Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“ TAFSIR AYAT BALDATUN THOYYIBATUN WA ROBBUN


GHOFUR”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Peradaban

Dosen Pengampu: Moh. Farhan, S.PdI, S.Hum, M.Pd

SPI 7

Disusun Oleh:

Rina Mufidatul Khusna

Rizka Maula Shofa

Safinatun Khoriah (32501600188)

PROGAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

JURUSAN ADAB

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Peradaban.

Penyusun ucapkan terima kasih kepada dosen selaku pengajar dan


pembimbing. Atas bimbingan beliau penyusun dapat menyusun makalah ini
dengan baik, serta kepada teman teman yang telah berperan serta dalam
pembuatan makalah ini.

Penyusun berharap dengan disusunya makalah ini dapat bermanfaat bagi


kami selaku penyusun dan pembaca serta menambah pengetahuan kita mengenai
tafsir ayat baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur.

Demikian makalah ini kami susun dengan sebaik baiknya. Penyusun


sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan ataupun kesalahan dalam penulisan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang membangun sangat kami harapkan.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Semarang, 9 Oktober 2018


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, tentu bukan istilah
yang asing di telinga kita, karena merupakan istilah yang diambil dari
firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebut Negeri Saba’ yang
pada waktu itu indah dan subur alamnya, dengan penduduk yang selalu
bersyukur atas nikmat yang mereka terima.
Ada satu kisah penting di dalam Alquran yang patut dikaji lebih
mendalam. Terlebih, kisah itu sampai saat ini masih menjadi misteri,
karena Alquran tidak menunjukkan secara spesifik tempat kejadian kisah
itu berada.
Kisah Negeri Saba’. Sebuah negeri yang subur makmur dan di
dalamnya dianugerahi Allah kekayaan dan keindahan alam yang luar
biasa. Di dalam Alquran digambarkan bahwa Negeri SabA’ adalah negeri
yang dikarunia limpahan nikmat, Alquran menyebutnya sebagai negeri
yang baik (Baldatun Thoyyibatun wa robbun ghofur).
Sementara itu, mengapa Allâh Azza wa Jalla menyebut Negeri
Saba’ sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr? Makalah ini akan
membahas lebih jauh tentang makna dan ciri-ciri serta ayat al Qur’an yang
berkaitan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur
2. Bagaimana ciri-ciri baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur
3. Bagaimana tafsiran QS. As Saba’/34:15 terkait baldatun thoyyibatun
wa robbun ghofur
4. Bagaimana keindahan negeri Saba
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian baldatun thoyyibatun wa
robbun ghofur
2. Untuk mengetahui dan memahami ciri-ciri baldatun thoyyibatun wa
robbun ghofur
3. Untuk mengetahui dan memahami tafsiran QS. As Saba’/34:15 terkait
baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur
4. Untuk mengetahui dan memahami keindahan negeri Saba
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur


Kata ‫بلدة‬berasal dari kata ‫ بلد‬yang mempunyai arti tinggal di suatu
Tempat sehingga kalimat ‫ا لبلللد‬bermak ‫( ل ك ل قطع ة م ن الرأض‬wilayah).
Selanjutnya, kata ‫بلداوبلدام‬merupakan kalimat plural dari kata tunggal ‫البلدا‬
yang berarti daerah, negeri, dusun dan kampung.1
Kata Thayyibah berasal dari kata kerja taaba-yatiibu, bermakna
suci, baik, bagus lezat, halal, subur dan membiarkan, kata ini mempunyai
makna pokok segala sesuatu yang yang disenangi oleh alat indra dan jiwa
manusia’. Penggunaan kata thayyibah dalam al-Qur’an digunakan untuk
konotasi guna. Ini berarti bahwa sesuatu dikatakan thayyib karena ada
kegunaan yang terkandung di dalam eksistensinya. Kata thayyibah juga
terambil dari kata thaba yaitu sesuatu yang sesuai, baik dan
menyenangkan bagi subyeknya. Negeri yang baik antara lain adalah yang
aman sentosa, melimpah reskinya dapat diperoleh secara mudah oleh
penduduknya, serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan
persatuan antara anggota masyarakat.2
Kata Rabb secara etimologis berarti pemelihara, pendidik,
pengasuh, pengatur, yang menumbuhkan. Kata Rabb biasa dipakai sebagai
salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki menjadi
pemelihara, pendidik, pengasuh, pengatur, dan yang menumbuhkan
makhluk-Nya. Oleh sebab itu, kata tersebut biasa diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan kata Tuhan.3
Kata Ghafur terambil dari akar kata ghafara yang berarti menutup,
ada juga yang berpendapat dari kata al ghafaru yakni sejenis tumbuhan
yang digunakan mengobati luka. Jika pendapat pertama yang dipilih
berarti, Allah menutupi dosa-dosa hambaNya karena kemurahan dan
anugerah-Nya. Sedang bila pendapat kedua yang dipilih berarti Allah
menganugerahi hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga
penyesalan ini berakibat kesimbuhan, dalam hal ini terhapusnya dosa.4
Nawawi al Bantani dalam Marah Lubad menjelaskan bahwa
baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr adalah negeri yang bersih dari
segala sesuatu yang membahayakan baik itu berupa binatang buas maupun
penyakit, dan Tuhan mudah mengampuni kesalahan hamba-hambaNya
1
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: kajian kosa kata, jilid 2,hlm. 1005
2
Ibid, hlm. 801
3
Ibid, hlm. 238
4
Ibid, hlm. 239
yang senantiasa bersyukur kepadaNya. Kabilah Saba’ terdiri dari tiga belas
desa dan telah diutus kepada mereka tiga belas nabi untuk mengajak
bersyukur atas nikmat dengan bertauhid. Namun demikian, mereka
enggan dan berpaling sehingga kehidupan penuh kemakmuran yang
sebelumnya mereka nikmati, dimusnahkan Allah dengan hancurnya
bendungan Ma’rib yang diawali dari serangan tikus. Hancurnya
bendungan selanjutnya berdampak tidak hanya pada rusaknya kebun yang
mereka banggakan, tetapi juga pada bangunan rumah dan sebagainya.
Dua kebun yang menghasilkan aneka buah dan hasil bumi berlimpah
pun kemudian diganti dengan dua kebun yang hanya menghasilkan
tanaman yang tidak mereka butuhkan.5
Selanjutnya, nikmat lain juga diberikan kepada kabilah Saba’
dalam bentuk desa-desa yang menjadi perantara antara wilayah mereka,
yaitu Yaman dengan Yordania dan Palestina di Wilayah Syam. Nawawî Al-
Bantanî mengutip salah satu pandangan yang menyebutkan desadesa
tersebut berjumlah 4.700 desa yang saling sambung menyambung.
Keberadaan desa-desa ini beserta air dan tanaman di dalamnya membuat
perjalanan antara Yaman dan Syam menjadi lebih mudah karena tidak
memerlukan bekal minuman dan makanan yang terlalu banyak.
Kondisi ini ternyata tidak juga disyukuri terbukti dengan doa mereka agar
jarak antar tempat mereka berhenti, yaitu desa-desa yang saling terhubung,
dijauhkan dengan maksud agar diperlukan kendaraan khusus untuk
menempuh perjalanan sepanjang rute tersebut, diperlukan bekal yang
banyak, dan orangorang miskin yang akan menempuh perjalanan
menjadi lebih sulit dan lama. Doa ini sebenarnya merupakan
kedhaliman bagi diri mereka sendiri karena mereka menukar nikmat
dengan niqmat dan menukar kebajikan dan keburukan. Dampak akhir yang
mereka terima adalah terpencarnya kabilah sehingga sejumlah suku kecil
menempati wilayah yang berbeda-beda. Kabilah ini pun menjadi cerita

