Generasi awal Muslim yang datang ke Delta Sungai Ayeyarwady Burma,
yang terletak di pantai Tanintharyi dan di Rakhine bermula pada abad ke 9, sebelum pendirian imperium pertama Burma pada tahun 1055 M oleh Raja Anawrahta dari Bagan. Keberadaan orang-orang Islam dan da’wah Islam pertama ini didokumentasikan oleh para petualang Arab, Persia, Eropa, dan Cina. Muslim yang tiba di Burma umumnya adalah pedagang yang kemudian menetap, dan menikah dengan wanita lokal. Di antara mereka bekerja sebagai penjelajah, pelaut, saudagar dan tentara. Bahkan ada juga yang mendapat posisi terhormat sebagai penasehat raja, pegawai kerajaan, penguasa pelabuhan, kepala daerah dan sebagainya. Keterangan tentangn berlabuhnya orang muslim di Burma tercatat dalam Kronik Burma yang telah merekam kehadiran Muslim pada Era kerajaan pertama Burma Pagan 1044 M. Dua orang pelaut Muslim dari keluarga BYAT. Byat Wi dan Byat Ta, tiba di pantai Burma dekat Thaton. Setelah kapal mereka rusak, mereka mengunakan papan berenang ke pantai. Mereka berlindung dan tinggal di Biara di Thaton. Raja Thaton menjadi takut tpada mereka dan membunuh saudara tertua mereka ketika sedang tidur. Saudaranya yang paling muda berhasil meloloskan diri ke Bagan dan berlindung kepada Raja Anawartha. Kemudian dia tinggal di Bagan dan menikahi seorang wanita dan memiliki dua orang anak, Shwe Byin bersaudara. Sumber lain datang dari Eropa, dimana para pelaut Eropa yang telah mengunjungi pesisir pantai Burma di abad ke-15 sampai 17 M menggambarkan bahwa perkampungan para pedagang Muslim dan lalu lintas perdagangan mereka menghubungkan Burma dengan jalur Sumatra, Malaka, dan Pulau Maluku hingga Cina dan Jepang, di satu sisi, dan berhadapan langsung dengan Bengal dan Sri langka, Persia dan laut Merah di lain sisi. Para pedagang Muslim mengadakan jual beli di daerah ini. Faktanya adalah beberapa bagian di pesisir Burma berkembang dalam pelabuhan terpenting dan merupakan pusat reparasi kapal terutama untuk orang-orang Arab dan para pedagang Armenia. Pada saat Muslim persia berlayar, dalam pencaharian negeri Cina dan mengunjungi Burma di perbatasan Yunan (Cina), para kolonis merekamnya dalam kronik Cina pada 860 M. Muslim asli Myanmar disebut Pathi dan Muslim Cina disebut Panthay. Konon, nama Panthay berasal dari kata Parsi. Muslim Persia menemukan Myanmar setelah menjelajahi daerah selatan Cina. Kemudian, komunitas Muslim bertambah di daerah Pegu, Tenasserim, dan Pathein. Pelancong dari Persia, Ibnu Khordabeh, pelancong dari Arab pada abad ke Sembilan, Sulaiman dan Pelancong Persia pada Abad kesepuluh, Ibn al Faqih, dalam tulisan tulisan mereka menyebut Burma Selatan. Sejarawan Arab yang hidup di abad ke sepuluh, al Maqdisi, juga membicarakan hubungan yang dikembangkan Burma dengan India, kepulauan Melayu, dan Sri Langka. Sejarah Burma mencatat keberadaan orang-orang Arab di masa pemerintahan raja Anawartha (1044 -1077) yang bekerja sebagai penunggang kuda kerajaan. Pengganti Anawartha, raja Sawlu (1077-1088) dididik oleh seorang guru Muslim berkebangsaan Arab dan mengangkat anak sang Guru, Yunan Khan, sebagai Gubernur kota Ussai, yang sekarang bernama Pegu. Sebuah konspirasi di lingkungan istana membuat Yunan Khan memberontak. Usahanya untuk menguasai Pagan digagalkan oleh Kyanzitha, saudara Sawlu, yang memperkenalkan suatu perkampungan Muslim di pedalaman Burma lewat tawanan-tawanan Muslim asal India. Di abad ketiga belas, pasukan Kubilai Khan yang didominasi oleh tentara-tentara Muslim di bawah pimpinan Nasruddin, anak gubernur Yunan, menyerang daerah Pagan. Hal ini membuat keberadaan mereka di Burma kembali terasa. Populasi Muslim di Myanmar sempat meningkat pada masa penjajahan Inggris, disebabkan oleh meningkatnya migrasi Muslim India ke Myanmar. Berikutnya, populasi Muslim semakin menurun setelah penandatanganan perjanjian India-Myanmar pada tahun 1941.