Anda di halaman 1dari 34

Agama Asli Nusantara Sebelum

Agama Resmi Masuk Ke


Nusantara

Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama


tradisional yang telah ada sebelum agama Hindu,
Budha, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam
dan Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).

Mungkin banyak di kalangan masyarakat


Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa
sebelum agama-agama resmi (agama yang
diakui); Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu,
masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap
daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan
asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh
masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten;
Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal
sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa
penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat;
agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa
Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama
asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan;
kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi
Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di
Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi
Maluku, dll.

Didalam Negara Republik Indonesia, agama-


agama asli Nusantara tersebut di degradasi
sebagai ajaran animisme, penyembah
berhala/batu atau hanya sebagai aliran
kepercayaan.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan
kepercayaan asli Nusantara yang diakui
diIndonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk
dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan
perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dsb. Seiring
dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli
Nusantara semakin punah dan menghilang,
kalaupun ada yang menganutnya, biasanya
berada didaerah pedalaman seperti contohnya
pedalaman Sumatra dan pedalaman Irian Jaya.

Di Indonesia, aliran kepercayaan yang paling


banyak penganutnya adalah Agama Buhun. Data
yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis
Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan jumlah
pemeluk agama ini 100 ribu orang. Jika angka ini
benar, Agama Buhun jelas salah satu aliran
kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25
persen dari seluruh penghayat aliran
kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245
aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara
keseluruhan penghayat mencapai 400 ribu jiwa
lebih.
Daftar Agama Asli Nusantara
(kepercayaan)

Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)


Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
Buhun (Jawa Barat)
Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
Parmalim (Sumatera Utara)
Kaharingan (Kalimantan)
Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
Tolottang (Sulawesi Selatan)
Wetu telu (Lombok)
Naurus (pulau Seram, Maluku)
Aliran Mulajadi Nabolon
Marapu (Sumba)
Purwaduksina
Budi Luhur
Pahkampetan
Bolim
Basora
Samawi
Sirnagalih
1. Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda : Sunda


permulaan, Sunda sejati, atau Sunda asli)
adalah agama atau kepercayaan asli
masyarakat Sunda yang dianut oleh
masyarakat tradisional Sunda. Penganut ajaran
ini dapat ditemukan di beberapa desa di
provinsiBanten dan Jawa Barat, seperti di
Kanekes, Lebak, banten; Ciptagelar Kasepuhan
Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung
Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut
penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan
kepercayaan yang dianut sejak lama oleh
orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu.

Berdasarkan keterangan kokolot (tetua)


kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah
penganut Hindu atau Buddha, melainkan
penganut ajaran leluhur, yaitu kepercayaan asli
nenek moyang. Hanya dalam
perkembangannya kepercayaan orang Kanekes
ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran
Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam
Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini
disebut sebagai ajaran Jatisunda.

Mitologi dan sistem kepercayaan

Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang


Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu
Ngersakeun(Yang Menghendaki). Dia juga
disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang
Mahaesa),Batara Jagat (Penguasa Alam), dan
Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia
bersemayam di Buana Nyungcung. Semua
dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu,
Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk
kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan
Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam
pantun mengenai mitologi orang Kanekes:

1) Buana Nyungcung: tempat bersemayam


Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling
atas

2) Buana Panca Tengah: tempat berdiam


manusia dan makhluk lainnya, letaknya di
tengah

3) Buana Larang: neraka, letaknya paling


bawah

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca


Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun
dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama
Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak
630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala
Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu
merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci
Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di


Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh
batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang
dianggap sebagai leluhur orang Kanekes.
Keturunan lainnya merupakan batara-batara
yang memerintah di berbagai wilayah lainnya
di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun
(menurunkan) batara ini bukan melahirkan
tetapi mengadakan atau menciptakan.

Filosof

Paham atau ajaran dari suatu agama


senantiasa mengandung unsur-unsur yang
tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat
adalah apa yang secara jelas dinyatakan
sebagai pola hidup yang harus dijalani,
sedangkan yang tersirat adalah pemahaman
yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran
Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari
dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara
Ciri Bangsa.

Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar


yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada
lima unsur yang termasuk di dalamnya:

o Welas asih: cinta kasih

o Undak usuk: tatanan dalam


kekeluargaan

o Tata krama: tatanan perilaku

o Budi bahasa dan budaya

o Wiwaha yudha naradha: sifat dasar


manusia yang selalu memerangi
segala sesuatu sebelum
melakukannya

Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain


tidak sesuai dengan hal tersebut maka
manusia pasti tidak akan melakukannya.

Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa.