5
Mustamin Arsyad, Signifikansi Tafsir MarâhLabîd terhadap PerkembanganStudi Tafsir
di Nusantara. Jurnal Studi al-Qur’ān. 2006. Vol. 1 (3): 615-636
bagi generasi selanjutnya tentang kehancuran akibat keengganan
bersyukur.6
Terkait karakter baldatun thayyibatun yang menjadi tempat
tinggal kabilah ini dan rabbun ghafûr yang mengikutinya, Hasbi Ash-
Shiddieqy dalam Tafsir An Nûr menjelaskanya sebagai sebuah negeri
yang nyaman udaranya, banyak kebajikan dan berkatnya, sedang yang
mencurahkan nikmat itu atas mereka adalah Tuhan yang maha pengampun
yang menutupi dosa dan menerima tobat.
Nikmat yang sedemikian besar ternyata tidak disyukuri oleh
Kabilah Saba’ yang bahkan mengingkari Rasul-rasul, menolak
kebenaran, dan terbuai dengan kehidupan dunia. Akibatnya, simbol
kesejahteraan mereka berupa bendungan, yang menampung air hujan di
musim hujan untuk kemudian dialirkan airnya di musim kemarau,
dihancurkan. Hancurnya bendungan ini tidak hanya menyebabkan
matinya ternak dan tanaman di kebun mereka, tetapi juga membuat
kehidupan mereka menjadi susah karena keindahan tanam-tanaman
yang dulu mereka nikmati kini berubah hanya berbentuk “pepohonan
berduri dan pohon bidara” yang tidak memberi manfaat.7.
Sementara itu, Hamka dalam tafsir al Azhar menggambarkan
makna baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr yaitu sebagai: hidup
senang, tanah subur, buah-buahan lebat, negeri sentosa, perjalanan aman,
tempat-tempat terpelihara, negeri-negeri putus berulas, tali bertali, jalan-
jalan terlindung oleh pohon-pohon, bumi hijau oleh rumputnya, buah-
buahan tidak putus berganti musim, musafir tidak usah khawatir
berjalan jauh, tidak usah membawa perbekalan banyak-banyak karena
air mengalir dengan cukup disertai makanan yang mengenyangkan.
Bilamana mereka berjalan bermalam-malam, pada siangnya mereka
dapat istirahat tidur siang. Jika mereka berjalan bersiang-siang, malamnya
mereka tidur nyenyak berlepas lelah.8
6
Ibid,
7
Tengku Muhammad Hasybi Ash Shiddiqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nur, Jilid IV,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), hlm. 3231
8
Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu’ XXII, (Surabaya: Yayasan Lamitojong, 1980), hlm. 197
Berdasarkan uraian dari beberapa makna di atas dapat diketahui
bahwa maksud baldah thayyibah wa Rabb Ghafuur adalah sebuah Negeri
yang nyaman udaranya, banyak kebajikan dan berkatnya, sedang yang
mencurahkan nikmat itu atas mereka adalah Tuhan yang maha pengampun
yang menutupi dosa dan menerima tobat.
B. Ciri-Ciri Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur
Hakikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur merupakan
keadaan negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh manusia. Yaitu
sebuah negeri yang memiliki gambaran sebagai berikut.:
1. Negeri yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku
penduduknya.
2. Negeri yang penduduknya subur dan makmur, namun tidak lupa untuk
bersyukur.
3. Negeri yang seimbang antara kebaikan jasmani dan rohani
penduduknya.
4. Negeri yang aman dari musuh, baik dari dalam maupun dari luar.
5. Negeri yang maju, baik dalam hal ilmu agama maupun ilmu dunianya.
6. Negeri dengan penguasa yang adil dan shalih, dan penduduk yang
hormat dan patuh.
7. Negeri yang di dalamnya terjalin hubungan yang harmonis antara
pemimpin dan masyarakatnya, yaitu dengan terwujudnya saling
menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Namun, terbentuknya keadaan negeri “impian” ini tidak semudah
membalik tangan. Karena negeri “impian” ini merupakan sesuatu yang
istimewa, tentu memerlukan perjuangan dan usaha keras dalam
mewujudkannya. Bahkan perjuangan dan usaha keras saja tidak cukup,
tetapi harus dibarengi pula dengan bimbingan yang jelas dari Allâh Azza
wa Jalla , dikarenakan beberapa hal berikut:
1. Meski manusia mengetahui maslahat dunia, terutama yang
berhubungan dengan sisi jasmani, tetapi pengetahuan itu hanya
sebagiannya saja. Sehingga masih ada banyak hal tentang maslahat
dunia yang tidak diketahui manusia, terutama yang berhubungan
dengan sisi rohani.
2. Seringkali akal manusia terkecoh ketika menilai sebuah maslahat,
sehingga seringkali suatu yang membahayakan dianggap sebagai
bermanfaat, dikarenakan keterbatasan kemampuan akal manusia.
3. Akal manusia tidak akan mampu mengetahui maslahat yang
berhubungan dengan akhirat, padahal kehidupan akhirat merupakan
tujuan utama dan target akhir, bahkan masanya akan selama-lamanya.
Dari sini kita bisa mengerti arti penting syariat agama bagi
kehidupan manusia, baik untuk kehidupan pribadi maupun untuk
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan telah terbukti dalam
sejarah kehidupan manusia, bahwa mayoritas negara-negara yang kuat
kekuasaannya dan luas wilayahnya itu asal-muasalnya dari agama.
Sesungguhnya negara-negara yang luas wilayahnya dan kuat
kekuasaannya, itu asal-usulnya dari agama, baik agama yang bertolak dari
kenabian, maupun agama yang bertolak dari ajakan kepada yang haq.
Alasannya, kekuasaan hanya bisa didapat melalui penaklukan, dan
penaklukan hanya terjadi akibat fanatisme dan kesamaan tujuan. Padahal
hati manusia tidak dapat disatukan dan disamakan kecuali dengan
pertolongan Allâh dalam rangka menegakkan agama-Nya. Allâh Ta’ala
berfirman (yang artinya): “Andai engkau mengerahkan seluruh kekayaan
yang ada di bumi, niscaya engkau takkan dapat menyatukan hati mereka,
akan tetapi Allah-lah yang menyatukan mereka. Sesungguhnya Allâh
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. –al-Anfal ayat 63- Rahasia (dari hal
ini) ialah, karena bila hati manusia saling berhasrat dengan suatu kebatilan
dan condong kepada dunia, maka selanjutnya akan terjadi persaingan dan
perselisihan yang meluas. Namun jika hati tersebut diarahkan untuk
membela kebenaran, mengesampingkan dunia, menolak kebatilan, dan
menghadap kepada Allah, maka ia akan bersatu. Dengan begitu,
persaingan akan hilang dan akan sedikit perselisihan. Kerjasama dan
tolong-menolong menjadi membaik, dan pengaruh kekuasaan semakin
meluas, sehingga negara pun menjadi besar.9

9
Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj. Masturi
Irham, (Jakarta: Pustaka Al Kaustar, 2011), hlm. 216
C. Tafsiran QS. As Saba’/34:15 Terkait Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun
Ghofur

‫لرقرمد ركاَرن لقرسبرإ ل قفيِ رممسركنققهمم آيرةة ٍ رجننرتاَقن رعمن يرقميِلن روقشرماَلل ٍ كككلوُا قممن قرأمز ق‬
‫ق ررأببككمم‬
‫ب رغكفوُةرأ‬ ‫روامشكككروا لرهك ُ برملردةة ر‬
َ‫طيِببرةة روررأ ب‬

