Disusun oleh:
Kelompok 12
Dosen Pembimbing:
0
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Poligami
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang membatasi jumlah
istri hanya empat orang turun, yakni QS An-Nisa’: (4): 3 Nabi segera memerintahkan
laki-laki yang mempunyai istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga
setiap suami maksimal hanya boleh punya empat istri. Karena itu, Al-Aqqad, ulama asal
Mesir, menyimpulkan bahwa Islam tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang
positif, apalagi mewajibkan. Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat ketat.
Sangat disesalkan bahwa dalam praktiknya dimasyarakat, mayoritas umat Islam hanya
terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan sama sekali syarat yang
ketat bagi kebolehannya itu.
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun,
setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan
perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kanduangan ayat. Perubahan mendasar
yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal. Pertama, membatasi bilangan istri hanya
sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan pembatasan poligami tersebut di antaranya
1
riwayat dari Naufal ibn Muawiyah. Ia berkata: “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki
lima oran istri. Rosulullah berkata: “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang
empat. Pada riwayat lain Qais ibn Tsabit berkata: “Ketika masuk Islam aku mempunyai
delapan istri. Aku menyampaikan itu kepada Rosul dan beliau berkata: “pilih dari
mereka empat orang.” Riwayat serupa dari Ghailan ibn Salamah Al-Tsaqafi menjelaskan
bahwa dirinya punya sepuluh orang istri, lalu Rosul bersabda: “pilih empat orang dan
ceraikan yang lainnya.” Kedua, menetapkan syarat bagi seseorang yang ingin
berpoligami, yaitu harus berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat
apapun termasuk keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan
penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat
dengan keharusan berlaku adil. Islam memperketat syarat poligami sedemikan rupa
hingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia
kala.1 Dengan demikian, terlihat bahwa praktek poligami pada masa Islam sangat berbeda
dengan praktek poligami sebelumnya.
B. Pengertian Poligami
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang
kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia. Kata poligami, secara
etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang
berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan, maka poligami berarti suatu
perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.2 Sistem perkawinan bahwa seorang
laki-laki mempunyai lebih seorang isteri dalam waktu bersamaan. selain poligami ada
juga istilah poliandri. Poliandri adalah suatu bentuk perkawinan dengan ciri salah satu
pihak (isteri) memiliki lebih dari seorang suami dalam waktu bersamaan.3
Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan ta’addud al-
zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan secara istilah diartikan sebagai kebolehan
mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama
1
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 48
2
Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan
Hukum Islam (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2007), h. 15
3
Departemen dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 1998), h. 693
2
membatasi poligami hanya empat wanita saja.4 Kebolehan untuk melakukan poligami
menurut islam dalam banyak kenyataan sering diterapkan dengan cara membabi buta,
maksudnya seperti sekehendak hati saja layaknya, dengan tanpa memperhatikan dan
mengindahkan syaratsyarat yang harus dipenuhi. Poligami kebanyakan dilakukan mereka
dengan cara yang begitu mudah, bahkan pada kenyataan tertentu poligami dilakukan
mereka semata-mata untuk kepentingan pribadi, yakni untuk memuaskan hawa nafsu
(nafsu birahi).
C. Dasar Hukum Poligami
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak
mengharuskan umatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan pengertian seorang
laki-laki hanya boleh beristeri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun. Islam
pada dasarnya, menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran
dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya, seorang laki-laki hanya memiliki
seorang isteri dan sebaliknya, seorang isteri hanya memiliki seorang suami.5
لجا ِهلِيَّ ِة فَأ َ ْسلَ ْمنَ َم َعهُ فَأْ َم َرهُ النّبِ ُّي
َ ي أَ ْسلَ َم َولَهُ َع ْش ُر نِ ْس َو ٍة فِى ْا
َّ ِع َْن اِبْنُ ُع َم َر أَ َّن َغ ْياَل نَ ْبنَ َساَل َمةَ الثَّقَف
)صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن يَتَخَ يَّ َر أَرْ بَعًا ِم ْنه َُّن (رواه ترميذي َ
Artinya: “Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam,
sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga
masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih
(mempertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Tirmidzi).
