Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam sebagai ajaran menjadi sebuah topik yang menarik di kaji, baik
oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun sarjana-sarjana barat, mulai
tradisi orientalis sampai pada sebutan islamisist (ahli pengkaji keislaman),
atau sebutan lain dengan sebagai islamog. Kajian keislaman (islamic studies)
merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas islam, baik ajaran,
kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Dan di dalam makalah ini
akan dipaparkan tentang model penelitian antropologi dan sosiologi agama.
Melalui penelitian, antropologi agama dapat diartikan sebagai daratan empirik
yang dapat dilihat dari awal kemunculannya samapai agama itu muncul dan
dirumuskan. Contoh kajian itu adalah hubungan antara agama dengan
aktivitas ekonomi di masyarakat. Selanjutnya kita juga bisa meneliti
pendekatan sosiologi dalam memahami agama. Sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari kejadian dan kebiasaan yang terjadi di masyarakat yang terjadi
berulang-ulang secara teratur. Struktur yang stabil dan dapat bertahan lama di
kehidupan masyarakat dalam menjalin tindak sosial tersebut adalah agama.
Agama mampu memberikan jaminan kehidupan secara berstruktur dan stabil
di masyarakat.
Timbulnya sikap keberagaman juga bisa dilacak penyebabnya dari cara
umat tersebut keliru dalam memahami agama. Islam yang muatan ajarannya
banyak berkaitan dengan masalah-masalah sosial sebagaimana diatas ternyata
belum dapat diangkat kepermukaan disebabkan metode dan pendekatan yang
kurang komprehensif. Dari segi alat yang digunakan untuk memahami islam,
misalnya kita melihat cara yang bermacam-macam; antara satu dan lainnya
tidak saling berjumpa. Mukti ali misalnya mengatakan, jika kita mempelajari
cara orang mendekati dan memahami islam, maka tampak ada tiga cara yang
jelas. Tiga pendekatan itu adalah naqli (tradisional), aqli (rasional), kasyf
(mistis). Maka dari penjelasan diatas itulah tentang model penelitian
antropologi dan sosiologi agama.

1.2 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk memahami dan memaknai model
penelitian pendekatan antropologi dan sosiologi bagi mahasiswa akidah dan
filsafat islam.

1.3 Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan
menggunakan metode tinjauan dari beberapa sumber yang berkopetensi
mengenai pendekatan antropologi dan sosiologi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Sosiologis


2.1.1 Perkembangan Sosiologis

Semenjak kelahirannya, sosiologi concern dengan studi agama,


meskipun perhatiannya terkadang menguat dan melemah. Karya-karya
founding fathers sosiologi, termasuk Comte, Durkheim, Max dan Weber,
sering mengacu pada wacana-wacana sosiologis atau studi perilaku dan sistem
keyakinan keagamaan. Namun demikian, pada pertengahan abad 20, para
sosiolog di Erofa atau Amerika Utara melihat bahwa agama memiliki
signifikansi marginal dalam dunia sosial, dan sosiologi agama bergerak dalam
garis tepi studi sosiologis.
Seiring dengan datangnya postmodernitas (high or late modernity) dan
bangkitnya agama dalam beragam konteks global, agama kembali
memperoleh signifikansi sosiologis baik dalam masyarakat yang sedang
berkembang maupun di Erofa dan Amerika Utara. Konsekuensinya studi
sosiologi terhadap agama mulai keluar dari garis tepi disiplinnya dan
memanifestasikan tumbuhnya minat pada mainstream sosiologis yang
memfokuskan perhatiannya sekitar persoalan ekologi dan perwujudan,
gerakan dan protes sosial, globalisasi, nasionalisme dan postmodernitas.
Menurut anggapan umum, Aguste Comte dan Henri Saint Simon
adalah pendiri sosiologi. Bagi Comte, sosiologi mengikuti jejak ilmu alam.
Observasi empiris terhadap masyarakat manusia akan melahirkan kajian
rasional dan positivistik mengenai kehidupan sosial yang akan memberikan
prinsip-prinsip pengorganisasian bagi ilmu kemasyarakatan. Dalam
pandangan Comte, bentuk positivistik konsepsi sosiologis akan membawa
konsekuensi hilangnya agama dan teologi sebagai model prilaku dan
keyakinan dalam masyarakat modern.
Sedangkan Durkheim, dalam kajian sosiologinya memfokuskan agama
pada aspek fungsi, di mana agama dilihatnya sebagai jembatan ketegangan
dengan suku atau kelompok lain, karena agama seringkali melahirkan
keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat dalam suatu
proyeksi kebersamaan, sekumpulan nilai dan tujuan sosial bersama. Kondisi
inilah yang memperkuat fanatisme kelompok sosial sehingga saat berhadapan
dengan kelompok lain yang berbeda agama, akan sangat mudah memunculkan
ketegangan antar kelompok.
Setelah Durkheim, kajian sosiologi terhadap agama mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, misalnya muncul para sosiolog yang
bernama Talcott Parsons, Robert Bellah, Bryan Wilson, Karl Marx, Max
Weber dan beberapa sosiolog lainnya yang cukup serius mengkaji agama
dengan pendekatan sosiologi, kendatipun banyak diantaranya yang
memperkuat paham sekuler.

