Anda di halaman 1dari 27

Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama

tradisional yang telah ada sebelum agama Hindu,


Budha, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam dan
Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).

Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia
sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-
agama resmi (agama yang diakui); Islam, Kristen
Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha,
kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau
Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau
kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk
oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten;
Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai
agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di
Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa
Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur;
agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan
di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di
Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi
Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram
di Propinsi Maluku, dll.

Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama
asli Nusantara tersebut di degradasi sebagai ajaran
animisme, penyembah berhala / batu atau hanya
sebagai aliran kepercayaan.

Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan
kepercayaan asli Nusantara yang diakui diIndonesia
sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di
KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkimpoian di
Kantor Catatan Sipil ,dsb. Seiring dengan berjalannya
waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin
punah dan menghilang, kalaupun ada yang
menganutnya, biasanya berada didaerah pedalaman
seperti contohnya pedalaman Sumatra dan pedalaman
Irian Jaya.

Di Indonesia, aliran kepercayaan yang paling banyak
penganutnya adalah Agama Buhun. Data yang terekam
oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan
Sunda, menunjukkan jumlah pemeluk agama ini 100
ribu orang. Jika angka ini benar, Agama Buhun jelas
salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia,
yaitu 25 persen dari seluruh penghayat aliran
kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran
kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan
penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.

Daftar Agama Asli Nusantara (kepercayaan)
Spoilerfor :
Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)



Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)

Buhun (Jawa Barat)

Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)

Parmalim (Sumatera Utara)

Kaharingan (Kalimantan)

Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)

Tolottang (Sulawesi Selatan)

Wetu telu (Lombok)

Naurus (pulau Seram, Maluku)

Aliran Mulajadi Nabolon

Marapu (Sumba)

Purwaduksina

Budi Luhur

Pahkampetan

Bolim

Basora

Samawi

Sirnagalih

1. Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda : Sunda permulaan,
Sunda sejati, atau Sunda asli) adalah agama atau
kepercayaan asli masyarakat Sunda yang dianut oleh
masyarakat tradisional Sunda. Penganut ajaran ini
dapat ditemukan di beberapa desa di provinsiBanten
dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan
kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda
sebelum datangnya ajaran Hindu.

Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung
Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu
atau Buddha, melainkan penganut ajaran leluhur, yaitu
kepercayaan asli nenek moyang. Hanya dalam
perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini
telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan
hingga batas tertentu, ajaran Islam Dalam Carita
Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran
Jatisunda.

Mitologi dan sistem kepercayaan
Spoilerfor :
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa
(Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun(Yang
Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara
Tunggal (Tuhan yang Mahaesa),Batara Jagat
(Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang
Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua
dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa,
Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda
Niskala.

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda
Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai
mitologi orang Kanekes:

1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang
Kersa, yang letaknya paling atas

2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan
makhluk lainnya, letaknya di tengah

3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah
terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke
bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam
Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam
Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua
tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi
Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka
Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah
Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur
orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-
batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di
tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan)
batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau
menciptakan.

Filosofi
Spoilerfor :
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa
mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang
tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara
jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus
dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman
yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda
Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip,
yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.

Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada
di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang
termasuk di dalamnya:

Welas asih: cinta kasih

Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan

Tata krama: tatanan perilaku

Budi bahasa dan budaya

Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang
selalu memerangi segala sesuatu sebelum
melakukannya

Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai
dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan
melakukannya.

Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara
universal, semua manusia memang mempunyai
kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada
hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu
dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan,
perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut
didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:

Rupa

Adat

Bahasa

Aksara

Budaya

Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam
Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng
karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya
justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa
yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan.
Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia
akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu.
Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun
manusia di dalam kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak
tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang
diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.

Yang tidak disenangi orang lain dan yang
membahayakan orang lain

Yang bisa membahayakan diri sendiri

Akan tetapi karena perkembangannya, untuk
menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan,
yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas)
serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi
bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda
Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu
(dalam bahasa orang Kanekes disebut Buyut) paling
banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di
kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai
orang Baduy Dalam.

Tradisi.
Spoilerfor :
Dalam ajaran Sunda Wiwitan terdapat tradisi nyanyian
pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat
dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan
pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan
Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren
Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun
selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan
orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di
beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan.
Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih
memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut
merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru
negeri.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang
Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda
Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh
agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam
kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang
Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.

2. Agama Djawa Sunda
Spoilerfor :
Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi ADS)
adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog
Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat
yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan,
Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara
Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda
Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Abdul
Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda,
menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari
agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional
masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada
masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi
juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para
pemeluk Agama Kuring di daerah Kecamatan
Ciparay, Kabupaten Bandung, dll.

Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000
orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut
dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini,
menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang,
sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok
yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini
dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur,
Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais
belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan
baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan
ajarannya.

Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais
adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah
kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika
pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini,
Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran
yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa,
dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai
seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai
pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian
mengembangkan pemahaman yang digalinya dari
tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia
mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri
kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.