Dan juga hadist tentang Qais Ibnu Al-Harits yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan Ibnu Majah:
: فقلت ذلك فقال: اسلمت و عندى ثمان نسوة فاتيت النبي صلى عليه و سلم: عن قيش بن الحارث قال
)أختر منهن أربعا (رواه ابن ماجه
Artinya: “Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: Ketika masuk Islam saya memiliki
delapan istri, saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau
bersabda: “Pilih empat diantara mereka”. (H.R. Ibnu Majah)
4
Supardi Mursalin, Menolak Poligami Studi tentang Undang Undang Perkawinan dan
Hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 16
5
Tihami dan Sohari Sahrani , Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap (Jakarta :
PT Raja Gravindo Persada, 2013), h. 357
3
Tetapi, islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristeri banyak
sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala, dan islam tidak menutup rapat
kemungkinan adanya laki-laki berpoligami. Praktek poligami sudah menjadi fakta yang
terjadi di masyarakat lama sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti sudah
diketahui bahwa Nabi Ibrahim a.s beristerikan Siti Hajar disamping Siti Sarah dengan
alasan karena isteri pertama belum memberikan keturunan kepada Nabi Ibrahim a.s. Dalil
yang dijadikan landasan kebolehan poligami, sesuai Firman Allah pada QS An-Nisa’ [4]:
3
َ اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثنَا َوثُاَل
ث َو ُربَا َع فَأِ ْن َ ََو اِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا• فِى ْاليَتَا َمى فَآ ْن ِكحُوْ ا َماط
ك اأَ ْدن َٰى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ا
َ ِت أَ ْي َمانَ ُك ْ•م ذال
ْ ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا فَ َوا ِح َدةً أَوْ َما َملَ َك
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ [4]: 36
Ayat ini merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim, yang kemudian
disebutkan tentang kebolehan beristeri hanya empat isteri saja, karena eratnya hubungan
pemeliharaan anak yatim dan beristeri lebih dari satu sampai empat yang terdapat dalam
ayat ini, maka akan dipaparkan secara singkat asal mula turunnya ayat ini. Menurut tafsir
Aisyah r.a, ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair kepada Aisyah
isteri Nabi Saw, tentang ayat ini. Lalu beliau menjawabnya, “Wahai anak saudara
perempuanku, yatim disini maksudnya adalah anak perempuan yatim yang berada
dibawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan bercampur dengan harta
kekayaannya serta kecantikannya membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya,
lalu ia ingin menjadikannya sebagai isteri, tetapi tidak mau memberikan maskawin
dengan adil, karena itu pengasuh anak yatim yang seperti ini dilarang menikahi mereka,
kecuali jika mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan maskawin kepada mereka
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Asbabun Nuzul, Cetakan Kesepuluh
(Banjar Sari Surakarta : CV. Al Hanan, 2009), h. 77
4
lebih tinggi dari biasanya, dan jika tidak dapat berbuat demikian, maka mereka
diperintahkan untuk menikahi perempuanperempuan lain yang disenangi.7
Begitu juga dengan Surat An-Nisa’[4]: 129
•َولَ ْن تَ ْست َِط ْيعُوْ ا• أَ ْن تَ ْع ِدلُوْ ا بَ ْينَ النِّ َسآ َء َولَوْ َح َرصْ تُ ْم فَاَل تَ ِم ْيلُوْ ا ُك َّل ْال َمي ِْل فَتَ َذرُوْ هَا َكاْل ُم َعلَّقَ ِة َواِ ْن تُصْ لِحُوْ ا
َوتَتَّقُوْ ا فَاِ َّن هللاَ َكانَ َغفُوْ رًا َّر ِح ْي ًما
Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteriisteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan
dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’[4]: 129)
Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri,
seperti, pakaian, tempat, giliran, dan lain lain yang bersifat lahiriyah, islam memang
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Dari dua ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang laki-laki muslim
boleh mengawini hanya empat wanita saja. Namun, bila ternyata ia tidak bisa berbuat adil
bahkan berbuat zalim bila mempunyai beberapa orang isteri, hendak nya ia mengawini
hanya seorang isteri saja. Ketidakmungkinan manusia untuk bisa berlaku adil secara
materi dan cinta walaupun ia sangat ingin dan sudah berusaha semaksimal mungkin.8
Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah berlaku adil, pada
ayat 3 Surat An-Nisa’, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku
adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut
disini adalah adil dalam masalah lahiriah bukan kemampuan manusia, berlaku adil yang
ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang. Sebab,
Allah Swt. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas kemampuannya,
sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Baqarah[2]: 286
• اَل يُ َكلِّفُ هللاُ نَ ْفسًا اِاَّل ُو ْس َعهَا.....