Secara universal, semua manusia memang
mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri
Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang
membedakan antara manusia satu dengan
yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan,
perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut
didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri
dari:

Rupa
Adat

Bahasa

Aksara

Budaya

Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di


dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama
Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara
mendasar, manusia sebenarnya justru
menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa
yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan
dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan
bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari
apa yang tersurat itu. Justru, apa yang
tersiratlah yang bisa menjadi penuntun
manusia di dalam kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan


banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu
utama yang diajarkan di dalam agama Sunda
ini hanya ada dua.

Yang tidak disenangi orang lain dan yang


membahayakan orang lain

Yang bisa membahayakan diri sendiri

Akan tetapi karena perkembangannya, untuk


menghormati tempat suci dan keramat
(Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka
Buana dan Sasaka Domas) serta menaati
serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok
tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan
mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu
(dalam bahasa orang Kanekes disebut Buyut)
paling banyak diamalkan oleh mereka yang
tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka
dikenal sebagai orang Baduy Dalam.

Tradisi

Dalam ajaran Sunda Wiwitan terdapat tradisi


nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian.
Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran
panen padi dan perayaan pergantian tahun
yang berdasarkan pada penanggalan Sunda
yang dikenal dengan nama Perayaan Seren
Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren
Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri
oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat
ditemukan di beberapa desa seperti di
Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan
Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung
Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur,
Kuningan sendiri, satu daerah yang masih
memegang teguh budaya Sunda, mereka yang
ikut merayakan Seren Taun ini datang dari
berbagai penjuru negeri.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak


orang Sunda yang memeluk agama-agama di
luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang
telah diajarkan oleh agama ini masih tetap
dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-
orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda
belum meninggalkan agama Sunda ini.

2. Agama Djawa Sunda

Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi


ADS) adalah nama yang diberikan oleh pihak
antropolog Belanda terhadap kepercayaan
sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah
Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun
Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda
Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.
Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan
Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah
bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan
tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya
terbatas pada masyarakat Cigugur di
Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat
Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk
Agama Kuring di daerah Kecamatan Ciparay,
Kabupaten Bandung, dll.

Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar


3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-
daerah lain ikut dihitung, maka jumlah
pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul
Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga
agama Buhun termasuk salah satu kelompok
yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.

Agama Djawa Sunda atau agama Sunda


Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran
Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh
pemerintah Belanda, Madrais belakangan
ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru
kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan
ajarannya.

Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai


Madrais adalah keturunan dari Kesultanan
Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon
Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda
menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan
ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga
dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa,
dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh
sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan
pesantren sebagai pusat pengajaran agama
Islam, namun kemudian mengembangkan
pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-
Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia
mengajarkan pentingnya menghargai cara dan
ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.

Ajaran dan ritual dalam ADS

Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung


menurut kalender Sunda sebagai hari raya
Seren Taun yang diperingati secara besar-
besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri
Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais
yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni
olehPangeran Djatikusuma.

Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari


masyarakat datang membawa bermacam-
macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa,
kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam
lesung sambil bernyanyi (ngagondang).
Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan
syukur untuk hasil bumi yang telah
dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia.
Upacara Seren Taun yang biasanya
berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh
berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang
oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun,
namun kini upacara ini dihidupkan kembali.
Salah satu upacara Seren Taun pernah
dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Andung A
Nitimiharja, mantan Presiden RI, Abdurrahman
Wahid, dan istri, serta sejumlah pejabat
pemerintah lainnya.

Madrais juga mengajarkan penghormatan


terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui
upacara-upacara keagamaan penanaman padi.
Selain itu karena non muslim Agama Djawa
Sunda atau ajaran Madrais ini tidak
mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang
meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti
mati.

Masa depan ADS

Di masa pemerintahan Orde Baru, para


pemeluk agama ini mengalami kesulitan
karena pemerintah hanya mengakui
keberadaan lima agama, hingga akhirnya
banyak pengikutnya yang kemudian memilih
untuk memeluk Islam atau Katolik.

Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan


kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya,
Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh
cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 juli
1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara
Karuhun Urang (PACKU).

Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan


anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat
Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini.
Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus
bersikap netral, dan dapat mengerti semua
agama. Sementara anak-anak Pangeran
Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama
ataupun kepercayaan lain.

3. Buhun

Buhun diduga sebagai Jati Sunda atau agama


sunda murni yang belum tercampur oleh
agama lain seperti Hindu, Budha, Islam dan
agama kepercayaan lain.

Dari etimologi bahasa Bu-hun berasal dari dua


kata yaitu Bu dan Hun, Bu mungkin diambil
dari kata Bu-yut atau Kabuyutan yang
merupakan tempat pemujaan roh nenek
moyang orang Sunda pada jaman dulu dan
-Hun yang mungkin diambil dari kata Ka-Ru-
Hun atau nenek moyang orang sunda. Banyak
kata dalam Bahasa Sunda yang hampir mirip
dengan kata Buhun[2]. Agama ini masih
banyak dianut oleh masyarakat yang tinggal di
daerah Bekasi.

