Anda di halaman 1dari 14

A.

Latar Belakang

Hampir tidak ada yang meragukan kapasitas Ibn Rusyd sebagai filsuf

muslim terbesar yang berpengaruh bukan hanya di dunia Islam, melainkan di

Barat. Menurut Corbin, Ibn Rusyd filsuf terbesar dan paling representatif yang

membawa filsafat Islam mencapai puncaknya, meski disayangkan karya-karyanya

kurang memperoleh perhatian di dunia Timur.1

Diantara masalah pembahasan filsafat yang penting adalah masalah

kosmologi dan kritik Ibn Rusyd terhadap kritikan Imam al-Ghazali kepada para

filosof muslim.

Kosmologi merupakan teori tentang asal usul alam semesta. Dalam Islam,

teori ini merupakan salah satu pembahasan penting yang memiliki konsekuensi

teologis yang dalam dan berimplikasi kepada tauhid. Dalam falsafat Islam, dalam

hal penciptaan, kosmologi al-Farabi dan Ibn Sina dipengaruhi oleh falsafat

emanasi Plotinus dan dalam hal stuktur didasarkan kepada konsep geosentris

Ptolomeus. Kosmologi al-Ghazali di dasarkan kepada prinsip kehendak mutlak

Tuhan yang bersifat mutlak.2 Sementara kosmologi Ibn Rusyd, penciptaan tidak

bisa sempurna dalam suatu tahap sekaligus, apalagi sesuatu yang tidak ada

sebelumnya.3 Jadi penciptaan alam harus dipahami sebagai proses merubah

sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Keseluruhan proses ini berlangsung secara

terus menerus sejak zaman tidak bermula hingga tak terhingga.

1
Sujiat Zubaidi Saleh, “Kritik Ibn Rusyd Terhadap Pandangan Para Filsuf Tentang
Ketuhanan,” ISID Gontor, 1 (Jumadil Ula, 1430 H), 97.
2
Fuad Mahbub Siraj, “Kosmologi dalam Tinjauan Islam,” Universitas Paramadina, 2
(2014), 109.
3
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 39.

1
Selain membahas masalah kosmologi, Ibn Rusyd juga memberikan kritik

terhadap kritikan Imam al-Ghazali kepada para filosof muslim terutama al-Farabi

dan Ibn Sina muncul satu abad sesudah al-Ghazali wafat (1111 M) dalam

karyanya Tahafut al-Tahafut. Kritikan Ibn Rusyd ini merupakan bentuk

pembelaan bagi filosof dari serangan yang dilancarkan oleh al-Ghazali.

B. Pembahasan

1. Riwayat Hidup Ibn Rusyd

Abu’I-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, who was born in 1126 M

(520 H), decsendend from a long line of distinguish scholars and jurists in Muslim

Spain. Ibn Rushd of Cordova, known to the latin authors of the late Middle Ages

as Averroes.4 Ia berasal dari keluarga terpelajar dan terpandang di kotanya, serta

mempunyai akses yang penting pada dunia hukum dan politik.5 Kakeknya

Muhammad ibn Rusyd menjabat sebagai hakim agung (qadi qudat) di Andalusia.

Ayahnya, Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd, pernah menjabat hakim di

Cordova.6 Beliau memelajari Al-Qu’an beserta penafsirannya, hadits Nabi, ilmu

fiqh, bahasa dan sastra Arab. Metode belajarnya secara lisan dari seorang ahli

(‘alim).7 Di samping itu, ia juga mencurahkan perhatiannya pada ilmu kedokteran,

matematika, dan filsafat. Ia meninggal tepatnya pada tanggal 10 Desember 1198

di kota Marakish, ibu kota Maroko.8

4
Majid Fachry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press,
1983), 271.
5
Sujiat Zubaidi Saleh, “Kritik Ibn Rusyd, 99.
6
Maftukhin, Filsafat Islam (Yogyakarta: Teras, 2012), 192.
7
A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 284
8
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 197.