Ajaran dan ritual dalam ADS.
Spoilerfor :
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut
kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang
diperingati secara besar-besaran. Upacara ini
dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah
peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860,
dan yang kini dihuni olehPangeran Djatikusuma.

Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari
masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil
bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk
beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi
(ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan
syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh
Tuhan kepada manusia. Upacara Seren Taun yang
biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai
oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh
pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini
upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara
Seren Taun pernah dihadiri oleh Menteri
Perindustrian, Andung A Nitimiharja, mantan Presiden
RI, Abdurrahman Wahid, dan istri, serta sejumlah
pejabat pemerintah lainnya.

Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap
Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara
keagamaan penanaman padi.

Selain itu karena non muslim Agama Djawa Sunda
atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan.
Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam
sebuah peti mati.


Masa depan ADS.
Spoilerfor :
Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama
ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya
mengakui keberadaan lima agama, hingga akhirnya
banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk
memeluk Islam atau Katolik.

Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan
kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran
Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran
Djatikusuma yang 11 juli 1981 mendirikan Paguyuban
Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).

Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-
laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk
meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais,
anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti
semua agama. Sementara anak-anak Pangeran
Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun
kepercayaan lain.


3. Kejawen
Spoilerfor :
Kata Kejawen berasal dari kata Jawa, sebagai kata
benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu
segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan
Jawa (Kejawaan). Penamaan kejawen bersifat
umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya
menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum,
kejawen merupakan bagian dari agama asli Nusantara.
Seorang ahli anthropologi Amerika Serikat, Clifford
Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam
bukunya yang ternama The Religion of Java atau
dalam bahasa lain, Kejawen disebut Agami Jawi.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni,
budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofiiorang-orang
Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau
spiritualistis suku Jawa.

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap
ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti
agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi
lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan
nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku.
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan
yang ketat, dan menekankan pada konsep
keseimbangan. Dalam pandangan demikian, kejawen
memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau
Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya.
Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi)
namun pembinaan dilakukan secara rutin.

Simbol-simbol laku biasanya melibatkan benda-
benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli
Jawa, seperti keris, wayang, ritual, penggunaan bunga-
bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan
sebagainya. Akibatnya banyak orang yang tidak
memahami yang dengan mudah mengasosiasikan
kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran
dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik
Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala
sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang
aneh karena dianggap memperkaya cara pandang
terhadap tantangan perubahan zaman.
Beberapa aliran kejawen

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan
ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas
sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran
agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak
anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai
keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya
mempraktekkan ajaran agama (lain) tertentu.

Beberapa aliran dengan anggota besar

Padepokan Cakrakembang

Sumarah

Budi Dharma

Maneges

Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang
mengikuti ajaran Sabdopalon, atau penghayat ajaran
Syekh Siti Jenar.


4. Parmalim
Spoilerfor :
Parmalim, adalah nama sebuah kepercayaan atau
mungkin boleh dibilang agama yang terutama dianut di
Propinsi Sumatra Utara. Agama Parmalim adalah
agama asli suku Batak.

Pimpinan Parmalim saat ini adalah Raja marnangkok
Naipospos.

Agama ini bisa dikatakan merupakan sebuah
kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
tumbuh dan berkembang di Tanah Air Indonesia sejak
dahulu kala. Tuhan Debata Mulajadi Nabolon adalah
pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi alam
semesta yang disembah oleh Umat Ugamo Malim
(Parmalim).


5. Kaharingan
Spoilerfor :
Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah
kepercayaan/agama lokal suku Dayak di Kalimantan
Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti
dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),
maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan
tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh
masyarakat Dayak di Kalimantan. Karena Pemerintah
Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara
untuk menganut salah satu agama yang diakui
Pemerintah, kepercayaan Kaharingan dan religi suku
yang lainnya seperti Tolottang (Hindu Tolottang) pada
suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu
sejak 20 April 1980, mengingat adanya persamaan
dalam penggunaan sarana kehidupan dalam
melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam
agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan
yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa,
hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa
dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik
Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat Residen Sampit
yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945,
pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai
penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde
Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu,
menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke
Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi
dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.

Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah
yang dinamakan Balai Basarah atau BALAI
KAHARINGAN. Kitab suci agama mereka adalah
Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah
Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara
meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur
beras), dan sebagainya.

Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan
mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda
Penduduk. Dengan demikian, suku Dayak yang
melakukan upacara perkimpoian menurut adat
Kaharingan, diakui pula pencatatan perkimpoian
tersebut oleh negara. Hingga tahun 2007, Badan Pusat
Statistik Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut
Kaharingan di Indonesia.

Tetapi di Malaysia Timur ( Sarawak dan Sabah ),
nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai
bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai
masyarakat yang belum menganut suatu agama
apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan
adalah majelis Besar Agama Hindu Kaharingan
(MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan
Tengah


6. Wetu Telu
Spoilerfor :
Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian
masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok
dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa
praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di
masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke
masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap,
meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan
ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut
Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas
pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai
akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam
usahanya meluruskan praktik tersebut.

Anda mungkin juga menyukai