Anda di halaman 1dari 18

Diskursus Islam Nusantara

Oleh Naimah

Pendahuluan

Istilah Islam Nusantara dimunculkan dalam Muktamar NU


ke-33 di Jombang pada tanggal 1-5 Agustus 2015 yang
membawa tema Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia. Dengan tema itu NU memiliki cita-cita
tinggi untuk kehidupan dan peradaban bangsa dan dunia yang
lebih baik. Gagasan tersebut tercipta disaat pergolakan bangsa
indonesia ataupun negara negara Islam di dunia mengalami
banyak konflik antar kelompok yang mengatasnamakan Islam.

Islam Nusantara menjadi sangat penting setidaknya


karena dua hal: Pertama, konteks global. Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS) menjadi momok global yang makin menakutkan. Di
tengah protes keras dunia terhadap ISIS, namun mereka tidak
menyusutkan aksi brutalnya. Bulan ramadhan yang hakikatnya
suci dan mulia justru digunakan ISIS untuk menebarkan teror di
Kuwait, Tunisia, dan Mesir. Bahkan, saat takbir Idul Fitri
berkumandang sebagai simbol kemenangan dan kebahagiaan,
ISIS justru terus melancarkan aksinya untuk membunuh warga
sipil di Irak. Hari suci nan bahagia disulap oleh ISIS menjadi hari
kelabu nan nestapa dengan membunuh sesama Muslim yang
sedang merayakan kebahagiaan Idul Fitri.

Konteks global ini harus menjadi keprihatinan bersama,


karena Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah
dicemarkan sedemikian rupa oleh ISIS dan kelompok ekstrem
lainnya dengan menampilkan wajah Islam yang beringas dan
menyeramkan. Mereka menganggap hanya paham dan kelompok
mereka yang paling benar, sedangkan paham dan kelompok lain
dianggap sesat dan kafir, sekalipun sesama Muslim. Kelompok ini
kemudian dikenal dengan al-takfiriyyun.

Sebagaimana jamak diketahui, ISIS mencitrakan Islam


yang murni, keras dan barbar. Dikhawatirkan ideologi semacam
itu akan masuk pula ke tanah air. Harus ada penegasan kembali
akan corak islam di tanah air yang berbeda dengan ISIS dan
selama ini telah terbukti menebarkan kedamaian di tanah air
selama berabad-abad.

Kedua, konteks nasional. Harus diakui, bahwa konteks


global tersebut juga menjalar ke ruang republik. Secara ideologis
dan teologis, paradigma Negara Islam, yang ingin mendirikan
negara khilafah di Indonesia, bukanlah hal yang baru dalam
perjalanan sejarah republik. Mereka yang mengamini ideologi
tersebut sudah tumbuh benih-benihnya sejak lama dan terus
berkembang meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Gagasan Islam Nusantara tidak hanya sekedar


pedoman/petunjuk dalam kehidupan. Tapi gagasan tersebut bisa
menjadi alat politik untuk menandingi gagasan politik Islam
kelompok ektrimis tertentu. Kehadiran Islam Nusantara sebagai
alat politik Islam tidak seperti gagasan politik Islam kelompok
ektrimis di indonesia. Islam Nusantara tidak harus mengubah
label negara indonesia negara pancasila untuk bisa
berpolitik. Tapi bagaimana prinsip, nilai, norma, tradisi, ritual
keagamaan khas indonesia yang terkandung dalam Islam
Nusantara disebarkan tanpa harus mengubah label negara kita.
Berbeda dengan kelompok ektrimis yang membawa gagasan
politik Islam dengan cara mengubah negara indonesia yang
berlandaskan pancasila menjadi negara Islam/khilafah yang
berlandaskan Syariat Islam.

Dalam era internet yang kian memudahkan seseorang dan


kelompok menyebarluaskan ideologi Negara Islam, maka
sudah hampir dipastikan ideologi ini akan terus membahana di
jagat republik. Faktanya, mereka relatif berhasil memasarkan
ideologi Negara Islam, sehingga mampu merekrut para remaja
yang belum mempunyai pemahaman keislaman yang kokoh,
sebagaimana layaknya kalangan pesantren.

Dari permasalahan tersebutlah gagasan Islam Nusantara


muncul dengan membawa pemikiran politik Islam yang khas
dengan ke-indonesia-an sehingga mampu untuk mencegah
politik Islam dari kelompok ekstrimis tertentu di indonesia.
Praktik politik Islam Nusantara tidak sama juga dengan praktik
politik Islam kelompok ektrimis di indonesia. Dalam hal
penyebarannya tidak melalui kekerasan seperti perang sipil
dalam menegakkan Agama Islam. Tapi bagaimana dalam
penyebaraanya, Islam Nusantara menggunakan jalan cinta
damai dalam berpolitik dengan menunjukkan bahwa gagasan
politik tersebut adalah gagasan politik Islam yang rahmatan lil
alamin.