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ada tanda (kekuasaan Tuhan) di


tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di
sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Maka makanlah olehmu dari
rizki yang dianugrahkan Tuhanmu dan besyukurlah kamu kepada Nya.
(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
maha pengampun”.
M.Quraisy Shihab dalam tafsir al Misbah menjelaskan bahwa ayat
diatas bagaikan menyatakan bahwa: Kami bersumpah bahwa
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ada tanda kekuasaan Allah di tempat
kediaman mereka yaitu yang berlokasi tidak jauh dari kota San’a di Yaman
Selatan. Kedua tanda yang dimaksud yaitu dua kumpulan kebun yang
mengelilingi negeri mereka di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Kepada
mereka Kami berpesan: “Wahai penduduk Saba’, makanlah dari rizki yang
dianugrahkan Tuhan pemelihara dan pembimbing kamu dan bersyukurlah
kepada Nya dengan menggunakan nikmat itu sesuai dengan petunjuk Nya.
Negeri kamu ini adalah negeri yang aman dan sentosa buat kamu semua
dan Tuhan yang melimpahkan anugrah itu adalah Tuhan yang maha
pengampun buat siapapun yang bermohon ampun kepada itu bersyukurlah
kepada Nya dan mohonlah ampun atas dosa-dosa kamu.10
Aidh al Qarni dlam tafsir Muyassar menjelaskan bahwa suku Saba’
di Yaman dilimpahi tanda-tanda kekuasaan dan keagungan Allah, yakni
adanya taman di pinggir kanan dan kiri lembah atau setiap rumah mereka
dihimpit oleh dua taman. Suku Saba’ diperintah oleh Allah untuk
menikmati dan mensyukuri rizki yang telah diberikan kepada mereka, agar
dengan nikmat itu mereka bisa meningkatkan ketaatan pada Nya. Tanah
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, (Tangerang: Lentera Hati, 2005), hlm. 362-363
mereka subur, airnya segar dan hawanya bagus. Allah SWT-Tuhan
mereka-pun maha mengampuni dosa mereka dan Maha Menutupi segala
aib dan keburukan mereka.11
Sesungguhnya penduduk negeri ini, yang terdiri dari raja-raja
Yaman, hidup dalam kenikmatan besar dan rizki yang luas. Namun,
kemudian mereka berpaling dari apa yang diperintahkan kepada mereka,
sehingga mereka porak-poranda diseluruh negeri dan tercerai berai.12
Kata (‫ )سبأ‬saba’ dapat berarti wilayah/negeri sebagaimana yang
ditunjuk oleh QS. An Naml, dan dapat juga berarti kaum dan itulah yang
dimaksut oleh ayat ini. Kerajaan Saba’ berdiri pada abad ke VIII SM,
pengaruh kekuasaanya mencakup Ethiopia dan salah satu negeri yang
sangat terkenal ketika itu yaitu Ma’rib dengan bendunganya yang sangat
besar.Sementara riwayat menggambarkan kesuburan negeri itu, sehingga
seandainya seorang pejalan meletakkan keranjang di atas kepala, niscaya
sambil berjalan ia akan memenuhi keranjang itu dengan aneka buah-
buahan yang berjatuhan. Ini tentu riwayat yang berlebihan tetapi paling
tidak ia memberi gambaran tentang kesuburanya. Kata (‫ )طبيِبة‬thayyibah
terambil dari kata (‫ )طللاَب‬thaba yaitu sesuatu yang sesuai, baik dan
menyenangkan bagi subyeknya. Negeri yang baik antara lain adalah yang
aman sentosa, melimpah rizkinya dapat diperoleh secara mudah oleh
penduduknya, serta terjalin hubungan harmonis kesatuan dan persatuan
antar anggota masyarakatnya.Firman Nya: (‫ب رغفكللوُرأ‬
‫ )بلدة طيِببللة ورأ ب‬baldatun
thoyyibatu wa robbun ghofur/negeri yang baik dan Tuhan maha
pengampun, memberi isyarat bahwa satu masyarakat tidak dapat luput dari
dosa dan kedurhakaan.seandainya tidak demikian, maka tidaklah ada arti
penyebutan kalimat rabbun ghofur/Tuhan Maha Pengampun. Pada masa
Nabi Muhammad SAW pun ada anggota masyarakat beliau yang berdosa.
Sungguh kita telah meremehkan perjuangan Nabi Muhammad SAW dan

