MAKALAH
DIBUAT GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DI DUNIA ISLAM
OLEH:
MUGHNIATUL ILMA
1420310074
DOSEN PENGAMPU:
PROF. DR. H. KHOIRUDDIN NASUTION, M.A.
1
seputar materi hukum keluarga yakni Turki dan Mesir. Pembaruan hukum
keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di
dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan
hukum keluarga di negara-negara lain. Sedangkan Mesir tercatat sebagai
negara kedua setelah Turki dan negara pertama di Arab yang melakukan
pembaruan hukum keluarga.1
Beberapa kontribusi seputar materi hukum keluarga Islam telah
diberikan oleh Turki dan Mesir melalui proses yang cukup panjang sehingga
keduanya mengambil peran penting dalam pembaruan hukum keluarga di
dunia muslim. Untuk mengetahui bentuk hukum keluarga yang dianut oleh
Turki dan Mesir, setidaknya dapat dikemukakan 3 (tiga) kategori negara
berdasarkan hukum keluarga yang dianut berdasarkan pendapat Tahir
Mahmood:
1. Negara yang menerapkan hukum keluarga tradisional, seperti Saudi
Arabia, Yaman, Kuwait, Afghanistan, dan lain-lain.
2. Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler, seperti Turki,
Albania, Tanzania, dan lain-lain.
3. Negara yang menerapkan hukum keluarga yang telah diperbarui melalui
proses legislasi modern, seperti Mesir, Lebanon, dan lain-lain.2
1
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002),
hlm. 93-94.
2
Khoiruddin Nasution dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern,
Cet. I (Yogyakarta: ACAdeMIA, 2012), hlm. 91-92.
2
terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat dan variasi-variasi yang
berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.3
Hukum perdata Turki yakni Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah yang
sebagian materinya didasarkan pada madzhab Hanafi dan merupakan undang-
undang sipil pertama yang ditetapkan di Turki, sebenarnya telah dipersiapkan
sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum
keluarga. Adapun kasus-kasus yang berkaitan dengan status perseorangan,
hubungan keluarga dan waris telah diatur oleh pemerintah Utsmani secara
formal dengan mengadopsi hukum dari madzhab Hanafi, tetapi hanya
berlangsung sampai tahun 1915. Akibat tuntutan perubahan kondisi sosial
yang terjadi, muncul protes kaum istri yang merasa terkekang oleh mazhab
Hanafi yang menyatakan bahwa kewenangan untuk menuntut cerai hanya
menjadi otoritas suami dan seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya
selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat
badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari
suaminya. Mereka mendesak para penguasa Utsmani untuk melancarkan
pembaharuan dalam bidang hukum keluarga agar mereka mendapatkan
perlindungan.4
Pada tahun yang sama (1915), akhirnya kerajaan mengeluarkan dua
dekrit yang mereformasi hukum matrimonial (yang berhubungan dengan
perkawinan) dalam mazhab Hanafi yang secara lokal bertujuan melindungi
hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit tersebut digunakan
prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil sumber dari mazhab Hanbali
dan Hanafi. Dinyatakan dalam dua dekrit tersebut bahwa perempuan
diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan suami atau
karena penyakit yang di deritanya.5
3
Ibid, hlm. 90.
4
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, penerjemah: Machnun Husein
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 64.
5
Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern:
Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press,
2003), hlm. 39.
3
Dua tahun kemudian, Kerajaan Utsmani mengeluarkan undang-
undang tentang hukum matrimonial. UU tersebut terdiri dari 156 pasal yang
berisi tentang hak-hak dalam keluarga (minus pasal mengenai waris). UU
inilah yang kemudian diberi nama Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-
Uthmaniyyah (the Ottoman Law of Family Rights) Tahun 1917 yang
merupakan hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam.
Penetapan UU ini didorong semangat takhayyur, proses legislasi yang mulai
menjadi trend pada era itu dan kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia
muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum keluarga. 6
Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh
Pemerintahan Turki Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum
keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah). Undang-undang ini
bersumber pada berbagai mazhab sunni.7 Namun, di Turki UU ini hanya
berlaku 2 (dua) tahun dan dibekukan pada tahun 1919 atas usulan Musthafa
Kemal Pasha dengan harapan akan dapat diganti dengan UU yang lebih
komprehensif.8 Meskipun demikian, munculnya undang-undang ini telah
memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengadopsinya dengan
beberapa modifikasi.
Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki
membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru.
Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang hak-hak keluarga
tahun 1917, Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah tahun 1876 dan hukum
tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh.