4. Kejawen

Kata Kejawen berasal dari kata Jawa, sebagai


kata benda yang memiliki arti dalam bahasa
Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan
adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan).
Penamaan kejawen bersifat umum, biasanya
karena bahasa pengantar ibadahnya
menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks
umum, kejawen merupakan bagian dari agama
asli Nusantara. Seorang ahli anthropologi
Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis
tentang agama ini dalam bukunya yang
ternama The Religion of Java atau dalam
bahasa lain, Kejawen disebut Agami Jawi.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang
seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta
filosofiiorang-orang Jawa. Kejawen juga
memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis
suku Jawa.

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak


menganggap ajarannya sebagai agama dalam
pengertian seperti agama monoteistik, seperti
Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya
sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-
nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku.
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada
aturan yang ketat, dan menekankan pada
konsep keseimbangan. Dalam pandangan
demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan
Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak
sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada
kegiatan perluasan ajaran (misi) namun
pembinaan dilakukan secara rutin.

Simbol-simbol laku biasanya melibatkan


benda-benda yang diambil dari tradisi yang
dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang,
ritual, penggunaan bunga-bunga tertentu yang
memiliki arti simbolik, dan sebagainya.
Akibatnya banyak orang yang tidak memahami
yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen
dengan praktek klenik dan perdukunan.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah


aliran dapat mengadopsi ajaran agama
pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun
Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri
dipandang bukan sesuatu yang aneh karena
dianggap memperkaya cara pandang terhadap
tantangan perubahan zaman.

Beberapa aliran kejawen

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan


penekanan ajaran yang berbeda-beda.
Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya
bersifat reaktif terhadap ajaran agama
tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak
anggotanya lebih menekankan pada cara
mencapai keseimbangan hidup dan tidak
melarang anggotanya mempraktekkan ajaran
agama (lain) tertentu.

Beberapa aliran dengan anggota besar


Padepokan Cakrakembang
Sumarah
Budi Dharma
Maneges
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran
yang mengikuti ajaran Sabdopalon, atau
penghayat ajaran Syekh Siti Jenar.

5. Parmalim

Parmalim, adalah nama sebuah kepercayaan


atau mungkin boleh dibilang agama yang
terutama dianut di Propinsi Sumatra Utara.
Agama Parmalim adalah agama asli suku
Batak.

Pimpinan Parmalim saat ini adalah Raja


marnangkok Naipospos.

Agama ini bisa dikatakan merupakan sebuah


kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air
Indonesia sejak dahulu kala. Tuhan Debata
Mulajadi Nabolon adalah pencipta Manusia,
Langit, Bumi dan segala isi alam semesta yang
disembah oleh Umat Ugamo Malim
(Parmalim).

6. Kaharingan
Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah
kepercayaan/agama lokal suku Dayak di
Kalimantan Istilah kaharingan artinya tumbuh
atau hidup, seperti dalam istilah danum
kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama
suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh
secara turun temurun dan dihayati oleh
masyarakat Dayak di Kalimantan. Karena
Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk
dan warganegara untuk menganut salah satu
agama yang diakui Pemerintah, kepercayaan
Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti
Tolottang (Hindu Tolottang) pada suku Bugis,
dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak
20 April 1980, mengingat adanya persamaan
dalam penggunaan sarana kehidupan dalam
melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang
dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi
mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai
Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda
kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam
istilah agama Kaharingan disebut Ranying.

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh


Tjilik Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat
Residen Sampit yang berkedudukan di
Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang
mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan
agama Dayak. Sementara pada masa Orde
Baru, para penganutnya berintegrasi dengan
Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan
integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan
ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah
agama tertua di Kalimantan.

Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat


ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau
BALAI KAHARINGAN. Kitab suci agama mereka
adalah Panaturan dan buku-buku agama lain,
seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar
(petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan
dengan upacara menabur beras), dan
sebagainya.

Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan


mencantumkan agama Kaharingan dalam
Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, suku
Dayak yang melakukan upacara perkawinan
menurut adat Kaharingan, diakui pula
pencatatan perkawinan tersebut oleh negara.
Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik
Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut
Kaharingan di Indonesia.

Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah),


nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui
sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi
dianggap sebagai masyarakat yang belum
menganut suatu agama apapun. Organisasi
alim ulama Hindu Kaharingan adalah majelis
Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK)
pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

7. Tonaas Walian

Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari


dua golongan yakni Walian dan Tonaas. Walian
mempunyai asal kata Wali yang artinya
mengantar jalan bersama dan memberi
perlindungan.
Golongan ini mengatur upacara agama asli
Minahasa hingga disebut golongan Pendeta.
Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda
langit, menghitung posisi bulan dan matahari
dengan patokan gunung, mengamati munculnya
bintang-bintang tertentu seperti Kateluan
(bintang tiga), Tetepi (Meteor) dan sebagainya
untuk menentukan musim menanam. Menghafal
urutan silsilah sampai puluhan generasi lalu,
menghafal ceritera-ceritera dari leluhur-leluhur
Minahasa yang terkenal dimasa lalu.

Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga


seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang,
sendok kayu, gayung air.

Golongan kedua adalah golongan Tonaas yang


mempunyai kata asal Taas. Kata ini diambil dari
nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus
keatas dimana segala sesuatu yang berhubungan
dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata
tombak, pedang dan panah, perahu. Selain itu
golongan Tonaas ini juga menentukan di wilayah
mana rumah-rumah itu dibangun untuk
membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka
juga yang menjaga keamanan negeri maupun
urusan berperang.
Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa
berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini
digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang
berkuasa untuk menjalankan pemerintahan
Makarua Siouw (9x2) sama dengan Dewan 18
orang leluhur dari tiga Pakasaan (Kesatuan Walak-
Walak Purba).

Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan


sekarang) adalah Ramubene, suaminya Mandei,
Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe
berdiam di wilayah yang sekarang Mongondouw,
Pinupuran, suaminya Mangaluun (Kaluun sama
dengan sembilan gadis penari), Rukul suaminya
bernama Suawa berdiam di wilayah yang sekarang
Gorontalo, Lawi Wene suaminya Manambean
(dewa angin barat) Sambeang artinya larangan
(posan). Maka Roya (penyanyi Mareindeng)
suaminya bernama Manawaang.

Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu


adalah : Katiwi dengan suaminya Rumengan
(gunung Mahawu), Katiambilingan dengan
suaminya Pinontoan (Gunung Lokon), Winenean
dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo),
Taretinimbang dengan suaminya Makawalang
(gunung Masarang), Wowriei dengan suaminya
Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa
musik kolintang kayu) Pahizangen dengan
suaminya Kumiwel ahli penyakit dari Sarangsong.
Sementara itu enam leluhur yang berasal dari
Tontewo (wilayah timur Minahasa) terdiri dari
Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa
angin timur), Poriwuan bersuami Soputan (gunung
Soputan), Mongindouan dengan suaminya
Winawatan di wilayah Paniki, Inawatan dengan
suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau
kabut), Manambeka (sambeka sama dengan kayu
bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak
diketahui namanya kemudian istri Lolombulan.
Pemimpin panglima perang pada jaman
pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki
Katiwei (istri Rumengan) bernama Totokai yang
menikah dengan Warangkiran puteri dari
Ambilingan (istri Pinontoan).
Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan
pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa yang
sebelumnya dipegang golongan Walian wanita -
beralih ke pemerintahan golongan Tonaas Pria.
Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa
yang tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah
menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-
Bapaan)., Menjalankan pemerintahan Makatelu
pitu (3x7=21)" atau Dewan 21 orang leluhur pria.

Wakil-wakil dari tiga Pakasaan Toungkimbut,


Toumbulu, Tountowo, mereka adalah ; Kumokomba
yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai
pemimpin oleh ketua dewan tua-tua Potuosan
bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari
Tounsea sebagai wakil, Siouw Kurur asal Pinaras
sebagai penghubung dibantu Rumimbuuk (Kema)
dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian,
Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu Tamatular
(Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea), Mamarimbing
ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong
Porong panglima angkatan laut di pulau Lembe,
Pangerapan di Pulisan pelayaran perahu, Ponto
Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-
pelabuhan, Sumendap di Pulisan pelayaran perahu,
Roring Sepang di awaon Tompaso, pengurus
upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makarau
(Pinamorongan), Panaaran (Tanawangko),
Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang),
REPI (Lahendong), Pangembatan (Lahendong).

Dalam buku Toumbulusche Pantheon tulisan J.G.F.


Riedel tahun 1894 telah dikemukakan tentang
sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata
mempunya sistem pemerintahan dewa-dewa
seluruh Minahasa dengan jabatan yang ditangani
leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tonaas
abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan dengan
gelar Muntu-Untu yang dijabat secara bergantian
oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya
leluhur Ponto Mandolang mengatur pelabuhan
Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan
dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-
etnis Minahasa mempunya panglima perangnya
sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi
adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh
dewan tua-tua yang disebut Potuosan.

Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad ke-


7 seperti Riwuatan asal kata Riwu atau Hiwu
artinya alat menenun, Poriwuan asal kata Riwu alat
menenun, Raumbene asal kata Wene artinya padi,
menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal
padi dan membuat kain tenun.

