Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

PRINSIP METODOLOGI: AUGUSTE COMTE,


KARI R.POPPER, THOMAS S. KUHN

Dosen Pengampu:
Drs.H Muhmmad Huzain,S.Fil.l,M.Si.
Disusun Oleh:
Kelompok 8
Nurul Huda( 410722007)

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUD GAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SORONG
TAHUN AKDEMIK 2023/2024
BAB I
PEMBAHASAN

A. Aguste Comte

1. Biografi Aguste Comte


Auguste Comte lahir di Montpellier, Prancis, pada 17 Januari 1798.Memiliki
nama asli Isidore Marie Auguste Comte, ia berasal dari keluarga bangsawan Katholik.
Ia menempuh pendidikan di Ecole Polytechniquedan mengambil jurusan
berpengalaman memberi les matematika danmenjadi murid sekaligus sekretaris Saint
Simon.
Comte memiliki kisah cinta platonik dan tragis. Menikah denganCaroline Massin,
seorang pekerja seks, ia bercerai pada 1842. Ia menikahdengan Clotide de Vlaux
namun pernikahan tersebut tidak berumur lama.Clotide de Vlaux meninggal dunia
karena sakit Tubercolosis
.Kehidupan pribadi Comte sebagai pemikir besar dilingkupikemiskinan. Ia juga
dikenal sebagai soso emosional dalam persahabatan.Comte juga kerap terlibat konflik
dalam persoalan cinta. Percobaan bunuhdiri pun pernah dilakukan oleh tokoh kunci
sosiologi ini. Comtemeninggal dunia pada usia 59 tahun pada 5 September 1857.
Selama karir intelektual Comte menghasilkan banyak karyanya,antara lain
System of Positive Politics, The Scientific Labors Necessaryfor Reorganization of
society (1882), The Positive Philosophy ( 6 Jilid1830-1840), Subjective Synthesis
(1820-1903)
.Pemikiran Auguste Comte, selaku orang yang memulai kajiansosiologi dan
kemudian disebut sebagai bapak sosiologi ini, dipengaruhioleh revolusi Prancis.
Pemikiran Comte yang terkenal salah satunya adalah penjabaran sejarah perkembangan
sosial atau peradaban manusia. TeoriComte tersebut membagi fase perkembangan
peradaban menjadi tiga tahap.
pertama yaitu teologis, sebelum 1300. Pada fase ini manusia belum menjadi
subjek bagi dirinya dan sengat bergantung pada dunia luar.Contohnya, kesuburan dan
panen padi seorang petani tergantungkemurahannya Dewi Sri pada konteks milotogi
Indonesia.
Tahap kedua, adalah tahap metafisika. Pada tahap ini manusia ataumasyarakat
mulai menggunakan nalarnya. Keterbatasan nalar manusia pada fase ini adalah
kentalnya kecendrungan spekulasi yang belummelalui analisis empirik. Contohnya,
nalar masyarakat mengalami yangmenilai kesusahan takdir semata.
Tahap ketiga, tahap positifistik. Ini adalah tahap modern, dimanamanusia atau
masyarakat menggunakan nalarnya, menjadi subjek danmemandang yang lain sebegai
objek. Pada tahap ini semua gejala alamatau fenomena yang terjadi dapat

2
dijelaskan secara ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan
secara empiris1

2. Metodologi Positivisme
Metodologi berarti salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sohih
tentang kenyataan. Ini berarti positivisme meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan
hanya tentang fakta objektif. Metodologi merupakan isu pertama yang dibawa
positivisme, yang memang dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat menitik
beratkan pada aspek ini. Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandangannya
tentang obyek positif. Jika metodologi bisa diartikan suatu cara untuk memperoleh
pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, maka kenyataan dimaksud adalah objek
positif.
Atas dasar pemikiran ini, bagi Comte ilmu pengetahuan yang pertama adalah
astronomi, lalu fisika, lalu kimia dan akhirnya psikologi(biologi). Anatomi ini
kemudian diterjemahkan ke dalam norma-norma metodologis sebagai berikut.
a. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastiaan ( sense of certainly)
b. pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif.
c. Kesamaan metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian
d. Ketepatan pengetahuan dijamin oleh teori-teori yang secara formalkokoh yang
menyerupai deduksi hepotesis.
e. Pengetahuan ilmiah harus bisa digunakan secara teknis.
f. Pengetahuan itu relatif.
Maka menurut Comte metode penelitian yang harus dgunakan dalam proses
keilmuan adalah observasi, eksperimentasi, kemuudian komparasi.2

