Anda di halaman 1dari 407

BAB I

SEJARAH LAHIRNYA ISLAM DI INDONESIA


A. Pendahuluan
Untuk mempelajari suatu agama, termasuk agama Islam harus bermula
darimempelajari aspek geografis dan geografi persebaran agama-agama dunia. Setelah
itudapat dipahami pula proses kelahiran Islam sebagai salah satu dari agama
dunia,terutama yang dilahirkan di Timur Tah, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.
Ketiganyadikenal sebagai agama langit atau wahyu. Kedua hal itu, geografi persebaran
danpersebaran

agama

itu

sendiri.

Selanjutnya

untuk

dapat

memahami

prosesperkembangan Islam sehingga menjadi salah satu agama yang dianut oleh
pendudukdunia yang cukup luas, harus dikenali lebih dahulu tokoh penerimaan ajaran
yangsekaligus menyebarkan ajaran itu, yaitu Muhammad saw., sang pembawa risalah.
Keberhasilan proses Islamisasi di Indonesia ini memaksa Islam sebagaipendatang,
untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengankemampuan penangkapan
dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalampengakuan dunia Islam.
Langkah ini merupakan salah satu watatk Islam yanpluralistis yang dimiliki semenjak
awal kelahirannya.1
B. Proses Masuknya Islam di Indonesia
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikianpula
kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasipolitik dan
sosial budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesiamemunculkan
beberapa pendapat. Para Tokoh yang mengemukakan pendapat itudiantaranya ada yang
langsung mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budayaserta ajaran agama Islam di
Indonesia, ada pula yang melalui berbagai bentukpenelitian seperti yang dilakukan oleh
orang-orang barat (eropa) yang datang keIndonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh

Ahmad Sugiri, Proses Islamsisasi dan Percaturan Politik Umat Islam di Indonesia, dalam AlQalam, Majalah Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, No. 59/XI/1996, (Serang: IAINSGD,
1996), hlm. 43.

pemerintahnya di Indonesia. Tokohtokohitu diantaranya, Marcopolo,2 Muhammad Ghor,


Ibnu Bathuthah,3 Dego Lopezde Sequeira, Sir Richard Wainsted.4
Sedangkan sumber-sumber pendukung Masuknya Islam di Indonesiadiantaranya
adalah:
1.

Berita dari Arab

Berita ini diketahui dari pedagang Arab yang melakukan aktivitasperdagangan


dengan bangsa Indonesia. Pedagang Arab Telah datang ke Indonesiasejak masa kerajaan
Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaranperdagangan di wilayah
Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka pada waktuitu. Hubungan pedagang Arab
dengan kerajaan Sriwijaya terbukti dengan adanya parapedagang Arab untuk kerajaan
Sriwijaya dengan sebutan Zabak, Zabay atau Sribusa.5Pendapat ini dikemukakan oleh
Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, SyehMuhammad Naquib Al-Attas dalam
bukunya yang berjudul Islam dalam SejarahKebudayaan Melayu dan mayoritas tokohtokoh Islam di Indonesia seperti Hamkadan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka menuduh
bahwa teori yang mengatakan Islamdatang dari India adalah sebagai sebuah bentuk
propaganda, bahwa Islam yangdatang ke Asia Tenggara itu tidak murni.6
2.

Berita Eopa

Kennet W. Morgan menjelaskan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang Islam di Indonesiamulamula sekali adalah dalam berita Marcopolo. Dalam perjalanannya kembali ke Venezia padatahun 692 (1292
M), Marcopolo setelah bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah di perlak,sebuah kota dipantai
utara Sumatra. Menurut Marcopolo, penduduk perlak pada waktu itu diislamkanoleh pedagang yang da
sebut kaum Saracen. Marcopolo menanti angin yang baik selama lima bulan.Di situ ia beserta
rombongannya harus menyelamatkan diri dari serangan orang-orang biadab didaerah itu dengan
mendirikan benteng yang dibuatnya dari pancang-pancang. Kota samara menurutpemberian Marcopolo dan
tempat yang tidak jauh dari situ, yang dia sebut Basma yang kemudiandikenal dengan nama sanudera dan
Pasai, dua buah kota yang dipisahkan oleh sungai Pasai yang tidakjauh letaknya di sebelah utara Perlak
(P.A. Hoesain Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang SejarahBanten, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),
hlm.119).
3
Ibnu Bathuthah (1304-1369 M), merupakan pengembara terbesar bagsa Arab yang terakhir.
Iaberhasil
menyaingi
orang
besar
yang
hidup
sezamannya,
Marcopolo
al-Bandaqi.
Pengembaraannyameliputi seluruh dunia Islam. Dia telah menempuh lebih dari seratus tujuh puluh lima
mil, yangdimulai dari Thanjah, tempat kelahirannya, pada saat berusia 28 tahun, pada tahun 1326 M.
Danberakhir di Fez pada tahun 1353. (Lihat Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 232).
4
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984),hlm,
122.
5
Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara dalam upayanya memperluas kekuasaannya keSemenanjung
Malaka sampai Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti 775, berita-beritaCina dan Arab abad
ke-8 sampai ke-10 M. hal ini erat hubungannya dengan usaha penguasaan selatMalaka yang merupakan
kunci bagi bagi pelayaran dan perdagangan internasional.
6
Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009), hlm. 207

Berita ini datangnya dari Marcopolo tahun 1292 M. Ia adalah orang yangpertama
kali menginjakan kakinya di Indonesia, ketika ia kembali dari cina menujueropa melalui
jalan laut. Ia dapat tugas dari kaisar Cina untuk mengantarkan putrinyayang
dipersembagkan kepada kaisar Romawi, dari perjalannya itu ia singgah diSumatera
bagian utara. Di daerah ini ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudera
dengan ibukotanya Pasai.7 Diantara sejarawan yang menganutteori ini adalah C. Snouch Hurgronye, W.F.
Stutterheim,dan Bernard H.M. Vlekke.8

3.

Berita India

Berita ini menyebutkan bahwa para pedagang India dari Gujarat mempunyaiperanan
penting dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia.Karena disamping
berdagang mereka aktif juga mengajarkan agama dan kebudayaanIslam kepada setiap
masyarakat yang dijumpainya, terutama kepada masyarakat yangterletak di daerah
pesisisr pantai.9 Teori ini lahir selepas tahun 1883 M. Dibawa olehC. Snouch Hurgronye.
Pendukung teori ini, diantaranya adalah Dr. Gonda, VanRonkel, Marrison, R.A. Kern, dan
C.A.O. Van Nieuwinhuize.10
4. Berita Cina
Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan, seorang penulis yangmengikuti
perjalanan Laksamana Cheng-Ho. Ia menyatakan melalui tulisannyabahwa sejak kirakira-kira tahun 1400 telah ada saudagar-saudagar Islam yangbertempat tinggal di pantai
utara Pulai Jawa.11 T.W. Arnol pun mengatakan parapedagang Arab yang menyebarkan
agama Islam di Nusantara, ketika merekamendominasi perdagangan Barat-Timur sejak
abad-abad awal Hijrah atau abad ke-7dan ke-8 M. Dalam sumber-sumber Cina
7

Samudera Pasai merupakan kerajaan yang menjadikan dasar negaranya Islam Ahlu Sunnah
walJamaah. Kerajaan Samudera Pasai ini dirintis oleh Malik Ash-Shaleh/Meurah Silo (659-688 H./12611289 M). Negeri ini makmur dan kaya, di dalamnya telah terdapat sistem pemerintahan yang teratur,seperti
terdapatnya angkatan tentara laut dan darat. (Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hlm. 195).
8
Mereka mendasarkan pada keterangan Marcopolo yang pernah singgah d untuk beberapa lama
diSumatra untuk menunggu angin pada tahun 1292 M. ketika itu ia menyaksikan bahwa Perlak di
ujungUtara pulau Sumatra penduduknya telah memeluk agama Islam. Naman ia menyatakan bahwa
Perlakmerupakan satu-satunya daerah Islam di nusantara ketika itu. (Badri Yatim, Sejarah Islam
diIndonesia, (Jakarta: Depag, 1998), hlm. 30).
9
Menurut W.F. Stutterheim dalam bukunya De Islam en Zijn Komst in the Archipel, Islamberasal
dari Gujarat dengan dasar batu nisan sultan pertama dari kerajaan Samudera Pasai, yakni nisanal-Malik alSaleh yang wafat pada tahun 1297. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa relif nisantersebut bersifat
Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. (Ibid.,hlm. 23).
10
Dedi Supriyadi., Sejarah..., hlm. 191
11
Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Eradie seorang scientist Spanyol

disebutkan bahwa pada abad ke-7 Mseorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah
pemukiman Arab Muslim dipesisir pantai Sumatera (disebut Tashih).12
5.

Sumber dalam Negeri

Terdapat sumber-sumber dari dalam negeri yang menerangkanberkembangnya


pengaruh Islam di Indonesia. Yakni Penemuan sebuah batu di Leran(Gresik). Batu
bersurat itu menggunakan huruf dan bahasa Arab, yang sebagiantulisannya telah rusak.
Batu itu memuat tentang meninggalnya seorang perempuanyang bernama Fatimah Binti
Maimun (1028). Kedua, Makam Sultan Malikul Saleh diSumatera Utara yang meninggal
pada bulan Ramadhan tahun 676 H atau tahun 1297M. Ketiga, makam Syekh Maulana
Malik Ibrahim di Gresik yang wafat tahun 1419M. Jirat makan didatangkan dari Guzarat
dan berisi tulisan-tulisan Arab.13
Mengenai masuknya Islam ke Indonesia, ada satu kajian yakni seminar ilmiahyang
diselenggarakan pada tahun 1963 di kota Medan, yang menghasilkan hal-halsebagai
berikut:
a) Pertama kali Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H/7 M, langsung darinegeri
Arab.
b) Daerah pertama yang dimasuki Islam adalah pesisir sumatera Utara.Setelah itu
masyarakat Islam membentuk kerajaan Islam Pertama yaituAceh.
c) Para dai yang pertama, mayoritas adalah para pedagang. Pada saaat itudakwah
disebarkan secara damai.14
C. Priodesasi Masuknya Islam ke Nusantara(Indonesia)
Dalam kajian ilmu sejarah, tentang masuknya Islam di Indonesia masih debatable.
Oleh karena itu perlu ada penjelasan lenih dahulu tentang penegrtian masuk, antara
lain:
Dalam arti sentuhan (ada hubungan dan ada pemukiman Muslim).
Dalam arti sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam.
Dalam arti sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam).

12

Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah..., hlm. 187.


Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 191-192
14
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Sezak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta:
AkbarMedia, 2003), hlm. 336.
13

Selain itu juga masing-masing pendapat penggunakan berbagai sumber, baik dari
arkeologi, beberapa tulisan dari sumber barat, dan timur. Disamping jiga berkembang dari
sudut pandang Eropa Sentrisme dan Indonesia Sentrisme.
1. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
a) Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan
perjalanan Al masudi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat
utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648
diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
b) Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan
bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan
oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya
ke China.
c) Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya
menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia,
dan Malaya antara tahun 606-699 M.
d) Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory
of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya
mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan MalayaIndonesia pada 672 M.
e) Prof. Sayed Qodratullah

Fatimy

dalam

Islam

comes

to

Malaysia

mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk
ke Malaya.
f) Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnay berjudul
Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa
beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687
sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
g) W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled
From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti Tang
memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun
674). (Ta Shih = Arab Muslim).
h) T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation
of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia
pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
5

2.

Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:


Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah
Leran

Manyar,

Gresik,

yaitu

makam

Fatimah

Binti

Maimoon

dan

rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riqah yang
berangka tahun (dimasehikan 1082)
3.

Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:


a) Catatan perjalanan marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya
kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di aceh, pada tahun 1292 M.
b) K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan
Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
c) J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met
Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke 13.
d) Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke,
lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-13, berdasarkan saudah adanya beberapa kerajaaan islam di kawasan
Indonesia.

D. TOKOH-TOKOH PENYEBAR ISLAM PERTAMA DI INDONESIA


Sebelum pengaruh islam masuk ke Indonesia, di kawasan ini sudah terdapat kontakkontak dagang, baik dari Arab, Persia, India dan China. Islam secara akomodatif,
akulturasi, dan sinkretis merasuk dan punya pengaruh di arab, Persia, India dan China.
Melalui perdagangan itulah Islam masuk ke kawasan Indonesia. Dengan demikian bangsa
Arab, Persia, India dan china punya nadil melancarkan perkembangan islam di kawasan
Indonesia
1.

Gujarat (India)

Pedagang islam dari Gujarat, menyebarkan Islam dengan bukti-bukti antar lain:

2.

a) ukiran batu nisan gaya Gujarat.


b) Adat istiadat dan budaya India islam.
Persia

Para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:

3.

a) Gelar Syah bagi raja-raja di Indonesia.


b) Pengaruh aliran Wihdatul Wujud (Syeh Siti Jenar).
c) Pengaruh madzab Syiah (Tabut Hasan dan Husen).
Arab
6

Para pedagang Arab banyak menetap di pantai-pantai kepulauan Indonesia, dengan


bukti antara lain:
a) Menurut al Masudi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari
Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di
lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
b) munculnya nama kampong Arab dan tradisi Arab di lingkungan
4.

masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.


China

Para pedagang dan angkatan laut China (Ma Huan, Laksamana Cheng Ho/Dampo
awan ), mengenalkan islam di pantai dan pedalaman Jawa dan sumatera, dengan bukti
antar lain :
a) Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
b) Beberapa makam China muslim.
c) Beberapa wali yang dimungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya
menggunakan pendekatan cultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan social
yang penuh toleransi (Umar kayam:1989)
E. Perkembangan Agama Islam di Beberapa Wilayah di Nusantara
1. Di Sumatra
Kesimpulan hasil seminar di Medan tersebut di atas, dijelaskan bahwa wilayah
Nusantara yang mula-mula dimasuki Islam adalah pantai barat pulau Sumatra dan daerah
Pasai yang terletak di Aceh utara yang kemudian di masing-masing kedua daerah tersebut
berdiri kerajaan Islam yang pertama yaitu kerajaan Islam Perlak dan Samudra Pasai.
Menurut keterangan Prof. Ali Hasmy dalam makalah pada seminar Sejarah Masuk
dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar tahun 1978 disebutkan bahwa kerajaan
Islam yang pertama adalah kerajaan Perlak. Namun ahli sejarah lain telah sepakat,
Samudra Pasailah kerajaan Islam yang pertama di Nusantara dengan rajanya yang
pertama adalah Sultan Malik Al-Saleh (memerintah dari tahun 1261 s.d 1297 M). Sultan
Malik Al-Saleh sendiri semula bernama Marah Silu. Setelah mengawini putri raja Perlak
kemudian masuk Islam berkat pertemuannya dengan utusan Syarif Mekkah yang
kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh.

Kerajaan Pasai sempat diserang oleh Majapahit di bawah panglima Gajah Mada,
tetapi bisa dihalau. Ini menunjukkan bahwa kekuatan Pasai cukup tangguh dikala itu.
Baru pada tahun 1521 di taklukkan oleh Portugis dan mendudukinya selama tiga tahun.
Pada tahun 1524 M Pasai dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya
kerajaan Samudra Pasai berada di bawah pengaruh keSultanan Aceh yang berpusat di
Bandar Aceh Darussalam (sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh Besar).
Munculnya kerajaan baru di Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam, hampir
bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Malaka karena pendudukan Portugis. Dibawah
pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim kerajaan Aceh terus mengalami
kemajuan besar. Saudagar-saudagar muslim yang semula berdagang dengan Malaka
memindahkan kegiatannya ke Aceh. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada
masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam ( 1607 - 1636).
Kerajaan Aceh ini mempunyai peran penting dalam penyebaran Agama Islam ke
seluruh wilayah Nusantara. Para dai, baik lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah
terus berusaha menyampaikan ajaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Hubungan
yang telah terjalin antara kerajaan Aceh dengan Timur Tengah terus semakin
berkembang. Tidak saja para ulama dan pedagang Arab yang datang ke Indonesia, tapi
orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam datang
langsung ke sumbernya di Mekah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh
terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke 16. Bahkan pada tahun 974 H.
atau 1566 M dilaporkan ada 5 kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar
pelabuhan Jeddah. Ukhuwah yang erat antara Aceh dan Timur Tengah itu pula yang
membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah.
2. Di Jawa
Benih-benih kedatangan Islam ke tanah Jawa sebenarnya sudah dimulai pada abad
pertama Hijriyah atau abad ke 7 M. Hal ini dituturkan oleh Prof. Dr. Buya Hamka dalam
bukunya Sejarah Umat Islam, bahwa pada tahun 674 M sampai tahun 675 M. sahabat
Nabi, Muawiyah bin Abi Sufyan pernah singgah di tanah Jawa (Kerajaan Kalingga)
menyamar sebagai pedagang. Bisa jadi Muawiyah saat itu baru penjajagan saja, tapi
proses dakwah selanjutnya dilakukan oleh para dai yang berasal dari Malaka atau

kerajaan Pasai sendiri. Sebab saat itu lalu lintas atau jalur hubungan antara Malaka dan
Pasai disatu pihak dengan Jawa dipihak lain sudah begitu pesat.
Adapun gerakan dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya dilakukan oleh para Wali
Sanga, yaitu :
a. Maulana Malik Ibrahim
b. Sunan Ampel ( Raden Rahmat )
c. Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)
d. Sunan Drajad ( Raden Qasim)
e. Sunan Giri (Raden Paku)
f. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
g. Sunan Kudus (Jafar Shadiq)
h. Sunan Muria (Raden Umar Said)
i. Sunan Gunung Jati
3. Di Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau
ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau
Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis pada tahun 1540 saat datang ke
Sulawesi, di tanah ini sudah ditemui pemukiman muslim di beberapa daerah. Meski
belum terlalu banyak, namun upaya dakwah terus berlanjut dilakukan oleh para dai di
Sumatra, Malaka dan Jawa hingga menyentuh raja-raja di kerajaan Gowa dan Tallo atau
yang dikenal dengan negeri Makasar, terletak di semenanjung barat daya pulau
Sulawesi. Kerajaan Gowa ini mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate
dibawah pimpinan Sultan Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu. Melalui
seorang dai bernama Datuk Ri Bandang agama Islam masuk ke kerajaan ini dan pada
tanggal 22 September 1605 Karaeng Tonigallo, raja Gowa yang pertama memeluk Islam
yang kemudian bergelar Sultan Alaudin Al Awwal (1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana
menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa. Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak
Islam Gowa Tallo menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti
Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera menerima pesan Islam diikuti oleh
9

raja Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone yang bergelar Sultan Adam menerima
Islam tanggal 23 November 1611 M. Dengan demikian Gowa (Makasar) menjadi
kerajaan yang berpengaruh dan disegani. Pelabuhannya sangat ramai disinggahi para
pedagang dari berbagai daerah dan manca negara. Hal ini mendatangkan keuntungan
yang luar biasa bagi kerajaan Gowa (Makasar). Puncak kejayaan kerajaan Makasar
terjadi pada masa Sultan Hasanuddin (1653-1669).
4. Di Kalimantan
Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo melalui tiga
jalur. Jalur pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai kerajaan Islam setelah Perlak
dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar
sebab para muballig dan komunitas muslim kebanyakan mendiamai pesisir barat
Kalimantan. Jalur kedua, Islam datang disebarkan oleh para muballig dari tanah Jawa.
Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan Demak berdiri.
Demak mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini. Para dai tersebut berusaha
mencetak kader-kader yang akan melanjutkan misi dakwah ini. Maka lahirlah ulama
besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Jalur ketiga para dai
datang dari Sulawesi (Makasar) terutama dai yang terkenal saat itu adalah Datuk Ri
Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.
a) Kalimantan Selatan
Masuknya Islam di Kalimantan Selatan adalah diawali dengan adanya krisis
kepemimpinan dipenghujung waktu berakhirnya kerajaan Daha Hindu. Saat itu
Raden Samudra yang ditunjuk sebagai putra mahkota oleh kakeknya, Raja Sukarama
minta bantuan kepada kerajaan Demak di Jawa dalam peperangan melawan
pamannya sendiri, Raden Tumenggung Sultan Demak (Sultan Trenggono)
menyetujuinya, asal Raden Samudra kelak bersedia masuk Islam. Dalam peperangan
itu Raden Samudra mendapat kemenangan. Maka sesuai dengan janjinya ia masuk
Islam beserta kerabat keraton dan penduduk Banjar. Saat itulah tahun (1526 M)
berdiri pertama kali kerajaan Islam Banjar dengan rajanya Raden Samudra dengan
gelar Sultan Suryanullah atau Suriansyah. Raja-raja Banjar berikutnya adalah Sultan
Rahmatullah (putra Sultan Suryanullah), Sultan Hidayatullah (putra Sultan
Rahmatullah dan Marhum Panambahan atau Sultan Mustain Billah. Wilayah yang
10

dikuasainya meliputi daerah Sambas, Batang Lawai, Sukadana, Kota Waringin,


Sampit Medawi, dan Sambangan.
b) Kalimantan Timur
Di Kalimantan Timur inilah dua orang dai terkenal datang, yaitu Datuk Ri
Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk
kepada Islam diikuti oleh para pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang.
Untuk kegiatan dakwah ini dibangunlah sebuah masjid. Tahun 1575 M, raja Mahkota
berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke pedalaman Kalimantan
Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di Langgar dan
para penggantinya.
5. Di Maluku.
Kepulauan Maluku terkenal di dunia sebagai penghasil rempah-rempah, sehingga
menjadi daya tarik para pedagang asing, tak terkecuali para pedagang muslim baik dari
Sumatra, Jawa, Malaka atau dari manca negara. Hal ini menyebabkan cepatnya
perkembangan dakwah Islam di kepulauan ini. Islam masuk ke Maluku sekitar
pertengahan abad ke 15 atau sekitar tahun 1440 dibawa oleh para pedagang muslim dari
Pasai, Malaka dan Jawa (terutama para dai yang dididik oleh para Wali Sanga di Jawa).
Tahun 1460 M, Vongi Tidore, raja Ternate masuk Islam. Namun menurut H.J De Graaft
(sejarawan Belanda) bahwa raja Ternate yang benar-benar muslim adalah Zaenal Abidin
(1486-1500 M). Setelah itu Islam berkembang ke kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.
Tetapi diantara sekian banyak kerajaan Islam yang paling menonjol adalah dua kerajaan ,
yaitu Ternate dan Tidore. Raja-raja Maluku yang masuk Islam seperti :
a. Raja Ternate yang bergelar Sultan Mahrum (1465-1486).
b. Setelah beliau wafat digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang sangat besar
jasanya dalam menyiarkan Islam di kepulauan Maluku, Irian bahkan sampai ke
Filipina
c. Raja Tidore yang kemudian bergelar Sultan Jamaluddin.
d. Raja Jailolo yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
e. Pada tahun 1520 Raja Bacan masuk Islam dan bergelar Zaenal Abidin.
Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian yang
disiarkan oleh raja-raja Islam di Maluku, para pedagang dan para muballig yang juga
11

berasal dari Maluku. Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah : Miso,
Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
BAB II
SALURAN MASUKNYA ISLAM
DAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
A. Saluran dan Cara-Cara Islamisasi di Indonesia
Kedatangan Islam ke Indonesia dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan
rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang
ada enam, yaitu:
1. Saluran Perdagangan
Diantara saluran Islamisasi di Indonesia pada taraf permulaannya ialah melalui
perdagangan. Hal ini sesuia dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad-7 sampai
abad ke-16, perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua
Asia dan dimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta
menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan
itu sangat menguntungkan. Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat Indonesia
dan pedagang15
Dijelaskan di sini bahwa proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu
dipercepat oleh situasi dan kondisi politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati
pesisir berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami
kekacauan dan perpecahan. Secara umum Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang
melalui perdagangan itu mungkin dapat digambarkan sebagai berikut: mulal-mula
mereka berdatangan di tempat-tempat pusat perdagangan dan kemudian diantaranya ada
yang bertempat tinggal, baik untuk sementara maupun untuk menetap. Lambat laun
tempat

tinggal

mereka

berkembang

menjadi

perkampunganperkampungan.

Perkampungan golongan pedangan Muslim dari negeri-negeri asing itu disebut Pekojan16.
2. Saluran Perkawinan

15

Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm,

16

16 Ibid., hlm. 201.

200.

12

Perkawinan

merupakan

salah

satu

dari

saluran-saluran

Islamisasi

yang

palingmemudahkan. Karena ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin,


tempatmencari kedamaian diantara dua individu. Kedua individu yauitu suami
isterimembentuk keluarga yang justru menjadi inti masyarakat. Dalam hal ini
berartimembentuk masyarakat muslim.
Saluran Islamisasi melalui perkawinan yakni antara pedagang atau saudagardengan
wanitia pribumi juga merupakan bagian yang erat berjalinan denganIslamisasi. Jalinan
baik ini kadang diteruskan dengan perkawinan antara putri kaumpribumi dengan para
pedagang Islam. Melalui perkawinan inilah terlahir seorangmuslim17. Dari sudut
ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yanglebih baik daripada
kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan,
tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin,mereka diislamkan
terlebih dahulu. Setelah setelah mereka mempunyai kerturunan,lingkungan mereka makin
luas.

Akhirnya

timbul

kampung-kampung,

daerah-daerah,dan

kerajaan-kerajaan

muslim18.
3. Saluran Tasawuf
Tasawuf19 merupakan salah satu saluran yang penting dalam prosesIslamisasi.
Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupansosial bangsa
Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada tulisantulisanantara abad ke-13
dan ke-18. hal itu bertalian langsung dengan penyebaranIslam di Indonesia 20. Dalam hal
ini para ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan,mereka selalu berusaha menghayati
kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama ditengah-tengah masyarakatnya. Para ahli
tasawuf biasanya memiliki keahlian untukmenyembuhkan penyakit dan lain-lain. Jalur
tasawuf, yaitu proses islamisasi denganmengajarknan teosofi dengan mengakomodir
nilai-nilai budaya bahkan ajaran agamayang ada yaitu agama Hindu ke dalam ajaran
17

Ibid., hlm. 202


Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2007), hlm. 202
19
Kata-kata tasawuf dalam bahasa Arab tidak terdapat qiyas dan isytiqaq (ukuran dan pengembalian),
yang jelas bahwa kata-kata ini semacam laqab (julukan, sebutan, gelar). Gelar ini diperuntukan bagi
perorangan dengan istilah sufi, dan bagi jamaah disebut sufiyah. Orang sudah mencapai derajat (usaha ke
arah) tasawuf disebut mutasawwif, sedangkan bagi jamaah disebut mutasawwifah. (Athoullah Ahmad,
Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf, (Serang: Saudara, 1995), hlm. 109).
20
Kedatangan ahli tasawuf di Indonesia diperkirakan terutama sejak abad ke-13 yaitu masa
perkembangan dan persebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India. Perkembangan tasawuf yang paling
nyata adalah di Sumatra dan Jawa yaitu abad ke-16 dan ke-17. (Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah
Nasional Indonesia III., hlm. 218)
18

13

Islam, dengan tentu saja terlebih dahuludikodifikasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga
mudah dimengerti dan diterima21.Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran
yang mengandung persamaandengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah
Hamzah Fansuri di Aceh22, SyehLemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran
mistik seperti ini masihberkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 ini23.
4. Saluran Pendidikan
Para ulama, guru-guru agama, raja berperan besar dalam proses Islamisasi,mereka
menyebarkan agama Islam melalui pendidikan yaitu dengan mendirikanpondok-pondok
pesantren merupakan tempat pengajaran agama Islam bagi parasantri 24. Pada umumnya di
pondok pesantren ini diajarkan oleh guru-guru agama,kyai-kyai 25, atau ulama-ulama.
Mereka setelah belajar ilmu-ilmu agama dari berbagaikitab-kitab 26, setelah keluar dari
suatu pesantren itu maka akan kembali ke masingmasingkampung atau desanya untuk
menjadi tokoh keagamaan, menjadi kyai yangmenyelenggarakan pesantren lagi. Semakin
terkenal kyai yang mengajarkan semakinterkenal pesantrennya, dan pengaruhnya akan
mencapai radius yang lebih jauh lagi27.
5. Saluran Kesenian
Saluran Islamisasi melalui seni seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir,seni tari,
musik dan seni sastra. Misalnya pada seni bangunan ini telihat pada masjidkuno Demak,
21

Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009), hlm, 208
Hamzah Fansuri beserta muridnya yaitu Syamsuddin as-samatrani, banyak menhasilkan karangankarangan. Fansuri menuliskan ajaran-ajarannya dalambentuk prosa dan syair dengan bahsa arab dan
Indonesia. Karangan-karangan Hamzah Fansuri antara lain: Syarab al-asyikina, Asrar al- Arifina fi bayan
ilm-al suluk wal tauhid; dalam bentuk syair yang terkenal: Rubba al- Muhakkikina, Kashf al-Sirr al-Tajalli
al-Subhani, Miftah al-Asrar, Syair si burung Pingai, Syair Perahu, Syair Syidang fakir, Syair dagang (Uka
Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III., hlm. 221).
23
23 Ibid., hlm. 204.
24
Di pesantren ini para santri diajarkan berbagai kitab kuning. Kitab kuning adalah sebutan untuk
buku atau kitab tentang ajaran-ajaran Islam atau tata bahasa Arab yang dipelajari di pondok pesantren yang
ditulis atau dikarang oleh para ulama pada abad pertengahan dalam hurup Arab. Disebut kitab kuning
karena biasanya dicetak dalam kertas berwarna kuning yang dibawa dari Timur Tengah. (lebih lanjut
tentang pesantren dapat dilihat dari buku: Lebih lanjut baca Zamachsyari Dhofier, TradisiPesantren (Studi
Tentang Pandangan Hidup Kya, (Jakarta: LP3S, 1982).
25
Kyai adalah sebutan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang ahli agama
Islam, yang biasanya memiliki dan mengelola pondok pesantren. Lebih lanjut baca Karel A Steenbrink,
Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
26
26 Mengenai kitab-kitab klasik yang dipakai di pesantren-pesantren di pulau Jawa telah
disistematikakan dengan cukup baik oleh beberapa orang sarjana Belanda yang telah banyak meneliti
tentang perkembangan pesantren dan tarekat di Indonesia (lebih jauh mengenai studi ini lihat Martin Van
Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: 1995,
Mizan), hlm. 115.
27
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam., hlm. 203.
22

14

Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid Agung Banten,Baiturrahman di


Aceh, Ternate dan sebagainya 28. Contoh lain dalam seni adalahdengan pertunjukan
wayang29,yang digemari oleh masyarakat. Melalui cerita-ceritawayang itu disisipkan
ajaran agama Islam. Seni gamelan juga dapat mengundangmasyarakat untuk melihat
pertunjukan tersebut. Selanjutnya diadakan dakwahkeagamaan Islam30.
6. Saluran Politik
Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses Islamisasi.
Ketikaseorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak
rajanya.Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan
bahkanmenjadi

tauladan

bagi

rakyatnya.

Misalnya

di

Sulawesi

Selatan

dan

Maluku,kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam


terlebihdahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini31.
B. Perkembangan Islam di Indonesia Masa Kerajaan-Kerajaan
Islam dimulai di wilayah ini lewat kehadiran Individu-individu dari Arab, atau dari
penduduk asli sendiri yang telah memeluk Islam. Dengan usaha mereka. Islam tersebar
sedikit demi sedikit dan secara perlahan-lahan. Langkah penyebaran islam mulai
dilakukan secara besar-besaran ketika dakwah telah memiliki orang-orang yang khusus
menyebarkan dakwah. Setelah fase itu kerajaan-kerajaan Islam mulai terbentuk di
kepulauan ini32.
Diantara kerajaan-kerajaan terpenting adalah sebagai
berikut:
1. Kerajaan Malaka (803-917 H/1400-1511M)
Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Sebutan ini diberikan mengingat
peranannya sebagai jalan lalulintas bagi pedagang-pedagang asing yang berhak masuk
dan

keluar

pelabuahan-pelabuhan

Indonesia.

Letak

geografis

Malaka

sangat

menguntungkan, yang menjadi jalan sialng anntara AsiaTimur dan asia Barat. Dengan
28

Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III hlm. 205


Dijelaskan di sini, bahwa Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan
wayang. Beliau tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk
mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. (Badri Yatim, op.cit., hlm. 202)
30
Ibid., hlm. 203.
29

31
32

Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 206-207.


Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1991),

hlm. 39

15

letak geografis yang demikian membuat Malaka menjadi kerajaan yang berpengaruh atas
daerahnya33. Setelah Malaka menjadi kerajaan Islam, para pedagang, mubaligh, dan guru
sufi dari negeri Timur Tengah dan India makin ramai mendatangi kota bandar Malaka.
Dari bandar ini, Islam di bawa ke pattani dan tempat lainnya di semenanjung seperti
Pahang, Johor dan perlak34. Kerajaan Malaka menjalin hubungan baik dengan Jawa,
mengingat bahwa Malaka memerlukan bahan-bahan pangan dari Jawa. Di mana hal ini
untuk memenuhi kebutuhan kerajaannya sendiri. Persediaan dalam bidang pangan dan
rempah-rempah harus selalu cukup untuk melayani semua pedagang-pedagang.
Begitu pula pedangan-pedagang Jawa juga membawa rempah-rempah dari Maluku
ke Malaka35. Selain dengan Jawa, Malaka juga menjalin hubungan dengan Pasai.
Pedagang-pedangan

Pasai

membawa

lada

ke

pasaran

Malaka.

Dengan

kedatanganpedagang Jawa dan Pasai, maka perdagangan di Malaka menjadi ramai dan
lebih berarti bagi para pedagang Cina. Selain dalam bidang ekonomi, Malaka juga maju
dalam bidang keagamaan. Banyak alim ulama datang dan ikut mengembangkan agama
Islam di kota ini. Penguasa Malaka dengan sendirinya sangat besar hati. Meskipun
penguasa belum memeluk agama Islam namun pada abad ke-15 mereka telah
mengizinkan agama Islam berkembang di Malaka. Penganut-penganut agama Islam
diberi hak-hak istimewa bahkan penguasa membuatkan bangunan masjid36.
Kesultanan Malaka mempunyai pengaruh di daerah Sumatera dan sekitarnya, dengan
mempengaruhi daerah-daerah tersebut untuk masuk Islam seperti: Rokan Kampar, India
Giri dan Siak. Dan kesultanan Malaka merupakan pusat perdagang internasional antara
Barat dan Timur, pelabuhan transit. Maka dengan didudukinya Kesultanan Malaka oleh
Portugis tahun 1511, maka kerajaan di Nusantara menjadi tumbuh dan berkembang
karena jalur Selat Malaka tidak digunakan lagi oleh pedagang Muslim sebab telah
diduduki oleh Portugis37.
Dengan demikian tidaklah akan dicapai kemajuan oleh kerajaan Malaka jika kerajaan
itu tidak mempunyai peraturan-peraturan tertentu, yang memberi jaminan lumayan
33

Daerah yang berada di bawah kekuasaan Malaka kebanyakan terletak di Sumatera diantaranya:
Kampar, Minangkabau, Siak, dan kepulauan Riau-Lingga. ( Uka Tjandrasasmita (Ed.), op.cit., hlm. 18).
34
Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam., hlm. 190
35
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III., hlm.18
36
Ibid., hlm. 19.
37
Busman Edyar, dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam., hlm. 191.

16

kepada keamanan perdagangan. Seperti contohnya aturan bea cukai, aturan tentang
kesatuan ukuran, sistem pemakaian uang logam dan sebagainya. Di samping aturan yang
diterapkan juga sistem pemerintahannya sangat baik dan teratur38.
2. Kerajaan Aceh (920-1322 H/1514-1904 M)
Pada abad ke-16, Aceh mulai memegang peranan penting dibagin utara pulau
Sumatra39 Pengaruh Aceh ini meluas dari Barus di sebelah utara hingga sebelah selatan di
daerah Indrapura. Indrapura sebelum di bawah pengaruh Aceh, yang tadinya merupakan
daerah pengaruh Minangkabau. Yang menjadi pendiri kerajaan Aceh adalah Sultan
Ibrahim (1514-1528), ia berhasil melepaskan Aceh dari Pidie40. Aceh menerima Islam
dari Pasai yang kini menjadi bagian wiliyah Aceh dan pergantian agama diperkiraan
terjadi mendekati pertengahan abad ke-1441
Kerajaan Aceh yang letaknya di daerah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten
Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya 42. Aceh mengalami kemajuan ketika
saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya dagang di Malaka kemudian memindahkan
perdagangannya ke Aceh, ketika Portugis menguasai Malaka tahun 1511.43 Ketika
Malaka di kuasa Portugis tahun 1511, maka daerah pengaruhnya yang terdapat di
Sumatera mulai melepaskan diri dari Malaka. Hal ini sangat menguntungkan kerajaan
Aceh yang mulai berkembang. Di bawah kekuasaan Ibrahim, kerajaaan Aceh mulai
melebarkan kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya. Operasi-operasi militer diadakan
tidak saja dengan tujuan agama dan politik, akan tetapi juga dengan tujuan ekonomi43.
Kebesaran kerajaan Aceh ketika diperintah oleh Alauddin Riayat Syah 44. Kekuasaannya
38

Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III., hlm. 20


Bahwa Islam baik sebagai kekuatan sosial agama maupun sebagai kekuatan sosial politik, pertamatama memperlihatkan dirinya di nusantara ini adalah di negeri Perlak. Dari negeri inilah pertama kali Islam
memancar ke peloksok tanah air Indonesia. Kerajaan Islam Perlak terus hidup merdeka sampai
dipersatukan dengan kerajaan Samudera Pasai pada zaman pemerintahan sultan Malik Ash Saleh 12891326 M. Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M, pada tahun 1521 kerajaan ini
ditaklukan oleh portugis yang menduduki selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M dianeksasi oleh kerajaan
Aceh yang kemudian kerajaan Pasai berada di bawah kekuasaan Aceh. Dari Pasai dan Aceh Islam
kemudian memancar ke seluruh peloksok nusantara yang terjangkau oleh juru akwahnya. ((Dedi Supriyadi,
Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2008 hlm. 196-197).
40
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III., hlm 21
41
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam , hlm. 209.
42
42 Ibid., hlm. 208.
43
Anas Machmud, Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Sumatra,
dalam A. Hasymy, (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Jakarta: Almaarif,
1989), hlm. 420.
44
Sultan Alauddin Riayat Syah mempunyai gelar Al-Qahar.
39

17

sampai ke wilayah Barus. Dua putra Alauddin Riayat Syah kemudian diangkat menjadi
Sultan Aru dan sultan Parlaman dengan nama resmi Sultan Ghori dan Sultan Mughal.
Dalam menjaga keutuhan kerajaan Aceh, maka di mana-mana di daerah pengaruh
kekuasaan Aceh terdapat wakil-wakil Aceh45.Aceh menjalin hubungan yang baik dengan
Turki dan negara-negara Islam lain di Indonesia, hal ini terbukti di mana ketika Aceh
mengahadapi balatentara Portugis Aceh meminta bantuan Turki tersebut. Dalam
membangun aggkatan perangnya yang baik hal ini pun berkat bantuan Turki46.
Kejayaan kerajaan Aceh pada puncaknya ketika diperintahkan oleh Iskandar Muda.
Ia mampu menyatukan kembali wilayah yang telah memisahkan diri dari Aceh ke bawah
kekuasaannya kembali47. Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir
Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh tanah Gayo yang berbatasan di Islamkan, juga
Minangkabau. Dimasa pemerintahannya, Sultan Iskandar muda tidak bergantung kepada
Turki Usmani. Untuk mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerjasama dengan
musuh Portugis, yaitu Belanda dan Inggris48. Setelah Iskandar Muda digantikan oleh
penggantinya, Iskandar Tsani,
bersikap lebih lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus berkembang untuk masa
beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan tetap tatkala beberapa
sultan perempuan menduduki singgasana tahun 1641-1699, beberapa wilayah
taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Pada abad 18 Aceh hanya
sebagai kenangan masa silam dari bayngannya sendiri. Akhirnya kesultanan Aceh
menjadi mundur49
3. Kerajaan Demak ( 918- 960 H/ 1512-1552 M)
Di Jawa Islam di sebarkan oleh para wali songo (wali sembilan) 50, mereka tidak
hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan
45

Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III.., hlm. 23


Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam., hlm. 209
47
Daerah- daerah itu adalah Deli (1612), Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619), Perlak (1620),
Nias (1624). (Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III., hlm. 22).
48
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam., hlm. 210.
49
50 Ibid., hlm 210
50
Di Jawa berdasarkan cerita tradisional dan babad tanah jawa, yang mendapat gelar wali dianggap
sebagai pembawa dan penyebar Islam di daerah-daerah pesisir. Tidaklah semua wali yang tergolong
Wali sanga atau wali sembilan berasal dari negeri luar. Bahkan sebagian besar dari wali sanga menurut
cerita dalam babad-babad berasal dari Jawa sendiri. (Uka Tjandrasasmita (ed.), op.cit., hlm. 197). Baca
juga: Slamet Efendi Yusuf, Dinamika Kaum Santri, (Jakarat: Rajawali, 1983), hlm. 3.
46

18

politik, bahkan sering kali seorang raja seolah-olah baru sah seorang raja kalau ia sudah
diakui dan diberkahi wali songo51. Para wali menjadikan Demak sebagai pusat
penyebaran Islam dan sekaligus menjadikannya sebagai kerajaan Islam yang menunjuk
Raden Patah sebagai Rajanya. Kerajaan ini berlangsung kira-kira abad 15 dan abad 16 M.
Di samping kerajaan Demak juga berdiri kerajaan-kerajaan Islam lainnya seperti
Cirebon52, Banten53 dan Mataram54
Demak merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Islam yang berkembang di
pantai utara Pulau Jawa. Raja pertamanya adalah Raden Patah55 Sebelum berkuasa penuh
atas Demak, Demak masih menjadi daerah Majapahit. Baru Raden Patah berkuasa penuh
setelah mengadakan pemberontakan yang dibantu oleh para ulama atas Majapahit. Dapat
dikatakan bahwa pada abad 16, Demak telah menguasai seluruh Jawa. Setelah Raden
Patah berkuasa kira-kira diakhir abad ke-15 hingga abad ke-16, ia digantikan oleh
anaknya yang bernama Pati Unus. Dan kemudian digantikan oleh Trenggono yang
dilantik oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah
pada tahun 1524-1546 dan berhasil menguasai beberapa daerah 56. Perkembangan dan
kemajuan Islam di pulau Jawa ini bersamaan dengan melemahnya posisi raja Majapahit 57.
51

Wali Songo diantaranya: Sunan Bonang, Sunan Derajat adalah putra Sunan Ampel yang
sebelumnya telah bertempat tinggal di kampung Ampel Denta (Surabaya), sunan Kalijaga yang disebutpula
Jakasayid adalah putra seorang tumenggung Majapahit, Sunan Giri adalah hasil perkawainan antara
seorang putri Blambangan dengan seorang Muslim. Sunan Gunung Jati putra Rara Santang atau Syarifah
Modaiim, putri Prabu Siliwangi. Sunan Rahmat yang dalam babad dikatakan datang dari Campa, ia adalah
saudara sepepu permaisuri Brawijaya.(Ibid., hlm. 197-198).
52
Islam di Cirebon sudah mulai berkembang sejak tahun 1470-1475. (Nugroho Notosusanto, dkk,
Sejarah Nasional Indonesia 2, (Jakarta: Depdikbud, 1992), hlm. 17)
53
Kerajaan ini terpisah dari kerajaan Demak. Mecapai puncak kejayaannya pada masa Sultan
Hasanuddin, yang merupakan raja pertamanya 1552-1570 M. Melalui kekuasaan anaknya Sultan Yusuf
penyebaran Islam di Jawa semakin bertambah, kerajaan ini menjadi pusat kerajaan terpenting. (Baca
Halwany Microb dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masalalu Banten, Serang, Saudara, 1993)
54
Pada tahun 1583 M Kerajaan ini diperintah oleh seorang muslim yang bernama Panembahan
Senopati Sutowijoyo. Ia berorientasi untuk menyebarkan Islam di seluruh wilayah Indonesia. (Ahmad AlUsairy, Sejarah Islam, Sezak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: AkbarMedia, 2003) hlm. 450)
55
Raden Patah adalah panegeran dari Palembang yang kawin dengan seorang putrei (cucu) Sunan
Ampel. Raden peteh terkenal dengan nama Panembahan Jimbun. Ayahnya bernama angka wijaya dari
Palembang. Raden Patah adalah raja yang pertama masuk Islam di Jawa.( Uka Tjandrasasmita (ed.),
Sejarah Nasional Indonesia III, hlm.24).
56
Daerah Taklukannya adalah: Madiun, Blora, Surabaya, Pasuruan, , Lamongan Blitar, Wirasaba, dan
Kediri. Daerah Jawa Tengah bagian Selatan Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang. (Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 212).
57
Kerajaan Majapahit ketika diperintah oleh Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada masih berkusa,
situasi politiknya dikatakan masih tenang. Tetapi setelah dua tokoh ini meninggal dunia yaitu tahun 1389.
Situasi politik Majapahit kembali menunjukan kegoncangan, kelemahan-kelemahan yang makin lama
makin memuncak hingga mengakibatkan keruntuhannya. (Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional

19

Hal ini memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusatpusat kekuasaan yang independen. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun
bukan yang tertua dari wali Songo.
Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai keraton pusat 58. Kerajaan
Demak menempatkan pengaruhnya di pesisir utara Jawa Barat itu tidak dapat dipisahkan
dari tujuannya yang bersifat politis dan ekonomi. Politiknya adalah untuk mematahkan
kerajaan Pajajaran yang masih berkuasa di daerah pedalaman, dengan Portugis di
Malaka59.
4.Kerajaan Banten (960-1096 H/1552-1684 M)
Banten60 merupakan kerajaan Islam yang mulai berkembang pada abad ke-16, setelah
pedagang-pedagang India, Arab, persia, mulai menghindarai Malaka yang sejak tahun
1511 telah dikuasai Portugis. Dilihat dari geografinya, Banten, pelabuhan yang penting
dan ekonominya mempunyai letak yang strategis dalam penguasa Selat Sunda, yang
menjadi uratnadi dalam pelayaran dan perdagangan melalui lautan Indoneia di bagian
selatan dan barat Sumatera. Kepentingannya sangat dirasakan terutama waktu selat
Malaka di bawah pengawasan politik Portugis di Malaka61.
Sejak sebelum kedatangan Islam, ketika berada di bawah kekuasaan raja-raja Sunda
(dari Pajajaran), Banten sudah menjadi kota yang berarti 62. Pada tahun 1524 Sunan

Indonesia III, hlm. 5)


58
Taufik Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara dalam Taufik Abdullah dan
Sharon Siddique (Ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 73.
59
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 8
60
Banten yang terletak di bagian paling barat pulau Jawa, luasnya sekitar 114 mil persegi.kesultanan
banten didirikan dalam tahun 1520 oleh pendtang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa tengah yang
meliputi ndaerah pesisir utara sebai intinya, sedangkan wilayah-wilayahnya terdiri dari daerah pegunungan
Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan Lampung di sumatera bagian Selatan. Daerah yang oleh
pelawat-pelawat Portugis dinamakan Sunda Bantam itu, sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat
perdagangan lada, ia maju pesat setalah Malaka direbut oleh orang-orang Portugis.(Sartono Kartodirdjo,
Pemberontakan di Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm.53-54). Dalam tulisan Sunda kuno,
cerita Parahiyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten,
sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara Jawa. (Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari,
Catatan Masa lalu Banten, (Serang: Saudara, 1993), hlm. 33).
61
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III., hlm. 9.
62
Pada awal abad XVI, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun dengan pusat
pemerintahan Kadipaten di Banten Girang. Untuk menghubungkan Banten Girang dengan pelabuhan
Banten, dipakai sungai Cibanten yang pada masa itu masih dapat dilayari. Disamping masih ada jalan darat
yang melalui Klapadua. (Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten, hlm.
43.)