11
‘Aidh al Qarni, Tafsir Muyassar, (Jakarta: Qisthi Press, 2008), hlm.442-443
12
Ahmad Mushtafa al Maraghi, Tafsir Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra, 1992), 116-
117
para sahabat beliau jika kita menduga bahwa seluruh anggota masyarakat
terdiri dari orang-orang yang luput dari dosa dan kedurhakaan.13
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Tafsir An Nûr menggabungkan
penafsiran atas Surat Sabâ’ ayat 15-21 sebagai satu kesatuan yang
menceritakan peri kehidupan Kabilah Saba yang dahulu menempati daerah
Yaman. Kabilah ini memiliki kebun yang permai dan taman yang indah di
sebelah kanan dan kiri lembah yang mereka diami.Rasul pun diutus untuk
mengingatkan mereka agar mensyukuri nikmat yang diberikan tersebut
dengan bertauhid dan beribadah. Nikmat yang sedemikian besar ternyata
tidak disyukuri oleh Kabilah Saba’ yang bahkan mengingkari Rasul-
rasul, menolak kebenaran, dan terbuai dengan kehidupan dunia.
Akibatnya, simbol kesejahteraan mereka berupa bendungan, yang
menampung air hujan di musim hujan untuk kemudian dialirkan airnya di
musim kemarau, dihancurkan. Hancurnya bendungan ini tidak hanya
menyebabkan matinya ternak dan tanaman di kebun mereka, tetapi
juga membuat kehidupan mereka menjadi susah karena keindahan
tanam-tanaman yang dulu mereka nikmati kini berubah hanya
berbentuk “pepohonan berduri dan pohon bidara” yang tidak
memberi manfaat. Selain nikmat berupa dua kebun dan tanam-
tanaman didalamnya, nikmat lain yang diperuntukkan bagi Kabilah
Saba ini juga berupa keberadaan kota-kota sepanjang perjalanan antara
Yaman dan Syam. Adanya kota-kota dengan jarak tempuh yang idel
ini membuat kabilah ini senantiasa diliputi rasa tenang karena aman dari
gangguan dalam perjalanan dagangnya di antara dua wilayah tersebut.
Namun demikian, kenikmatan ini justru mereka dustakan dengan
meminta kepada Tuhan agar jarak antara kota-kota tersebut dijauhkan.
Akibatnya kemudian mereka pun mendapat azab dan kesatuan kabilah
mereka terpecah sehingga anak cucu kabilah ini kemudian tersebar di
berbagai wilayah di semenanjung Arab.14

13
M. Quraish Shihab, op. cit, hlm. 363
14
Tengku Muhammad Hasybi Ash Shiddiqy, op.cit, hlm. 3230-3231
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menggabungkan pembahasan
terkait tafsir Surat Sabâ’ ayat 15-21 dalam satu bagian. Negeri Saba’
yang berada di Yaman memiliki tempat tinggal yang berada di sebuah
lembah yang berada diantara dua gunung. Nenek moyang penduduk negeri
tersebut membangun bendungan atau waduk besar yang menampung
air hujan agar tidak terbuang percuma ke laut. Air yang tertampung di
bendungan atau waduk ini selanjutnya menjadi sumber penghidupan
penduduk negeri Saba’ mulai dari makan minum hingga irigasi
perkebunan yang membuat mereka berkelimpahan hasil pertanian.Terkait
kondisi bendungan ini, Hamka menuliskan bahwa bendungan tersebut
merupakan sumber kesuburan tanah Saba’.Waduk atau bendungan air
tersebut dibangun secara sungguh-sungguh oleh pendahulu mereka
sehingga menjadi peninggalan yang amat berharga dan tugas mereka
hanyalah menjaganya. Selama waduk ini dijaga, selama iu pulakesuburan
tanah pertanian di sekitarnya akan terjaga. Nikmat yang diberikan tersebut,
selama dijaga dengan amal, usaha dan kerja akan senantiasa menjadikan
negeri tersebut tetap baik. Baiknya negeri selanjutnya akan membawa
pada kemakmuran yang diwujudkan dalam sempurnanya hasil
tanaman pangan. Kemakmuran ini selanjutnya bermuara pada
kedekatan pada Tuhan yang menghasilkan ampunan selama setiap
langkah manusianya selalu mengingat Tuhannya. Syukur dengan
bekerja sebagai prasyarat atas berlakunya nikmat ini kemudian
dilupakan oleh penduduk negeri Saba’ hingga akhirnya bencana
melanda. Awalnya hanya berupa lubang-lubang kecil akibat tikus, namun
tidak diperhatikan hingga akhirnya menjadi lubang besar yang
mengakibatkan jebolnya bendungan. Jebolnya bendungan mengakibatkan
banjir yang merusak kebun-kebun kebanggaan mereka. Selain membawa
banjir yang menghanyutkan sumber kehidupan mereka, jebolnya
bendungan juga membawa bunga tanah yang ternyata menumbuhkan
pohon cemara dan bidara yang tentunya tidak memberi pangan sebagai
sumber kemakmuran. Anugerah lain bagi penduduk Saba’ masih yaitu
berupa kenyamanan perjalanan antara tempat mereka tinggal menuju
ke utara untuk jalur perdagangan menuju Syam atau Baitul Maqdis.
Adanya sejumlah kota yang nyata membuat mereka dapat mengatur
perjalanan dengan mudah: apakah berjalan siang hari di musim dingin
ataukah berjalan di malam hari saat musim panas. Mereka juga
dapat dengan mudah menentukan akan berhenti di kampung mana pada
perjalanan yang dilalui. Namun kesombongan membuat mereka enggan
bersyukur bahkan menganggap perjalanan dagang yang dilalui selama
ini kurang jauh, kurang kesukaran dan kesulitannya sehingga mereka
meminta agar dijauhkan. Sikap mereka ini merupakan bentuk
penganiayaan terhadap diri sendiri meskipun bentuknya tidak
dijelaskan apakah dengan merubah rute perjalanan ataukah dengan
berpindah ke kota dan enggan pulang kembali ke kampung halaman.
Akibatnya kemudian adalah kehancuran yang menerima mereka sendiri
karena buah kesombongannya membuat mereka tidak bersyukur bahkan
cenderung merusak dan memusnahkan. Dampak dari bencana yang
mereka terima berupa hilangnya kesuburan tanah karena kurangnya
air kemudian meluas hingga mereka merasakan sulitnya kehidupan
dan akhirnya memilih meninggalkan tanah kelahiran mereka menyebar
ke sejumlah wilayah lain demi mencari penghidupan.15
D. Keindahan Negeri Saba’
Kaum Saba’ telah dikenal sebagai orang-orang yang beradab dalam
sejarah. Dalam prasasti para penguasa Saba’ sering digunakan kata-kata
seperti memperbaiki, mempersembahkan, dan membangun. bendungan
Ma’rib, yang merupakan salah satu monumen terpenting Kaum ini, adalah
indikasi penting dari tingkatan teknologi yang telah diraih oleh Kaum ini.
Selain itu kekuatan militer bala tentara Saba’ adalah salah satu faktor
terpenting yang menyokong ketahanan kebudayaan mereka dalam jangka
waktu demikian lama tanpa keruntuhan.16

