Anda di halaman 1dari 14

ILMU AL-NASIKH WA AL-MANSUKH

1. A. Pengertian
Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga
seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan
atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah
adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang
datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.”

Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
hadits yang datang kemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang
berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.

Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:

‫ وعلى‬,‫هوالعلم ااذ ي يبحث عن االحاديث المتعارضة التلى اليمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ‬
.‫ فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا‬,‫بعضهااالخر بانه منسوخ‬

”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi
hukum yang terdapat pada sebagianya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap
hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang
dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadis
terakhir adalah sebagai nasikh.”[1]

1. B. Urgensi
Banyaknya redaksi hadis yang kontradiktif yang sulit dipahami maksudnya.

1. C. Fungsi
Memahami kandungan hadis nabi.

1. D. Obyek
Redaksi hadis yang kontradiktif yang selevel kemaqbulanya.

1. E. Metode
Ada dua metode yang dapat digunaka yaitu

1. Komparasi bir riwayah


 Penjelasan Rasul dari hadis tersebut/teks hadis lain.
 Penjelasan dari sahabat/rawi dari kitab syarah.
 Lafadz hadis yang menunjukkan waktu ex. Ibtida’; qabliyah; ba’diyyah.
1. Komparasi data historis.[2]

1. F. Cara Mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadis


a) Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau

‫ع ْن أَبِّي ِّه قَا َل‬


َ َ ‫ع ْن اب ِّْن ب َُر ْي َدة‬ ٍ َ ‫ب ب ِّْن ِّدث‬
َ ‫ار‬ ِّ ‫ع ْن ُم َح‬
ِّ ‫ار‬ ِّ ‫ف بْنُ َو‬
َ ‫اص ٍل‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد بْنُ يُون‬
ُ ‫س َح َّدثَنَا ُم ْع ِّر‬

ً ‫ارتِّ َها ت َ ْذك َِّرة‬


َ َ‫وروهَا فَإ ِّ َّن فِّي ِّزي‬ُ ‫ُور فَ ُز‬ ِّ ‫ارةِّ ْالقُب‬َ َ‫ع ْن ِّزي‬ َ ‫ث َوأَنَا آ ُم ُر ُك ْم بِّ ِّه َّن نَ َه ْيت ُ ُك ْم‬ ٍ ‫سلَّ َم نَ َه ْيت ُ ُك ْم َع ْن ث َ ََل‬
َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ ِّ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫قَا َل َر‬
ِّ ‫غي َْر أ َ ْن َال ت َ ْش َربُوا ُم ْسك ًِّرا َونَ َه ْيت ُ ُك ْم َع ْن لُ ُح‬
‫وم‬ َ ٍ‫عاء‬ َ ‫ظ ُروفِّ ْاْل َ َد ِّم فَا ْش َربُوا فِّي كُ ِّل ِّو‬ ُ ‫ع ْن ْاْل َ ْش ِّربَ ِّة أ َ ْن ت َ ْش َربُوا ِّإ َّال فِّي‬ َ ‫َونَ َه ْيت ُ ُك ْم‬
‫ث فَ ُكلُوا َوا ْست َْم ِّتعُوا ِّب َها فِّي أ َ ْسف َِّار ُك ْم‬ ٍ ‫ضاحِّ ي ِّ أ َ ْن ت َأ ْ ُكلُوهَا بَ ْع َد ث َ ََل‬َ َ ‫ْاْل‬

(ABUDAUD – 3212) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah
menceritakan kepada kami Mu’arrif bin Washilah dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu
Buraidah dari Ayahnya ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Aku larang kalian dari tiga hal dan aku perintahkan kalian tiga hal tersebut. Aku telah
melarang kalian dari ziarah kubur, sekarang lakukanlah karena di dalamnya terdapat
peringatan. Aku telah melarang kalian dari meminum beberapa minuman kecuali jika
minuman tersebut berada dalam geriba kulit. Minumlah dari segala bejana, tetapi jangan
kalian minum sesuatu yang memabukkan. Dan aku telah melarang kalian dari memakan
daging kurban setelah tiga hari, sekarang makan dan nikmatilah dalam perjalanan
kalian!”

Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur adalah haram, kemudian
memperbolehkan, bahkan dalam riwayat lain nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur
yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena
mengingatkan kematian.

b) Media kedua adalah perkataan dan penjelasan dari sahabat,contoh

‫أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قاال حدثنا معمر عن الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم بن‬
‫عبد هللا بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقول توضئوا مما مست النار‬

Hadis diatas mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasa’i :

‫َّللا قَا َل‬


ِّ َّ ‫ع ْب ِّد‬ َ ‫ع ْن ُم َح َّم ِّد ب ِّْن ْال ُم ْن َكد ِِّّر قَا َل‬
َ َ‫سمِّ ْعتُ َجا ِّب َر بْن‬ ُ ‫َّاش قَا َل َح َّدثَنَا‬
َ ٌ‫شعَيْب‬ ٍ ‫ي بْنُ َعي‬ َ ‫ور قَا َل َح َّدثَنَا‬
ُّ ‫ع ِّل‬ ٍ ‫ص‬ ُ ‫ع ْم ُرو بْنُ َم ْن‬ َ ‫أ َ ْخبَ َرنَا‬
َّ ْ ْ ُ‫ك‬
‫َّللا ت َْر ال ُوضُوءِّ مِّ َّما َمسَّت النار‬ ِّ ْ َ
ُ ‫ َكانَ آخِّ َر اْل ْم َري ِّْن مِّ ن َر‬:
َّ ‫سو ِّل‬

Kedua redaksi hadith menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal:
dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan. Yang pertama
menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau
makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan
ritual salat, sedang hadis yang kedua menerangkan diperbolehkan salat setelah
memakan makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua
memposisikan diri sebagai Nasikh, sedang hadis pertama mansukh.

Cara yang kedua ini menurut ppara ahli ushul harus diwajibkan adanya penjelasan
bahwa dalam kronologisnya hadis yang kedua datang setelah hadis yang pertama.

c) Fakta sejarah, seperti hadits yang terdapat dalam kitabnya Imam Tirmidzi :
‫حدثنا محمد بن رافع ا لنيسابوري ومحمود بن غيَلن ويحيى بن موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن ابي‬
‫ “افطر‬:‫كثير عن ابراهيم بن عبد هللا بن قارظ عن السائب بن يزيد عن رافع بن خديج عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
”‫الحاجم والمحجوم‬

Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang juga diriwayatkan Imam Tirmidzi :

‫حدثنا بشر بن هَلل البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال احتجم رسول هللا صلى هللا‬
‫عليه وسلم وهو محرم صائم‬

Kedua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa antara
orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan
bahwa bekam tidak membatalkan puasa.

Hadits tentang batalnya puasa antara orang yang berbekam maupun orang yang
membekam juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i
menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al
fath (fathu makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada
haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada tahun 10
hijriyah, maka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.

d) Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :

‫حدثنا نصر بن عاصم اْلنطاكي حدثنا يزيد بن هارون الواسطي حدثنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن‬
‫أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه‬
‫قال أبو داود وكذا حديث عمر بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى هللا عليه‬, ‫فإن عاد الرابعة فاقتلوه‬
‫وسلم إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه قال أبو داود وكذا حديث سهيل عن أبي صالح عن أبي هريرة‬
‫عن النبي صلى هللا عليه وسلم إنشربوا الرابعة فاقتلوهم وكذا حديث ابن أبي نعم عن ابن عمر عن النبي صلى هللا عليه‬
‫وسلم وكذا حديث عبد هللا بن عمرو عن النبي صلى هللا عليه وسلم والشريد عن النبي صلى هللا عليه وسلم وفي حديث‬
‫الجدلي عن معاوية أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال فإن عاد في الثالثة أو الرابعة فاقتلوه‬

”Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali
mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.

Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi
peminum khomr , berdasarkan musyawarah para sahabat, salah satunya yaitu sahabat
Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau
rendah adalah delapan puluh kali dera. Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut
dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah
antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.

Imam Nawawi mengatakan: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits
ini”.

Jika keempat hal ini tidak ditemukan ketika terdapat suatu hadis yang kontradiksi maka
menurut al Hazimi hal yang dilakukan adalah mentarjih hadis tersebut.[3]

1. G. Syarat-Syarat Nasakh
a) Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu
adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat ataudibatasi dengan
waktu tertentu.

b) Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat


datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).

c) Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.

d) Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang
sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus
atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.

Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat


dilakukan apabila :

a) Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan,
serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.

b) Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari


pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.

c) Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut


sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan
kemudaannya sebagai nasikh.[4]

1. H. Kitab Rujukan

a) An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H),
namun tidak sampai ke tangan kita.

b) Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad
Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).

c) Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin


Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga
jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor
1587.

d) Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah


Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).