2.1.2 Kararteristik Dasar Pendekatan Sosiologis

Teorisasi sosiologis tentang karakteristik agama serta kedudukan dan


signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong untuk ditetapkannya
serangkaian kategori sosiologis, meliputi:
1. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas
2. Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa
kanak-kanak dan usia.
3. Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem
pertukaran dan birokrasi.
4. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi
personal, penyimpangan dan globalisasi.
Peran kategori-kategori dalam studi sosiologi terhadap agama
ditentukan oleh pengaruh paradigma utama tradisi sosiologi dan oleh refleksi
empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan. Paradigma fungsionalis yang
mula-mula berasal dari Durkheim dan kemudian di-kembangkan oleh sosiolog
Amerika Utara Talcott Parsons, secara khusus memiliki pengaruh kuat dalam
sosiologi agama. Parsons melihat bahwa masyarakat adalah suatu sistem
sosial yang dapat disamakan dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sistem
sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik yang memberikan kontribusi
terhadap kesehatan dan vitalias sistem sosial serta dapat menjamin
kelangsungan hidup manusia.

Sedangkan bagi Bryan Wilson, agama memiliki fungsi manifes dan


fungsi laten. Fungsi manifesnya adalah memberikan keselamatan identitas
personal dan jiwa bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan fungsi latennya
adalah memberdayakan personal dan spiritual dalam menghadapi gangguan
emosional inner, kondisi spiritual dan upaya untuk menghadapi ancaman
keimanan dan penyembahan.
Untuk mendapatkan gambaran dari persoalan-persoalan yang di kaji,
para sosiolog menggunakan dua corak metodologi penelitian, yaitu kuantitatif
dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada
skala besar survey terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktik
kehadiran di gereja. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Rodney Stark dan
William Bainbridge dalam The Futureof Religion saat mengumpulkan
sejumlah besar database statistik nasional dan regional tentang kehadiran di
gereja dan keanggotaan peribadatan dalam upaya menghasilkan teori sosial
yang telah direvisi mengenai posisi agama dalam masyarakat modern.
Sedangkan penelitian kualitatif terhadap agama disandarkan pada komunitas
atau jama’ah keagamaan dalam skala kecil dengan menggunakan metode
seperti pengamatan partisipan atau wawancara mendalam. Metode ini
diprakarsai oleh Max Weber. dan kemudian disempurnakan oleh Ernst
Troeltsch dari Jerman. Jelasnya bahwa dua metode tersebut (kuantitatif dan
kualitatif) dapat digunakan untuk meneliti agama melalui pendekatan
sosiologi.