Namun perbedaan pendapat yang dilatari oleh perbedaan visi dan misi antara
sesama anggota komisi yang modernis, tradisionalis dan nasionalis
6
Ibid, hlm. 40.
7
Ahsan Dawi, Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-Undangan
Perkawinan), http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20 Di
%20Turki.pdf, akses 21 September 2014.
8
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, hlm. 93.
4
menyebabkan kegagalan dalam membuat draft UU yang dimaksud selama
kurang lebih lima tahun. Alasan lain adalah karena waktunya bersamaan
dengan kehancuran khalifah Islam dan adanya deklarasi Turki sebagai
Republik.9
Dibawah kepemimpinan Musthafa Kemal Pasha, usaha kodifikasi
hukum kembali dilakukan. Hasilnya, pada tahun 1924 konstitusi nasional
baru ditetapkan dengan mengadopsi sistem hukum sipil yang mengharamkan
poligami, menjadikan suami istri berkedudukan sama dalam perceraian,
dimana perceraian hanya diakui bila dilakukan di depan pengadilan.
Pada tahun 1926, Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss
tahun 1912 (The Civil Code of Switzerland, 1912) dengan beberapa
perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam
hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish Civil Code of 1926). Dalam
beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat
menyimpang dari hukum Islam tradisional, seperti ketentuan waris dan wasiat
yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi yang menonjol
dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang
pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal untuk kawin,
larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan,
perceraian, dan lain-lain.10
Pada tahun 1933-1965, The Turkish Civil Code of 1926 telah
diamandemen sebanyak enam kali. Hasil amandemen tersebut antara lain
mencakup ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami istri diberi
kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga
penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta adanya
perceraian didasarkan atas kehendak masing-masing pihak (pasal 125-132).
9
Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern:
Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, hlm. 40.
10
Ahsan Dawi, Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-Undangan
Perkawinan), http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20 Di
%20Turki.pdf, akses 21 September 2014.
5
Amandemen kembali dilakukan pada tahun 1988-1992. Amandemen
tahun 1988 memberlakukan perceraian atas persetujuan bersama (divorce
mutual consents), nafkah isteri dan penetapan sementara selama proses
perceaian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan
pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen oleh legislatif
tersebut berakhir pada tahun 1992.11
11
Khoiruddin Nasution dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern,
hlm. 98.
6
Setelah Turki Usmani, kodifikasi dan pembaruan hukum keluarga
terjadi di Mesir pada tahun 1920. Ini ditandai dengan diundangkannya UU No
25 Tahun 1920 mengenai hukum keluarga dan penjagaan (Law of
Maintenance and Personal Status / Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah wa
alsiyanah). Reformasi hukum di Mesir ini terus terjadi secara berkelanjutan
sehingga awal tahun 1950an.13
Bila sedikit diperinci, usaha pembaruan Hukum Keluarga di Mesir
pertama dimulai dengan mengangkat panitia pada tahun 1915, yang dipimpin
oleh Rektor al-Azhar, Syekh al-Maraghi. Namun, meletusnya perang dunia I
telah menghambat kelangsungan usaha pembaruan ini. Kemudian diikuti
dengan pengangkatan panitia berikutnya. Adapun hasil dari kepanitiaan
tersebut adalah UU No. 25 Tahun 1920 ini kemudian diikuti oleh undang-
undang lain seperti UU No. 56 Tahun 1923 mengenai batasan usia
perkawinan, UU No. 25 Tahun 1929 mengenai aturan perceraian dan
pertengkaran dalam rumah tangga, disusul oleh kitab undang-undang sipil /
perdata (civil code) tahun 1931, UU No. 77 Tahun 1943 mengenai hukum
waris, dan UU No. 71 Tahun 1946 mengenai hukum wasiat.14
Setelah itu, kurun waktu 1960an sampai 1970an, berbagai peristiwa
politik juga ikut menentukan terjadinya reformasi hukum keluarga. Reformasi
hukum keluarga pada tahun 1970an ditandai dengan dikeluarkannya aturan
undang-undang mengenai kewenangan kepada lembaga peradilan memaksa
pihak-pihak (suami) untuk membayar uang pemeliharaan kepada isteri-isteri,
janda-janda, anak-anak, ataupun orang tua pada tahun 1976.
Pada tahun 1979, setelah gagal mendapatkan persetujuan untuk
mengeluarkan undangundang hukum keluarga, Anwar Sadat secara sepihak
mengeluarkan dekrit darurat yang diundangkan menjadi UU No. 44 Tahun
1979. Undang-Undang ini dikenal dengan undang-undang Jehan (Jehan’s
Law atau Jiji’s Law), karena diusulkan oleh Jehan Sadat atau Jiji Sadat, Isteri
13
Ibid, hlm. 5.