20

Gunung Jati dari Cirebon, meletakan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan
Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam di sana63.
Kerajaan Islam di Banten yang semula kedudukannya di Banten Girang dipindahkan
ke kota Surosowan, di Banten lama dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik,
pemindahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa
dengan pesisir Sumatera, melalui selat sunda dan samudra Indonesia. Situasi ini berkaitan
dengan kondis politik di Asia Tenggara masa itu setelah malaka jatuh ke tangan Portugis,
para pedagang yang segan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur pelayarannya
melalui Selat Sunda64.
Tentang keberadaan Islam di Banten, Tom Pires menyebutkan, bahwa di daerah
Cimanuk, kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda dengan Cirebon, banyak dijumpai
orang Islam. Ini berarti pada akhir abad ke-15 M diwilayah kerajaan Sunda Hindu sudah
ada masyarakat yang beragama Islam65. Karena tertarik dengan budi pekerti dan
ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten menikahkan Syarif Hidayatullah dengan adik
perempuannya yang bernama Nhay Kawunganten. Dari pernikahan ini Syaraif
Hidayatullah dikaruniai dua anak yang diberi nama Ratu winaon dan Hasanuddin. Tidak
lam kemudian, karena panggilan uwaknya, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah berangkat ke
Cirebon menggantika umawknya yang sudah tua. Sedangkan tugas penyebaran Islam di
Banten diserahkan kepada anaknya yaitu Hasanuddin66.
Hasanuddin sendiri menikahi puteri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan
Banten tahun 1552. ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan daerah Islam,
yaitu ke Lampung dan sekitarnya di Sumatera Selatan. Pada tahun 1568, disaat kekuasaan
Demak beralih ke Pajang, Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh
tradisi ia dianggap sebagai seorang raja Islam yang pertama di Bnaten. Banten sejak
semula memang merupakan vassal dari Demak 67. Pada masa kekuasaan Maulana
Hasanuddin, banyak kemajuan yang dicapai Banten dalam segala bidang kehidupan.
63

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,, hlm. 217.


Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten. hlm. 43
65
Dalam Purwaka Caruban Nagari, dijelaskan bahwa Syarif Hidayatullah beserta 98 orang muridnya
dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran dan ketekunan, banyaklah
yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah. Bahkan akhirnya Bupati Banten dan sebagian besar rakyatnya
memeluk agama Islam. (Ibid., hlm. 51).
66
Ibid., hlm.51.
67
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 218.
64

21

Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan di makamkan di samping Masjid
Agung. Untuk meneruskan kekuasaannya beliau digantikan oleh anaknya yaitu Maulana
Yusuf68.
Pada masa pemerintahan dijalankan oleh Maulana Yusuf, strategi pembangunan lebih
dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian.
Di tahun 1579 Maulana Yusuf dapat menaklukan Pakuan, ibukota kerajaan Pajajaran
yang belum Islam yang waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman
Jawa Barat. Maulana Yusuf meninggal dunia pada tahun 1580, dan di makamkan di
pakalangan Gede dekat kampung kasunyatan69.
Setelah meninggalnya Maulana Yusuf, pemerintahan selanjutnya di teruskan oleh
anaknya yaitu Muhammad yang masih muda belia. Selama Maulana Muhamad masih di
bawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh qadhi70. Maulana Muhamad
terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak
mengarang kitab-kitab agama yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya.
Pada masa pemerintahannya Masjid Agung yang terletak di tepi alun-alun diperindahnya.
Tembok masjid dilapisi dengan porselen dan tiangnya dibuat dari kayu cendana. Untuk
tempat solat perempuan dibuatkan tempat khusus yang disebut pawestren atau
pawedonan71. Maulana Muhamad meninggal tahun 1596 M, ketika sedang mengadakan
penyerangan terhadap Palembang72.
Pemerintahan Banten kemudian di pegang oleh anak Maulana Muhammad yang
bernama Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir, dinobatkan pada usia 5 bulan. Dan
untuk menjalankan roda pemerintahannya ditunjuk Mangkubumi Jayanagara sebagai
walinya. Ia baru aktif memegang kekuasan pada tahun 1626. Pada tahun 1651 ia
meninggal dunia, dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa
pemerintahannya pernah terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dengn VOC, dan
berakhir dengan perjanjian damai tahun 1659 M73.
5. Kerajaan Goa (Makasar) (1078 H/1667 M)
68

Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten, hlm.81
Ibid., hlm. 81-85.
70
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 219
71
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten, hlm.89.
72
Sultan Muhammad yang memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri ketika menyerang Palembang
tertembak yang mengakibatkan gugurnya Sultan Muhammad. (Hamka, Dari Pembendaharaan lama,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 74).
69

22

Kerajaan yang bercorak Islam di Semenanjung Selatan Sulawesi adalah Goa-Tallo,


kerajaan ini menerima Islam pada tahun 1605 M. Rajanya yang terkenal dengan nama
Tumaparisi-Kallona yang berkuasa pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Ia
adalah memerintah kerajaan dengan peraturan memungut cukai dan juga mengangkat
kepala-kepala daerah74.
Kerajaan Goa-Tallo menjalin hubungan dengan Ternate yang telah menerima Islam
dari Gresik/Giri75. Penguasa Ternate mengajak penguasa Goa-tallo untuk masuk agama
Islam, namun gagal. Islam baru berhasil masuk di Goa-Tallo pada waktu datuk ri
Bandang datang ke kerajaan Goa-Tallo. Sultan Alauddin adalah raja pertama yang
memeluk agama Islam tahun 1605 M76.
Kerajaan Goa-Tallo mengadakan ekspansi ke Bone tahun 1611, namun ekspansi itu
menimbulkan permusuhan antara Goa dan Bone77. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh
Goa-Tallo berhasil, hal ini merupakan tradisi yang mengharuskan seorang raja untuk
menyampaikan hal baik kepada yang lain 78. Seperti Luwu, Wajo, Sopeng, dan Bone.
Luwu terlebih dahulu masuk Islam, sedangkan Wajo79 dan Bone80 harus melalui
peperangan dulu. Raja Bone yang pertama masuk Islam adalah yang dikenal Sultan
Adam81.
6. Kerajaan Maluku
Kerajaan Maluku terletak dibagian daerah Indonesia bagian Timur.Kedatangan Islam
keindonesia bagian Timur yaitu ke Maluku, tidak dapat dipisahkandari jalan perdagangan
yang terbentang antara pusat lalu lintas pelayaranInternasional di Malaka, Jawa dan
Maluku. Diceritakan bahwa pada abad ke-14 Rajaternate yang keduabelas, Molomateya,
73

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid 1, (Jakarta: Gramedia,
1987), hlm.114.
74
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 29.
75
Penguasa Ternate pada waktu itu adalah Sultan Baabullah.
76
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III 30
77
Ada dua kemungkinan mengapa Kerajaan Goa-Tallo mengadakan ekspansi diantaranya :1)
kemungkinan diakibatkan oleh dorongan agama Islam yang baru masuk. 2) kemungkinan karena kekayaan
yang diperoleh dari perdagangan yang ramai di pelabuhannya yang merupakan pelabuhan transit. (Ibid.,
hlm.31).
78
Tradisi yang telah lama diterima oleh para raja, keturunan To Manurung. Tradisi itu mengahruskan
untuk menyampaikan hal baik kepada yang lain.
79
Wajo menerima Islam tanggal 10 Mei 1610 M, dan. (Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,, hlm.
224).
80
Bone menerima Islam pada tanggal 23 November 1611 M (Ibid., hlm. 224)
81
Ibid., hlm. 224

23

(1350-1357) bersahabat baik dengan orangArab yang memberikan petunjuk bagaimana


pembuatan kapal-kapal, tetapi agaknyabukan dalam kepercayaan. Manurut tradisi
setempat, sejak abad ke-14 Islam sudahdatng di daerah Maluku. Pengislaman di daerah
Maluku, di bawa oleh maulanaHusayn. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Marhum
di Ternate82.
Raja pertama yang benar-benar muslim adalah Zayn Al- Abidin (1486-1500),Ia
sendiri mendapat ajaran agama tersebut dari madrasah Giri83. Zainal Abidin ketikadi Jawa
terkenal sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkeh, karena membawacengkeh dari
Maluku untuk persembahan84. Sekembalinya dari jawa, Zainal abidinmembawa mubaligh
yang bernama Tuhubabahul. Yang mengantar raja Zainal Abidinke Giri yang pertama
adalah Jamilu dari Hitu. Hubungan Ternate, Hitu dengan Giri diJawa Timur sangat erat85.
Tentang masuknya Islam ke Maluku, Tome Pires mengatakan bahwa kapalkapaldagang dari Gresik ialah milik Pate Cucuf. Raja ternate yang sudah memelukIslam
bernama Sultan Bem Acorala, dan hanyalah raja ternate yang disebut sultansedang yang
lainnya digelari raja. Dijelaskan bahwa ia sedang berperang denganmertuanya yang
menjadi raja Tidore yang bernama Raja Almancor86.
Di Banda, Hitu, Maluku dan Bacan sudah terdapat masyarakat Muslim. Didaerah
Maluku itu raja yang mula-mula masuk Islam sebagaimana dijelaskan TomePires sejak
kira-kira 50 tahun yang lalu, berarti antara 1460-1465. Tahun tersebutboleh dikatakan
bersama dengan berita antonio Galvano yang mengatakan bahwaIslam di daerah ini di
mulai 80 atau 90 tahun yang lalu yang kalau dihitung dariwaktu Galvano di sana sekitar
1540-1545 menjadi 1460-146587.

82

Maulana Husayn pada mulanya hanya menunjukan kemahiran dalam menulis huruf Arab yang ada
dalam al-Quran, sehingga menarik hati Marhum dan orang-orang Maluku. Tetapi mereka bukan hanya
diajarkan tulisan Arab yang indah saja, melainkan agar diajarkan tentang agama Islam (Uka Tjandrasasmita
(Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, hlm. 10)
83
Nama madrasah itu adalah madrasah Giri Prabu Satmata.(Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia 2, hlm. 18
84
H.J. de Graaf, Islam di Asia Tenggara Sampai Abad ke-18 dalam Azyumardi Azra (Ed.),
Perspektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hlm. 14.
85
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia 2, (Jakarta: Depdikbud, 1992).., hlm.18
86
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 11).
87
Situasi politik ketika kedatangan Islam di kepulauan Maluku tidak seperti di Jawa. Di sana orangorang muslim tidak menghadapi kerajaan-kerajaan yang sedang mengalami perpecahan karena perebutan
kekuasan negara. Mereka datang dan mengembangkan Islam dengan melalui perdagangan, dakwah dan
melalui perkawinan. (Ibid., hlm. 11-12)

24

Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang sampai di sana tahun1522
M, berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidakterwujud.
Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit 88. Dalam prosesIslamisasi di
Maluku menghadapi persaingan politik dan monopoli perdagangandiantara orang-orang
Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Persaingan diantarapedagang-pedagang ini pula
menyebabkan persaingan diantara kerajaan-kerajaanIslam sendiri sehingga pada akhirnya
daerah Maluku jatuh ke bawah kekuasaanpolitik dan ekonomi kompeni Belanda89.
BAB III
PERAN WALISONGO DALAM PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha
bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang
pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama
di tanah Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar
dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa.Walisongo berasal dari keturunan syeikh
ahmad bin isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para
keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah(90).
Penyebaran agama Islam

di

Jawa

terjadi

pada

waktu

kerajaan

Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan
masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan penganut agama
Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Zaman itu
pun dikenal sebagai zaman kewalen. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai
Walisanga, yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya
juga Sembilan orang(91). Adapun Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai
pemangku kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan

88
89

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam., hlm.222


Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 12)

90

Mukhlis PaeEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Religi dan Filsafat), ( Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2009), hlm 76
91
Ibid, hal 128-129

25

Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan
Sunan Gunung Jati(92).
B. Pengertian Walisongo
Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat
Wali,

suatu derajat

tingkat

tinggi

yang

mampu

mengawal babahan hawa

sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat
wali(93). Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki
keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan gurumurid(94)
Adapun biografi singkat tokoh-tokoh Walisongo adalah sebagai berikut:
1. Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim merupakan sesepuh Walisongo, beliau memilki beberapa
nama, antara lain, Maulana Magribi, Syekh Magribi, Sunan Gresik, atau Syekh Ibrahim
Asamarkan di (Sebutan dalam Babad Tanah Jawi). Dikalangan para wali, Maulana Malik
merupakan tokoh yang dianggap paling senior atau wali pertama. Beberapa versi
menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat. Belum ada
keterangan yang pasti kapan beliau lahir dan dari mana beliau berasal. Meskipun
demikian sumber sejarah mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim datang ke
Nusantara sekitar abad ke-14. Pendapat lain mnyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau
Jawa pada tahun 1399 M dari Arab kemudian tinggal di Perlak dan Pasai, pergi ke
Gujarat dan selanjutnya menetap di Gresik95. Beliau wafat di Gresik pada hari senin
tanggal 12 Rabiul awal tahun 822 H , bertetapatan dengan tanggal 8 april 1419 M.
keterangan mengenai tanggal dan tahun wafatnya berdasarkan Inskripsi pada batu nisan
makamnya yang berada di Gresik.
Maulana Malik Ibrahim merupakan wali pertama yang tertua, beliau mempunyai
anak bernama Raden Rahmat (Sunan Ampel ) , Sunan Giri adalah keponakan Maulana

92

Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan
2, (Bandung,: CV ARMICO, 2009), hlm. 25-26
93
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
hlm21- 22.
94
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogyakarta:
GRAHA Pustaka, 2009), hlm 16
95
Ibid., hlm.14

26

Malik Ibrahim dan sepupu Sunan Ampel96. Maulana Malik masih merupakan keturunan
Ali Zainal Abidin Al-Husein Ibnu Ali Ibnu Thalib. Hal ini menunjukan bahwa Maulana
Malik merupakan keturunan Rasulallah SAW. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi,
bahwa Syekh Ibrahim Asamarkandi merupakan menantu dari dari raja Champa. Raja
Champa tersebut memilki tiga anak, dua orang putri dan satu orang putra. Putri pertama
bernama ratu Darawati yang menikah dengan Prabu Brawijaya dan putri yang kedua
menikah dengan Syekh Ibrahim Asamarkandi, Syekh itu sendiri merupakan Maulana
Malik Ibrahim. Dari hasil perkawinanya ini, beliau dikaruniai dua orang putra , yaitu
Raden Rahmat dan Raden Santri. Kisah dalam babad ini sesuai dengan yang ada dalam
Hikayat Hasanudin serta Babad Majapahit dan Para Wali.
Sunan Gresik lahir disekitar wilayah Magribi, Afrika Utara. Disana beliau dikenal
sebagai Wali Pawang Hujan. Dikisahkan bahwa pada suatu ketika ada seorang gadis yang
hendak dijadikan tumbal untuk meminta hujan kepada dewa. Ketika pedang sudah
dihunus, Maulana Malik datang dan melarangnya dengan pembicaraan yang halus,
kemudian beliau memimpin shalat Istisqa, untuk memohon hujan. Tak lama setelah itu,
hujanpun turun dan kawanan kafir tersebut berbondong-bondong memeluk agama
Islam97. Maulana malik menetap di Desa Leran, Gresik. ketika itu Gresik masih di bawah
kerajaan Majapahit. Disana beliau melakukan dakwah dengan menjauhi Konfrontasi
dengan masyarakat sekitar. Sehingga dengan mudah agama Islam diterima. Sunan
berdakwah secara sederhana, beliau membuka warung dan menjual rupa-rupa makanan
dengan harga yang murah. Selain sebagai pedagang Sunan membuka praktek sebagai
Tabib ,dengan doa-doanya yang diambil dari Al-Quran. masyarakat berbondong-bondong
datang kepadanya untuk meminta pertolongannya, apalagi praktek tabib yang dibukanya
gratis98. Dari sisni beliau memanfaatkannya sebagai sarana dakwah Islamiyah. Semakin
hari pengikutnya semakin bertambah, beliapun semakin dikenal dikalangan masyarakat
Gresik.
Di Gresik beliau membuat pesantren,yang merupakan sarana tempat menimba ilmu
bersama. Dalam mengajarkan Ilmunya, Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan julukan
96

Ibid., hlm.17
Ibid., hlm.19
98
Ibid., hlm.20
97

27

Kakek Bantal, hal ini karena kebiasaan beliau yang selalu meletakan Al-Quran dan
Kitab Hadist diatas bantal ketika mengajarkan ilmunya. Meskipun pengikut beliau
semakin banyak, Maulana Malik Ibrahim masih mempunyai tekad yang kuat untuk
mengislamkan raja Majapahit, atas siasatnya ini beliau meminta bantuan raja di Cermin.
Sebagian berpendapat bahwa Cermin berada di Persia, dan pendapat lain menyebutkan
berada di Gedah, Malaysia. Raja Cermin mengirimkan putrinya Dewi Sari yang berwajah
elok ke kerajaan Majapahit, yang diharapkan sang Prabu Brawijaya mau memperistrinya,
dengan begitu diharapkan Raja Majapahit bisa memeluk agama Islam. Namun usahanya
mengalami kegagalan, karena sang raja hanya mau menerima Dewi Seri sebagai selirnya.
Raja cermin menolaknya, dan membawa kembali pasukan bersama Dewi Seri ke
kerajaan. Sebelum sampai di Cermin pasukanya singgah di Leran Gresik, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik sambil menunggu perbaikan kapalnya. Meskipun
demikian, Sunan Gresik tak Patah hati, beliau melanjutkan dakwah dan misinya hingga
menjelang wafatnya pada tahun 1419 M.
Maulana Malik Ibrahim merupakan sesepuh Walisongo, beliau memilki beberapa
nama, antara lain, Maulana Magribi, Syekh Magribi, Sunan Gresik, atau Syekh Ibrahim
Asamarkan di (Sebutan dalam Babad Tanah Jawi). Dikalangan para wali, Maulana Malik
merupakan tokoh yang dianggap paling senior atau wali pertama. Beberapa versi
menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat. Belum ada
keterangan yang pasti kapan beliau lahir dan dari mana beliau berasal. Meskipun
demikian sumber sejarah mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim datang ke
Nusantara sekitar abad ke-14. Pendapat lain mnyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau
Jawa pada tahun 1399 M dari Arab kemudian tinggal di Perlak dan Pasai, pergi ke
Gujarat dan selanjutnya menetap di Gresik99. Beliau wafat di Gresik pada hari senin
tanggal 12 Rabiul awal tahun 822 H , bertetapatan dengan tanggal 8 april 1419 M.
keterangan mengenai tanggal dan tahun wafatnya berdasarkan Inskripsi pada batu nisan
makamnya yang berada di Gresik.
Maulana Malik Ibrahim merupakan wali pertama yang tertua, beliau mempunyai
anak bernama Raden Rahmat (Sunan Ampel ) , Sunan Giri adalah keponakan Maulana
Malik Ibrahim dan sepupu Sunan Ampel100. Maulana Malik masih merupakan keturunan
99

Ibid., hlm.14
Ibid., hlm.17

100

28

Ali Zainal Abidin Al-Husein Ibnu Ali Ibnu Thalib. Hal ini menunjukan bahwa Maulana
Malik merupakan keturunan Rasulallah SAW. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi,
bahwa Syekh Ibrahim Asamarkandi merupakan menantu dari dari raja Champa. Raja
Champa tersebut memilki tiga anak, dua orang putri dan satu orang putra. Putri pertama
bernama ratu Darawati yang menikah dengan Prabu Brawijaya dan putri yang kedua
menikah dengan Syekh Ibrahim Asamarkandi, Syekh itu sendiri merupakan Maulana
Malik Ibrahim. Dari hasil perkawinanya ini, beliau dikaruniai dua orang putra , yaitu
Raden Rahmat dan Raden Santri. Kisah dalam babad ini sesuai dengan yang ada dalam
Hikayat Hasanudin serta Babad Majapahit dan Para Wali.
Sunan Gresik lahir disekitar wilayah Magribi, Afrika Utara. Disana beliau dikenal
sebagai Wali Pawang Hujan. Dikisahkan bahwa pada suatu ketika ada seorang gadis yang
hendak dijadikan tumbal untuk meminta hujan kepada dewa. Ketika pedang sudah
dihunus, Maulana Malik datang dan melarangnya dengan pembicaraan yang halus,
kemudian beliau memimpin shalat Istisqa, untuk memohon hujan. Tak lama setelah itu,
hujanpun turun dan kawanan kafir tersebut berbondong-bondong memeluk agama
Islam101. Maulana malik menetap di Desa Leran, Gresik. ketika itu Gresik masih di bawah
kerajaan Majapahit. Disana beliau melakukan dakwah dengan menjauhi Konfrontasi
dengan masyarakat sekitar. Sehingga dengan mudah agama Islam diterima. Sunan
berdakwah secara sederhana, beliau membuka warung dan menjual rupa-rupa makanan
dengan harga yang murah. Selain sebagai pedagang Sunan membuka praktek sebagai
Tabib ,dengan doa-doanya yang diambil dari Al-Quran. masyarakat berbondong-bondong
datang kepadanya untuk meminta pertolongannya, apalagi praktek tabib yang dibukanya
gratis102. Dari sisni beliau memanfaatkannya sebagai sarana dakwah Islamiyah. Semakin
hari pengikutnya semakin bertambah, beliapun semakin dikenal dikalangan masyarakat
Gresik.
Di Gresik beliau membuat pesantren,yang merupakan sarana tempat menimba ilmu
bersama. Dalam mengajarkan Ilmunya, Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan julukan
Kakek Bantal, hal ini karena kebiasaan beliau yang selalu meletakan Al-Quran dan

101

Ibid., hlm.19
Ibid., hlm.20

102

29

Kitab Hadist diatas bantal ketika mengajarkan ilmunya. Meskipun pengikut beliau
semakin banyak, Maulana Malik Ibrahim masih mempunyai tekad yang kuat untuk
mengislamkan raja Majapahit, atas siasatnya ini beliau meminta bantuan raja di Cermin.
Sebagian berpendapat bahwa Cermin berada di Persia, dan pendapat lain menyebutkan
berada di Gedah, Malaysia. Raja Cermin mengirimkan putrinya Dewi Sari yang berwajah
elok ke kerajaan Majapahit, yang diharapkan sang Prabu Brawijaya mau memperistrinya,
dengan begitu diharapkan Raja Majapahit bisa memeluk agama Islam. Namun usahanya
mengalami kegagalan, karena sang raja hanya mau menerima Dewi Seri sebagai selirnya.
Raja cermin menolaknya, dan membawa kembali pasukan bersama Dewi Seri ke
kerajaan. Sebelum sampai di Cermin pasukanya singgah di Leran Gresik, mereka
menetap di rumah Sunan Gresik sambil menunggu perbaikan kapalnya. Meskipun
demikian, Sunan Gresik tak Patah hati, beliau melanjutkan dakwah dan misinya hingga
menjelang wafatnya pada tahun 1419 M.
1. Sunan Ampel ( Raden Rahmat )
Sunan Ampel merupakan sesepuh Walisongo pengganti ayahnya Maulana Malik
Ibrahim, beliau lahir sekitar tahun 1401 M, mengenai tanggal dan bulannya belum ada
kepastian sumber sejarah. Nama kecil beliau adalah Raden Rahmat, beliau adalah putra
keturunan raja champa. Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri
Adipati Tuban Wilwatikta Arya Teja. Dari hasil pernikahannya beliau menurunkan dua
orang putra dan dua orang putri. Dua orang putra tersebut adalah Sunan Bonang
(Maulana Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajad (Syarifudin), sedangkan dua orang
putrinya adalah Nyai ageng Maloka dan Dewi Sarah (istri Sunan Kalijaga). Raden
Rahmat memilki seorang adik Raden santri namanya, dan seorang kemenakan bernama
Raden Berereh103, mereka bertiga diperintahkan oleh orang tuanya untuk menghadap Raja
Majapahit. Mereka berangkat ke Majapahit dan tinggal di sana selama satu tahun.
Menurut Babad Gresik, Raden Rahmat dan Raden Ali Hutama pergi ke gresik , dari
kota itu mereka melanjutkannya ke majapahit untuk bertemu Sang Prabu. Awal
kedatangannya ke Gresik agama Islam Belum tersebar luas, sehingga sang Prabu
menetapkan Ali Hutama menjadi Syah Bandar di Gresik, sedang Raden Rahmat di beri
kawasan yang masing berupa rawa-rawa yang berlumpur bernama Ampel. Sang Prabu
103

Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan Hindu...,95

30

sendiri tidak melarang keduanya untuk menyiarkan agama Islam. Dalam abab Gresik
pula disebutkan bahwa sepeninggal Prabu hayam Wuruk dan patih Gajah Mada kerajaan
majapahit dalam kedaan kacau. Oleh karena it, Prabu Kertawijaya mengundang Raden
Rahmat putra Syekh Ibrahim Asamarkandi untuk mengajarkan agama di Jawa. Tujuannya
untuk membina masyarakat penduduk majapahit. Berbeda dengan Hikayat Hasanudin,
Raden Rahmat sebelum menuju majapahit di Jawa terlebih dahulu singgah di palembang
untuk memperkenalkan agama Islam kepada Arya Damar yang pada waktu itu menjabat
sebagai Raja Palembang. dalam misinya ke kerajaan majapahit, Raden Rahmat di
dampingi sang ayah (Maulana Malik Ibrahim), kakaknya (Sayyid Ali Murthada), dan
Sahabatnya (Abu Hurairah)104. Rombongan tersebut tersebut singgah di Tuban dan
menyebarkan agama Islam disana sampai sang ayah Syekh Asamarkandi wafat, yang
makamnya terletak di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Selanjutnya romongan tersebut
melanjutkan perjalanannya ke Trowulan Ibukota Majapahit untuk menghadap Sang
Prabu dalam menyanggupi permintaanya, yaitu memperbaiki dan mendidik moral para
bangsawan yang kawula majapahit yang saat itu mengalami kekacauan. Sebagai
hadiahnya, raden rahmat diberi tanah di Ampeldenta , Surabaya dan tiga ratus keluarga
diserahkan kepadanya untuk di didik dan di bina.105 Disana Raden Rahmat mendirikan
pemukiman penduduk sebagai ladang untuk berdakwah.disana Baliau mendirikan
Pesantren dan Mesjid yang sampai sekarang peninggalannya masih ada.
Raden Rahmat sangat memperhatikan dalam menurunkan kaderisasi wali kepada
anak-anak dam murid-muridnya. Dua putranya yakni Sunan Bonang dan Sunan Drajad
merupakan anggota dari Walisongo. Satu putrinya Asyikah dinikahkan dengan Raden
Patah yang menjadi raja Demak, serta dua orang purinya dari istri yang lain, Nyai
Karimah, kedua putri itu bernama Dewi Murtasiah yang diperistri oleh Sunan Giri dan
dewi Mursimah yang diperistri oleh Sunan Kalijaga. Suana Ampel selalu berbeda
pendapat

dengan

Para

wali

lainnya,

beliau

agak

bersikap

puritan

dalam

mengakulturasikan antara tradisi adat dengan Islam. Meskipun demikian Sunan Ampel
sangat bijak dalam mengelola pendapat, selain itu karena sosoknya yang dituakan sebagai
pengganti dari Maulana Malik Ibrahim, beliau sangat dihormati dan disegani oleh semua
104

Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo...,23


Ibid., hlm 28

105

31

kalangan. Menurut beberapa versi Sunan Ampel merupakan tokoh yang mengepalai
Dewan Walisongo, hal ini dilakukan sebagai sarana dakwah Islamiyah di tengah hirukpikuk kekacauan Kerajaan majapahit.
Diceritakan bahwa ketika Raden Rahmat menjadi tokoh yang terkenal di
Ampeldenta, beliau kedatangan Syekh Walilanang. Syekh itu berasal dari Jeddah yang
singgah ke Ampeldenta. Disana sang Syekh berdiskusi dan berbagi ilmu bersama dengan
Sunan Ampel. dan dari Ampeldenta perjalanan syekh dilanjutkan ke Blambangan sampai
suatu ketika beliau dinikahkan dengan putri raja Blambangan. Namun karena sang Raja
tidak mau memeluk agama Islam putrinya beliau tinggalkan, yang pada saat itu sudah
dalam keadaan mengandung. Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa putri yang
sedang mengandung tersebut kelak akan melahirkan seorang putra yang bernama Sunan
Giri yang selanjutnya dipungut anak angkat oleh seorang janda kaya Nyai Semboja, yang
kemudian dipondokkan ke Ampeldenta hingga menjadi wali Sunan Giri.106
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Sunan Ampel sangat
memperhatikan Kaderisasi, diantara kader-kader yang melanjutkan perjuangannya adalah
Raden Patah(raja Demak Sekaligus menantu), Sunan Kalijaga (menantu), Raden Paku
(Sunan Giri ), Sunan Bonang (Raden Makdum), Syarifudin (Sunan Drajad), dan Maulana
Ishaq (Blambangan). Belum ada keterangan yang pasti mengenai kapan beliau Wafat.
Namun dalam babad Gresik menyebutkan angka 1481 M yang di tandai dengan
Candrasengkala ulama ampel lena masjid107, yang menurut cerita masyarakat setempat
beliau wafat pada saat sujud di mesjid. Makamnya terletak disebelah barat Mesjid Ampel,
tepatnya di Ampel Gading.
3. Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)
Nama lain Sunan Bonang adalah Raden Makdum atau Maulana makdum Ibrahim,
beliau lahir di Bonang, Tuban pada tahun 1465 M. Sunan Bonang merupakan putra
sulung Sunan Ampel hasil pernikahannya dengan Candrawati alias Nyai Gede Manila.
Sejak kecil beliau dididik di lingkungan keluarganya dengan ketat sehingga menjadi
Walisongo. Nama kecilnya Maulana Makdum yang diambil dari Bahasa Hindi 108. Ajaran

106

Ibid., hlm.40
Ibid., hlm.45
108
Ibid .,hlm.46
107

32

Sunan Bonang terangkum dalam Kitab yang terkenal yaitu Suluk Wujil, mengkisahkan
si Wijil yang berguru pada Sunan Bonang. Wujil merupakan bekas budak Raja Majapahit.
Menginjak usia dewasa, Sunan Bonang diutus Sunan Ampel menuju Pasai atau Aceh.
Disana beliau berguru pada Syekh Awwalul Islam yang merupakan Ayah Kandung Sunan
Giri (Raden Paku). Bersama Sunan Giri beliau menuntut ilmu disana. Pulang dari pasai
Sunan Bonang diminta berdakwah ke daerah Tuban, Pati, Madura, dan Pulau Bawean di
utara Pulau jawa. Di Tuban beliau mendirikan Pondok Pesantren. Sementara itu, Sunan
Giri berdakawah di daerah Gresik dan mendirikan Pondok Pesantren disana.
Dalam melaksanakan dakwahnya, Sunan Bonang menggunakan alat kesenian daerah
berupa gamelan Bonang yang di pukul dengan kayu. Sunan bonang sendiri yang
menabuhnya dan karena suara gaung bonang yang sangat menyentuh hati rakyat sekitar
sehingga banyak rakyat yang berbondong-bondong datang ke mesjid. Selain bertembang
Sunan Bonang selalu memberikan penjelasan maksud dari tembangnya tersebut.
Tembangnya berisi ajaran-ajaran agama Islam. Dikalangan masyarakat Sunan Bonang
dikenal dengan Sang Mahamuni.
Pada masa hidupnya, Sunan bonang banyak berperan dalam perjuangan Kerajaan
Islam Demak serta berpartisipasi dalam pembangunan Mesjid Agung Demak. Sunan
Bonang pun berperan dalam pengangkatan Raden Patah sebagai raja Islam Demak.
Ketika mengajarkan ilmu agam Islam Sunan Bonang menggunakan buku-buku karangan
para ahli Tasawuf yaitu Ihya Ulumuddin, Al-anthaki, dan beberapa tulisan karya Abu
Yazid Al-Bustami dan Syaikh Abdul Qadir Al-jailani.109
Kedudukan Tasawuf menurut Sunan Bonang paling penting karena dapat
menunjukan setiap muslim terhadap mencintai Allah dan Rasulnya secara hakiki.
Menurutnya manusia harus menjauhi tiga musuh utama, yaitu dunia, hawa nafsu, dan
setan. Menurut sbeberapa pendapat sejarawan, naskah ajaran sunan bonang merupakan
paling lengkap diantara naskah para wali lainnya. Didalam Naskah tersebut di katakan
bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari Syaikh Jumadil Kubro yang merupakan
ayahanda Maulana Malik Ibrahim. Ajaranya diturunkan kepada Sunan Ampel selanjutnya
kepada Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

109

Ibid., hlm.52

33

Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean pada tahun 1525 M, dikisahkan bahwa ketika
jenazah hendak dikuburkan terjadi perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang,
Tuban. Warga Bawean ingin beliau dikuburkan di daerahnya karena beliau berdakwah di
pulau tersebut, tetapi warga Bonang tidak mau terima, sehingga pada malam harinya
diam-diam mereka mencuri jenazah Sunan Bonang. Namun aneh, keesokan harinya
ketika jenazah Sunan Bonang hendak di kebumikan. Jenazahnya tetap ada baik di
Bonang maupun di Bawean. Oleh karena itulah , hingga sekarang makam Sunan Bonang
terdapat didua tempat. Satu di Pulau Bawean dan yang satunya lagi di Bonang, Tuban.
4. Sunan Drajad ( Raden Qasim)
Nama lain dari Sunan Drajad adalah Raden Qosim atau Syarifudin beliau hidup
pada zaman Majapahit akhir sekitar tahun 1478 M. Belum ada keterangan sejarah yang
pasti mengenai kapan dan dimana Sunan drajad dilahirkan. Namun berdasarkan beberapa
babad dan referensi sejarah Sunan Drajad merupakan putra dari Sunan Ampel hasil
pernikahannya dengan Candrawati alias Ni Gede Manila. Dikisahkan bahwa sejak
berusia muda Sunan Drajad telah diperintahkan ayahnya untuk menyebarkan agama
Islam di pesisir Gresik. semasa muda beliau dikenal dengan raden Qasim. Sebenarnya
masih banyak lagi nama-nama lain dari beliau berdasarkan beberapa Naskah kuno.
Diantaranya beliau dikenal dengan nama Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan
Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifudin,
Pangeran Kadrajat dan Masaikh Munar110.
Raden Qosim menghabiskan masa anak-anak dan remajanya di Ampeldenta. Beliau
didik secara ketat hingga akhirnya menjadi Wali. Setelah dewasa beliau diminta untuk
menyebarkan agama Islam di pesisir Gresik. Perjalananya ke Gresik menjadi sebuah
legenda. Dikisahkan bahwa ketika beliau hendak menuju Gresik, kapal yang di
tumpanginya terkena ombak, Raden Qosim selamat dengan berpegang pada Dayung
perahu tersebut. Setelah kejadian itu, datang dua ekor ikan menolongnya, kedua ikan
tersebut adalah ikan Cucut dan Ikan Talang. dengan pertolongan kedua ikan tersebut
Raden Qosim terdampar di sebuah tempat bernama Kampung Jelak, banjarwati. Disana
beliau bertemu dengan Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Kedua Mbah tersebut
telah memeluk agama Islam. Raden Qosim kemudian menetap di Jelak dan menikah
110

Ibid.,hlm.71

34

dengan Kemuning yang merupakan putri dari Mbah Mayang Madu. Di jelak Raden
Qosim mendirikan pondok pesantren sebagai tempat belajar ilmu agama ratusan
penduduk. Jelak dulunya merupakan dusun kecil yang terpencil, lambat laun berkembang
menjadi Kampung yang besar. Tempat itu kemudian diberi nama Desa Drajat karena letak
geografisnya yang berupa dataran tinggi.
Sunan Drajad menikahi tiga perempuan, selain menikah dengan kemuning, Sunan
Drajad menikahi Retnayu Candra Sekar, yang merupakan putri Adipati Kediri yaitu
Raden Suryadilaga. Sementara itu, menurut babad Cirebon, istri Raden Qosim yang
pertama adalah Dewi Sufiyah, Putri Sunan Gunung Jati. Menurut sejarah Raden Qosim
sebelum sampai di L:amongan, terlebih dahulu dikirim oleh ayahnya untuk berguru dan
mengaji kepada Sunan Gunung Jati. padahal, Sunan Gunung Jati sendiri merupakan
murid dari Sunan Ampel111. Raden Qosim dikenal dengan wali yang dapat menaklukan
makhluk halus. Ketika pusat dakwahnya pindah ke perbukitan selatan Lamongan, baliau
banyak menemui masalah, penduduknya banyak yang kesurupan dan terkena penyakit
akibat pembukaan lahan baru tersebut. lahan itu merupakan daerah yang angker. Namun,
berkat kesaktiannya. beliau dapat mengatasinya hingga wilayah tersebut menjadi wilayah
yang ramai di kunjungi penduduk. Atas saran dari Sunan Giri, wilayah tersebut ditempati
Sunan Drajat sebagai tampat berdakwah. Disana beliau mendirikan mesjid dan tempat itu
kini bernama Ndalem Duwur.
Sunan drajad wafat pada tahun 1522 M, di tempatnya yang dulu terdapat museum
yang berisi barang-barang peninggalan Sunan Drajad. sisa hidupnya beliau habiskan di
Ndalem Duwur hinnga menjelang wafatnya.

Sunan Drajad terkenal dengan

kedermawanannya, hal ini karena beliau sangat dekat dengan kaum jelata. Petuahnya
yang terkenal adalah Bapang den simpangi, ana catur mungkur, yang mengandung
maksud jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekan orang lain, apalagi
melakukan perbuatan itu. Dalam berdakwah beliau memperkenalkan Konsep BilHikmah yaitu dengan cara-cara yang bijak dan tanpa memaksa. dalam berdakwah beliau
melaksanakan lima cara yang dianggapnya paling efektif yaitu : pertama lewat pengajian
secara langsung di mesjid dan di langgar-langgar, kedua melalui pendidikan di pesantren,
keempat melalui kesenian tradisional, tembangnya yang terkenal adalah tembang pangkur
111

Ibid.,hlm.75

35

dengan diiringi gamelan, dan terakhir melalui ritual adat tradisional selama tidak
bertentangan dengan ajaran agama Islam (Akulturasi Budaya)112.
5. Sunan Giri (Raden Paku)
Nama lain Sunan Giri adalah Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin. Sunan Giri
hidup sekitar tahun 1356 1428 M, ayahnya bernama Maulana Ishaq yang berasal dari
Pasai serta ibunya bernama Sekardadu , Putri Raja Blambangan. Nama kecil sunan giri
adalah Jaka Samudra masa kecilnya diasuh oleh seorang janda kaya bernama Nyai Gede
Pinatih, sebagian sumber menyebutnya Nyai Samboja. Ketika dewasa beliau berguru
kepada Sunan Ampel, dan oleh Sunan Ampel beliau diberi gelar Raden Paku. Sunan Giri
mengikuti jejak ayahnya Syekh Awwalul Islam atau Maulana Ishaq menjadi seorang
mubalig, beliau bersama Sunan Bonang diperintahkan Sunan Ampel pergi ke Mekkah
untuk menuntut ilmu tetapi mereka singgah terlebih dahulu kepada Maulana Ishaq untuk
berguru padanya di Pasai. ketika kembali Sunan Giri melanjutkan dakwahnya di Gresik
sementara Sunan Bonang berdakwah disekitar pesisir utara Jawa Timur. Berdasarkan
beberapa sumber, Maulna Ishaq merupakan seorang ulama yang berasal dari Gujarat yang
masih saudara dengan Maulana Malik Ibrahim, ayah Sunan Ampel. keduanya merupakan
Putra dari Syekh Jumadil Qubra, dari sini kita simpulkan bahwa Sunan Giri merupakan
sepupu sekaligus murid Sunan Ampel.
Raden paku mendirikan Pesantren Giri, di perbukitan Desa Sidomukti, Kebomas.
pesantren ini didirikan atas tekadnya yang kuat untuk berdakwah. Sejak saat itu Sunan
Giri dikenal . dan dalam Bahasa Sanskerta Giri berarti Gunung. Pesantren Giri terkenal
hingga keluar jawa dan seluruh Nusantara. Bahkan menurut babad tanah jawi muridmurid Sunan Giri meluas sampai ke Cina, Mesir, arab, dan Eropa. Pesantren tersebut
merupakan pusat ajaran tauhid dan fiqih113.
Ketika Sunan ampel wafat , ketua para wali selanjutnya berpindah kepada Sunan
Giri. Sunan Giri diangkat menjadi Ketua atas usul dari Sunan Kalijaga, Beliau di beri
gelar Prabu Satmata. Dikalangan para wali, sunan Giri terkenal dengan ahli ilmu politik
dan Tata Negara. Beliau pernah menyusun sebuah Undang-undang ketataprajaan dan
pedomatan tata cara di keraton. Menurut De graaf , lahirnya kerajaan Islam Demak,
112

Ibid., hlm.74
Ibid., hlm.92

113

36

Kerajaan, Pajang, dan Mataram tidak lepas dari campur tangan Sunan Giri. Pengaruhnya
meluas keseluruh Nusantara. Menurut naskah sejarah Through Account Of Ambon.
Kedudukan Sunan Giri diibaratkan Paus pada Umat Katholik Roma, sedangkan menurut
kaum muslimin diibaratkan Khalifah.
Pada saat kerajaan Majapahit Runtuh tahun 1478 M, di Jawa, kerajaan Islam Demak
tampil sebagai penggantinya. Saat itu, Sunan Giri dipercaya untuk meletakan dasar-dasar
kerajaan masa perintisan. dan selama 40 hari Sunan Giri memangku Jabaatn tersebut ,
yang selanjutnya jabatan diserahkan kepada Raden Patah. Sunan Giri sendiri sudah lama
menjadi raja Giri Kedaton sejak tahun 1470 M. di Gresik Kewalian Giri Kedaton sangat
di hormati dan di segani sampai kepada keturunannya. Urusan politik diwilayah tersebut
diserahkan kepada Keawalian Giri Kedaton. Keawalian ini jatuh kepada Panembahan
Senapati Mataram , tepatnya pada masa Sunan Giri III. Sunan Giri Wafat pada tahun
1506 M, dalam usia 63 tahun. Makamnya terdapat di Desa Giri, Kebomas, Kab. Gresik.
6. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang terkenal dikalangan masyarakat jawa.
Beliau ulama yang sakti dan cerdas, nama kecilnya Raden Sahid, merupakan putra dari
Tumenggung Wilwatikta, Adipati Tuban yang sudah menganut agam Islam, namanya
berubah menjadi Raden Sahur. beliau menikah dengan Dewi Nawangrum, dan hasil
pernikahannya lahirlah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada 1430-an.
Kisah masa muda Sunan kalijaga sungguh sangat krusial, dia adalah seorang buronan dan
perampok. Terdapat dua versi mengenai cerita masa muda beliau. Versi pertama
mengatakan bahwa Sunan Kalijaga merupakan pencuri dan perampok harta milik
kerajaan dan orang-orang kaya yang pelit. hasil dari rampokannya itu, ia bagikan kepada
rakyat jelata yang miskin dan terlantar. Versi kedua mengatakan bahwa Raden Sahid
merupakan seorang perampok dan pembunuh yang jahat. Mengenai Jalan hidupnya
banyak terangkum dalam Naskah-naskah kuno jawa.
Menurut sejarah Raden Sahid diusir oleh keluarganya dari kerajaan karena katahuan
merampok, setelah itu dia berkeliaran dan berkelana tanpa tjuan yang jelas, hingga
kemudian menetap di hutan Jatiwangi sebagai seorang yang berandal dan suka
merampok. Dalam babad demak disebutkan bahwa Raden Sahid bertemu dengan Sunan
Bonang. Karena kagummelihat kesaktian Sunan Bonang, Raden Sahid bergurunya
37

kepadanya dengan syarat beliau harus bertobat dengan dikubur hiduphiduo selama
Seratus hari di hutan. Raden Sahidpun mentanggupunya dan melaksanakan perintah
Sunan Bonang tersebut. Sepulang dari Mekkah Sunan Bonang menengok Raden Sahid
yang telah seratus hari dikubur hidup-hidup Disana Sunan Bonang membuat Raden Sahid
siuman dan menjadikannya sebagai murid dan saudara yang paling beliau sayangi. kini
Raden Sahid yang dulu berandal berubah menjadi seorang wali dan ulama yang cerdas
dan budayawan. Beliau dinikahkan dengan adik Sunan Bonang kemudian diberi gelar
Syeh Melaya114.
Berdasarkan babad tanah jawi , Sunan Kalijaga hidup pada empat dekade
pemerintahan, yaitu pada masa Majapahit (sebelum tahun 1478), Kesultanan Demak
(1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568) serta awal pemerintahan Mataram Islam
(1580-an). Jika demikian halnya berarti beliau hidup selama sekitar 150-an 115. Jalur
dakwah beliau meliputi jawa tengah hingga Cirebon, jawa barat. Di Cirebon beliau
bertemu dengan Sunan Gunungjati dan dinikahkan dengan adiknya Siti Zaenab. Cara
dakwah Sunan Kalijaga berbeda dengan para wali lainnya. Beliau berani memadukan
dakwahnya dengan seni budaya yang telah menjadi kebiasaan adat masyarakat jawa.
Seperti berdakwah dengan wayang, gamelan, tembang, ukir dan batik.
Sunan Kalijaga banyak berperan dalam mendirikan Mesjid Agung Demak selain
senagai seorang pendakwah, Sunan Kalijaga terkenal dengan Budayawan. Ajarannya
yang terkenal disebut dengan Narima ing pandum, yang di uraikan dengan Sikap rela,
narima, temen, sabar, dan budi luhur116. Cara dakwah Sunan Kalijaga mengandung
perdebatan dikalang para wali, karena Sunan Kalijaga mengakulturasikan adat dengan
Syariat Islam sehingga menimbulkan sedikit perbedaan pendapat. Meskipun demikian
semua wali tetap bersatu. Semuanya menyadari akan kondisi masyarakat saat itu.
Diantara para wali yang satu aliran dengan Sunan Kalijaga dalam berdakwah adalah
Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Kudus. Sedangkan cara berdakwah yang sedikit
puritan adalah Sunan Ampel dan Sunan Drajad.