15
Hamka, op.cit, hlm. 190-197
16
Harun Yahya, jejak bangsa-bangsa terdahulu,www.bangsamusnah.com.pdf, (15 April
2016), hlm. 81.
Negeri Saba’ memiliki salah satu bala tentara terkuat di kawasan
tersebut. Negeri mampu melakukan politik ekspansi berkat angkatan
bersenjatanya. Negeri Saba telah menaklukkan wilayah-wilayah dari
Negeri Qataban Lama. Negeri Saba’ memiliki banyak tanah di benua
Afrika. Selama abad ke-24 SM, selama ekspedisi ke Magrib, tentara Saba’
dengan telak mengalahkan tentara Marcus Aelius Gallus, Gubernur Mesir
untuk Kekaisaran Romawi yang jelas-jelas merupakan Negeri terkuat pada
masa itu. Saba’ dapatlah digambarkan sebagai sebuah Negeri yang
menerapkan kebijakan moderat, namun tidak ragu-ragu menggunakan
kekuatan jika diperlukan. Dengan kebudayaan dan militernya yang maju,
Negeri Saba’ jelas merupakan salah satu adi daya di daerah tersebut kala
itu.17
Kondisi masyarakat Saba’ sebagai petani juga dingkapan dalam al-
Qur’an,yaitu terdapat dua buah kebun di sisi kiri dan kanan, di antaranya
kebun-kebun anggur yang mengesankan di kedua lembah ini. Berkat
bendungan ini dan sistem pengairannya, daerah ini menjadi terkenal
sebagai kawasan berpengairan terbaik dan paling menghasilkan di Yaman.
Bahkan ada fakta yang mencengangkan yang diucapkan oleh Ulama,
bahwa negeri Saba’ itu sama sekali tidak ada lalat, nyamuk, dan hama
sedikitpun. Hal ini disebabkan oleh udara di negeri ini sangat stabil,
perputaranya sehat, ditambah lagi perhatian Allah terhadap mereka, yaitu
supaya mereka mengesakanya dengan cara beribadah. Tercatat didalam
sejarah, penduduknya adalah penduduk yang senantiasa tunduk dan patuh
dalam menjalankan perintah Allah, bebas dari kesyirikan dan kedzaliman
serta selalu mensyukuri nikmat yang Allah berikan.Sungguh mereka
mencintai Allah dan Allah mencintai mereka. Adapun akhlak Kaum Saba’
yaitu mereka kebanyakan senantiasa meninggalkan pekerjaan yang
mengandung kebohongan, baik dalam ucapan maupun tindakan. Kaum
Saba’ benarbenar jujur dalam berkata dan bekerja. Sehingga mereka
mendapat ganjaran berupa taufik yaitu peningkatan nilai amal mereka,