2.1.3 Objek Kajian Dalam Pendekatan Sosiologi

Menurut M. Atho Mudzhar,pendekatan sosiologi agama dapat


mengambil beberapa tema atau obyek penelitian, seperti:
1. Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat.
2. Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat ter-hadap
pemahaman ajaran atau konsep keagamaan.
3. Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat.
4. Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim.
5. Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat
melemahkan atau menjunjung kehidupan beragama.
Setiap tema yang dikaji, setidaknya tetap relevan dengan teori
sosiologi, baik teori fungsionalisme, konflik maupun interaksionalisme. Teori
fungsionalisme dan konflik bekerja dengan cara analisis makro sosiologi yaitu
memfokuskan perhatiannya pada struktur sosial. Adapun teori
interaksionalisme dengan cara analisis mikro, yaitu lebih mem-fokuskan
perhatiannya pada karakteristik personal dan interaksi yang terjalin antar
individu.

2.2 Pendekatan Atropologis


2.2.1 Perkembangan Antropologis

Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu


pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia. Kajian
antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman kolonialisme di era
penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika
dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga
menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai
kolonial dan missionaris, selain melaksanakan tugasnya, mereka juga
membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat, upacara-upacara, sistem
kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan.
Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad
ini, antropologi sudah digunakan sebagai pendekatan penelitian yang
difokuskan pada kajian asal usul manusia. Penelitian antropologi ini
mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang
yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia,
apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua
dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.
Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat
manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa
dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka sudah menempati
posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada pada posisi
tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi
bawah. Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin
tentang evolusi biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para
fundamentalis populis di USA.
Selain perdebatan seputar masyarakat, antropolog juga tertarik
mengkaji tentang agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di
kalangan mereka, seperti pertanyaan tentang: Apakah bentuk agama yang
paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam?
Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau
bayangan, suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan
pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada
abad ke 19. Sebagai contoh, terdapat dua karya besar yang masing-masing
ditulis Sir James Frazer tentang “The Golden Bough” dan Emil Durkheim
tentang “The Element Forms of Religious Life”.
Dalam karyanya tersebut, Frazer menampilkan contoh-contoh magic
dan ritual dari teks klasik. Frazer berkesimpulan bahwa seluruh agama itu
sebagai bentuk sihir (magic) fertilitas. Dalam karyanya yang lain, Frazer
mengemukakan skema evolusi sederhana yaitu suatu ekspresi dari keyakinan
rasionalismenya bahwa sejarah manusia melewati tiga fase yang secara
berurutan didominasi oleh magic (sihir), agama dan ilmu.
Berbeda dengan Durkheim, dia kurang sependapat jika mengambil
contoh dari semua agama di dunia dengan kurang memperhatikan konteks
aslinya seperti yang dilakukan oleh Frazer, karena itu adalah metode
antropologi yang keliru. Menurutnya, “eksperimen yang dilakukan dengan
baik dapat membuktikan adanya aturan tunggal, dan mengatakan perlunya
menguji sebuah contoh secara mendalam, seperti agama Aborigin di Arunto
Australia Tengah. Terlepas dari kontroversi terhadap penelitiannya, yang jelas
Durkheim telah memberikan inspirasi kepada para antropolog untuk
menggunakan studi kasus dalam mengungkap sebuah kebenaran.
Setelah Frazer dan Durkheim, kajian antropologi agama terus
mengalami perkembangan dengan beragam pendekatan penelitiannya.
Beberapa antropolog ada yang mengorientasikan kajian agamanya pada
psikologi kognitif, sebagian lain pada feminisme, dan sebagian lainnya pada
secara sejarah sosiologis