e) An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih
dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.[5]
NASIKH DAN MANSUKH
Oleh
Ustadz Muslim Al-Atsari
Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun
secara istilah, maka ada dua macam:
Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang
berbeda-beda.
Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan
berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]
Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan:
“Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang
datang setelahnya”. [2]
Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-
Kitab dan As-Sunnah”. [3]
Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada
mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga
orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus
(berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan
oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh
dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah
muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7]
dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau
membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta
tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath,
dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang
dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan
yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa
memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat
dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena
membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]
Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan
hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah
Azza wa Jalla.
Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.
PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh
(dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal,
dan ijma’.
Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.
‫س ْخ مِ ْن َءايَة‬
َ ‫َما نَن‬
Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah:106]
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran
Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat
Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu
Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam
Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir
bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir
sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.
Firman Allah Azza wa Jalla.
‫َوإِذَا بَد َّْلنَآ َءايَةً َّم َكانَ َءايَة‬
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan
mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat
yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun
sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih
luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut
akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala
perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang
Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya
apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik
memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa
kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan
untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat
agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan
keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu
waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain
lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]
Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh
syari’at menurut akal dan syara’”. [9]
Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas
bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk
ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah
Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara
ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya.
Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil
untuknya”. [hal: 148]
Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu
‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa
naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup
sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul
Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]
Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas
kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’.
Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang
Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11]
MACAM-MACAM NASKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12]
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan,
namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat
tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.
‫صابِ ُرونَ يَ ْغ ِلبُوا مِ ائَتَي ِْن َوإِن يَّ ُكن ِم ْن ُك ْم مِ ائ َةٌ يَ ْغ ِلبُوا أَ ْلفًا ِمنَ الَّذِينَ َكف َُروا‬ ِ ‫علَى ْال ِقت‬
َ َ‫َال إِن يَ ُكن ِمن ُك ْم ِع ْش ُرون‬ َ َ‫ض ْال ُمؤْ مِ نِين‬ ُّ ِ‫يَآأَيُّ َها النَّب‬
ِ ‫ي َح ِر‬
ْ َ
َ‫بِأنَّ ُه ْم قَ ْو ٌم الَ يَفقَ ُهون‬
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang
yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika
ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-
orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
ِ ‫ف يَ ْغ ِلبُوا أ َ ْلفَي ِْن ِبإِ ْذ ِن‬
‫هللا َوهللاُ َم َع‬ ٌ ‫صا ِب َرة ٌ يَ ْغ ِلبُوا مِ ائَتَي ِْن َو ِإن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ َ ْل‬
َ ٌ‫ض ْعفًا فَإِن يَ ُكن ِمن ُكم ِمائ َة‬
َ ‫عل َِم أ َ َّن فِي ُك ْم‬
َ ‫عن ُك ْم َو‬ َ َّ‫ْالئَانَ َخف‬
َ ُ‫ف هللا‬
‫ر‬ ‫ب‬‫ا‬‫ص‬
َ‫َّ ِ ِ ين‬ ‫ال‬
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal
:66]
Abdullah bin Abbas berkata:
‫عش ََرة فَ َجا َء‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم أ َ ْن َال يَف َِّر َواحِ ٌد مِ ْن‬ َ ‫ض‬ َ ‫علَى ْال ُم ْسلِمِ ينَ حِ ينَ فُ ِر‬ َ َ‫صا ِب ُرونَ يَ ْغ ِلبُوا مِ ائَتَي ِْن ( ش ََّق َذلِك‬َ َ‫ت ) ِإ ْن يَ ُك ْن مِ ْن ُك ْم ِع ْش ُرون‬ ْ َ‫لَ َّما نَزَ ل‬
ِ‫ع ْن ُه ْم مِ نَ ْال ِع َّدة‬ ‫َّللا‬
َ ُ ََّ ‫ف‬ َّ ‫ف‬‫خ‬َ ‫ا‬‫م‬َّ َ ‫ل‬َ ‫ف‬ ‫ل‬َ ‫ا‬َ ‫ق‬ ( ‫ْن‬ِ ‫ي‬َ ‫ت‬َ ‫ئ‬ ‫ا‬ ِ‫م‬ ‫ُوا‬ ‫ب‬‫ل‬ِ ْ
‫غ‬ َ ‫ي‬ ٌ ‫ة‬ ‫ر‬ ‫ب‬‫ا‬
َِ َ‫ص‬ ٌ ‫َة‬ ‫ئ‬‫ا‬ ِ‫م‬ ‫م‬
ْ ُ ‫ك‬‫ن‬ْ ِ‫م‬ ْ
‫ن‬ ُ
‫ك‬ َ ‫ي‬ ْ
‫ن‬ ِ ‫إ‬َ ‫ف‬ ‫ا‬ً ‫ف‬‫ع‬ْ ‫ض‬
ُ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ َّ
‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ِم‬‫ل‬‫ع‬‫و‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬
َ َ َ ْ َ ُ َ ‫َّللا‬
َّ ‫ف‬َّ ‫ف‬‫خ‬َ َ‫ن‬ ْ
‫اْل‬ ) ‫ل‬َ ‫ا‬َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ُ ‫الت َّ ْخف‬
‫ِيف‬
‫ع ْن ُه ْم‬
َ َ ‫ِف‬ ‫ف‬‫خ‬ُ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ْر‬
َ ِ ِ ِ‫د‬َ ‫ق‬‫ب‬ ‫ْر‬ ‫ب‬ ‫ص‬ َّ ‫ال‬ َ‫ن‬ ِ‫م‬ ‫ص‬ َ َ ‫ق‬َ ‫ن‬
Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu
ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh).
Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu
dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus
orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika
Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun
berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam
ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’,
‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya.
[13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran
mereka.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh
(penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok
yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di
dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu
sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an.
Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan
terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan
terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya
adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan
mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang
Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”. [16]
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:
‫علَى َم ْن‬ َ ‫الرجْ َم َح ٌّق‬ َّ ‫َّللاُ أ َ َال َوإِ َّن‬
َّ ‫ضة أ َ ْنزَ لَ َها‬
َ ‫ضلُّوا بِت َْركِ فَ ِري‬ ِ َ‫َّللا فَي‬
ِ َّ ‫ب‬ َّ ‫اس زَ َمانٌ َحتَّى يَقُو َل قَائِ ٌل َال ن َِج ُد‬
ِ ‫الرجْ َم فِي ِكت َا‬ ِ َّ‫طو َل بِالن‬ُ َ‫لَقَ ْد َخ ِشيتُ أ َ ْن ي‬
َّ
‫سل َم َو َر َج ْمنَا‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬ َّ
َّ ‫صلى‬ َ ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ َ ْ
ُ ‫سفيَانُ َكذَا َحفِظتُ أ َال َوقَ ْد َر َج َم َر‬ ْ ُ ‫اف قَا َل‬ َ ْ َ ُ ْ ِ ‫صنَ إِذَا قَا َم‬
ُ ‫ت البَيِنَة أ ْو َكانَ ال َحبَ ُل أ ِو ِاال ْعت َِر‬ َ ْ‫زَ نَى َوقَ ْد أَح‬
ُ ‫بَ ْع َده‬
Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan
berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat
dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah,
sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah
tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”.
“Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah
melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]
Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
‫ع ِزي ٌْز َح ِك ْي ٌم‬ ِ َ‫ار ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَكَاالً مِ ن‬
َ ُ‫هللا َو هللا‬ ْ َ‫ش ْي َخةُ إِذَا زَ نَيَا ف‬
َّ ‫ش ْي ُخ َوال‬
َّ ‫ال‬
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang
sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman
yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul
Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:
‫سلَّ َم َوه َُّن فِي َما‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫ِخنَ بِخ َْمس َم ْعلُو َمات فَت ُ ُوف‬
ِ َّ ‫ي َرسُو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ْ ‫ضعَات َم ْعلُو َمات يُ َح ِر ْمنَ ث ُ َّم نُس‬
َ ‫ع ْش ُر َر‬ ِ ‫َكانَ فِي َما أ ُ ْن ِز َل مِ نَ ْالقُ ْر‬
َ ‫آن‬
‫آن‬ ُ ْ ُ
ِ ‫يُق َرأ مِ نَ الق ْر‬ ْ