14
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, hlm. 94.
7
Anwar Sadat. Undang-undang ini banyak merevisi undang undang hukum
keluarga mesir yang dihasilkan pada tahun 1920 dan 1929, terutama
mengenai peranan dan hak perempuan dalam keluarga.
Akan tetapi, pada bulan Mei 1985, UU No 44 No. 1979 ini digugat
dengan diajukannya judicial review ke Mahkamah Tinggi Konstitusi (High
Constitutional Court). Judicial review diajukan untuk menilai status undang-
undang Jehan ini. Hasilnya, Mahkamah konstitusi Mesir menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan (ultra vires) dengan Konstitusi Mesir.
Mahkamah menolak status dekrit darurat undang-undang ini dengan
beralasan dekrit darurat yang dikeluarkan oleh Presiden Anwar Sadat untuk
memberlakukan UU No. 44 Tahun 1979 sesungguhnya dikeluarkan dalam
keadaan tidak darurat. Oleh karena itu dekrit tersebut harus dianggap tidak
valid. Beberapa bulan setelah pembatalan undang-undang Jehan, pemerintah
Mesir mengundangkan UU No. 100 Tahun 1985, sebuah amandemen hukum
untuk merevisi hukum keluarga tahun 1920 dan 1929. Sejumlah perubahan
yang sebelumnya telah diundangkan dalam UU No. 44 Tahun 1979
diundangkan kembali dalam undang-undang tahun 1985 ditambahkan dengan
beberapa aturan baru. Tahun 2005, Mesir mengeluarkan UU No. 4 Tahun
2005 yang isinya mengamandemen Dekrit Hukum No 25 Tahun 1920 (yang
mengubah umur perwalian).
Dari segi substansi hukum, amandemen tahun 2005 menunjukkan
kembalinya Mesir dengan undang-undang konservatif. Salah satunya adalah
dicabutnya hak otomatis dari isteri untuk bercerai dengan suaminya jika
suaminya melakukan poligami. Pasal yang menyatakan sakit atau cedera yang
dialami oleh isteri disebabkan oleh suami yang berpoligami sebagai syarat
isteri mengajukan cerai dihilangkan dari perundang-undangan. Sebagai
gantinya, syarat bercerai mengharuskan isteri untuk menyatakan bahwa dia
merasa tersiksa karena suami berpoligami (kembali kepada pendapat klasik).
Aturan ini merupakan konsensus pemerintah Mesir dengan para tokoh agama
konservatif sekaligus dengan kalangan Muslim liberal.15
15
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim, hlm. 9.
8
E. Pengaruh Pembaruan Hukum Keluarga Turki dan Mesir terhadap
Negara Muslim Lain.
Dalam usaha pembaruan hukum keluarga, Turki dan Mesir telah
memberikan banyak kontribusi bagi negara-negara lain. Kontribusi tersebut
dapat dilihat dari berbagai negara yang mengadopsi atau merujuk secara
langsung terhadap UU Hukum Keluarga Turki, diantaranya:
1. Lebanon pernah memberlakukan The Ottoman law of Family Rights
1917 yang ditetapkan dengan The Muslim Family Law Ordinance No. 40
Tahun 1919.16
2. Yordania pernah memberlakukan The Ottoman Law of Family Rights
1917 sebelum lahirnya UU No. 92 Tahun 1951. Setelah lahir UU No. 92
Tahun 1951 sebagai UU Hukum Keluarga, dihapuslah UU The Ottoman.
Meskipun demikian, ternyata pengaruh UU hukum keluarga Turki
tersebut masih mempengaruhi UU No. 92 Tahun 1951 baik dari sisi
struktur maupun aturan rinciannya.17
3. Syiria pernah memberlakukan The Ottoman Law of Family Rights 1917
dengan sedikit modifikasi sebelum lahirnya Personal Status (Qanun al-
Ahwal asy-Syakhsiyyah as-Suriya).18
4. Tunisia mengambil sumber dari UU hukum keluarga Turki Utsmani
disamping mengambil sumber lain dari UU Mesir, Yordania, dan Syiria
dalam merancang Majallah al-Ahwal asy-Syakhsiyyah (Code of Personal
Status) 1956.19
Adapun beberapa negara yang merujuk secara langsung kepada UU
Hukum Keluarga Mesir, antara lain:
17
Ibid., hlm. 96.