114

Slamet Riyadi dan Suwaji, Runtuhnya kerajaan Hindu...,hlm.21-24


Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo...,hlm.177
116
Ibid., hlm.179
115

38

Sunan Kalijaga mengahabiskan sisa hidupnya di Kadilangu Demak, disana beliau


hidup bersama istrinya Dewi Sarah yang merupakan putri dari Maulana Ishaq,
dakwahnya terus berlanjut dari pesisir utara Demak hinnga daerah pedalaman. Dan dari
pernikahannya dengan Dewi Sarah, dikaruniai tiga orang anak, salah satunya yang
menjadi anggota wali songo adalah Sunan Muria. Dua orang putrinya bernama Dewi
Rukayyah dan Dewi Sofiah. Belum ada keterangan sejarah yang rinci mengenai kapan
Sunan Kalijaga wafat. makamnya sekarang terdapat di Kadilangu Demak.
7. Sunan Kudus (Jafar Shadiq)
Sunan Kudus lahir sekitar abad 15 M bertaepatan dengan abad 9 Hijriyah, ayahnya
bernama Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, Blora.
Sunan Kudus masih merupakan keturunan dari Sayyidina Husein Bin Ali Bin Abi Thalib.
Kakek Sunan Kudus adalah saudara Sunan Ampel. Ayahnya menikah dengan Nyai
Syarifah, yang merupakan cucu dari Sunan Ampel. Dari hasil perkawinannya lahirlah
Jafar Shadiq. Berdasarkan hal tersebut kita simpulkan bahwa Sunan Kudus masih
mempunyai hubungan pertalian darah dengan Sunan Ampel. Meskipun bergelar kudus,
sunan kudus bukahlah berasal dari Kudus, beliau datang dari demak dan bertugas
mnyebarkan Agama Islam di sana. Sunan kudus juga memiliki nama lain yaitu Jafar
Shidiq atau Dja Tik Su ( Nama Cinanya)117.
Sunan Kudus berdakwah di daerah Kudus, pada waktu pertama kali menginjakann
kakinya wilayah tersebut bernama Tajug, dan menurut cerita setempat sebelum
kedatangan sunan kudus, kota Tajug mula-mula di kembangkan oleh Kyai Telising yang
Bergama islam. hal ini berarti sebelum kedatangan Sunan Kudus agama Islam sudah
berkembang tetapi belum meluas. Di kudus, jafar shadiq memiliki jamaah yang konon
jamaah tersebut merupakan para santri dan tentara Demak yang beliau bawa ketika
hendak berperang melawan kerajaan Majapahit. Di kudus Jafar Shadiq menggarap lahan
pertanian sebagai penghasilan utamanya.
Sunan kudus meruapakan sosok wali yang dihormati dan disegani oleh kawannya,
beliau terkenal dengan wali yang paling pemberani. Selain itu, disamping beliau
memegang kekuasaan, juga memegang Senapati dari kerajaan Islam Demak, jabatan itu
sesuai dengan kepribadaian Beliau yang disiplin, kuat serta gagah berani. Beliau
117

Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan..., hlm. 95

39

merupakan Senapati yang banyak berkorban dalam mempertahankan Kerajaan Islam


Demak. Di Kudus beliau mendirikan mesjid yang bernama Menara Kudus. dan nama
Sunan Kudus tertera dalam Inskripsi mesjid tersebut. Mesjid itu didirikan pada tahun 956
H bertepatan pada tahun 1549 M, mesjid tersebut dijadikan sebagai pusat dakwah Sunan
Kudus. Dalam mengajarkan agama Islam Sunan Kudus mengikuti jejak Sunan Kalijaga,
yaitu menggunakan tut wuri handayani yang berarti Sunan Kudus tidak menggunakan
cara-cara yang bersifat keras, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit .
karena kondisi pada saat itu sebagian besar masyarakat kudus beragama Hindhu- Budha.
Cara beliau berdakwah yaitu dengan memasukan syariat dan ajaran Islam kedalam adat
kebiasaan masyarakat. Cara simpatik beliau dalam mnyebarkan Islam membuat para
penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama islam darinya. Kebiasaan
unik lainnya yang biasa Sunan Kudus laksanakan dalam berdakwah yaitu acara bedug
dandang, yang berupa kegiatan menunggu datangnya bulan suci Ramadhan. kegiatan ini
dilaksanakan di mesjid dengan mengundang para jamaah mesjid. Sunan Kudus terkenal
juga dengan seribu satu kesaktiannya 118. Banyak cerita dan legenda dari masyarakat
sekitar yang mengambarkan tentang kesaktian beliau.
Didalam babad tanah jawi serta beberapa babad yang lainnya menyebutkan bahwa
nama kecil Sunan Kudus adalah Raden Ngudung, beliau pernah memimpin tentara
Demak untuk melawan kerajaan Majapahit. Disebut pula dalam sejarah bahwa Sunan
Kuduslah yang membunuh Syekh Siti Jenar, beliau dibunuh karena mengajarkan ilmu
yang di pandang sangat berbahaya bagi pemeluk Islam pemula. Sunan Kudus wafat pada
tahun 1550 M atau 960 H, dan makamnya terletak di Kudus.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria merupakan putra dari Sunan Kalijaga, hasil perikahannya dengan Dewi
Sarah yang merupakan putra Maulana Ishaq. Nama kecil beliau adalah Raden Umar Said,
Raden Said, atau Raden Prawata. Istrinya bernama Dewi Sujinah, kakak kandung Sunan
Kudus. Putranya bernama Pangeran Santri. Jalur dakwah beliau meliputi lingkungan
Gunung Muria, oleh karena itu beliau dikenal dengan Sunan Muria. Daerah dakwah
Lainnya meliputi pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara Jawa. Belum ada
tanggal yang pasti kapan beliau dilahirkan. Keterangan sejarah yang ada hanya berbentuk
118

Solichin Salam, Sekitar Wali Songo, (Penerbit Menara Kudus) hlm.16

40

dongeng dan cerita rakyat yang perlu penelitian. Padepokan Sunan Muria terletak di
Colo, lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter diatas permukaan laut119.
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa Sunan Muria mmerupakan Putra Raden
Usman Haji alias Sunan Ngudung. Jika demikian benar adanya, berarti Sunan Kudus dan
Sunan Muria masih bersaudara. Pendapat ini dikemukakan oleh Darmowarsito dalam
tulisanya Pustaka Darah Agung. Pendapat lain menyebutkan bahwa Sunan Muria adalah
keturunan Tionghoa, hal ini berdasarkan ayahnya Sunan Kalijaga seorang kapitan yang
bernama Gan Sie Cang120. Hal ini didasarkan pada naskah kuno yang ada di Klenteng
Sam Po Kong , Semarang.
Cara dakwah Sunan Muria terkenal dengan dakwahnya yang Moderat, mengikuti
jejak ayahnya Sunan Kalijaga. Beliau mengakulturasikan adat dan budaya setempat
dengan Syariat Islam. Sunan Muria juga terkenal dengan dakwahnya yang disebutTapa
Ngeli, yaitu berdakwah dengan menghanyutkan diri dalam masyarakat. Pengaruh
ajarannya hingga sekarang sangat besar. Belum ada keterangan yang pasti mengenai
kapan beliau wafat. Meskipun demikian , komplek pemakaman Sunan Muria hingga
sekarang tetap di Desa Colo, kaki Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati merupakan seorang wali yang berasal dari Pasai. Beberapa
sumber mengatakan bahwa nama lain Sunan Gunung jati adalah Faletehan atau Fatahilah.
Sementara pendapat lain mngatakan bahwa Sunan Gunung Jati berasal dari Persia dan
Arab. Sampai sekarang belum ada catatan sejarah yang pasti mengenai kelahiran beliau.
Dan berdasarkan beberapa babad dan sumber sejarah beliau mempunyai banyak nama,
diantaranya : Muhammad, Nuruddin, Syekh nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiyyah, Syekh
Madzkurullah, Syarif Hidayatullah, Makdum jati121.
Sejak kecil Sunan Gunung Jati belajar ilmu agama dari orang tuanya di Pasai. Ketika
menginjak usia dewasa , wilayah Pasai diduduki oleh bangsa Portugis yang datang dari
malaka yang pada saat itu telah jatuh ke tangan portugis. Akibat pendudukan Portugis di
Pasai. Banyak penduduk memberontak dan melakukan peperangan. Faletehan mengungsi
119

Budiono Hadi Sutrisno Sejarah Wali Songo...,hlm.135


Slamet Mulyana, Runtuhnya kerajaan..., hlm.99

120

121

Solichin Salam, Sekitar Wali Songo..., hlm.56

41

ke tanah suci mekkah dan di sana beliau memperdalam ilmu agama Islam. Disana beliau
tinggal kurang lebih 3 tahun. Faletehan datang kembali ke tanah airnya dan pergi ke
Pulau Jawa. Kedatangannya di sambut baik oleh Kerajaan Islam Demak yang saat itu
mencapai puncaknya berada di bawah pemerintahan Raden Trenggono (1521-1546).
Ketika datang ke pulau Jawa, beliau berdakwah di daerah jawa bagian barat. Berkat
dakwahnya , banyak rakyat jawa barat yang memeluk agama Islam. Raden Trenggono
pun menaruh simpati kepadanya sehinnga Falaetehan dinikahkan dengan adik Raden
Trenggono. Dakwahnya terus berlanjut, Raden Trenggono memerintahkan Faletehan
untuk memimpin ekspedisi ke Banten dan Sunda Kelapa yang masyarakatnya masih
beragama Hindu-Budha dan berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Faletehan berangkat
bersama pasukannya dari Demak dan berhasil menjatuhkan Pajajaran serta mengislamkan
wilayah tersebut. Setahun kemudian, Cirebon jatuh di bawah kekuasaannya dan berhasil
mengislamkan penduduk di wilayah tersebut (1528). Dalam kurun waktu yang tidak lama
Faletehan berhasil menaklukan Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sehingga beliau
telah berhasil merintis hubungan antara Banten, Sunda Kelapa, Cirebon dengan Demak,
Jepara, Kudus, Tuban, dan Gresik.122 Meskipun Jawa Barat dan sekitarnya berada pada
kekuasaan beliau , namun kekuasaan tertinggi tetap berada di bawah kerajaan Islam
Demak. Setelah Raden Trenggono wafat, terjadi perselisihan antara Hadiwijaya dengan
Adipati Jipang Arya Penangsang, kerajaan Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa
memisahkan diri dari kerajaan Demak. Setelah itu, beliau tidak lagi menetap di Demak,
tetapi mengembangkan dakwahnya di Cirebon sampai menjelang wafatnya pada tahun
1570 M dan makamnya terletak di Gunung Jati , Cirebon.
C. Peran Walisongo dalam Penyebaran dan Perkembangan Islam di Indonesia.
Sejarah walisongo berkaitan dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa.
Sukses gemilang perjuangan para Wali ini tercatat dengan tinta emas. Dengan didukung
penuh oleh kesultanan Demak Bintoro, agama Islam kemudian dianut oleh sebagian besar
manyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan. Islam benar-benar
menjadi agama yang mengakar(123).
122

Ibid., hlm.58
Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,.. hlm. 5

123

42

Para wali ini mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat
mengajarkan agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan
lembaga pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal
perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut gurukula, yaitu seorang guru
menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya tidak
masal bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain prinsip-prinsip
keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan,
kekebalan, dan bela diri(124).
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan dawah atau dewan mubaligh.
Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti
oleh walilainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di
Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah
secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang
lain(125).
Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam
penyebaran agama Islam antara lain:
1.

Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum

2.

banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.


Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama

3.
4.

Islam di masa hidupnya.


Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah

5.

kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.


Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang
mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.

124

Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,.. hlm. 5
http://zulfanioey.blogspot.com/2008/12/peran-walisongo-dalam-penyebaran-islam.html,16-042013, 08.30
125

43

6.

Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para

7.
8.

muridnya.
Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.

Berkat kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam
menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara.
BAB IV

Sejarah dan Pokok Pikiran Nahdlatul Ulama (NU)


A. Sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama
Memahami Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan,
secara komprehensip dan proporsional, maka tidak dapat mengesampingkan aspek-aspek
historis (aspek sejarah), yaitu peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan mendorong
lahirnya Nahdlatul Ulama126.
Pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu
terorganisasi. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat.
Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun kematian kyai, secara berkala mengumpulkan
masyarakat sekitar atau pun para mantan murid pesantren mereka yang kini tersebar di
seluruh nusantara. Selain itu. Perkawinan di antara anak-anak para kyai atau para murid
yang baik, sering kali mempererat hubungan ini. Tradisi yang mengharuskan seorang
santri pergi dari satu pesantern ke pesantren yang yang lainnya guna menambah ilmu
pengetahuan agamanya juga ikut andil dalam memperkuat jaringan ini127.
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi , NU telah ada dalam bentuk komunitas
(jamaah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karekter Ahlu asSunnah Wa al-Jamaah. Wujudnya sebagai organisasi tidak lain adalah penegasan formal
dari mekanisme informal para ulama sepaham. Arti penting dibentuknya organisasi ini
tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi
126

Peristiwa-peristiwa yang paling mendasar melatarbelakangi lahirnya NU adalah: adanya


pertentangan pendapat antara Islam Tradisionalis dengan Islam Modern, semangat nasionalisme, basis
sosial Islam Tradisional dan peristiwa-peristiwa internasional dsb. Uraian selengkapnya
lihat www.nu.online.or.id. Sejarah NU, hlm. 1-2. atau M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik
Kenegaraannya, cet, I (Yogyakarta: Al-Amin Press. 1996), hlm. 21.
127
Andree Feillard, NU vis--vis Negara, alih bahasa Lesmana cet. I (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm.
7-8.

44

jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika itu
telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah128.
Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat
Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah suci, sejak dibukanya Terusan
Suaez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran
pembaharuan dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad bin
Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai Gerakan atau Paham Wahabiyah, maupun
pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani yang kemudian dilanjutkan oleh
Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara jamaah haji Indonesia
dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Oleh karenanya, ketika kembali ke Tanah
Air, para jamaah haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsurunsur yang dianggap dari tradisi di luar Islam129.
Tidak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat.
Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran
Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi
lokal130. Tradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan
yang dikenal sebagai kelompok tradisionalis ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam
itu dengan cemas. Sebab tidak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal
akan munggunguncang keyakainan masyarakat. Terlebih lagi, upaya itu ternyata mulai
berindikasi pendrobakan taradsisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para ulama
pesantren.
Oleh karenanya, pada abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seseorang yang
sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH. Abdul Wahab
Hasbullah131, mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan seorang kyai asal
128

A. Gafar Karim, Metamorfosis: NU dan Politisasi Islam Indonesia, cet, I (Yogayakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hlm. 47.
129
Ibid., hlm. 47-48
130
Ibid., hlm. 48
131
KH. Abdul Wahab Hasbullah dilahirkan pada tahun 1888 di Jombang, Jawa Timur. Sejak kecil
beliau telah menerima pendidikan Islam di tingkat dasar sampai berusia 13 tahun dari ayahnya sendiri, KH.
Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Tambak Baras Jombang. Setelah itu beliau meneruskan ke
Pesantren Langitan selama satu tahun, kemudian melanjutkan ke Pesantren Mojosari di Nganjuk, Jawa
Timur. selama empat tahun, selanjutnya beliau memperdalam ilmu agamanya ke Pesantren Kademangan di
Bangkalan, Madura. Yang diasuh oleh KH. Kholil, kemudian melanjutkan ke Pesantren Tebuireng untuk
belajar ilmu alat kepada KH. Hasyim Asyari, setelah dari Tebuireng kemudian KH. Abdul Wahab
Hasbullah melanjutkan belajar ke Arab Saudi. M. Yeonus Noor dan Ismail S. Ahmad, KH. Abdul Wahab

45

Jombang Jawa Timur yang sangat disegani, KH. Hasyim Asyari. Sejak bermukim di
Makkah, Kyai Wahab aktif di Sarekat Islam (SI). Sebuah perkumpulan saudagar muslim,
yang sejak semula bertujuan untuk memompa semangat nasionalisme dan menangkal
para pencuri dengan sistem ronda serta memperbaiki posisi pedagang muslim, Arab,
dan Jawa, dalam bersaing mengahadapi keturunan Tionghoa132. Kyai Wahab juga berkerja
sama dengan tokoh nasionalis, Soetomo, dalam sebuah kelompok diskusi, Islam Studie
Club.
Keterlibatan Kyai Wahab dalam SI tampaknya kurang memberikan kepuasan pada
dirimya, karena dalam perkembangannya SI lebih cenderung mengarah kepada
persoalan-persoalan politik133. Sebenarnya Kyai Wahab menginginkan untuk membangun
semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan. Sebab dengan demikian langkah yang
ditempuh selain mengobarkan semangat perjuangan juga membangun dan meningkatkan
kapasitas intelektual para pemuda.
Untuk mewujudkan obsesinya tersebut Kyai Wahab ketika bertemu dengan Kyai Mas
Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, mengajak berunding untuk
mendirikan sebuah lembaga pendidikan guna mendidik dan mengobarkan semangat
nasionalisme para pemuda dalam rangka memperoleh kemerdekaan RI. Ide yang
dicetuskan oleh Kyai Wahab tersebut nampaknya mendapat sambutan hangat dari tokohtokoh masyarakat. Terbukti pada tahun 1916, KH. Wahab mendirikan sebuah madrasah
yang bernama Nahdatu al-Watan (Kebangkitan Tanah Air), dengan gedungnya yang
besar dan bertingkat di Surabayamadrasah ini mempunyai tujuan untuk mendidik para
remaja guna mendapat ilmu pengetahuan agama yang cukup, disamping juga sebagai
markas penggemblengan para pemuda sebagai calon pemimpin muda untuk kegiatan
dakwahyang sering dikenal dengan Jamiyah Nasihin134. Kemudian menjelang tahun
1919, sebuah madrasah baru yang sehaluan berdiri lagi di daerah Ampel, Surabaya,
dengan nama Taswiru al-Afkar,135 yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi
Hasbullah: Santri Kelana Sejati, dalam Huwaidy Abdussami dan Ridwan Fakla AS (ed.), Biografi 5 Rais
Am NU, Cet. I (Yogyakarta: LTN-NU, 1995), hlm. 27-29.
132
Andree Feillard, NU vis--vis Negara, hlm. 8
133
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 41
134
Andree Feillard, NU vis--vis Negara, hlm.9.
135
Taswiru al-Afkar atau dikenal juga dengan Nahdatu al-Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai
wahana pendidikan sossial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdatu
at-Tujjar, (pergerakan kaum sudagar) serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdatul at-Tujjar itu, maka Taswiru al-Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga

46

anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditujukan menjadi sayap untuk membela
kepentingan kelompok Islam Tradisionalis.136
Perdebatan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi semakin seru
pada tahun dua puluhan.137 Sehingga dalam beberapa diskusi, termasuk di forum Sarekat
Islam (SI), KH. Wahab berhadapan dengan Ahmad Soerkati. Seorang guru besar dari
Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan reformasi al-Irsyad. Demikian pula dengan Ahmad
Dahlan, seorang pendiri Muhammadiyah.
Selanjutnya, pada tahun 1924-an merupakan masa-masa ramainya perdebatan
masalah khilafiyah dalam Islam; mengenai bidah, mengenai ijtihad, mengenai madzhab
dan masalah-masalah fiqhiyah lainnya. Berkali-kali telah diadakan munazarah
(perdebetan sehat) untuk menyelesaikan masalah ini. Di Surabaya, munazarah diikuti
oleh para ulama dari berbagai daerah, sebagian di bawah kepimimpinan KH. Abdul
Wahab Hasbullah, sebagian di bawah naungan KH. Mas Mansur, dan sebagian lagi
dipimpin oleh Sorkati. Dalam munazarah ini Kyai Wahab tetap mempertahankan adanya
bermazhab, sementara pihak lain menentangnya dengan gencar, bahkan membidahbidahkan masalah-masalah semacam ziarah kubur, sholat tarawih 20 rakaat, pembacaan
qunut pada saat sholat shubuh dan lain sebagainya, selalu dipertahankan oleh Kyai
Wahab sementara yang lainnya masih tetap menentangnya.138
Masalah-masalah khilafiyah yang diperdebatkan seperti ini, menurut Kyai Wahab
telah dianggap selesai, dan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena masing-masing pihak
mempunyai dasar atau dalil sendiri-sendiri. Dan dalam perdebatan yang diadakan
menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota. Taswiru al-Afkar juga merupakan sebuah kelompok diskusi yang mana kegiatan di dalamnya adalah
membahas persoalan-persoalan agama dan kehidupan masyarakat, yang dipelopori oleh Kyai Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kyai Mas Mansur, Kyai Mangun, dan Kyai Wahab Hasbullah. M.
Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 33. Atau www.nu.online.or.id. . Sejarah NU, hlm. 1.
136
Dikatakan
kelompok
Islam
Tradisionalis
karena
memiliki
ciri-ciri
sebagai
berikut:Petama, berpegang teguh pada produk fiqh dan kalam serta tasawwuf seperti yang terungkap dalam
kitab-kitab kuning dan tidak suka melakukan pembaharuan ajaran Islam. Apa yeng yang terungkap dalam
teks kitab itu yang dipegangi secara utuh oleh kelompok ini. M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad
Politik, hlm. 11-12.Kedua, tradisi kefeodalan yang masih kental dikalangan mereka, kefeodalan ini
nampaknya memperoleh legitimasi dari kitab Talim al-Mutaallim yang terlalu mengagung-agungkan
seorang guru. M. Mashur Amin. Anatomi Umat Islam, dalamBankit, N0. 6, 1993, hlm. 5962.Ketiga, pintu ijtihad telah tertutup atau setidak-setidaknya sulit dilakukan, karena syarat-syarat yang
harus dipenuhi jauh dari kemungkinan bisa dipenuhi bagi orang biasa. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran
Kaum Santri (Yogayakarta: LKPSM: 1994), hlm. 11-173.
137
Andree Feillard, NU vis--vis Negara, hlm.9.
138
Ali Asad, ke-NU-an. (Yogyakarta: PWNU DIY Prees, 1981), hlm. 19.

47

berulang-ulang kali itu pun, Kyai wahab telah banyak memaparkan dalil-dalil yang kuat
dan tidak dapat dibantah lagi, namun pihak penentang tidak mau menerimanya dengan
alasan kalau dalil yang diutarakan oleh Kyai Wahab adalah alasan yang dibuat-buat.
Walaupun belum berhasil mengajak pihak penentang untuk menerima kebenaran yang
telah disampaikannya itu, akan tetapi Kyai Wahab telah berhasil menunjukkan pada dunia
Islam tentang alasan kebenaran paham yang dianutnyayaitu paham Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jamaahpaham Ahlu al-Mazhabi al-Arbaah. Dan beliau hanya mampu ikhtiar,
sedangkan hidayah hanya bisa diberikan oleh Allah SWT.
Walaupun Kyai Abdul Wahab Hasbullah telah mengakhiri perdebatan itu dengan
penuh toleransi, berjiwa besar dan menganggap perdebatan itu telah selesai segalasegalanya. Namun, kaum pembaharu (reformis) tetap tidak mau mengimbangi sikap
terpuji yang ditunjukkan oleh Kyai Wahab itu, malahan telah berbuat sepihak atau tidak
adil.139 Di antara buktinya adalah, pada bulan Agustus tahun 1925 diadakan kongres alIslam ke-4 yang bermaksud membahas surat undangan yang datangnya dari Raja Ibnu
Saud Arab Saudi, untuk menghadiri pertemuan internasional di Hijaz. Dalam kongres
tersebut forum lebih didominasi oleh kelompok Islam Modern (pembaharu), sehingga
tidak dibicarakan secara jelas hal-hal yang berkaitan dengan Islam Tradisional. Bahkan
terjadi perselisihan mengenai kongres yang mana seharusnya dihadiri hingga akhirnya
kongres berakhir tanpa adanya suatu keputusan yang jelas.140
B. Sejarah Komite Hijaz
1. Komite Hijaz.
Komite Hijaz adalah merupakan cikal bakal kelahiran NU, komite ini dibentuk dan
dimotori oleh KH, Abdul Wahab Hasbullah, atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim
Asyari. Dibentuknya komite Hijaz adalah untuk mengirimkan delegasi Ulama Indonesia
yang akan menghadap raja Ibnu Suud tahun 1925. Misi yang di emban diantaranya
tentang kekhawatiran para Ulama terhadap rencana raja yang akan melarang peribadatan
menurut madzhab di Tanah Haram, dan lain sebagainya.
Semula utusan para Ulama adalah KH, R. Asnawi Kudus, namun karena beliau
ketinggalan kapal dan tidak jadi berangkat, keberatan itu disampaikan melalui telegram.

139

Ibid., hlm.20.
M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hlm. 47.

140

48

Dikarenakan telegram belum mendapatkan jawaban juga, akhirnya berangkatlah KH,


Abdul Wahab Hasbullah sebagai utusan. Secara resmi utusan itu adalah,
1.

KH, Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya).

2.

Syaikh Ghanaim al-Misri (Mesir) akhirnya diangkat sebagai Mustasyar NU.

3.

KH. Dahlan Abdul Qohar (Pelajar Indonesia yang berada di Makah).

Namun yang berangkat dari Indonesia hanya KH. Abdul Wahab Hasbullah. Misi
yang di emban komite ini adalah menemui Raja Saudi (tanah Hijaz) Ibnu Saud, untuk
menyampaikan pesan Ulama pesantren di Indonesia, yang meminta agar Raja tetap
memberikan kebebasan berlakunya hukum-hukum ibadah dalam madzhab empat di
Tanah Haram.
2.

Munculnya Komite Hijaz.

Diantara penyebab munculnya komite Hijaz adalah jatuhnya Kholifah di Turki pasca
Perang Dunia I, dan masuknya Ibnu Saud yang beraliran Wahabi dengan menguasai
Makkah yang menjadi sentral ibadah umat Islam. Ketika itu Saudi berkeinginan
menegakkan kembali khilafah yang jatuh itu dengan menggelar konferensi umat Islam se
dunia, dan dipusatkan di Makah.
Utusan dari Indonesia yang diakui adalah : HOS. Cokroaminoto dan KH. Mas
Mansur, tetapi ikut pula berangkat HM. Suja (Muhammadiyah), H. Abdullah Ahmad
(Sumatera Barat)-H. Abdul Karim Amrullah (Persatuan Guru Agama Islam).
Kemudian KH. Abdul Wahab Hasbullah di coret keanggotaannya dengan alasan
tidak mewakili orga-nisasi. Akhirnya para Ulama Pesantren membentuk tim tersebut
dengan mengatas namakan Jamiyah Nah-dlatul Ulama, meski secara resmi organisasinya
belum didirikan.
Utusan para ulama pesantren dengan nama Komite Hijaz itu menunai hasil gemilang,
yakni janji-janji yang diberikan oleh penguasa hijaz (Raja Ibnu Saud-Arab Saudi),
sebagaimana berikut:
1) Meskipun penguasa Hijaz dan Nejed (Saudi Arabia sekarang) beraliran Wahabi,
tetapi beliau akan bersikap adil serta melindungi adanya ajaran empat mazhab.
2) Tidak dilarangnya pengajaran Ahlu as-Sunnah Wa al-Jamaah (paham yang
berhaluan empat mazhab) yang biasa berlaku dalam Masjid al-Haram sejak
dahulu kala.
3) tidak ada penggusuran makam Nabi Muhammad Saw, dan para Shahabatnya
49

4) Tidak akan mengganggu atau melarang orang-orang yang akan berziarah ke


makam-makam yang ada di wilayah Hijaz dan Nejed, terutama makam-makam
yang bersejarah. Misalnya, makam-makam para Nabi, Sahabat, dan lain
sebagainya.141
Sepulang dari Makah KH. Abdul Wahab Hasbullah bermaksud membubarkan
Komite itu karena di anggap tugasnya sudah selesai. Tapi keinginan itu dicegah oleh KH.
Hasyim Asyari, komite tetap ber jalan, namun dengan tugas yang baru, yaitu membentuk
organisasi Nahdlatul Ulama, sebagaimana isyarat yang diberikan oleh Syaikhona Cholil
yang dikirimkan melalui salah seorang santrinya, KH. R Asad Syamsul Arifin.
Sewaktu KH. Wahab Hasbullah akan mengumpulkan para Ulama di Surabaya,
tampaknya intelejen Belanda sudah mencium tanda-tanda peristiwa besar akan terjadi di
kota Surabaya. Karenanya me-reka tidak memberikan idzin pertemuan. Tetapi para
Ulama tidak kehabisan cara untuk bisa menga-dakan pertemuan tersebut.
Dengan alasan acara Tahlil dalam rangka Haul Syaikhona Cholil Bangkalan, para
Ulama berkumpul di rumah KH. Ridwan Abdullah di Jl. Bubutan VI Surabaya. Diluar
rumah para undangan membaca Tahlil, sedangkan di dalam rumah para Kyai menggelar
pertemuan untuk mendirikan jamiyah NU. Selesai Tahlil itulah, tepatnya pada tgl. 16Rajab-1344 H / 31-Januari-1926 lahirlah Jamiyah NU. Dilanjutkan juga menyusun
pengurus

besar

NU

yang

terdiri

dari

dua

bagian

yaitu,

Syuriyah

dan

Tanfiziyah.142 Pengurus Syuriyah saat itu adalah:


Rais Akbar

: KH. Hasyim Asyari (Tebuireng, Jombang)

Wakil Rais Akbar

: KH. Dahlan (Kebondalem, Surabaya)

Katib Awal

: KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya)

Katib Tsani

: KH. Abdul Halim (Cirebon)

Awam

: KHM. Alwi Abdul Aziz (Surabaya)


KH. Ridwan (Surabaya)
KH. Said (Surabaya)
KH. Bisyri Syamsuri (Denanyar, Jombang)

141

Janji-janji tersebut selanjutnya termaktup di dalam surat resmi Raja Ibnu Saud, Nomor: 2082,
tanggal 24 Dzulhijjah H/13 Juni 1928 M. Ali Asad, ke-NU-an, hlm. 21-22
142
Ibid., hlm. 22-23.

50

KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)


KH. Nachrawi (Malang)
KH. Amin (Surabaya)
KH. Masykuri (Lasem)
KH. Nachrawi (Surabaya)
Musytasyar

: KHR. Asnawi (Kudus)


KH. Ridwan (Semarang)
KH. MS. Nawawi (Sidogiri, Pasuruan)
KH. Dhoro Muntaha (Bangkalan, Madura)
Syeikh Ahmad Ghonaim Al-Mishry (Mesir)
KHR. Hambali (Kudus).

Sedangkan pengurus Tanfiziyah adalah:


Ketua

: H. Hasan Gipo (Blora, Surabaya)

Seketaris

: Muhammad Shiddiq (Pemalang)

Bendahara

: H. Burhan (Surabaya)

Pembantu

: H. Saleh Syamil (Surabaya


H. Ihsan (Surabaya)
H. Jafar (Surabaya)
H. Utsman (Surabaya)
H. Achzab (Surabaya)
H. Nawawi (Surabaya)
H. Dahlan (Surabaya)
H. Mangun (Surabaya)

Latar belakang lahirnya NU tersebut di atas perlu mendapat perhatian, sebab


karakteristik organisasi atau jamiyah ini lebih berakar dari sini. Satu hal yang perlu
dicatat dari proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus
pembaharuan Islam tersebut bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi
inheren dalam dinamika NU selanjutnya.143
C. Paham keagamaan yang dianut Nahdlatul Ulama
143

A. Gafar Karim, Metamorfosis, hlm. 50.

51

Berkembangnya Ahlussunah wal Jama'ah di Indonesia berbarengan dengan


berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali di pulau Jawa, peranan
Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama'ah.
Namun, Ahlussunnah wal Jama'ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk
ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat
ketika itu belum berkembang organisasi.
Perkembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama'ah di Indonesia dengan karakter yang
khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah
sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif
menempatkan Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya.144
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep
Ahlussunnah wal Jama'ah dalam kitab al-Qnn al-Assiy li Jami'yyah Nahdlah
al-'Ulam'. Al-Qnn al-Assiy berisi dua bagian pokok, yaitu :
(1) Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan
bid'ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
(2) Keharusan mengikuti mazhab empat,145 karena hidup bermazahab itu lebih dapat
menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian,
dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafun al-shlih (generasi
terdahulu yang salih)146
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama'ah, KH. M. Hasyim Asy'ari dengan
mengutip dari Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyt, mengartikannya secara bahasa
sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', 'sunnah' adalah sebutan
bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh
Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan
Syeikh Zaruq dalam kitab 'Uddah al-Murd, menurut syara', 'bid'ah' adalah munculnya
perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian
darinya, baik formal maupun hakekatnya. 147

144
145

Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3-4


Lihat "al-Qnn al-Assiy" KH. Hasyim Asy'ari, Ahlussunnah wal Jama'ah, (Yogyakarta: LKPSM,

1999).
146
147

Ibid., hlm. 16
Ibid., hlm. 2

52

Yang menarik dalam Qnn Assiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan
serangan keras kepada Muhammad 'Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn 'Abd alWahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn 'Abd al-Hadi yang telah
mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti
ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit alHanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathr al-Fu'd min Danas al-'Itiqd, KH. M. Hasyim
Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf
maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin
yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.148
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama'ah tersebut
mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak
ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama'ah mengalami
kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal
Jama'ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang
pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama'ah terletak pada prinsip dasar ajaran
Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh
NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama'ah, di antaranya adalah KH. Bisri
Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil
Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah
Hasan.Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama'ah dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, Ahlussunah Wal Jama'ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in
yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian
Ahlussunah Wal Jama'ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan
para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama'ah adalah paham
keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam
bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan
tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf 149

148
149

Ibid., hlm. 8
Tashwirul Afkar, Edisi No 1 Mei-Juni 1997, hlm. 3

53

Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: "Hendaklah kamu sekalian
berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulaf al-rsyidin yang mendapat
petunjuk' (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan
sahabat yang tergolong al-khulaf' al-rsyidn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang
memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: "Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja
di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk". (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah adalah
para tabi'in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi'it-tabi'in (generasi
sesudah tabi'in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi,
yaitu ulama.Nabi Saw. bersabda: "Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpinpemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi" (HR. Ibn 'Ady) 150 . Itu
sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama'ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang
diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi'in, dan generasi berikutnya.
Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa
Ahlussunnah wal Jama'ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para
pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam. 151 Pengertian ini
dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal
Jama'ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah
(sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para
sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi
akidah, fikih, akhlaq, dan jihad152
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal
Jama'ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang
mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali dalam bidang
150

KH. A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, (Yogyakarta: LKPSM, 1999, hlm. 39-41.
Lihat pula KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, (Yogyakarta: LKPSM,1995), hlm. 20.
151
HM. Hasyim, Latif, Ahlussunnah Waljama'ah, diterbitkan Majlis Ta'if Wa Tarjamah LP Maarif
Jawa Timur, 1979, hlm 3.
152
KH. Saefudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Praktek, IPNU
Jakarta, 1976, hlm. 7. Lihat pula KH. M. Tolhah Hasan, Ahlussunnah Waljama'ah, Pengertian dan
Aktualisasinya, dalam Imam Baihaqi (ed), Kontroversi Ahlussunnah wal Jama'ah: Aula Perdebatan dan
Reinterpretasi, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 86-87.

54

fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang
tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf153.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan
dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama'ah. Hal ini bukan berarti NU
menyalahkan mazhab-mazhab mu'tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa
dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih
terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang
terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran
Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama'ah154.
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain.
Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal
Jama'ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama'ah bukan
sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang
digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki
intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu.
Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah sebagai
manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik
yang melingkupinya.155
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam'iyah yang berakidah Islam
Ahlussunnah wal Jama'ah. Dalam Muqaddimah Qnn Assiy-nya, pendiri jam'iyyah
NU, KH. M. Hasyim Asy'ari menegaskan, "Hai para ulama dan pemimpin yang takut
pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah dan pengikut imam empat, kalian
sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini,
kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam.
Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi
pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh
153

A. Wahid Zaini Dunia Pemikiran Kaum Santri, hlm. 51


) KH. A. Muchith Muzadi, NU dan Fiqih Kontekstual, hlm. 29
155
) KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: LKPSM,
1999), hlm 4.
154

55

karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang
memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!"
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur'an, sunnah (perkataan, perbuatan dan
taqrr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para
sahabatnya dan sunnah al-khulaf' al-rasyidn, Abu Bakr al-Shiddiq, 'Umar ibn alKhaththab, 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi
NU, Ahlussunnah wal Jama'ah dimengerti sebagai 'para pengikut sunnah Nabi dan ijma'
para ulama'. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti
oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat
memahami dan menafsirkan ayat al-Qur'an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di
sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw.,
diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama'ah
yang dianut NU, :
pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur'an
dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.
Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di
luar Islam.
Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas
seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan mn, islm dan ihsn
secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut,
NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan
intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap
perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
D. Lambang Nahdlatul Ulama (NU) dan Maknanya
Nahdlatul Ulama adalah merupakan jamiyah yang didirikan di Kertopaten,
Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31
Januari 1926 M. Pertemuan itu, dihadiri oleh ulama se Jawa dan Madura dan diprakarsai
oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang sekaligus sebagai tuan rumah.
1. Lambang
56

Dalam Anggaran Dasar NU, Pasal 4, disebutkan Lambang Nahdlatul Ulama berupa
gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5
(lima) bintang terletak melingkari di atas garis katulisitiwa, yang terbesar diantaranya
terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah
katulisitiwa, dengan tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang melintang dari
sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar
hijau.
2. Arti Lambang
a) Gambar bola dunia: melambangkan tempat hidup, tempat berjuang, dan
beramal di dunia ini dan melambangkan pula bahwa asal kejadian manusia itu dari
tanah dan akan kembali ke tanah.
b) Gambar peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia: melambangkan
bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara
Republik Indonesia.
c) Tali yang tersimpul
melambangkan persatuan yang kokoh, kuat;
Dua ikatan di bawahnya merupakan lambing hubungan antar sesama
manusia dengan Tuhan;
Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah melambangkan Asmaul Husna.
d) Sembilan bintang yang terdiri dari lima bintang di atas garis katulistiwa
dengan sebuah bintang yang paling besar terletak paling atas: melambangkan
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat manusia dan
Rasulullah;
e) Empat buah bintang lainnya: melambangkan kepemimpinan Khulaur
Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib.
f) Empat bintang di garis katulisitiwa: melambangkan empat madzab yaitu
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
g) Jumlah bintang sebanyak 9 (sembilan): melambangkan sembilan wali
penyebar agama Islam di pulau Jawa.
h) Tulisan Arab Nahdlatul Ulama: menunjukkan nama dari organisasi yang
berarti kebangkitan ulama. Tulisan Arab ini juga dijelaskan dengan tulisan NU
dengan huruf latin sebagai singkatan Nahdlatul Ulama.

57

i)

Warna hijau dan putih: warna hijau melambangkan kesuburan tanah air

Indonesia dan warna putih melambangkan kesucian156.


E. Perangkat Organisasi NU
Dalam menjalankan programnya, NU mempunyai 3 perangkat organisasi:
1.

Badan Otonom (Banom)

Adalah perangkat organisasi yang berfungsi melaksanakan kebijakan yang berkaitan


dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
NU mempunyai 10 Banom, yaitu:
a) Jamiyyah Ahli Thariqah Al-Mutabarah An-Nahdliyah (JATMN)
Membantu melaksanakan kebijakan pada pengikut tarekat yang mutabar
(diakui) di lingkungan NU, serta membina dan mengembangkan seni hadrah
b) Jamiyyatul Qurra wal Huffazh (JQH)
Melaksanakan kebijakan pada kelompok qari/qariah (Pembaca Tilawah
Al-Quran) dan hafizh/hafizhah (penghafal Al-Quran).
c) Muslimat
Melaksanakan kebijakan pada anggota perempuan NU
d) Fatayat
Melaksanakan kebijakan pada anggota perempuan muda NU
e) Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Melaksanakan kebijakan pada anggota pemuda NU. GP Ansor menaungi
Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang menjadi salah satu unit bidang
garapnya.
f) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Melaksanakan kebijakan pada pelajar, mahasiswa, dan santri laki-laki.
IPNU menaungi CBP (Corp Brigade Pembangunan), semacam satgas
khususnya.
g) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Melaksanakan kebijakan pada pelajar, mahsiswa, dan santri perempuan.
IPPNU menaungi KKP (Kelompok Kepanduan Putri) sebagai salah satu
bidang garapnya
h) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Membantu melaksanakan kebijakan pada kelompok sarjana dan kaum
intelektual.
i) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi)

156

a) Anggaran Dasar NU b) Pendidikan Aswaja/Ke-NU-an Jilid I, Lembaga Pendidikan Maarif


NU Jatim

58

Melaksanakan kebijakan di bidang kesejahteraan dan pengembangan

2.

ketenagakerjaan.
j) Pagar Nusa
Melaksanakan kebijakan pada pengembangan seni beladiri.
Lajnah
Adalah perangkat organisasi untuk melaksanakan program yang memerlukan
penanganan khusus. NU mempunyai 2 lajnah, yaitu :
a) Lajnah Falakiyah
Bertugas mengurusi masalah hisab dan rukyah, serta pengembangan ilmu
falak (astronomi).
b) Lajnah Talif wan Nasyr (LTN)
Bertugas mengembangkan penulisan, penerjemahan dan penerbitan

3.

kitab/buku, serta media informasi menurut faham Ahlussunnah wal jamaah.


Lembaga
Adalah perangkat departementasi organisasi yang berfungsi sebagai
pelaksana kebijakan, berkaitan dengan suatu bidang tertentu. NU mempunyai 14
lembaga, yaitu:
a) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan dakwah agama Islam
yang menganut faham ahlussunnah wal jamaah.
b) Lembaga Pendidikan Maarif (LP Maarif NU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan dan pengajaran formal
c) Rabithah Maahid al-Islamiyah (RMI)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan pondok pesantren.
d) Lembaga Perekonomian NU (LPNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan ekonomi warga
e) Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU)
Melaksanakan kebijakan di bidangan pengembangan pertanian,
lingkungan hidup dan eksplorasi kelautan.
f) Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKKNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesejahteraan keluarga, sosial, dan
kependudukan.
g) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan pengembangan
sumberdaya manusia.
h) Lembaga Penyuluhan dan Pemberian Bantuan Hukum (LPBHNU)
Melaksanakan penyuluhan dan pemberian bantuan hukum.
i) Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan seni dan budaya.
j) Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZISNU)
59

Bertugas menghimpun, mengelola, dan mentasharufkan (menyalurkan)


zakat, infaq, dan shadaqah.
k) Lembaga Waqaf dan Pertanahan (LWPNU)
Mengurus, mengelola serta mengembangkan tanah dan bangunan, serta
benda wakaf lainnya milik NU.
l) Lembaga Bahtsul Masail (LBM-NU)
Membahas dan memecahkan masalah-masalah yang maudluiyah
(tematik) dan waqiiyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.
m) Lembaga Tamiri Masjid Indonesia (LTMI)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan dan pemberdayaan
masjid.
n) Lembaga Pelayanan Kesehatan (LPKNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesehatan.
F. Sikap Kemasyarakatan NU
Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang sedang dilakukan,
maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan
bangsa harus mempunyai sikap dan pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam
pembangunan tersebut. Sikap dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi
pedoman dan acuan warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan
bernegara. Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan
faham keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat:
tawasut dan itidal, tasamuh, tawazun dan amar maruf nahi munkar.157 Sikap ini harus
dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi
dan bermasyarakat:
1. Sikap Tawasut dan Itidal.
Tawasut artinya tengah, sedangkan Itidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan itidal
maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung
tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama. 158 Dengan
sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan
bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).
2. Sikap Tasamuh.
157

Ibid., hlm. 86-88.


Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota, hlm. 98

158

60

Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan,


baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu atau yang menjadi
masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan
dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun.
Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah
SWT, khidmat sesama manusia serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan
kepentingan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
4. Amar Maruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong
berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal
yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.
Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan agar kehidupan umat
Islam pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada khususnya, akan dapat
terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi
maupun dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga
Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap
kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi
agama maupun masyarakat.
BAB V

Semangat Kebangsaan Nahdlatul Ulama untuk Indonesia


A. Pendahuluan
Sejarah panjang Republik Indonesia diwarnai dengan pergulatan budaya, ideologi,
hingga kepentingan paham dalam beragama. Dan, sebagai salah satu organisasi Islam
terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat vital dalam
proses ini.
Kita tahu, dalam sebuah transisi, termasuk kemerdekaan sebuah bangsa, sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang merupakan bagian dari hegemoni kekuasaan dengan
mengatasnamakan perubahan dan peradaban - selalu disertai dengan kepentingan.
Setiap penyebaran nalar Ideologis, pasti dipengaruhi unsur subjektivitas, yang hampir

61

pasti memiliki nilai politis ataupun ekonomis, yang bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang.
Tapi, NU tampaknya dapat mengesampingkan itu dengan prinsip untuk menegakkan
semangat Keindonesiaan tanpa menghilangkan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks
persiapan kemerdekaan, wacana mengenai dasar negara menjadi perdebatan yang sengit.
Salah satunya mengenai dimasukkan atau tidaknya kata-kata syariat Islam.
Dalam perspektif NU, Islam merupakan manifestasi nilai-nilai yang universal.
Namun, secara historis, Islam memang lahir di kawasan Arab, yang secara otomatis
membawa budaya Arab di dalamnya.
Meski demikian, para pendiri NU, termasuk KH Hasyim Asyari menilai bahwa
Indonesia (yang saat itu baru akan didirikan) memiliki keragaman identitas kultural,
mulai dari Jawa, Sunda, Betawi, Melayu, Batak, dan lain sebagainya.
Keragaman ini belum tentu dapat langsung berasimilasi dengan budaya Arab yang
turut terbawa dalam ajaran Islam. Untuk itu, NU menentang dimasukkannya tujuh kata
yang termaktub pada Piagam Jakarta ke dalam Pancasila. Ketujuh kata itu adalah dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Penghilangan tujuh kata tersebut, dalam perspektif para pendiri NU, merupakan
bagian dari Sunnah Rasulullah SAW tatkala membuat perjanjian dalam Piagam Madinah.
Di sini terlihat peran NU dalam menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah negara
berketuhanan, yang tetap memegang teguh Syariat Islam, tanpa menjadikannya sebagai
sebuah negara Islam.
Di sini terlihat, pluralitas NU, bukan hanya Pluralitas Islam Universal, tetapi juga
Pluralitas Islam Indonesia, yang mencerminkan dialektika bangsa yang demokratis dan
modern. NU memang didirikan untuk menjaga keutuhan bangsa. Bagi kalangan
pesantren, NU bukan sebatas organisasi belaka, melainkan jiwa dan napas masyarakat
Indonesia pada umumnya. NU berkontribusi dalam memelihara keragaman suku, bahasa,
dan agama. Sederhananya, keragaman itu bagi NU adalah karunia Tuhan Yang Maha
Kuasa untuk bangsa Indonesia.
Peran NU ini telah membumikan Islam menjadi agama pribumi, dengan identitas
keragaman Indonesia. Pada aspek lain, kita telah melihat, sejarah panjang kontribusi NU

62

yang sangat paham terhadap semangat kebangsaan, sehingga mampu membangun


kerukunan ideologis, dan sikap tegas terhadap hegemoni kolonialis.
Dalam perspektif kedepan, tentunya semangat itu, harus mampu di manifestasikan
dalam upaya membangun kesadaran berbangsa, dalam mewujudkan rasa keadilan di
masyarakat. Sejarah NU adalah sejarah tawaran, bagi akselerasi ideologi dalam masa
lalu, dan harus menjadi nilai tawar, untuk membangun nasionalisme kerakyatan, yang
lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil sejahtera.
NU pun tentunya diharapkan mampu membangun semangat keadilan di masa kini
dan masa depan. Pasalnya, semangat keadilan merupakan ideologi terkini, yang menjadi
senjata ampuh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Dan memang,
tradisi NU, sejak dulu, adalah mewujudkan nilai-nilai harmonis, kompromis, tapi
antihegemonis dan kapitalis.
Dialektika ideologi pembaharuan dan visi berpikir NU yang sukses dalam sejarah
Indonesia, saat ini harus mulai diarahkan pada membangun akselarasi politik harmonis
antara masyarakat dan negara. Proses advokasi penyadaran keberpihakan negara terhadap
masyarakat dalam sistem negara terbuka harus mampu diperankan NU di tengah
kebuntuan kompromi politik saat ini.
Apatisme masyarakat dan agresivitas elite, baik yang pro dan kontra, dalam
panggung politik, hanya akan melahirkan peperangan dalam panggung kosong. Penonton
tidak memiliki ketertarikan, lantaran berbagai lakonnya, dicurigai, sarat dengan berbagai
kepentingan dalam dan luar. Hal tersebut sangat berbahaya bagi pembentukan civil
society karena elitisasi semangat kebangsaan hanya akan melahirkan rumah megah tanpa
penghuni, yang dalam budaya kita disebut rumah hantu.
B. Peran NU dalam pertempuran 10 November 1945
Setiap tanggal 10 Nopember selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan untuk
mengenang sejarah besar perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya. karena pada hari itu meletus pertempuran besar untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) antara Arek-arek Suraboya dengan
Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan sekutunya yang akan menjajah
Indonesia kembali yang baru mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945.
63

Kendati demikian, ada beberapa catatan penting sebagai refleksi bersama tentang
makna memperingati Hari Pahlawan yang selama ini lepas dari pengamatan kita bersama.
Ada peristiwa besar yang mendahului lahirnya pertempuran 10 November tersebut,
yaitu adanya fatwa Resolusi Jihad yang digulirkan Pendiri Ormas Nahdhatul Ulama (NU)
Hadratusy Syekh KH Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober 1945, salah satu isi
Resolusi Jihad NU adalah mewajibkan bagi umat Islam terutama NU harus mengangkat
senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di
Indonesia. Kewajiban ini merupakan perang suci (Jihad). Kewajiban ini bagi setiap
muslim yang tinggal radius 94 kilometer.
Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk
material bagi mereka yang berjuang. Fatwa Resolusi Jihad tersebutlah yang memantik
semangat pertempuran seluruh rakyat Indonesia untuk saling bahu membahu dalam satu
tekad dan tujuan, yaitu mengusir segala bentuk penjajahan di muka bumi Indonesia
sampai titik darah penghabisan,
Fatwa Resolusi Jihad tersebut adalah wujud kecintaan ulama terhadap bangsa ini
sekaligus sebagai bentuk komitmen para ulama dan para santri untuk mengisi
kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan tiga bulan sebelumnya.
Namun dalam sejarah bangsa Indonesia, adanya Fatwa Resolusi Jihad seakan
diabaikan begitu saja. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan
sejarah bangsanya,
Momentum Hari Pahlawan dan Resolusi Jihad harus dijadikan refleksi bersama
untuk mengusir penjajahan dalam dimensi lain, seperti melawan segala bentuk intervensi
asing dalam hal kebijakan ekonomi, kedaulatan pangan, politik, supremasi hukum, dan
lain-lain.
Memperingati hari Pahlawan akan hampa tanpa memahami arti resolusi jihad.
Karena kedua hal tersebut saling berkaitan. Untuk itu, semua elemen bangsa disetiap
peringatan Hari Pahlawan harus mengisi peringatan dengan kontekstualisasi makna
resolusi jihad dengan kebutuhan bangsa saat ini,
C. Peran Nu Membangun Bangsa
NU beberapa kali terlibat dan menjadi peserta pemilihan umum (pemilu), namun
kemudian menegaskan diri kembali ke khitah 1926 pada tahun 1984. Nahdlatul Ulama
64

(NU),memiliki peran penting dalam membangun bangsa ini. Sejak berdiri pada 31
Januari 1926 atau (16 Rajab 1344 H), sejumlah tokoh NU telah terlibat dalam perjuangan
pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa tahun sebelum berdirinya, para
ulama yang mendirikan NU, seperti KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri
Syansuri, dan KH Mustafa Bisri, terlibat aktif dalam berbagai forum dialog ulama di
Indonesia ataupun menyikapi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab
Saudi.
Sesungguhnya, banyak hal yang menyebabkan perlunya didirikan organisasi ini. Satu
hal penting adalah keprihatinan ulama terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang
terbelakang, baik secara mental maupun sosial ekonomi hingga persoalan kebangsaan
dan keagamaan.
Sebagai sebuah bangsa yang masih terjajah saat itu, bangsa Indonesia mengalami
kondisi yang sangat memprihatinkan.
Anak-anak petani, nelayan, dan masyarakat kecil lainnya tak bisa mengenyam
pendidikan formal sebagaimana layaknya anak pejabat dan priyayi. Mereka menjadi
`miskin secara intelektual dan ekonomi. Dengan kondisi yang serbamiskin itu, semangat
persatuan dan kesatuan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda
laksana pungguk merindukan bulan.
Berbagai hal itulah yang akhirnya mendorong para cendekiawan dan kaum terpelajar
Indonesia untuk bangkit dan memperjuangkan martabat bangsa Indonesia.
Gerakan kebangkitan bangsa ini muncul pertama kali tahun 1908 dengan berdirinya
Budi Utomo dan dikenal dengan sebutan gerakan Kebangkitan Nasional. Setelah itu,
semangat kebangkitan semakin membara, bahkan menular ke sejumlah daerah di
Indonesia. Semua gerakan itu dilatarbelakangi oleh kesadaran bersama untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia dan lepas dari segala bentuk penjajahan
serta ketertinggalan dalam berbagai bidang.
Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini didukung penuh oleh kalangan tokohtokoh pesantren yang notabene sejak lama gigih melawan kolonialisme. Berbagai
organisasi baru dibentuk, seperti Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) tahun 1916.