17
Ibid, hlm. 82
keunggulan dan keberhasilan yang mencakup semua bidang pekerjaan.
Baik berdagang, beternak maupun dalam bidang pertanian.18
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Negeri Saba’
memiliki beberapa unsur untuk dikatakan sebagai Negeri yang ideal yaitu
letak goegrafis yang strategis dilengkapi dengan infrastruktur yang
memadai dan didukung oleh kekuatan militer. Ketersediaan sumber daya
alam yang melimpah diolah dengan sumber daya manusia yang memadai
menjadikan Negeri Saba’ sebagai Negeri idaman dan diabadikan oleh
Allah swt sebagai baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur. Masyarakat
Saba’ juga bertauhid dengan mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-
Nya.
Pada tahab selanjutnya, Allah menghancurkan negeri tersebut
dengan mengirim banjir besar. Hal ini terjadi lantaran setelah
peninggalan Ratu Balqis, penduduk Negeri Saba‘ enggan memuji
Allah dan tidak mau mensyukuri nikmat dan karunia yang diberikan Allah
kepadanya, bahkan mereka berpaling terhadap Allah, Sang Pemberi
nikmat.
Demikianlah, Allah bisa saja menjadikan suatu negeri yang
maju menjadi negeri yang lemah dan terbelakang. Begitu juga, bagi
Allah sangat mudah merubah suatu negeri yang lemah dan
terbelakang menjadi negeri yang maju. Fenomena bahwa penduduk
Negeri saba‘ ingkar terhadap nikmat yang diberikan Allah,
menjadikan Allah murka dan kemudian mencabut faktor-faktor yang
mendatangkan kemakmuran, kesuburan dan sejenisnya dari mereka.
Lalu Allah mendatangkan banjir yang besar. Banjir tersebut
adalah akibat dari jebolnya bendungan Ma‘rib. Allah Swt. Hendak
mengadzab kaum Negeri Saba‘ dengan mengirim banjir besar, maka Allah
mengutus hewan tanah, yaitu tikus tanah, kepada bendungan tersebut
untuk melubanginya. Setelah tikus itu melubangi pondasi sehingga
membuat bangunan bendungan itu rapuh dan goyah, hingga tiba
musim penghujan, dan air menghantam bendungan tersebut, alhasil

18
Ibid, hlm. 91
bendungan runtuh.19 Sehingga, ketersedian air di negeri ini menjadi
minus. Bahkan, kondisi bangsa kala itu menjadi kering kerontang.
Jadi, setelah tertimpa bencana banjir besar, daerah Saba‘ mulai
berubah menjadi padang pasir dan kaum Saba‘ kehilangan sumber
pendaatan mereka yang paling penting dengan hilangnya pertanian atau
kebun mereka.
Selanjutnya, bergantilah kebun-kebun yang semula
menghasilkan bauah-buahan dan makanan lainnya itu menjadi padang
pasir. Sehingga, kebun tersebut hanya ditumbuhi pohon yang berbuah
pahit. Allah telah mempersempit rezeki mereka, dan mengubah
keadaan mereka dari kemakmuran dan kenikmatan menjadi
kemiskinan dan kesusahan. Tapi, Allah masih sedikit memberi
kesempatan kepada kaum Saba‘ untuk bertaubat. Kesempatan itu
telihat, Allah tidak memecah belah mereka. Peradaban dan kehidupan
masih tersambung dengan kota-kota yang diberkahi yang berada di
sekeliling Saba‘. Kota yang dimaksud adalah: Makkah di Jazirah Arab dan
Baitul Maqdis di Syam. Yaman masih tetap ramai. Dan, jalan
diantara keduanya masih bagus, terawat, dan aman.
Menurut catatan sejarah, kerajaan Saba‘ memang benar-benar ada
dan dipimpin oleh Ratu Balqis ( Queen Sheba). Kerajaan ini
merupakan kerajaan besar, sudah mengetahui bercocok tanam, sistem
irigasi, dan astropologi.20
Jumhur ulama tafsir mengatakan bahwa Negeri Saba‟ ada di
daerah Ma‟rib, Yaman Selatan dan istana Nabi Sulaiman ada di Palestina.
Diantara ulama tafsir yang berpendapat demikian adalah Abu Ja‟far al-
Thabari dan Ibnu Katsir, bahkan ulama tafsir Indonesia Quraish Shihab
senada dengan mereka. Salah satu bukti arkeologis yang digunakan
para mufassir itu adalah bendungan Ma‟rib yang terletak di antara
San‟a dan Hadhramaut. Bendungan ini memiliki dinding sepanjang 800

