menjadi daya tarik bagi para pedagang dari berbagai bangsa. Anara lain Cina,
berdagang. Kedatangan mereka melalui Selat Malaka yang lambat laun tumbuh
. Melalui Selat Malaka para pedagang mengunjungi pusat-pusat perdagangan, antara lain
penghasil rempah-rempah.
1292 M,ia telah menyaksikan banyak pedagang asal Gujarat giat menyiarkan
agama Islam. Pendapat itu diperkuat dengan adanya batu nisan Sultan Malik
ash-Sholeh.
Pendapat ini didukung oleh Umar Amin Husein,dengan alasan bahwa di Persia
ada suku yang bernama Laren dan Jawi. Kemungkinan para pedagang dari dua
duku inilah yang mengajarkan huruf Arab di Pulau Jawa yang dikenal dengan
yang disebut Jabar Jer. Istilah ini termasuk bahasa Iran yang dalam bahasa Arab
saat itu adalah masyarakat Mesir. Dan Makkah. Bila agama Islam yang masuk
India;(2) Gelar al-Malik yang digunakan oleh raja-raja Samudera Pasai, berasal
dari Mesir. Sedangkan gelar Syah yang berasal dari Persia, baru digunakan oleh
dagangan dan rute perjalanan,dan hanya sedikit berita tentang penduduk dan
hingga abad ke-14 M, hanya Abi Dulaf (abad ke-10 M) dan Ibnu Battutah yang
Adapun penulis yang lain hanya berlayar hingga India atau di sekitar Teluk
Persia.
1) Jalur perdagangan
Para pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, Persia yang berdatangan di wilayah
Mojokerto, Jawa Timur. Selain makam bertulisan Arab, terdapat batu-batu nisan
bertuliskan huruf Jawa berupa angka tahun (wafat) - yang tertua 1203 Caka
atau 1281 M,sedangkan angka (tahun wafat) yang termuda sebagamana tertera
pada batu nisan 1533Cakaatau 1611 M. Daa berupa angka tahun dan tulisan
selama lebih dari 300 tahun, yaki dari abad ke 14 hingga abad ke 17 M – suatu
hingga masa
Kehadiran makam Muslim di Trowulan sebagaimana tersebut dalam angkaangka tahun wafat di atas,
telah menarik perhatian tentang kemungkinan
adanya masyarakat Muslim di dekat pusat kekuasaan Kerajaan
Cirebon, Banten, sejak akhir abad ke-15 M dan permulaan abad ke 16 M telah
lahirnya kerajaan Islam Demak. Sejak itu, erkembangan wilayah pengaruh Islam
Sesuai dengan ajaran agama Islam, setiap Muslim adalah “dai”. Para
terutama oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Strategi
Sultan Zainal Abidin (1486-1500), raja Ternate ke-19 kembali dari Giri, Gresik
dan menyandang gelar Sultan, agama Islam menjadi agama resmi kerajaan.
tempat seperti Buton dan Selayar, berdasarkan tradisi setempat telah menerima
pengaruh Islam dari Ternate pada pertengan abad ke-16 M. Sejak Gowa-Tallo11
atau Makassar tampil sebagai pusat perdagagan laut, kerajaan ini menjalin
hubungan yang baik dengan Ternate, suatu kerajaan pusat cengkeh, yang telah
menerima Islam dari Gresik / Giri, di bawah kekuasaan Sultan Babullah, ternate
Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa Tallo untuk iku menganut agama
Islam, tetapi gagal.aru pada waktu Dato’ ri Bandang12 datang ke Gowa Tallo,
agama Islam masuk ke kerajaan ini. Sultan Alauddin (1591-1636) adalah sultan
Gowa Tallo yang pertama menganut Islam pada tahun 160513. Dua tahun
3) Jalur Perkawinan
Islam dari Persia , Arab, Gujarat yang datang ke Nusantara, bahkan banyak di
dinikahinya itu berasal dari golongan elite, setidaknya akan berpengaruh dan
disesuaikan denagan kondisi pada masanya. Saat itu kebudayaan pra Islam (pra
Meski Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7, penyebarannya baru terjadi pada sekitar abad ke-
12. Pada awalnya, Islam diperkenalkan melalui para pedagang Muslim Arab. Setelah itu, lewat
aktivitas dakwah yang dilakukan para ulama. Bukti yang memperkuat dugaan bahwa Islam mulai
berkembang di Pulau Jawa pada abad ke-11 adalah ditemukannya nisan Fatimah binti Maimun di
Leran, Gresik, yang berangka tahun 1082 M. Selain itu, terdapat jirat atau batu nisan khas Gujarat di
nisan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Di daerah Jawa lainnya, terdapat jirat yang dibuat
pada masa Kerajaan Majapahit, yaitu di Troloyo dan Trowulan. Jirat tersebut menunjukkan bahwa
pengaruh pemeluk Islam sudah ada di Kerajaan Majapahit.