Setidaknya dari konteks tersebut cukuplah menjadi alasan


kuat bagi NU agar mencari terobosan untuk menegaskan
identitas keislaman yang dapat memberikan harapan bagi
Indonesia dan dunia.
Namun demikian, ternyata tema ini menuai debat public
yang menuai pro dan kontra. Bagi kalangan NU, Islam Nusantara
bukanlah sekte dan aliran baru, dan tidak dimaksudkan untuk
mengubah doktrin Islam. mereka mengartikan Islam Nusantara
sebagai keislaman yang toleran, damai dan akomodatif terhadap
budaya Nuantara, karakter itu sebagian terbentuk karena dalam
sejarahnya dakwah Islam di Nusantara tidak dilakukan dengan
memberangus tradisi melainkan justru merangkulnya dan
menjadikannya sebagai sarana pengembangan Islam. Sedangkan
bagi yang kontra, Islam Nusantara dianggap memperhadapkan
Islam di Nusantara dengan Islam di Arab, rasial sehingga
menimbulkan fanatisme primordial, mengotak-kotakkan Islam,
bahkan dituduh sebagai strategi baru Jaringan Islam Liberal (JIL),
Barat , Zionis dan semacamnya.

Karena itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait


Islam Nusantara, penting kiranya memaknai Islam Nusantara
sebagai kumpulan konsep dan bagaimana operasionalisasinya
dalam konteks keberagaman di Indonesia saat ini agar dapat
ditegaskan dan disebarluaskan tentang Islam Nusantara.

Genealogi Islam Nusantara

Genealogi pengetahuan menjadi basis utama untuk


merangkai benang merah dan tujuan mendasar dari transmisi
Islam ke wawasan Nusantara. Dengan melacak genealogi, akan
muncul pola, corak, dan struktur dari keimuan yang terkandung
lewat tradisi Islam Nusantara.

Meskipun terdapat banyak teori tentang kapan dan dari


mana asal muasal penyebaran agama Isla di Nusantara, tetapi
tak dapat dipungkiri, semua teori itu sepakat bahwa masuknya
Islam ke Nusantara lebih banyak mengandalkan jalur-jalur
kultural dibandingkan dengan jalur militer. Nusantara yang
secara geografis di bagian ujung dunia muslim, salah satu
wilayah yang paling jauh dari Timur Tengah, membuat Islamisasi
di nusantara sangat berbeda dengan Islamisai yang terjadi di
Timur Tengah, Afrika Utara atau Asia Selatan, yang kebanyakan
mengalami islamisasi secara ekspansi militer dan kekuatan
politik Islam dari Asia Barat. Sehingga menskipun terjadi
perbedaan tentang teori masuknya Islam ke Nusantara tetapi
para peneliti sepakat Islamisasi di kawasan Nusantara umumnya
terjadi melalui jalan damai.1.

Abad-abad pertama Islamisasi Nusantara berbarengan


dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan
pertumbuhan tarekat. Al Ghazali misalnya, telah menguraikan
konsep-konsep moderat taswuf akhlaki, wafat pada 1111 M,
Abdul Qadir Jaelani, wafat 1166 M, Ibn Al Farabi wafat 1240 M,
NAjmudin Kubro, wafat 1221 M, Abu Hasan al-Syadzali, wafat
1258 dan masih banyak lagi para sufi yang hidup pada masa ini.
Hal ini menjadikan proses Islamisasi di Nusantara pun tidak bisa
lepas dari pengaruh sufisme.

Usaha-usaha islamisasi yang bersifat asimilatif dan


sinkretik dalam proses Islamisasi yang dilakukan walisongo,
secara teoritik maupun faktul dapat disimpulkan sangat sulit
dilakukan oleh mubalihg-mubaligh dari golongan saudagar
maupun ulama fikih dengan berbagai madzhabnya. Yang
menunjukkan jejak-jejak dakwah ala Walisongo itu justru kaum
sufi yang sangat terbuka, luwes, dan adaptif dalam menyikapi
keberadaan ajaran selain Islam. salah satu fakta yang
menunjukkan itu adlah terdapatnya naskah-naskah sufistik dan
kisah-kisah tokoh suci yang memiliki karomah luar biasa yang
dikaitkan dengan sejumlah nama tokoh sufi termashur sperti
serat Walisana, Serat Sastra Gending, Syair Perahu, suluk Syeh
Malaya, Serat centini dan lain sebagainya. Selain itu juga
dibuktikan dengan ditandai oelh keberadaan sejumlah tarekat
yang diamalkan masyarakat hingga saat ini. Melalui pendekata
sufisme, dakwah era Wali songo memasuki ranah adat istiadat
yang berhubungan dengan tradisi keagamaan baru seperti
Nyadran, Upacara peringatan kematian, nisyfu Syaban, Rebo
Wekasan dan lain sebagainya.2 Strategi yang kemudin oleh para
sejarawan lebih dikenal dengan strategi akomodatif ini

1 Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara,


(bandung: Mizan, 2002) hal.18

2 Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan,


(Jakarta: Transhop Printing, 2011) hal. 91-93
merupakan kearifan para penyebar Islam menyikapi proses-
proses inkulturisasi dam akulturasi.