65

Setelah itu, organisasi serupa terus bermunculan, mulai dari Tashwirul Afkar atau
dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri yang artinya kebangkitan pemikiran tahun 1918.
Organisasi ini menjadi wahana pendidikan sosial, politik, dan keagamaan kaum santri.
Tak lama kemudian, muncul Nahdlatut Tujjar (pergerakan atau kebangkitan para
saudagar/pengusaha). Organisasi ini berfungsi sebagai basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Alhasil, dengan adanya organisasi tersebut, Taswirul Afkar, selain
tampil sebagai kelompok studi, juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang
sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Organisasi keagamaan inilah yang akhirnya melahirkan organisasi ulama yang
bernama Nahdlatul Ulama (NU). Satu hal lain yang turut mendasari berdirinya NU
adalah upaya dari kalangan pesantren untuk menjaga dan memelihara peninggalanpeninggalan sejarah Islam ataupun pra-Islam.
Sebuah paham dan gerakan keagamaan di Timur Tengah (Makkah), yaitu Wahabi,
berkembang pesat dan mulai memasuki paham keagamaan di Indonesia. Saat itu, Raja
Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal, yakni Mazhab Wahabi di Makkah. Paham
Wahabi bermaksud menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam ataupun pra-Islam
yang selama ini banyak diziarahi masyarakat Muslim. Ziarah terhadap hal-hal berbau
mistik itu dianggap sebagai sesuatu yang baru dan dapat merusak Islam (bidah).
Gagasan Raja Ibnu Saud ini menimbulkan polemik di masyarakat Indonesia.
Kalangan pesantren yang selama ini banyak membela semangat keragaman dan
pelestarian nilainilai sejarah menolak pembatasan bermazhab, apalagi penghancuran
terhadap warisan peradaban. Karena itu, tokoh-tokoh pesantren keluar dari keanggotaan
Kongres Al-Islam di Yogyakarta tahun 1925. Mereka kemudian membentuk delegasi baru
bernama Komite Hijaz yang dikomandoi oleh KH Wahab Hasbullah. Komite Hijaz ini
dengan gigih bertekad menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban. Mereka menentang secara terang-terangan gagasan
tersebut. Gagasan ini bahkan didukung oleh umat Islam hampir seluruh penjuru di dunia.
Karena upaya ini, akhirnya Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya.
Itulah awal mula upaya yang dilakukan kalangan pesantren yang dalam hal ini
diwakili oleh Komite Hijaz untuk memperjuangkan kebebasan dalam bermazhab dan
melestarikan warisan peradaban itu. Kini, seluruh umat Islam di dunia turut menikmati
66

dan menyaksikan warisan peradaban Islam. Dan, masyarakat Muslim kini pun bebas
melaksanakan ibadah di Tanah Suci (Makkah) sesuai dengan mazhab masing-masing.
Dari pengalaman tersebut, kaum terpelajar Indonesia yang berasal dari pesantren
merasa perlu membentuk sebuah organisasi yang lebih sistematis dan terstruktur.
Organisasi tersebut dibentuk untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Kemudian,
dilakukanlah koordinasi dengan sejumlah kiai sehingga menghasilkan kesepakatan
dengan membentuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926.
KH Hasyim Asyari sebagai rais akbar memberikan ketegasan prisip dasar organisasi
ini dalam sebuah kitab Qanun Asasi (prinsip dasar) yang dilanjutkan dengan kitab Itiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Pada akhirnya, kedua kitab tersebut diejawantahkan dalam
Khitah NU. Dan, hingga kini menjadi dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak pada bidang sosial, keagamaan, dan politik.
Sejak kitab tersebut dikeluarkan, NU menganut paham Ahlussunah Wal Jamaah.
Paham tersebut mengajarkan pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli
(rasionalis) dan kaum ekstrem naqli (skripturalis).
Mereka mengadopsi pola pikir tokoh-tokoh terdahulu. Misalnya, dalam

bidang

teologi, Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Mansur Al-Maturidi; dalam bidang fikih, Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali; dan dalam bidang tasawuf, adanya pengembangan
metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dan
syariat.
Tahun 1984 merupakan salah satu momentum penting bagi penafsiran kembali ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah untuk merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial, serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara.
Sebab, pada tahun ini, muncul gagasan kembali ke khitah. Gerakan tersebut berhasil
membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. Sejarah
Berdirinya NUdan perannya membangun bangsa
Pada tahun 1916: Berdirinya Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Organisasi
ini secara tegas melawan penjajah.
Tahun 1918: Berdiri Tahswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri (pergerakan pemikiran)
untuk menghilangkan kebodohan masyarakat akibat penjajahan.

67

Tahun 1920: Berdiri Nahdlatut Tujjar atau pergerakan kaum pedagang untuk
memajukan ekonomi bangsa.
Tahun 1925: Berdiri Komite Hijaz sebagai organisasi baru kaum pesantren untuk
bertemu dengan Raja Ibnu Saud di Arab Saudi. Organisasi ini berdiri karena Pemerintah
Arab Saudi menginginkan gerakan antimazhab dan menganut paham Wahab. Karuan
saja, kebijakan itu ditentang oleh KH Wahab Hasbullah dan ulama pesantren lainnya.
Tahun 1926: Tepat pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, Nahdlatul Ulama
didirikan.
Tahun 1952: Keluar dari Masyumi karena dianggap tidak sejalan dengan paham
politik NU.
Tahun 1955: Ikut pemilu dan meraih suara 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante.
Tahun 1973: Berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari
1973. Di PPP ini, NU bergabung hingga Pemilu 1977 sampai 1982.
Tahun 1984: NU kembali ke Khitah 1926 dan tidak terlibat lagi dalam organisasi
politik.
Tahun 1998: Membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tahun 1999: Mengantarkan kadernya menjadi presiden RI ke-4, yakni KH
Abdurrahman Wahid.
Tahun 2004: Muktamar ke-31 di Boyolali. Beberapa pengurus NU mengalami
kecelakaan pesawat terbang hingga akhirnya wafat. Salah satunya adalah KH Yusuf
Muhammad (Jember).
Tahun 2010: Muktamar ke-32 di Makassar pada 22-28 Maret 2010.
D. Peran NU Dalam Perjuangan Kemerdekaan RI
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini lahir berkat jasa para ulama dan
para kiai, khususnya ulama Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu sudah selayaknya tetap
mempertahankan kesatuan NKRI agar perjuangan para ulama dan tokoh bangsa tidak siasia.
Kontribusi ulama, khususnya para kiai NU ini dibuktikan dengan penunjukan SukarnoHatta sebagai Waliyyul Amri ad-Dlaruri bisy-Syaukah di saat Indonesia hilang
kewibawaan di mata dunia, serta dengan keluarnya Resolusi Jihad dari Hadratush Sheikh
KH. Hasyim Asyari yang membangkitkan semangat bertempur kepada Bung Tomo dan
68

arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajah pada 10 Nopember 1945 yang kemudian
dikenal dengan Hari Pahlawan.
Sehingga kita heran mengapa segelintir orang yang tidak berkeringat, tidak berdarahdarah dalam perjuangan menegakkan NKRI tiba-tiba ingin mendirikan Negara Islam
dengan dalih penegakan Khilafah Islamiyah. Untuk itu mari bersama-sama mendidik
anak cucu kita sebagai generasi penerus untuk tetap kenal khidmat, cinta serta berbakti
kepada para kiai dan ulama.
Dalam perjuangan kemerdekaan, peran ulama tak dapat diabaikan. Setidaknya ada
enam jasa utama yang telah diberikan para ulama untuk perjuangan kemerdekaan.
Pertama, menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
penjajah. Di berbagai pesantren, madrasah, ceramah, organisasi, dan pertemuan lainnya,
para ulama menanamkan kesadaran di hati rakyat akan ketidakadilan dan kesewenangwenangan penjajah tersebut.
Pengaruh para ulama yang disebut pendeta Islam itu diakui oleh penjajah. Thomas
S. Raffles, Letnan Gubernur EIC yang memerintah pada 1811-1816 di Indonesia berkata,
"Karena mereka begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat
agar memberontak, dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa
pribumi yang menentang kepentingan pemerintah kolonial. 'Pendeta Islam' itu ternyata
merupakan golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka
umumnya berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah
besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan
hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau
membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau."
Kedua, memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda. Para ulama di
masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk
menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota.
Ketika Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji
dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di daerah
jajahannya, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari pemimpin para ulama di Jawa
menentang. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan
menggunakan kapal Belanda hukumnya haram.
69

Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka meminta orang-orang
Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk mempertahankan Indonesia
melawan musuh Jepang. Waktu itu KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa yang
terkenal, yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerjasama dengan
Belanda dalam bentuk apapun.
Setiap bujukan agar KH. Hasyim Asy'ari tunduk dan mendukung Belanda selalu
gagal dilakukan. Bahkan tawaran Belanda yang akan menganugerahkan bintang jasa
terbuat dari perak dan emas pada 1937 ditolaknya. Gerakan non kooperatif pada penjajah
itu juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama lainnya.
Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini
sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan
penjajah dianggap jihad fi sablillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama
Ajaran perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh
para guru agama pada masa krisis, yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu guru
agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam
Tadhkirat ar-Rakidin ajaran utama tahun 1889, bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam,
kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan
kewajiban moral (fardu ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang
untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar lima tahun (1825-1830) juga
karena alasan serupa. Dalam proklamasi dan permintaan dukungannya pada ulama,
bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro, pangeran yang juga ulama
menekankan bahwa ia adalah pemimpin 'perang sabil', perang suci, untuk mengusir
Belanda yang tidak beriman dari Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, menghimbau mereka "untuk ikut melawan Belanda di seluruh
daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi kerajaan berdasar agama yang benar
(ngluhurken agami Islam)". Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Pangeran Diponegoro
dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya.
Setelah penjajahan Jepang berakhir dengan kekalahannya pada Perang Dunia II,
Belanda dan pasukan Sekutu berusaha menjajah Indonesia lagi. Saat itu, Resolusi Jihad
yang dikeluarkan para ulama NU, sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan
70

perlawanan rakyat terhadap Belanda dan Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa KH.
Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada
Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946.
Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban
fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau
kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anak-anak,
bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar jarak 94 km (jauh), kewajiban
berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup dikerjakan oleh sebagian saja.
Keberhasilan pertempuran Hari Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya tak lepas
dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan Petani di
Banten, Pemberontakan Rakyat Singaparna di Jawa Barat, dan banyak peristiwa lainnya,
juga dipicu oleh fatwa jihad dari para ulama.
Keempat, memobilisasi dan memimpin rakyat dalam perjuangan fisik melawan
penjajah. Banyak ulama yang menjadi pemimpin perlawanan, seperti Pangeran
Diponegoro, Fatahillah, Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanudin, Teungku Cik
Ditiro, KH. Hasyim Asyari, KH. Abbas Buntet, KH. Zainal Mustafa, dll.
KH. Hasyim Asyari sebagai pemimpin tertinggi Masyumi membentuk laskar-laskar
rakyat untuk mendapat latihan ketentaraan dan memanggul senjata dengan metode baru.
Mereka dilatih secara militer untuk merebut kemerdekaan. Maka terbentuklah Hizbullah
untuk para pemuda dengan semboyan, Al Inna Hizbullhi hum al-ghlibn, Ingatlah,
sesungguhnya golongan Allahlah golongan yang menang, dan laskar Sabilillah untuk
umumnya para kiai, lelaki, dan wanita, dengan semboyan, Waman yujhid f sablillh,
Mereka yang berjuang di jalan Allah.
Dan satu barisan lagi bernama laskar Mujahidin yang menyerupai pasukan maut,
yang tak takut mati. Laskar ini membawa semboyan, Walladzna jhad fn
lanahdiyannahum subulan. Mereka yang berjuang di jalan-Ku, akan Akau tunjukkan
mereka jalan-jalan-Ku. Mereka yang bergabung dalam laskar-laskar ini mencapai
puluhan ribu orang di seantero Indonesia. Di setiap daerah, mereka dipimpin para ulama.
Pesantren-pesantren menjadi markasnya, termasuk Tebuireng, Sidogiri, Lirboyo, dan
Gontor. Panglima Hizbullah adalah KH Zainul Arifin, dan Panglima Sabilillah adalah KH

71

Masykur. Laskar-laskar ini berperan sangat penting dalam perang kemerdekaan melawan
Belanda.
Kelima, menyerukan persatuan membela kemerdekaan RI yang diproklamasikan
Soekarno-Hatta. Para ulama yang dipimpin Kiai Hasyim Asyari memfatwakan
kewajiban mempertahankan kemerdekaan RI. Dan pada 1954, sebuah Musyawarah Alim
Ulama Indonesia (NU) di Cipanas mengambil keputusan bahwa Presiden Soekarno
adalah Waliyyul Amri Dharr bisy-Syaukah, artinya pemegang pemerintahan yang
punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan rakyat. Keputusan hukum itu mampu
menjawab kebingungan umat Islam dengan gelar Imam Negara Islam Indonesia (NII)
yang disandang SM Kartosuwiryo. Sehingga mayoritas umat tetap mengakui
kepemimpinan nasional Soekarno.
Keenam, berperan aktif dalam mengisi awal kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan
para ulama ikut mempersiapkan kemerdekaan, termasuk di BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia). Dan pada awal kemerdekaan, banyak ulama yang
aktif di pemerintahan atau parlemen. Dan juga tak terhitung para ulama yang berjuang
lewat organisasi dan pendidikan.
Setelah Indonesia merdeka, ada dua kekuatan yang disepelekan masyarakat. Setelah
perang selesai, ada dua kekuatan, yaitu ulama dan militer yang tidak dianggap berperan
dalam menegakkan NKRI ketika Proklamasi kekuatan militer dari Islam itu luar biasa
besarnya. Bung Karno sendiri ketika pidato Proklamasi tanggal 9 Ramadan 1364 H/17
Agustus 1945, kalau tanpa dukungan ulama tidak akan berani Dan Hasyim Asyari
waktu juga bilang bahwa presiden pertamanya adalan Bung Karno, dan itu disetujui
angkatan laut Jepang.
Dengan jasa ulama yang sedemikian, ternyata masih relatif sedikit para ulama yang
mendapat gelar pahlawan atau tertulis dalam sejarah kemerdekaan. Padahal tanpa jasa
para ulama sebagai pemimpin agama dan masyarakat, mustahil perjuangan kemerdekaan
akan dapat dibangkitkan dan didukung luas oleh rakyat.
Kemerdekaan bukan hanya hasil dari usaha para bangsawan, tokoh nasionalis
terpelajar, dan tentara, namun juga hasil besar dari usaha para ulama. Kemerdekaan
bukan hanya hasil perundingan, tulisan, orasi, dan organisasi para tokoh nasionalis. Para
ulama telah mengawali dan mendukung perjuangan itu.
72

Karenanya, sudah selayaknya perjuangan para ulama lebih dihargai dengan penulisan
ulang sejarah dan penganugerahan bintang kepahlawanan. Baik ulama yang sudah
terkenal, maupun yang belum terkenal, sama-sama berhak dihargai jasa kepahlawanannya
bagi bangsa dan negara. Sebagaimana kata Bung Karno, Bangsa yang besar adalah
bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya".
E. Peran NU dalam bidang pendidikan
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1344 H
Munculnya NU sebagai reaksi terhadap berdirinya gerakan reformis dalam kalangan
umat Islam di Indonesia dan berusaha mempertahankan salah satu dari empat madzhab
dalam masalah yang berhubungan dengan fiqh (hukum Islam), yaitu Madzhab Hanafi,
Maliki, Syafii, dan Hambali. Nahdlatul Ulama memahami hakekat ahlus sunnah wal
jamaah sebagai ajaran Islam yag murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh
Rasulullah bersama para sahabatnya.
Dalam sejarahnya, N.U. pernah menjadi Partai Politik, kemudian bergabung dalam
Partai Masyumi. Namun setelah Partai-Partai Islam difungsikan kedalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), N.U. kembali pada funsinya semula sebagai gerakan sosial
keagamaan dengan semboyan kembali kepada jiwa 1926. Di sisi lain N.U. bergerak
dalam bidang sosial dan pendidikan agama menurut paham yang diyakini yaitu Ahlus
sunah wal jamaah. N.U. mempunyai banyak sekali Pondok Pesantren dan Madrasah
yang terbesar diseluruh pelosok tanah air, terutama di daerah pedesaan yang pada
umumnya mereka mempunyai tradisi agama yang kuat.
Nahdlatul Ulama mempunyai bagian-nagian yang khusus menangani bagian dakwah,
bagian Maarif, bagian Mabarrat, bagian ekonomi, bagian Penerbit, bagian Umum,
bagian Pertanian dan Nelayan, bagian Perburuhan dan Tenaga Kerja dan sebagainya.
Bagian yang menangani pendidikan dan pengajaran adalah Darul Maarif. Dewasa ini
lembaga pendidikan yang diasuh NU telah tersebar ke seluruh tanah air.
Pada akhir tahun 1356 H (1938 M.) komisi perguruan N.U. telah dapat mengeluarkan
reglement tentang susunan madrasah-madrasah N.U. yang harus dijalankan mulai 2
Muharram 1357 . susunan madrasah-madrasah N.U. ialah :

Madrasah Awaliyah (2 tahun)

Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun)


73

Madrasah Tsanawiyah (3 tahun)

Madrasah Mualimin Wustha (2 tahun)

Madrasah Muallimin Ulya (3 tahun)

Kemudian N.U. bagian Maarif (pendidikan dan pengajaran) telah membuat rencana
baru tentang susunan Sekolah/Madrasah N.U. dan akhirnya pada tanggal 23-26 Februari
1954 telah diambil keputusan dalam suatu Konperensi Besar seluruh Indonesia mengenai
susunan Sekolah/Madrasah N.U. :

Raudlatul Athfal (taman kanak-kanak)

lamanya 3 tahun

S.R. (Sekolah Dasar)

lamanya 6 tahun

S.M.P N.U.

lamanya 3 tahun

S.M.A N.U.

lamanya 3 tahun

S.G.B N.U.

lamanya 4 tahun

S.G.A N.U.

lamanya 3 tahun

M.M.P N.U.

lamanya 3 tahun

M.M.A. N.U.

lamanya 3 tahun

Mualimin/Mualimat N.U.

lamanya 5 tahun
BAB VI

DINAMIKA PESANTREN DI INDONESIA


A. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Secara

historis,

pesantren

telah

mendokumentasikan

berbagai

sejarah

bangsaIndonesia, baik sejarah sosial budaya masyarakat Islam, ekonomi maupun politik
bangsaIndonesia. Sejak awal penyebaran Islam, pesantren menjadi saksi utama bagi
penyebaranIslamdi Indonesia. Pesantren mampu membawa perubahan besar terhadap
persepsihalayaknusantara tentang arti penting agama dan pendidikan.159 Artinya, sejak itu
orangmulaimemahami bahwa dalam rangka penyempurnaan keberagamaan, mutlak
diperlukanprosesipendalaman dan pengkajian secara matang pengetahuan agama mereka
di pesantren.

159

A. Mujib, et. al., Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di
EraPerkembangan Pesantren (Cet. III; Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hlm. 1.

74

Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pesantren adalah menyiapkan


santrimendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal tafaqquh fi al-din,
yangdiharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat
Indonesiadan melakukan dakwah menyebarkan agama Islam serta benteng pertahanan
umat dalambidang akhlak.160 Sejalan dengan fungsi tersebut, materi yang diajarkan dalam
pondok pesantrensemuanya terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab klasik
yang berbahasa Arabatau lebih dikenal dengan kitab kuning.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat (indigenous)
padamasyarakat muslim Indonesia, dalam perjalanannya mampu menjaga dan
mempertahankankeberlangsungan dirinya (survival system) serta memiliki model
pendidikan multi aspek. Santritidak hanya dididik menjadi seseorang yang mengerti ilmu
agama, tetapi juga mendapattempaan kepemimpinan yang alami, kemandirian,
kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan,kesetaraan, dan sikap positif lainnya. Modal
inilah yang diharapkan melahirkan masyarakatyang berkualitas dan mandiri sebagai
bentuk partisipasi pesantren dalam menyukseskan tujuanpembangunan nasional sekaligus
berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa sesuai yangdiamanatkan oleh Undang-undang
Dasar 1945.161
Pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul
diIndonesia, merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap sebagai produk
budayaIndonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dimulai sejak
munculnyamasyarakat Islam di Nusantara.162
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan
munculnya tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian
tempat-tempatmenginap para santri yang kemudian disebut pesantren. Meskipun
bentuknya masihsangat sederhana, pada waktu itu pesantren merupakan satusatunyalembaga pendidikan yangterstruktur sehingga pendidikan ini dianggap sangat
160

Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Profil Pondok Pesantren
Mua>dalah(Cet. I; Jakarta: Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Departemen Agama,
2004), hlm. 3.
161
Amin Haedari, et al., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
KomplesitasGlobal (Cet. I; Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 3.
162
Kehadiran pesantren sangat erat kaitannya dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Oleh
karena itu,membahas mengenai pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai
sejarah Islam itusendiri. Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII:Akar Pembaruan Islam Indonesia (Cet. II; Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 1-6.

75

bergengsi. Di lembaga inilah kaummuslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam,


khususnya menyangkut praktekkehidupan keagamaan.163Pesantren dalam lintasan sejarah
bangsa dinyatakan sebagai lembagapendidikan asli Indonesia, sehingga menarik untuk
dibahas lebih lanjut.
B. Sejarah Lahirnya Pesantren
Syaikh Maulna Mlik Ibrhm atau Sunan Gresik merupakan orang pertama
yangmembangun lembaga pengajian yang merupakan cikal bakal berdirinya pesantren
sebagaitempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya adalah agar para
santrimenjadijuru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di
masyarakatluas. UsahaSyaikh menemukan momuntem seiring dengan mulai runtuhnya
singgasana kekuasaanMajapahit (1293 1478 M). Islam pun berkembang demikian
pesat, khususnya di daerahpesisir yang kebetulan menjadi pusat perdagangan antar
daerah bahkan antar negara.164
Hasil penelusuran sejarah ditemukan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan
bahwacikal bakal pendirian pesantren pada awal ini terdapat di daerah-daerah sepanjang
pantai utaraJawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban),
Kudus, Lasem, danCirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota
kosmopolitanyang menjadi jalurpenghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat
persinggahan para pedagang dan muballigIslam yang datang dari Jazirah Arab seperti
Hadramaut, Persia, dan Irak.165
Lembaga

pendidikan

pada

awal

masuknya

Islam

belum

bernama

pesantrensebagaimana dikemukakan oleh Marwan Saridjo sebagai berikut:


Pada abad ke-7 M. atau abad pertama hijriyah diketahui terdapat komunitas muslim
diIndonesia

(Peureulak),

namun

belum

mengenal

lembaga

pendidikan

pesantren.Lembaga pendidikan yang ada pada masa-masa awal itu adalah masjid
atau yang lebihdikenal dengan nama meunasah di Aceh, tempat masyarakat muslim

163

Sulthon Masyhud, et al., Manajemen Pondok Pesantren (Cet. II; Jakarta: Diva Pustaka, 2004),hlm.

1
164

Alwi Shihab, Islam Inklusif (Cet. I; Bandung: Mizan, 2002), hlm. 23.
Fatah Syukur, Dinamika Pesantren dan Madrasah (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.

165

248.

76

belajar agama.Lembaga pesantren seperti yang kita kenal sekarang berasal dari
Jawa.166
Usaha dakwah yang lebih berhasil di Jawa terjadi pada abad ke-14 M yang
dipimpinoleh Maulna Mlik Ibrhm dari tanah Arab. Menurut sejarah, Maulna Mlik
Ibrhminiadalah keturunan Zainal Abidin (cicit Nabi Muhammad saw). Ia mendarat di
pantaiJawaTimur bersama beberapa orang kawannya dan menetap di kota Gresik.
Sehinggapada abad ke-15 telah terdapat banyak orang Islam di daerah itu yang terdiri
dari orangorang asing, terutamadari Arab dan India. Di Gresik, Maulna Mlik Ibrhm
tinggalmenetap dan menyiarkanagama Islam sampai akhir hayatnya tahun 1419 M.
Sebelummeninggal dunia, Maulna MlikIbrhm (1406-1419) berhasil mengkader para
muballigdan di antara mereka kemudiandikenal juga dengan wali. Para wali inilah
yangmeneruskan penyiaran dan pendidikan Islammelalui pesantren. Maulna Mlik
Ibrhmdianggap sebagai perintis lahirnya pesantren ditanah air yang kemudian
dilanjutkan olehSunan Ampel.167
Mengenai sejarah berdirinya pesantren pertama atau tertua di Indonesia
terdapatperbedaan pendapat di kalangan peneliti, baik nama pesantren maupun tahun
berdirinya.Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh Depatremen Agama pada
1984-1985diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan
Tanpes II diPamekasan Madura yang didirikan pada tahun 1762.168 Tetapi data
Departemen Agama iniditolak oleh Mastuhu.169 Sedangkan menurut Martin van
Bruinessen seperti dikutip AbdullahAly bahwa Pesantren Tegalsari, salah satu desa di
Ponorogo, Jawa Timur merupakan pesantrentertua di Indonesia yang didirikan tahun

166

Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan terhadap Pendidikan
Islamdi Indonesia (Cet. I; Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2010), hlm. 17-30.
167
Ibid.hlm.30
168
Departemen Agama RI., Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok Pesantren Seluruh
Indonesia(Jakarta: Depag RI., 1984/1985), hlm. 668.
169
Dia menolak informasi tersebut dengan alasan bahwa sebelum adanya Pesantren Jan Tapes II,
tentunyaada Pesantren Jan Tanpes I yang lebih tua. Selain itu, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan
setelah Islammasuk ke Indonesia. Lihat: Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian
tentang Unsur danNilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 19.

77

1742 M.170 Perbedaan pendapat tersebut karenaminimnya catatan sejarah pesantren yang
menjelaskan tentang keberadaan pesantren.
Pondok Pesantren merupakan rangkaian kata yang terdiri dari pondok dan
pesantren.Kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) yang dipakai dalam bahasa
Indonesia denganmenekankan kesederhanaan bangunannya. Ada pula kemungkinan
bahwa kata pondok berasaldari bahasa arab fundk yang berarti ruang tempat tidur,
wisma atau hotel sederhana. Padaumumunya pondok memang merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajaryang jauh dari tempat asalnya. 171 Sedangkan
kata pesantren berasal dari kata dasar santriyang dibubuhi awalan pe dan akhiran
an yang berarti tempat tinggal para santri. 172 Menurutbeberapa ahli, sebagaimana yang
dikutip oleh Zamakhsyari antara lain: Jhons, menyatakanbahwa kata santri berasal dari
bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC. Bergberpendapat bahwa istilah
ini berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orangyang tahu buku-buku
suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.Kata shastri berasal
dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, ataubuku-buku tentan
Berdasarkan

uraian

tersebut

jelas

bahwa

dari

segi

etimologi

pondok

pesantrenmerupakan satu lembaga kuno yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan


agama. Ada sisikesamaan (secara bahasa) antara pesantren yang ada dalam sejarah Hindu
dengan pesantrenyang lahir belakangan. Antara keduanya memiliki kesamaan prinsip
pengajaran ilmu agamayang dilakukan dalam bentuk asrama.
Secara

terminologi,

KH.

Imam

Zarkasih

mengartikan

pesantren

sebagai

lembagapendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur
sentral, masjidsebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di
bawah bimbingankyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya. 173 Pesantren
sekarang ini merupakanlembaga pendidikan Islam yang memiliki ciri khas tersendiri.
Lembaga pesantren ini sebagailembaga Islam tertua dalam sejarah Indonesia yang
memiliki peran besar dalam proseskeberlanjutan pendidikan nasional. KH. Abdurrahman
170

Lihat: Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren: Telaah terhadap Kurikulum
PondokPesantren Modern Islam Assalam Surakarta (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 154-156.
171
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986), hlm. 98-99.
172
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Kyai (Cet. VII; Jakarta:
LP3ES,1997), hlm. 18.
173
Amir Hamzah Wiryosukarto, et al., Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis
PesantrenModern (Ponorogo: Gontor Press, 1996), hlm. 51.

78

Wahid, mendefinisikan pesantren secarateknis, pesantren adalah tempat di mana santri


tinggal.174
Definisi di atas menunjukkan betapa pentingnya pesantren sebagai sebuah
totalitaslingkungan pendidikan dalam makna dan nuansanya secara menyeluruh.
Pesantren bisa jugadikatakan sebagai laboratorium kehidupan, tempat para santri belajar
hidup dan bermasyarakatdalam berbagai segi dan aspeknya.
Mengenai

asal-usul

dan

latar

belakang

pesantren

di

Indonesia

terjadi

perbedaanpendapat di kalangan para ahli sejarah. Pertama, pendapat yang menyebutkan


bahwa pesantrenberakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pandangan ini
dikaitkan dengan faktabahwa penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya banyak
dikenal dalam bentuk kegiatantarekat dengan dipimpin oleh kyai. Salah satu kegiatan
tarekat adalah mengadakan suluk,melakukan ibadah di masjid di bawah bimbingan kyai.
Untuk keperluan tersebut, kyaimenyediakan ruang-ruang khusus untuk menampung para
santri sebelah kiri dan kanan masjid.Para pengikut tarekat selain diajarkan amalanamalan tarekat mereka juga diajarkan kitabagama dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan agama Islam. Aktivitas mereka itu kemudiandinamakan pengajian.
Perkembangan selanjutnya, lembaga pengajian ini tumbuh danberkembang menjadi
lembaga pesantren. Bahkan dari segi penamaan istilah pengajianmerupakan istilah baku
yang digunakan pesantren, baik salaf maupun khalaf.175
Pendapat kedua, menyatakan bahwa kehadiran pesantren di Indonesia diilhami
olehlembaga pendidikan kuttab, yakni lembaga pendidikan pada masa kerajaan bani
Umayyahyang semula hanya merupakan wahana atau lembaga baca dan tulis dengan
sistem h{alaqah{.Pada tahap berikutnya lembaga ini mengalami perkembangan pesat,
karena didukung olehiuran masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi
oleh pendidik dan anakdidik.176 Pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang

174

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren (Cet. I; Yogyakarta: KIS, 2001),

hlm. 17.
175

Abdul Aziz, et al., Ensiklopedi Islam IV (Cet. II; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.
103.Pendapat ini juga didukung oleh Zamakhsyari yang berpendapat bahwa pesantren, khususnya di Jawa,
merupakankombinasi antara madrasah dan pusat kegiatan tarekat, bukan antara Islam dengan Hindu. Lihat:
ZamakhsyariDhofierTradisi..., hlm. 25.
176
Lihat: Muhaimin, et al., Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. III; Bandung: Tri Genda Karya, 1993),
hlm,.298-299.

79

menyatakan pesantren diadopsi darilembaga pendidikan Islam Timur-Tengah, yaitu alAzhr di Kairo, Mesir.177
Pendapat ketiga, pesantren yang ada sekarang merupakan pengambil-alihan dari
sistempesantren orang-orang Hindu di Nusantara pada masa sebelum Islam. Lembaga
inidimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu serta tempat
membinakader-kader penyebar agama tersebut.178 Pesantren merupakan kreasi sejarah
anak bangsasetelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren
merupakan sistempendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan sistem pendidikan
Hindu-Budha. Pesantrendisamakan dengan mandala dan asrama dalam khazanah
lembaga pendidikan pra-Islam.Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independen
yang pada awalnya mengisolasi diridi sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan
(pegunungan).179
Munculnya beberapa pendapat tersebut disebabkan karena tidak tersedianya
sumbertertulis yang dapat meyakinkan semua pihak. Namun, dari ketiga pendapat
tersebut, sebenarnyamempunyai sisi kebenaran yang dapat dipertemukan. Pendapat yang
mengatakan bahwapesantren berasal dari tradisi Hindu, ada benarnya jika memang
diterima bahwa nama ituberasal dari India atau berasal dari bahasa Sansekerta. Pendapat
yang mengatakan bahwapesantren tumbuh dari tradisi sufi juga dapat diterima, jika
dilihat fakta sejarah bahwa tradisipesantren mempunyai kesamaan dengan praktek hidup
yang dijalani oleh kaum sufi. Pendapatyang mengatakan bahwa pesantren diadopsi dari
tradisi

pendidikan

di Timur Tengah, karenamemang

orang yang

mula-mula

mengembangkan pesantren adalah mereka yang menimbailmu di Timur Tengah terutama


di Mekah dan di Mesir.Terlepas dari itu, bahwa pesantren yang dikenal masyarakat saat
177

Martin Van Bruinessen, salah seorang yang mendukung versi ini berpandangan bahwa
pesantrencenderung lebih dekat dengan salah satu model sistem pendidikan di al-Azhr. Artinya, menurut
pendapat ini adasisi kesamaan dari segi penyampaian ilmu pengetahuan agama, yakni melalui metode
halaqah, di mana kyai dansantri berkumpul dalam satu tempat untuk melakukan pengajian. Kelompok ini
meragukan kebenaran pendapatyang menyatakan bahwa lembaga mandala dan asrama yang ada sudah
sejak zaman Hindu-Budha merupakantempat berlangsungnya praktik pengajaran tekstual sebagaimana di
pesantren. Lihat: Hanun Asrohah, SejarahPendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm. 184.
178
Abdul Aziz, et al., Ensiklopedi....,hlm, 103
179
Lihat: Zamakhsyari DhofierTradisi..., hlm. 10 dan Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:
Sebuah PotretPerjalanan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 5.

80

ini adalah sebuahlembaga pendidikan Islam yang memiliki peranan penting dalam
mencerdaskan kehidupanbangsa serta sebagai pusat pengembangan Islam. Bahkan seiring
dengan perkembanganzaman, pesantren saat ini terus berbenah diri dengan melakukan
berbagai pola dan inovasipendidikan guna menghadapi tantangan zaman yang semakin
kompleks.
C. Sejarah Perkembangan Pesantren
Pada

awal

berkembangnya,

ada

dua

fungsi

pesantren,

yaitu

sebagai

lembagapendidikan dan sebagai lembaga penyiaran agama. Fungsi utama itu masih
melekat padapesantren, walaupun pada perkembangan selanjutnya pesantren mengalami
perubahan.Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat. Sepanjang abad
ke-18sampai dengan abad ke-20, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
semakindirasakankeberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan
pesantren di tengahmasayarakat selalu direspons positif oleh masyarakat. Respon positif
masyarakat tersebutdijelaskan oleh Zuhairini sebagai berikut:
Pesantren didirikan oleh seorang kyai dengan bantuan masyarakat dengan cara
memperluas bangunan di sekitar surau, langgar atau masjid untuk tempat pengajian
dan sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak. Dengan begitu anak-anak tidak perlu
bolakbalikpulang ke rumah orang tua mereka. Anak-anak menetap tinggal bersama
kyai ditempat tersebut.180
Perkembangan

pesantren

terhambat

ketika

Belanda

datang

ke

Indonesia

untukmenjajah. Hal ini terjadi karena pesantren bersikap non-kooperatif bahkan


mengadakankonfrontasi terhadap penjajah. Lingkungan pesantren merasa bahwa sesuatu
yang berasal dariBarat dan bersifat modern menyimpang dari ajaran agama Islam. Di
masa kolonial Belanda,pesantren sangat antipati terhadap westernisasi dan modernisme
yang ditawarkan oleh Belanda.Akibat dari sikap tersebut, pemerintah kolonial
mengadakan kontrol dan pengawasan yangketat terhadap pesantren. Pemerintah Belanda
mencurigai institusi pendidikan dan keagamaanpribumi yang digunakan untuk melatih
para pejuang militan untuk melawan penjajah.181 Dalammasa penjajahan Belanda,

180

Zuhairini, et al., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 212.
Abdurrahman Masud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Cet.
I;Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 89.
181

81

pendidikan Islam yang berpusat pada pesantren, surau, dayah, danlembaga pendidikan
Islam lainnya sengaja melakukan uzlah dari kekuasaan kolonial.182
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan
Agama)yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren.
Setelah itu,dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru agama
yang mengajarharus mendapatkan izin dari pemerintah. Peraturan yang lebih ketat lagi
dibuat pada tahun1925 yang membatasi orang yang boleh memberikan pelajaran mengaji.
Akhirnya, pada tahun1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yangtidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak
disukai oleh pemerintah.183Peraturan-peraturan tersebut membuktikan ketidak-adilan
kebijaksanaan pemerintahpenjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia.
Akan tetapi, pesantren tetap bertahan dan berkembang karena pengelolanya
mampumengatur strategi dengan baik. Berdasarkan laporan pemerintah pemerintah
kolonial Belanda,tahun 1831 di Jawa terdapat lembaga pengajian dan pesantren sebanyak
1.853 buah denganjumlah santri sebanyak 16.500 orang. Pada tahun 1885 pesantren
berkembang menjadi 14.929buah dengan jumlah santri 222.663 orang.184Pada tahun 1942
menurut survei yang diselenggarakan Kantor Urusan Agama(Shumumbu) yang dibentuk
oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa mencatat jumlahmadrasah, pesantren dan
santrinya sebagai berikut:
Tabel 1
Jumlah Pesantren, Madrasah dan Santri
di Jawa dan Madura pada tahun 1942.185
182

Uzlah lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren merupakan bentuk perlawanan secara
tersembunyi (silent opposition) terhadap kolonialisme Belanda. Lihat: Jajat Burhanuddin (peny.),
Mencetak MuslimModern: Peta Pendidikan Islam Indonesia (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006),
hlm. 2.
183
Lihat: Zamakhsyari DhofierTradisi...,, hlm. 41 dan Zuhairini, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 149.
184
Perkembangan pesantren turut dipengaruhi oleh perkembangan hubungan laut antara negeri
Belanda danwilayah Hindia Belanda. Ditemukannya kapal api menjelang abad ke-19 dan dibukanya
Terusan Suez pada tahun1869, perusahaan kapal KPM diberikan izin oleh Pemerintah Kolonial untuk
mengangkut jamaah haji Indonesia.Belanda juga mencabut resolusi-resolusi tahun 1852, 1831 dan
ordonansi 1859 yang melarang umat Islam Indonesiamelakukan perjalanan haji ke Mekah. Kesempatan
dimanfaatkan dengan baik oleh umat Islam di Indonesia. Jamaahhaji yang berusia muda, memanfaatkan
kesempatan beribadah haji untuk mendalami ilmu pengetahuan. Lihat:Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan (Cet. I; Jakarta; Pesantren NaweseaPress, 2009), hlm. 5961.
185
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi., hlm. 56.

82

Provinsi

Jumlah Pesantren dan

Jumlah Santri

Jakarta

Madrasah
167

14.513

Jawa Barat

1.046

69.954

Jawa Tengah

351

21.957

Tawa Timur

307

32.931

Jumlah

1.871

139.415

Setelah Indonesia merdeka, pesantren tumbuh dan berkembang dengan pesat.


Ekspansipesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren yang semula hanya
based institutionkemudian berkembang menjadi pendidikan yang maju. Bahkan kini
pesantren bukan hanyamilik organisasi tertentu tetapi milik umat Islam Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan olehHanun Asrohah sebagai berikut:
Pada waktu Mr. R. Soewandi menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran
danKebudayaan dibentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang
diketuaiKi Hajar Dewantoro. Panitia ini berhasil menetapkan keputusan yang dalam
laporanpanitia tanggal 2 Juni 1946, dinyatakan bahwa pengajaran di pondok
pesantren danmadrasah perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi
bantuan biaya.186
Pada

awal

tahun

1949,

Pemerintah

Republik

Indonesia

mendorong

pembangunansekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan


dalam administrasimodern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah
umum tersebut. Dampakkebijaksanaan tersebut membuat kekuatan pesantren sebagai
pusat pendidikan Islam diIndonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda
yang dulu tertarik kepadapendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak
muda yang ingin mengikutipendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas.187

186

Hanun Asrohah, SejarahPendidikan Islam..., hlm. 186.


Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi..., hlm. 57.

187

83

Pendirian madrasah di pesantren semakin menemukan momentumnya ketika K.H.


A.Wahid

Hasyim

menjabat

sebagai

Menteri Agama

Republik

Indonesia.

Ia

melakukanpembaruan pendidikan agama Islam melalui Peraturan Menteri Agama Nomor


3 tahun 1950,yang menginstruksikan pemberian pelajaran umum di madrasah dan
memberi pelajaran agamadi sekolah umum negeri/swasta. Hal ini semakin mendorong
pesantren mengadopsi madrasahke dalam pesantren. Pesantren semakin lebih membuka
kelembagaan dan fasilitas-fasilitaspendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.
Pesantren tidak hanya mengadopsimadrasah tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah
umum. Pesantren Tebuireng Jombang adalahpesantren pertama yang mendirikan
SMP/SMA.188
Langkah

ini

kemudian

diikuti

oleh

pesantren

lain,

bahkan

berlomba-

lombamendirikan sekolah umum untuk mengikuti tuntutan masyarakat agar santri bisa
belajarpengetahuan agama dan menguasai pengetahuan umum seperti murid-murid di
sekolah umumsehingga akses santri dalam melanjutkan pendidikan semakin meluas
seperti sekolah-sekolahumum di luar pesantren. Saat ini tidak jarang kita temui pesantren
memiliki lembagapendidikan umum mulai TK, SD, SMP, SMA dan SMK di samping MI,
MTs, dan MA.Pada tahun 1978 berdasarkan laporan Departemen Agama Republik
Indonesia, jumlahpesantren dan santri berkembang pesat berdasarkan tabel berikut ini:
Tabel 2
Jumlah Pesantren dan Santri di Jawa pada tahun 1978.189
Provinsi

Jumlah Pesantren

Jumlah Santri

Jakarta

27

15.767

Jawa Barat

2.237

305.747

Jawa Tengah

430

65.070

Tawa Timur

1.051

290.790

188

Ibid.hlm, 57
Ibid.hlm. 58.

189

84

Jumlah

3.745

675.364

Berdasarkan tabel tersebut, hasil survei Departemen Agama Republik Indonesia


padatahun 1978 mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem
pendidikanpesantren dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam
di Indonesia.Kekuatan pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah
Indonesia merdekatelah berkembang jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk
madrasah.190
Pada

tahun

2001,

pemerintah

Indonesia

melalui

Departemen

Agama

RepublikIndonesia membentuk Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren setelah


menyadariperkembangan pesantren yang pesat. Jumlah lembaga pendidikan pesantren di
seluruhIndonesia dari 1987 bertambah luar biasa, seperti tampak pada tabel berikut ini:
Tabel 3
Jumlah Pesantren dan Santri 1987-2008.191
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tahun
1981
1082
1983
1984
1985
1986
1987
2004
2007
2008

Jumlah Pesantren
6.086
6.086
6.204
6.239
6.240
6.386
6.579
14.656
17.506
21.521

Jumlah santri
802.545
816.083
933.265
1.086.801
1.284.800
1.429.768
1.713.739
2.369.193
3.289.141
3.818.469

Antara tahun 1987 sampai dengan tahun 2004 pesantren bertambah rata-rata 500
setiaptahunnya. Tahun 2004 sampai 2008 bertambah 1.000 buah pesantren dan dalam
waktu 10tahun terakhir, santrinya bertambah lebih dari dua juta. Pesantren pada
190

Ibid.hlm,58
34http://pendis.go.id/file/dokumen/5-gab-pontren-madin.pdf., akses 23 April 2011.

191

85

umumnya bersifatmandiri, tidak tergantung kepada kebijakan pemerintah yang ada


sehingga pesantren bisamemegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan
Islam.
Melengkapi

uraian

tentang

sejarah

perkembangan

pesantren,

penulis

menjelaskansecara singkat profil beberapa pesantren di Jawa Timur, yaitu:


1. Pesantren Sidogiri
Pondok ini berada di Desa Sidogiri Kraton Pasuruan Jawa Timur
a) Sejarah Singkat
Sidogiri dibabat oleh seorang Sayyid dari Cirebon Jawa Barat bernama Sayyid
Sulaiman. Beliau adalah keturunan Rasulullah dari marga Basyaiban.Ayahnya, Sayyid
Abdurrahman bin Muhammad bin 'Umar Basyaiban al 'Alawi yang datang dari Qosam
Hadhramaut, adalah seorang perantau dari negeri wali, Tarim Hadramaut Yaman.
Sedangkan ibunya, Syarifah Khodijah, adalah putri Sultan Cirebon Keturunan Sunan
Gunung Jati. Dengan demikian, dari garis ibu, Sayyid Sulaiman merupakan kerabat dari
Keturunan Sunan Gunung Jati.Sayyid Sulaiman membabat dan mendirikan pondok
pesantren di Sidogiri dengan dibantu oleh Kiai Aminullah. Kiai Aminullah adalah santri
sekaligus menantu Sayyid Sulaiman yang berasal dari Pulau Bawean.Konon pembabatan
Sidogiri dilakukan selama 40 hari. Saat itu Sidogiri masih berupa hutan belantara yang
tak terjamah manusia dan dihuni oleh banyak makhluk halus. Sidogiri dipilih untuk
dibabat dan dijadikan pondok pesantren karena diyakini tanahnya baik dan berbarakah.
b) Tahun Berdiri
Terdapat dua versi tentang tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri yaitu 1718
atau 1745. Dalam suatu catatan yang ditulis Panca Warga tahun 1963 disebutkan bahwa
Pondok Pesantren Sidogiri didirikan tahun 1718. Catatan itu ditandatangani oleh
Almaghfurlahum KH Noerhasan Nawawie, KH Cholil Nawawie, dan KA Sadoellah
Nawawie pada 29 Oktober 1963.Dalam surat lain tahun 1971 yang ditandatangani oleh
KA Sadoellah Nawawie, tertulis bahwa tahun tersebut (1971) merupakan hari ulang
tahun Pondok Pesantren Sidogiri yang ke-226. Dari sini disimpulkan bahwa Pondok
Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1745. Dalam kenyataannya, versi terakhir inilah
yang dijadikan patokan hari ulang tahun/ikhtibar Pondok Pesantren Sidogiri setiap akhir
tahun pelajaran.
86

c) Panca Warga
Selama beberapa masa, pengelolaan Pondok Pesantren Sidogiri dipegang oleh kiai
yang menjadi Pengasuh saja. Kemudian pada masa kepengasuhan KH Cholil Nawawie,
adik beliau KH Hasani Nawawie mengusulkan agar dibentuk wadah permusyawaratan
keluarga, yang dapat membantu tugas-tugas Pengasuh.Setelah usul itu diterima dan
disepakati, maka dibentuklah satu wadah yang diberi nama Panca Warga. Anggotanya
adalah lima putra laki-laki KH Nawawie bin Noerhasan, yakni:
1.
2.
3.
4.
5.