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan
yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali
penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan itu
termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]
Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada
empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada
ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]
Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah
kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.
ُ ُ‫غف‬
‫ورُُ َّرحِ ي ٌم‬ َ ‫هللا‬ ْ َ ‫ص َدقَةً ذَلِكَ َخي ُْرُُ لَّ ُك ْم َوأ‬
َ ‫ط َه ُر فَإِن لَّ ْم ت َِجدُوا فَإِ َّن‬ َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬
ْ ‫سو َل فَقَ ِد ُموا بَيْنَ يَ َد‬ َّ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ِإذَا نَا َج ْيت ُ ُم‬
ُ ‫الر‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul
hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al
Mujadilah :12]
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang
menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla
firmanNya:
ُ ‫الزكَاة َ َوأَطِ يعُوا هللاَ َو َر‬
ٌ ‫سولَهُ َوهللاُ َخ ِب‬
‫ير‬ َّ ‫علَ ْيكُ ْم فَأَقِي ُموا ال‬
َّ ‫صلَة َ َو َءاتُوا‬ َ ‫ص َدقَات فَإِ ْذ لَ ْم ت َ ْفعَلُوا َوت‬
َ ُ‫َاب هللا‬ ْ ‫َءأ َ ْشفَ ْقت ُ ْم أَن تُقَ ِد ُموا بَيْنَ يَ َد‬
َ ‫ي نَجْ َوا ُك ْم‬
ُ
َ‫بِ َما ت َ ْع َملون‬
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-
Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]
2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau
menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang
setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:
“(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir,
contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-
Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi.
Contohnya:
Firman Allah Azza wa Jalla.
ِ ‫جْس أ َ ْو فِ ْسقًا أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬
‫هللا بِ ِه‬ ٌ ‫نزير فَإِنَّهُ ِر‬ ْ َ‫طاعِم ي‬
ِ ِ‫طعَ ُمهُ إِالَّ أَن يَّ ُكونَ َم ْيتَةً أ َ ْو َد ًما َم ْسفُو ًحا أ َ ْو لَحْ َم خ‬ َ ‫علَى‬ َّ َ‫ي إِل‬
َ ‫ي ُم َح َّر ًما‬ ُ
َ ِ‫قُل ْل أ َ ِج ُد فِي َمآ أوح‬
Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang
disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah
empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat
ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang
kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-
An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan
ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.
‫ت ْال ُح ُم ُر ث ُ َّم‬ ِ َ‫ت ْال ُح ُم ُر ث ُ َّم َجا َءهُ َجاء فَقَا َل أ ُ ِكل‬ِ َ‫سلَّ َم َجا َءهُ َجاء فَقَا َل أ ُ ِكل‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْنهُ أ َ َّن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫ضي‬ ِ ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِك َر‬ َ
‫ُور‬ُ ‫ت القد‬ُ ْ ْ ُ
ِ َ ‫س فَأك ِفئ‬ َّ ْ َ ْ ْ
ٌ ْ‫وم ال ُح ُم ِر اْله ِليَّ ِة فَإِن َها ِرج‬ ُ
ِ ‫عن ل ُح‬ ْ ُ ْ َ
َ ‫سولهُ يَن َهيَانِك ْم‬ َ َّ ‫اس إِ َّن‬
ُ ‫َّللا َو َر‬ َّ ِ َ‫َجا َءهُ َجاء فَقَا َل أ ُ ْفنِي‬
ِ ‫ت ْال ُح ُم ُر فَأ َم َر ُمنَا ِديًا فَنَا َدى فِي الن‬
َ
‫ور بِاللَّحْ ِم‬ ُ ُ‫َوإِنَّ َها لَتَف‬
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang
yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada
beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian
datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah
dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan
orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak,
sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu
mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan,
karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena
yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman
daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]
3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah,
dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
ْ ‫ْث َما ُكنت ُ ْم فَ َولُّوا ُو ُجو َهكُ ْم ش‬
ُ ‫َط َره‬ ُ ‫َط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام َو َحي‬
ْ ‫ضاهَا فَ َو ِل َوجْ َهكَ ش‬
َ ‫س َمآءِ فَلَنُ َو ِليَنَّكَ قِ ْبلَةً ت َْر‬ َ ُّ‫قَ ْد ن ََرى تَقَل‬
َّ ‫ب َوجْ ِهكَ فِي ال‬
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.
Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ِ ‫ارةِ ْالقُب‬
ُ ‫ُور فَ ُز‬
‫وروهَا‬ َ ‫نَ َه ْيت ُ ُك ْم‬
َ َ‫ع ْن ِزي‬
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah
(kubur). [HR. Muslim, no: 977]
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus
hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau
lafazhnya.
Demikian, semoga bermanfaat
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-
761016]