B. Biografi Kari R.Popper


Sir Karl Raymund Popper (28 Juli 1902 – 17 September 1994) merupakan
seorang filsuf dan profesor asal Vienna dan Inggris. 3 Dia juga disebut sebagai filsuf
terbesar abad 20 dibidang filsafat ilmu.4
Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi sebagai lawan dari verifikasionisme
dan induktivisme klasik dalam metode ilmiah. Falsifikasionime mengatakan bahwa
suatu teori ilmiah tidaklah terbukti keilmiahannya hanya dengan pembuktian saja, tapi
harus diusahakan mencari kesalahan dari teori tersebut sampai kemudian teori tersebut
bisa difalisfikasi. Apabila teori tersebut tidak berhasil di falsifikasi maka teori tersebut
tidak teruji keilmiahannya. Popper juga dikenal sebagai penentang besar aspek
justifikasionisme dalam studi ilmiah yang dilakukan para induktivis. Ia memahami

1
Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar , 1992
2
Mohammad Muslih, 2016, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, danKerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, LESFI: Yogyakarta. P.110
3
Watkins, John (1994/12/01). "Obituary Karl Popper". British Academic Journal. 45 (4). Diakses tanggal
2017/10/04.
4
Adams, Ian. Fifty Major Political Thinker. Routdlege.

3
bahwa keseluruhan studi ilmiah tidak semestinya dicapai dengan justifikasi, melainkan
rasionalisme kritis.5
Dalam ranah politik, Popper dikenal sebagai salah satu filsuf yang kuat
mempertahankan Demokrasi Liberal dan prinisp-prinsip Kritisisme Sosial yang akan
membantu terbentuknya Masyarakat Terbuka - baca Open Society nya Karl Popper.
Ide-ide politiknya mempengaruhi hampir seluruh ideologi politik demokrasi dan
mencoba merekonsiliasikannya, seperti Sosialisme/Sosial Demokrasi,
Liberalisme/Liberalisme Klasik dan Konservatisme. 6

1. Prinsip Falsifikasi Karl R. Popper


Sebagaimana disebutkan dalam uraian pendahuluan di atas bahwa meski Popper
banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para filosuf yang tergabung di lingkaran
Wina atau kaum positivism logis, namun ia tidak sependapat dengan gagasan
mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait dengan tiga ide utama, yakni
masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga.7
Dalam masalah induksi, Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan
generalisasi yang didasarkan pada prinsip induksi8 Misalnya, “Apabila sejumlah
besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang
diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B”9
Proses induksi melalui observasi seperti inilah yang dipandang oleh kaum
positivisme logis sebagai prinsip pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses
induksi ini pula yang dijadikan untuk menciptakan hukum umum dan mutlak
berdasarkan kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan
(meaningless). Bagi kaum positivisme logis kebenaran suatu teori umum dapat
ditentukan dan dibuktikan melalui prinsip verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan
dan ketidakbermaknaannya berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan
secara empiris10.
Selanjutnya proposisi-proposisi ilmu atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah,
selain dibangun berdasar prinsip induksi melalui eksperimen atau observasi, juga
jika dipandang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan11 .
Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli astronomi dapat
meramalkan kapan akan terjadi gerhana bulan berikutnya, atau bila seorang ahli
fisika dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air di tempat yang tinggi lebih
rendah dari pada di tempat yang normal. Secara sederhana, kebenaran atau
keilmiahan suatu pengetahuan atau ilmu tersebut dapat digambarkan melalui skema
berikut :

5
William W. Bartley: Rationality versus the Theory of Rationality, Dalam Mario Bunge: The Critical
Approach to Science and Philosophy (The Free Press of Glencoe, 1964), section IX
6
William W. Bartley: Rationality versus the Theory of Rationality, Dalam Mario Bunge: The Critical
Approach to Science and Philosophy (The Free Press of Glencoe, 1964), section IX
7
(Muslih, 2005 : 105)
8
(Popper, 2008 : 4).
9
(Chalmers, 1983 : 5).
10
(Muslih, 2005 : 106)
11
(Chalmers, 1983 : 5).