KH Noerhasan Nawawie (wafat 1967)


KH Cholil Nawawie (wafat 1978)
KH Siradj Nawawie (wafat 1988)
KA Sadoellah Nawawie (wafat 1972)
KH Hasani Nawawie (wafat 2001)

Dalam pernyataan bersamanya, kelima putra Kiai Nawawie ini merasa berkewajiban
untuk melestarikan keberadaan Pondok Pesantren Sidogiri, dan merasa bertanggung
jawab untuk mempertahankan asas dan ideologi Pondok Pesantren Sidogiri.
d) Majelis Keluarga
Setelah tiga anggota Panca Warga wafat, KH Siradj Nawawie mempunyai gagasan
untuk membentuk wadah baru. Maka dibentuklah organisasi pengganti yang diberi nama
Majelis Keluarga, dengan anggota terdiri dari cucu-cucu laki-laki KH Nawawie bin
Noerhasan.Rais Majelis Keluarga pertama sekaligus Pengasuh adalah KH Abd Alim Abd
Djalil. Sedangkan KH Siradj Nawawie dan KH Hasani Nawawie sebagai Penasehat.
Anggota Majelis Keluarga saat ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

KH A Nawawi Abd Djalil (Rais/Pengasuh)


D. Nawawy Sadoellah (Katib dan Anggota)
KH Fuad Noerhasan (Anggota)
KH Abdullah Syaukat Siradj (Anggota)
KH Abd Karim Thoyib (Anggota)
H Bahruddin Thoyyib (Anggota)

e) Urutan Pengasuh
Keberadaan Panca Warga dan selanjutnya Majelis Keluarga, sangat membantu
terhadap Pengasuh dalam mengambil kebijakan-kebijakan penting dalam mengelola
Pondok Pesantren Sidogiri sehingga berkembang semakin maju.Tentang urutan
Pengasuh, terdapat beberapa versi, sebab tidak tercatat pada masa lalu. Dalam catatan
87

yang ditandatangani KH A Nawawi Abd Djalil pada 2007, urutan Pengasuh Pondok
Pesantren Sidogiri sampai saat ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Sayyid Sulaiman (wafat 1766)


KH Aminullah (wafat akhir 1700-an/awal 1800-an)
KH Abu Dzarrin (wafat 1800-an)
KH Mahalli (wafat 1800-an)
KH Noerhasan bin Noerkhotim (wafat pertengahan 1800-an)
KH Bahar bin Noerhasan (wafat awal 1920-an)
KH Nawawie bin Noerhasan (wafat 1929)
KH Abd Adzim bin Oerip (wafat 1959)
KH Abd Djalil bin Fadlil (wafat 1947)
KH Cholil Nawawie (wafat 1978)
KH Abd Alim Abd Djalil (wafat 2005)
KH A Nawawi Abd Djalil (2005-sekarang)

f) Kegiatan
Kegiatan di PPS dibagi menjadi dua macam, yaitu kegiatan Mahadiyah dan kegiatan
Madrasiyah. Kegiatan Mahadiyah adalah kegiatan yang harus diikuti seluruh santri yang
mukim di PPS. Sedangkan kegiatan Madrasiyah adalah kegiatan yang harus diikuti
seluruh santri yang mukim di PPS dan murid yang sekolah dari rumah walinya, sesuai
dengan tingkatan madrasah masing-masing.
Kegiatan mahadiyah
Kegiatan ini dimulai pukul 03.30 (setengah empat dini hari) sampai pukul 00.00
waktu istiwa, yang tentunya diselingi waktu istirahat. Jenis kegiatan Mahadiyah yang
ditetapkan oleh Pengurus bermacam-macam, sesuai dengan tingkatan santri. Jenis
kegiatan tersebut sebagaimana berikut:
1) Tahajud dan Witir Bersama
Kegiatan ini harus diikuti seluruh santri dan dimulai pukul 03.30 wis (setengah
empat dini hari). Pada waktu ini semua santri dibangunkan dari tidur, kecuali santri
yang mukim di Daerah J (dibangunkan pukul 04.00). Setelah mandi/berwudhu,
seluruh santri harus melaksanakan salat Tahajud dan Witir.
Untuk murid kelas VI Ibtidaiyah, murid Tsanawiyah, dan anggota Kuliah Syariah
yang tidak bertugas di Daerah-nya, kegiatan ini bertempat di masjid, dibawah
pengawasan Kepala Bagian Ubudiyah dan bawahannya. Setelah itu, dilanjutkan
88

dengan membaca Asmaul Husna bersama, dengan dipimpin seorang santri yang
ditunjuk.
Sedangkan untuk kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Istidadiyah, kegiatan ini
bertempat di Daerah, di bawah pengawasan Pengurus Daerah. Kemudian dilanjutkan
dengan membaca wirid-wirid mutabaroh, dipimpin Ubudiyah Daerah dan stafnya.
2) Salat Subuh Berjamaah
Salat berjamaah Subuh ini bertempat di masjid bagi murid kelas VI Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, dan anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah-nya.
Sedangkan murid kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Istidadiyah bertempat di
Daerah.
3) Takrar Nazham
Kegiatan ini khusus untuk murid kelas I sampai V Ibt dan murid Istidadiyah.
Bertempat di Daerah masing-masing, di bawah pengawasan Talimiyah Daerah dan
stafnya.
4) Jam Belajar
Kegiatan jam belajar ini dibagi dua, pagi dan malam. Bertempat di Daerah. Yaitu
pagi setelah salat Subuh s/d pukul 06.00, dan malam pukul 09.00 s/d 10.00. Untuk
jam belajar setelah Subuh, pada hari-hari tertentu diisi pengajian kitab oleh Kepala
Kamar masing-masing, dengan materi yang telah ditetapkan oleh Pengurus Daerah.
5) Salat Dhuha Berjamaah
Kegiatan ini untuk murid kelas I sampai IV Ibtidaiyah dan murid Istidadiyah.
Waktunya pukul 06.30 s/d 06.45 pagi, dan bertempat di Daerah. Kegiatan ini khusus
santri yang bermukim di selain Daerah K, L, dan H, kecuali pada hari Jumat. Setiap
hari Jumat, salat Dhuhah berjamaah diganti musyawarah di Daerah.
Kemudian setiap hari Selasa, sebelum pelaksaan salat Dhuha berjamaah, diisi
khataman al-Quran. Khusus di Daerah I, kegiatan salat Dhuha berjamaah ini harus
diikuti oleh seluruh santri dari semua tingkatan.
6) Pengajian Kitab Kuning
Pengajian kitab kuning ada yang diasuh langsung oleh Kiai/Pengasuh, dan ada
yang dibacakan guru-guru yang telah ditunjuk Kepala Bagian Talimiyah dengan
persetujuan Ketua III PPS.
89

Pengajian kitab kuning oleh Pengasuh adalah kegiatan inti atau pokok di PPS,
bertempat di Surau H dan harus diikuti seluruh santri yang tergolong (1) anggota
Kuliah Syariah non guru (telah lulus Tsanawiyah dan selesai tugas mengajar di luar
PPS, tapi tidak bersekolah di Aliyah), (2) guru yang sedang tidak bertugas, dan (3)
murid Aliyah.
Sedangkan santri tingkat Tsanawiyah, Ibtidaiyah, dan Istidadiyah sangat
dianjurkan untuk mengikuti pengajian yang diasuh oleh Pengasuh. Materi pengajian
kitab kuning oleh Pengasuh biasanya adalah kitab Ihya Ulmiddn, Shahh Bukhri,
Fathu al-Wahhb, Inah ath-Thlibn (pagi); Tafsr Jallain (sore); dan Jamu alJawmi (malam).
Sementara itu, mengikuti pengajian kitab yang dibacakan guru-guru, hanya
bersifat anjuran bagi semua santri yang ingin mengikutinya. Tempatnya di ruangruang MMU atau Daerah, waktunya setelah pengajian al-Quran Magrib. Materi
pengajian kitab kuning oleh guru-guru adalah kitab-kitab kecil dalam bidang Fikih,
Akhlak, Tasawuf, Nahwu, dll.
7) Musyawarah
Di PPS, kegiatan musyawarah kitab kuning untuk anggota Kuliah Syariah
diselenggarakan setiap malam, pukul 09.00 s/d 10.00. Tempatnya di ruang-ruang
MMU. Khusus malam Selasa, musyawarah dilaksanakan pukul 08.00 s/d 10.00.
Sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah, sesuai dengan ketentuan Daerah dan
kelasnya, musyawarah dilaksanakan pada Selasa pagi pukul 05.30 s/d 07.00,
bertempat di ruang MMU. Dan bagi santri kelas V & VI Ibtidaiyah serta V, VI, dan
VII Istidadiyah dilaksanakan pada Jumat pagi pukul 06.00 s/d 07.00, bertempat di
Daerah.
Selain itu, kegiatan musyawarah ada yang diistilahkan dengan musyawarah
gabungan antar Daerah, bagi kelas III Tsanawiyah. Musyawarah ini membahas
masalah waqiiyah (kejadian di masyarakat). Dilaksanakan setiap Jumat pagi pukul
07.30 s/d 09.45 dan bertempat di Daerah sesuai urutannya. Begitu pula dengan kelas
II & III Tsanawiyah, ada musyawarah gabungan Jumat Pagi, tapi bertempat di ruang
MMU.
8) Salat Dhuhur & Ashar Berjamaah
90

Kegiatan ini untuk murid Ibtidaiyah dan Istidadiyah, dimulai pukul 12.20 s/d
12.45. Bertempat di Daerah untuk kelas I sampai V, dan bertempat di masjid untuk
kelas VI.
9) Salat Maghrib Berjamaah
Kegiatan ini bertempat di masjid untuk kelas VI Ibtidaiyah, murid Tsanawiyah,
dan semua anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di Daerah-nya. Sedangkan
kelas I sampai V Ibtidaiyah dan murid Istidadiyah bertempat di Daerah.
10) Mengaji al-Quran
Mengaji al-Quran harus diikuti oleh seluruh santri selain kelas VI Ibtidaiyah & III
Tsanawiyah, setelah salat Maghrib berjamaah. Kegiatan ini diselenggarakan setiap
malam, selain malam Selasa dan malam Jumat.
Kegiatan mengaji al-Quran bertempat di Daerah untuk anggota Kuliah Syariah
dengan cara tadarus. Bertempat di kamar-kamar Daerah untuk kelas I sampai V
Ibtidaiyah dan murid Istidadiyah. Dan bertempat di ruang-ruang MMU untuk kelas I
& II Tsanawiyah. Untuk Ibtidaiyah dan Tsanawiyah dipandu oleh seorang muallim
(guru mengaji).
Selain itu, bagi murid kelas III Tsanawiyah harus mengaji al-Quran di pagi hari
pukul 06.05 s/d 06.30, selain Selasa dan Jumat, dengan cara tadarus. Tempatnya di
Daerah. Tadarus ini bagi santri selain warga Daerah K, L, dan H yang harus
mengikuti kursus bahasa Arab dan Inggris (pukul 06.15 s/d 07.15), selain hari Selasa
dan Jumat. Untuk Daerah K, L, dan H, tergantung pengaturan waktu oleh Pengurus
Daerah-nya masing-masing.
11) Baca Salawat
Kegiatan ini dilaksanakan setiap malam untuk kelas VI Ibtidaiyah dan III
Tsanawiyah, bertempat di masjid setelah pelaksanaan salat Maghrib berjamaah.
Khusus malam Selasa, ditambah dengan kelas I dan II Ts. Kegiatan baca shalawat
pada malam Selasa juga dilaksanakan di Daerah, yang harus diikuti oleh kelas I
sampai V Ibtidaiyah dan murid Istidadiyah. Setelah baca shalawat pada malam
Selasa itu, diadakan penerangan/ceramah.
12) Kursus Pengkaderan Ahlusunah wal Jamaah (Annajah)

91

Kursus Annajah ini khusus murid Tsanawiyah, sesuai dengan tingkatan kelas.
Tujuannya untuk pemantapan akidah Ahlusunah wal Jamaah dan pelatihan calon
Guru Tugas. Dilaksanakan pada malam-malam tertentu pada pukul 09.00 s/d 10.00,
dengan jadwal dan tempat yang telah diatur oleh Kepala Bagian Talimiyah.
13) Baca Burdah
Kegiatan ini dilakukan bergantian setiap malam, sesuai dengan urutan Daerah
yang ditetapkan Pengurus. Pembacaan Burdah ini dilakukan dengan dua cara, Burdah
keliling dan Burdah di Daerah.
Burdah keliling dibaca sambil mengelilingi komplek pesantren oleh semua santri
tingkat Tsanawiyah, yang berbaris dua-dua, sepuluh jejer dari depan membaca Ayat
Kursi. Sedangkan Burdah di Daerah dibaca bersama di Daerah, dengan seorang
pemandu yang telah ditunjuk oleh Pengurus.
Kegiatan ini dilaksanakan pukul 11.30 s/d 12.00 malam, kecuali bagi Daerah J &
I. Untuk Daerah J, pelaksanaannya setelah salat Subuh berjamaah, bertempat di
Daerah. Dan untuk Daerah I, pelaksanaannya setelah Tahajud dan Witir bersama, juga
bertempat di Daerah.
14) Baca Diba
Pembacaan Diba dilaksanakan setiap malam Jumat, pukul 07.30 s/d 08.30
malam. Bertempat di masjid untuk anggota Kuliah Syariah yang tidak bertugas di
Daerah. Dan bertempat di Daerah untuk tingkat Istidadiyah, Ibtidaiyah, dan
Tsanawiyah. Pembacaan Diba ini dipimpin oleh santri yang telah ditunjuk oleh
Pengurus.
15) Gerak Batin
Kegiatan ini bertempat di masjid, diikuti seluruh santri sesuai urutan Daerah-nya.
Waktunya sama dengan pembacaan Burdah, yaitu pukul 11.30 s/d 12.00 malam.
Gerak batin ini diisi dengan membaca Munjiyat yang diakhiri dengan membaca
Hizbul-Futuh.
16) Jaga/Ronda Malam
Yang harus melaksanakan jaga atau ronda malam ini hanya santri yang berada di
tingkat Tsanawiyah, setiap malam empat anak dari setiap Daerah. Waktunya pukul

92

12.00 s/d 03.00, dengan cara berpindah-pindah dari satu pos jaga ke pos jaga yang
lain.
17) Baca Munjiyat
Waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah Jumat sore, pukul 05.00 s/d 06.00.
Bertempat di Daerah.
18) Baca Ratibu al-Haddad
Pembacaan wirid ini hanya dilaksanakan oleh santri kelas I sampai V Ibt dan
murid Istidadiyah, dengan dipandu oleh Ubudiyah Daerah. Pelaksanaannya setelah
salat Subuh berjamaah, bertempat di Daerah.
19) Baca Surat Kahfi
Semua santri harus mengikuti kegiatan ini setelah salat Subuh berjamaah hari
Jumat. Bertempat di Daerah.
20) Olahraga
Kegiatan ini diikuti semua santri, bertempat di lapangan PPS dengan dipimpin
oleh seorang pemandu yang telah ditunjuk oleh Pengurus. Waktu pelaksanaannya
setelah salat Subuh berjamaah, dengan mengikuti jadwal yang telah ditentukan untuk
masing-masing Daerah, kecuali Daerah I.
Untuk Daerah I, olahraganya juga dilaksanakan setelah salat Subuh berjamaah,
tapi bertempat di lapangan desa Sidogiri. Cara olahraga, berlari keliling lapangan tiga
kali. Setelah olahraga, belajar bersama di Daerah.
21) Tahfizh al-Quran
Kegiatan ini dikhususkan bagi santri yang berminat menghafal al-Quran,
bertempat di Daerah A lantai dua. Tahfizh al-Quran ini hanya diperuntukkan bagi
tingkat Tsanawiyah ke atas. Untuk Ibtidaiyah dan Istidadiyah, hanya santri yang
hafal al-Quran 10 juz lebih yang boleh masuk Tahfizh al-Quran.
Sedangkan kegiatannya, menyetor hafalan ke Pembina setiap hari, pukul 06.00 s/d
07.30 pagi, setelah Ashar s/d pukul 05.00 sore, dan setelah salat Isya s/d 09.00
malam. Pada hari Selasa, mulai pukul 07.30 pagi sampai selesai menyetor ke wakil
Pembina di dalem. Pada hari Selasa pukul 08.00 s/d 09.00 pagi dan Jumat pukul
10.00 s/d 11.30 siang takrar silang antar sesama anggota. Selain itu, latihan fashahah

93

(kefasihan) dan murattal (membaca tartil) dilaksanakan setiap malam Selasa setelah
salat Maghrib sampai Isya.
Kegiatan madrasiyah
1) Masuk Sekolah
Waktu masuk sekolah berbeda-beda sesuai dengan tingkatan madrasah, dan
bertempat di ruang-ruang MMU yang telah ditentukan. Untuk tingkat Istidadiyah
dilaksanakan pukul 07.30 pagi s/d 10.50 siang, dengan istirahat satu kali (08.50 s/d
09.15 pagi). Sedangkan tingkat Ibtidaiyah dilaksanakan pukul 07.30 pagi s/d 12.10
siang, dengan istirahat dua kali (08.50 s/d 09.15 pagi dan 10.35 s/d 10.50 siang).
Untuk tingkat Tsanawiyah dilaksanakan pukul 12.20 siang s/d 05.00 sore.
Sedangkan tingkat Aliyah pukul 12.40 s/d 05.00 sore. Tsanawiyah dan Aliyah
istirahatnya dua kali.
2) Musyawarah Kelas
Musyawarah ini membahas pelajaran-pelajaran di kelas, dengan jadwal yang telah
ditentukan oleh pimpinan madrasah. Waktu pelaksanaannya sesuai dengan tingkatan
madrasah. Untuk Istidadiyah dilaksanakan pada pukul 10.50 s/d 12.00 siang. Untuk
kelas I, II, dan III Ibtidaiyah dilaksanakan pada pukul 05.10 s/d 05.45 sore. Untuk
kelas V & VI Ibtidaiyah dilaksanakan pada pukul 07.30 s/d 08.45 malam. Dan untuk
tingkat Tsanawiyah dilaksanakan pada pukul 10.10 s/d 11.15 malam.
3) Mengaji al-Quran
Kegiatan ini harus diikuti oleh seluruh murid LPPS (dari Luar Pondok Pesantren
Sidogiri) pada waktu kegiatan olahraga madrasah, sesuai jadwal yang telah ditetapkan
oleh pimpinan madrasah.
4) Pembinaan Baca KitabBagi santri yang mukim di PPS.
kegiatan ini dilaksanakan setiap malam Selasa. Sedangkan bagi murid LPPS
dilaksanakan di rumah pembinanya, sesuai dengan tempat dan waktu yang telah
ditentukan oleh pimpinan madrasah.
5) Kursus Ilmu Jiwa dan Didaktik Metodik
Kursus ini merupakan kegiatan ekstra kurikuler bagi murid Tsanawiyah pada
malam-malam tertentu. Waktu pelaksanaannya pukul 09.00 s/d 10.00 malam, dengan
jadwal dan tempat yang telah diatur oleh pimpinan madrasah. Kursus Ilmu Jiwa
94

(Psikologi)

untuk

kelas

II

Tsanawiyah,

sedangkan Didaktik

Metodik (Ilmu

Pendidikan) untuk kelas III Tsanawiyah.


6) Olahraga
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari-hari tertentu, sesuai jadwal dari pimpinan
madrasah. Kegiatan ini sama dengan masuk sekolah, karena dilaksanakan pada jam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM). Yaitu pada jam pertama untuk tingkat
Ibtidaiyah, dan pada jam terakhir untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Jenis
olahraga bagi murid Ibtidaiyah dan Tsanawiyah adalah kasti, sedangkan bagi murid
Aliyah adalah voli. Untuk murid Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, berangkat dan pulang
olahraga dilakukan dengan berbaris.
2. Pesantren Tebuireng Di Jombang
a) Selayang Pandang Pesantren Tebuireng
Tebuireng sebagai salah satu dusun di wilayah Kecamatan Diwek Kabupaten
Jombang mempunyai nilai historis yang besar. Dusun yang terletak 10 km. arah selatan
kabupaten Jombang ini tidak bisa dipisahkan dengan K.H.M. Hasyim Asyari, di dusun
inilah pada tahun 1899 M. Kyai Hasyim membangun pesantren yang kemudian lebih
dikenal dengan Pesantren Tebuireng. Sebagai salah satu pesantren terbesar di Jombang,
Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada
masyarakat luas baik dalam bidang pendidikan, pengabdian serta perjuangan.
Pondok Pesantren Tebuireng yang saat ini di bawah naungan Yayasan Hasyim
Asyari mengembangkan beberapa unit pendidikan formal dan nonformal, yaitu:
Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafiiyyah, SMP A. Wahid Hasyim, Madrasah Aliyah
Salafiyah Syafiiyyah, SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Diniyyah, dan Mahad Aly
Hasyim Asyari. Keberadaan unit-unit pendidikan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat memberikan arti tersendiri, yaitu sebagai manifestasi nilai-nilai pengabdian
dan perhatian kepada masyarakat. Dan dalam bentuk informal pesantren Tebuireng
membuka jasa layanan masyarakat berupa kesehatan (Rumah Sakit Tebuireng),
perekonomian (koperasi dan kantin). Kepercayaan dan perhatian masyarakat luas
terhadap keberadaan pesantren Tebuireng adalah dasar kemajuan dan perkembangan
Teburieng di masa depan, dengan tetap mengembangkan visi dan misi pendidikan yang
mandiri serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
95

b) Visi dan Misi


Visi :
Pesantren terkemuka penghasil insan pemimpin yang berakhlaq
Misi :
1.
2.
3.
4.

Melaksanakan tata keadministrasian berbasis teknologi


Melaksanakan tata kepegawaian berbasis teknologi
Malaksanakan pembelajaran IMTAQ yang berkualitas di sekolah dan pondok
Melaksanakan pengkajian yang berkualitas kitab Adab al-Alim wa al-Mutaallim

danTalim al-Mutaallim sebagai dasar akhlaq al-karimah


5. Melaksanakan pembelajaran IPTEK yang berkualitas
6. Melaksanakan pembelajaran sosial dan budaya yang berkualitas
7. Menciptakab suasana yang mendukung upaya menumbuhkan daya saing yang
sehat
8. Terwujud tata layanan publik yang baik
c) Sejarah Singkat Pesantren Tebuireng
Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asyari pada tahun 1899
M. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qadah 1287 H.
bertepatan dengan 14 Pebruari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah
kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang.
Hasyim kecil tumbuh dibawah asuhan ayah dan ibu dan kakeknya di Gedang. Dan
seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar kepada ayahnya,
pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke
Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya.
Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah
menyelesaikan belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar
pada Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu
pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya yaitu
Kyai Yaqub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya yang bernama
Nafisah pada tahun 1892.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke
Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan
menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal.
kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya,
Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
96

Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama besar. Antara lain
kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan
Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama besar lainnya.
Sejak pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren
terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau terobsesi untuk mengamalkan ilmu
yang telah diperoleh. Peninggalan beliau yang tidak akan pernah dilupakan orang adalah
Pondok Pesantren Tebuireng.
Tebuireng merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir
Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer
di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya jurusan Jombang Kediri.
Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari kebo ireng
(kerbau hitam). Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit
kuning (bule atau albino). Suatu hari, kerbau tersebut menghilang. Setelah dicari kian
kemari, menjelang senja baru ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di
rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit
kerbau yang semula kuning berubah hitam. Peristiwa mengejutklan ini menyebabkan
pemilik kerbau berteriak kebo ireng ! kebo ireng !. Sejak itu, dusun tempat
ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng.
Namun ada versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng bukan berasal dari
kebo ireng seperti cerita di atas, tetapi diambil dari seorang punggawa kerajaan Majapahit
yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ketika dusun itu mulai ramai, nama Kebo
Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti apakah karena itu ada
kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut yang telah banyak
mendorong masyarakat untuk menanam tebu sebagai bahan baku gula, yang mungkin
tebu yang ditanam berwarna hitam, maka pada akhirnya dusun tersebut berubah menjadi
Tebuireng.
Dusun Tebuireng dulu dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian,
pelacuran dan semua perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan Hadratus Syaikh
Kyai Hasyim Asyari bersama beberapa santri yang beliau bawa dari pesantren kakeknya
(Gedang) pada tahun 1899 M. secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut
97

mulai berubah semakin baik, semua perilaku negatif masyarakat di Tebuireng terkikis
habis dalam masa yang relatif singkat. Dan santri yang mulanya hanya beberapa orang
dalam beberapa bulan saja jumlahnya meningkat menjadi 28 orang.
Awal mula kegiatan dakwah Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asyari dipusatkan di
sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman
bambu (Jawa; gedek), bekas sebuah warung pelacuran yang luasnya kurang lebih 6 x 8
meter, yang beliau beli dari seorang dalang terkenal. Satu ruang depan untuk kegiatan
pengajian, sementara yang belakang sebagai tempat tinggal Kyai Hasyim Asyari
bersama istri tercinta Ibu Nyai Khodijah.
Tentu saja dakwah Kyai Hasyim Asyari tidak begitu saja memperoleh sambutan
baik dari penduduk setempat. Tantangan demi tantangan yang tidak ringan dari penduduk
setempat datang silih berganti, para santri hampir setiap malam selalu mendapat tekanan
fisik berupa senjata celurit dan pedang. Kalau tidak waspada, bisa saja diantara santri
terluka karena bacokan. Bahkan untuk tidur para santri harus bergerombol menjauh dari
dinding bangunan pondok yang hanya terbuat dari bambu itu agar terhindar dari
jangkauan tangan kejam para penjahat.
Dan gangguan yang sampai dua setengah tahun lebih itu masih terus saja berlanjut,
hingga Kyai Hasyim Asyari memutuskan untuk mengirim utusan ke Cirebon guna
mencari bantuan berbagai macam ilmu kanuragan kepada 5 kyai yakni; Kyai Saleh
Benda, Kyai Abdullah Pangurangan, Kyai Syamsuri Wanatara, Kyai Abdul Jamil Buntet
dan Kyai Saleh Benda Kerep.
Dari kelima kyai itulah Kyai Hasyim Asyari belajar silat selama kurang lebih 8
bulan. Dan sejak itulah semakin mantap keberanian Kyai Hasim Asyari untuk
melakukan ronda sendirian pada malam hari menjaga keamanan dan ketenteraman para
santri.
Dengan perjuangan gigih tak kenal menyerah Kyai Hasyim Asyari akhirnya berhasil
membasmi kejahatan dan kemaksiatan yang telah demikian kentalnya di Tebuireng.
Keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng semakin mendapat perhatian dari masyarakat
luas.

98

Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7


kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai
berikut:
Periode I
Periode II

: KH. Muhammad Hasyim Asyari : 1899 1947


: KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 1950

Periode III : KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 1951


Periode IV : KH. Achmad Baidhawi : 1951 1952
Periode V

: KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 1965

Periode VI

: KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 2006

Periode VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006 sekarang


d) Perkembangan Pondok Pesantren Tebuireng
Sebagai pesantren tradisional, Pondok Pesantren Tebuireng pada awal kelahirannya
telah mampu menunjukkan perannya yang sangat berarti bagi negeri ini, yang sedang
berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Maka dengan pengaruhnya yang besar
dalam masyarakat, Pondok Pesantren Tebuireng mendorong segenap lapisan masyarakat
khususnya umat Islam untuk berjuang melawan penjajah serta mengantar dan memberi
semangat bangsa ini berperang mengusir penjajah dan senantiasa mununjukkan sikap anti
pati terhadap Belanda. Bahkan pernah muncul fatwa dari Pondok Pesantren Tebuireng,
tentang haramnya memakai dasi bagi umat Islam, karena hal demikian menurut Kyai
Hasyim Asyari dianggap menyamai penjajah. Fatwa ini tujuannya tidak lain adalah
untuk membangun kesan pada masyarakat tentang betapa pentingnya sikap menentang
dan membentuk sikap anti pati terhadap penjajah, agar kemerdekaan segera diraih bangsa
ini.
Seiring dengan perjalanan waktu Pondok Pesantren Tebuireng tumbuh demikian
pesatnya, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam, masingmasing membawa misi dan latar belakang yang beragam pula. Kenyataan demikian
mendorong Pondok Pesantren Tebuireng memenuhi beberapa keinginan yang hendak
diraih para santrinya, sehingga siap berpacu dengan perkembangan zaman.
Untuk kepentingan tersebut, Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah
melakukan perubahan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana
pesantren-pesantren pada zaman itu, sistem pengajaran yang digunakan adalah metode
99

sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru), metode
weton atau bandongan ataupun halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi makna).
Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat
pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti
santri. Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu
syariat dan bahasa Arab. Dan inilah sesungguhnya misi utama berdirinya pondok
pesantren.
Perubahan sistem pendidikan di pesantren ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim
Asyari pada tahun 1919 M. yakni dengan penerapan sistem madrasi (klasikal) dengan
mendirikan Madrasah Salafiyah Syafiiyah. Sistem pengajaran disajikan secara
berjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.
Hingga pada tahun 1929 M. kembali dirintis pembaharuan, yakni dengan
dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Satu bentuk
yang belum pernah ditempuh oleh pesantren manapun pada waktu itu. Dalam
perjalanannya penyelenggaraan madrasah ini berjalan lancar. Namun demikian bukan
tidak ada tantangan, karena sempat muncul reaksi dari para wali santri bahkan para
ulama dari pesantren lain. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat pelajaran umum
saat itu dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda dan semacamnya. Hingga banyak
wali santri yang memindahkan putranya ke pondok lain. Namun madrasah ini berjalan
terus, karena disadari bahwa ini pada saatnya nanti ilmu umum akan sangat diperlukan
bagi para lulusan pesantren.192
3. Pesantren Miftahul Mubtadiin di Tanjunganom Nganjuk
D. Sistem Pendidikan di Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk
sesuaidengan perubahan zaman, terutama adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.Perubahan bentuk pesantren bukan berarti pesantren kehilangan ciri khasnya.
Sistem pesantrenadalah sarana yang berupa perangkat organisasi yang diciptakan untuk
mencapai tujuanpendidikan yang berlangsung dalam pesantren.193
192

http://www.tebuireng.net/index.php?pilih=hal&id=4

193

Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum (Cet. III; Jakarta: Bina Aksara.1995), hlm.

257.

100

Secara faktual, pesantren dapat dipolakan pada dua tipe atau pola, yaitu
berdasarkanbangunan fisik dan berdasarkan kurikulum.
1. Tipe pesantren berdasarkan bangunan fisik.
Berdasarkan

bangunan

fisik

atau

sarana

pendidikan

yang

dimiliki,

pesantrenmempunyai lima tipe, sebagaimana tabel berikut :


Tabel 4
Tipe Pesantren Berdasarkan Bangunan Fisik.194
Tipe
Tipe: I

Keterangan
Pesantren

ini

masih

bersifat

sederhana,

di

mana

kyai

Masjid

menggunakanmasjid atau rumahnya sendiri untuk mengajar. Tipe

Rumah Kyai

ini santri hanyadatang dari daerah pesantren ini sendiri, namun


mereka

telahmempelajari

agama

secara

kontinyu

dan

sitematis.Metode pengajaran: wetonan dan sorongan.


Tipe II:

Tipe pesantren ini telah memiliki pondok atau asrama yang

Masjid

disediakanbagi

Rumah Kyai

pesantren.Metode pengajaran: wetonan dan sorongan.

Pondok/Asrama

Tipe III:

santri

yang

datang

daerah

di

luar

Pesantren ini telah memakai sistem klasikal, santri yang tinggal

Masjid

dipesantren mendapat pendidikan di madrasah. Adakalanya

Rumah Kyai

santrimadrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri.

Pondok/Asrama

Disamping sistem klasikal, kyai memberikan pengajian dengan

Madrasah

sistem
wetonan.

Tipe IV:

Dalam tipe ini di samping memiliki madrasah, juga memiliki

Masjid

tempattempatketerampilan. Misalnya: peternakan, pertanian, tata

Rumah Kyai

busana, tataboga, toko, koperasi, dan sebagainya.

194

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Cet.
II;Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 66.

101

Pondok/Asrama
Madrasah
TempatKeterampilan

Tipe V:

Tipe pesantren ini sudah berkembang dan bisa digolongkan

Masjid

pesantrenmandiri. Pesantren ini seperti ini telah memiliki

Rumah Kyai

perpustakaan, dapurumum, ruang makan, rumah penginapan

Pondok/Asrama

tamu, dan sebagainya. Disamping itu pesantren ini mengelola

Madrasah

SMP, SMA dan SMK.

TempatKeterampilan
Perguruan Tinggi
GedungPertemuan
Tempat Olahraga
Sekolah Umum

2. Tipe pesantren berdasarkan kurikulum.


Berdasarkan

kurikulum

atau

sistem

pendidikan

yang

dipakai,

pesantren

mempunyaitiga tipe, yaitu:


a. Pesantren Tradisional (salf)
Pesantren ini masih mempertahankan bentuk aslinya dengan mengajarkan kitab
yangditulis oleh ulama abad ke-15 dengan menggunakan bahasa Arab. Pola
pengajarannya

denganmenerapkan

sistem

halaqahatau

mangaji

tudang

yang

dilaksanakan di masjid. Hakikat darisistem pengajaran halaqah ini adalah penghapalan


yang titik akhirnya dari segi metodologicenderung kepada terciptanya santri yang
menerima dan memiliki ilmu.195 Artinya ilmu tidakberkembang ke arah paripurnanya
ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang diberikankyai. Kurikulum sepenuhnya
ditentukan oleh para kyai pengasuh pondok.
b. Pesantren Modern (khalaf atau ashry)

195

Mastuhu, Dinamika..., hlm. 157.

102

Pesantren

ini

merupakan

pengembangan

tipe

pesantren

karena

orientasi

belajarnyacenderung mengadopsi seluruh sistem belajar klasikal dan meninggalkan


sistem belajartradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama tampak pada
penggunaan kelasbelajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang
dipakai adalahkurikulum nasional.196 Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana
prosespembelajaran dan sebagai pengajar di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan
madrasahterletak pada porsi pendidikan agama Islam dan bahasa Arab lebih menonjol
sebagaikurikulum lokal.
c. Pesantren Komprehensif.
Tipe pesantren ini merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan
antaratradisional dan modern.19749 Pendidikan diterapkan dengan pengajaran kitab
kuningdenganmetode sorongan, bandongan dan wetonan yang biasanya diajarkan pada
malam hari sesudahsalat Magrib dan sesudah salat Subuh. Proses pembelajaran sistem
klasikal dilaksanakan padapagi sampai siang hari seperti di madrasah/sekolah pada
umumnya.
Ketiga

tipe

pesantren

tersebut

memberikan

gambaran

bahwa

pesantren

merupakanlembaga pendidikan Islam yang berjalan dan berkembang sesuai dengan


tuntutan zaman.Dimensi kegiatan sistem pendidikan dilaksanakan oleh pesantren
bermuara pada sasaran utamayaitu perubahan baik secara individual maupun kolektif.
Perubahan itu berwujud padapeningkatan persepsi terhadap agama, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Santri juga dibekalidengan pengalaman dan keterampilan dalam rangka
meningkatkan sumber daya manusia.Ada beberapa ciri umum dimiliki pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islamsekaligus sebagai lembaga sosial yang secara informal terlibat
dalam pengembanganmasyarakat. Zamakhsyari Dhofier mengajukan lima unsur yang
merupakan elemen pesantren,yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik,
santri, dan kyai.198
Kelima unsur pesantren tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Masjid
196

M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan: Kasus Pondok Pesantren AnNuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Madura (Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu, 2001), hlm. 14.
197
Ibid., hlm. 15.
198
Zamakhsyari DhofierTradisi Pesantren: Studi..., hlm, 44-60.

103

Masjid pada hakikatnya merupakan sentral kegiatan kaum muslimin. Di


duniapesantren, masjid dijadikan sentral kegiatan pendidikan Islam baik dalam
pengertian modernmaupun tradisional. Dalam konteks yang lebih jauh, masjidlah yang
menjadi pesantrenpertama, tempat berlangsung proses pembelajaran. Seorang kyai yang
ingin mengembangkansebuah pesantren biasanya akan mendirikan masjid di dekat
rumahnya199.
2. Pondok
Setiap pesantren pada umumnya memiliki pondokan. Di pondok seorang santri
patuhdan taat terhadap peraturan yang dibuat oleh pesantren. Ada beberapa alasan pokok
pentingnyapondok dalam pesantren, yaitu:
a) Banyaknya santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu.
b) Pesantren biasanya terletak di desa, di mana tidak tersedia perumahan untuk
menampungsantri yang berdatangan dari luar daerah.
c) Adanya sikap sikap timbal balik antara kyai dan santri, sehingga para santri
menganggapkyai dan para pengasuh adalah orangtuanya sendiri.200
Pondok sebagai wadah pendidikan manusia seutuhnya menjadi operasionalisasi
daripendidikan yaitu mendidik dan mengajar. Hal ini merupakan fase pembinaan dan
peningkatankualitas manusia sehingga bisa mandiri dan menjadi kader masa depan
bangsa.
3. Kyai (anregurutta)
Ciri yang paling esensial bagi suatu pesantren adalah adanya seorang kyai. Kyai
atauanregurutta pada hakikatnya adalah gelar yang diberikan kepada seorang yang
mempunyaiilmu agama yang luas, kharismatik dan berwibawa. 201Keberadaan kyai dalam
pesantren sangat sentral. Suatu lembaga pendidikan Islamdisebut pesantren apabila
memiliki tokoh sentral yang disebut kyai. Bahkan maju mundurnyasatu pesantren
ditentukan oleh wibawa dan kharisma seorang kyai.
4. Santri.

199

M. Bahri Ghazali, Pendidikan...,hlm. 19.


Haidar Putra Daulay, Sejarah..., hlm. 63.
201
M. Bahri Ghazali, Pendidikan...,hlm. 21.
200

104

Tradisi pesantren mengenal dua kelompok santri, yaitu santri muqim dan
santrikalong.202 Dikatakan santri muqim jika mereka menetap di pondok atau asrama
pesantrenselama memperdalam kajian ilmu khususnya kitab-kitab klasik Islam.
Sedangkan santrikalong, karena selama memperdalam ilmu-ilmu keislaman mereka tidak
menetap di pondok.
5. Pengajian Kitab-Kitab Klasik (Kuning).
Kitab Islam klasik yang lebih populer dengan kitab kuning atau kitab
gundul.20355Pengajaran kitab klasik di pesantren merupakan upaya memelihara dan
mentransfer literaturIslam klasik. Pengajaran kitab Islam klasik dijadikan sebagai sarana
untuk membekali parasantri dengan pemahaman warisan keilmuan Islam masa lampau
atau jalan kebenaran menujukesadaran diri dan pembersihan hati (tazkiyah al-nafs),
bahkan juga dengan tugas masa depandalam kehidupan masyarakat. Pengajaran kitab
Islam Islam merupakan salah satu cara yangditempuh untuk membekali santri sebagai
calon ulama dengan ilmu keislaman yang kelakditransfer kepada masyarakat secara lebih
luas. Adapun metode yang lazim digunakan dalampesantren adalah metode wetonan,
bandongan dan sorogan.204Pada umumnya fungsi pendidikan di pesantren adalah untuk
mencetak calon ulamadan para muballig yang tabah, tangguh, dan ikhlas serta sanggup
berkorban dalam menyiarkanagama Islam.
E. Prospek Penyelenggaraan dan Pengembangan Pesantren Masa Kini
Umat beragama dan lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar
danmodal dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa serta merupakan potensi
nasionaluntuk pembangunan fisik materil bangsa Indonesia. Pendidikan agama tidak
dapat diabaikandalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan tujuan
pembangunannasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan
makmurberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Keberhasilan

pembangunan

nasional

harus

ditunjang

dengan

pendidikan

danpengajaran agama. Dengan pendidikan dan pengajaran agama, warga negara akan
202

Abdullah AlyPendidikan...,hlm. 167.


Sebutan kitab kuning karena pada umumnya kitab aslinya berwarna kuning, sementara kitab
gundulkarena pada umumnya kitab klasik Islam tidak memiliki harakat.
204
Lihat: Abdullah Aly, Pendidikan...,hlm 165-167. Lihat pula: M. Bahri Ghazali, Pendidikan...,hlm.
24. dan MarwanSaridjo, Pendidikan..., hlm. 46-47.
203

105

memperolehpendidikan moral dan budi pekerti yang akan membentuk bangsa Indonesia
menjadi warganegara yang bermoral, bertanggung jawab, dan tahu nilai-nilai budaya
yang dijunjung tinggioleh bangsa Indonesia.
Dengan modal jiwa yang bersih, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa,dan berbudi pekerti luhur, pembangunan nasional Indonesia dapat berjalan sukses
dan lancar.Akan tetapi, pendidikan agama tidak boleh bertentangan dengan pembangunan
nasional.Semua bentuk pendidikan di Indonesia harus berdasarkan pada filsafat bangsa,
Pancasila.Sistem ini dikenal dengan sistem pendidikan nasional Indonesia. Semua tujuan
pendidikan diIndonesia tidak boleh menyimpang dari ketentuan dan tujuan pendidikan
nasional. DalamUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem PendidikanNasional dalam ketentuan umum dijelaskan sebagai berikut:
Sistem

Pendidikan

Nasional

harus

mampu

menjamin

pemerataan

kesempatanpendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen


pendidikan untukmenghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan
lokal, nasional, danglobal sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara
terencana, terarah, danberkesinambungan.205
Sedangkan

untuk

kemudahan

layanan

pendidikan,

Undang-Undang

RepublikIndonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga


merincikannyayang termaktub dalam Pasal 11 Ayat (1):
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
sertamenjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpadiskriminasi.206
Atas

dasar

inilah,

pemerintah

pusat

dan

pemerintah

daerah

menjamin

berlangsungnyapelaksanaan pendidikan, dengan tidak membedakan antara pendidikan


umum dan pendidikanagama. Hal ini diperjelas lagi dalam Ayat (2) pada Undang-Undang
Republik

IndonesiaNomor

20

Tahun

2003

tentang

Sistem

Pendidikan

Nasional:Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana


205

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang


SistemPendidikan Nasional (Cet. I; Jakarta: Cemerlang, 2005), hlm. 102.
206
Ibid., hlm. 111.

106

gunaterselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
denganlima belas tahun.207
Pesantren telah memberikan tanggapan positif terhadap pembangunan nasional
dalambidang pendidikan. Dengan didirikannya sekolah-sekolah umum maupun
madrasah-madrasahdi lingkungan pesantren membuat pesantren kaya diverifikasi
lembaga pendidikan danpeningkatan institusional pondok pesantren dalam kerangka
pendidikan nasional.
Pemerintah

memberikan

wewenang

penuh

kepada

Departemen

Agama

(KementerianAgama) Republik Indonesia untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan


di Madrasah danPondok Pesantren, baik dalam hal pembiayaan, pengadaan dan
pengembangan sumberdayamanusia. Pengembangan kelembagaan dan sarana, serta
peningkatan mutu lembagapendidikan agama tersebut.
Pemerintah memiliki perhatian melalui Undang-Undang Republik Indonesia nomor
20tahun 2003 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007
tentangPendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam peraturan pemerintah
tersebutdijelaskan eksistensi pesantren dalam pasal 26, sebagai berikut:
1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan
danketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren
untukmengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik
untukmenjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi
muslim yangmemiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang
Islami dimasyarakat.
2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan
jenispendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
menengah,dan/atau pendidikan tinggi.
3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang
ilmuagama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik
matapelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis

207

Ibid., hlm. 111.

107

pendidikan yangmemerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuaiketentuan


Peraturan Perundangundangan.208
Dalam ayat (3) ini memberikan pengakuan terhadap alumni pesantren untuk
menjadipendidik dalam mengajarkan ilmu agama pada semua jalur, jenjang dan jenis
pendidikansetelah mendapat pengakuan melalui uji kompetensi yang sesuai dengan
ketentuan yangberlaku. Pengakuan terhadap ini tentu melalui pengakuan surat bukti
menamatkan pendidikandi pesantren atau ijazah/syahadah. Untuk itu, Direktorat Jenderal
Kelembagaan Islammengeluarkan surat edaran tentang legalisasi ijazah pesantren. Salah
satu butir isi surat edaranini adalah tentang mata pelajaran yang harus dipenuhi pesantren
agar ijazah lembagapendidikan ini diakui keabsahannya. Surat edaran ini menjadi
petunjuk teknis (juknis) bagipesantren tentang tatacara pemberian sertifikat/ijazah bagi
para santri yang menamatkanpendidikannya di pesantren. Mata Pelajaran yang harus
dipenuhi pesantren untuk legalisasiijazah, yaitu tingkat Ibtidaiyah meliputi: Al-Quran,
Tauhid, Fiqih, Akhlak, Nahwu, Sharaf,serta Pelajaran pendukung lain. Tingkat
Tsanawiyah meliputi: Al-Quran, Tauhid, Fiqih,Akhlak, Nahwu, Sharaf, Tarikh, Tajwid,
serta Pelajaran pendukung lain. Tingkat Aliyahmeliputi Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadis, Ilmu
Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Tauhid, Nahwu, Sharaf,Tarikh, Balaghah, serta Pelajaran
pendukung lain.209
Sejak tahun 2005, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
setiaptahunnya memberikan beasiswa kepada 500 santri yang berprestasi untuk
mengikutipendidikan sarja di Universitas Indonesia, Insitut Teknologi Bandung, Insitut
Pertanian Bogor,Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Insitut Teknologi
Surabaya, dan UniversitasIslam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.210
Pesantren

juga

berhasil

mengembangkan

perguruan

tinggi.

Pada

tahun

2001Pesantren Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah mendirikan Universitas Sains AlQuran(UNSIQ). Pada tahun 2008 dibuka Program Pascasarjana bidang studi Pendidikan
Islam danstudi Ilmu Al-Quran. Pada tahun 2009, mahasiswa UNSIQ mencapai lima ribu
orang, denganmembina beberapa fakultas, yaitu Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer,
208

Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan


Keagamaan,www.pesantren.net., akses tanggal 23 April 2011.
209
Surat Edaran Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam, Nomor : DJ.I/PP.00.7/940/2008 tanggal 29
Juli2008, www.kemenag.go.id., akses tanggal 23 April 2011.
210
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Membangun., hlm. 229.

108

Fakultas Bahasa danSastra, Fakultas Ekonomi, Akademi Keperawatan, Fakultas Ilmu


Tarbiyah dan Keguruan,Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Syariah dan Hukum
Islam serta ProgramPascasarjana.211 Hal ini juga dilakukan oleh pesantren-pesantren yang
ada di Sulawesi Selatan,seperti pesantren yang berada di bawah naungan Darud Dakwah
wal-Irsyad membukaperguruan tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).
Terlepas dari prospek masa depan pesantren, ada beberapa masalah yang
dihadapipesantren disebabkan keterbatasan kemampuan pengelolanya. Masalah tersebut
antara lain:
1) Sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Selama
ini,kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya
tampakmasih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup
yang bersihdan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan
prasarana yanglayak dan memadai.
2) Sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang
keagamaantidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan
eksistensi dan perananpondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial
masyarakat, diperlukan perhatianyang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber
daya manusia dalam bidangmanajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang
berkaitan dengan kehidupan sosialmasyarakat, harus menjadi prioritas pesantren.
3) Manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam
pengelolaanpesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pesantren dikelola
secara tradisionalapalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih
belum optimal. Haltersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data
base) santri dan alumnipesantren yang masih kurang terstruktur.
4) Kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi
kendaladalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan
kebutuhanpengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian
pesantren. Tidaksedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu
lama yang hanyamenunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus
melakukanpenggalangan dana di pinggir jalan.
211

Ibid., hlm. 330.

