Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAHAN INDONESIA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Etika Administrasi
Dosen Pengampu : H. Ii Somantri, S.IP., S.Ag., M.Ag., M.Si
Dr. H. Ahmad Humaedi, MM., M.Si

Disusun Oleh :
Nurul Khotimah Fauzi (1208010148)
Raden Alpiyan Sanjaya (1208010156)
Rima Nurmalah (1208010173)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberi kita
nikmat iman dan sehat. Berkat ridha-Nya, penyusun akhirnya dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Etika Organisasi Pemerintahan Indonesia” Sholawat serta salam tak lupa
penyusun ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memperjuangkan
umat manusia ke jalan yang benar dan menjadi pelajaran bagi kita semua.
Terimakasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada setiap pihak yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dukungan, serta saran-saran, sehingga penyusunan makalah
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini mencakup mengenai etika organisasi pemerintahan Indonesia yang harus
diterapkan para pelayan publik agar tidak terjadi penyelewengan ketika melaksanakan tugas
ataupun kewajiban sebagai pelayan publik.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih perlu dikaji lagi
lebih dalam. Penyusun berharap pembaca dapat memberikan kritik ataupun saran yang
membangun sebagai dasar perbaikan makalah ini kedepannya.

Subang, 8 Desember 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. ii


Daftar Isi ............................................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan............................................................................................................ 3
A. Pengertian etika organisasi pemerintah................................................................... 3
B. Dimensi etika dalam organisasi .............................................................................. 4
C. Arti dan pentingnya standar etika organisasi pemerintah ....................................... 7
D. Pentingnya etika dalam birokrasi ............................................................................ 9
E. Terbentuknya etika birokrasi................................................................................... 10
F. Penyusunan standar etika organisasi pemerintah .................................................... 11
G. Pengawasan dan evaluasi penerapan etika organisasi pemerintah .......................... 12
H. Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi .................. 12
BAB III Penutup ................................................................................................................. 18
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 18
B. Saran ....................................................................................................................... 18
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Etika merupakan kesediaan jiwa akan kesusilaan atau kumpulan dari peraturan
kesusilaan. Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang
dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam
masyarakat agar dapat dikatakan tindakan bermoral. Sesuai dengan moralitas dan
perilaku masyarakat setempat. Etika dapat dianggap penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan , Pertama, masalah yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan
semakin lama semakin kompleks, Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah
meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan penyelenggaraan
pemerintahan. Pemerintah melakukan adjusment (penyesuaian) yang
menuntutdiscretionary power (kekuatan pertimbangan / kebijaksanaan) yang besar.
Berbicara mengenai etika pemerintahan tidak terlepas dari etika birokrasi,
birokrasi merupakan instrument penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya
tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas
utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat
(social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang
diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun
tidaklangsung bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang
bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.
Dalam kaitan dengan Etika pemerintahan maka hal yang terkait proses
penyelenggaraan pemerintahan adalah menyangkut pentingnya melaksanakan tugas
dan tanggung, mentaati berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan,
melaksanakan hubungan kerja yang baik, serta menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif.
Maka dari itu etika dalam organisasi pemerintahan Indonesia haruslah dipahami
serta di implementasikan dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia. Atas
dasar itulah penyusun mencoba untuk membahas mengenai topik tersebut guna
menambah ilmu pengetahuan baik bagi penyusun sendiri maupun orang lain yang
membaca makalah ini.

1
B. RUMUSAN MASALAH
I. Apa pengertian etika organisasi pemerintah?
J. Bagaimana dimensi etika dalam organisasi?
K. Seperti apa arti dan pentingnya standar etika organisasi pemerintah?
L. Apa pentingnya etika dalam birokrasi?
M. Bagaimana terbentuknya etika birokrasi?
N. Bagaimana penyusunan standar etika organisasi pemerintah?
O. Bagaimana pengawasan dan evaluasi penerapan etika organisasi pemerintah?
P. Bagaimana peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui dan memahami pengertian etika organisasi pemerintah
2. Mengetahui dan memahami dimensi etika dalam organisasi
3. Mengetahui dan memahami arti dan pentingnya standar etika organisasi pemerintah
4. Mengetahui dan memahami pentingnya etika dalam birokrasi
5. Mengetahui dan memahami terbentuknya etika birokrasi
6. Mengetahui dan memahami penyusunan standar etika organisasi pemerintah
7. Mengetahui dan memahami pengawasan dan evaluasi penerapan etika organisasi
pemerintah
8. Mengetahui dan memahami peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan
etika birokrasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH


Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan
kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan- peraturan
kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya
tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta ditaati pula oleh
orang lain.
Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu
etika meliputi kesediaan dan kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin
dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir,
tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas
yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan (Aristoteles dalam Prof.
Drs.H.A.Widjaja, Etika Pemerintahan, Edisi kedua, Bumi Aksara, Jakarta, 1997)
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu pengetahuan
(cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan seamangat
kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral
bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral, dan
berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat.
Menurut Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik
dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak sosial dengan
masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam
artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah
masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau
tidak, apakah etis atau tidak.
Kemudian Drs.Haryanto, MA. menyatakan bahwa Etika merupakan instrumen
dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan
fungsidengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini berarti Etika merupakan norma dan
aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam bertindak dan memainkan
perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapatdikatakan
tindakannya bermoral. ( Drs. Haryanto, MA, Kuliah Birokrasi Indonesia, Politik Lokal
Otonomi Daerah Program Pasca SarjanaUGM,Yogyakarta,2002.)

3
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas
jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari
penilaian masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan
normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan
normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi
Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi. Sementara itu dalam konteks organisasi,
pengertian etika organisasi yaitu pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap
individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan membentuk
budaya organisasi(organizational culture) yang sejalan dengan tujuan maupun filosofi
organisasiyang bersangkutan.

B. DIMENSI ETIKA DALAM ORGANISASI.


Telah dikemukakan bahwa etika pengertiannya adalah cara bergaul atau
berprilaku yang baik. Nilai-nilai etika terungkap dalam aturan-aturan maupun
hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur bagaimana seseorang harus
bersikap dan berperilaku dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungan
masyarakatnya, termasuk juga dengan pemerintah. Dalam konteks organisasi, maka
etika organisasi dapat berarti pola sikap dan perilaku yang diharapkan dari setiap
individu dan kelompok anggota organisasi, yang secara keseluruhan akan
membentuk budaya organisasi (Organizational culture) yang sejalan dengan
tujuan maupun filosofi organisasi yang bersangkutan.
Organisasi sebagai sebuah struktur hubungan antar manusia dan antar
kelompok tentu saja memiliki nilai-nilai tertentu yang menjadi kode etik atau pola
perilaku anggota organisasi yang bersangkutan, betapapun kecilnya organisasi yang
bersangkutan. Salah satu nilai etika yang berlaku bagi setiap anggota organisasi jenis
apapun adalah apa yang dirumuskan sebagai: “Menjaga nama baik organisasi”.
Berdasarkan nilai tertentu setiap anggota organisasi apapun harus mampu
bersikap dan berperilaku yang mendukung terjaganya nama baik organisasinya.
Sedangkan pola perilaku yang ditekankan dalam upaya terjaganya nama
baik organisasi, biasanya dituangkan dalam sejumlah aturan mengenai apa yang
harus dan terlarang untuk dilakukan oleh setiap anggota organisasi, misalnya setiap
anggota diwajibkan selalu menggunakan simbol-simbol organisasi, baik itu berupa
pakaian, peralatan, hingga kartu nama. Sedangkan larangan yang diberlakukan

4
antara lain adalah berjudi, mabuk-mabukan, meminta tip kepada pelanggan atau
klien, dan sebagainya.
Secara konseptual, model organisasi yang ideal sebagaimana dirumuskan
oleh Max Weber yaitu: Birokrasi memiliki karakteristik yang sekaligus menjadi
nilai-nilai perilaku bagi para anggota organisasi tersebut. Beberapa karakteristik
organisasi yang ideal atau birokrasi menurut Weber (Indrawijaya, 1986:17) yang
penting diantaranya adalah adanya:
1. Spesialisasi atau pembagian pekerjaan
2. Tingkatan berjenjang (hierakhi)
3. Berdasarkan aturan atau prosedur kerja
4. Hubungan yang bersifat impersonal
5. Pengangkatan dan promosi anggota/pegawai berdasarkan kompetensi(sistem
Merit).
Sedangkan menurut Wallis (1989: 3-4) setiap anggota birokrasi tesebut
diharapkan agar:
1. Bebas dari segala urusan pribadi (Personally Free) selain yangberkaitan dengan
tugas-tugas yang telah ditetapkan
2. Setiap anggota harus mengerti tugas dan ruang lingkup jabatan atau kedudukannya
dalam hirarki organisasi
3. Setiap anggota harus mengerti dan dapat menerapkan kedudukan hukumnya
dalam organisasi, dalam arti memahami aturan yang menetapkan kewajiban dan
kewenangannya dalam organisasi.
4. Setiap anggota bekerja berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja dengan
kompensasi tertentu sesuai dengan tugas dantanggungjawab yang dibebankan
organisasi kepadanya
5. Setiap anggota dianggkat dan dipromosikan berdasarkan merit atau prestasi dan
kopetensi
6. Setiap anggota organisasi diberikan kompensasi berdasarkan tarif standar yang
sesuai dengan kedudukannya, maupun tugas pokokdan fungsinya
7. Setiap anggota organisasi wajib mendahulukan tugas pokok dan fungsinya
daripada tugas-tugas lain selain apa yang telah dibebankan kepadanya
oleh organisasi
8. Setiap anggota organisasi ditempatkan dengan struktur karir yang jelas