4
FAKTA DI DAPAT DARI OBSERVASI (INDUKSI)= HUKUM DAN TEORI=
RAMALAN DAN PENJELASAN (DEDUKSI)
Gambaran ilmu seperti yang digambarkan oleh kaum positivism logis, atau
induktifis ini memberi penegasan yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari
suatu ilmu atau pengetahuan, yakni selain dayanya yang mampu meramalkan dan
menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan dan reliabilitasnya yang lebih unggul
dibanding jenis-jenis ilmu atau pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika
gagasan mereka ini begitu meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar.
Gambaran ilmu seperti yang digambarkan oleh kaum positivism logis, atau
induktifis ini memberi penegasan yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari
suatu ilmu atau pengetahuan, yakni selain dayanya yang mampu meramalkan dan
menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan dan reliabilitasnya yang lebih unggul
dibanding jenis-jenis ilmu atau pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika
gagasan mereka ini begitu meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar.
Akan tetapi bagi Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak
dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui
verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan
melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa
atau suatu teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran
hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut
corroboration. Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu
ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya.
Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat
hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture), tidak akan pernah ada
kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang
lebih tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa
ketimbang teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia
menegaskan bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara
prinsipil ia memiliki kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability).
Secara sederhana falsifikasi Popper tersebut dalam digambarkan sebagai berikut :
TEORI ATAU ILMU = Prediksi melalui uji Falsifikasi = Jika hasil prediksi atau
uji falsifikasi salah, maka semua atau seluruh promis dalam teori atau ilmu juga
salah. Teori tidak dapat diverifikasi, tetapi hanya dapat difalsifikasi.
Dari sinilah terlihat jelas bahwa keberadaan kritik atas teori atau proposisi-
proposisi ilmu menjadi sebuah keniscayaan. Begitu juga setiap ilmuwan juga tidak
dibenarkan alergi terhadap kritik. Sebaliknya seorang ilmuwan yang sejati dirinya
harus selalu berharap akan adanya kritik. Karena hanya dengan keberlangsungan
adanya kritik seperti inilah ilmu pengetahuan akan terus mengalami perkembangan.
Keberadaan kritik tidak lain merupakan bentuk realisasi prinsip refutasi atau
penyangkalan terhadap suatu teori. Dengan keberadaan kritik akan melahirkan eror
elimination, yakni eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan atau kesalahan yang
terkandung dalam suatu teori.
Begitu juga semakin berlangsung keberadaan eror elimination, maka semaki
bermunculan pula teori-teori yang baru. Dari sinilah, menurut Popper keberadaan