2
Adapun karya terpenting yang berhubungan dengan filsafat adalah Tahafut

al-Tahafut dan kitab ini ditulis untuk menyanggah kitab Tahafut al-Falasifah

karya Al-Ghazali dan merupakan kitab yang paling dikenal dalam dunia filsafat.9

2. Pemikiran Ibnu Rusyd Mengenai Kosmologi

Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari alam semesta, cosmos dalam

berbagai dimensinya. Istilah cosmos sudah digunakan sejak awal perkembangan

pemikiran metafisika Yunani yang berarti “harmony” atau “order”.10 Oleh karena

itu, secara definitif kosmologi adalah ilmu tentang asal, stuktur, komponen,

tatanan, dan hukum-hukum alam semesta.

Dalam memahami proses penciptaan alam, para pemikir Islam disibukkan

oleh pertanyaan rasional mengenai hubungan Tuhan dengan alam: “Apakah alam

ini qadim (ada tanpa permulaan) ataukah hadits (ada setelah tiada)?”. Maka

menurut Ibnu Rusyd, preselisihan antara kaum theolog pengikut Asy’ariyah dan

para filosuf klasik hampir bisa dikembalikan pada perselisihan mengenai

penamaan saja, khususnya bagi beberapa orang filosuf saja. Sebab mereka telah

sepakat adanya tiga macam wujud, yaitu yang dua bersifat ekstrem dan yang satu

merupakan bentuk pengetahuan dari keduanya.

Ekstrem pertama adalah wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya dan

oleh sesuatu yang lain, yakni oleh suatu sebab penggerak serta dari suatu bahan

penggerak serta dari suatu bahan tertentu, dan wujud ini dalam kewujudannya

didahului oleh waktu. Inilah keadaan yang dapat diketehui dengan indera-indera.

Seperti wujud air tanah, binatang, timbuh-tumbuhan, dan lain-lain.

9
Maftukhin, Filsafat Islam, 192.
10
Humaidi, Paradigma Sains Integratif Al Farabi (Jakarta Selatan: Sadra Press, 2015), 135

3
Wujud ekstrem yang lain adalah wujud yang adanya tidak berasal dari

maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu.

Wujud ini dinamkan dengan al-Qadim (ada tanpa didahului waktu). Adanya

wujud ini telah dibuktikan melalui burhan dan itulah Tuhan Yang Maha Agung,

Penggerak seklaian yang ada, Pencipta, dan Pemelihara.

Adapun wujud yang menengahi adalah wujud yang tidak terjadi berasal dari

sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu

penggerak. Inilah alam secara keseluruhannya. Semua golongan tadi sepakat

adanya tiga sifat tersebut bagi alam.11

Ibnu Rusyd menambahkan, bahwa sebenarnya alam semesta ini bukan

wujud baru dan bukan pula wujud qadim yang sebenarnya. Sedang wujud qadim

yang sebenarnya mesti musnah dan wujud yang sebenarnya tidak mempunyai

sebab (illat) bagi wujudnya.

Demikian Ibnu Rusyd dalam memahami wujud alam, apakah ia qadim atau

baru. Namun, ia mengakui bahwa Tuhan adalah yang membuat alam,

sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisannya. Akan tetapi, yang menjadi

masalah adalah mendahuluinya zaman atas alam, ataukah zaman dan alam itu

wujud bersama-sama. bagi Ibnu Rusyd bahwa alam ini adalah qadim, karena ia

wujud dengan kemauan Tuhan, sedang kemauan-Nya tidak bisa ditolak dan tidak

ada permulaannya.12

11
Humaidi, Paradigma Sains, 295-296.
12
Humaidi, Paradigma Sains, 300-301.

4
3. Kritik terhadap Al-Ghazali

Al-Ghazali tidak percaya pada falsafat, bahkan memandang filosof-filosof

sebagai ahl al-bida’ yaitu tersesat dalam beberapa pendapat mereka. Di dalam

Tahafut al-Fasafilah, Al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-

pendapat berikut.

a. Tuhan tidak mempunyai sifat

b. Tuhan mempunyai substansi basit dan tidak mempunyai mahiyah

c. Tuhan tidak mengetahui juz’iyat13

d. Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins dan al-fasl

e. Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan

f. Jiwa planet-planet mengetahuisemua juz’iyat

g. Hukum alam tidak dapat berubah

h. Pembangkitan jasmani tidak ada

i. Alam ini tidak bermula

j. Alam ini akan kekal.14

Al-Ghazali membuat kritikan yang sangat tajam terhadap filsafat karena

dianggap telah melenceng dari ajaran agama Islam. Oleh sebab itu, Al-Ghazali

kemudian mengkafirkan sebagian filosof yang memilki pendapat sesuai dengan

tiga hal yang dikritiknya. Kritik Al-Ghazali ini kemudian dianggap sebagai sebab

matinya pemikiran filsafat pada masa berikutnya.