Sumber: https://almanhaj.or.id/3087-nasikh-dan-mansukh.html

Di dalam al-Qur'an ada ayat-ayat mengenai perintah atau


larangan tertentu yang kaidah hukumnya telah diganti atau dipindahkan ke
ayat lainnya yang notabene merupakan kesimpulan hukum dari perintah atau
larangan tersebut. Ilmu yang berkaitan dengan permasalahan semacam ini
dikenal dengan istilah nasakh.
Nasakh (an-Nashu) menurut istilah bahasa pengertiannya menunjukkan
kepada suatu ungkapan yang berarti membatalkan sesuatu kemudian
menempatkan hal lainnya sebagai pengganti, dengan cara menghapus sama
sekali atau memindahkan. Pengertian nasakh meliputi 2 hal,
yakni nasikh artinya adalah pengganti (yang menghapus),
sementara mansukh adalah yang diganti (yang dihapus). Bab nasakh
merupakan salah satu pilar penyangga yang paling besar dalam ijtihad, karena
untuk memahami pengertian perintah-perintah amatlah mudah yaitu hanya
dengan melalui makna lahiriah (tersurat) dan berita-berita yang ada, demikian
pula untuk mengetahui bebannya tidaklah sulit pelaksanaannya. Hanya saja
yang menjadi kesulitan itu ialah mengetahui bagaimana caranya
mengambil kesimpulan hukum dari makna-makna yang tersirat di balik
nash. Para imam berkata: Seseorang tidak boleh menafsirkan al-
Qur'an sebelum mengetahui nasikh dan mansukhnya.