109

5) Kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren


masihberkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan
santri danmasyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat,
peningkatankapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang
keagamaan semata,tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat
keahlian.212
Tapi dengan masalah yang dihadapi, pesantren pada umumnya dipahami
sebagailembaga pendidikan agama yang bersifat tradisional yang tumbuh dan
berkembang dimasyarakat melalui suatu proses sosial. Pesantren selain sebagai lembaga
pendidikan jugaberperan sebagai lembaga sosial yang berpengaruh. Keberadaannya
memberikan pengaruh danwarna keberagaman dalam kehidupan masyarakat sekitrnya,
tidak hanya di wilayahadministrasi pedesaan, tetapi tidak jarang melintasi daerah di mana
pesantren itu berada.213
Pesantren

dijadikan sebagai

agen

perubahan (agent

of change) sebagai

lembagaperantara yang diharapkan dapat berperan sebagai dinamisator dan katalisator


pemberdayaansumber daya manusia, penggerak pembangunan di segala bidang, serta
pengembang ilmupengetahuan dan teknologi dalam menyongsong era global.
Sebagai suatu lembaga pendidikan yang hidup di tengah arus modernisasi,
agareksistensinya tetap bisa dipertahankan, pesantren diwajibkan oleh tuntutan-tuntutan
hidup anakdidiknya dalam kaitannya dengan perkembangan zaman untuk membekali
mereka dengankeahlian melalui berbagai macam pendidikan dan keterampilan. Tujuan
pendidikan pesantrenadalah terbentuknya manusia yang memiliki kesadaran setinggitingginya akan bimbinganIslam yang bersifat menyeluruh dan dilengkapi dengan
kemampuan untuk mengadakanrespons terhadap tantangan dan tuntutan hidup dalam
konteks ruang dan waktu baik diIndonesia maupun dunia abad sekarang.
212

Saifuddin Amir, Pesantren, Sejarah dan Perkembangannya (Cet. I; Bandung: Pustaka Pelajar,
2006), hlm. 57.
213
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
danSosial (LP3ES) terhadap Pesantren al-Falakh dan delapan pesantren lainnya di daerah Bogor, pada awal
tujuhpuluhan, diperoleh kesimpulan bahwa selain lembaga pendidikan, sejumlah pesantren di Jawa Barat
ternyata jugaberperan sebagai lembaga sosial yang mempunyai pengaruh signifikan di tingkat desa,
kecamata, dan bahkanmelintasi wilayah kabupaten di mana pesantren itu berada. Lihat: Amin Haedari, et
al., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan KomplesitasGlobal (Cet. I;
Jakarta: IRD Press, 2004), hlm 193

110

Berdasarkan pembahasan seputar

pesantren sebagai lembaga pendidikanIslam,

kiranya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:


1. Pesantren yang dikenal sekarang berasal dari Jawa, walaupun pada abad ke-7 M.
Telahdiketahui terdapat komunitas muslim di Indonesia (Peureulak), namun
lembagapendidikan pada masa itu dikenal nama meunasah. Pesantren diartikan
sebagai lembagapendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, kiyai
sebagai figur sentralnya,masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan
pengajaran agama Islam di bawahbimbingan kyai yang diikuti santri.
2. Perkembangan pesantren dari masa ke masa tetap mengalami perkembangan
yangsignifikan, walaupun pada masa penjajahan Belanda, lembaga pendidikan
Islammengalami penurunan kuantitas karena tindakan diskriminatif penjajah
Belanda.Namun, pesantren tetap eksis karena kemampuan pengelola pesantren
menyiasati segalakebijakan penguasa dari masa ke masa. Pada tahun 2001,
pemerintah

melaluiKementerian

Agama

Republik

Indonesia

membentuk

Direktorat Pendidikan Diniyahdan Pesantren setelah menyadari perkembangan


pesantren yang pesat.
3. Berdasarkan bangunan fisik atau sarana pendidikan yang dimiliki, pesantren
mempunyailima tipe berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana yang dimiliki
pesantren itusendiri. Sedangkan berdasarkan kurikulum, pesantren terbagi tiga,
yaitu pesantrentradisional (salafiyah), pesantren modern (khalaf atau asriyah) dan
pesantrenkomprehensif (kombinasi). Pesantren memiliki lima unsur atau elemen,
yaitu masjid,kyai, pondok, santri, dan pengajian kitab kuning (tafaqquh fi al-din).
4. Pemerintah telah memberikan porsi yang sama antara lembaga pendidikan
umumdengan lembaga pendidikan agama Islam dalam Undang-Undang Republik
IndonesiaTahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diperkuat dengan
PeraturanPemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
PendidikanKeagamaan. Pesantren pada masa sekarang diharapkan menjadi agen
perubahan (agentof change) sebagai lembaga perantara yang diharapkan dapat
berperan sebagaidinamisator dan katalisator pemberdayaan sumber daya manusia,
penggerakpembangunan di segala bidang, serta pengembang ilmu pengetahuan
dan teknologidalam menyongsong era global.
111

F. Menyingkap Nilai di Dunia Pesantren


1) Antara pembaharuan dan tradisi.
Dalam wacana filsafat pendidikan Islam, eksistensi manusia merupakan salah
satuobyek kajian menarik, karena di dalam diri manusia terdapat potensi-potensi yang
dianaggap unik dajn terkadang sulit di mengerti oleh dirinya sendiri. Kelebihan yang
adapada manusia sehingga membedakan lainnya adalah akal. Akal bukanlah rasio, dan
rasiobukanlah akal. Akal merupakan jaringan antara apa yang di tangkap oleh indera
dansesuatu yang berada di luar pengalaman empirik214
Namun

dalam

hal

menentukan

langkah

kehidupan,

manusia

di

berikan

kebebasanuntuk memilih. Allah SWT telah memberikan kepada manusia untuk


menentukan jalanhidupnya, seperti dalam firman Allah swt dalam surat Ar-Raad ayat 11:

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga


mereka merobahkeadaan yang ada pada diri mereka sendiri215
Dalam kaitan ini, pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan islam, memiliki
potensi dan peluang yang positif dalam membantu pengembangan potensi dasar manusia
berupa pengembangan akalnya. Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di
Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami agama Islam, dan mengamalkannya
sebagai pedoman hidup keseharian, dengan menekankan pentingnya moral dalam
kehidupan bermasyarakat.
Kehadirn pendidikan pesantren mempunyai peranan tersendiri. Jika ditilik dari
spectrum pembangunan bangsa, pondok pesantren di samping di samping menjadi
lembaga pendidikan Islam, juga sebagai bagian dari infrastruktur masyarakat yang secara
sosio cultural ikut berkiprah dalam proses pembentukan kesadaran masyarakat untuk
memiiliki idealisme demi kemajuan bangsa dan Negara.
Peran yang strategis dari pesantren seperti itu menjadikan pendidikan pesantren
sebagai objek kajian yang menarik. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan
Islam harus dapat menjadi salah satu pusat study pembaharuan pemikiran dalam Islam216.

214

Ali Al-Jumbulati dan Abdul Fatuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta,
Jakarta, 1993, hlm 183
215
Drs.H. Mansur, MSI, Moralitas Pesantren, Safiria Insani Press, Yogyakarta, 2004, hlm 4
216
Ibid, hlm 8

112

Memang mulai decade 1970-an twelah menjadi perubahan yang cukup besar pada
keberadaan pesantren sebagai sebuah system pendidikan. Pesantren sebuah bentuk
system tradisional, mulai berubah. Jika sebelumnya system pesantren di kenal sebagai
bentuk system pendidikan non sekolah (kelas bandongan tradisional), yang muncul
kemudian sebaliknya.
Memang adanya system persekolahan di lingkungan pesantren tidak dengan serta
merta menggusur system kelas bandongan yang selama ini di kena.kitab-kitab klasik
(kuning) masih terus diajarkan oleh pimpinan pesantren217.
Jadi dengan demikian dengan adanya perubahan-perubahan seperti itu menyebabkan
output keilmuan pesantren berpijak pada dua kaki, yaitu kaki tradisi dan pembaharuan.
Pijakan pertama merupakan moralitas khas pesantren, sedangkan pijakan kedua
merupakan pesantren dalam mengantisipasi perkembangan tradisi keilmuan pesantren
dimasa mendatang218.
2) Proses Pembentukan Nilai
Pendidikan Islam dalam kaitanya dengan pesantren adalah transformasi ilmu
pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai kepada santri (peserta didik) dengan
meperhatikan perkembangan dan pertrumbuhan fitrah demi mencapai kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat. Inti dari mendidik secara Islami adalah menstranfer ilmu dan
memasukkan nilai-nilai. Ilmu pengetahuan yang di maksud adalah ilmu pengetahuan
yang memenuhi criteria epistemology Islam yang tujuan akhirnya hanya untuk mengenal
dan menyadari diri pribadi dan relasiny terhadap Allah swt, sesama manusia dan alam
semesta. Adapun nilai-nilai yang di maksud adalah nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai
insaniah. Nilai-nilai ilahiyah bersumber sifat-sifat Allah dan hokum-hukum Allah, baik
berupa hokum tertulis (Quraniyah) maupun tidak tertulis (kauniah. Sebaliknya, insaniah
merupakan merupakan nilai-nilai yang terpancar daya cipta, rasa dan kersa manusia yang
butuh untuk memenuhi kebutuhan peradaban manusia, yang memiliki sifat dinamis
temporer.
Nilai itu sendiri pada akhirnya membentuk moralitas, sebab menurut Muhammad
Noor Syam nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang menyangkut suatu
217

Ibid, hlm 10
Ibid, hlm 12

218

113

jenis atau apresiasi atau minat. Walaupun dalam Islam memiliki nilai-nilai samawi yang
bersifat absolute dan universal, islam masih mengakui adanya nilai tradisi masyarakat.
Berkaitan denag pentingnya nilai tradisi yang perlu di beriakan kepada peserta didik,
maka dalam tradisi pesantren ada postulat yang telah menjadi moralitas pendidikan
pesantren, yaitu:

Melestariakn nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai baru yang
lebihpositif.

Itu sebenarnya tidak lepas dari rujukan pandangan hidup ulama yang kinimeminpin
pesantren yang bercorak pada pendidikan fikih sufistik dengan orientasi nilai moral yang
sangat menekankan pentingnya kehidupan ukhrawi diatas duniawi, agama diatas ilmu
dan moral diatas akal219.
Perbedaan orientasi antara pendidikan pesantren dan sekolah. Jika orientasi sekolah
umum di arahkan untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam hidup
keduniawian, pesantren mengarahkan orientasinya pada pembinaan moral dalam konteks
kehidupan ukhrawi.
Jadi dengan demikian nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan pesantren
adalah fikih sufistik yang lebih mengedepankan moralitas/akhlaq keagamaan demi
kepentingan hidup di akhirat. Nilai-nilia tersebut kemudian menjadi cirri khas moralitas
pendidikan pesantren yang haru di serap oleh santrinya. Moralitas tersebut kemudian
membentuk pandangan hidup santri, seperti ketaatan kepada kiai. Hali ini bisa dilihat dan
dirasakan apabila seorang pernah yantri di pesantren, bagaimana model kepemimpinan
pada kyai dan santri. Terlihat betapa ketawadhuan seorang santri dalam berkomunikasi
dengan kyai. Seorang santri sangat menghargai dan menjunjung tinggi nili-nilai tradisi
kepesantrenan220.
3) Menyikap Moralitas Pesantren.
Sebagai agen pewaris budaya (agen of conservative), pesantren berperansebagai
pewaris budaya melalui pendidikan system nilai dan kepercayaan, pengetahuan,normanorma, serta adat kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telahmembudaya
diwariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya.
219
220

Drs.H. Mansur, MSI, Moralitas Pesantren, hlm 17


Drs.H. Mansur, MSI, Moralitas Pesantren, hlm 19

114

Tegasnya,

lembaga

pendidikan

pesantren

merupakan

tempat

sosialisasi

daninternalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan


kurikulumlembaga pendidikan pesantren dan tujuannya atas nilai-nilai pengetahuan serta
aspirasidan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati masyrakat.
Sebagaimana

layaknya

lembaga

pendidikan,

pendidikan

pesantren

juga

memilikipendidikan yang jelas, tujuan umum pendidikn pesantren adalah membimbing


anak didik(santri) untuk menjadi insan yang berkepribadian islamiyang dengan agamanya
ia sanggup menjadimuballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
Sedangkan tujuankhususnya adalah mempersiapkan santri menjadi orang alim dan
mendalami ilmuagamanya yang di ajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta
mengamalkannya dalammasyarakat.
Dengan

demikian

tujuan

terpenting

pendidikan

pesantren

adalah

membangunmoralitas agama santri dengan pengamalannya. Dalam hal ini berarti yang
menjadi fokustujuan pendidikan pesantren adalah memberdayakan santri221.
BAB VII
BIOGRAFI ULAMA-ULAMA PENDIRI NU
DAN ULAMA PERINTIS PESANTREN
A. Biografi KH Hasyim Al Asyari Pendiri Nahdlatul Ulama (1287 1366H)
KH Hasyim Al Asyari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng,
Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain
mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asyari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa
Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun
memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai
Hasyim Asyari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan

221

Drs.H. Mansur, MSI, Moralitas Pesantren, hlm 26

115

Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari
Jaka Tingkir).222
a) Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang
Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di
Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan
sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
1.
2.
3.
4.
5.

Halimah (Winih)
Muhammad
Leler
Fadli
Arifah

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama


Asyari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asyari hampir beruisa 25
tahun. Mereka dikarunia 11 anak:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Nafiah
Ahmad Saleh
Muhammad Hasyim
Radiyah
Hasan
Anis
Fatonah
Maimunah
Maksun
Nahrowi, dan
Adnan.223

Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqodah 1287 H,


bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran
KH.M. Hasyim Asyari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya.
diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama
yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak
merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
222

Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj'ari, hlm. 55 atau lihat Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama
Biografi K.H. Hasyim Asy'ari, LKiS. hlm. 17
223

Khuluq, L. 2000, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasjim Asy'ari, LKiS. hlm. 18

116

Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini
berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang
pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asyari
mendirikan pondok pesantren yang bernama Asyariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau,
berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren,
sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilainilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan
kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan
keakraban dan saling membantu..
b) Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu
agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang
pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari
ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asyariyah. Dengan
modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia
yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan
keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah
dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada
lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun)
yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
c)

Mengembara ke Berbagai Pesantren

Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke
pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di
antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo,
Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah
Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin
Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asyari ngangsu
kawruh dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau
memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di
117

WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil
mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah
guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam
WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh
kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin
tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari
kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa
menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti
dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jamiyah Nahdlatul
Ulama yang dibawa KH. Asad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafiiyah
Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307
H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono
Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Yaqub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya.
Selang beberapa lama, Kiai Yaqub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin
menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun
menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Yaqub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut,
beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri
dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam
ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan.
Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asyari di tanah suci Mekah. Setelah
tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di
tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan
kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga
menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah
mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati
beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah
118

berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitabkitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah
suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kyai Hasyim Asyarikemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai
Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim
Asyaridikaruniai 10 anak, yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)

Hannah,
Khoiriyah,
Aisyah,
Azzah,
Abdul Wahid,
Abdul Hakim (Abdul Kholik),
Abdul Karim,
Ubaidillah,
Mashuroh,
Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920-an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim Asyari
menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Pagu, Kediri, Jawa Timur. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim Asyari dikarunia
4 orang putra-putri, yaitu:
1)
2)
3)
4)
d)

Abdul Qodir,
Fatimah,
Khotijah,
Muhammad Yakub.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke
kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama
adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala
kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan
semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempattempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk
meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat
lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah
beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar
sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Suab bin Abdurrahman, Syaikh
119

Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki
al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang
Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah,
beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang
bersifat maqul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung
halaman.
e)

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar
santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang
kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu
mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah
seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan
tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang
dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang
kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan
masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah
tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak
sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan
lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah
menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren
Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh
Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan
dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng
dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asyari memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu
keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini Al-Bukhori dan Muslim
120

dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang
datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai
sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok
Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang,
bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok
Tebuireng yang sukses menjadi ulama besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara,
dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
f)

Mendirikan Nahdlatul Ulama

Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang
bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Saban 1344 H/31 Januari 1926 M, di
Jombang Jawa Timur didirikanlah Jamiyah Nahdlotul Ulama (kebangkitan ulama)
bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama-ulama besar lainnya,
dengan azaz dan tujuannya: Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab
empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafii, Imam Malik bin Anas, Imam Abu
Hanifah An-Nuam dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang
menjadikan kemaslahatan agama Islam. KH. Hasyim Asyari terpilih menjadi rois akbar
NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga
menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah
waljamaah.
Nahdlatul ulama sebagai suatu ikatan ulama seluruh Indonesia dan mengajarkan
berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk
menyatukan ulama yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai
Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan
sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya,
baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syiar Islam di Indonesia,
untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola
pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan
oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah
organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulamaulama lain.
Jamiyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jamaah, yang mengakomodir
pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj
121

dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama
dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan
tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalanpersolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi
Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan
sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian
menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan
keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada khitohnya.
g) Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asyari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara
aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan
bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada
malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian
tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang
ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:Kursi kedudukan yang
tinggi dalam pemerintahanHarta benda yang berlimpah-limpahGadis-gadis tercantikAkan
tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: Demi Allah, jika mereka kuasa
meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku
berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya.
Akhir KH.M. Hasyim Asyari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun
waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh
pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik
sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu
itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa
dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau

122

memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari
pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara
(Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau
dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asyari terpilih sebagai
ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu
dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada
tahun 1947.
h) Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899
M), KH. M. Hasyim Asyari menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh
Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra
dan putri yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Hannah
Khoiriyah
Aisyah
Azzah
Abdul Wahid
Abdul hakim (Abdul Kholiq)
Abdul Karim
Ubaidillah
Mashurroh
Muhammad Yusuf.

Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asyari menikah kembali denagn Nyai
Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu
Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1.
2.
3.
4.
i)

Abdul Qodir
Fatimah
Chodijah
Muhammad Yakub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asyari (Nenek ke-sembilan )

Muhammad Hasyim bin Asyari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul
Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang

123

kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar
Brawijaya VI
j)

Wafatnya Sang Tokoh

Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 H. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat
Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibuibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal
Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai
Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu,
yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan
diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi
pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat.
Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, Masya Allah, Masya Allah kemudian
beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang
mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab,
sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk
meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim
Asyari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak
sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat,
misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang,
walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak.
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asyari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal
25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna
Ilaihi Rajiun.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang
amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri
Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di
124

pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat
dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang
pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, berjuang terus dengan tiada
mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat.
k)

Karya Kitab Klasik

Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis diselasela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan
memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan
perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata
berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang
sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak
kurang dari dua puluhan judul. diantaranya:
1.

Al-Tibyan fi al-Nahy an Muqathaah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan.


Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi

2.

sosial (1360 H).


Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jamiyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan

3.

undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama (1971 M).


Risalah fi Takid al-Akhdz bi Madzhab al-Aimmah al-Arbaah. Risalah untuk

4.

memperkuat pegangan atas madzhab empat.


Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat

5.

(1935).
Arbain Haditsan Tataallaq bi Mabadi Jamlyah Nahdhatul Ulama. Berisi 40

6.

hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama.


Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis

7.

tahun 1346 H.
At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatanperingatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan

8.

kemungkaran, tahun 1355 H.


Risalah Ahli Sunnah Wal Jamaah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Saah wa
Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bidah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jamaah
tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta
menjelaskan sunnah dan bidah.
125

9.

Ziyadat Taliqat ala Mandzumah as-Syekh Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.


Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik

antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.


10. Dhauul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang
menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syari; hukumhukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tisa Asyarah. Mutiara yang memancar
dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh
KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh
percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak
oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan
percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang
marifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-Alim wa al-Mutaallim fima Yahtaju ilaih al-Mutaallim fi Ahwal
Talimih wama Yatawaqqaf alaih al-Muallim fi Maqat Talimih. Tatakrama
pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik,
merupakan resume dari Adab al-Muallim karya Syekh Muhammad bin Sahnun
(w.256 H/871 M); Talim al-Mutaallim fi Thariq at-Taallum karya Syeikh
Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi
Adab al-Alim wa al-Mutaallim karya Syeikh Ibn Jamaah.224
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH
Hasyim Asy'ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1.

Hasyiyah ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-

2.
3.
4.
5.
6.

Islam Zakariya al-Anshari.


Ar-Risalah at-Tawhidiyah
Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-Aqaid
Al-Risalah al-Jamaah
Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus

224

Referensi 1).republika online 2).Sumber: http://biografi.rumus.web.id/biografi-kh-hasyim-alasyari-pendiri-nahdlatul-ulama-nu/ 3)Zamaksari, Tradisi Pesantren.,,

126

7.

Manasik Shughra

B. Biografi Kyai Haji Wahab Hasbullah


Beliauadalah seorang tokoh pergerakan dari pesantren. Ia dilahirkan di TambakberasJombang, tahun 1888. Sebagai seorang santri yang berjiwa aktivis, ia tidak bisa berhenti
beraktivitas, apalagi melihat rakyat Indonesia yang terjajah, hidup dalam kesengsaraan,
lahir dan batin.
KH Wahab Hasbullah merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, beliau juga
adalah seorang yang berpandangan modern. Dawahnya dimulai dengan mendirikan
beberapa media massa (Soera NO Soeara Nahdlatul Oelama, Berita Nahdlatul Ulama).
Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren
Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah. dan
mempunyai cicit bernama Rizky Fadlullah
a) Pendidikan KH Abdul Wahab
Kemenonjolan peran Wahab Hasbullah ini berkat kematangannya dalam menempa
dirinya sebagai seorang ulama pergerakan. Beliau juga seorang pelopor dalam membuka
forum diskusi antar Ulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan Organisasi
lainnya. Sifat keulamaannya digembleng mulai dari pesaanatren Langitan Tuban,
Pesantren Tawangsari Surabaya. Kemudian ia melanjutkan lagi ke Pesantren Bangkalan
Madura. Di pesantren asuhan Syaikh Kholil inilah, ia bertemua dengan Kyai Bisri
Syansuri, ulama dari Pati yang kelak menjadi sahabat seperjuangannya, juga iparnya.
Pertemanannya Kyai Wahab dengan Kyai Bisri ini memiliki pengaruh terhadap
perkembangan NU. Selanjutnya, Kyai Wahab ke Pesantren Mojosari Nganjuk dan
menyempatkan diri nyantri di Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh
KH. M. Hasyim Asyari.
Setelah merasa cukup bekal dari para ulama di Jawa dan Madura, ia belajar ke
Mekkah untuk belajar dan berguru pada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para
ulama Jawa yang ada di sana yang menjadi guru KH Abdul Wahab, seperti Syekh
Machfudz Termas dan Syekh Ahmad Khotib dari tanah Minang. Selain, belajar agama
saat di Mekkah itu, ia juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional
bersama aktivis dari seluruh dunia.
b) Ulama dan Organisatoris
127

Sepulang dari Mekkah 1914, Wahab, tidak hanya mengasuh pesantrennya di


Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia prihatin melihat kondisi
bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh
pendidikan, mengalami kemiskinan, serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh
penindasan dan pengisapan penjajah.
Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 ia mendirikan organisasi pergerakan yang
dinamai Nahdlatul Wathon (kebangkita negeri), tujuannya untuk membangkitkan
kesadaran rakyat Indonesia. Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab
mendirikan Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Saudagar) sebagai pusat penggalangan dana
bagi perjuangan pengembangan Islam dan Kemerdekaan Indonesia. Kyai Hasyim Asyari
memimpin organisasi ini, sementara Kyai Wahab menjadi Sekretaris dan bendaharanya.
Salah seorang anggotanya adalah, Kyai bisri Syansuri. Mencermati perkembangan dunia
yang semakin kompleks, maka pada tahun 1919, Kyai Wahab mendirikan Taswirul Afkar.
Di tengah gencarnya usaha melawan penjajah itu muncul pesoalan baru di dunia
Islam, yaitu terjadinya ekspansi gerakan Wahabi dan Najed. Arab pedalaman yang
menguasai Hijaz tempat suci Mekkah dikuasai tahun 1924 dan menaklukkan Madinah
1925. Persoalan menjadi genting ketika aliran baru itu hanya memberlakukan satu aliran,
yakni Wahabi yang puritan dan ekslusif. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali yang selama ini hidup berdampingan di Tanah suci itu, tidak diperkenankan lagi
diajarkan dan diamalkan di tanah Suci. Anehnya, kelompok modernis Indonesia setuju
dengan Paham Wahabi. Lantas, Kyai Wahab membuat kepanitiaan beranggotakan para
ulama pesantren, dengan nama Komite Hejaz. Komite ini bertujuan untuk mencegah cara
beragama model Wahabi yang tidak toleran dan keras kepala, yang dipimpin langsung
Raja Abdul Aziz.
Untuk mengirimkan delegasi ini diperlukan organisasi yang kuat dan besar, maka
dibentuklah organisai yanag diberinama Nahdlatul Ulama, 31 Januari 1926. KH Wahab
Hasbullah bersama Syekh Ghonaim al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui
Raja Abdul Aziz Ibnu Saud. Usaha ini direspon baik oleh raja Abdul Aziz. Beberapa hal
penting hasil dari Komite Hejaz ini di antaranya adalah, makam Nabi Muhammad dan
situs-itus sejarah Islam tidak jadi dibongkar serta dibolehkannya praktik madzhab yang
beragam, walaupun belum boleh mengajar dan memimpin di Haramain.
128

Kyai wahab hasbullahdengan segala aktivitasnya adalah untuk menegakkan ajaran


Ahlussunnah Wal Jamaah yang sudah dirintis oleh Walisongo dan para Ulama
sesudahnya. Mereka tidak hanya penerus, tetapi memiliki pertalian darah dengan para
penyebar Islam di Tanah Jawa itu. Bahkan Kyai Wahab juga mengidentifikasi diri sebagai
penerus perjuangan pangeran diponegoro. Karena itu ia selalu memakai sorban yang ia
sebut sendiri sebagai sorban Diponegoro. Dengan sorban itu, ia makin percaya diri.
Dalam upacara keagamaan sampai dengan acara kenegaraan, Kyai Wahab selalu
melingkarkan sorban tersebut, hingga pundaknya tertutup. Demikian juga dengan sarung,
tidak pernah diganti dengan pantolan. Ia telah melampaui segala protokoler kenegaraan
yang ada, karena telah memiliki disiplin dan karakter keulamaan sendiri. Selain itu, ia
memang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi sehingga tidak takut menghadapi musuh
sesakti apapun.
Selama masa pembentukan NU, Kyai Wahab selalu tampil di depan. Di manapun
muktamar NU diselenggarakan sejak yang pertama kalinya yaitu di Surabaya, kemudian
hingga ke Bandung, Menes Banten, Banjarmasin, kemudian Palembang hingga Medan, ia
selalu hadir dan memimpin. Sehingga pengalamannya tentang organiasi ini cukup
mendalam. Karena itu, Kyai Wahab selalu cermat dan tegas dalam mengambil keputusan.
Dalam menghadapi berbagai kesulitan, terutama dalam hubungannya dengan pemerintah
kolonial, ia selalu mampu mengatasinya. Misalanya, ia harus berhadap dengan para
residen gubernur atau menteri urusan pribumi. Kemampuan lobi dan diplomasi membuat
semua urusan bisa lancar, sehingga NU mampu mengatasi berbagai macam jebakan dan
hambatan kolonial. Dan, Kyai Wahab juga memiliki keistimewaan, yang tidak banyak
ada pada orang lain, yakni kemampuan melempar humor, khususnya jenis plesetan,
sebagai alat diplomasi.
Suatu hari, ketika Nusantara masih dalam cengkraman Belanda, Kyai Wahab
berpidato di hadapan Kyai-Kyai dan ratusan santri.
Wahai Saudara-saudaraku kaum pesantren, baik yang sudah sepuh, yang disebut
Kyai, ataupun yang masih muda-muda, yang dikenal dengan sebutan Santri. Jangan
sekali-sekali terbersit, apalagi bercita-cita sebagai Ambtenaar (pegawai Belanda)!
Begitu suara Kyai Wahab berapi-api. Mengapa Kyai dan santri tidak boleh jadi
Ambtenaar? Jawabannya tiada lain tiada bukan, karena Ambtenaar itu singkatan
129

dari Antum fin Nar. Tidak usah berhujah susah-susah tentang Ambtenaar, artinya ya
tadi, kalian di neraka tititk, jelas Kyai Wahab.
Para Kyai dan santri yang hadir tertawa dan tepuk tangan.
Lain waktu, semasa penjajahan Jepang, Kyai Wahab menghadapi para Kyai yang
belum paham cara berpolitik dengan Jepang. Para Kyai itu tidak bersedia menjadi
anggota Jawa Hokokai, semacam perhimpunan rakyat Jawa untuk mendukung Jepang.
Para Kyai tidak susah-susah mencari dalil menjadi anggota Jawa Hokokai. Masuk saja
dulu. Tenang saja, di dalam badan tersebut ada Bung Karno. Beliau tidak mungkin
mencelakakan bangsa sendiri, Kyai Wahab mulai merayu para kyai. Tapi Kyai, apa
artinya Jawa Hokokai itu:? Tanya seorang kyai. Lho, Sampean belum tahu ya, Jawa
Hokokai itu artinya Jawa Haqqu Kyai, jelas kyai Wahab singkat. Ooo... Jadi Jawa
Hokokai itu artinya Jawa milik para Kyai. Ya sudah, mari, jangan ragu masuk Jawa
Hokokai, ujar Kyai tadi merespon.
Namun demikian, salahlah kita jika hanya menilai Kyai Wahab sebagai Kyai politisi
saja?. Salah, karena ia sesungguhnya adalah seorang ulama tauhid dan juga fiqih yag
sangat mendalam dan luas pengetahuannya. Dengan ilmunya itu, ia dengan mudah
mampu menerapkan prinsip-prinsip Fiqh dalam kehidupan modern secara progresif,
termasuk dalam bidang fiqh siyasah. Kitab yang ditulisnya Sendi Aqoid dan Fikih
Ahlussunnah Wal Jama'ah, menunjukkan kedalaman penguasanya di bidang ilmu dasar
tersebut. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi perjalanan Ahlusunnah wal jamaah di
lingkungan NU.
Dalam tiap bahtsul masail muktamar NU, ia selalu memberikan pandangannya yang
mamapu menerobos berbagai macam jalan buntu (mauquf) yang dihadapi ulama lain.
Kyai Wahab sadar betul mengenai pentingnya pendidikan masyarakat umum. Karena
itu dirintis beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan
Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Ia
sendiri aktif salah seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulisnya.
Propaganda di sini juga sangat diperlukan dan media ini sangat strategis dalam
mepropagandakan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin

130

memperoleh relevansinya ketika KH Machfudz Siddiq dan KH Wahd Hasyim turut aktif
dalam menggerakkan pengembangan media massa itu.
Demikian juga dalam menghadapi zaman Jepang yang sulit, terutama ketika penjajah
itu itu pada tahun 1942 menangkapi para tokoh NU, maka Kyai Wahab dengan segala
pikiran dan tenaganya menghadapi penjajah Jepang. Ia gigih menjadi tim pembebasan,
mulai dari membebaskan KH Hasyim Asyari, KH Mahfud Shiddiq, juga ulama NU
lainnya baik di Jawa Timur hingga ke Jawa Tengah tanpa kenal lelah. Masa menjelang
kemerdekaan dan dalam mempertahankan kemerdekaan aktif di medan tempur dengan
memimpin organaisasi Barisan Kyai, organisasai yang secara diam-diam menopang
Hisbullah dan Sabilillah.
Sepeninggal KH Hasyim Asyari (Ramadan, 1947), kepepimpinan NU Sepenuhnya
berada di pundak Kyai Wahab. Dalam menghadapi perjanjian dengan Belanda, baik
perjanjian Renville, Linggarjati maupun KMB, yang penuh ketidakadilan itu, Kyai
Wahab memimpin di depan melawan perjanjian itu. Akhirnya semua perjanjian yang
tidak adil itu dibatalkan secara sepihak oleh Indonesia.
Masa paling menentukan adalah ketika NU mulai dicurangi oleh dalam Masyumi
dengan tidak diberi kewenangan apapun. Usaha perbaikan oleh Kyai Wahab tidak pernah
digubris oleh dewan partai, padahal NU sebagai anggota Istimewa.
Selain itu hanya diberi jatah menteri Agama, itu pun kemudian dirampasnya juga.
Apalagi Masyumi mulai melakukan tindakan subversif sepert memberi simpati pada
Darul Islam (DI) dan bahkan melakukan perjanjian gelap dengan Mutuasl Security Act
(MSA) yang menyeret Indoonesia ke Blok Barat Amerika. NU merasa semakin tidak
kerasan di Masyumi.
Ketika Kyai Wahab hendak mendirikan partai sendiri, tidak semua kalangan NU
menyetujuinya, apalagi kalangan Masyumi menuduh NU berupaya memecah-belah
persatuan umat Islam. NU juga diledek bahwa tidak memiliki banyak ahli politik,
ekonomi, ahli hukum dan sebagainya.
Atas semua itu, dengan enteng Kyai Wahab menjawab: Kalau saya mau beli mobil,
si penjual tidak akan bertanya apakah saudara bisa menyupir. Kalau dia bertanya juga,
saya akan membuat pengumuman butuh seorang supir. Saat itu juga, para calon supir
akan segera mengantri di depan rumah saya.
131

Ketika kalangan ulama NU yang lain masih ragu, dengan tegas Kyai Wahab
mengatakan, Silakan Sudara tetap di Masyumi, saya akan sendirian mendirikan Partai
NU dan hanya butuh seorang sekretaris. Insya Allah NU akan menjadi partai besar.
Melihat kesungguhan itu akhirnya, semua Kyai, termasuk Kyai Abdul Wahid Hasyim
sangat terharu, sehingga diputuskan untuk menjadi partai sendiri.
Dalam Pemilu 1955, perkiraan Kyai Wahab terbukti, NU menjadi partai terbesar
ketiga. Dari situ NU mendapat 45 kursi di DPR dan 91 kursi di Konstituante serta
memperoleh delapan kementerian. Berkat kepemimpina Kyai Wahab itu, NU menjadi
partai politik yang sangat berpengaruh.
Dalam mempimpin keseluruhan drama politik nasional, bagi NU, Kyai Wahab adalah
pengambil keputusan yang sangat menentukan. Sebab itu, perintahnya sangat dipatuhi
sejak dari pengurus pusat hingga ke daerah. Bukan Karena otoriter. Tapi karena memang
sangat menguasi kewilayahan dan menguasasi strategi gerakan. Karena itu pula, para
Kyai Kyai sering kali menyebut tokoh kita ini Panglima Tinggi.
Tiap hari, Kyai Wahab keliling daerah, bermusyawarah, menyerap dan memberi
informasi, mengarahkan hingga menyemangati para ulama dari Jawa hingga Sumatera,
dari Madura hingga Kalimantan. Semuanya diongkosi dengan uang sendiri.
Bila ada di Jombang, tepatnya di Tambakberas, Kyai Wahab tidak pernah absen
mengajar di pesantrennya, memberikan pengajian dari kampung ke kampung, dan
memberikan brifing politik kepada para santri senior, para pengurus NU setempat, hingga
memberikan arahan pada pamong desa setempat. Kedekatan dengan rakyat itu yang
mendorong militansi Kyai Wahab dalam menyuarakan aspirasi rakyat.
Banyak

yang

meriwayatkan

pula

bahwa

Kyai

Wahab

juga

mempunyai

kecenderungan hidup zuhud. Dari sekian banyak pesantren yang dikunjungi, tampaknya
pengaruh Kyai Zainuddin Mojosari cukup kentara. Pesantren Mojosari terdapat di
pedalaman Nganjuk Jawa Timur. Kyai Zainuddin, pengasuh pesantren tersebut, masyhur
sebagai sufi agung di tanah Jawa saat itu. Tradisi sufistik juga membuat pesantren ini
menjadi sangat terbuka. Satu contoh, tiap akhir tahun para santri dibiarkan
menyelenggarakan pentas seni, ludruk. Para santri main sendiri. Untuk itu, beberapa
bulan sebelum acara, para santri dengan rombongan masing-masing ada yang belajar
ludruk ke Jombang, belajar Jatilan ke Tulungagung, belajar Ketoprak ke Madiun dan
132

belajar wayang ke Solo dan sebagainya. Wahab muda adalah salah satu di antara mereka
itu. Pendidikan keagamaan yang di berikan juga sangat terbuka. Para santri dipersilakan
memakai madzhab pemikiran yang disukai, juga diajarkan memecahkan berbagai
persoalan keagamaan dan kemasyarakatan secara lebih luwes dan toleran.
Sikap keagamaan Kyai Wahab akhirnya juga tumbuh dengan terbuka. Ia lebih maju
dibanding para ulama yang lain, terutama dalam menerapkan fiqih, tampak lebih
mengutamakan dalil rasional, ketimbang doktrinal.
Hal itu memungkinkan masa kepemimpinan Kyai Wahab dalam tubuh NU membuka
wawasan yang luas bagi pengembangan pemikiran, kelembagaan dan ketangkasan dalam
berpolitik. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan karib dan iparnya yang
sekaligus menjadi wakilnya (Wakil Rais Am), yaitu KH Bisri Syansuri.
Kyai Bisri adalah seorang Faqih murni yang ketat dan disiplin, sehingga apapun
yang berseberangan dengan prinsip yang dipegangi harus disingkirkan. Kalau Kyai
Wahab cenderung berpikiran inovasi dan kreasi, sementara Kyai Bisri berpegangan pada
fiqih. Dengan latar belakang semacam itu tidak heran kalau Kyai Wahab Hasbullah
denngan senang hati menerima kehadiran Lesbumi 1962, apalagi sebelumnya Rais Akbar
NU KH Hasyim Asyari menyetujui penggunaan alat-alat musik dalam acara-acara NU.
Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mengurangi rasa tenggang rasa dan keduanya
tetap saling menghormati.
c)

Sang Inspirator Gerakan Pemuda Ansor

Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama
(NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul
di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan
Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh
tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus
gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan
organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda
yang mendukung KH. Abdul wshab hasbulloh yang kemudian menjadi pendiri NU
membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).

133

Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah
sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda
NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah ulama besar
sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang
diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam
perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO
dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan
semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan
ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi
penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan
membentengi ajaran Islam. Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara
formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada
Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24
April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU
berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid Hasyim,
KH. Dachlan
d) Wafat
Karena kharisma dan kepemimpinannya yang belum tergantikan, muktamar NU 2025 Desember 1971 di Surabaya, Kyai Wahab terpilih lagi sebagai Rais Aam, meski telah
udzur. Namun, persis empat hari setelah muktamar, Allah memanggil Kyai Wahab,
tepatnya tanggal 29 Desember 1971 pada usia 83 tahun.
Kewibawaan Kyai Wahab di hadapan pengurus NU yang lain dan pengabdiannya
yang total itu menyebabkan KH Saifudin Zuhri menjulukinya sebagai NU dalam
praktek. Seluruh sikap dan tindakannya termasuk yang kontroversial sekalipun adalah
mencerminkan perilaku NU yang tidak dianggap sebagai penyimpangan. Karena seluruh
sikap dan tindakannya dilandasi iman, takwa, ilmu, akhlak serta pengabdian yang tulus.225
225

Referensi : 1) Majalah Oetoesan Nahdlatoel Oelama, No. 1 Tahun 1. 2). Saifuddin Zuhri, Biografi
KH. Wahab Hasbullah, Jombang, 1981. 3) Aboebakar Aceh, Sejarah Hidup KH Wahid Hasyimdan
Karangan Tersiar, Diterbitkan Panitia Peringatan KH Wahid Hasyim, Jakarta, 1957.
4)http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Wahab_Hasbullah#Keluarga

134

BAB VIII
AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah istilah bagi kelompok umat Islam yang dijamin
keselamatannya di akhirat oleh Rasulullah SAW. Istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah ini menjadi
rebutan semua kalangan. Setiap kelompok mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah Wal-Jama'ah,
sementara kelompok yang lain dianggap sebagai golongan ahli bid'ah yang tersesat dan tidak
akan selamat kelak di akhirat. Tidak jarang pula di antara kelompok tersebut menggunakan istilah
Ahlussunnah Wal-Jama'ah untuk kepentingan sesaat. Oleh karena itu sebelum menguraikan
sejarah Ahlussunnah Wal-Jama'ah, perlu kiranya memberikan penjelasan tuntas tentang definisi
dan hakikat Ahlussunnah Wal-Jama'ah secara ilmiah dan akademis, agar diketahui apa
sebenarnya Ahlussunnah Wal-Jama'ah, sehingga nantinya dapat diketahui pula siapa sebenarnya
Ahlussunnah Wal-Jama'ah.

A. Pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah


1. Pengertian Secara bahasa,
Ahlussunnah Wal-Jamaah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata:
Pertama, kata Ahl, para ahli bahasa Arab menggunakan kata "ahlu" dengan berbagai
makna.
Imam Abu Jaib misalnya, dalam kitab lughohnya menyebutkan bahwa kata "ahlu"
dapat berarti "keluarga, pengikut atau golongan" .226
Imam al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan, "al-ahlu" : ahlu
al-rajuli; wa ahlu al-daar (al-ahlu: ahlu al-rajul (isteri) atau penghuni (penduduk) rumah
atau negeri). Kadang-kadang disebut dengan al-ahlah. Bentuk jamak dari al-ahlu adalah
ahlaat, ahalaat, dan ahaal.227
Di dalam Kitab al-Muhith Fi Lughoh imam Ibnu Ibad menyebutkan:


. :
.
228

226

Sadi Abu Jaib, Al-Qomus Al Fiqhi Lughotan Wa Istilahan, hal 29


Imam Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hlm. 31
228
Al-Shaahib bin Ibaad, al-Muhiith fi al-Lughah, juz 1, hlm. 231
227

Ahala:. Ahlu al-Rajuul : zaujahu (istrinya); al-ta`ahhul : al-tazawwuj (menikah).


Orang-orang Arab juga menyebut dengan kata ahlah.....Ahlu al-rajul : akhashsh al-naas
bihi (orang-orang yang memiliki hubungan paling khusus dengannya). Jika dikatakan:
ahlu al-bait, maka maknanya adalah penghuninya (sukkaanuhu). Ahlu al-Islaam : orang
yang memeluk agama Islam. Bentuk jamak dari ahlu adalah ahluun, ahaal, wa ahlaat.
Fairuzabadiy, di dalam Kamus al-Muhiith menyatakan:


.






....














229

Ahlu al-Rajul: asyiratuhu (keluarganya, atau orang yang memiliki hubungan


kekerabatan dengannya). Bentuk jamaknya adalah ahluun, ahaal, aahaal, dan
ahlaat.Ahlu al-amr : wulatuhu (pemimpinnya), dan ahl al-bait: sukkaanuhu (penghuni
rumahnya); ahlu al-madzhab (orang yang menganut madzhab itu); ahlu al-rajul : zaujuhu
(isterinya); sebagaimana ahlatihi. Ahlu al-nabiy saw adalah isteri-isterinya, anak-anak
perempuannya, dan kerabatnya (Ali bin Abi Thalib ra) atau isteriisterinya
Khalil bin Ahmad di dalam Kitab al-Ain menyatakan:


: .
:
:

: .
:
" : . :
"


: . "
230

229
230

"... :

Fairuz Abadiy, al-Qaamus al-Muhiith, juz 3, hlm. 53


Khalil bin Ahmad, al-Ain, juz 1, hlm. 281.

Ahlu al-rajul: zaujuhu (isterinya), dan orang yang memiliki hubungan paling khusus
dengannya). Al-ta`ahhulu : al-tazawwuj (pernikahan). Ahlu al-bait: sukkaanuhu
(penghuni). Ahlu al-Islaam: orang yang menganut agama Islam. Dari sinilah, dinyatakan;
si fulan ahli dalam hal ini atau hal itu. Allah swt berfirman, Huwa ahlu al-taqwa, wa
huwa ahlu almaghfirah. Tersebut di dalam kitab tafsir, bahwa Allah Azza wa Jalla
adalah Ahlun. Pasalnya, Dia Ahlun (Dzat yang wajib untuk paling) ditaati, dan tidak boleh
diselisihi; dan Dia Allah Dzat Yang paling berhak memberikan ampunan bagi orang yang
mentaatiNya. Bentuk plural dari ahlu : ahluun, ahlaat, dan al-ahaaliy (jamaknya
jamak)....
Kedua, kata al-sunnah,
Al-Imam Abu al-Baqo Ayub bin Musa al-Husaini al-Hanafi (w.1094 H. /1683 M.),
menyebutkan bahwa kata al-sunnah secaa bahasa bermakna at-thoriqoh wa law ghoiro
mardliyah (jalan atau cara walaupun tidak diridloi) 231
Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-Arab menyatakan, Makna asal dari
kata al-sunnah adalah al-thariiqah wa al-siirah (jalan dan perjalanan)...al-sunnah: althariiqah (jalan), demikian juga dengan kata alsanan.. al-sunnah juga bermakna althariiqah al-mahmuudah (jalan keutamaan); sehingga dikatakan, si fulan ahlu al-sunnah;
maksudnya adalah ahlu al-tariiqah al-mustaqiimah al-mahmuudah (pengikut jalan yang
lurus dan utama). Al-Sunnah diambil dari kata al-sanan yang bermakna althariiq
(jalan)..al-sunnah bisa juga bermakna al-thabiiah (tabiat)....Pada asalnya, al-sunnah
bermakna sunnat al-thariiq; yakni jalan yang dibuat oleh orang-orang yang pertama, lalu
jalan itu diikuti (ditempuh) oleh orang-orang yang datang sesudah mereka...232
Imam al-Raziy, di dalam Kitab Mukhtaar al-Shihaah, menyatakan; al-sanan :althariiqah (jalan). Sedangkan al-sunnah bermakna al-siirah (perjalanan atau kisah). 233
Imam al-Jurjaniy dalam Kitab al-Tariifaat mengatakan, Menurut bahasa, alsunnah bermakna al-thariqah al-mardliyyah au ghairu mardliyyah (jalan yang diridloi
maupun tidak diridloi).234
Dalam Kitab Bahr al-Muhiith disebutkan: Menurut bahasa, alsunnah bermakna althariiqah al-masluukah (jalan yang ditempuh). Pengertian ini berasal dari perkataan
orang Arab, Sanantu al-syai`a bi almisann idza amartuhu alaih hatta yu`atstsira fiih
sunaan ay tharaaiq (Aku membentuk sesuatu dengan gerinda (alat pengasah), jika aku
231

Hasyim asyari, Risalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Tebuireng Jombang, Maktabah Turots alIslami 1418 hal 5
232
Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 12, hlm. 220
233
Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hlm. 317
234
Imam al-Jurjaniy, al-Tariifaat, juz 1, hlm. 161

memerintahkannya untuk membentuk sesuatu, hingga meninggalkan bekas jalan)...Imam


al-Khathabiy menyatakan bahwa, makna asal dari sunnah adalah al-thariiqah almahmuudah (jalan terpuji). Jika kata ini disebutkan, maka secara otomatis orang akan
berpaling kepada makna ini (al-thariiqah al-mahmudah). Kadang-kadang, kata sunnah
digunakan tidak dengan makna ini, dengan sebuah batasan (muqayyad); seperti perkataan
mereka, Man sanna sunnat sai`ah (siapa saja yang membuat sunnah yang buruk).
Menurut kebiasaan ahli bahasa dan hadits, kata sunnah kadang-kadang disebutkan
dengan makna wajib dan selain wajib. Adapun menurut kebiasaan fukaha, mereka
menyebut sunnah dengan makna (hukum yang) tidak wajib. Sebagian ulama ushul
menyebut kata sunnah dengan makna, wajib, sunnah, dan mubah. Kata sunnah
kadangkadang disebutkan dengan makna perkara yang bertentangan dengan bidah. 235
Di dalam Kitab al-Qawaathi al-Adillah fi al-Ushuul disebutkan, al-Sunnah
merupakan ungkapan yang bermakna al-siirah (perjalanan)....Sunnah Nabi Mohammad
saw adalah al-thariiqah (jalan) yang ditempuh oleh Nabi Mohammad saw.....236
Imam al-Juwainiy di dalam Kitab al-Burhaan fi Ushuul al-Fiqh menyatakan, ..Alsunnah bermakna al-thariiqah (jalan). Kata al-sunnah diambil dari kata al-sanan dan
al-istinaan..(jalan).237
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul, menyatakan, Sunnah memiliki
pengertian bahasa dan syariy. Adapun menurut bahasa, sunnah bermakna al-thariiqah
al-masluukah (jalan yang ditempuh). Asal kata ini (al-sunnah) berasal dari perkataan orang
Arab, Sannantu al-syai` bi al-massan, idza amartuhu alaihi hatta yu`tsiru fiihi; ay
thaariqan. Imam al-Khathabiy berkata, Asal dari kata sunnah adalah al-thariiqah
almahmuudah (jalan yang mulia)..Ada pula yang menyatakan bahwa sunnah bermakna althariiqah al-mutaadah sawaa` kaanat hasanah au sai`ah (jalan kebiasaan, baik ia
berujud kebiasaan yang baik maupun yang buruk). 238
Imam al-Amidiy di dalam Kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam menyatakan,
Menurut bahasa, al-sunnah bermakna al-thariiqah (jalan). 239
Imam Sarkhasiy di dalam Kitab Ushul al-Sarkhasiy, Menurut bahasa, al-sunnah
bermakna al-thariiqah al-masluukah fi al-diin (jalan yang ditempuh dalam agama).. 240

235

Bahr al-Muhiith, juz 5, hlm. 124.