2.2.2 Karakteristik Dasar Pendekatan Antropologis

Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah


holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam
konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan
yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropolog harus
melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic, dan
pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa dilihat
sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial
lainnya.
Beberapa tahun terakhir, ketika dekonstruksi postmodernisme yang
sedang digemari menjalar melalui ilmu sosial, pendekatan holistik mendapat
serangan. Jika ada masa-masa keemasannya, kerangka kerja fungsionalisme
struktural lebih membesarkan watak sistematik yang ditelitinya, namun saat
ini sudah dibuka peluang terhadap fungsionalis struktural. Karya yang
melakukan hal ini dapat dilihat dalam Lugbara Religion hasil penelitian
Middleton. Dalam karyanya tersebut, dia lebih senang memilih istilah Inggris
daripada bahasa Lugbara itu sendiri, misalnya ancertor (nenek moyang), ghost
(hantu), witchcraft (ilmu ghaib) dan sorcery (ilmu sihir). Kendatipun
demikian, karya Middleton tidak mengurangi kekayaan etnografi, buktinya
siapa saja yang membaca hasil karyanya masih merasakan proses aksi sosial
dan agama seperti yang benar-benar dipraktikan. Dengan caranya ini, terlihat
adanya pergeseran karakteristik penelitian, dari karakteristik struktural ke
“makna”.
Karakteristik antropologi bergeser lagi dari antropologi “makna” ke
antropologi interpretatif yang lebih global, seperti yang dilakukan oleh C.
Geertz. Ide kuncinya bahwa apa yang sesungguhnya penting adalah
kemungkinan menafsirkan peristiwa menurut cara pandang masyarakat itu
sendiri. Penelitian seperti ini harus dilakukan dengan cara tinggal di tempat
penelitian dalam waktu yang lama, agar mendapatkan tafsiran dari masyarakat
tentang agama yang diamalkannya. Jadi, pada intinya setiap penelitian yang
dilakukan oleh antropolog, memiliki karakteristik masing-masing, dan bagi
siapa saja yang ingin melakukan penelitian dengan pendekatan antropologi,
bisa memilih contoh yang telah ada atau menggunakan pendekatan baru yang
diinginkan.
2.2.3 Objek Kajian Dalam Pendekatan Antropologis

Berdasarkan uraian tentang perkembangan antropologi di atas, maka


secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu
antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme
biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik
dan etnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya
melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap
variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya
menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak
ada kebudayaan tanpa manusia.
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang
dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang
datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama
dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan
kepada yang sakral, wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap
fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar, ada lima fenomena agama
yang dapat dikaji, yaitu:
1. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap,
perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan
waris.
4. Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan
berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja
Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi,
karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan
kreasi manusia.

2.3 Makna Penelitian Antropologi Dan Sosiologi Agama


Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan
antropologi dan sosioloi sebagai basis pendekatannya. Berbagai pendekatan
dalam memahami agama yang selama ini digunakan dipandang harus
dilengkapi dengan pendekatan antropologi dan sosiologi agama. Berbagai
pendekatan dalam memahami agama yang ada selama ini antara lain
pendekatan teologis, normatif, filosofis, dan histori. Melalui pendekatan
antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat dilihat
serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan
dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan
berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Penelitian hubungan antara
agama dan ekonomi melahirkan beberapa teoriyang cukup menggugah minat
para peneliti agama. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat
ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan penelitian antropologi,
golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain pada
menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan
kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah
mapan secara ekonomi lataran tatanan tersebut menggantungkan pihaknya.
Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di
atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena
keagamaan ternyata tidak berdiiri sendiri dan tidak pernah terlepas dari
jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami
gejala-gejala keagamaan. Selanjutnya, mengenai pendekatan sosiologi dalam
memahami agama. Diketahui bahwa sosiologi merupakan ilmu yang
membahas sesuatu yang telah teratur dan terjadi secara berulang dalam
masyarakat. Dalam tinjauan sosiologi masyarakat dilihat sebagai suatu
kesatuan yang didasarkan pada ikatan-ikatan yang sudah teratur dan boleh
dikatakan stabil. Sehubungan dengan ini, dengan sendirinya masyarakat
merupakan kesatuan yang dalam bingkai strukturnya (proses sosial) diselidiki
oleh sosiologi.
Dalam pandangan kaum sosiolog, agama lebih lanjut dibuktikan
memiliki fungsi yang amat penting. Dalam hubungan ini, paling kurang ada
enam fungsi agama bagi kehidupan masyarakat. (Pertama), agama dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari manusia yang tidak dapat
dipenuhi oleh lainnya. Seorang sarjana ekonomi Amerika pernah menulis
buku dengan judul yang amat provokatif, yaitu janji-janji untuk kehidupan
manusia. Menurutnya, janji-janji itu adalah kredit. Fakta menunjukkan bahwa
sirkulasi sumber kehidupan dari suatu sistem ekonomi tergantung kepada
apakah manusia satu sama lain dapat menaruh kepercayaan bahwa mereka
akan menaruh kepercayaan dan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban-
kewajiban bersama di bidang keuangan. Keharusan orang menepati janji-janji
tersebut diperintahkan dalam ajaran agama.(Kedua), agama dapat berperan
memaksa orang untuk menepati janji-janjinya. (ketiga), bahwa agama dapat
membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi
kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan
kewajiban-kewajiban sosial mereka. (keempat), agama berperan membantu
merumuskan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh manusia dan
diperlukan untuk menyatukan pandangannya. (kelima), agama pada umumnya
menerangkan fakta-fakta bahwa nilai-nilai yang ada dalam hampir semua
masyarakat bukan sekadar kumpulan nilai yang bercampur aduk tetapi
membentuk tingkatan (hierarki). (keenam), agam juga telah tampil sebagai
yang memberikan standar tingkah laku, yaitu berupa keharusan-keharusan
yang ideal yang membentuk nilai-nilai sosial yang selanjutnya disebut sebagai
norma-norma sosial.