5
9. Setiap anggota organisasi harus berdisiplin dalam perilaku kerjanyadan untuk
itu dilakukan pengawasan.
Pandangan Max Weber mengenal model oganisasi ideal tersebut secara
ringkasnya mendudukan setiap anggota organisasi dalam hierarki struktural, setiap
pekerjaan diselesaikan berdasarkan prosedur dan aturan kerja yang berlaku, setiap
orang terikat dengan ketat terhadap aturan-aturandalam organisasi tersebut, dan
hubungan antara setiap anggota maupun kelompok dan dengan pihak luar terbatas
hanya kepada urusan-urusan pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawab
masing-masing anggota. Jadi dalam model organisasi yang ideal ini sifatnya
mekanistis, kaku, dan impersonal (tidak Pribadi).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dimensi
perilaku manusia dalam organisasi dengan nilai-nilai etikanya, mencakup
beberapa dimensi, yaitu:
1. Dimensi hubungan antara anggota denganorganisasi yang tergantung
dalam perjanjian atau aturan-aturan legal
2. Hubungan antara anggota organisasi dengan sesama anggota lainnya, antara
anggota dengan pejabat dalam struktur hierarki
3. Hubungan antara anggota organisasi yang bersangkutan dengan anggota dan
organisasi lainnya
4. Hubungan antara anggota dengan masyarakat yang dilayaninya
Etika pemerintah dalam organisasi administrasi publik atau pemerintah,
merupakan pola-pola sikap dan prilaku serta hubungan antara manusia dalam organisasi
tersebut dan hubungannya dengan pihak luar organisasi pada umumnya
diaturdengan peraturan-perundangan yang berlaku dalam sistem hukum negara
yang bersangkutan. Bagi aparatur pemerintah, budaya dan etika kerja
merupakan hal yang penting untuk dikembangkan baik pada tingkat
pemerintahan pusat maupun daerah, pada tingkat departemen atau organisasi
maupun unit-unit kerja dibawahnya.
Adanya etika ini diharapkan mampu membangkitkan kepekaan birokrasi
(pemerintah) dalam melayani kepentingan masyarakat (NicholasHenry, 1988). Tujuan
yang hakiki dalam setiap pemerintah di negara manapun adalah mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat warga negara yang bersangkutan. Namun demikian
pola atau cara-cara yang ditempuh dan perilaku pemerintah dalam hal itu berbeda

6
dari satu negara ke negara lainnya, tergantung kondisi dan situasi yang berlaku
di negara masing-masing.
Dalam negara yang demokratis, mendahulukan kepentingan rakyat menjadi
tujuan dan sekaligus etika bagi setiap penyelenggara negara danpemerintah. Dalam
sistem pemerintahan yang demokratis berlaku norma: “dari, oleh dan untuk rakyat”
sehingga etika kerja aparatur dalam system pemerintahan ini adalah selalu
mengikutsertakan rakyat dan berorientasi kepada aspirasi dan kepentingan rakyat
dalam setiap langkah kebijakan dantindakan penerintah.
Transparansi, keterbukaan, dan akuntabilitas menjadi nilai-nilai yang
dijunjung tinggi dan diwujudkan dalam etika pergaulan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Sebaliknya, dalam negara yang pemerintahanya bersifat otoriter,
maka kepentingan kekuasaannyalah yang bersifat prioritas. Sehingga etika kerja
aparatur sangat diarahkan pada terwujudnya keamanan dan kelangsungan
kekuasaan pemerintahan. Dalam hal ini, kerahasaiaan dan represi menjadi pola
kebijakan dan perilaku aparatur pemerintah.