Mohammad Abd al-Jabbaar al-Samaniy, al-Qawaathi al-Adillah fi al-Ushuul, juz 1, hlm. 31
237
Imam al-Juwainiy, al-Burhan fi Ushuul al-Fiqh, juz 1, hlm. 417
238
Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, juz 1, hlm. 67
239
Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hlm. 282
240
Imam al-Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hlm. 113
236

Di dalam Kitab Taaj al-Uruus disebutkan, Menurut bahasa, sunnah bermakna alsiirah hasanah au qabiihah (perjalanan yang baik maupun buruk). Al-Azhariy berkata,
al-Sunnah adalah thariiqah al-mahmuudah almustaqiimah (jalan yang utama dan
lurus)...al-Sunnah juga bisa bermakna al-thabiiah (tabiat)..241
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pengertian bahasa
(literal) al-sunnah bermakna al-thariiqah, al-siirah, dan al-thabiiah. Hanya saja,
pengertian sunnah yang masyhur dikenal di kalangan orang Arab adalah al-thariiqah
(jalan) atau al-siirah (perjalanan).
Ketiga, kata al-jamaah;
Imam al-Raziy, di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan, Jamaa alsyai`a al-mutafarriq (mengumpulkan sesuatu yang terpisahpisah); fajtamaa, wa baabuhu
qathaa. Wa tajamma al-qaum : ijtamauu min hunaa wa hunaa (mereka berkumpul dari
sana sini). Al-jam : ism li jamaaat al-naas (kata benda untuk menunjukkan sekumpulan
manusia). Kata al-jam jika dijamakkan adalah jumuu...al-jam juga bermakna aldaqal
(kurma yang paling buruk). Kata jam juga bermakna Muzdalifah, karena manusia
sering berkumpul di sana....al-jamii, adalah untuk memperkuat, jika dikatakan, jaa`uu
jamiian, ay kulluhum (mereka datang seluruhnya). Al-Jamii juga diartikan lawan dari almutafarriq (berpecah belah). Al-jamii juga bermakna al-jaisy (pasukan). Al-jamii juga
bermakna al-hayy al-mujtami (kampung yang bersatu)... 242
Di dalam Kitab Mujam Lughat al-Fuqaha` disebutkan, Aljamaaah : al-adiid min
al-naas (sejumlah manusia (sekelompok manusia))... 243
Imam Ibnu Mandzur di dalam Lisaan al-Arab menyatakan, al-jam ism li jamaat
al-insaan (kata al-jam adalah kata benda yang menunjukkan pengertian sekelompok
manusia). Kata al-jamu adalah bentuk mashdar....Bentuk jamaknya adalah jumuu.
Sedangkan kata aljamaaah, al-jamii, al-majmi, wa al-majmaah sama seperti kata
aljamu. Orang-orang Arab kadang-kadang menggunakan kata-kata ini pada selain
manusia, hingga mereka menyatakan jamaaat al-syajar (sekelompok pepohonan), wa
jamaaat al-nabaat (sekelompok tumbuhan). Abdullah bin Muslim membaca hatta
ablagha majmi al-bahrain, wa huwa naadir ka al-masyriq wa al-maghrib (hingga ia
sampai di pertemuan dua laut, seperti kata al-masyriq wa al-maghrib ( namun
penggunaan kata majmi sangat jarang)....wa qaum jamii mujtamiuun (orang-orang
241

Imam al-Zabidiy, Taaj al-Uruus, juz 1, hlm. 8075


Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hlm. 110-111
243
Mujam Lughat al-Fuqaha`, juz 3, hlm. 228
242

yang berkumpul). Sedangkan kata al-majma menjadi ism (nama) untuk manusia dan
tempat di mana manusia berkumpul.. Amr jaami yajmau alnaas..(urusan bersama yang
mengumpulkan manusia)...misalnya seperti perang dan sebagainya... 244
Dengan demikiam kata al- jamaah secara kebahasaan dapat diartikan dengan
sejumlah besar orang-orang yang menjalin dan menjaga kebersamaan dalam mencapai
suatu tujuan yang sama, sebagai kebalikan dari al-firqah (orang-orang yang memisahkan
diri dari golongannya).
Dalam beberapa hadits shahih, Nabi

SAW

menyebut kelompok yang selamat

dengan nama al-jama'ah. Seperti dalam hadits:





















(3981) )

" ( 407) (16329) ( 2/241)


) (277) (18) "
.(130) " " (2
" :(63 / " " ).
. "
"Dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan , bahwa Rasulullah

bersabda: "Sesungguhnya

orang sebelum kamu dari pengikut Ahlil-kitab terpecah belah menjdi tujuh puluh dua
golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua
golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu
golongan al-jama'ah".245
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
244
Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 8, hal. 53; al-Muhkaam wa al-Muhiith al-Adzam, juz 1,
hlm. 120-121
245
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3981), al-Darimi (2/241) Ahmad (16329), al-Hakim
(407), al-Ajuri dalam al-Syari'ah (18), Ibn Baththah dalam al-Ibanah (277), Ibn Abi 'Ashim dalam alSunnah (2), dan al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (1/23/1). Al-Hafizh Ibn Hajar menilai
hadits ini hasan dalam Takhrij al-Kasysyaf (hal. 63).















) (2091) ) ..


:( 172) (9219
.(356) :
"Dari Umar bin al-Khaththab , berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa
yang menginginkan tempat yang lapang di surga, maka ikutilah ajaran al-jama'ah. Karena
syetan itu bersama orang yang sendirian. Dan syetan akan lebih jauh dari dua orang." 246
2. Pengertian secara istilah (terminologi)
Para ulama berbeda pendapat tentang Pengertian "as-sunnah" secara istilah sesuai
dengan disiplin keilmuan mereka masing-masing.
Ulama hadits, sebagaimana al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan :
Sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari nabi muhammad SAW yang
meliputi ucapan, perbuatan, pengakuan (taqrir) dan sesuatu yang bermaksud
dilakukan oleh nabi.247
Ulama ushul fikih sebagaimana imam asy-Syathibi dalam al-Muwafaqotnya
mengartikan sunnah dengan:
Sesuatu (selain al quran) yang secara khusus datang dari nabi Muhammad
saw, dan layak menjadi dalil dalam menetapkan hukum-hukum agama.248
Demikian pula Ulama fikih mengartikan sunnah dengan pengertian sebagai berikut:
Sesuatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala
dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. 249.
Hanya saja, pengertian di atas tentulah bukan pengertian yang dimaksud dalam
istilah ahlus sunnah wal jamaah dalam konteks perpecahan umat islam.
Adapun yang dimaksud dengan kata sunah pada istilah ahlus sunnah wal jamaah
dalam konteks perpecahan umat islam adalah sebagaimana yang telah disampaikan oleh
246
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2091), al-Nasa'i dalam al-Kubra (9219), Ahmad (172).
Al-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan shahih". Dan al-Hakim menilainya shahih (356).
247
Muhammad Idrus Romli, Pengantar Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Surabaya :Khalista, 2011,
hal 54
248
Muhammad Idrus Romli, Pengantar Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Surabaya :Khalista,
2011, hal 54
249
Qasim al-Qunami, Anis al-fuqaha, hlm. 106

pakar bahasa, al-Imam Abu al-Baqo Ayub bin Musa al-Husaini al-Hanafi(w.1094 H. /1683
M.),yang dikutib oleh Hadlrotusy Syekh Kiai Hasyim Asyari adalah sebagai berikut:



,
. :
Artinya: Sunnah menurut syara ialah nama bagi jalan dan prilaku yang di ridloi dalam
agama yang ditempuh oleh rosululloh saw dan orang-orang yang yang dapat menjadi
teladan dalam beragama, seperti sahabat ra. Berdasarkan sabda nabi saw. : Ikutilah
sunnahku dan sunnah khulafaur rosyidin sesudahku.250
Selanjutnya pengertian "al-jamaah" secara istilah (terminologi) para ulama juga
berbeda pendapat. Ada lima pendapat tentang makna yang menjadi maksud kata aljama'ah dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah:
Pertama, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah al-sawad al-a'dham
(kelompok mayoritas) di antara kaum Muslimin. Hal ini didasarkan pada hadits:


(3950) .


(2069) (1220)
(9/238) (153)
.(1/88)
"Dari Anas bin Malik , berkata: "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila
kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas." 251
250

Hasyim Asyari, Risalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Tebuireng Jombang, Maktabah Turots alIslami 1418 hal 5
251
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (3950), Abd bin Humaid dalam al-Musnad (1220), alThabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (2069), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahl al-Sunnah (153)

Dalam hadits ini, Nabi SAW menerangkan bahwa umat Islam tidak akan bersepakat
(berijma') pada suatu kesesatan. Hukum yang menjadi kesepakatan di antara mereka, dapat
dipastikan kebenarannya dan tidak akan tersesat dari jalan kebenaran. Namun manakala
terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, Nabi SAW memerintahkan kita agar
mengikuti kelompok mayoritas, karena kelompok mayoritaslah yang akan mengikuti jalan
kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu, tepat sekali apabila menafsirkan kata aljama'ah yang harus diikuti oleh kaum Muslimin ketika terjadi perpecahan di kalangan
mereka dengan makna al-sawad al-a'zham (kelompok mayoritas).
Kedua, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah para sahabat Nabi SAW.
Hal ini didasarkan pada hadits:





"






(2565) ) ."




:
.(








"Dari Abdullah bin Amr, bekata: "Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya umat
Bani Isra'il terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah
belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan yang akan selamat." Para sahabat bertanya: "Siapa satu golongan yang selamat
itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Golongan yang mengikuti ajaranku dan ajaran
sahabatku."252
Dalam hadits ini, Nabi SAW menjelaskan bahwa di antara tujuh puluh tiga kelompok
yang berpecah belah di antara umatnya, hanya satu kelompok yang akan selamat, yaitu
kelompok yang setia mengikuti ajaran Nabi SAW dan ajaran sahabatnya. Substansi hadits
ini tepat untuk menafsirkan kata al-jama'ah yang harus diikuti oleh kaum Muslimin ketika
terjadi perpecahan di antara mereka, dengan generasi sahabat Nabi SAW, karena kelompok
yang selamat adalah kelompok yang mengikuti ajaran Nabi SAW dan sahabatnya.

dan Abu Nu'aim dalam Hilyat al-Auliya' (9/238). Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam alJami' al-Shaghir (1/88). Demikian pula Syaikh Syu'aib al-Arna'uth juga menilai hadits tersebut kuat dan
dapat dijadikan hujjah berdasarkan syawahid-nya dalam tahqiq Siyar A'lam al-Nubala' (12/196-197).
252
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2565) dan ia mengatakan: "Hadits ini hasan dan gharib."

Ketiga, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah para ulama yang
mencapai tingkatan mujtahid. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kaum Muslimin
harus mengikuti pendapat para ulama yang mencapai tingkatan mujtahid dalam memahami
teks-teks keagamaan dan dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.
Keempat, maksud kata al-jama'ah dalam istilah tersebut ialah kesepakatan kaum
Muslimin terhadap suatu hukum keagamaan. Dan secara eksplisit, pendapat ini
menyatakan bahwa kata al-jama'ah yang dijamin sebagai kelompok selamat oleh Nabi
SAW dalam hadits-hadits shahih adalah kelompok yang menjadikan ijma' (kesepakatan
para mujtahid) sebagai salah satu dasar pengambilan hukum agama.
Dan kelima, sekelompok kaum Muslimin apabila bersepakat pada kepemimpinan
seseorang.
Beberapa pendapat yang berbeda tersebut apabila diperhatikan dengan cermat,
sebenarnya kembali dan bermuara pada arti dan maksud yang sama. 253 Hal ini dapat kita
lihat dengan memperhatikan hubungan pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya.
Misalnya antara pendapat pertama yang mengatakan bahwa maksud kata al-jama'ah dalam
istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah di atas adalah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad ala'zham), jika dihubungkan dengan pendapat kedua yang mengatakan bahwa kata aljama'ah dalam istilah tersebut adalah kelompok para sahabat Nabi SAW. Antara keduanya
tidak ada perbedaan secara substansial, karena secara riil, mayoritas kaum Muslimin
hingga saat ini masih mengikuti ajaran para sahabat Nabi SAW. Demikian pula jika
pendapat tersebut kita hubungkan dengan pendapat-pendapat lainnya. Kita dapati bahwa
mayoritas kaum Muslimin secara riil masih mengikuti pendapat dan metodologi para ulama
mujtahid dalam memahami teks-teks keagamaan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama,
dalam menerima ijma' (konsensus) sebagai salah satu dalil dalam pengambilan hukum
agama, dan dalam menerima seorang pemimpin yang sesuai dengan ajaran Nabi SAW dan
sahabatnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelima pendapat tersebut pada dasarnya
hanya berbeda secara verbal, tidak secara substansial. 254
Berdasarkan seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa, istilah ahlu alsunnah wa al-jamaah adalah istilah khusus untuk menyebut orang yang senantiasa berada
di atas jalan yang ditempuh oleh rosululloh SAW dan orang-orang yang dapat menjadi
teladan dalam beragama Seperti halnya para shahabat Ra. , baik dalam hal aqidah,
amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf), sebagaimana pernyataan Syekh Abu al253
254

Al-Hafizh Abu Bakr al-Ajuri, al-Syari'ah (1/23).


Lihat misalnya: Al-Syathibi, al-I'tisham (2/260-265).

Fadl ibn Syekh Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya "Al-Kawakib al-Lammaah
fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah" (kitab ini telah disahkan oleh
Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah), menyebutkan definisi Ahlussunnah wal
jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah
Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqh) dan
akhlaq batin (tasawwuf).

B. Lahirnya Istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah


Pada masa Nabi SAW dan generasi awal sahabat, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah
belum ada dan belum dikenal di kalangan kaum Muslimin. Karena pada saat itu, kaum
Muslimin masih bersatu dan belum lahir kelompok-kelompok yang menyimpang dari
ajaran Islam yang murni. Namun kemudian, setelah kelompok-kelompok yang
menyimpang dari ajaran Islam yang murni mulai bermunculan pada akhir generasi sahabat
Nabi SAW, seperti aliran Khawarij, Murji'ah, Saba'iyah (Syi'ah) dan Qadariyah, istilah
Ahlussunnah Wal-Jama'ah mulai diperkenalkan sebagai nama bagi mereka yang masih
setia pada ajaran Islam yang murni dan steril dari ajaran bid'ah yang menyimpang dari
kebenaran. Hal ini dapat kita buktikan dengan memperhatikan beberapa riwayat yang
menyebutkan bahwa istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah diriwayatkan dari sahabat Nabi
SAW generasi junior (shighar al-shahabah) seperti Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abi Sa'id alKhudri . Misalnya Ibn Abbas (3 SH-68 H/619-688 M) berkata:



( 106 : : )












) .






(3/334) ( 3/124)
(1/90)
.(2/407) ( 2/92)
"Ibn Abbas berkata ketika menafsirkan firman Allah: "Pada hari yang di waktu itu
ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. (QS. Alu-Imram :
106). "Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri, adalah pengikut Ahlussunnah

Wal-Jama'ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya


hitam muram, adalah pengikut bid'ah dan kesesatan."255
Pada generasi tabi'in dan ulama salaf sesudahnya, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah
semakin populer dan dibicarakan oleh ulama-ulama terkemuka, di antaranya:
(1) Khalifah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz (61-101 H/681-720 M) dalam risalah-nya
yang membantah ajaran Qadariyah, telah memberikan penjelasan tentang akidah
Ahlussunnah Wal-Jamaah berkaitan dengan qadha' dan qadar Allah.256
(2) Al-Imam al-Hasan bin Yasar al-Bashri (21-110 H/642-729 M) dalam satu
keterangannya tentang posisi Ahlussunnah Wal-Jama'ah.257
(3) Al-Imam Muhammad bin Sirin (33-110 H/654-729 M) yang pernah mengatakan,
Para ulama dulu tidak pernah mempertanyakan tentang sanad. Akan tetapi setelah
terjadinya fitnah, mereka menuntut adanya sanad. Maka apabila sanad-nya melalui
jalur Ahlussunnah, mereka menerima haditsnya. Dan apabila sanad-nya melalui jalur
Ahlul-Bidah, mereka menolak haditsnya.258
(4) Al-Imam Sufyan bin Said al-Tsauri (97-161 H/715-778 M), yang pernah berkata:
Berilah perlakuan yang baik kepada golongan Ahlussunnah.259
(5) Al-Imam Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, ketika ditanya tentang siapa
Ahlussunnah Wal-Jama'ah, beliau menjawab: "Ahlussunnah adalah mereka yang
tidak memiliki julukan secara khusus, seperti julukan Jahmiyah, Qadariyah dan
Rafidhiyah."260
Pada masa periode salaf, istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dijadikan nama bagi
kalangan umat Islam yang mengikuti ajaran Islam yang murni yang diajarkan oleh Nabi
SAW dan sahabat. Sehingga istilah ini menjadi nama bagi kaum Muslimin yang bersih dari
ajaran bid'ah seperti ajaran Syi'ah, Khawarij, Qadariyah, Jahmiyah, Murji'ah dan lain-lain,
255

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dalam al-Tafsir (3/124), Abu Nashr dalam al-Ibanah,
al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (3/334), al-Lalika'i dalam Syarh Ushul I'tiqd Ahl al-Sunnah (1/90), Ibn
Katsir dalam al-Tafsir (2/92) dan al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur (2/407).
256
Al-Hafizh Abu Nuaim, Hilyat al-Auliya, juz V, hal. 346.
257
Sunan al-Darimi, hadits nomor 218.
258
Shahih Muslim, bagian mukadimah.
259
Ibn al-Jauzi, Talbis Iblis, hal. 25.
260
Ibn 'Abdil Barr, al-Intiqa' fi Fadhail al-A'immat al-Tsalatsah al-Fuqaha', hal. 35.

hingga akhirnya istilah ini menjadi nama bagi pengikut dua imam terkemuka, yaitu alImam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi.

C. Sejarah Lahirnya Madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi


Ketika Nabi SAW. diutus, masyarakat Hijaz dan sekitarnya seperti Palestina, Syam,
Romawi, Iraq, Persia, India, Afrika dan lain-lain adalah penganut politeis yang memuja
unsur-unsur alam seperti berhala, patung-patung, bintang-bintang dan lain-lain. Lalu Nabi
SAW diutus untuk mengajak mereka kepada agama Islam. Nabi SAW menjelaskan
kebenaran dakwahnya dengan berbagai argumentasi dan dalil dari Allah SAW sehingga
tidak ada alasan bagi siapapun untuk menentang dan menyangsikan kebenaran dakwahnya.
Nabi SAW membangunkan akal dan hati manusia dengan metode dan argumentasi yang
tidak sulit dijangkau oleh kalangan awam dan tidak dapat ditolak oleh mereka yang cerdas,
sehingga dengan suka rela mereka berbondong-bondong mengikuti agamanya. Nabi SAW
mengajarkan mereka cara menyucikan Allah dari segala kekurangan dan sifat-sifat
makhluk, cara mengamalkan agama dalam aspek amaliah dan melatih mereka pada
keutamaan dan budi pekerti yang luhur. Selanjutnya dakwah Nabi SAW tersebar luas ke
seluruh penjuru. Cahaya hidayahnya menerangi jalan ruhani masyarakat manusia di Timur
dan di Barat. Sedangkan mayoritas ajaran yang diterima mereka dari Nabi SAW adalah
menyangkut pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya serta pengetahuan tentang
hukum-hukum amaliah seperti ibadah dan muamalah.
Para sahabat seringkali menanyakan kepada Nabi SAW tentang kebenaran dalam hal
akidah dan pengetahuan tentang Allah. Mereka juga menanyakan tentang kebatilan dan
keburukan agar dapat menjauhinya. Hudzaifah bin Al-Yaman (w. 36 H/656 M)
misalnya berkata:









.(3338 ) .


Dari Abi Idris al-Khaulani, bahwa dia mendengar Hudzaifah bin al-Yaman berkata:
"Orang-orang selalu bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan. Tetapi aku selalu
menanyakan tentang keburukan khawatir terjerumus ke dalamnya.261
261

Shahih Al-Bukhari, hadits nomor 3338.

Nabi SAW

juga menyampaikan bahwa akan lahir sekian banyak aliran yang

menyalahi ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda: Umat ini
akan berkelompok-kelompok menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Tujuh puluh dua akan ke
neraka dan hanya satu kelompok yang akan masuk surga yaitu kelompok yang mengikuti
ajaran al-jamaah.262
Setelah Nabi SAW wafat, sekian banyak kelompok bermunculan dalam Islam seperti
Mutazilah yang disebut dengan kelompok Qadariyah karena paham mereka yang
mengingkari qadar. Kelompok Jahamiyah yang disebut dengan Jabariyah (fatalisme)
pengikut Jahm bin Shafwan yang berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan
dan inisiatif apa pun terhadap perbuatannya, ia hanya seperti bulu yang terbang di udara
dan hanya dapat diombang-ambingkan udara ke mana-mana. Kelompok Khawarij yang
menentang Sayidina Ali bin Abi Thalib dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Kelompok
Syiah yang sangat ekstrim mengkultuskan Sayidina Ali dan anak cucunya dan
mengkafirkan para sahabat. Kelompok Murji`ah yang berpandangan bahwa Allah tidak
akan menyiksa orang mukmin yang melakukan dosa besar. Kelompok Karramiyah yang
berpandangan bahwa Allah ditempati perkara baru (hawadits) dalam Dzat dan perkataanNya, dan mereka juga berpandangan bahwa Allah tidak memiliki batas dari lima arah
kecuali satu batas dari arah bawah. Kelompok Musyabbihah dan Mujassimah cikal bakal
kelompok Wahhabi dewasa ini yang mengeluarkan pandangan-padangan tentang Dzat
Allah yang tidak dapat dibenarkan oleh dalil agama dan akal seperti menetapkan bahwa
Allah itu bergerak, berpindah tempat, memiliki batas, memiliki arah, duduk, mendudukkan
Nabi di sampingnya, terlentang, bertempat dan lain-lain yang mereka serap dari agama
dualisme (Majusi) dan politeisme.
Selanjutnya tidak sedikit pula orang-orang yang kreatif dan rajin menyebarluaskan
akidah kekafiran di antara kaum Muslimin, menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani,
buku-buku kelompok zindik (zanadiqah) dan buku-buku agama dualisme Persia, sehingga
pengaruh dari penyebaran buku-buku tersebut sangat dahsyat terhadap akidah kaum
Muslimin, dan persoalan menjadi kian gawat serius. Sehingga setelah Khalifah al-Mahdi
(127-169 H/745-785 M) khalifah ketiga dari dinasti Abbasiyah - berkuasa, ia memburu
kelompok zindik dan melakukan tindakan eksekusi (hukuman mati) terhadap sebagian
besar mereka. Ia seorang Khalifah yang sangat konsisten terhadap akidah Ahlussunnah
Wal-Jamaah dan tercatat sebagai Khalifah pertama yang mengeluarkan instruksi kepada
para ulama agar menulis kitab-kitab jadal (ilmu kalam) yang membantah pandangan262

Sunan Abi Dawud, hadits nomor 3981.

pandangan kelompok yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah Wal-Jamaah.263


Sehingga berdasarkan instruksinya, tidak sedikit para ulama yang menyusun kitab-kitab
yang isinya membentangkan dalil-dalil Ahlussunnah Wal-Jamaah, menghilangkan
keserupaan-keserupaan (syubuhat) Ahlul-Bidah, menjelaskan kebenaran dan mengabdikan
dirinya kepada agama. Sebelum wafatnya, Khalifah al-Mahdi memberikan wasiat kepada
anaknya dan calon penggantinya, yaitu Khalifah al-Hadi (147-170 H/764-786 M) agar
memburu kelompok zindik. Sehingga setelah al-Mahdi wafat, Khalifah al-Hadi sangat
serius memburu dan melakukan eksekusi terhadap sebagian besar mereka. 264
Di sisi lain, kelompok-kelompok diluar Ahlussunnah Wal-Jamaah memiliki sekian
senjata argumentasi yang tidak dapat dihadapi kecuali dengan senjata serupa. Sehingga hal
tersebut menyeret perhatian para ulama, setapak demi setapak, untuk menghadapi mereka
dalam beberapa fase. Karena apabila persoalan akidah yang telah dirusak oleh kalangan
ahli bid'ah tersebut dibiarkan begitu saja, maka keraguan terhadap akidah Islam akan dapat
mudah menyelusup ke dalam hati kaum Muslimin sehingga persoalan akan menjadi kian
serius.
Dalam kondisi gawat itulah, tepatnya setelah tahun 260 Hijriah, 265 dimana
kelompok-kelompok ahli bid'ah, seperti Mu'tazilah, Murji'ah, Mujassimah dan lain-lain
semakin gencar. Sementara ajaran Ahlussunnah Wal-Jama'ah sangat terancam dan kaum
Muslimin berada dalam kondisi kritis yang penanganannya membutuhkan seorang ulama
pembaharu (mujaddid) untuk mengembalikan ajaran Islam ke pangkalannya yang benar,
ternyata Allah telah menyiapkan dua ulama besar yang akan menjadi panutan mayoritas
kaum Muslimin sepanjang masa, yaitu al-Imam Abu Al-Hasan al-Asyari dan al-Imam Abu
Manshur al-Maturidi. Kedua imam yang agung ini memberikan penjelasan akidah
Ahlussunnah Wal-Jama'ah yang diajarkan oleh para sahabat Nabi dan generasi salaf yang
saleh penerus mereka, dengan menyampaikan dalil-dalil naqli (tradisional) dan 'aqli
(rasional). Keduanya juga menyampaikan bantahan terhadap keserupaan-keserupaan
kelompok ahli bid'ah seperti Mu'tazilah, Murji'ah, Syi'ah dan lain-lain dengan bantahan
yang sempurna. Lalu metodologi dan pandangan-pandangan beliau berdua dalam
menguraikan akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah dan membantah ajaran aliran-aliran bid'ah
secara sempurna diikuti oleh mayoritas ulama kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah
dari pengikut empat madzhab pada saat itu, sehingga mulai saat itu mulailah terjadi
pergeseran istilah Ahlussunnah Wal-Jama'ah menjadi istilah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
263
264

Al-Hafizh Jalaluddin Al-Suyuthi, Tarikh Al-Khulafa, hal. 253.


Ibid, hal. 260.
265
Al-Hafizh Ibn Asakir al-Dimasyqi, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 164.

Pada akhirnya, pengikut Ahlussunnah Wal-Jama'ah disebut dengan pengikut madzhab alAsy'ari dan madzhab al-Maturidi.

D. Ruang Lingkup Aswaja


Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (addn) yang membentuk tiga dimensi
keagamaan meliputi syar'ah sebagai realitas hukum, tharqah sebagai jembatan menuju
haqqah yang merupakan puncak kebenaran esensial. Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan
dari keutuhan risalah yang dibawa Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek
eksoterisme (lahir) dan esoterisme (batin). Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan),
masing-masing saling melengkapi satu sama lain dan inilah yang menjadi ruang lingkup
aswaja. Sehingga Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa mengintegrasikan
keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan seimbang dalam perilaku dan
penghayatan keagamaan umat, seperti yang ditegaskan dalam firman Allah:







Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)
Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:"Hakikat Islam adalah aktifitas
badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah aktifitas hati
dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam penyaksian
(musyhadah) kepada Allah.
Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi
keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fiqh. Kecenderungan ulama dalam
menekuni dimensi keimanan, melahirkan disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama
dalam dimensi keihsanan, melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham ASWAJA
mengakomodir secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran
esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme, merupakan
kemunafikan. Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme adalah klenik. Sematamata formalitas adalah tiada guna, demikian juga spiritualitas belaka adalah sia-sia. Imam
Malik mengatakan:





Barang siap menjalani tasawuf tanpa fiqh, maka dia telah zindiq, barang siapa memegang
fiqh tanpa tasawuf, maka dia telah fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka
dia telah menemukan kebenaran.
a. Doktrin Ke "iman" an
Iman adalah pembenaran (tashdq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang
dibawanya dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam
bidang tauhid (teologi/kalam) ini, ASWAJA berpedoman pada akidah islamiyah
(ushluddn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al'asy'ari (260 H./874 M. 324 H./936
M.) dan Abu Manshur Almaturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh ASWAJA ini nyaris sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi
sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya, kendati
keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam
tiga masalah yang tidak berakibat fatal. Yaitu dalam masalah istitsn, takwn, dan iman
dengan taqlid.
Pertama istitsna, atau mengatakan keimanan dengan insya'Allah, seperti Saya
beriman, insya'Allah, menurut Maturidiyah tidak diperbolehkan, karena istitsn demikian
mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal dengan adanya ragu-ragu. Menurut
Asy'irah diperbolehkan, karena maksud istisn demikian bukan didasari keraguan atas
keimanan itu sendiri, melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau
tidak, nadzu billah min dzalik. Atau, istitsndemikian maksudnya keraguan dan
spekulasi terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Kedua sifat takwn (mewujudkan), menurut Asy'irah sifat takwn ( )tidak
berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah, takwn adalah sifat
tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.
Dan ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui
dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk surga.
Sedangkan Menurut Abu Alhasan Al'asy'ari, keimanan demikian tidak cukup. Sedangkan
Asy'irah (pengikut Abu Alhasan Al'asy'ari) berbeda pendapat tentang imannya muqallid.
Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena tidak mau berusaha mengetahu melalui
dalil; sebagian mengatakan mukmin dan tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui
dalil; dan sebagian yang lain mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.

Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada iman bittaqld,
iman biddall, iman bil iyyn dan iman bil haqq.
Pertama, iman bittaqld adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa
mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih
diperselisihkan.
Kedua, iman biddall (ilmul yaqn) ialah keyakinan terhadap aq'id lima puluh
dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang ( )
dalam mengetahui Allah.
Ketiga,

iman bil

iyyn (ainul

yaqn)

ialah

keimanan

yang

senantiasa

hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari
kesadaran hatinya.
Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqn) yaitu keimanan yang telah terlepas dari
segala yang hadts dan tenggelam dalam fan' billah.
Mempelajari

ilmu

tauhid,

fiqh

dan

tasawuf,

hanya

akan

menghasilkan

iman biddall(ilmul yaqn), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan
penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyn (ainul yaqn) hingga puncaknya
mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqn).
Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau mengesakan Allah dalam af'l,
shifah dan dzt. Dengan demikian, tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid fili, yaitu fana dari
seluruh perbuatan; tauhid washfi, yaitu fana dari segala sifat; dan tauhid dzati,
yaitu fana dari segala yang maujd. Fana fili disebut juga dengan ilmul yaqn, fana
washfi disebut juga dengan ainul yaqn, dan fana dzati juga disebut dengan haqqul yaqn.
Level tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah:








Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu. (QS. Ashshafat: 96)
Sebagian ulama 'arif billah menyatakan:



Barang siapa dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia
telah

beruntung,

barang

siapa

menyaksikannya

tidak

hidup,

maka

itu

diperbolehkan, dan barang siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah


wushul.

Konsep tauhid ASWAJA mengenai af'l (perbuatan) Allah, berada di tengah antara
paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu'tazilah di pihak lain. Ketika
Jabariyah menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala
kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mutazilah
menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan
perbuatannya, maka lahirlah ASWAJA sebagai sekte moderat di antara dua paham ektrim
tersebut. ASWAJA meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar)
namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam
keyakinan ASWAJA, secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun
secara batin, manusia adalah majbr(tidak memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan ASWAJA, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan
menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan maksiat
ataupun bid'ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat syahadat, maka
ASWAJA tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai orang yang sesat (dhall)
dan

durhaka.266

ASWAJA

sangat

berhati-hati

dan

tidak

gampang

dalam

sikap takfr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang yang sejatinya mukmin
akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

Ketika seseorang berkata kepada saudaranya: wahai seorang yang kafir, maka
salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan
wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat ditawil, mengingkari kenabian,
mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma'lm bi adldlarri), dan
mengingkari hal-hal mutawtir atau mujma alaih yang telah lumrah diketahui. Tindakan
yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa meliputi ucapan, perbuatan atau
keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas ketika telah terbukti (tahaqquq) dan
tidak bisa ditawil.
b. Doktrin Ke "islam" an
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fiqh yang
meliputi hukum-hukum legal-formal (ubudiyah, mu'amalah, munakahah, jinayah,
siyasah dan lain-lain), ASWAJA berpedoman pada salah satu dari empat madzhab fiqh:
Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah.
266

Yusuf bin Ismail Annabhani, Syawahid Alhaqq, hlm. 19

Ada alasan mendasar mengenai pembatasan ASWAJA hanya kepada empat madzhab
ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui konsep-konsep
madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi pola pikir dari empat
madzhab ini relatif tawzun (berimbang) dalam mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis)
dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat
dibanding madzhab Dawud Adh dhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab
Mu'tazilah yang cenderung rasionalis.
Jalan tengah (tawsuth) yang ditempuh ASWAJA di antara dua kutub ekstrim, yaitu
antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini sebagai
jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang baik, sebagaimana
yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya:
Sebaik-baiknya perkara adalah tengahnya.

Dengan prinsip inilah ASWAJA mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan
dalil Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung kemungkinan
lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa
kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh ASWAJA hanya bersifat kemungkinan dan bukan
kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan bukan mutlak benar. Empat dalil (Alqur'an,
Hadits, Ijma' dan Qiyas) ini dirumuskan dari ayat:


.









Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan

ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) (QS.
Annisa': 59)
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa dijadikan
tendensi penggalian (istinbth) hukum, yaitu Alqur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Perintah
taat kepada Allah dan utusanNya, berarti perintah berpegang pada Alqur'an dan Hadits,
perintah taat kepada ulil amri berarti perintah berpegang pada Ijma' (konsensus) umat
(mujtahidn), dan perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti
perintah berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma'. Sebab, Qiyas
hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum Allah dan utusanNya.

Disamping itu, ASWAJA juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat
yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan melakukan
ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki kapasitas dan piranti
ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fiqh. Dengan demikian, ASWAJA tidak
pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat
Islam yang agaknya dewasa ini 'enggan' memasukinya. Mewajibkan ijtihad kepada umat
yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja memaksakan susuatu di luar batas
kemampuannya. Maka kepada umat seperti inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh
ASWAJA berdasarkan firman Allah:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS. Annahl: 43)
c. Doktrin Ke "ihsan" an
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-teori
ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dengan jalan
melepaskan (takhall) baju kenistaan (akhlaq madzmmah) dan mengenakan (tahall) jubah
keagungan (akhlaq mahmdah), sehingga Allah hadir (tajall) dalam setiap gerak-gerik dan
perilakunya, dan inilah manifestasi konkret dari ihsan dalam sabda Rasulullah saw.:

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya, dan jika

engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.


Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau
akhlaq ini, ASWAJA berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang
dirumuskan oleh Imam Aljunaid Al baghdadi dan Al Ghazali. Limitasi (pembatasan) hanya
kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh tasawuf falsafi dari kelompok
ASWAJA, seperti Ibn Al'arabi, Al hallaj dan tokoh-tokoh sufi 'kontroversial' lainnya.
Dari uraian di atas, dapat di mengerti bahwa kelompok yang masuk kategori
ASWAJA meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fiqh (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan bahkan
ahli hadits (muhadditsn). Dari kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki konsep
metodologis dan tema kajian sendiri-sendiri yang tidak bisa diuraikan di sini.

E.

BIDANG SOSIAL POLITIK

Dalam perkembangan sejarah umat islam, terdapat aspek lain yang membedakan
ajaran\doktrin Ahlussunnah wal-jamaah dengan kelompok lain. Hal ini dapat difahami,
karena kelompok-kelompok klasik dalam sejarah umat islam, terutama khowarij, syiah dan
mutazilah, semuanya mengusung isu politik, bahkan pada bagian tertentu ranah politik
dikaitkan dengan doktrin keimanan. Sehingga dengan sendirinya, aspek politik ini
melengkapi inti ajaran Ahlussunnah wal-jamaah, selain aspek akidah dan fikih.
Berbeda dengan golongan Syiah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan
berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jamaah dan golongan sunni umumnya memandang
negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syiah tersebut juga berbeda dengan
golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu
mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jamaah, negara merupakan alat untuk mengayomi
kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah
musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jamaah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara
boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat
tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu adalah:
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap
keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai
berikut:
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan
yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya
kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila
mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b. Prinsip Al-Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam AlQuran. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk
pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS An-Nisa, 4: 58)
c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib
hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syariah
dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:

Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin
kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan
berkembang dalam wilayahnya.
Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya.
Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga
negara.
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan
keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis
keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh
mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus
memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
Hifzh al-Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan
setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan
pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi
setiap warga negara.

Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern
bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jamaah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran
baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi
pemimpin di kelak kemudian hari.
d. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa
dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari
yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga
tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat AlHujuraat disebutkan:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses
sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan
dalam surat Al-Maidah.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh
pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata
adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar
manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan
jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syariat Islam dan
Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jamaah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam AlQuran, Sunnah, Ijma dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan
untuk menjamin agar sebuah pemerintahan baik negara maupun kerajaan harus mampu memenuhi 4
(empat) kriteria di atas.

F. Metode berfikir (Manhaj Al-Fikr) Aswaja


Jika kita mencermati doktrin-doktrin paham ASWAJA, baik dalam akidah (iman), syariat
(islam) ataupun akhlak (ihsan), maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran (manhaj
alfkr) yang tengah dan moderat (tawassuth), berimbang atau harmoni (tawzun), netral atau adil
(ta'dul), dan toleran (tasmuh). Metodologi pemikiran ASWAJA senantiasa menghidari sikapsikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri.
Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham ASWAJA dengan sekte-sekte
Islam lainnya. Dan dari prinsip metodologi pemikiran seperti inilah ASWAJA membangun
keimanan, pemikiran, sikap, perilaku dan gerakan.
a. Tawasuth (Moderat)

Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke kanan atau ke
kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi
semangat dalam mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari
solusi yang paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:




Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan

agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143)
b. Tawzun (Berimbang)
Tawzun ialah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan
dalil-dalil (pijakan hukum) atau pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah
keputusan

dan

kebijakan.

Dalam

konteks

pemikiran

dan

amaliah

keagamaan,

prinsip tawzun menghindari sikap ekstrim (tatharruf) yang serba kanan sehingga melahirkan
fundamentalisme, dan menghindari sikap ekstrim yang serba kiri yang melahirkan liberalisme
dalam pengamalan ajaran agama. Sikap tawzun ini didasarkan pada firman Allah:





Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25)
c. Ta'dul (Netral dan Adil)
Ta'dul ialah sikap adil dan netral dalam melihat, menimbang, menyikapi dan menyelesaikan
segala permasalahan. Adil tidak selamanya berarti sama atau setara (tamtsul). Adil adalah sikap
proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Kalaupun keadilan menuntut
adanya kesamaan atau kesetaraan, hal itu hanya berlaku ketika realitas individu benar-benar sama
dan

setara

secara

persis

dalam

segala

sifat-sifatnya.

Apabila

dalam

realitasnya

terjadi tafdlul(keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdll).


Penyetaraan antara dua hal yang jelas tafdlul, adalah tindakan aniaya yangbertentangan dengan
asas keadilan itu sendiri. Sikap ta'dul ini berdasrkan firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali

kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Alma'idah: 9)
d. Tasmuh (toleran)
Tasmuh ialah sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala kenyataan perbedaan
dan keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan, sosial kemasyarakatan, suku, bangsa,
agama, tradisi-budaya dan lain sebagainya. Toleransi dalam konteks agama dan keyakinan bukan
berarti kompromi akidah. Bukan berarti mengakui kebenaran keyakinan dan kepercayaan orang
lain. Toleransi agama juga bukan berarti mengakui kesesatan dan kebatilan sebagai sesuatu yang
haq dan benar. Yang salah dan sesat tetap harus diyakini sebagai kesalahan dan kesesatan. Dan
yang haq dan benar harus tetap diyakini sebagai kebenaran yang haq. Dalam kaitannya dengan
toleransi agama, Allah swt. berfirman:

Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. Alkafirun: 6)





Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali
Imran: 85)
Toleransi dalam konteks tradisi-budaya bangsa, ialah sikap permisif yang bersedia
menghargai tradisi dan budaya yang telah menjadi nilai normatif masyarakat. Dalam pandangan
ASWAJA, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam
akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan

demikian, tasmuh (toleransi),

berati

sebuah

sikap

untuk

menciptakan

keharmonisan kehidupan sebagai sesama umat manusia. Sebuah sikap untuk membangun
kerukunan antar sesama makhluk Allah di muka bumi, dan untuk menciptakan peradaban
manusia yang madani. Dari sikap tasmuh inilah selanjutnya ASWAJA merumuskan konsep
persaudaraan

(ukhuwwah)

keislaman), ukhuwwah

universal.

Meliputi ukhuwwah

wathaniyyah(persaudaraan

basyariyyah atau insniyyah(persaudaraan

kemanusiaan).

islamiyyah (persaudaan

kebangsaaan)
Persaudaraan

dan ukhuwwah
universal

untuk

menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman
Allah swt.:








Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Albaqarah: 30)

G.

PRINSIP AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR ASWAJA

Amar ma'ruf nahi munkar adalah satu paket istimewa dari agama untuk umat Muhammad
saw. guna menegakkan panji-panji ketuhanan dan melenyapkan segala kemunkaran di muka
bumi, serta menjaga keberlangsungan tatanan kehidupan. Keberadaannya menjadi tugas pokok
yang tak terpisahkan dari kewajiban agama. Allah swt. berfirman:





Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110)

Amar ma'ruf nahi munkar adalah tugas agung yang diwajibkan agama untuk umat Islam,
karena tanpa ada kewajiban ini, niscaya dunia hanya akan menjadi episode angkara murka dan
berada di bawah ancaman adzab Allah. Rasulullah saw. bersabda:



Sesungguhnya manusia di saat mereka melihat perkara munkar kemudian mereka tidak mau
merubahnya, maka dekat kemungkinan Allah akan meratakan mereka dengan siksa.

Dalam tataran praktis, ASWAJA merumuskan konsep tahapan atau fase-fase amar ma'ruf
nahi

munkar sebagai

pola

aplikasinya,

yang

meliputi ta'rf

(memberi

tahu),

wa'dh (menasehati), takhsyn f alqaul (dengan nada keras), dan man'u bi alqahri(mencegah
paksa). Konsep fase-fase amar ma'ruf nahi munkar ini berdasarkan sabda Nabi saw.:

.








Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran maka hendaklah menghilangkannya
dengan kemampuannya (tangannya), apabila tidak mampu maka dengan perkataan (lisan),

apabila tidak mampu maka dengan mengingkari di dalam dan yang demikian itu adalah
paling lemah-lemahnya keimanan. (HR. Muslim)
Dua fase yang pertama (ta'rf dan wa'dh), legal dilakukan oleh setiap individu. Sedangkan
dua fase yang terakhir, (takhsyn f alqaul dan man'u bi alqahri), hanya menjadi wewenang
pihak yang memiliki kekuasaan (pemerintah). Hal ini dikarenakan kedua fase terakhir ini
sangat berpotensi menimbulkan fitnah jika dilakukan secara individual, dan amar ma'ruf
nahi munkar haram dilakukan jika justeru akan menimbulkan kemungkaran (fitnah) yang
jauh lebih besar.
Secara periodik, kemunkaran diklasifikasikan menjadi tiga. Kemunkaran yang telah
berlangsung, kemunkaran yang sedang berlangsung, dan kemunkaran yang akan berlangsung.
Bentuk tindakan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kemunkaran yang telah dilakukan
adalah uqbah (hukuman), dan untuk kemunkaran yang akan terjadi adalah zajr (menjerakan atau
menggagalkan),

sedangkan

untuk

kemunkaran

yang

sedang

berlangsung

adalah daf'u (menghentikan). Dari tiga bentuk tindakan amar ma'ruf nahi munkar tersebut, hanya
tindakan daf'u(menghentikan) kemunkaran yang sedang berlangsung yang legal dilakukan oleh
individu. Sedangkan tindakan uqbah dan zajr atas kemunkaran yang telah atau akan terjadi,
hanya menjadi wewenang pihak pemerintah atau pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. 267[4]
Pengerusakan, pembakaran dan pengeboman terhadap tempat-tempat maksiat dalam skala
besar, atau tindakan-tindakan kekerasan (anarkhisme, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme)
dengan mengatasnamakan sebagai aktifitas amar ma'ruf nahi munkar, merupakan tindakan yang
sudah di luar wilayah kewajiban individu atau kelompok, karena tindakan demikian sangat riskan
justeru mengundang fitnah yang jauh lebih besar. Bahkan tindakan-tindakan destruktif demikian
termasuk cara-cara ilegal dalam agama.
Sederhananya, cara-cara santun, humanis dan penuh hikmah serta tidak destruktif, adalah
prinsip-prinsip amar ma'ruf nahi munkar yang menjadi ajaran ASWAJA. Prinsi-prinsip demikian
didasarkan pada firman Allah swt.:





Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik

dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. Annahl: 125)

267

Alghazly, Ihy' Ulmiddn, bab: amar ma'rf nahi munkar, vol. II








Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik

kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Alqashah: 77)

H. Madzhab Ahlissunnah Wal Jama'ah


Madzhab dalam bidang fiqh berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan
sampai sekitar awal abad ke-2 Hijriyah. Rujukan dalam menggali hukum suatu permasalahan
masih tetap sama yaitu, Al Quran, Sunnah Nabi dan Ijtihad para ahli fiqh. Pada masa itu
kedudukan ijtihad sebagai metode penggalian hukum semakin kokoh dan diterima oleh semua
komponen masyarakat.
Jumhur al ulama sepakat mengatakan bahwa madzhab saat itu ada 13 madzhab ahlissunnah
wal jama'ah yaitu :

1.

Madzhab Sufyan bin 'Uyainah (198 H.) di Makkah

2.

Madzhab Maliki (179 H.) di Madinah

3.

Madzhab Hasan Bashri (110) di Bashrah

4.

Madzhab Abu Hanifah (80-150 H.) di Kufah

5.

Madzhab Sufyan al Tsauriy (161 H.) di Kufah

6.

Madzhab Auza'iy (157 H.) di Syam

7.

Madzhab Syafi'i (150-204 H.) di Mesir

8.

Madzhab Laits bin Sa'ad (175 H.) di Mesir

9.