2.4 Model Penelitian Antropologi Agama


Penelitian di bidang antropologi agama antara lain dilakukan oleh
seorang antropolog bernama Clifford Geertz pada tahun 1950-an. Hasil
penelitiannya itu telah dituliskan dalam buku berjudul The Religion of Java.
Arti penting dari karya Geertz, sebagaimana dikemukakan Parsudi Suparlan
adalah sumbangannya kepada pengetahuan kita mengenai simbol-simbol.
Masyarakat Jawa di Mojokuto dilihat dari Geertz sebagai suatu sistem
sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang
sinkretik, yang terdiri atas subkebudayaan Jawa yang masing-masing
merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial
yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri,
(yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), dan Priyayi (yang
intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota).
Hasil penelitian Geezrt tersebut memang bukan tanpa kekurangan,
sebagaimana hal itu telah ditunjikkan oleh Harsya W. Bachtiar. Ia mengatakan
bahwa yang disebut kaum abangan tidaklah harus mengacu kepada tradisi
rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi kebudayaan rakyat biasa, wong
cilik (orang kecil). Dengan kata lain, kelirulah untuk menganggap tradisi
kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan.
Penelitian Geerzt ini mencontohkan suatu penelitian dengan pendekatan
antropologi tanpa membawa teori dari luar, melainkan mencari dan
menemukan teori di lapangan atau lokasi penelitian. Model penelitian ini
disebut grounded research.ia ingin menyungguhkan hasil penelitiannya
tentang masyarakat Islam di Jawa yang memiliki ragam budaya., setidaknya
masyarakat jawa telah melakukan asimilasi dengan berbagai budaya yang
mempengaruhinya tanpa melakukan justifikasi, namun justru ia menggali
berdasarkan budaya yang berkembangan. Dengan kata lain, Geertz ingin
menyatakan bagaimana islam dipahami oleh masyarakat Jawa. Jika
memperhatikan pola ini, tampaknya, Geezrt dalam penelitiannya
menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Parsudi, secara tersurat,
Geertz memang tidak mengatakan kerangka teori mana yang dipakai,
sehingga Bachtiar (1973) mendapat kesan bahwa Geertz tidak membicarakan
suatu masalah teoritis utama dalam bukunya The Religion of Java. Akan
tetapi, kalau kita baca secara lebih teliti, sebenarnya Geertz (1964: 227-228)
membahas teori Redfield (1953), dan secara tersirat telah menggunakan
Redfield dalam pembahasan mengenai hubungan antara priyayi dan petani.
Akan tetapi, yang membedakan antara Geertz dan Redfield adalah bahwa
Geertz menekankan pada dimensi struktur, sedangkan Redfield lebih
menekankan pada proses komunikasi terus-menerus antara kota dan pedesaan.
Kelemahan-kelemahan yang tampak dalam penggolongan masyarakat Jawa di
Mojokuto atas tiga golongan struktur sosial sebenarnya merupakan
perwujudan dari pendekatan yang telah dilakukan oleh Geertz.