5
ilmu pengetahuan akan terus berkembang. Menurutnya, proses perkembangan ilmu
pengetahuan seperti ini tidak dengan jalan akumulasi bukti-bukti positif yang
mendukung suatu teori, seperti pandangan kaum Positivisme.12
Popper menunjukkan bukti sejarah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak
dengan jalan akumulasi seperti itu, tetapi melalui proses error elimination, dengan
mencontohkan koreksi yang dilakukan oleh Einstein terhadap fisika Newton. Setelah
melalui diskusi yang panjang, para ahli pun kemudian sepakat untuk menerima
fisika Einstein sebagai gagasan yang lebih memuaskan daripada gagasan Newton
untuk menerangkan berbagai gejala fisik di dunia. Dengan diterimanya gagasan
Einstein, hal ini menegaskan sifat kesementaraan gagasan atau teori Newton dalam
bidang Fisika. Begitu juga dengan teori-teori yang lain, kesemuanya tidak ada yang
benar secara definitif atau mendekati kebenaran secara final. Akan tetapi kebenaran
setiap teori hanya berupa hipotesa atau conjecture. Yang dimaksud dengan istilah
conjecture di sini secara leksikal diartikan semakna dengan kata guess, yakni
menduga13
secara definitif, tetapi hanya patut diduga benar atau salahnya. Oleh karena
kebenaran suatu teori hanya dugaan yang kebenarannya bersifat sementara, maka
suatu teori sah untuk ditinggalkan dan beralih kepada teori baru yang lebih
memuaskan dalam menjelaskan fakta-fakta yang ada.
Jika dalam pandangan kaum Positivisme kriteria kebenaran suatu ilmu atau teori
didasarkan pada kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris melalui
konfirmasi atau verifikasi, maka tidak demikian halnya menurut Popper.
Menurutnya ada beberapa kelemahan prinsip verifikasi yang dipakai kaum
positivisme logis dalam menentukan perbedaan antara proposisi yang meaningfull
dan meaningless. Beberapa kelemahan tersebut, menurut Popper14 prinsip verifikasi
tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum.
Menurutnya, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat
diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam, yang sebagian besar terdiri
dari hukum-hukum umum menjadi tidak bermakna, sama seperti metafisika. Kedua,
berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika yang sering dipandang tidak bermakna,
justeru dalam sejarah seringkali terbukti telah melahirkan berbagai ilmu
pengetahuan. Suatu ungkapan metafisik, bahkan agama atau mistik, bukan saja dapat
bermakna tetapi juga benar jika berhasil diuji atau ditest. Jika semakin tahan
terhadap ujian dan test, yang berusaha menunjukkan kesalahan-kesalahannya, maka
ungkapan yang bersifat metafisik itu menjadi bermakna dan benar. Ketiga, untuk
menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ungkapan atau teori, terlebih dulu harus
bisa dimengerti. Jika tidak bisa dimengerti, maka mana mungkin uangkapan atau
teori tersebut bisa dikatakan bermakna atau tidak bermakna.
Kemudian Popper menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu demarkasi
antara proposisi atau teori yang ilmiah dan yang tidak ilmiah. Gagasan tentang
falsifikasi inilah yang oleh dirinya dijadikan sebagai ciri utama proposisi atau teori
12
(Muslih, 2005 : 107
13
(Crowther, tt. : 242)
14
(dalam Muslih, 2005 : 108)

6
yang ilmiah. Menurutnya, suatu proposisi atau teori empiris harus dilihat potensi
kesalahannya. Selama suatu teori mampu bertahan dalam upaya falsifikasi, maka
selama itu pula teori tersebut menurut R. Henre. 15 tetap dipandang kokoh, meski ciri
kesemntaraannya tetap tidak pernah hilang. Suatu teori bersifat ilmiah, jika terdapat
kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Inilah yang dimaksud
dengan prinsip falsifikasi menurut Popper. Sebaliknya, jika suatu proposisi atau teori
secara prinsipil tidak menerima kemungkinan untuk menyatakan salahannya, maka
proposisi atau teori tersebut tidak bersifat ilmiah.
Penerapan falsifikasi seperti ini berdampak pada hakekat perkembangan ilmu
pengetahuan. Menurut Popper, kemajuan ilmu pengetahuan tidak bersifat akumulatif
dari waktu ke waktu, tetapi terjadi akibat adanya eliminasi yang semakin ketat
terhadap kemungkinan salahnya. Pengembangan ilmu dilakukan dengan melalui uji-
hipotesis sehingga bisa ditunjukkan kesalahannya, dan ilmu itu akan dibuang atau
diabaikan jika memang salah. Begitu seterusnya, setiap ilmu atau teori yang baru
akan dilakukan ujihipotesis, dan jika semakin menunjukkan kesalahannya akan
diabaikan dan diganti dengan teori yang baru.
Dengan demikian, pada dasarnya aktifitas keilmuan hanya bersifat mengurangi
kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang obyektif. Oleh karrena
itu pengembangan ilmu dilakukan dengan merontokkan teori karena terbukti
salahnya, untuk kemudian digantikan dengan teori baru. Untuk itu, falsifikasi
menjadi alat penentu demarkasi, yakni pembeda, antara apa yang oleh Popper
dinamakan genuine science (ilmu asli) dan apa yang disebutnya dengan pseudo
science (ilmu tiruan)16
Selain persoalan induksi dan demarkasi sebagaimana dijelaskan di atas, Popper
juga membicarakan tentang masalah dunia ketiga. Yang dimaksud dengan istilah
dunia ketiga di sini bukan dalam pengertia politik, tetapi epistemologis. Artinya
Popper membedakan realitas menjadi apa yang dia sebut sebagai; dunia kesatu yang
berupa kenyataan-kenyataan fisik dunia; dunia kedua yang berupa segala kejadian
dan kenyataan psikhis dalam diri manusia; dan dunia ketiga yang berupa hipotesa,
hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerjasama antara dunia kesatu dan dunia
kedua serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama, dan lainnya17
Menurut Popper, dunia ketiga ini hanya ada selama dihayati yakni dalam kegiatan
studi yang sedang berlangsung seperti membuat karya atau penelitian, dalam
kegiatan membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri seorang
seniman atau penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka. Setelah
penghayatan seperti itu, semuanya langsung mengendap dalam bentuk fisik alat-alat
ilmiah, buku-buku, karya seni, dan seterusnya. Dengan demikian, apa yang telah
dihayati terkait keberadaan dunia ketiga, menjadi mengendap ke dalam dunia kesatu,
dan akan muncul kembali ke dalam dunia ketiga setelah melalui perhatian di dunia