C. ARTI DAN PENTINGNYA STANDAR ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH


Pemerintah dan seluruh jajarannya dinegara manapun sering menjadi
objek kritikan masyarakat karena berbagai kelemahan yang ditunjukkannya. Ini
adalah resiko dari sektor publik, khususnya dalam lingkungan demokrasi,
menghadapi kondisi masyarakat yang sangat bervariasi, komplek, dan dinamis.
Organisasi pemerintahan pada umumnya dirancang sebagai sistem birokrasi yang
besar dan berorientasi kepada aturan-aturan hukum dan perundang-undangan, serta
prosedur yang baku. Sehingga, dalam interaksinya dengan masyarakat cenderung
kaku, rumit,lamban, bahkan korup.
Dalam kondisi masyarakat sekarang ini, pemerintah dinegara manapun
telah cenderung menentukan arah dan komitmen melakukan reformasi dalam
berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahannya. Salah satu sumber inspirasi
perubahan tersebut antara lain adalah tulisan David Osborne dan Ted Gaebler
(1992) yang berjudul “Reinventing Government:How Entepreneurial Spirit is
Transforming the Publik Sector” Alasanmengapa pemerintah perlu melakukan
perubahan, salah satunya adalah bahwa sistem-sistem dalam pemerintahan tidak
cukup efektif membentuk kompetensi dan kualitas sumber daya manusia yang
handal. Sebaliknya sistem dalam pemerintahan telah cenderung membentuk

7
para birokrat menjadi kurang responsif, lamban, berorientasi pada status-quo,
korup dan sebagainya. Sehingga sistem-sistem yang ada dalam pemerintahan harus
dirubah, bukan manusianya.
Mustopadidjaja (1997) dalam tulisannya yang berjudul “Format
Pemerintahan Menghadapi Abad 21” dalam jurnal administrasi dan
Pembangunan, edisi khusus, Volume 1, N0. 2 Tahun 1997, hal 17
menyatakan bahwa salah satu prinsip dalam pemerintahan adalah pelayanan,
yaitu semangat untuk melayani masyarakat (a Spirit of society) dan menjadi mitra
masyarakat (partner of society). Untuk mewujudkan hal itu maka diperlukan suatu
proses perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui “pembudayaan
kode etik (code of ethical conducts) yang berdasarkan pada dukungan
lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan kedalam standar tingkah laku
yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik
di pusat maupun didaerah-daerah.”
Selanjutnya dijelaskan oleh Mustopadidjaja (1997:17-18) bahwa dalam
pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan manajemen publik harus bersikap
terbuka, transparan, dan akuntabel, untuk mendorong pengamalan dan pelembagaan
kode etik tersebut. Dalam hubungannya dengan pelayanan kepada masyarakat
menurut Mustopadidjaja hal itumengandung arti sebagai semangat pengabdian
yang mengutamakan efisiensi, dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang
dimanifestasikan antara lain dalam perilaku “melayani, bukan
dilayani”;“mendorong, bukan menghambat”; “mempermudah, bukan
mempersulit”;“sederhana, bukan berbelit-belit”.
Standar etika organisasi pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah
kualitas pemenuhan atau perwujudan nilai-nilai atau norma-norma sikap dan perilaku
pemerintah dalam setiap kebijakan dantindakannya, yang dapat diterima oleh
masyarakat luas. Ini tidak berarti bahwa pemerintah sama sekali tidak memiliki
standar etika pemerintahan, akan tetepi dimensi pelaksanaan etika tersebut
mungkin yang perlu ditingkatkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan
meningkatkan standar etika organisasi pemerintah itu, sebenarnya adalah
meningkatkan kualitas perwujudan atau pemenuhan batasan-batasan nilai atau
norma sikap dan perilku dalam kebijakan dan tindakan aparatur pemerintah,
yang dapat memuaskan dan membengun kepercayaan masyarakat.