2.5 Model Penelitan Sosiologi Agama


Penelitian sosiologi agama pada dasarnya adalah penelitian tentang
agama yang mempergunakan pendekatan ilmu sosial (sosiologi). Dalam
penelitian ini dapat dilihat agama yang terdapat pada masyarakat industri
modern, agama pada lapisan masyarakat yang berbeda-beda, agama yang
dikembangkan pada kalangan penguasa, politikus, dan lain sebagainya.
Robert N. Bellah dalam bukunya berjudul Religion Evolution: American
Sosiological Review (tahun 1964). Menurut hasil penelitiannya, teori-teori dan
penelitian agama telah dibuat orang sejak ratusan tahun yang lalu, sejak
zaman Herodotos, tetapi penelitian terhadapa agama yang dilakukan secara
ilmiah dan sistematis baru dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Menurut
Chantepie De La Saussaye (1904), munculnya penelitian yang bersifat ilmiah
ini karena adanya dua kondisi awal yang mempengaruhi. Pertama, semasa
Hegel, agama telah dijadikan objek spekulasif filosofis komperehensif. Dan
yang kedua, semasa Buckle, objek ini diperluas lagi hingga meliputi sejarah
peradaban dan kebudayaan pada umumnya. Pada tahap-tahap permulaan
perkembangannya, ilmu pengetahuan agama yang sebagian dipengaruhi oleh
Darwinisme didominasi oleh kecendrungan evolusioner yang tersembunyi di
dalam filsafat Hegel dan historiografi awal abad ke-19. Dua orang sosiologi
modern, Spencer dan Comte, banyak memberikan sumbangan kepada
ancangan evolusioner terhadap studi agama. Demikian pula Durkheim dan
Weber, meski dengan berbagai persyaratan.
Hasil penelitian Bellah terhadap agama primitif menyimpulkan bahwa
agama-agama primitif secara keseluruhan diarahkan kepada suatu kosmos
tunggul, mereka sama sekali tidak mengetahui suatu dunia nyata sama sekali
berbeda dalam hubungannya dengan dunia nyata yang sama sekali tidak
bernilai. Agama-agama ini menaruh perhatian terhadap pemeliharaannya
kehormanisan diri manusia, sosial dan kosmis serta berkepentingan atas
pencapaian tujuan-tujuan tertentu (hujan, panen, anak, kesehatan) seperti yang
selalu merupakan tujuan manusia biasa.
Berdasarkan temuannya itu, Bellah sampai pada kesimpulan bahwa
agama sebagai seperangkat bentuk dan perbuatan simbolik yang
menghubungkan manusia dengan kondisi-kondisi pokok eksistensinya.
Mengenai metodologi penelitian sosiologi agama lengkap dengan
perangkatnya pada dasarnya sama dengan langkah-langkah dalam penelitian
antropologi agam sebagaimana yang dikemukakan di atas. Hal ini tidak
mengherankan karena antropologi sering dikelompokkan sebagai salah satu
cabang dari sosiologi.
Durkheim mengembangkan ulasannya tentang agama dalam konteks
munculnya Repulik Prancis. Dia meramalkan masyarakat modern akan
membutuhkan dikembangkannya ritual-ritual dan sistem-sistem simbol baru
yang dapat menghasilkan rasa solidarias dalam proyek baru Republikanisme.
Sebagaimana masyarakat pramodern mengatur mite dan ritual-ritualnya
melalui keyakinan totemik mengenai kelahiran tuhan-tuhan, asal-usul dunia,
dan pertemuan pertama antara tuhan dan nenek moyang manusia, maka
demikian pula masyarakat republik modern merayakan hari kemerdekaan,
mendirikan tempaat-tempat suci bagi founding father republik, seperti Lincoln
atau lenin dan menetapkan totem-totem seperti bendera nasional. Inilah yang
oleh para sosiolog disebut dengan agama sipil (civil religion).
Karl Marx seperti juga Durkheim menganggap agama sebagai produk
sosial dan sebagai agen keteraturan sosial dalam masyarakat pramodern.
Menurutnya, fungsi utama agama dalam menghasilkan keteraturan bukanlah
salah satu pencipta komitmen terhadap suatu proyek sosial bersama
melainkan lebih merupakan pembenaran atas aturan ketidakadilan dan