7
Tihami dan Sohari Sahrani , Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap (Jakarta :
PT Raja Gravindo Persada, 2013), h. 359
8
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2011), h. 87
5
Artinya: allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. (QS Al-
Baqarah[2]: 286)
D. Tujuan Dibolehkannya Poligami
Sebagaimana keterangan di atas bahwa ayat poligami diturunkan setelah
kekalahan umat islam dalam perang uhud. Dalam perang tersebut banyak sahabat yang
gugur dan mati syahid, mereka meninggalkan anak-anak yatim yang masih membutuhkan
belaian kasih sayang dan pemeliharaan dari orang tua yang menjamin kehidupannya.
Demikian pula mereka meninggalkan jandajanda yang merasa kesulitan menanggung
biaya hidup mereka sendiri dan pemeliharaan terhadap anak yatim yang ditinggalkan oleh
suami mereka. Perkawinan menjadi salah satu solusi untuk memecahkan masalah
tersebut, yaitu dengan poligami, dalam hal ini alqur’an telah memberikan tuntunan dan
petunjuk sehingga mereka (anak-anak yatim) tidak menjadi terlantar.
Tujuan poligami dapat dilihat pada praktek poligami yang dilakukan Rasulullah
SAW. Beliau menikahi isteri-isterinya tidak hanya bertujuan memenuhi hasrat biologis
semata, melaikan untuk membantu menghilangkan kesulitan yang dialami para wanita
yang kemudian menjadi isterinya. Kalau Rasulullah orang yang tamak dan rakus terhadap
perempuan maka beliau tentu tidak akan menikahi perempuan-perempuan yang
kebanyakan sudah janda bahkan sudah berumur dan tidak muda lagi serta tidak
menguntungkan secara ekonomi.
Selama hidupnya Rasulullah SAW tidak pernah menikahi perempuan yang masih
berstatus gadis (perawan) selain Aisyah yang dinikahi pada usia belia. Semua isteri
Rasulullah selain Aisyah sudah berstatus janda dan sebagian membawa anak-anak yatim.
Berarti Islam tidak mengharuskan seorang laki-laki untuk menikah dan memiliki isteri
lebih dari satu. Akan tetapi, seandainya ia ingin melakukannya, ia diperbolehkan,
biasanya sistem poligami tidak akan digunakan kecuali dalam kondisi mendesak saja.9
Tujuan mengapa harus disyariatkan poligami adalah agar tidak ada satu pun perempuan
muslimah dimanapun mereka berada dalam sebuah masyarakat tanpa memiliki suami.
Semuanya bertujuan agar lingkungan tersebut terbebas dari kesesatan dan kemaksiatan.
Namun, apabila poligami yang dilakukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan
memenuhi kebutuhan biologis semata hukumnya juga haram. Poligami hanya dibolehkan
9
Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fiqih Perempuan Muslimah (Jakarta : Sinar Grafika
Offet, 2009), h. 184
6
jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami
juga mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Syarat keadilan dalam poligami
menurut para imam madzhab yaitu Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut
mereka seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai
empat orang istri. Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil
antara perempuan-perempuan itu, baik nafkah maupun giliran. 10 Perkawinan yang kelima
dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah
seorang istri yang empat itu dan telah habis pula masa iddahnya.