8
D. PENTINGNYA ETIKA DALAM BIROKRASI
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam
pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus
Dwiyanto (Seminar Forum Kebijakan Publik, Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta,2000)
bahwa :
1. Masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang
akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah
melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan
komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan
masalah yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan –
pilihan yang jelas yang masing – masing memiliki implikasi yangsaling
berbenturan satu sama lain.
2. Keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan
perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan
tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap
tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk
bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar.
Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akandapat dilakukan dengan baik kalau
birokrasi memiliki kesadaran dan pemahamanyang tinggi mengenai besarnya
kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi
kepentingan masyarakatnya.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa
Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan
sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi itu
sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam
masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat
diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan. Untuk
itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau
bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada
aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam
bertindak dan berperilaku ditengah-tengah masyarakat.

9
E. TERBENTUKNYA ETIKA BIROKRASI
Terbentuknya Etika Birokrasi tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam
masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di
tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada dan
berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya
dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan yang
merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Dalam menyikapi pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia sering dikaitkan
dengan Etika Pegawai Negeri yang telah diformalkan lewat ketentuan dan peraturan
Kepegawaian di negara kita, sehingga terkadang tidak menyentuh permasalahan Etika
dalam masyarakat yang lebih jauh lagi disebut moral. Disini tidak akan
dipermasalahkan Etika Birokrasi itu diformalkan atau tidak tetapi yang terpenting
adalah bagaimana penerapannya serta sanksi yang jelas dan tegas, ini semua
mambutuhkan kemauan baik dari Aparat Birokrasi itu sendiri untuk mentaatinya.
Pelaksanaan Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas perlu diperhatikan perihal sanksi yang
menyertainya, karena Etika pada umumnya tidak ada sanksi fisik atau hukuman tetapi
berupa sanksi sosial dalam masyarakat, seperti dikucilkan, dihujat dan yang paling
keras disingkirkan dari lingkukgan masyarakat tersebut, sementara bagi Aparat
Birokrasi sangat sulit, karena masyarakat enggan dan sungkan (budaya Patron yang
melekat). Begitu rumit dan kompleksnya permasalahan pemerintahan dewasa ini
membuat para aparat birokrasi mudah tergelincir atau terjerumus kedadalam perilaku
yang menyimpang, belum lagi karenan tuntutan atau kebutuhan hidupnyas endiri, untuk
itu perlu adanya penegasan payung hukum atau norma aturan yang perlu disepakati
bersama untuk dilakukan dan diayomi dengan aturan hukum yang jelas dan sanksi yang
tegas bagi siapa saja pelanggarnya tanpa pandang bulu didalam jajaran Birokrasi di
Indonesia
Seiring dengan itu oleh Paul H. Douglasd alam bukunya “Ethics in
Government” yang dikutip oleh Drs. Haryanto, MA, tentang tindakan-tindakan yang
hendaknya dihindari oleh seorang pejabat pemerintah yang juga merupakan aparat
Birokrasi, yaitu :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan
pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan.

10
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swsta pada saat ia
melaksanakantransaksi untuk kepentinagn dinas.
3. Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat it berada dalam
tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah.
4. Membocornakan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasiakepada
pihak-pihak yang tidak berhak.
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam
menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.
Dengan demikian jelas bahwa Etika Birokrasi sangat terkait dengan perilaku
dan tindakan oleh aparat birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya,
apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang
tegas dan nyata, sebab berbicara tentang Etika biasanya tidak tertulis dan sanksinya
berupa sanksi sosial yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan
masyarakat tersebut.

F. PENYUSUNAN STANDAR ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH


Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, etika organisasi pemerintah
adalah batasan pola sikap dan perilaku aparatur pemerintah dimana setiap kebijakan
dan tindakannya yang dapat diterima secara umum oleh lingkungan masyarakat
di dalam negara yang bersangkutan. Bahkan sebenarnya, dengan arus globalisasi
dewasa ini maka standar etika tersebut harus pula dapat diterima oleh lingkungan
masyarakat global. Jika tidak, maka negara yang bersangkutan akan dikucilkan dari
pergaulan dunia. Untuk itu, dalam upaya menyusun standar-standar etika organisasi
dan aparatur pemerintah, peranan masyarakat melalui lembaga-lembaga
perwakilannya menjadi narasumber yang penting dan strategis.
Melalui serangkaian proses komunikasi interaktif dengan berbagai
lapisan masyarakat beserta lembaga-lembaga yang merepresentasikan mereka,
pemerintah dapat mengidentifikasi apa saja harapan-harapan dan tuntunan
masyarakat terhadap institusi pemerintah dan aparatur penyelenggara
pemerintahannya. Hal tersebut harus dilakukan mulai dari bawah, dari unsur-unsur
kelompok masyarakat paling bawah lalu beranjak meningkat kepada kelompok
masyarakat menegah dan atas.