Pada periode berikutnya, ketika imprealisme Barat mulai


datang di Nusantara, masyarakat muslim menjadi tantangan
strategi bagi mereka. Namun dalam konteks penyebaran Islam
tetap melakukan proses-proses akulturasi dengan budaya
setempat dan tidak menjadi masalah yang berarti.

Persoalan muncul justru dari keberadaan secara politis


menyikapi para kolonis. Seperti yang ditunjukkan ketika
penguasa suatu kerajaan di Nusantara berpihak kepada
kepentingan kolonialis, kemudian membawa masyarakat Islam
terpecah belah.keterpecahan yang semula secara politis
kemudain mengarah kea rah perbedaan keberagamannya.
Berdirinya Muhammadiyah dan NU sserta organisasi yang lain
dapat di baca dalam kontek ini. Akibatnya terlihat jelas ketika
terjadi perdebatan sengit penyusunan dasar Negara Indonesia
tentang penerapan syariat. Namun demi kemerdekaan Indonesia
mereka harus menyatukan visi ke arah perjuangan. Karenaya
hubungan Islam dan politik menjadi kajian penting dalam
kerangka pemikiran untuk menganalisa identitaas Islam
Nusantara.3

Secara substansi Islam Nusantara sebenarnya kelanjutan


dari ide pribumisasi Islam yang dilontarkan KH Abdurrahman
Wahid, dan kemudian diteruskan Ketum PBNU berikutnya, KH
Hasyim Muzadi, dalam bentuk menolak gerakan Transnasional
Islam sebagai gerakan Islam impor yang tidak cocok dengan
budaya Indonesia, dan kemudian KH Said Aqil Siradj melanjutkan
gagasan pendahulunya dengan menyodorkan Islam Nusantara.
Dari sudut keilmuan, Islam Nusantara ini kelanjutan dari gagasan
Prof Hazairin akan mazhab nasional dan ide Fikih Indonesia dari
Prof Hasbi As-Shiddieqy, serat fikih sosialnya KH Sahal Mahfudh
beberapa dekade silam.

3 Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai Subyek dalam


Islamic Studies: Lintas Diskursus dan Metodologi, dalam Ahmad Sahal dan
Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara, Dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis,
(Bandung: Mizan, 2015) hal.249-250
Pada Dies Natalies pertama IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta tahun 1961, Prof . Hasbi Ash-shiddiqie, pada
pidatonya telah dilontarkan ide tentang perlunya fikih
Indonesia, yakni fikih yang ditetapkan sesuai dengan
keperibadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak
Indonesia. Ia merasa perlu merumuskan fikih Indonesia karena
ia melihat fikih yang berkembang di Indonesia lebih banyak
didominasi oleh fikih Hijaz, fikih Mesir atau fikih Hindi4

Ide pribumisasi Islam yang dilatarbelakangi keresahannya


atas adanya golongan-golongan yang mendesak agar hukum
agama diseragamkan dan diformalkan; harus ada sumber
pengambilan formalnya, Al Quran dan Hadis, serta pandangan
kenegaraan dan ideology politik tidak kalah dituntut harus
universal; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul Ala al
Maududi atau Khomaeni. Pendapat lain yang sarat dengan latar
belakang local masing-masing , mutlak dinyatakan salah.
Keadaan yang dapat mengakibatkan kehidupan kaum muslimin
tercerabut dari akar-akar budaya lokalnya. Kenyataan ini
membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di
Nusantara dari formalisasi berbentuk arabisai total menjadi
kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya local
dan kerangka kesejahteraan kita sendiri dalam mengembangkan
kehidupan beragama Islam di negeri ini, hingga mengundang KH
Abdurrahman Wahid untuk mengemukakan idenya tersebut.