15
(dalam Edward, 1967 : 294)
16
(Popper, 2008 : 21).
17
(Muslih, 2005 : 109).

7
kedua. Dalam pandangan Popper, dunia ketiga memiliki kedudukan dan otoritasnya
sendiri dan tidak terikat oleh dunia kesatu ataupun dunia kedua.18
C. Biografi Thomas s. kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir di Cincinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922.
Ayahnya adalah seorang Insinyur industri bernama Samuel L. Kuhn. Dia menyadari
ketertarikannya pada matematika dan fisika setelah lulus SMA di The Taft School di
Watertown (1940). Kuhn meraih sarjana (1943) dan master (1946) dalam bidang fisika
di Harvard University tetapi memperoleh gelar Ph.D. (1949) dalam bidang sejarah ilmu
pengetahuan. Dia mengajarkan sejarah atau filsafat ilmu di Harvard (1951-1956),
University of California di Berkeley (1956-1964), Princeton University (1964-1979),
dan Massachusetts Institute of Technology (1979-1991).
Buku pertamanya berjudul The Copernican Revolution (1957), sedangkan
bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution5 ditulis dan diterbitkan
di berkeley pada tahun 1962. Keilmuan dan karirnya terus berkembang selama di
Princeton dan MIT. Buku-buku Kuhn merevolusi sejarah dan filsafat ilmu, konsepnya
mengenai pergeseran paradigma merambah disiplin ilmu lain seperti ilmu politik,
ekonomi, sosiologi, dan bahkan manajemen bisnis. Karya-karya terakhir Kuhn berupa
kumpulan esai The Essential Tension (1977) dan sebuah studi teknis berjudul Black-
Body Theory and the Quantum Discontinuity (1978).
Selama hidupnya Kuhn menikah dua kali. Yang pertama adalah dengan Kathryn
Muhs (dengannya ia dikaruniai tiga anak) dan yang kedua adalah Jehane Barton Burns
atau yang lebih dikenal sebagai Jehane R. Kuhn. Beberapa tahun pada akhir masa
hidupnya Kuhn menderita penyakit kanker dan akhirnya meninggal pada umur 73
tahun, tepatnya pada hari Senin tanggal 17 Juni 1996.19