8. Tolottang

Di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu


Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang,
sebuah komunitas bernama Towani Tolotang,
bermukim sejak ratusan tahun lalu. Komunitas
ini, terjaga secara turun-temurun dan terus
berkembang hingga sekarang ini.

Bagi sebagian orang, ketika mendengar


komunitas Tolotang disebut, mungkin akan
berpikir tentang sebuah kampung pedalaman
yang orang-orang di dalamnya begitu
tertinggal layaknya pemukiman dan komunitas
di pedalaman Papua. Namun itu sama sekali
salah. Sebaliknya, komunitas ini berada di
ibukota kecamatan.

Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita


hanya berjarak sekira 8 km. Jarak tempuh
dengan kendaraan roda dua ataupun empat
paling lama setengah jam. Sementara dari Kota
Makassar, Amparita hanya berjarak 231 km.

Tak ada ciri khusus yang begitu membedakan


komunitas ini dengan masyarakat sekitar yang
mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka juga
tetap menegaskan identitas dirinya selaku
orang Bugis. Hanya saja, mereka punya
kepercayaanberbeda dari warga lain yang
mayoritas beragama Islam.

Salah seorang tokoh Tolotang, Edy Slamet yang


dalam komunitasnya dikenal dengan nama Wa
Eja, kepada penulis 7 Maret 2008 di gedung
DPRD Sidrap mengatakan, cukup panjang kisah
dan sejarah tentang keberadaan mereka di
Sidrap. Komunitas kami masuk di Sidrap
berasal dari Wajo. Towani itu nama sebuah
kampung atau desa di Wajo. Yang membawa
adalah Ipabbere, seorang perempuan. Ia
meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan
di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah
barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang
kemudian selalu dikunjungi dan ditempati
untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu
ramai, cerita Wa Eja.

Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap


bulan Januari itu juga merupakan pesan dari
Ipabbere. Kami selalu membuat acara
tahunan di Perinyameng. Sebab orangtua yang
dikuburkan di situ, memang berpesan ke anak
cucunya bahwa jika kelak ia meninggal,
kuburnya harus diziarahi sekali setahun.
Makanya, seluruh warga komunitas
berdatangan dari segala penjuru, mulai dari
Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan
hanya yang cacat dan
anak-anak saja yang tak hadir setiap Januari
itu, klaim anggota DPRD Sidrap ini.

Awalnya sebenarnya, komunitas ini penganut


aliran kepercayaan. Namun karena ada
kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hal
itu, maka pada tahun 1996, pemerintah
memberi tiga pilihan ke warga Tolotang. Aturan
itulah yang akhirnya membuat komunitas
Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus
menanggalkan aliran kepercayaannya yang
sudah dianut sejak ratusan tahun.
Pemerintah saat itu tidak mengakui kalau ada
aliran kepercayaan. Makanya dipanggillah
tokoh komunitas kami untuk cari langkah
menjadi agama.Ditawarilah tiga agama; Islam,
Kristen, dan Hindu. Komunitas kami harus
memilih salah satunya, maka dipilihlah Hindu.
Saat itu, kita resmi beragama bernaung di
bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai
komunitas Tolotang tetap terjaga, ujarnya.

Sejak saat itu, jika ada acara Hindu di luar


Sulsel, seperti Jakarta dan Bali, kami selalu
diundang khusus, ungkap Wa Eja.

Wa Sunarto Ngate, salah seorang tokoh Towani


Tolotang yang ditemui di rumahnya di
Amparita, juga mengatakan hal senada.
Menurutnya, Towani Tolotang resmi berafiliasi
dengan Hindu pada tahun 1966. Kita ini sudah
sebagai mashab Hinduisme sejak 1966. Itu
berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas
Hindu nomor dua dan nomor enam tahun
1966, katanya.

Mengapa memilih memeluk Hindu? Menurut


Wa Sunarto, alasannya sederhana. Di antara
semua agama yang ditawarkan pemerintah,
Hindu-lah yang punya kesamaan dan
kemiripan, termasuk soal prinsip. Hindu bisa
memahami kami dan begitu juga sebaliknya,
katanya.

Terkait sejarah komunitas ini, Wa Sunarto


menambahkan pernyataan Wa Eja.
Menurutnya, Tolotang berasal dari Wajo.
Komunitas ini ada di sana jauh sebelum Islam
masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya
saja tidak berkembang seperti sekarang. Jadi
kalau dikatakan Tolotang ini baru, itu pendapat
keliru. Sebab menurut kami jauh sebelum abad
ke-16 sudah ada, jelasnya.

Namun menurutnya, karena sebuah proses


sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah.
Masuknya Islam di Wajo rupanya tidak bisa
memberi ruang yang bebas untuk
berkembangnya bagi Tolotang. Makanya
beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17, beber
Wa Sunarto.Sejak itu, Tolotang berkembang
dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi
hubungan yang baik antara warga Tolotang
dengan warga komunitas lain. Hingga saat ini,
di semua kecamatan di Sidrap anggota
komunitas ini pasti ada.