Seiring berjalannya waktu, politik Islam juga mulai bertumbuh pada abad ke-13 di pantai utara
Sumatera. Dari catatan Marco Polo, yang singgah di Perlak ketika dalam perjalanan pulang dari China
menuju Persia pada 1292, dilaporkan bahwa setidaknya ada satu kota Muslim di Indonesia.
Diketahui bahwa saat itu telah ada kerajaan Islam di Tumasik dan Samudra Pasai, yang menguasai
perdagangan di Selat Malaka dan memiliki pelabuhan-pelabuhan penting untuk mengekspor lada ke
Gujarat dan Benggala. Pelabuhan tersebut mulai ramai pada abad ke-12, ketika Majapahit masih
memiliki hegemoni di kawasan tersebut dan ketika para pedagang Islam dari berbagai bangsa telah
melakukan perdagangan dengan pedagang di kawasan ini. Secara umum, para pedagang lokal dan
bangsawan kerajaan besar adalah orang-orang pertama yang mengadopsi agama baru. Penyebaran
Islam pun kian terasa setelah seorang pedagang Muslim menikahi wanita Indonesia. Baca juga:
Sejarah Masuknya Islam di Jawa Timur Setelah itu, pada abad ke-15, pedagang Muslim dari Arab,
India, Sumatera, Semenanjung Melayu, dan China mulai mendominasi perdagangan di Indonesia,
yang saat itu dikuasai oleh para pedagang Majapahit Jawa. Dinasti Ming China melakukan pelayaran
yang bertujuan untuk menciptakan pemukiman Muslim China di Palembang. Ming pun secara aktif
mendirikan komunitas Muslim Tionghoa-Melayu di pesisir utara Jawa. Pada 1430, Dinasti Ming
berhasil membentuk komunitas Muslim China, Arab, dan Melayu di Semarang, Demak, Tuban, dan
Ampel. Dengan demikian, Islam pun mulai benar-benar berpijak di Jawa, di mana penyebarannya
juga tidak dapat dipisahkan dari peran Wali Songo.
Dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, Wali Songo memiliki peran yang cukup besar dalam proses
akulturasi Islam dengan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya kebudayaan sebagai media
penyebaran Islam. Untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya baru hasil akulturasi Islam dengan
budaya Jawa itu, para wali melakukan pengenalan nilai-nilai baru secara persuasif. Dan, terkait
dengan persoalan-persoalan yang sensitif, seperti bidang kepercayaan, para wali membiarkan
penghormatan terhadap leluhur sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Untuk itulah tuntutan menghadirkan kembali Islam yang damai, moderat, adil, dan toleran, bukan
karena kerinduan semata akan Islam Nusantara yang sejuk dan mendamaikan. Tapi sudah
merupakan kebutuhan, terutama semenjak nilai-nilai kenusantaraan kita mulai terkikis oleh paham-
paham baru yang meresahkan masyarakat.
Jalur perangkat budaya inilah yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses Islamisasi dewasa ini.
Seperti yang pernah dipaparkan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, Islam semakin diharapkan
tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif, konstruktif, serta mampu menyatakan diri
sebagai pembawa kebaikan untuk semua umat manusia, tanpa eksklusivisme komunal. Inilah sebuah
penegasan betapa pentingnya eksistensi Islam kultural.
Lebih jauh, Nurcholish memaparkan bahwa beragam budaya dan agama berkembang dalam
masyarakat, di mana keduanya tak jarang lebur dan terjadilah akulturasi. Akulturasi tersebut sering
kali menyebabkan berbagai hal yang dapat membingungkan orang untuk membedakan mana yang
produk agama, dan mana yang merupakan produk budaya. Walaupun antara agama dan budaya
tidaklah dapat dipisahkan, tapi yang jelas tidak dibenarkan mencampuradukkan di antara keduanya.