1. Paradigma sebagai Seperangkat Puzzle


Thomas Kuhn memperkenalkan paradigma melalui bukunya yang berjudul
The Structure of Scientific Revolution. Dalam bahasa Inggris disebut “paradigm”
dan bahasa Perancis “paradigme,” yang berarti contoh atau pola dasar yang luar
biasa jelas, sedangkan dalam rana filsafat secara khusus diartikan sebagai
kerangka filosofis dan teoritis dalam disiplin atau aliran sains di mana teori-teori,
hukum, serta generalisasi dan uji coba yang dilakukan dalam mendukungnya
telah dirumuskan, baik yang mencakup segala kerangka filosofis maupun
teoritis.20
Secara etimologis Kuhn sendiri menjelaskan bahwa Paradigma merupakan
suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau memecahkan
sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu.8
Teori ini kemudian menjadi begitu terkenal dalam pembicaraan tentang Filsafat
Sains dan cukup mengguncang dominasi paradigma positivistik.21 Kuhn
18
(Muslih, 2005 : 110)
19
Baca “kuhn, Thomas s.” dalam Theodore Pappes at all.,
20
Lihat “paradgm” dan para “paradgms” dalam Merriam-webster 11 th Collegiate dictionary (Ver. 3.0;
Merriam-webster, inc., 2003) [DVD] Secara etimologi Paradigma berasal dari bahasa Latin “para” dan
“diegma”.”para”
21
Lihat Muhammad Muslih, op.cit., h. 127

8
menggambarkan ilmu sebagai sebuah kegiatan menyelesaikan puzzle, fungsi dari
Paradigma adalah seperti menyediakan puzzle bagi para ilmuwan sekaligus
menyediakan alat untuk solusinya.Ia pertama kali menggunakannya dalam sains,
dengan menunjukkan bahwa penelitian ilmiah belum tentu menuju kepada
kebenaran. Penelitian ilmiah sangat tergantung pada dogma dan terikat pada teori
yang lama.11 Dalam pemikirannya paradigma secara tidak langsung
mempengaruhi proses ilmiah dalam empat cara dasar. Yaitu, Apa yang harus
dipelajari dan diteliti, pertanyaan yang harus ditanyakan, struktur sebenarnya dan
sifat dasar dari pertanyaan itu, serta bagaimana hasil dari riset apapun
diinterpretasikan. 12 Ilmu dalam tahap normal sains bisa dikatakan sebagai
pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle. 13 Sebagaimana petunjuk
untuk menyelesaikan penyelesaian puzzle, maka paradigma memberi komunitas
ilmiah22

22
Ibit., h. 16.,”... this sort of fact-collecting has been essential to the origin of many significant
sciences.”

9
BAB II
PENUTUP

1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita ambil dalam makalah ini adalah bahwa filsafat
sains memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Konsep-
konsep seperti positivisme, falsifikasi, paradigma, dan revolusi ilmiah membantu kita
memahami bagaimana ilmu pengetahuan berkembang dan bagaimana teori-teori
ilmiah diuji dan diterima. Namun, meskipun ada metode ilmiah yang ketat, kebenaran
absolut dalam ilmu pengetahuan tidak selalu dapat dicapai, dan teori-teori ilmiah
selalu terbuka untuk revisi dan perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar , 1992

Mohammad Muslih, 2016, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, danKerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, LESFI: Yogyakarta. P.110

Watkins, John (1994/12/01). "Obituary Karl Popper". British Academic Journal. 45 (4). Diakses tanggal
2017/10/04.

Adams, Ian. Fifty Major Political Thinker. Routdlege.

William W. Bartley: Rationality versus the Theory of Rationality, Dalam Mario Bunge: The Critical Approach to
Science and Philosophy (The Free Press of Glencoe, 1964), section IX

William W. Bartley: Rationality versus the Theory of Rationality, Dalam Mario Bunge: The Critical Approach to
Science and Philosophy (The Free Press of Glencoe, 1964), section IX

(Muslih, 2005 : 105)

(Popper, 2008 : 4).

(Chalmers, 1983 : 5).

(Muslih, 2005 : 106)

(Muslih, 2005 : 107

(Crowther, tt. : 242)

(dalam Muslih, 2005 : 108)

10
(dalam Edward, 1967 : 294)

(Popper, 2008 : 21).

(Muslih, 2005 : 109).

Lihat Muhammad Muslih, op.cit., h. 127

Ibit., h. 16.,”... this sort of fact-collecting has been essential to the origin of many significant sciences.”

11

Anda mungkin juga menyukai