Bukan di Amparita saja. KomunitasTolotang


juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe,
Wattangpulu, Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua
Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya
memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga
banyak dan menyebar di seluruh kecamatan,
kata Wa Eja.

Rumah Tokoh tak Punya Kursi

SORE itu, Kamis, 7 Maret sekira pukul 16.50


Wita, delapan lelaki tua terlihat sibuk meraut
bambu di kolong rumah salah satu warga.
Bentuk rumah yang berarsitektur tempo dulu
itu persis sama dengan dua rumah di
sampingnya, namun jauh beda dengan rumah-
rumah lain di sekitarnya. Bambu yang diraut
kecil-kecil itu untuk balai-balai di tiga rumah
yang berarsitektur tempo dulu tersebut.

Mata kedelapan laki-laki tua itu terlihat awas


ketika penulis yang barusaja turun dari salah
satu rumah di sampingnya mendekat. Sambil
memainkan parang di atas potongan bambu
yang dipegang dan diraut, mata mereka tak
henti memperhatikan gerak-gerik penulis.

Saat penulis menyampaikan maksud ingin


mengabadikan mereka dengan foto, salah satu
di antaranya sontak bertanya, Buat apa?
Setelah penulis memberi penjelasan panjang
lebar, mereka pun akhirnya mengerti juga dan
mau difoto.

Ke delapan lelaki tua itu adalah warga


komunitas Towani Tolotang. Sore itu, mereka
sedang meraut bambu untuk anyaman balai di
rumah tokoh adat mereka. Pemandangan
seperti itu sudah hal lumrah di Kelurahan
Amparita Lama Kecamatan Tellu Limpoe.

Setiap kali balai bambu rumah tokoh adat


rusak, warga komunitas ini akan berkumpul
dan bekerja bersama-sama untuk sekadar
memperbaiki atau menggantinya. Mereka
begitu teguh mempertahankan adatnya yang
masih bersifat feodal.
Kalau ada bambu yang patah atau rusak,
warga komunitas Towani Tolotang akan bekerja
bersama memperbaikinya, kata Wa Eja atau
Edy Slamet, salah satu pemilik rumah adat di
jejeran tiga rumah adat di tempat itu.Seperti
penulis tulis di atas, Wa Eja merupakan salah
satu tokoh Tolotang yang duduk di DPRD
Kabupaten Sidrap. Wa itu sendiri adalah
sebutan tokoh generasi penerus dari pimpinan
adat.Kembali ke soal rumah. Rumah tokoh adat
Tolotang sangat jauh beda dengan rumah
warga lainnya, khususnya di luar komunitas ini.
Satu hal yang paling tampak jelas
membedakan adalah tiang rumah yang segi
delapan dan bundar.

Rumah adat punya ciri khusus. Namun bentuk


ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti
warga biasa. Semuanya disesuaikan
kemampuan. Model ini sejak dulu menjadi adat
kami, cerita Wa Eja. Tokoh adat lainnya, Wa
Sunarto Ngate yang ditemui penulis di
Amparita juga membahas soal tiang rumah
yang bentuknya bulat. Secara khusus, ia
bahkan menyebut bahwa tiang bulat itu punya
makna khusus.

Tiang bulat itu diibaratkan bahwa paham


Tolotang ini kokoh terus, dan dipegang teguh.
Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang
masa, katanya.
Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah
yang beda dari rumah kebanyakan. Bagian
dalam rumah juga demikian. Di rumah adat,
jangan pernah berharap menemukan satu kursi
pun. Sebab memang rumah adat tidak
dibolehkan memiliki kursi. Kalau di rumah
warga biasa komunitas ini, itu tidak diatur
secara khusus. Mereka bisa saja memiliki
kursi.Tidak ada kursi di rumah adat. Sebab
memang hanya didiami tokoh. Para Uwa yang
tinggal di situ. Rumah ini menjadi tempat suci
selain makam leluhur di Perinyameng. Secara
keseluruhan, jumlahnya di Amparita sekira 30-
an rumah, jelas Wa Sunarto.

Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian


para warga komunitas Tolotang, acara-acara
lain juga masih sangat kental dengan nuansa
adatnya. Dalam hal penentuan hari H acara
ziarah kuburan I Pabbere di Perinyameng,
misalnya. Hari dan tanggalnya ditentukan
berdasarkan hasil tudang sipulung tokoh adat.
Biasanya para tokoh adat disaksikan warganya
berembuk menentukan hari baik.