18
Ibid., hlm. 97.
Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern:
19
Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, hlm. 86.
9
1. Tunisia dengan rancangannya Majallah al-Ahwal asy-Syakhsiyyah (Code
of Personal Status) 1956 mengambil beberapa sumber yang salah satunya
adalah UU Hukum Keluarga Mesir.20
2. Maroko mengikuti langkah reformasi Mesir yang menyatakan bahwa hak
mutlak perceraian bukan oleh Pengadilan namun hanya dianjurkan untuk
mendaftarkan perceraian kepada notaris. Meskipun demikian, Maroko
juga berusaha untuk menetralisasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
perceraian tertentu.21
3. Afghanistan merancang hukum perkawinan Qanun-i Izdiwaj 1971 yang
didasarkan kepada Hukum Keluarga Mesir Tahun 1929.22
4. Kuwait merancang UU Hukum Keluarga Qanun al-Ahwal al-
Syakhsiyyah (Code of Personal Law), UU No. 51 Tahun 1984 dengan
dasar hukum Islam, UU Mesir dan Maroko.23
5. Syria dalam merancang draft UU Hukum Keluarga Syria selain
mengambil sumber dari UU Turki juga mengambil sumber dari UU
Hukum Keluarga Mesir.24
Usaha pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh beberapa
negara muslim tidak terlepas dari pengaruh negara-negara lain yang lebih
dulu melakukan usaha pembaruan, bahkan terbukti ada sejumlah negara yang
menggunakan hukum perkawinan dan hukum keluarga suatu negara sebagai
draft pembaruan hukum di negaranya.
21
Ibid., hlm. 112.
22
Ibid., hlm. 139.
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 176.
10
Turki dan Mesir memiliki tujuan. Adapun tujuan dilakukannya pembaruan
hukum keluarga setidaknya ada tiga bentuk:
1. Sebagai upaya unifikasi hukum
2. Mengangkat status dan derajat wanita.
3. Merespon perkembangan dan tuntutan zaman.25
Tujuan pertama, upaya unifikasi hukum yang dibagi menjadi lima
kategori yakni pertama, unifikasi yang berlaku untuk muslim dan non
muslim. Kedua, unifikasi berlaku untuk muslim dengan menyatukan dua
aliran besar dalam Islam yaitu Sunni dan Syiah. Ketiga, unifikasi yang
berlaku untuk muslim dengan memadukan antar mazhab dikalangan Sunni.
Keempat, unifikasi dalam satu madzhab tertentu dengan mengambil
pandangan imam madzhab yang terkena. Kelima, unifikasi dengan
mengambil pandangan di luar imam madzhab yang terkenal. Dalam hal ini
dapat diambil contoh pada pembaruan UU Hukum Keluarga Mesir. Di Mesir,
masyarakatnya mayoritas merupakan penganut madzhab syafi’i dan sebagian
kecil menganut madzhab Hanafi, maka dengan dilahirkannya UU Hukum
Keluarga Mesir akan terjadi keseragaman hukum bagi muslim di Mesir
khususnya dalam masalah hukum keluarga.
Tujuan kedua yakni pengangkatan status wanita. Meskipun tujuan ini
tidak terlihat secara eksplisit, namun dapat dilihat dari sejarah legislasinya
yang diantaranya untuk merespons tuntutan-tuntutan pengangkatan status
wanita.
Tujuan ketiga yakni untuk merespon perkembangan dan tuntutan
zaman dikarenakan fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawab
permasalahan yang berkembang di masyarakat. Dapat dikatakan bahwa
tujuan ketiga ini merupakan tujuan pembaruan hukum keluarga di mayoritas
negara-negara muslim, meskipun tidak menutup kemungkinan di beberapa
negara mencakup beberapa tujuan sekaligus.
G. PENUTUP
25
Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam
Indonesia (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2010), hlm. 44.
11
Turki dan Mesir dapat dikatakan sebagai pelopor pembaruan hukum
keluarga di dunia muslim. Rancangan, metode maupun materi pembaruan
hukum keluarga di kedua negara tersebut banyak dijadikan sumber, rujukan
bahkan diadopsi oleh berbagai negara muslim, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Usaha pembaruan hukum keluarga Islam di kedua negara tersebut
dilaksanakan dengan tujuan merespon berbagai kebutuhan masyarakat di
bidang hukum keluarga, mengangkat status wanita serta unifikasi hukum
demi terciptanya keseragaman hukum.
DAFTAR PUSTAKA
12
Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20Di%20Turki.pdf, akses 21
September 2014.
13