Tiga dari kesepuluh diatas pendapat, menurut Al-Ghazali membawa pada

kekufuran yaitu:

13
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme, 38.
14
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme, 39.

5
a. Alam kekal dalam arti tidak bermula

b. Tuhan tak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam

c. Pembangkitan jasmani tak ada.15

Untuk itu Ibnu Rusyd mengadakan pembelaan terhadap para filosof, dengan

membuat kritik terhadap Al-Ghazali. Jawaban Ibnu Rusyd terhadap kritik Al-

Ghazali memuat tiga hal, yaitu:

a. Masalah Alam Qadim/ Kekekalan Alam

Salah satu persoalan yang menjadi pembahasan dalam filsafat islam

ialah masalah keqadiman alam. Apakah alam ini bersifat qadim (eternal)

dalam arti tidak berawal dalam penciptaannya atukah bersifat baru

(temporal) yakni diciptakan dari tiada (creatio ex nihilo). Dalam sejarah

pemikiran filsafat, bahwa alam itu bersifat qadim, sudah lama dikenal. Di

kalangan filosof Yunani, misalnya Aristoteles berpendapat bahwa alam itu

bersifat qadim dalam arti tidak ada awalnya. Dan dari pemikir islam,

misalnya al-Farabi dan Ibn Sina. Pendapat bahwa alam itu qadim mendapat

kritikan serius dari al-Ghazali. Ia mengkritik pendapat filosof yang

mengatakan bahwa alam itu bersifat qadim, bahkan ia menganggap kafir

para filosofis yang mempunyai pendapat yang demikian. Menurut pendapat

al-Ghazali mengatakan bahwa alam itu ada karena kehendak penciptanya

yaitu Tuhan. Sebelum alam itu ada, Tuhan yang berkehendak akan adanya

alam, lalu alam diciptakan dari tiada. Karena alam itu mustahil bersifat

qadim.

15
Maftukhin, Filsafat Islam, 192.

6
Kritikan al-Ghazali terhadap pemikiran filosof tentang keqadiman

alam dan pengafiran mereka dikritik oleh Ibn Rusyd dalam bukunya Tahafut

al-Tahafut. Menurut Ibn Rusyd bahwa pemikiran al-Ghazali tidak sejalan

dengan kandungan al-Qur’an. Didalam al-Qur’an dikatakan bahwa sebelum

alam diciptakan oleh Tuhan, telah ada sesuatu sebelumnya. Misalnya dalam

QS. Hud ayat 7:

ِ ‫علَى ْال َم‬


‫اء‬ َ ُ ‫شه‬ َ ‫ت َو ْاْلَ ْر‬
َ َ‫ض ِف ْي ِست َّ ِة اَي ٍَّام َو َكان‬
ُ ‫ع ْر‬ ِ ‫سمو‬ ْ ‫َو ُه َو الَّذ‬
َّ ‫ِي َخلَقَ ال‬

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan

Arsy-Nya (pada waktu itu) berada di atas air”.

Ayat ini memberikan gambaran bahwa ketika Tuhan menciptakan

langit dan bumi telah ada terlebih dahulu disamping Tuhan tahta dan air.16

Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd bahwa pendapat yang

mengemukakan alam diciptakan dari tiada tidak sesuai dengan kandungan

al-Qur’an. Menurut Ibn Rusyd, kata khalaqa di dalam al-Qur’an

menggambarkan penciptaan bukan dari tiada sebagaimana yang

dikemukakan al-Ghazali. Pemkiran ini sejalan dengan penjelasan di dalam

QS Al-Mu’minun: 12

ٍ ‫س ََللَ ٍة ِم ْن ِط‬
‫ين‬ ِ ْ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا‬
َ ‫اْل ْن‬
ُ ‫سانَ ِم ْن‬

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari intisari tanah”.

Penjelasan ini memberi gambaran bahwa manusia bukan diciptakan

dari tiada melainkan dari ada yaitu intisari tanah.