Dalam konteks inilah meneguhkan Islam Nusantara


dimaksudkan untuk memperkukuh dan upaya terus-menerus
menemukan, merekonsiliasi, mengkomuikasikan, menganyam
dan menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi
tersebut tidak harus merupakan perubahan total atau kembali ke
tradisi masa lalu secara total, melainkan bisa saja hanya
pembaruan terbatas. Tidak hanya mengkopi apa yang pernah
dilakukan, melainkan bagaimana tradisi local itu menjadi suatu
yang dapat dimodifikasi ulang sehingga dalam kontek kekinian
jadi relevan dan kontekstual. Dengan demikian Islam Nusantara
merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan tidak berhenti
dalam menemukan bentuk dan manhaj berpikir dan bertindak

4 Fikih Hijaz maksudnya adalah fikih yang terbentuk atas adat istiadat
dan urf yang berlaku di Hijaz. Fikih Mesir adalah fikih yang terbentuk atas
adat istiadat dan urf yang berlaku di Mesir. Fikih Hindi adalah fikih yang
terbentuk atas adat istiadat dan urf yang berlaku di India.
dalam keberisalaman yang selalu mengkotektualisasikan dalam
gerak sejarah.5

Epistemologi Islam Nusantara

Tak bisa dimungkiri Islam agama yang lahir di Arab dan


kitab sucinya berbahasa Arab. Bahkan, kitab klasik yang
diajarkan di pesantren umumnya berbahasa Arab. Di dalam
tradisi NU, salah satu ukuran untuk disebut sebagai ulama pun
jika ia menguasai bahasa Arab dengan baik.

Namun, bukan berarti kita harus menelan mentah-mentah


seluruh wacana yang bersumber dari Arab, khususnya wacana
kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Ibarat lautan yang
sangat luas, Arab juga menyimpan sejarah dan realitas kekinian
yang kelam.

Peradaban Islam, termasuk dunia pemikirannya, tidak


mungkin dipahami tanpa memperhitungkan setting kultural dah
geografis yang menjadi ciri daerah tertentu. Karena itu,
masyarakat Islam tidak saja merupakan pewaris langsung
masyarakat-masyarakat kuno sebelumnya di daerah tertentu. Ibn
al-Muqaffa, seorang Iran Majusi yang pindah agama ke Islam,
misalnya, ia mengislamkan karya-karya literer Sasani dan
mengungkapkannya kembali dalam bahasa Arab. Demikian pula
Al Ghazali dengan karyanya Nasihat al Muluk (Nasihat-nasihat
untuk raja), yang mengambil contoh-contoh butir nasihatnya,
kejadian dan pengalaman kuno Persia, khusunya Raja Sunan
Khusra Anusyirwan, sebagai suri teladan bagi umat Islam karena
keadilannya. Semua itu mewakili kenyataan unik breach dan
continuity peradaban Islam dengan peradaban-peradaban
sebelumnya.6 Di sini terlihat ulama sebesar Al Ghazali juga
menampilkan ilmu Persianya, ilmu negerinya, dalam
membicarakan etika dan moral politik dan tidak mesti sumbernya
itu berasal dari sumber-sumber Islam. pengalama Persia yang
punya tradisi keadilan dalam politik juga patut disuarakan karena
memang sesuai dengan misi Islam di dunia yaitu sebagai
penyebar kebaikan dan keadilan atau rahmatan lilalamin.

Imam SyafiI dalam kitabnya, Al-Umm, juga menandaskan


tentang ilmu yang dimiliki masing-masing bangsa dan negeri

5 Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara, . Hal 257-258

6 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung:


Mizan, 1987) hal. 317
dalam menafsirkan dan mengamalkan Islam. dengan fatwanya
yang artinya di setiap Negeri umat Islam itu ada ilmu yang
dijalani dan diikuti oleh penduduknya, dan ilmu itu kemudian
menjadi pegangan para ulamanya dalam kebanyakan
pendapatnya. Ini menunjukkan bahwa pertimbangan geografis
menjadi sesuatu yang penting.

Dengan demikian di kalangan ulama kita, Nusantara pun


dapat memiliki ilmu sendiri yang diikuti oleh masyarakanya itu.
Ilmu itu diproduksi oleh ulama-ulama Nusantara dan bahkan di
ajarkan ke dunia.

Islam Nusantara dapat didibaratkan pertemuan dua bibit


tanaman unggulan yang berbeda jenis, namun ketika
dipersilangkan, akan menghasilkan bibib baru yang lebih unggul.
Persilangan Islam dan Nusantara diperlukan untuk memperoleh
genius baru dengan karakter atau sifat-sifat unggulan yang
diinginkan. Genius baru itu bernama Din Arab Jawi atau Islam
Nusantara. Genius baru ini diharapkan mampu memberikan
solusi pada masalah-masalah kemanusaan secara umum dan
masalah-masalah kebangsaaan pada khususnya. 7

Metodologi Islam Nusantara

Pengertian Islam Nusantara

Pada hakikatnya Islam Nusantara bukanlah istilah yang


baru. Sebelumnya, meskipun dengan bahasa yang berbeda, para
ulama bahkan sejak dari masa Walisanga, istilah dan pengertian
Islam Nusantara sudah pernah muncul yaitu agama yang dianut
oleh Umat Islam di Nusantara. Islam Nusantara merujuk pada
fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Bahwa
Islam di Nusantara telah didakwahkan dengan cara merangkul
budaya, menyelaraskan menghormati serta tidak
memberangusnya.