11
G. PENGAWASAN DAN EVALUASI PENERAPAN ETIKA ORGANISASI
PEMERINTAH
Penerapan standar-standar etika oleh organisasi pemerintah beserta aparatur
pemerintahannya, jelas harus dapat dimonitor perkembangannya. Harus ada sistem
pengawasan dan evaluasi atas penerapan etika organisasi pemerintah. Dalam kerangka
kepemerintahan yang baik (Good Governance), maka pelaku pengawasan dan
evaluasi penerapan etika oleh aparatur pemerintah sebaiknya tidak hanya dilakukan
oleh lembaga pemerintahan saja secara eksklusif, tetapi juga memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada masyarakat dan sektor swasta untuk menilai bagaimana
sebenarnya etika pemerintah diwujudkan.
Untuk itu diperlukan pengawasan seperti:
1. Peranan lembaga pemerintahan dalam pengawasan dan evaluasi etika
2. Perananmasyarakat dalam penilaian etika organisasi pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut sebenarnya dalam era reformasi ini peningkatan
standar etika organisasi pemerintah dan aparatur pemerintah harus dapat
diwujudkan. Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga pemerintah maupun
lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi gerak langkah dan kebijakan
pemerintah maupun pegawai negeri pada umumnya, masyarakat seharusnya dapat
terjamin bahwa etika organisasi pemerintah akan memenuhi harapan mereka.

H. PERATURAN KEPEGAWAIAN SEBAGAI BAGIAN DARI PENERAPAN


ETIKA BIROKRASI.
Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur
Birokrasi itu sendiri karena ketika kita Etika Birokrasi didengungkan secara tertulis
memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah
termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai
negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi
penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki
jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki.
Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para aparat birokrasi itu
sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara konkrit di
negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara
Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai aturan
yang telah ditetapkan.

12
Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi
atau Pegawai Negeri yang secara struktural telah diatur aturan mainnya, dimana kita
kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang
Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta
Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI).
Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada
kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh sebagai suatu wejangan dari
seorang pimpinan upacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk
menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang
berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mentalyang diperlukan, juga untuk
menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara
bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan
upacara – upacara nasional.
Setiap organisasi, demikian juga KORPRI (PNS) ada usaha untuk membentuk
Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan
bermoral. Maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik
tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab,
lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yg baik
terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme & lain-lain.
Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka
perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sanksi yang tegas dan jelas kepada
mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam
hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai,
menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian
yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi.
Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau
Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara
berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil
dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai
Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan

13
sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dalam hubungan ini Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1974 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat
Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan,
kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha
penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian.
2. Aturan mengenai kedudukan Pegawai Negeri sipil
Pegawai Negeri sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat
yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan
Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan
kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan
masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa
pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan.
3. Penghargaan Pegawai Negeri sipil
Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan
kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa
bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri
yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara
otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh
kepada yang lain dalam melaksanakan tugas.
4. Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik
Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih
beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka
sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga
moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi.
5. Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil
Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara
lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sanksi, tata cara
pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang
kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau
Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan
harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain
mengatur tentang :
• Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
14
• Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/
janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima
sanksinya.
• Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
• Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
• Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang
dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di
bidang keamanan, keuangan, dan material.
• Mentaati ketentuan jam kerja.
• Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
• Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
• Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
• Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan
kariernya.
• Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun
terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya.
Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku
aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan
seperti :
• Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat
Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
• Menyalahgunakan wewenangnya.
• Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik
negara.
• Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun
yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan
dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
• Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau
martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
• Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
• Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk
mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.

15
• Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam
melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak
lain.
Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami
oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan
yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen
merupakan aparat birokrasi.
Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga
yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sanksi atau
hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sanksi
atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi
sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sanksi tersebut menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
1. Hukuman disiplin ringan antara lain :
• Teguran lisan
• Teguran tertulis
• Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain :
• Penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
• penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun.
• Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3. Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari :
• Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu
tahun.
• Pembebasan dari jabatan.
• Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai
negeri sipil.
• Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Dari sanksi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja
pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di
atas, jelaslah bagi kita beratnya sanksi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun
sekarang kembali lagi kepada penegakkan sanksi atas pelanggaran Etika tersebut, apa
betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya

16
sebatas retorika ataupun sanksi sosial saja, karena sanksi sosial hanya efektif apabila
aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam
organisasi Birokrasi harus tegas berupa sanksi hukuman sesuai peraturan perundang-
undangan tersebut di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat
dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur
segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sanksi yang mengikat,
sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika.
Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi
merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan
aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri
yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam
Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri sipil, serta aturan Kepegawaian yang
berlaku dengan memberikan sanksi yang tegas dan nyata terhadap yang melanggarnya.
Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam
dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika
dan bermoral.