19
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5, Terj. Suharlan, (Jakarta:
Darus Sunnah, 2012), hlm. 429-430
20
Abdul Syukur al-Azizi, Kitab peninggalan-peninggalan Bersejarah Para Nabi,
( Jogjakarta: Saufa, 2014), cet. I, hlm. 200.
hasta, lebarnya 150 hasta dan tingginya sekitar belasan hasta (sehasta,
antara 50-70 cm). 21
Namun, ada seorang ilmuwan Islam Nusantara yang
mengejutkan. Sebab, ia melawan mainstream. Sebuah penelitian sains
yang berdasarkan data-data Alquran dan fakta-fakta ilmiah selama 33
ahun, berusaha menjawab misteri tersebut. Penelitian ini juga
memberikan benang merah dari misteri masa lalu Dunia dan
Nusantara ini. Hasil penelitian tersebut sudah tercover dalam karyanya
yang diberi judul; Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman. Dan,
ilmuwan itu adalah KH. Fahmi Basya Hamdi. Buku yang ditulis pakar
sains Qur‟an Indonesia itu menyimpulkan bahwa nusantara adalah
Negeri Saba‟ dan Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi
Sulaiman.22
Seperti yang diketahui dan dikenal oleh masyarakat dunia,
bahwa Candi Borobudur adalah bangunan Budhis yang dibangun pada
masa dinasti Syailendra pada abad ke-7-8 M. Pada tahun 1817,
sejarawan Van Erp mengatakan bahwa Borobudur adalah Candi
Budha. Sejauh ini, penelitian Van Erp tersebut dijadikan rujukan.
Akan tetapi, secara terang-terangan, Fahmi Basya mengatakan bahwa
ucapan Van Erp patut dikaji lebih mendalam.Dosen Matematika
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Dewan Pakar ICMI
Jakarta Barat (2004) itu, juga mengaitkan Istana Ratu Boko dengan Istana
Ratu Balqis yang dipindah ke istana Nabi Sulaiman sebagaimana
diungkapkan dalam Alquran. Hemat kata, Fahmi Basya, memahami
istana yang dipindah itu adalah kerajaan Ratu Boko dan Candi
Borobudur adalah istana Nabi Sulaiman.Tidak hanya berhenti di sini,
Fahmi Basya memahami kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis
dengan mengahdirkan beberapa argumentasi. Diantaranya adalah: 1)
Naba Saba‟. Nama Saba‟ dalam Alquran disebutkan 3 kali dan digunakan
untuk nama negeri. Menurut Fahmi, negeri Saba‟ itu Istana Ratu Boko di
21
M. Quraish Shihab, op. cit, hlm. 365
22
Fahmi Basya, Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman, ( Jakarta: Zaytuna,
2014) Cet. IX, hlm. 10
Sleman, 2) Hutan Saba‟. Alquran memberikan informasi bahwa negeri
Saba‟ itu dikelilingi hutan, yang kemudian disebut dengan Hutan Saba‟.
Nah, Fahmi Basya hutan yang dimaksud Alquran itu adalah Wana Saba
atau Wonosobo di Jawa Tengah, dan 3) Nama Nabi Sulaiman. Nabi
yang diawali dengan “su”, hanya Nabi Sulaiman. Ini menunjukkan
bahwa Nabi Sulaiman orang Jawa.23
Namun, sebagaimana ciri Negeri Saba‘ yang diinformasikan
Alquran sebagaimana tersebut diatas, untuk sementara ini jumhur ulama
mengatakan bahwa kisah Negeri Saba‘ terjadi di Syam, Yaman. Dan
Istana Nabi Sulaiman berada di Yerussalem, Palestina dengan alasan
bahwa metode pembuktiannya lebih kuat dibanding dengan metode
pembuktian dengan pendekatan tafsir berdasarkan ilmu matematika
sebagaimana pendekatan yang dipakai oleh KH. Fahmi Basya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Baldah thayyibah wa Rabb Ghafuur adalah sebuah Negeri yang


nyaman udaranya, banyak kebajikan dan berkatnya, sedang yang
mencurahkan nikmat itu atas mereka adalah Tuhan yang maha pengampun
yang menutupi dosa dan menerima tobat.

Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur merupakan keadaan


negeri yang memiliki gambaran diantaranya adalah Negeri yang selaras
antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya, subur dan
makmur, namun tidak lupa untuk bersyukur, seimbang antara kebaikan
jasmani dan rohani penduduknya, aman dari musuh dan sebagainya.

Dahulu Saba’ adalah negeri yang subur dan makmur. Kesuburan


tanahnya dilukiskan dari terlihatnya di kiri kanan jalan penuh kebun-kebun
23
Ibid, hlm. 107-110
menghijau, dihiasi dengan pohon-pohon berbuah lebat. Buah-buahan yang
ada juga digambarkan dengan segala sifat kelezatan dan keistimewaan
dibandingkan dengan buah-buahan yang ada di tempat lain di bumi.
Sehingga yang berjalan di seluruh Negeri Saba’ tak pernah merasakan
lelah, haus, dan lapar, karena jika ingin makan, tinggal memetik aneka
macam buah yang terdapat di sepanjang jalan.

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish, Ensiklopedia al-Qur’an: kajian kosa kata, jilid 2

Arsyad, Mustamin , 2006, Signifikansi Tafsir MarâhLabîd terhadap


PerkembanganStudi Tafsir di Nusantara. Jurnal Studi al-Qur’ān.. Vol. 1 (3): 615-
636

Ash Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasybi, 1995, Tafsir Al Qur’anul Majid An


Nur, Jilid IV, Semarang: Pustaka Rizki Putra

Hamka, 1980, Tafsir Al Azhar Juzu’ XXII, Surabaya: Yayasan Lamitojong


Al-Azizi, Abdul Syukur, 2014, Kitab peninggalan-peninggalan Bersejarah Para
Nabi, Jogjakarta: Saufa

Shihab, M. Quraish Tafsir al Misbah, 2005, Tangerang: Lentera Hati


Basya, Fahmi, 2014, Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman, Jakarta:
Zaytuna

Al Qarni, Aidh, 2008, Tafsir Muyassar, Jakarta: Qisthi Press


Al Maraghi, Ahmad Mushtafa , 1992, Tafsir Maraghi, Semarang: CV Toha Putra

Yahya, Harun, (15 April 2016), jejak bangsa-bangsa terdahulu,


www.bangsamusnah.com.pdf,), hlm. 81.

Syakir, Syaikh Ahmad , 2012, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 5, Terj.
Suharlan, Jakarta: Darus Sunnah

Ibn Khaldun, Abd Rahman Ibn Muhammad , 2011, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj.
Masturi Irham, Jakarta: Pustaka Al Kaustar

Anda mungkin juga menyukai