. Berdasarkan keperluan inilah
maka fatwa tahun 1983 mengenai Keluarga Berencana dikeluarkan, sehingga larangan
penggunaan IUD oleh fatwa 1971 dibatalkan.

11
Sudah jelas bahwa MUI telah bertindak sangat teliti mengenai dalil-dalil untuk
fatwa tahun 1983 dan merespon akan hebatnya tekanan (pertumbuhan) kependudukan.
Namun di balik itu, ada faktor lain yang mempengaruhi pembentukan fatwa tahun 1983
ini terkait berbagai tindakan pengendalian pertumbuhan penduduk yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia sepanjang sejarahnya.
Indonesia memiliki lebih dari 3000 pulau yang berpenduduk, namun saat itu,
hanya 5 buah yang tergolong besar: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.
Dari pulau-pulau besar tersebut, Jawa adalah yang berpenduduk paling banyak yang
didiami 65% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia, sedangkan besar pulaunya hanya
7% dari seluruh wilayah daratan di Indonesia. Jumlah penduduk Jawa juga bertambah
sangat cepat. Pada tahun 1815 jumlah penduduk Jawa 4,5 juta, naik menjadi 28,5 juta
pada tahun 1900, 41,7 juta pada tahun 1930, 63 juta pada tahun 1961, 77 juta pada tahun
1971, 95 juta pada tahun 1980, dan 104 juta pada tahun 1988.18
Untuk mengimbangi ledakan populasi penduduk di Jawa, pemerintah Hindia
Belanda mencanangkan kolonisasi dengan memindahkan sebagian penduduk ke pulau-
pulau lain. Namun hal tersebut tidak berarti akibat jumlah penduduk yang dipindahkan
tidak sebanding dengan pertambahan penduduk. Sesudah kemerdekaan, pemerintah RI
menjalankan program transmigrasi dengan biaya sepenuhnya dari pemerintah. Namun
lagi-lagi pemerintah merasakan bahwa program transmigrasi ini tidak sepenuhnya dapat
menyaingi pertambahan jumlah penduduk di Jawa dikarenakan tingginya pertumbuhan
penduduk di Jawa tiap tahunnya dan besarnya jumlah kedatangan penduduk dari Luar
Jawa karena kuatnya daya tarik dalam bidang pendidikan dan perekonomian di Pulau
Jawa.
Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan di samping menggiatkan
transmigrasi, yakni dengan mengadakan program Keluarga Berencana. Pada masa
Soeharto dibentuklah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang bertanggung
jawab langsung kepada presiden.
Semua pelayanan program Keluarga Berencana tidak dipungut biaya karena
pemerintah menginginkan sebanyak-banyaknya keluarga yang mengikuti program
tersebut. Pada mulanya program tersebut hanya dijalankan di Pulau Jawa, kemudian
diperluas juga ke pulau-pulau lain. Empat alat kontrasepsi disediakan oleh pemerintah
yakni pil, IUD, kondom dan injeksi. Pengikut program ini pun bertambah setiap
tahunnya dan alat kontrasepsi yang paling banyak dipilih adalah IUD. Sehingga, ketika
18
Ibid., hlm. 129.

12
11 ulama mengeluarkan fatwa dilarangnya penggunaan IUD pada tahun 1971, menjadi
pukulan berat bagi pemerintah kala itu. Pengguna IUD pasca pelarangan itu menjadi
berkurang. Sehingga pemerintah berusaha keras mendesak para ulama agar
menghalalkan penggunaan IUD. Tatkala pada tahun 1983, MUI mengeluarkan fatwa
yang menarik kembali larangan penggunaan IUD, pemerintah merasa puas dalam
menyambut fatwa tersebut. Pengguna IUD meningkat kembali. Pengaruh luas fatwa
tersebut semakin terasa. Namun, kenaikan jumlah IUD bukan semata karena adanya
fatwa MUI saja, kenaikan ini juga bersamaan dengan bertambahnya pengikut program
Keluarga Berencana. Bagaimanapun, fatwa itu telah memberi kepercayaan kepada
pemerintah untuk melanjutkan menggalakkkan program Keluarga Berencana lebih giat.
Dapat dikatakan, bahwa peran fatwa MUI sangat penting artinya bagi keberhasilan
program Keluarga Berencana di Indonesia.19
Demikianlah proses panjang hingga terbentuknya Fatwa MUI tahun 1983 tentang
Keluarga Berencana yang membatalkan salah satu fatwa sebelumnya yakni fatwa tahun
1971 tentang larangan penggunaan IUD. Setidaknya ada beberapa faktor sosial yang
dapat dilihat dari pembentukan fatwa tahun 1983 tersebut. Pertama, faktor sosial politik.
Hal ini jelas sangat terlihat manakala pemerintah mendesak MUI untuk membatalkan
fatwanya mengenai larangan penggunaan IUD. Larangan tersebut berdampak pada
program Keluarga Berencana yang sedang dicanangkan oleh pemerintah kala itu akibat
pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Di sisi lain IUD merupakan alat
kontrasepsi paling banyak diminati sehingga fatwa ini secara tidak langsung dapat
mengurangi jumlah pengikut program KB akibat larangan penggunaan IUD.
Kedua, adanya faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya. Tekanan
pertambahan penduduk yang dihadapi saat itu membuat MUI beranjak kepada
pembolehan penggunaan IUD dan program Keluarga Berencana. Hal tersebut merupakan
satu-satunya jalan yang praktis yang dapat ditempuh karena IUD terbukti merupakan alat
kontrasepsi yang memiliki tingkat efektifitas paling tinggi di antara alat kontrasepsi yang
lain dan yang paling murah sehingga banyak dipilih oleh para akseptor KB. Demikianlah
perkembangan pemikiran hukum Islam termasuk fatwa MUI yang senantiasa
dipengaruhi oleh kehidupan sosial politik yang mengitarinya dan di sinilah pentingnya
dilakukan pendekatan sosiologis dalam studi hukum Islam.

19
Ibid., hlm. 130.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, dkk, Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, cet. I, Yogyakarta:
SUKA Press, 2000.
--------, Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2000.
--------, Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA Press, 2003.

14
--------, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural, Yogyakarta: Panitia Dies IAIN ke-
50 tahun 2001 dengan Kurnia Kalam Semesta, 2002.
Asmawi, Studi Hukum Islam Dari Tekstualis-Rasionalis Sampai Rekonsiliatif, cet. I,
Yogyakarta: Teras, 2012.
Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, pentj. Ahmadie Thoha, cet. II, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000.
Mudzhar, M. Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Pentj. Soedarso, edisi dwibahasa, Jakarta:
INIS, 1993.
--------, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, cet. VIII, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2007.
Suprayogo, Imam, Paradigma Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi, Malang: UIN
Maulana Malik Ibrahim, 2009.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, akses 5 Desember 2014 pukul 23.03 WIB.

15

Anda mungkin juga menyukai