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Etika pemerintah dalam organisasi administrasi publik atau pemerintah,
merupakan pola-pola sikap dan prilaku serta hubungan antara manusia dalam organisasi
tersebut dan hubungannya dengan pihak luar organisasi pada umumnya
diaturdengan peraturan-perundangan yang berlaku dalam sistem hukum negara
yang bersangkutan. Bagi aparatur pemerintah, budaya dan etika kerja
merupakan hal yang penting untuk dikembangkan baik pada tingkat
pemerintahan pusat maupun daerah, pada tingkat departemen atau organisasi
maupun unit-unit kerja dibawahnya. Adanya etika ini diharapkan mampu
membangkitkan kepekaan birokrasi (pemerintah) dalam melayani kepentingan
masyarakat
Penyelenggara pelayanan publik tidak mungkin terlepas dari persoalan nilai,
etika, norma atau moral, karena berkaitan dengan persoalan kebaikan dan keburukan.
Tugas pelayan publik tidak terlepas dari hal-hal yang baik dan buruk. Dalam praktek
pelayanan publik di Indonesia saat ini, kita menginginkan birokrasi publik yang terdiri
dari manusia yang berkarakter, dilandasi sifat kebaikan, yang akan menghasilkan
kebaikan untuk kepentingan masyarakat. Tujuan pribadi atau golongan harus
dikesampingkan dengan segala cara, karakter ini harus ditunjukkan, bukan hanya
sekedar menghayati nilai kebenaran, kebaikan dan kebebasan yang mendasar. Hal ini
penting karena birokrasi pelayanan publik ini menempatkan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi atau golongan, rela berkorban, dan bekerja keras tanpa pamrih.
Semangat kerja keras akan membuat seorang birokrat sanggup bertahan dari godaan
untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai kebenaran, kebaikan, keindahan,
kebebasan, persamaan, dan keadilan.

B. SARAN
Aparatur pemerintah wajib melaksanakan dan menerapkan kode etik aparatur
pemerintah, dimana apabila aparatur pemerintah terbukti melakukan pelanggaran kode
etik, akan dikenakan sanksi moral, juga dapat dikenakan tindakan administratif atas
rekomendasi Majelis Kode Etik. Aparatur Pemerintah juga wajib menjunjung tinggi

18
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembinaan jiwa korps dan Kode Etik Aparatur
Pemerintah, mengingat nilai-nilai dasar dimaksud merupakan nilai-nilai yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, negara dan pemerintah.
Etika Aparatur Pemerintah mewujudkan aparatur yang berdisiplin, aparatur
yang menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugas,
termasuk di dalamnya menaati peraturan disiplin aparatur pemerintah/pegawai negeri
sipil, di mana aparatur pemerintah yang beretika tidak akan melanggar peraturan
disiplin dan tidak akan dijatuhi hukuman disiplin.
Jika para aparatur pemerintah sudah sepenuhnya menerapkan atau
mengimplementasikan etika atau kode etik, maka pemerintahan Indonesia yang bersih
dan jujur akan terwujud sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang maju dan bebas
dari segala bentuk penyelewengan aparatur pemerintahnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bisri, M. H., & Asmoro, B. T. (2019). Etika Pelayanan Publik di Indonesia. Journal of Governance

Innovation , 3-4.

Dra. Lamsari Sitompul, M. (2011, januari 5). lamsarisitompul. Retrieved from

lamsarisitompul.blogspot: http://lamsari-sitompul.blogspot.com/2011/01/etika-

organisasi-pemerintah-oleh-

dra.html?m=1http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/view/373/331

Endah, K. (2018). Etika Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik. Jurnal Unigal, 8.

Miranda, A. (2011, 5 9). scribd. Retrieved from scribd.com:

https://www.scribd.com/doc/54997172/ETIKA-ORGANISASI-PEMERINTAH

Somali, S. G. (2012). Etika Pemerintahan. Sosio Humanitas, 5-7.

20

Anda mungkin juga menyukai