Dalam serat Suryo Rojo, ditulis putra Hamnegku Buwono I,


yang sekarang menjadi pusaka Kraton Yogyakarta, dari abad ke-
18, di dalamnya terdapat istilah Din Arab Jawi. Konteksnya
naskah itu mengungkap kisah tentang pembaiatan Sunan Giri
kepada seorang raja dengan gelar Kimudin Arab JAwi, dalam
pengertian sekarang dapat diartikan raja-raja di Jawa harus
memeliki komitmen menegakkan Islam Nusantara. Bahwa Islam

7 Ahmad Baso, Islam Nusantara hal. 15 -16


itu bukan hanya Arab atau din Arab tapi perlu pengalaman dan
suaranya dari Jawi. Jadi Din Arab Jawi adalah Islam dari Arab
tetapi engan karakter Jawi.

Istilah Jawi muncul pada masa Walisanga sebagai


pengganti istilah Nusantara. Sehingga yang sebelumnya ada
sejak masa Majapahit. Sehingga yang dimaksud Jawi pada
naskah itu adalah teritori Nusantara yaitu cakupan pusat
penyebaran Islam yang mencakup Malaka, Pasai, Surabaya,
Minang, Palembang Banjar, Lombok Makasar hingga Ambon.8

Hadratussyaikh KH Hasim Asyari pernah menggambarkan


keislaman Jawa di awal abad ke-20 dalam kitabnya Risalat Ahl al
Sunnah wa al jamaah. Penggunaan Diksi negeri Jawa dalam
kitab tersebut bukan ekspresi politik sekterian di tengah
masyarakat Nusantara yang multi kultural, tetapi hanya
mengikuti kebiasaan para ulama Timur Tengah, jazirah Arab dan
Afrika dalam rentang waktu abad ke-17 hingga ke-19.
Penggunaanya untuk mendeskripsika sebuah negeri kepulauan di
Asia Tenggara.

Merujuk pada maksud negeri Jawa dengan cakupan


wilayah Asia Tenggara dalam sejarah kawasan kepualuan ini juga
popular diksi Nusantara. Dinamika keislaman di Indonesia dan
kondisi muslim Dunia terkini mendorong PBNU dalam muktamar
ke-33 NU 2015 mengankat tema Meneguhkan Islam Nusantara
untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.

Meskipun sepertinya konsep Islam Nusantara memang masih dalam


tahap dibangun, under construction, bahkan mungkin belum ada definisi resmi
yang representatif dari NU sendiri, sehingga status ontologis Islam-Nusantara rada
buram: apakah ia diperlakukan sebagai suatu deskripsi atau sebagai ideologi.
Sebagai suatu deskripsi, Islam-Nusantara adalah Islam sebagaimana diamalkan
oleh semua orang di kawasan Nusantara dengan berbagai varian tafsirnya;
sehingga Islam-Nusantara berarti Islam di Nusantara. Sebagai ideologi, Islam-
Nusantara ialah Islam yang telah didialogkan dengan budaya Nusantara; sehingga
Islam-Nusantara berarti Islam yang Nusantarawi, Namun demikian
beberapa penggagas Islam Nusantara sebenarnya telah
mencoba mendefinisikan Islam Nusantara dengan beberapa
variannya.

Menurut Said Aqil Siraj, seperti yang dikutip oleh Dr.


Muhammad Solton Fatoni, Islam Nusantara itu bukan agama
baru juga bukan aliran Baru. Islam Nusantara adalah wajah

8 Ahmad Baso, Islam Nusantara Ijtihad Jenius Ijma Ulama Indonesia,


(Jakarta: Pustaka Afid, 2015) hal. 4-5
keislaman yang ad di Asia Tenggara, termasuk Indonesia di
dalamnya. Ajaran Islam yang terimplementasi di tengah
masyarakat yang mental dan karakternya dipengaruhi struktur
wilaayah kepulauan. Praktik keislaman tersebut tercermin dalam
perilaku social budaya muslim Indonesia yang moderat
(tawssuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran
(tasamuh). Ketiga sikap ini merupakan pijakan masyarakat
pesantren untuk mencari solusi atas problema social yang
ditimbulkan oleh liberalism, kapitalisme, sosialisme, termasuk
radialisme agama-agama.9

Selanjutnya Said Aqil Siraj juga mendefinisikan Islam


Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai
teologis dengan nilai-nilai tradisi local, budaya, dan adat istiadat
di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya
kerifan local di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam.
namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat
local yang tersebar di wilayah Indonesia. Kehadiran Islam tidak
untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya
Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan
budaya yang ada secara tadriji (bertahap).10

Menurut Ahmad Baso, Islam Nusantara adalah cara


bermadzhab secara qauli dan manhaji dalam beristimbath
tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritori,
wilayah, kondisi alam, dan cara pengamalannya penduduk kita.
Atau Islam Nusantara adalah madzhab berpikir yang dilakukan
oleh para ulama Nusantara dalam mengamalkan dan
menerjemahkan Islam ke dalam bahasa-bahasa Nusantara untuk
memberikan tafsiran keagamaan normative ke dalam ajaran atau
dalil-dalil Islam itu sendiri.11

Sehingga dapat disimpulkan Islam Nusantara adalah


faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil
dialektika antara teks syariat dengan relita dan budaya
setempat.