E. Alasan dan Syarat Poligami
Demi terwujudnya tujuan perkawinan yang disyari’atkan oleh islam maka seorang suami
yang ingin melakukan poligami harus memperhatikan syaratsyarat yang harus dipenuhi
dan dengan beberapa alasan yaitu:
1. Jumlah isteri yang dipoligami tidak lebih dari empat wanita. Pembatasan empat
wanita ini didasarkan pada QS An-Nisa’ ayat 3
2. sanggup berbuat adil kepada para isteri, berbuat adil kepada para isteri dalam
poligami adalah, masalah makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menginap dan
nafkah.
3. Wanita yang dipoligami tidak ada hubungan saudara dengan isterinya baik susuan
maupun nasab, karena dilarang mengumpulkan isteri dengan saudaranya atau dengan
bibinya, larangan ini terdapat pada AlQur’an Surat An-Nisa’ ayat 23 yaitu:
َ ض ْيتُْ•م بِ ِه ِم ْن بَ ْع ِد ْالفَ ِر ْي
ض ِة اِ َّن هللاَ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما َ َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما ت َٰر
Artinya :“(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
4. Memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan
bertambahnya isteri, maksudnya bagi seorang suami yang ingin menikah dengan
seorang wanita harus yang sudah mampu, jika belum mampu haruslah menahan dulu
(puasa).
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi,
10
7
5. Persetujuan dari isteri, hal ini sesuai dengan posisi suami dan isteri dianggap satu
kesatuan dalam keluarga, Apapun yang dilakukan oleh suami dimintakan izin kepada
isteri, apalagi masalah ingin beristeri lagi. Persetujuan ini sangat penting demi
keutuhan dan kelangsungan hidup berkeluarga.
Ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang poligami yaitu terdapat dalam Bab IX
(KHI) Pasal 55 sampai 59 yaitu:
Pasal 55 :
1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai
empat orang isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berbuat adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami
dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56:
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
11
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Dar Al-Fikr, Beirut, h.181
8
3. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin isteri
Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57:
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan
persyaratan terhadap seseorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai
berikut:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini, tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqih paling tidak
memliki dua syarat: Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai
12
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Akademika Pressindo, 2010), h.126
9
keperluan dengan bertambahnya istri. Kedua, harus memperlakukan semua istrinya
dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta
hak-hak lain. 13
F. Hikmah Poligami
Hikmah-hikmah yang terkandung dalam poligami diantaranya adalah:
1. Merupakan karunia Allah dan Rahmat-Nya kepada manusia untuk kemakmuran dan
kemaslahatan.
2. Memperbesar jumlah ummat
3. Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka
4. Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita berlebih dibandingkan pria.14
BAB III
13
Abdul Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah Syari’ah (Jakarta : Rajawali
Press, 2002), h. 192
14
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), h.
166
10
PENUTUP
A. Kesimpulan
Poligami juga dilarang apabila tujuan utamanya ialah sebagai pelepas nafsu
biologisnya, poligami diperbolehkan dengan tujuan maslahat umat, seperti pada
zaman Rasulullah poligami dilakukan dengan tujuan untuk membantu dan
melindungi anak yatim dan isterinya Karen setelah peperang badar terjadi banyak
wanita-wanita itu ditinggal mati suaminya, karena rasulllah mengkhawatirkan kondisi
mereka tanpa suami maka beliau menikahi mereka dengan tujuan yang baik bukan
semata-mata sebagai pelepas biologisnya. Tentu dalam islam maupun pemerintah
memberikan persyaratan diperbolehkannya poligami serta harus dengan alasan-alasan
yang sesuai dan konkrit. Sehingga kita akan memperoleh hikmah dari poligami
tersebut apabila sesuai dengan yang disyariatkan oleh islam. karena sebaik-baik jalan
itu adalah ajaran islam.
B. Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
12
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi, Dar Al-Fikr. Beirut
Departemen dan Kebudayaan RI, 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an Terjemah dan Asbabun Nuzul, Cetakan
Kesepuluh Banjar Sari Surakarta: CV. Al Hanan
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Mulia, Siti Musdah. 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
Tihami dan Sohari Sahrani. 2013. Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap. Jakarta
: PT Raja Gravindo Persada
Yunus, Mahmud. 1996. Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Mazhab Syafi’i,
Hanafi, Maliki, dan Hambali. Jakarta: PT. Hidakarya Agung
13