kekerasan yang sangat jahat dari kaum feodal terhadap kaum petani, atau dari
kapitalis terhadap pekerja. Menurut Marx, agama berfungsi sebagai tirai asap
kolektif yang mengaburkan watak sebenarnya segala sesuatu dari mata rakyat,
mengacaukan sumber dan realitas ketertindasan mereka, dan
merepresentasiakan hak-hak pembuat aturan terhadap mereka yang diatur, dan
juga berfungsi sebagai elemen keteraturan sosial yang ditentukan secara
ketuhanan. Agama juga sebagai candu, membius rakyat dalam suasana
ketertindasan mereka, menjanjikan pahala di kehidupan akhirat, atau
memberikan jalan keluar ritual agar mencapai kegembiraan yang luar biasa
sebagai kompensasi atau status mereka yang rendah dan penindasan yang
mereka alami.
Perkembangan sains di dunia ini semakin mendorong para ilmuan untuk
meneliti dan mengkaji perkembangan manusia dan komunitasnya. Salah satu
bagian dari sains yang berkaitan dengan perkembangan konunitas manusia
adalah disiplin ilmu sosiologi. Sosiologi dalam pandangan pakar di bidang ini
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai
hidupnya itu. Sosiologi mencoba memahami sifat dan maksud hidup bersama,
cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup
beserta kepercayaannya, keyakinan yang member sifat tersendiri pada cara
hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang relative baru di masa modern.
Disiplin ilmu ini dijadikan sebagai pendekatan yang merupakan suatu cara
pandang berdasarkan perspektif keilmuan yang didasarkan pada realitas
sosial. Agama, bila dijadikan objek kajian dengan perspektif sosiologi bukan
sebagai sesuatu yang transenden, melainkan sebagai sesuatu yang profane
berdasarkan realitas sosial dalam memahaminya. Robert N. Bellah pernah
menulis sebuah artikel yang dipresentasikan di Harvard divinity school
(1961), ia mendefinisikan agama dengan mengikuti dengan mengikuti
pandangan Paul Tillich, yakni “agama sebagai struktur bermakna yang
digunakan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan kepedulian-
kepedulian utamanya”.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Suatu hal yang perlu di catat, bahwa suatu hasil penelitian bidang sosiologi
agama bisa saja berbeda dengan agama yang terdapat dalam doktrin kitaab suci.
Sosiologi agama bukan mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang
dikaji adalah bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.
Dalam kaitan ini, dapat terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan
apa yang ada dalam kenyataan empirik. Para sosiolog membuat kesimpulan tentang
agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat.jika suatu pemeluk agama
terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan, kebersihan, dan
lain sebagainya. Kaum sosiolog terkadang menyimpulkan bahwa agama dimaksud
merupakan agama untuk orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan ini mungkin
akan mengagetkan kaum tekstual yang melihat agama sebagaimana yang terdapat
dalam kitab suci yang memang di akui ideal.
DAFTAR PUSTAKA

H.Abuddin Nata.2004.Metodologi Studi Islam.Jakarta

Dr. Jamali Sahrodi.2008. Metodologi Studi Islam.Bandung

Peter Connolly.2002.Aneka Pendekatan Studi Islam.Yogyakarta

Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.

Robertson, Roland. 1993. Agama: dalam analisa dan interpretasi sosiologis, terj:
Sociology of Religion oleh Drs. Achmad Fedyani Saifuddin, M.A.cet ke-3. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.

Kahmad Dadang. 2006. Sosiologi Agama.Cet ke-4. Bandung: PT Remaja Rosdakarya


Offset.

Abdullah, M. Amin, dkk.,Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner,


Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Anda mungkin juga menyukai