16
Muhammad Rusydi, “Averrorisme,” Jurnal Tajdid, 1 (2012), 10.

7
Para filosof memang tidak menerima konsep penciptaan alam dari

tiada. Tiada tidak dapat berubah menjadi ada. Yang terjadi ialah ada dalam

bentuk materi asal yang diubah oleh Tuhan menjadi ada dalam bentuk lain,

misalnya langit dan bumi. Karena itu yang qadim adalah materi asal

sedangkan langit dan bumi susunannya adalah baru.17

b. Masalah Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz’iyat

Para filosof mempunyai pemikiran bahwa pengetahuan Tuhan bersifat

global atau universal (kulliy), tidak mencakup rician (juz’iy). Konsep ini

tidak terlepas dari pemahaman bahwa yang rincian (juz’i) terikat dengan

perubahan misalnya perubahan waktu dari segi masa lalu, masa sekarang

dan masa yang akan datang, serta perubahan dari segi tahu misalnya tidak

tahu, tahu, dan akan tahu. Bila ilmu Tuhan dikaitkan dengan hal yang

demikian maka akan menimbulkan pengertian bahwa Tuhan akan

mengalami perubahan. Hal ini mustahil bagi Tuhan. Konsep filosof seperti

ini mendapat kritikan dari al-Ghazali, karena bagi al-Ghazali bahwa Tuhan

Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, sehingga Tuhan mengetahui segala

sesuatu.18

Ibnu Rusyd menjawab bahwa para filosof tidak mungkin berpandapat

demikian. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd beranggapan bahwa Al-Ghazali

keliru dalam menyimpulkan pendapat para filosof. Karena yang demikian

itu tidak pernah dikatakan oleh para filosof. Yang dikatakan oleh para

filosof, menurut Ibnu Rusyd adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang

17
Muhammad Rusydi, “Averrorisme, 11.
18
Muhammad Rusydi, “Averrorisme, 12.

8
perincian yang terjadi di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia

tentang perincian itu.19 Ia menjelaskan bahwa para filosof tidak membantah

bahwa Tuhan mengetahui keragaman makhluk-makhluk secara partikular.

Hanya, bentuk (mode) pengetahuan tidak sama dengan bentuk pengetahuan

kita. Para filosof umumnya berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tidak

sama dengan bentuk pengetahuan kita. Para filosof umunya berpendapat

bahwa pengetahuan adalah sebab bagi keberdaan objek-objek itu.

Sebaliknya, pengetahuan kita adalah akibat dari keberadaan objek-objek

yang diketahui (ma’lum) itu. Dengan perkataan lain, melalui tidak

mengetahui itu, Tuhan menciptakan segala sesuatu, sedangkan semua

pengetauan kita bergantung pada keberadaan segala sesuatu yang berada di

luar diri kita (external object).20

Ilmu manusia berbeda dengan ilmu Tuhan secara esensial. Manusia

mengetaui karena ada objek dan pengetahuan itu berbubah karena

perubahan objek, sedangkan ilmu Tuhan merupakan sebab bagi adanya

sesuatu sehingga sesuatu tidak akan terjadi jika Tuhan tidak mengetahui

sejak azali.

c. Masalah Tuduhan bahwa Para Filosof Mengingkari Adanya Hari

Kebangkitan Jasmani

Ibnu Rusyd balas menuduh Al-Ghazali telah mengatakan hal-hal yang

saling bertentangan. Di dalam Tahafut al-Falasifah, tidak ada orang Islam

yang mengatakan bahwa kebangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk

19
Maftukhin, Filsafat Islam,196-197.
20
Majid Fachry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, alih bahasa Zaimul Am
(Bandung: Mizan, 2001), 113.

9
rohani. Pernyataan ini, menurut Ibnu Rusyd, bertentangan dengan beliau

tidak menyebutkan nama buku/kitab yang dimaksudkan. Dalam buku itu Al-

Ghazali menyebut bahwa kebangkitan bagi kaum sufi, akan terjadi hanya

dalam bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani. Oleh karena itu, tidak

terdapat ijma’ ulama tentang kebangkitam di hari kiamat. Dengan demikian.

Kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani itu tidak ada

tidaklah dapat dikafirkan.21

“Kebangkitan kembali”, tulis Ibn Rusyd, “telah dinyatakan oleh ajaran

agama (syara’i) dan dibuktikan secara demonstratif oleh para filosof.” Para

filosof bersepakat bahwa manusia harus tunduk pada ajaran-ajaran agama

dan prinsip-prinsip yang disampaikan oleh para nabi, terutama menyangkut

perbuatan baik dan amal ibadah.