9 Muhammad Sulton Fatoni, NU dan Islam Nusantara, dalam Ahmad


Sahal dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara, Dari Ushul Fiqh Hingga Konsep
Historis, (Bandung: Mizan, 2015) hal. 235

10 Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara, Sanad dan


Jejaring Ulama Santri (1830-1954), (Jakarta: Pustaka Compass, 2016) hal. 3

11 Ahmad Baso, Islam Nusantara, hal. 21


Karakteristik Islam Nusantara

Dalam membangun karakteristik Islam Nusantara, peran


para Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara,
sepertinya dapat dijadikan model dalam pembentukan kultur
Islam di Nusantara. Mereka telah mengembangkan Islam dengan
ramah yang bersifat kultural. Saat berdakwah, para wali
mensenyawakan keislaman sebagai esensi dengan
kenusaantaraan dengan warisan budaya dan tradisinya. Islam
yang turun di Arab dan berbahasa Arab telah di-Jawa-kan, di-
Sunda-kan atau di-Maluku-kan. Dengan demikian, niali-nilai Islam
universal dan inklusif dapat diterima dengan damai oleh
masyarakat.12

Penerapan nilai-nilai Islam Nusantara boleh jadi tidaklah


sama. Ada tradisi yang berbeda di setiap waktu dan tempat yang
berbeda yang dilakukan untuk penyesuaian. Karena pada
dasarnya Islam Nusantara memaknai keberagaman sebagai
sebuah kekayaan yang perlu dijaga agar menjadi kekuatan yang
membawa manfaat dan maslahat. Karena itu ketika nilai-nilai
Islam tersebut diimplementasikan di ranah lokal, maka akan
menunjukkan kekhasannya tersendiri.

Islam Nusantara merupakan perwujudan nilai-nilai Islam


yang sudah berakulturasi dengan budaya local. Indikasi ini dapat
di lihat antara lain relasi yang kuat antara agama dengan tradisi
local. Ajaran agama Islam diajarkan para ulama tidak
membrangus tradisi yang sudah mengakar pada masyarakat,
melainkan menciptakan ruang-ruang dialog dan negoisasi yang
berujung pada kesepakatan bersama untuk salin berasimilasi dan
menerima dengan lapang dada. Sehingga muncullah ritual-ritual
agama yang sudah kawin dengan budaya masyarakat seperti
kenduri, tahlilan, selamatan, muludan dan lain sebagainya.

Namun sebelumya perlu ditegaskan di sini bahwa Islam


Nusantara tidaklah anti budaya Arab, tetapi untuk melindungi
dari arabisasi dengan memahaminya secara konstektual. Islam
Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana
esensi dari ajaran Islam yang di bawa Nabi Muhammad saw,
sementara Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. kehadiran
karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari Arabisasi
atau percampuran budaya Arab dengan ajaran Islam, tetapi
menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan
12 Masdar FArid Masudi, Islam (di) Indonesia, Abdullah Ubaid dan
Mohamad BAkir (ed), NAsionalisme dan Islam Nusantara, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2015) hal. 68
kontekstualisasi terhadap budaya local, sepanjang tidak
melanggar ajaran Islam. tentunya dengan memperhatikan bahwa
ada ajaran Islam yang tidak dapat dibudayakan atau dilokalkan.13

Dengan demikian Islam Nusantara memiliki karakteristik


yang khas seperti yang disampaiakan Said Aqil Siraj. Menurutnya
ada beberapa karakteristik dari Islam Nusantara: Pertama,
semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan
yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi
agama, melainkan mengutamakan akhlaqul karimah. Ini sejalan
dengan misi utama kedatangan Nabi Muhammadiyah yang
membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.

Kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah),


berpijakan agama terhadap tanah air. Hal ini dibuktikan dengan
gerakan ulama-ulama Islam Nusantara dalam membela
kemerdekaan, mendirikan Negara, dan mengawal transisi
kepemimpinan. Mereka menolak kehadiran penjajah bangsa
asing. Pesantren dijadikan basis perlawanan imprelialisme, baik
imperialism politik maupun kebudayaan juga turut menyusun
konstitusi nasional dengan tetap berpijak pada agama dan
tradisi.