1. Nasakh di Masa Shahabat


 Abu Hurairah r.a. telah menceritakan, bahwa Hudzaifah r.a. ditanya oleh
muridnya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab: "Sesungguhnya orang
yang boleh memberikan fatwa itu hanya ada tiga macam orang, salah satu
diantaranya yaitu seseorang yang mengetahui tentang masalah nasikh dan
mansukh", Lalu mereka (murid-muridnya) bertanya: "Siapakah yang
mengetahui nasikh dan mansukh?" Hudzaifah menjawab: "Umar, atau sultan
yang terpaksa harus mengeluarkan fatwanya, atau seorang lelaki yang
dibebani untuk memberi fatwa."
 Ad-Dahhak ibnu Muzahim telah menceritakan, bahwa pada suatu
hari Ibnu Abbas r.a. bersua dengan seorang qadhi yang sedang memutuskan
suatu perkara, lalu ia menendang dengan kakinya seraya bertanya: "Apakah
kamu telah mengetahui tentang mana yang nasikh dan mana yang
mansukh?", Lalu qadhi itu berkata: "Siapakah yang mengetahui mana yang
nasikh dan mana yang mansukh?", Ibnu Abbas bertanya kembali: "Jadi kamu
masih belum mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh?" Qadhi
menjawab: "Tidak", lalu Ibnu Abbas r.a.berkata: "Kamu ini adalah orang yang
celaka dan mencelakakan."
 Ali r.a. pernah berkata kepada seorang qadi (hakim): Apakah kamu
mengetahui nasikh dan mansukh? Ia menjawab: Tidak. Ali berkata: kamu
celaka dan mencelakakan.
 Betapa pentingnya kedudukan masalah nasikh dan mansukh di dalam
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya di mata para sahabat, karena sesungguhnya
keduanya adalah sama. Al-Miqdad ibnu Ma'diykariba telah menceritakan,
bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: "Ingatlah, sesungguhnya telah
diturunkan kepadaku Alkitab (Al-Qur'an) dan yang semisal dengannya
(Sunnah)- sebanyak 3 kali- Ingatlah, hampir tiba saatnya ada seorang lelaki
yang mengatakan seraya bersandar pada singgasananya: "Kamu sekalian
harus berpegang teguh kepada Al-Qur'an ini; maka apa saja perkara yang
dihalalkan di dalamnya, maka halalkanlah ia. Dan apa saja perkara yang
diharamkan di dalamnya, maka haramkanlah ia."
2. Diantara makna nasikh adalah:
1. Menghapuskan (izalah), firman Allah Ta'ala:
‫س ۡلنَا َو َما‬ ُ ‫طـنُ أ َ ۡلقَى ت َ َمنَّى إِذَا إِ َّل نَبِى َو َل َّر‬
َ ‫سول مِ ن قَ ۡبلِكَ مِ ن أ َ ۡر‬ َ ‫ش ۡي‬َّ ‫س ُخ أُمۡ نِيَّتِهِۦ فِى ٱل‬ َّ ‫طـنُ ي ُۡلقِى َما‬
َ ‫ٱّللُ فَيَن‬ َّ ‫ڪ ُم ث ُ َّم ٱل‬
َ ‫ش ۡي‬ ِ ‫ٱّللُ ي ُۡح‬
َّ
ۗ‫ٱّللُ َءايَـتِهِۦ‬ َّ ‫علِيم َو‬ َ ‫َحكِيم‬
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak [pula]
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun
memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana, (52(Q.S. Al-Hajj: 52).
2. Mengganti (tabdil), firman Allah:
‫ٱّللُ َءايَةۗ َّمڪَانَ َءايَة بَد َّۡلنَا َو ِإذَا‬ َّ ‫يَعۡ لَ ُمونَ َل أ َ ۡكث َ ُره ُۡم بَ ۡل ُم ۡفت َِرۗ أَنتَ ِإنَّ َما قَالُوا يُن َِز ُل بِ َما أ َ ۡعلَ ُم َو‬
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-
Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-
adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. (101)(Q.S. An-
Nahl: 101).
3. Mengalihkan / mengubah (tahwil), seperti mengalihkan warisan seseorang
kepada orang lain.
4. Memindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Diantaranya memindahkan
(transcrib) suatu kitab. Dalam pengertian ini tidak mungkin terjadi di dalam
al-Qur'an.