Kebangkitan kembali manusia setelah mati, yang memungkinkan

tegaknya hukum atau terlaksananya sanksi, merupakan ajaran yang tidak

bisa dipersoalkan lagi. Satu-satunya perbedaan antara para filosof dan kaum

teolog dalam masalah ini hanyalah menyangkut “cara” kebangkitan tersebut.

para filosof berpihak pada kebangkitan spiritual (ma’ad ruhani), sedangkan

para teolog berpihak pada kebangkitan jasmani.22

Sungguhpun demikian, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa bagi orang

awam soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan

tidak dalam bentuk rohani, karena pembangkitan jasmani akan mendorong

21
Maftukhin, Filsafat Islam,198.
22
Majid Fachry, Sejarah Filsafat Islam, 113.

10
mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi

perbuatan-perbuatan maksiat.23

4. Karya-Karya Ibn Rusyd

Tulisan-tulisan yang telah dihasilkan oleh Ibn Rusyd di antaranya adalah

sebagai berikut:

a. Tahafut al-Tahafut (Kerancuan Buku “Kerancuan” karya al-Ghazali),

yang ditulisnya sebagai bantahan terhadap buku al-Ghazali, Tahafut al-

Falasifah.

b. Fashal al-Maqal (Pernyataan yang Jelas-Lugas), yang berisi strategi Ibn

Rusyd dalam menolak argumen al-Ghazali.

c. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillah (Uraian tentang Metode-Metode

Pembuktian).

d. Bidayah al-Mujtahid, merupakan karyanya di bidang fiqih

e. Kitab al-Kulliyat fi ath-Thibb, karangannya dalam bidang ilmu

kedokteran. Ensiklopedi ini terdiri dari tujuh buku yang berhubungan

dengan anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, materia medika,

kesehatan, dan terapi umum.

f. Syarh al-Sama’.

g. Syarh Kitab al-Nafs.

h. Arjuzah fi ath-Thibb, berisi tentang komentar terhadap puisi medis Ibnu

Sina.

23
Maftukhin, Filsafat Islam, 198.

11
i. Kitab fi al-Harakah al-Aflak, karyanya dalam bidang astronomi yang

berisi tentang gerakan benda-benda langit.24

24
Majid Fachry, Sejarah Filsafat Islam, 108. Lihat pula Ahmad Zainul Hamdi, Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf, 192-194 dan Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme, 42-43.

12
C. Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

Ibn Rusyd meluruskan kembali konsep pemikiran persoalan filsafat berupa

kritikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Dari tiga persoalan yang dikritik oleh

al-Ghazali lalu dianalisa secara cermat kemudian dikritik kembali oleh Ibn Rusyd

dan disimpulkan bahwa al-Ghazali keliru dalam menafsirkan pemikiran filosof.

Menurut Ibn Rusyd al-Ghazali tidak konsisten dalam mengemukakan

pemikirannya terhadap tiga masalah filsafat yang diperdebatkan. Kritikan Ibn

Rusyd terhadap al-Ghazali merupakan langkah untuk membuka sel Ghazalisme

dan menapaki kembali rasionalisme dalam Islam untuk mencapai kemajuan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fachry, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia

University Press.

. 2001. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (edisi

terjemahan oleh Zaimul Am). Bandung: Mizan.

Hamdi, Ahmad Zainul. 2004. Tujuh Filsuf Muslim. Yogyakarta: Pustaka

Pesantren.

Humaidi. 2015. Paradigma Sains Integratif Al Farabi. Jakarta Selatan: Sadra

Press.

Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.

Mustofa, A.. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 1999. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan

Bintang.

Rusydi, Muhammad. 2012. “Averroisme”. Jurnal Tajdid, 1.

Saleh, Sujiat Zubaidi. 1430 H. “Kritik Ibn Rusyd Terhadap Pandangan Para Filsuf

Tentang Ketuhanan”. 1. Ponorogo: ISID Gontor.

Siraj, Fuad Mahbub. 2014. “Kosmologi dalam Tinjauan Islam”.2. Jakarta:

Univesitas Paramadina.

14

Anda mungkin juga menyukai