Setiap umat Islam di negeri ini hendaknya mempunyai


nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal tersebut sudah terbukti dalam
sejarah pra-kemerdekaan, para ulama bersama para pendiri
bangsa yang lain saling-bahu membawu untuk mewujudkan
kemerdekaan dan bersama-sama untuk melahirkan Pancasila
sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan
Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final.

Pancasila yang digali dari budaya Indonesia diterima dan


disepakati dari budaya bangsa Indonesia diterima dn disepakati
untuk menjadi dasar Negara Indonesia, meskipun pada awalnya
kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka
idealkan adalah Islam eksplisit yang menjadi dasar Negara.
Namun akhirnya mereka sadar secara substansial Pancasila
sangat islami. Sila pertama yang menjiwai sila-sila alin
mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman. Sedangkan sila-
sila berikutnya merupakan bagian dari repreaentasi syaraiat.

13 Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai Subyek dalam


Islamic Studies: Lintas Diskursus dan Metodologi, dalam Ahmad Sahal dan
Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara, Dari Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis,
(Bandung: Mizan, 2015) hal. 242
Seandainya pada saat itu kaum muslimin bersikeras
dengan Islam formalnya sementara yang lain dengan
skularismenya, barangkali sampai saat ini Negara Indonesia
belum lahir seperti saaat ini. Itulah pentingnya berpegang pada
kaidah:

(Menolak mudarat lebih didahulukan daripada menarik


maslahat).

Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-taaddudiyyah).


Setiap umat Islam harus mengenali dan menerima keragaman
budaya, agama dan bahasa. Tuhan pasti bisa jika hendak
menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah memilih
untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar diantara mereka
saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan.

Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah).


Setiap umat Islam hendaknya mampu menjadi prinsip
kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan
kemanusiaan harus diutamakan dalam rangka menjaga tatanan
sosial yang damai dan harmonis. Islam pada hakikatnya adalah
agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Penutup

Meskipun demikian, tantangan di masa kini dan masa


mendatang tidaklah mudah. Globalisasi telah mengubah banyak
hal, karena intensitas interaksi dan pertukaran pemikiran begitu
tinggi, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk revitalisasi
Pribumisasi Islam, terutama dalam rangka membumikan paham
keagamaan yang makin dinamis.

Di era google, setiap orang mempunyai kebebasan dan


kemerdekaan untuk menganggap dirinya sebagai muslim
sejati. Setiap orang mempunyai kemungkinan yang sama untuk
mengetahui banyak hal tentang pemahaman keislaman,
meskipun hanya di permukaan, sehingga muncul istilah muslim
google dan muslim wikipedia. Maka dari itu, para penggiat
studi keislaman harus mampu mengartikulasikan pemikiran-
pemikiran keislaman kontemporer yang konstruktif dan mampu
menjawab beberapa problem kemanusiaan.

Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan: Pertama,


perlunya mengembangkan paham keislaman yang senatiasa
mendialogkan antara teks dengan konteks. Pergulatan teks dan
konteks yang dinamis akan melahirkan pemikiran-pemikiran
konstruktif. Interaksi antara teks dengan konteks akan
membebaskan penafsir dari fanatisme terhadap teks dan
fanatisme terhadap konteks. Pergulatan teks dengan konteks
akan melahirkan pemikiran alternatif guna menjadikan teks agar
senantiasa relevan dengan konteks.

Kedua, mengembangkan paham keislaman yang


mendorong terwujudnya kemaslahatan publik. Pemikiran
keislaman harus mendorong dan merespon kebijakan-kebijakan
publik yang berkaitan langsung dengan kemaslahatan publik.
Sejumlah isu-isu kontemporer, seperti terorisme, lingkungan,
kemiskinan, buruh migran, perdagangan anak, pendidikan,
pelayanan kesehatan dan lain-lain. Pemikiran keislaman harus
lebih peka dalam merespon persoalan kerakyatan dan keumatan,
sehingga pemikiran keislaman tidak berada di menara gading.

Ketiga, mengembangkan paham keislaman yang


mendorong pada kesadaran kewarganegaraan dan
multikulturalisme. Faktanya, di sejumlah negara-negara yang
mayoritas penduduknya seperti di tanah air, problem
perlindungan terhadap kalangan minoritas masih menjadi
persoalan. Pemikiran keislaman kontemporer harus mampu
memecahkan problem raibnya hak-hak kalangan minoritas dan
mendorong terciptanya kewarganegaraan.

Keempat, pemikiran keislaman kontemporer harus mampu


mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender. Problem dunia
Islam modern, yaitu perlakuan diskriminatif terhadap perempuan
masih menjadi fenomena yang mengemuka. Sebab itu, perlu
pemikiran keislaman yang secara serius mengkonstruksi
pentingnya kesetaraan dan keadilan jender.