Saat hari H juga kita punya acara adat,


massempek (saling tendang,Red). Dulu,
massempek ini melibatkan orang dewasa.
Namun karena pernah ada gesekan yang
muncul dan ditakutkan muncul dendam,
akhirnya orang dewasa diganti oleh anak SD,
tambah Wa Eja.
Kemampuan komunitas Tolotang menjaga
adatnya juga banyak menarik minat peneliti
dari berbagai negara di dunia. Peneliti-peneliti
dari Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta
Belanda, sudah sering ke Amparita untuk
secara khusus mendalami komunitas ini.
Mereka menanyakan budaya Tolotang dan
adat istiadatnya. Rumah-rumah juga diteliti. Itu
sejak tahun 70-an. Ada juga beberapa polisi
dan mahasiswa yang ingin menyelesaikan
program S1, S2, atau S3-nya yang datang
meneliti di sini, kata Wa Eja yang mengaku
sebagai tokoh lapisan kedua.

Dilarang Kawin di Luar Komunitas

Sebelum abad ke-16, komunitas Towani


Tolotang terus berkembang. Hingga kini,
jumlah mereka secara keseluruhan, termasuk
di sejumlah provinsi di luar Sulsel,
menghampiri 40 ribu orang. Namun
sayangnya, hingga saat ini, mencari informasi
dari sumber-sumber pada komunitas ini sendiri
sangatlah sulit. Jangan pernah berharap bahwa
warga kebanyakan komunitas ini akan
melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal
komunitasnya. Sebab urusan komunitas ini,
seluruhnya ada di tangan tokoh adat yang
biasa disapa Wa atau Uwa. Untuk mencari tahu
komunitas ini, harus melalui mulut seorang Wa.
Tapi, informasi satu pintu itulah yang membuat
komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang.
Langgengnya komunitas ini, juga ditopang
prinsip yang mereka pegang secara turun
temurun. Prinsip tersebut adalah tetteng
(dalam bahasa Bugis: artinya konsisten).

Prinsip yang kami pegang sejak awal adanya


kepercayaan Tolotang adalah semboyan
tetteng. Kami berpegang teguh, tidak berubah
dan tidak terpengaruh dengan kondisi apa pun.
Kami bukan tidak menerima perkembangan
yang ada, namun prinsip tetap kami pegang
teguh, kata Wa Sunarto Ngate, di rumahnya.

Penulis sendiri bisa berbincang dengan Wa


Sunarto setelah direkomendasikan Wa Eja alias
Edy Slamet. Komunitas ini bertahan hingga
kini, juga karena adanya doktrin dini dari nenek
moyang kepada keturunan-keturanannya.
Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah
diberi pemahaman dan pesan khusus soal
Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling
berperan untuk memberi pemahaman. Sebab,
mereka memang mengambil peran selaku
tokoh yang memberi pencerahan agama atau
dalam Islam lazim disebut ustaz. Meski
demikian, seiring perkembangan zaman, ada
juga beberapa warga komunitas ini yang
akhirnya berubah haluan.

Mereka lebih memilih keluar dari komunitasnya


dan memeluk Islam. Banyak yang bergeser
masuk Islam.Bahkan, banyak yang sudah
berhaji. Setelah berpindah agama, tidak ada
lagi kewenangan mereka di Tolotang.
Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu
adanya pergeseran ini. Dan kami memang
cukup ketat soal itu. Semua yang menikah di
luar Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah
keluar. Mereka tidak diakui lagi, kata Wa Eja.

Namun, adanya perpindahan agama itu tak


membuat permusuhan. Sebab dari awal, warga
Tolotang memang punya hubungan baik dan
keakraban dengan masyarakat yang lainnya.
Kami selalu rukun dan damai. Sebab, di
Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam
memang rata-rata punya hubungan famili.
Bahkan, orang Islam yang tidak punya
hubungan famili dengan kami hanya yang
betul-betul datang dari luar Amparita,
bebernya.

Hal ini juga dibenarkan Wa Sunarto. Bahkan,


secara khusus, dia menegaskan bahwa
komunitas Tolotang merupakan bagian dari
etnis Bugis. Tolotang itu etnis Bugis juga.
Cuma, bedanya dalam hal kepercayaan saja.
Bahasa kita bahasa Bugis juga, tegasnya.

Soal sejumlah warga komunitas yang memilih


meninggalkan Tolotang, Wa Sunarto
mengatakan, mereka memilih keluar karena
memeluk Islam. Mereka yang memeluk Islam
ini, kemudian menamakan diri Tolotang
Benteng.

Sebagai komunitas yang terbuka, memang


tidak menutup kemungkinan ada warga kita
yang keluar dari Tolotang. Tapi memang
dipersilakan saja. Tidak dipermasalahkan. Tapi
sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut
lain yang mau bergabung dengan kami. Hanya
memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi
tertutup.Sebab, prinsip kami, Tolotang tidak
berkembang dengan menerima orang lain.
Kami tidak pernah seperti itu. Kita berkembang
berdasarkan anak cucu, jelasnya seraya
menambahkan bahwa rata-rata warga Tolotang
berprofesi petani.

Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang


disebut-sebut merupakan Tolotang yang
menganut Islam, Wa Sunarto juga
membenarkannya. Namun katanya, di Towani
Tolotang, itu tak diakui. Di Amparita ada dua
Tolotang. Ada yang menamakan diri Tolotang
Benteng. Tapi kami tidak pernah mengenal
dua. Kami tidak tahu siapa yang
mengatasnamakan itu. Yang pasti, kamilah
Tolotang asli yang punya paham Hindu. Dalam
ritual, mereka tidak lagi diikutkan. Tapi konon
kabarnya, mereka juga punya Uwa. Tapi,
silakan saja jalan, kita jangan saling ganggu,
tegasnya.

Wa Sunarto juga mengaku cukup salut dengan


warga Amparita. Menurutnya, selama ini,
mereka bisa hidup rukun dan damai. Kita
selalu terbuka. Saling bahu-membahu. Cuma
tak dapat dipungkiri juga, dalam proses
sejarah, membangun kebersamaan itu tak
mudah. Ada bukti sejarah yang tidak
tersembunyi bahwa pernah juga terjadi
gesekan. Ada sekelompok orang yang memiliki
keinginan keras memaksakan kehendak. Tapi,
kita klaim itu hanyaoknum. Beberapa orang
saja. Saya tidak generalkan, katanya.

9. Wetu Telu

Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik


sebagian masyarakat suku Sasak yang
mendiami pulau Lombok dalam menjalankan
agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini
terjadi karena para penyebar Islam di masa
lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke
masyarakat Sasak pada waktu itu secara
bertahap, meninggalkan pulau Lombok
sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan
lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu
sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas
pada generasi-generasi tua di daerah tertentu,
sebagai akibat gencarnya para pendakwah
Islam dalam usahanya meluruskan praktik
tersebut.

Sejarah

Konon, sebelum masuknya Islam, masyarakat


yang mendiami pulau Lombok berturut-turut
menganut kepercayaan animisme, dinemisme
kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk
melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan
Prapen pada sekitar abad XVI, setelah
runtuhnya Kerajaan Majapahit. Bahasa
pengantar yang digunakan para penyebar
tersebut adalah Bahasa Jawa Kuno. Dalam
menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut
tidak serta merta menghilangkan kebiasaan
lama masyarakat yang masih menganut
kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi
akulturasi antara Islam dengan budaya
masyarakat setempat, karena para penyebar
tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat
untuk mempermudah penyampaian Islam.
Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis
ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan
syahadat bagi para penganut Wetu Telu
dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa
Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk
melakukan peribadatan adalah para pemangku
adat atau kiai saja.

Dalam masyarakat lombok yang awam


menyebut kepercayaan ini dengan sebutan
Waktu Telu sebagai akulturasi dari ajaran
islam dan sisa kepercayaan lama yakni
animisme, dinamisme dan kerpercayaan Hindu.
Selain itu karena penganut kepercayaan ini
tidak menjalankan peribadatan seperti agama
Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan
Waktu Lima karena menjalankan kewajiban
salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan
ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang
tertentu seperti kiai atau pemangku adat
(Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek
moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan
dengan daur hidup
(kematian,kelahiran,penyembelihan
hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai
atau pemangku adat dan mereka harus
mendapat bagian dari upacara-upacara
tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan
rumah.

Lokasi
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu
di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak
di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini
masih dapat ditemukan masjid yang digunakan
oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah
tempat yang digunakan oleh umat berbagai
agama untuk berdoa. Namanya Kemaliq yang
artinya tabu, suci dan sakral.terletak di desa
Lingsar Kabupaten Lombok Barat, yang setiap
tahun mengadakan sebuah upacara adat yang
bernama Upacara Pujawali Dan Perang Topat
sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang
diberikan Tuhan YME pada umat manusia.

10. Marapu

Marapu adalah sebuah agama lokal yang


dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba.
Agama ini merupakan kepercayaan
peninggalan nenek moyang dan leluhur. Lebih
dari setengah penduduk Sumba memeluk
agama ini.

Pemeluk agama ini percaya bahwa kehidupan


di dunia ini hanya sementara dan bahwa
setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal,
di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal
sebagai Prai Marapu.

upacara keagamaan marapu ( seperti upacara


kematian dsb) selalu diikuti dengan
pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda
swebagai korban sembelihan, dan hal itu sudah
menjadi tradisi turun temurun yang terus di
jaga di Sumba.
Disarikan dari berbagai sumber via
googling
PDF By.Matrawie2014

Anda mungkin juga menyukai