3. Lingkup Nasakh
1. Nasakh termasuk salah satu hal yang dikhususkan Allah kepada
umat ini karena beberapa hikmah, diantaranya untuk memudahkan.
Para ulama sepakat tentang adanya nasakh, tetapi orang-orang Yahudi
mengingkarinya karena dianggap sebagai bada' (sesuatu yang
sebelumnya tidak diketahui Allah) seperti orang yang mengemukakan
pendapat kemudian baru tampak baginya kesalahannya. Anggapan ini
jelas salah, karena nasakh itu berarti penjelasan tentang batas waktu
suatu hukum seperti halnya menghidupkan setelah mematikan atau
sebaliknya atau sakit sesudah sehat dan sebaliknya, atau miskin
sesudah kaya dan sebaliknya. Kesemuanya ini bukan bada'.
2. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa al-Qur'an tidak dapat
dinasakh kecuali dengan al-Qur'an, karena firman Allah Ta'la: ‫س ۡخ َما‬ َ ‫مِن نَن‬ ۡ
َ ۡ َ ۡ َ َ
ِ ‫ٱّلل أ َّن ت َعۡ لَ ۡم ألَ ۡم مِ ث ِل َهاۗ أ ۡو ِم ۡن َہا بِخ َۡير نَأ‬
‫ت نُن ِس َها أ ۡو َءايَة‬ َ َّ ‫علَى‬ َ ‫ قَدِير ش َۡىء ُك ِل‬Artinya: Ayat mana
saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan [manusia] lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al-Baqarah:
106).
3. Pendapat yang lain mengatakan, bahkan al-Qur'an dapat
dinasakh oleh al-Sunnah karena keduanya sama-sama dari Allah,
sebagaimana firmanNya: ‫ع ِن يَنطِ ُق َو َما‬ َ ‫ ۡٱل َه َوى‬Artinya: dan tiadalah yang
diucapkannya itu [Al Qur’an] menurut kemauan hawa nafsunya.(Q.S.
An-Najm: 3). Sebagai contohnya ialah ayat wasiat: ‫ِب‬ َ ‫علَ ۡي ُك ۡم ُكت‬ َ ‫أ َ َح َد ُك ُم َح‬
َ ‫ض َر إِذَا‬
ۡ
ُ‫صيَّةُ خ َۡيرا ت ََركَ ِإن ٱل َم ۡوت‬ ۡ ۡ ۡ
ِ ‫علَى َحقًّا ِبٱل َمعۡ ُروفِ ۗ َو ۡٱۡل َ ۡق َر ِبينَ لِل َوٲ ِل َد ۡي ِن ٱل َو‬ ۡ
َ َ‫ ٱل ُمتَّقِين‬artinya: Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan [tanda-tanda]
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf , [ini adalah] kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.(Q.S. Al-Baqarah: 180), ayat ini dihapuskan
oleh hadits Nabi saw.: "Ketahuilah bahwa tidak ada wasiat bagi ahli
waris." Dikatakan: Apabila as-Sunnah menasakhkan, maka harus
dengan perintah Allah melalui wahyu. Jika dengan ijtihad maka tidak
dapat menasakhkan. Imam Syafi'i berkata: "Apabila ada ayat al-Qur'an
yang dinasakh oleh as-Sunnah maka pasti ada ayat lain yang
menguatkannya, dan apabila as-Sunnah yang dinasakhkan al-Qur'an
pasti ada as-Sunnah lain yang menguatkan penasakah itu.
4. Nasakh tidak terjadi kecuali menyangkut perintah dan
larangan kendatipun lafadz khabar (berita), khabar tidak
berarti thalab (perintah atau larangan) tidak dapat kemasukan nasakh,
diantaranya adalah ayat ancaman dan janji.
4. Beberapa bentuk nasakh:
1. Menasakh apa yang diperintahkan sebelum pelaksanaannya, seperti ayat
najwa:
‫سو َل نَـ َج ۡيت ُ ُم ِإذَا َءا َمنُوا ٱلَّذِينَ يَـأَيُّ َہا‬ َ َ‫ٱّلل فَإ ِ َّن ت َِجدُوا لَّ ۡم فَإِن َوأ َ ۡط َه ُرۗ لَّ ُك ۡم خ َۡير ذَٲلِك‬
َّ ‫ص َدقَةۗ ن َۡج َوٮ ُك ۡم يَ َد ۡى بَ ۡينَ فَقَ ِد ُموا‬
ُ ‫ٱلر‬ َ َّ
ُ
‫غفور‬ َ ‫َّرحِ يم‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah [kepada orang
miskin] sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu
dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh [yang akan disedekahkan]
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S.Al-
Mujadilah: 12).
2. Menasakhkan apa yang pernah diperintahkan secara umum, seperti
menasakhkan menghadap ke Baitul Maqdis dengan ka'bah (Q.S. Al-Baqarah:
142-145) dan puasa 'Asyura dengan Ramadhan (Q.S. Al-Baqarah: 183-185).
3. Apa yang pernah diperintahkan karena adanya sebab kemudian sebab itu
tidak ada, seperti perintah bersabar dan mema'afkan ketika dalam keadaan
lemah dan sedikit, kemudian dinasakhkan dengan kewajiban perang. pada
hakekatnya ini tidak termasuk nasakh, tetapi termasuk mansa' (penundaan)
sebagaimana firman Allah :au na sa'uha (atau kami mengakhirkannya):
‫س ۡخ َما‬ ِ ‫ٱّلل أ َ َّن ت َعۡ لَ ۡم أَلَ ۡم مِ ۡث ِل َهاۗ أ َ ۡو ِم ۡن َہا ِبخ َۡير ن َۡأ‬
َ ‫ت نُن ِس َها أ َ ۡو َءايَة مِ ۡن نَن‬ َ َّ ‫علَى‬
َ ‫قَدِير ش َۡىء ُك ِل‬
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
[manusia] lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau
yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. Al-Baqarah: 106), dalam qira'at
Hafas dari 'Ashim dibaca nunshiha-.
Jadi (sesuai prinsip mansa') perintah berperang ditunda sampai kaum
Muslimin menjadi kuat. Selama dalam keadaan lemah mereka wajib bersabar
menghadapi gangguan. Dengan demikian maka nyatalah kesalahan orang
yang mengatakan bahwa ayat tersebut (perintah bersabar) dinasakhkan oleh
ayat pedang (perintah perang). masing-masing dari ayat tersebut harus
dilaksanakan pada suatu waktu karena sebab yang mengharuskan hukumnya.