Empat hal tersebut merupakan langkah untuk


merevitalisasi Pribumisasi Islam yang pernah digelorakan oleh
Gus Dur dalam konteks menemukan kembali eksistensi Islam
Nusantara yang telah berhasil membangun keberagamaan yang
toleran terhadap tradisi lokal dan adaptif terhadap nilai-nilai
kemodernan. Di masa mendatang Pribumisasi Islam harus
mampu merespon isu-isu kontemporer, terutama dalam rangka
mempertahankan tradisi dan mengadopsi modernitas yang
relevan bagi kemajuan umat. Dan ini mutlak tugas dari Islam
Nusantara.

Karakter Islam Nusantara dengan basis dialektika dan


pribumisasi Islam juga memiliki napas pegferakan yang tidak
hanya sebatas pemikiran , akan tetapi semangat anti kolonialis
maupun anti kekerasan. Oleh karena itu bidang garap kajian
Islam Nusantara tidak berhenti pada ranah keilmuan saja, akan
tetapi memliki kepentingan bagi kemaslahatan umat. Dengan
demikian kajian-kajian yang dilakukan harus terintegrasi antara
hubungan intelektual dan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Baso, Ahmad, Islam Nusantara Ijtihad Jenius Ijma Ulama


Indonesia, (Jakarta: Pustaka Afid, 2015)
Sahal, Ahmad dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara, Dari
Ushul Fiqh Hingga Konsep Historis, (Bandung: Mizan,
2015)
Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,
(Bandung: Mizan, 1987)
Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara, Sanad dan
Jejaring Ulama Santri (1830-1954), (Jakarta: Pustaka
Compass, 2016)
Sunyoto, Agus, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang
Disingkirkan, (Jakarta: Transhop Printing, 2011)
Azra Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara,
(bandung: Mizan, 2002)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII M, (Bandung : Mizan, 1999)
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III,
(Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan Kelima, 2010.)
Tjun Surjuman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek,
(Bandung; PT Remaja Rosdakarya)
Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1989)
Diskursus Islam Nusantara

oleh
Naimah

Mata Kuliah : Studi Islam Kontemporer


Dosen Pengampu : DR. Abd. Moqsith Ghazali, MA
PROGRAM STUDI SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
KONSENTRASI ISLAM NUSANTARA
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDATUL
ULAMA
JAKARTA

Bersamaan dengan munculnya organisasi social


keagamaan yang focus gerakannya pada perjuangan dan
persiapan kemerdekaan RI, maka konsentrasi terhadap isu
epistemology ini semakin redup dan gaungya pun menghilang.
Hal ini dubuktikan dengan jarang sekali ditemukannya pemikiran
hukum Islam yang cukup berbobot, sebagaimana yang terjadi
pada masa-masa sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi kala itu
tenaga dan pikiran kalangan Islam nyaris tak tersisa, baik karena
mengurusi lahirnya baru, maupun membahas massalah
khilafiyah-furuiayah, yang notabenanya dilatar belakangi oleh
semangat primordial organisasi keagamaan yang mereka
dukung.

Seiring dengan perubahan situasi social politik yang


terjadi, keadaan kontra-produktif seperti ini telah mengantarkan
pemikiran keislaman jatuh ke titik terrrendah dalam kualitas
pengembangan dan pemebrdayaannya. Kurang empirisnya
wacana pemikiran keislaman, telah menggerakkan Soekarno
untk menggerakkan kritik terhadap paradigm yang selama ini
dipakai para ulama. Kungkungan pola pikir ulama yang fahm
al-ilm li-inqiyad (pemahaman ilmu dalam rangka
kepasrahan/ketundukan beribadah) ketika memahami hukum
Islam yang terdapat pada khazanah literature klasik membuat
hukum Islam tampak resistan, yang terkadang menganggap
semua yang ada pada literature klasik itu sebagi kebenaran yang
mutlak tanpa memeprtimbangan dimensi sejarah.
Kondisi dan situasi ini mengundang keprihatinan dari dari
tokoh Hsby Ash-Shidiqy yang menulis artikel memudahkan
pengertian Islam. didalamnya dikatakan perlunya pengambilan
ketetapan fikih dari hasil ijtihad yang lebih cocok dengan
kebutuhan nusa dan bangsa Indoneisia agar fikih tidak
diperlakukan sebagai barang antik. Menurutnya, pengkultusan
terhadap hukum Islam harus ditinjau ulang dalam kerangka
dasar meletakkan sendi ijtihad baru. Konsep dan pemikiran
hukum Islam yang terasa tidak relevan dan asing dicarikan
alternative baru yang lebih memungkinkan untuk dipraktekan di
Indonesia.

Hingga interval waktu yang cukup lama, hingga tahun


1961, ternyata gagasan awal fikih Nusantara belum mendapat
respon yang memadai.

Anda mungkin juga menyukai