5. Tiga Macam Nasakh Dalam Al-Qur'an


1. Ayat yang dinasakhkan tilawah dan hukumnya, seperti riwayat
dari Aisyah yang mengatakan: "Diantara ayat yang pernah diturunkan ialah:
"Sepuluh susuan yang dikenal" kemudian dipauskan dengan "lima susuan",
ketika Rasulullah saw. nash tersebut (sepuluh susuan) termasuk apa yang
dibaca dari al-Qur'an." (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Ayat yang dinasakhkan hukumnya tetapi tilawahnya tetap. Bentuk nasakh
inilah yang banyak dibahas oleh para ulama di dalam berbagai kitabnya. Tetapi
nasakh ini pun pada hakikatnya sangat sedikit adanya.
Jika ditanyakan: apa hikmah penghapusan hukumnya dan membiarkan
bacaannya? Pertanyaan ini dapat dijawab dari 2 segi. Pertama, bahwa al-
Qur'an di samping dibaca untuk diketahui hukumnya dan diamalkan, juga
dibaca karena ia kalam Allah yang dengan membacanya akan mendapatkan
pahala, maka dibiarkannya tilawah tersebut karena hikmah ini. Kedua, bahwa
nasakh pada galibnya adalah untuk meringankan, maka dibiarkannya tilawah
tersebut untuk mengingatkan ni'mat yang diberikannya itu.
3. Ayat yang dinasakhkan tilawahnya tetapi hukumnya tidak. lalu apa
hikmahnya? mengapa tidak dibiarkan juga tilawahnya agar dengan demikian
akan didapat pahala pelaksanaan dan pembacaannya ? Jawabannya ialah
untuk membuktikan sejauh mana keta'atan umat ini dalam berkorban tanpa
banyak bertanya sebagaimana Ibrahim a.s. segera melaksanakan
penyembelihan anaknya hanya melalui mimpi.
6. Bagaimana Mengetahui Nasakh?
Nasakh diketahui melalui riwayat yang tegas dari Rasululah saw. atau dari
seorang shahabi yang berkata: Ayat ini menasakhakan ayat itu. Kadang-
kadang dengan nasakh ini pertentangan antara dua ayat dapat diselesaikan,
tentu saja dengan mengetahui sejarah sehingga dapat diketahui mana yang
lebih awal atau akhir turunnya. Dalam mengetahui nasakh tidak boleh
bersandar kepada para mufassirin atau ijtihad para mujtahidin tanpa
didasarkan kepada nash yang shahih. Sebab nasakh ini berarti mencabut suatu
hukum dan menetapkan hukum yang lain yang telah ditetapkan di zaman
Rasulullah saw. Karena itu ia harus berdasarkan kepada riwayat dan sejarah
yang shahih, tidak boleh berdasarkan kepada pendapat dan ijtihad.

Anda mungkin juga menyukai