Madzhab Ishaq bin Rohawaih (238 H.) di Naisabur

10. Madzhab Abu Tsaur (240 H.) di Baghdad


11. Madzhab Ahmad bin Hambal (241 H.) di Baghdad
12. Madzhab Daud al Dzahiriy (270 H.) di Baghdad
13. Madzhab Muhammad Ibnu Jarir al Thobariy (310 H.) di Baghdad
Dari sekian madzhab yang ada hanya empat yang masih eksis sampai sekarang, yaitu :
Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i dan Madzhab Ahmad bin Hambal,
adapun madzhab-madzhab yang lainnya masih dapat kita jumpai qoul-qoulnya dalam kitab-kitab
seperti hilyah al ulama fi ma'rifah aqwal al fuqoha' karya Imam al Qoffal, bidayah al Mujtahid
karya Ibnu Rusyd, al Muhalla karya Ibnu Hazm, Rohmah al Ummah karya Abu Abdilllah Shodr

al Din al Dimasyqi, Nail al Author karya al Syaukani, bahkan dalam kitab-kitab tersebut
seringkali kita jumpai qoul-qoul Shahabat dan ulama-ulama tabi'in.
Kelahiran beberapa madzhab tersebut menunjukkan perkembangan hukum Islam pada masa
itu. Hal ini disebabkan munculnya beberapa problem di tengah-tengah masyarakat akibat
meluasnya kekuasaan Islam sehingga menuntut untuk menugaskan para ulama ke wilayahwilayah yang telah berhasil dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Dan masa ini dikenal dengan masa
pembukuan ('ashru al tadwin) dalam berbagai disiplin ilmu

I.

KERANGKA PENILAIAN ASWAJA


Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah Wal Jama'ah

terdapat hal-hal yang disepakati dan yang diperselisihkan. Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari
disepakati kebenarannya dan disepakati penyimpangannya.
Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1.
2.
3.
4.

Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan termasuk segala
perbuatan manusia adalah kewhendak Allah, dan segala sesuatu yang terjadi sebab Qodlo' dan
Qodharnya Allah.
5. Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim menjadi kafir
sepanjang tidak mengingkari apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja
yang diharamkan-Nya.
6. Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk juga meyakini bahwa
kekhalifahan setelah Rasulillah secara berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin
Khattab, Ustman Bin "Affan dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7. Bahwa Amar ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap
muslim termasuk kepada para penguasa.
Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1. Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab kemudian menyatakan
bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh "Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian)
seperti wahyu, 'ismah dan lain-lain.
2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam seperti
yang dianut oleh kalangan Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai
dengan Mu'awiyah.
3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat
ini merupakan pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
4. Melakukan penta'wilan terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak bersumber pada
kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta'thil) antara

lain menghilangkan Al-Yad, Al-Istiwa', Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci
Al-Qur'an, hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih)

J.

Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia


Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya

Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat
berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, Ahlussunnah wal
Jamaah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak
dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi
setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya
organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jamaah
sebagai paham keagamaan yang dianutnya.
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep
Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab al-Qnn al-Assiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulam. AlQnn al-Assiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

1) Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan
bidah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan
2) Keharusan mengikuti mazhab empat, Karena hidup bermazahab itu lebih dapat
menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada
ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafun alshlih (generasi terdahulu yang salih).
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. M. Hasyim Asyari dengan mengutip Abu
al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyt, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun
jalan itu tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan
dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya,
seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah al-Murd,
menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip
bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
Yang menarik dalam Qnn Assiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan
serangan keras kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn
Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah mengharamkan

praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam
Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam
risalahnya Tathr al-Fu'd min Danas al-'Itiqd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok
ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib
dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke
mana-mana.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jamaah tersebut mengalami
proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai
paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jamaah mengalami kontekstualisasi yang
beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jamaah, tidak menghilangkan
makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh
Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jamaah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam
yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang
menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya adalah:
KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH.
Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah
Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua pengertian :Pertama,
Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut
generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka
yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya. Kedua, pendapat yang mengatakan
bahwa Ahlussunah Wal Jamaah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya
rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat
dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf .
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah kamu sekalian berpegang
teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulaf al-rsyidin yang mendapat petunjuk (HR. atTirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong alkhulaf al-rsyidn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting
dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja
di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk. (HR. al-Baihaqi).

Sesudah generasi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah adalah para
tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin)
dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di
bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi (HR. Ibn Ady)
Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang
diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, dan generasi berikutnya. Pengertian ini didukung oleh
KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa:
Ahlussunnah wal Jamaah adalah: " Pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan
para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam"
Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa:
Ahlussunnah wal Jamaah adalah: "Segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di
dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah
(sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di
dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq,
dan jihad."
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jamaah di
lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para
imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu alHasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan
al-Ghazali dalam bidang tashawuf.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan
mazhab-mazhab mutabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab
yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus.
Menurut

NU,

sistem

bermazahab

adalah

sistem

yang

terbaik

untuk

melestarikan,

mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong


Ahlussunnah wal Jamaah.
Di luar dua pengertian di atas, Prof. DR. KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain.
Menurutnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah:
Orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan
toleransi.

Baginya, Ahlussunnah wal Jamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni


Ahlussunnah wal Jamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr
(cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in
yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu.
Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj alfikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.
Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jamiyah yang berakidah Islam
Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam Muqaddimah Qnn Assiy-nya, pendiri jamiyyah NU, KH.
M. Hasyim Asyari menegaskan, Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari
kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu
agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa
kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu
pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintupintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali
melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka
pencurilah namanya!
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Quran, sunnah (perkataan, perbuatan dan
taqrr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya
dan sunnah al-khulaf al-rasyidn, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn
Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jamaah
dimengerti sebagai para pengikut sunnah Nabi dan ijma para ulama. NU menerima ijtihad
dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari
bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Quran maupun matn
(isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai
ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jamaah yang
dianut NU:
Pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Quran dan alHadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.
Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar
Islam.
Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang
karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.

Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan mn, islm dan ihsn secara
serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat
menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman.
Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak
menyimpang dari ajaran Islam.

K. BUDAYA AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH


Berbaur dan bertebarnya berbagai kultur, menjadikan pemandangan semu, antara
kultur yang sebenarnya ajaran Rasulullah SAW dan kultur yang muncul setelah Rasulullah
SAW wafat sehingga muncul berbagai pertentangan. Sepertinya yang satu sebagai pembela
dan lainnya sebagai penentang. Satunya merasa tersingkir dan yang lainnya merasa
memdominasi. Terlepas dari praduga dan pretensi di atas, Ahlussunnah wal-Jamaah tetap
mempunyai karakteristik yang menonjol diantara model-model /type-type kultur lain yang
muncul karena proses sejarah misalnya. Atau sengaja dilahirkan oleh suatu golongan untuk
mempertahankan otoritasnya.
Ciri-ciri spesifik yang menonjol dan dipertahankan Ahlussunnah wal-Jamaah adalah
banyak sekali. Sehingga ciri-ciri tersebut menjadi tanda khusus yang membedakan
Ahlussunnah dan lainnya..
Budaya-budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah wal-Jamaah di antaranya
adalah:

1.

Meramaikan bulan suci Romadlon dengan pengkajian kitab-kitab Hadits, Tafsir


maupun lainnya serta bertadarus al-Quran dan sholat Tarawih

2.

Menjalankan qunut subuh biarpun terdapat khilafiyyah antara para Ulama


dalam masalah tersebut

3.

Menempatkan putra-putri sunniyyin di pondok-pondok pesantren maupun


madrasah diniyyah untuk mengkaji dan menghidupkan ilmu agama

4.

Adanya beberapa thoriqoh demi taqorrub ilalloh, namun dengan syarat tidak
terjadi ikhtilath antara lelaki dan perempuan atau fanatik berlebihan

5.

Memperhatikan jamaah sholat fardlu di Masjid dan surau-surau pada awwal


waktu, dan harus ikhlas serta khusyu didalam menjalankanya

6.

Ziarah kubur Auliya untuk bertawassul dengan tanpa adanya hal-hal munkar,
Tahlilan, Berzanjenan dan manaqiban, namun dengan syarat tidak berlebihan

dalam Itiqodnya pada syekh Abdul Qodir. Dan amalan-amalan di atas tidaklah
budaya Syiah, sebab ziarahnya orang syiah tidak memakai bacaan ayat-ayat
al-Quran, juga tidak membaca tahlil tasbih tahmid, bisanya cuma memberi
kata-kata pujaan berlebihan pada Imam-imam mereka. Dan dalam berzanji
maupun diba disebutkan pujian terhadap sahabat Nabi SAW. Di samping itu,
Syekh ad-DzibaI mempunyai kitab hadits bernama Taisirul Wushul yang di
dalamnya disebutkan fadloilus shohabat, dan shohabat Abu Bakar ditempatkan
pada peringkat pertama. Sedangkan Qoshidah
itu adalah karya al-Habib Abdulloh al-Haddad yang yang berhaluan
ahlussunnah wal jamaah.
7.

Menyantuni anak yatim, faqir miskin maupun para janda yang punya anak
banyak, serta melindungi mereka dari penindasan

8.

Bagi alumni pesantren hendaknya sering sowan kepada gurunya untuk


konsultasi dengan memohon petunjuk di dalam menjalankan dawahnya.
Demikian pula bagi para kiainya hendaknya mengunjungi / mengecek mereka;
apakah benar-benar sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.

9.

Takbiran pada malam hari raya ddengan tanpa diikuti penabuhan beduk. Sebab
mengiringi dzikrulloh dengan tabuhan adalah bidah. Apalagiaalatul malaahi

10. Mempermudah urusan Haji dan Umroh sehingga tidak menimbulkan keresahan
dikalangan kaum Muslimin
11. Mengadakan bahtsul masail dengan dihadiri tokoh yang benar-benar ahli
dalam bidang agama. Mengamalkan ruyatul hilal untuk mengetahui awwal
Romadlon dan Syawwal
12. Mendirikan paguyuban keluarga demi mempererat persaudaraan
13. Menghafalkan al-Quran dengan memperhatikan tajwidnya, dan lain
sebagainya
BAB IX
SUNNAH DAN BID'AH
Sunnah dan bidah adalah dua kata yang saling berhadap-hadapan dalam
memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. Masing-masing tidak dapat ditentukan batasbatas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih

dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bidah tanpa menetapkan
lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu banyak orang terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat
keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan
dengan pengertian mereka sendiri tentang bidah. Seandainya mereka menetapkan batas
pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak
berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw.
menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bidah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa
Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara
keras bersabda:




Amma badu, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialahKitabullah (Al-Quran)
dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan
persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang
diada-adakan ialah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. (diriwayatkan juga
oleh Imam Bukhori dalam haditsnya dari Ibnu Masud ra).

Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:

.


Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh
pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi
sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia
memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga (Shohih Muslim VII hal.61).
Selain hadits ini masih banyak lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Ibnu Masud dan dari Abu Hurairah ra.
Dari hadits Jabir yang pertama di atas kita mengetahui dengan jelas bahwa
Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw, berhadap-hadapan dengan bidah, yaitu sesuatu
yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits
berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan
dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi yang pokok adalah Sunnah, sedangkan
yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bidah.
A. Pengertian Sunnah
Secara etimologis (bahasa) kata sunan adalah jamak dari kata sunnah. Sunnah
sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu
jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.Sunnatullah dapat diartikan Jalan
hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah swt.dalam surat Al-Fatah: 23 :

Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan
perubahan pada Sunnatullah itu
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Quran Bab Sunan hal. 245
mengatakan:
Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu,
sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan
ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan
mentaati-Nya. Contoh firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah: 23: Sunnatullah
yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada
Sunnatullah itu .
Artinya, bahwa cabang-cabang hukum syariat sekalipun berlainan bentuknya, tetapi
tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa
manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah menurut
penjelasan Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah kitabnya Iqtidhaus Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan:
Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat
jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan
atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai
permasalahan yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak
dianggap sebagai peribadatan.
Demikian juga dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani mengenai makna kata
Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah
sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan
Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Adapun sunnah secara terminologis (istilah) yang disimpulkan oleh para ulama
ialah: segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhamad saw baik berupa ucapan
(hadits), aksi (perbuatan) maupun determinasi atau pengakuannya.
Untuk bisa mentafsirkan dan menterjemahkan sunnah Nabi saw, kita harus
memahaminya secara konprehensip baik dari kaidah bahasa arab yang berurusan dengan
hadits maupun asbabul wurud yang berkaitan dengan perbuatan dan determinasinya.
Sunnah tidak bisa diartikan dan ditafsirkan dengan kemampuan otak manusia. Sunnah
merupakan wahyu, terkandung didalamnya hikmah yang terkadang tidak mampu
dijangkau oleh otak manusia. Manusia hanya bisa menjangkau apa yang bisa dicerna oleh
indra dan diukur dengan ruang dan waktu di mana manusia itu berpijak. Ketika sunnah
diartikan secara harfiah, maka akan timbul ketimpangan dalam mengimplementasikannya. Sehingga sunnah harus diinterpretasikan sesuai dengan kaidah dan asbabul wurud
yang telah dirumuskan oleh para ulama yang memiliki kaliber dalam menpresentasikannya, sebagai barometer dari permasalahan-permasalah yang berkembang, tidak
dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh Nabi saw, tetapi dipahami dan

dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad mulai dari kurun sahabat dan kurun-kurun
setelahnya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Dengan demikian, kita akan dapat memahami sunnah Nabi saw sesuai dengan ruang dan
waktu sholih likulli zaman wa makan.
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi
berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak
dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan
dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan
tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat
memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarkan,
menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan
menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam
memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal
Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita
namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah saw., itulah yang kita namakan Bidah. Ini semua baru dapat kita ketahui
setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bidah.
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syariat, tidak
bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan tidak mendatangkan
madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bidah menurut pengertian istilah syara.
Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits
Rasulullah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut Bidah hanya menurut pengertian bahasa,
karena apa saja yang baru diadakan disebut dengan nama Bidah.
B. Pengertian Bidah
Membahas tentang bidah cukup rumit dan panjang dalam sejarah pemikiran Islam.
Pelabelan ahli bidah terhadap kelompok Islam tertentu mulai marak dan muncul, pada
saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam dunia Islam. Merespon polemik
pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asyari (wafat 304 H) menulis buku"Alluma fi
al-radd ala Ahlil Zaighi wal Bida" (Catatan Singkat untuk menentang para pengikut
aliran sesat dan bidah). Setelah itu muncullah kajian-kajian yang makin marak dan
gencar dalam mengulas masalah bidah

Ada dua kelompok dalam mendefinisikan kata bidah yaitu kelompok pertama
menggunakan pendekatan etimologis dan kelompok kedua menggunakan pendekatan
terminologis.
Kelompok pertama mencoba mendefinisikan bidah dengan mengambil akar
derivatif kata bidah yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah
ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah ada pada zaman
Rasulullah saw disebut bidah, tanpa membedakan antara yang baik dan buruk dan tanpa
membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan demikian karena
banyak sekali ditemukan penggunakan kata bidah untuk sesuatu yang baik dan kadang
kala juga digunakan untuk hal tercela.
Banyak ulama yang menganut metode pendefinisan bidah dengan pendekatan
etimologis antara lain Izzuddin bin Abdussalam dan Imam Nawawi, mereka mengatakan
bahwa ulama membagi bidah menjadi lima bagian, yaitu bidah wajib, bidah mandub,
bidah mubah, bidah makruh dan bidah haram. Bidah wajib contohnya adalah
mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh
bidah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di
tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis talim dan
pesantren. Contoh bidah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bidah
makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan
kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan sayidina Umar ra atas jamaah
tarawih bahwa "inilah sebaik-baik bidah.
Menurut Imam Syafii tentang pemahaman bidah ada dua riwayat yang
menjelaskannya.
1- Riwayat Abu Nuaim;

:

"Bidah itu ada dua macam, bidah terpuji dan bidah tercela. Bidah yang sesuai
dengan sunnah, maka itulah bidah yang terpuji sedangkan yang menyalahi
sunnah, maka dialah bidah yang tercela".
2- Riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafii :




"Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang
menyalahi Al-Quran, Hadits, Atsar atau Ijma. Inilah bidah dholalah/ sesat.
Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bidah yang
seperti ini tidaklah tercela".
Imam Al-Qurtubiy berkata:
Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi
berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: seburuk buruk
permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bidah adalah dhalalah (wa syarrul

umuuri muhdatsaatuha wa kullu bidatin dhalaalah), yang dimaksud adalah halhal yang tidak sejalan dengan Al-quran dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan
Sahabat radhiyallahu anhum, sungguh telah di perjelas mengenai hal ini oleh
hadits lainnya:
"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya
pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari
pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam,
maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya" (Shahih Muslim hadits
no.1017)
dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bidah yang baik dan bidah
yang sesat.
Imam Ghozali menegaskan:
"Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh
banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang
dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bidah yang sesat adalah bidah yang
bertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran
agama".
Bidah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia
dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya
membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang
komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan
bahwa bidah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain
mengatakan bidah terjadi di semua sendi kehidupan.
Kelompok kedua mendefinisikan bidah adalah semua kegiatan baru di dalam
agama, yang diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau
semua kegiatan agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai
keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agama. Kegiatan
tersebut mencakup bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama dari golongan ini
mengatakan bahwa bidah hanya berlaku di bidang ibadah. Dengan definisi seperti ini,
semua bidah dalam agama dianggap sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan
wajib, sunnah, makruh dan mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist yang
artinya "setiap bidah adalah sesat", terhadap semua bidah yang ada sesuai definisi
tersebut. Mereka mengatakan :
"Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru
dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad
saw. menyembunyikan risalah, karena Allah swt. telah menegaskan dalam surah
al-Maidah:3 yang artinya "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu", adalah dalam konteks definisi bidah di atas. Adapun
pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwa "itu sebaik-baik bidah"
adalah bidah dalam arti bahasa (etimologis).
Pendekatan bidah seperti ini tidak dapat diterima karena, bila semua bidah
(masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan

para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan
Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram.
Dari dua pendekatan ini, maka kita harus mengikuti dan menelusuri persoalanpersoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw.
dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang lain. Dengan
mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang
benar dalam memahami sunnah Nabi saw, mengenai soal-soal baru yang terjadi
sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw.,
itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan
dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bidah. Ini semua baru dapat
kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana
yang bidah.
C. Pembagian Bidah
Ada sebagian kelompok berpendapat bahwa istilah bidah itu hanya satu saja dengan
berdalil sabda Rasulullah saw. Setiap bidah adalah sesat (Kullu bidatin
dholalah), serta tidak ada istilah bidah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang
dikategorikan sebagai bidah, maka hukumya haram, karena bidah dalam pandangan
mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada haditshadits lain yang
membuktikan sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal
kebajikan tertentu (yang baru diadakan) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang
sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya
Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. Aisyah ra, Khalifah Umar bin
Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya
petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai
amalan bidah, tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa
sebutan bidah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bidah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bidah itulah para
Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bidah menjadi beberapa jenis, misalnya :

Menurut Imam Syafii tentang pemahaman bidah ada dua riwayat yang
menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nuaim ;

,
















.






Bidah itu ada dua macam, bidah terpuji dan bidah tercela. Bidah yang
sesuai dengan sunnah, maka itulah bidah yang terpuji sedangkan yang
menyalahi sunnah, maka dialah bidah yang tercela
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafii :













,

.







Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang
menyalahi Al-Quran, Hadits, Atsar atau Ijma. Inilah bidah dholalah/ sesat.
Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak
bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bidah yang seperti
ini tidaklah tercela.
Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafii itu.
Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi,
Imam Ibnu Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bidah itu adalah segala praktek baik
termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah
terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bidah, namun dari segi ketentuan hukum
syariat,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih.
Ada bidah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut:
Pada asalnya bidah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh
yang mendahului. Menurut syara bidah itu dipergunakan untuk sesuatu yang
bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bidah itu
apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara, maka
dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh

syara, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang
mubah. Dan terkadang bidah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut
ini:
a. Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii Amalil Maulid dan
juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih;
b. Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho ;
c. Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaaid ;
d. As-Syaukani dalam Nailul Author ;
e. Ali al Qoori dalam Syarhul Misykaat;
f. Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori,
g. dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajar i yang tidak
dikutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidh itu dholalah/sesat dan tidak
mengakui adanya bidh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi
bidh menjadi beberapa macam. Ada bidh mukaffarah (bidh kufur), bidh
muharramah (bidh haram) dan bidh makruh (bidh yang tidak disukai). Mereka tidak
menetapkan adanya bidh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan
hukum syarit, atau seolah-olah bidh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani
(salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil
Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa
menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154) bidah itu
dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bidah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan
belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin memahami
Quran dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bidah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin,
mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan
memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam
belum pernah dilakukan.

3. Bidah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada


tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Quran dengan lukisan-lukisan dan
gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bidah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna
pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai
pakaian batik dan lain sebagainya.
5. Bidah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum
syariat dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syariat.
Bila semua bidah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka
sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau
diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau haram.
D. Bid'ah Hasanah menurut Imam Syafi'i
Legalitas Bidah Hasanah tidak pernah menjadi permasalahan dan perdebatan
sebelum datang nya Wahabi, keberagaman penjelasan para ulama tentang Bid'ah bukan
karena perselisihan dalam memahami hakikat Bidah, tapi karena kekayaan ilmu yang
dimiliki oleh para ulama, tapi ketika bahasa para ulama tersebut dipahami oleh kaum
yang sempit pemahaman, mulailah benih-benih perselisihan muncul dan alangkah
menyesal ketika kebodohan tersebut dijadikan senjata untuk membidah-sesatkan amalan
yang telah dilegalisasi oleh syara melalui dalil-dalil dhanni atau ijtihadi, dan akhirnya
kata Bid'ah menjadi senjata untuk memecah-belah ummat ini. Lalu Bagaimana
pandangan Al-Imam asy-Syafii tentang Bidah Hasanah ?
Imam Syafii Rahimahullah berkata :






:



:














Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :Pertama: Perkara baru
yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar, perkara baru
semacam ini adalah bidah yang sesat (Bidah Dholalah). Kedua: Perkara baru
yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari al-Quran, Sunnah, maupun
Ijma, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bidah Hasanah).

(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab
Manaqib asy-Syafii Jilid 1- Halaman 469).
Pernyataan Imam Syafii di atas adalah kelanjutan dari pemahaman Imam Syafii
terhadap Hadits larangan Bidah, bukan malah dihantamkan dengan Hadits larangan
Bidah, maka dapat dipahami bahwa Imam Syafii tidak otomatis menganggap setiap
perkara baru dalam Agama itu Bidah Dholalah, tapi setiap perkara baru ada dua
kemungkinan yaitu apabila bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma
maka itu Bidah Dholalah dan inilah Bidah yang dilarang dalam Hadits Setiap Bid'ah
sesat.
Sementara bila perkara baru dalam Agama itu tidak bertentangan dengan Al-Quran,
As-Sunnah, Atsar dan Ijma maka inilah Bidah Hasanah dan ini tidak termasuk dalam
Bidah yang terlarang dalam Hadits Kullu Bidatin Dholalah.
Sangat jelas penjelasan Imam Syafii tentang legalitas Bidah Hasanah, batasan
Bidah Dholalah adalah bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma,
selama sesuatu yang baru dalam Agama itu tidak bertentangan dengan 4 batasan tersebut,
maka itu bukan Bidah Dholalah dan tidak termasuk menambah atau mengada-ngada
syariat baru, karena batasan Bidah Dholalah bukan pada tidak ada nash yang shorih,
atau pada adakah rasul dan para sahabat telah melakukan nya.
E. Memahami Pernyataan Imam Syafii Dalam Pembagian Bidah
Untuk memahami lebih mudah tentang pernyataan imam Syafii di atas, berikut
akan di jelaskan rinciannya:

Maksudnya: semua perkara baru baik Ibadah atau bukan Ibadah, baik Aqidah atau
bukan Aqidah terbagi kepada dua macam, poin yang perlu di ingat
adalah Imam Syafii sedang memisah dan memilah antara dua macam
perkara baru yang tentu saja perkara tersebut tidak di masa Rasulullah
dan para sahabat.










:

Salah satunya adalah perkara baru yang menyalahi Kitab (Al-Quran), atau
Sunnah (Hadits), atau Atsar, atau Ijma.
Maksudnya: Yang pertama adalah perkara baru yang menyalahi Al-Quran, AsSunnah, Atsar dan Ijma, poin penting di sini adalah Yukhalifu atau

menyalahi jadi perkara baru itu sesat bukan karena semata-mata ia


baru ada dan belum ada di masa rasul dan sahabat, tapi karena
menyalahi empat perkara di atas.




Maksudnya : Perkara baru yang menyalahi Al-Quran atau menyalahi As-Sunnah atau
menyalahi Atsar atau menyalahi Ijma, maka inilah Bidah Dholalah
yang terlarang dalam Hadits larangan Bidah, Bidah Dholalah bukan
sesuatu yang tidak tersebut secara khusus dalam Al-Quran atau AsSunnah atau Atsar atau Ijma, tapi harus diperiksa dulu apakah ia
menyalahi atau justru sesuai dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau
Atsar atau Ijma.











:



"Yang kedua, perkara baru yang baik lagi tidak menyalahi bagi salah satu dari ini
(Al-Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma)
Maksudnya: Yang kedua adalah perkara baru yang baik dan tidak menyalahi satupun
dari Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma, bukan maksud
baik itu hanya dianggap baik, tapi baik di sini adalah tidak menyalahi 4
perkara tersaebut, dan poin penting di sini juga pada Tidak menyalahi
jadi perkara baru tidak otomatis Bidah dan Sesat,

tapi ketika ia

menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut, maka otomatis sesat, dan
bila tidak menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut maka otomatis
tidak sesat, baik dinamai dengan Bidah Hasanah atau Bidah Lughawi
atau dengan bermacam nama lain nya.






Maksudnya: Perkara baru yang tidak menyalahi Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar
atau Ijma adalah Bidah yang tidak tercela atau di sebut juga dengan
Bidah Hasanah.
Kelompok Wahabi dan yang semisal sering mengangkat Hadits berikut ini sebagai
dasar atas kekeliruan amalan Ahlussunnah wal jamaah:


. :
"Dari Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya,
maka amal itu ditolak HR. Muslim.
Hadits yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk
perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal yang dimaksud
tidaklah seperti itu. Para ulama menyatakan, bahwa yang dilarang dalam Hadits itu
adalah membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Quran ataupun
Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai
suatu bentuk ibadah murni kepada Allah SWT seolah-olah bagian dari ajaran agama.
Karena itu ulama membuat beberapa kriteria dalam persoalan bidah :
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalil-dalil syari, baik yang parsial
(juzi) atau umum, maka bukan tergolong bidah. Bila tidak ada dalill yang dapat
dibuat sandaran, itulah bidah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll
H.), jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari
ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bidah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa
amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Quran dan Hadits. Apabila
identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bidah
muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong
perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
Hadits lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan yang tidak
dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:

: ,

.

Dari Abdullah bin Masud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Ingatlah,


berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara
yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu
adalah bidah. Dan semua bidah itu sesat. HR. Ibnu Majah.
Dalam Hadits ini Rasulullah SAW menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara
tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya. Sebenarnya kalimat kullu tidak
selamanya berarti keseluruhan atau semua, adakalanya berarti sebagian. Seperti dalam
ayat al-Quan:










Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman? QS. Al-Anbiya:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua benda
yang ada dunia ini diciptakan dari air. Buktinya ayat al-Quran yang lain berikut ini:











Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala. QS. ArRahman:15.
Maka demikian pula dengan Hadits diatas. Walaupun menggunakan kalimat
kullu, bukan berarti seluruh yang tidak ada pada masa Nabi SAW dilarang dan
sesat. Ini dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga melaksanakan perbuatan
yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha
menghimpun dan membukukan al-Quran, mengumpulkan jamaah tarawih
menjadi satu didalam masjid, dan lain-lain. Nah, kalau kalimat kullu diatas
diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru itu sesat dan berdosa,
berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif
(bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang
pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara
mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka, sungguh tidak dapat diterima
akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung tidak mengetahuinya,
apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.

F. Dalil-Dalil Bidah Hasanah

268

Para ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah berpandangan bahwa hadits semua bidah


itu sesat, adalah kata-kata umum yang harus dibatasi jangkauannya (am makhshush).
Dalam hal ini Al-Imam Al-Nawawi menyatakan:

Sabda Nabi , "semua bidah adalah sesat, ini adalah kata-kata umum yang
dibatasi jangkauannya. Maksud semua bidah itu sesat, adalah sebagian besar
bidah itu sesat, bukan seluruhnya." (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Oleh karena hadits semua bidah itu sesat, adalah kata-kata umum yang dibatasi

jangkauannya, maka para ulama membagi bidah menjadi dua, bidah hasanah (baik) dan
bidah sayyiah (buruk). Dan lebih rinci lagi, bidah itu terbagi menjadi lima bagian
sesuai dengan jumlah hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bidah hasanah, dan bahwa
tidak semua bidah itu sesat dan tercela.
Dalil-dalil berikut ini akan dibagi menjadi dua; dalil-dalil bidah hasanah pada masa
Rasulullah , dan dalil-dalil bidah hasanah sesudah beliau wafat.

1. Bidah Hasanah Pada Masa Rasulullah


a. Hadits Sayidina Muadz bin Jabal .


) :












) :





..



.(

Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Pada masa Rasulullah , bila seseorang
datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah dengan beliau,
maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya
tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat
yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah
bersama mereka. Kemudian pada suatu hari Muadz bin Jabal datang terlambat,
lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya jumlah rakaat shalat yang telah
dilaksanakan, akan tetapi Muadz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan
tidak menghiraukan perkataan mereka. Kemudian setelah Rasulullah selesai
shalat, maka Muadz akan mengganti rakaat yang tertinggal itu. Setelah
Rasulullah selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Muadz bin Jabal
268

Dinukil dari makalah Ustadz Musyafi S.Ag dengan judul :Kajian Khusus Tentang Bidah Ala
Ahlussunnah Wal-Jamaah

yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab: Muadz telah
memulai cara yang baik buat shalat kalian. Dalam riwayat Muadz bin Jabal,
beliau bersabda; Muadz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.
Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani dalam Al-Mujam Al-Kabir
(20/271) dan Al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lainlain. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Hafizh Ibn Daqiq Al-Id dan Al-Hafizh Ibn
Hazm Al-Andalusi.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru
dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara.
Dalam hadits ini, Nabi tidak menegur Muadz dan tidak pula berkata, Mengapa
kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?, bahkan
beliau membenarkannya. Karena perbuatan Muadz sesuai dengan kaedah
berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
b. Hadits Al-Ash bin Wail .


: .

:





:














:






:






:



















:
















:





..




Al-Ash bin Wail berkata: Suku Bakr bin Wail datang ke Makkah, lalu
Nabi berkata kepada Abu Bakar: Datangi mereka dan tawarkan agama Islam
pada mereka. Lalu Abu Bakar mendatangi mereka dan menawarkan untuk
memeluk agama Islam. Mereka menjawab: Sampai pemimpin kami datang.
Setelah pemimpin mereka datang, Abu Bakar bertanya: Siapa kaum ini?
Mereka menjawab: Suku Dzuhl bin Syaiban. Lalu Abu Bakar menawarkan
Islam kepada mereka, dan mereka menjawab: Sesungguhnya di antara kami

dengan Persia terjadi peperangan, maka bila kami telah menyelesaikan urusan
kami dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan tawaran Anda. Abu
Bakar berkata: Apakah bila kalian dapat mengalahkan mereka, maka kalian
akan mengikuti agama kami? Mereka menjawab: Kami tidak berjanji
mengikuti agama kalian. Tetapi bila kami telah menyelesaikan urusan dengan
mereka, kami akan kembali dan memikirkan ajakanmu. Setelah suku Dzuhl bin
Syaiban berhadapan dengan Persia, pemimpin mereka berkata: Siapa nama
orang yang mengajak kamu ke agama Allah? Mereka menjawab:
Muhammad. Ia berkata: Kalau begitu, nama Muhammad itu jadikan solgan
kalian dalam peperangan. Kemudian suku Dzuhl bin Syaiban itu mengalahkan
Persia. Mendengar berita itu, Rasulullah bersabda: Dengan perantara
namaku, mereka diberi kemenangan oleh Allah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Thabarani. Al-Hafizh Al-Haitsami
mengatakan dalam Majma Al-Zawaid (6/10631), para perawi hadits ini tsiqat
(dipercaya) dan perawi hadits shahih.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru
apabila sesuai dengan tuntunan syara. Dalam peperangan melawan Persia, suku
Dzuhl bin Syaiban ber-tawassul dengan nama Nabi agar memperoleh
kemenangan. Tawassul yang mereka lakukan, atas inisiatif pimpinan mereka dan
belum mereka pelajari dari Nabi . Dan ternyata tawassul mereka dibenarkan oleh
Nabi , dengan penegasan beliau : dengan perantara namaku
mereka diberi kemenangan oleh Allah. Dengan demikian tidak selamanya
perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi selalu keliru dan buruk.
c. Hadits Sayidina Bilal .

.








:






:





:
:



..



.



Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bertanya kepada Bilal ketika
shalat fajar: Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya
dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?. Ia
menjawab: Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum
pernah berwudhu, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya
dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya. Dalam riwayat
lain, beliau berkata kepada Bilal: Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?
Ia menjawab: Aku belum pernah azan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat
setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelah dan
harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah. Nabi
berkata: Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1149), Muslim (6274), Al-Nasai
dalam Fadhail Al-Shahabah (132), Al-Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu
Yala (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), Al-Hakim (1/313) dan
menilainya shahih.
Faedah Hadits: Menurut Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari, hadits ini
memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena
Bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi pun
membenarkannya. Nabi belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua
rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal
melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada
Nabi . Dan ternyata Nabi membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira
tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu
menjadi sunnat bagi seluruh umat.
d. Hadits Ibn Abbas .




) :






(





:





:







.

Sayyidina Ibn Abbas berkata: Aku mendatangi Rasulullah pada akhir


malam, lalu aku shalat di belakangnya. Ternyata beliau mengambil tanganku dan
menarikku lurus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah memulai shalatnya, aku
mundur ke belakang, lalu Rasulullah menyelesaikan shalatnya. Setelah aku mau
pulang, beliau berkata: Ada apa, aku tempatkan kamu lurus di sebelahku, tetapi
kamu malah mundur? Aku menjawab: Ya Rasulullah, tidak selayaknya bagi
seseorang shalat lurus di sebelahmu sedang engkau Rasulullah yang telah
menerima karunia dari Allah. Ibn Abbas berkata: Ternyata beliau senang
dengan jawabanku, lalu mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu
dan pengertianku terhadap agama.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/330).
Faedah Hadits: Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru
dalam agama apabila sesuai dengan syara. Ibn Abbas mundur ke belakang
berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah telah menariknya berdiri
lurus di sebelah beliau , ternyata beliau tidak menegurnya, bahkan merasa
senang dan memberinya hadiah doa. Dan seperti inilah yang dimaksud dengan
bidah hasanah.
e. Hadits Ali bin Abi Thalib .



:
:



.

:




.
:



:

) ( :





..

Sayidina Ali D berkata: Abu Bakar bila membaca Al-Quran dengan suara
lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca AlQuran, mencampur surat ini dengan surat ini. Kemudian hal itu dilaporkan
kepada Nabi . Sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar: Mengapa kamu
membaca dengan suara lirih? Ia menjawab: Allah dapat mendengar suaraku

walaupun lirih. Lalu bertanya kepada Umar: Mengapa kamu membaca


dengan suara keras? Umar menjawab: Aku mengusir syetan dan
menghilangkan kantuk. Lalu beliau bertanya kepada Ammar: Mengapa kamu
mencampur surat ini dengan surat ini? Ammar menjawab: Apakah engkau
pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu yang bukan Al-Quran?
Beliau menjawab: Tidak. Lalu beliau bersabda: Semuanya baik.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (1/109).
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bidah hasanah
dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri
berdasarkan ijtihadnya masing-masing, sehingga sebagian sahabat melaporkan
cara ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu, dan ternyata Nabi
membenarkan dan menilai semuanya baik dan tidak ada yang buruk. Dari sini
dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh
Nabi pasti buruk atau keliru. Dan agaknya cara Ammar bin Yasir membaca AlQuran, sesuai dengan tradisi tahlil di kalangan Ahlussunnah Wal-Jamaah di
Indonesia yang mencampur antara berbagai ayat-ayat Al-Quran.
f. Hadits Amr bin Al-Ash .






) :





!(

Amr bin Al-Ash D ketika dikirim dalam peperangan Dzat Al-Salasil berkata:
Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku mau mandi, tapi takut
sakit. Akhirnya aku bertayamum dan menjadi imam shalat shubuh bersama
sahabat-sahabatku. Setelah kami datang kepada Rasulullah , mereka
melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah . Beliau bertanya: Hai Amr,
mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu
junub? Aku menjawab: Aku teringat firman Allah: Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(QS. Al-Nisa : 29). Maka aku bertayamum dan shalat. Lalu Rasulullah
tersenyum dan tidak berkata apa-apa.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (334), Ahmad (4/203), AlDaraquthni (1/178), dinilai shahih oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/177)
dan Al-Dzahabi dan lain-lain.

Faedah Hadits: Hadits ini menjadi dalil bidah hasanah. Amr bin Al-Ash
melakukan tayamum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah
Nabi mengetahuinya, beliau tidak menegurnya bahkan membenarkannya.
Dengan demikian, tidak semua perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi itu pasti
tertolak, bahkan dapat menjadi bidah hasanah apabila sesuai dengan tuntunan
syara seperti dalam hadits ini.
g. Hadits Umar bin Al-Khaththab .



:














:







) :





) :



:


(
.






:








Umar berkata: Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah
didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata: Allahu akbar kabiran
walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila. Setelah Nabi
selesai shalat, beliau bertanya: Siapa yang mengucapkan kalimat-kalimat
tadi? Laki-laki itu menjawab: Saya, ya Rasulullah. Demi Allah saya hanya
bermaksud baik dengan kalimat-kalimat itu. Beliau bersabda: Sungguh aku
telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat-kalimat itu. Ibn
Umar berkata: Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (1357), Al-Tirmidzi (3592), Al-Nasai
(884) dan Ahmad (2/14).
h. Hadits Rifaah bin Rafi .


(







)










:
(





:



..

Rifaah bin Rafi berkata: Suatu ketika kami shalat bersama Nabi .
Ketika beliau bangun dari ruku, beliau berkata: samiallahu liman hamidah.
Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: rabbana walakalhamdu hamdan
katsiran thayyiban mubarakan fih. Setelah selesai shalat, beliau bertanya:
Siapa yang membaca kalimat tadi? Laki-laki itu menjawab: Saya. Beliau
bersabda: Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (799), Al-Nasai (1016), Abu Dawud
(770), Ahmad (4/340) dan Ibn Khuzaimah (614).
Faedah Hadits: Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum
pernah diterimanya dari Nabi , yaitu menambah bacaan dzikir dalam iftitah dan
dzikir dalam itidal. Ternyata Nabi membenarkan perbuatan mereka, bahkan
memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan. Karena perbuatan
mereka sesuai dengan syara, di mana dalam itidal dan iftitah itu tempat memuji
kepada Allah. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan dalam Fath AlBari, bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat,
apabila tidak menyalahi dzikir yang matsur (datang dari Nabi ), dan bolehnya
mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
2. Bidah Hasanah Setelah Rasulullah Wafat
a. Penghimpunan Al-Quran Dalam Mushhaf.







:

















:





.











Sayidina Umar mendatangi Khalifah Abu Bakar dan berkata: Wahai
Khalifah Rasulullah , saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah
telah mengorbankan para penghafal Al-Quran, bagaimana kalau Anda

menghimpun Al-Quran dalam satu Mushhaf? Khalifah menjawab: Bagaimana


kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah ?
Umar berkata: Demi Allah, ini baik. Umar terus meyakinkan Abu Bakar,
sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya
menemui Zaid bin Tsabit ra, dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada
Zaid. Ia menjawab: Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum
pernah dilakukan oleh Rasulullah ? Keduanya menjawab: Demi Allah, ini
baik. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan
dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar dalam
rencana ini.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4679), Al-Tirmidzi (3103), Ahmad
(1/10) dan Al-Nasai dalam Fadhail Al-Quran (20).
Faedah Hadits: Umar mengusulkan penghimpunan Al-Quran dalam satu
Mushhaf. Abu Bakar mengatakan, bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah . Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik
walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah . Dengan demikian, tindakan
beliau ini tergolong bidah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun AlQuran dalam satu mushhaf hukumnya wajib, meskipun termasuk bidah, agar AlQuran tetap terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan Al-Quran ini tergolong
bidah hasanah yang wajibah.
b. Shalat Tarawih.






:








.









Abdurrahman bin Abd Al-Qari berkata: Suatu malam di bulan Ramadhan


aku pergi ke masjid bersama Umar bin Al-Khaththab. Ternyata orang-orang di
masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada
juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar berkata: Aku
berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih
baik. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Kaab. Malam
berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Al-Khaththab, dan mereka
melaksanakan shalat bermakmum pada satu imam. Menyaksikan hal itu, Umar
berkata: Sebaik-baik bidah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir
malam, lebih baik daripa di awal malam. Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan tarawih di awal malam.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2010) dan Malik (1/114).
Faedah Hadits: Rasulullah tidak pernah menganjurkan shalat tarawih
secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap
malam. Dan tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian
pula pada masa Khalifah Abu Bakar . Kemudian Umar mengumpulkan mereka
untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka
untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bidah. Tetapi bidah
hasanah, karena itu beliau mengatakan: Sebaik-baik bidah adalah ini. Dan
pada hakekatnya, apa yang beliau lakukan ini termasuk sunnah, karena Rasulullah
telah bersabda:
.

Rasulullah bersabda: Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah


Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk.
c. Adzan Jumat.

Al-Saib bin Yazid berkata: Pada masa Rasulullah , Abu Bakar dan
Umar adzan Jumat pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar.
Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau
menambah adzan ketiga di atas Zaura, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (912), Abu Dawud (1089), AlTirmidzi (516), Al-Nasai (1391), Ibn Majah (1135), Ahmad ( 3/449) dan Ibn
Khuzaimah (1773).
Faedah Hadits: Pada masa Rasulullah , Abu Bakar dan Umar adzan Jumat
dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman,
kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga
mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jumat sebelum imam hadir ke mimbar.
Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura, tempat di
Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jumat,
sebelum imam hadits ke atas mimbar. Dan semua sahabat yang ada pada waktu itu
menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bidah, tetapi bidah
hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Dan benar pula
menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang
sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
d. Shalat Sunnah Sebelum Shalat Id Dan Sesudahnya.

-




-

Al-Walid bin Sari berkata: Pada suatu hari raya, kami keluar bersama
Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib . Lalu beberapa orang dari sahabat beliau
menanyakannya tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat id dan
sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang
yang menanyakan hal yang sama pada beliau. Dan beliau pun tidak
menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat
dan bertakbir tujuh kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari
mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya: Hai Amirul
Muminin, mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat id! Beliau
menjawab: Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang
sunnah, sesungguhnya Nabi belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum
shalat id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang mau melakukan, lakukanlah, dan
siapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang
yang mau shalat, agar tidak termasuk orang yang melarang seorang hamba
ketika dia mengerjakan shalat.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Al-Musnad. (Lihat: Al-Hafizh
Al-Haitsami, Majma Al-Zawaid (2/438).
Faedah Hadits: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum
shalat id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa
Amirul Muminin Ali bin Abi Thalib , dan ternyata beliau membiarkan dan tidak
menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk bidah hasanah,
siapa saja boleh melakukannya. Di sini, Sayidina Ali bin Abi Thalib, salah satu
Khulafaur Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah belum tentu salah dan tercela. Tentu saja, pemahaman beliau lebih
tepat daripada pemahaman orang-orang seperti Ibn Baz, Al-Utsaimin, Al-Albani
dan Mahrus Ali yang melarang membaca Shalawat Fatih, Nariyah, Thibbul Qulub
dan lain-lain.
e. Hadits Talbiyah.
Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh
Rasulullah ketika menunaikan ibadah haji adalah:











.

Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan
kalimat:








.



Hadits tentang doa talbiyah Nabi dan tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Dan
menurut Ibn Umar, Sayidina Umar juga melakukan tambahan dengan kalimat
yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat
Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah
dari Nabi dengan kalimat:



.









Dalam riwayat Abu Dawud (1813) dengan sanad yang shahih, Ahmad
(3/320) dan Ibn Khuzaimah (2626), sebagian orang menambah bacaan talbiyahnya dengan kalimat:

)
.(


Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Al-Mathalib Al-Aliyah meriwayatkan bahwa,
Sayidina Anas bin Malik , dalam talbiyah-nya menambah kalimat:


.





Faedah Hadits: Menurut Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari, haditshadits talbiyah yang beragam dari para sahabat, menunjukkan bolehnya
menambah bacaan dzikir dalam tasyahhud, talbiyah dan lain-lainnya terhadap
dzikir yang matsur (datang dari Nabi ). Karena Nabi sendiri telah mendengar
tambahan para sahabat dalam talbiyah, dan membiarkannya. Sebagaimana tokohtokoh sahabat melakukan tambahan pula, seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin
Masud, Hasan bin Ali, Anas dan lain-lain . Kebolehan menambah dzikir baru
terhadap dzikir yang matsur ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan bisa
dikatakan ijma ulama.

3. Bidah Hasanah Setelah Generasi Sahabat


Setelah generasi sahabat punah, dari waktu ke waktu kaum Muslimin juga masih
melakukan kreasi-kreasi yang diperlukan dan dibutuhkan oleh umat, sesuai dengan
perkembangan zaman yang harus diikuti dengan kecekatan dalam bertindak. Beberapa
kreasi kaum Muslimin setelah generasi sahabat dan kemudian diakui sebagai bidah
hasanah, adalah seperti berikut ini.
a. Pemberian Titik Dalam Penulisan Mushhaf.
Pada masa Rasulullah , penulisan Mushhaf Al-Quran yang dilakukan oleh
para sahabat tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya seperti ba, ta dan
lain-lainnya. Bahkan ketika Khalifah Utsman menyalin Mushhaf menjadi 6
salinan, yang 5 salinan dikirimnya ke berbagai kota negara Islam seperti Basrah,
Mekah dan lain-lain, dan satu salinan untuk beliau pribadi, dalam rangka
penyatuan bacaan kaum Muslimin, yang dihukumi bidah hasanah wajibah oleh
seluruh ulama, juga tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya. Pemberian
titik pada Mushhaf Al-Quran baru dimulai oleh seorang ulama tabiin, Yahya bin
Yamar. Al-Imam Ibn Abi Dawud Al-Sijistani meriwayatkan:

:

.
















Harun bin Musa berkata: Orang yang pertama kali memberi titik pada
Mushhaf adalah Yahya bin Yamar. (Al-Mashahif, hal. 158).
Setelah beliau memberikan titik pada Mushhaf, para ulama tidak menolaknya,
meskipun Nabi belum pernah memerintahkan pemberian titik pada Mushhaf.
b. Perayaan Maulid Nabi .
Perayaan hari kelahiran (maulid) Nabi baru terjadi pada permulaan abad
keenam Hijriah. Para sejarawan sepakat bahwa yang pertama kali mengadakannya
adalah Raja Irbil di Iraq, yang dikenal alim, bertakwa dan pemberani, yaitu Raja
Al-Muzhaffar Abu Said Kukuburi bin Zainuddin Ali Buktikin. Para ulama dari
kalangan shufi, fuqaha dan ahli hadits menilai perayaan maulid ini termasuk
bidah hasanah, yang dapat memberikan pahala bagi yang melakukannya. Di
antara ulama yang menilai perayaan maulid sebagai bidah hasanah adalah AlHafizh Ibn Al-Jauzi Al-Hanbali, Al-Hafizh Ibn Dihyah, Al-Hafizh Abu Syamah

(guru Al-Imam Al-Nawawi), Al-Hafizh Ibn Katsir, Al-Hafizh Ibn Rajab AlHanbali, Al-Hafizh Ibn Hajar, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan
lain-lain. Lalu bagaimana dengan pernyataan Mahrus Ali dalam buku Mantan
Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik (hal. 110):
Tiada ajaran dalam Islam untuk memperingati hari kelahiran guru, Nabi
dan lain-lain.
Tentu saja pandangan Mahrus Ali ini yang mengikuti para jagoan tahrif
terhadap nushush seperti Ibn Baz, Al-Utsaimin, Al-Albani dan lain-lain, terlalu
prematur dan berangkat dari paradigma sempit dalam memahami ajaran agama.
Setidaknya ada beberapa nilai positif yang membenarkan perayaan maulid Nabi .
Allah berfirman:

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS. Al-Anbiya : 107)
Dan Rasulullah telah bersabda:
.







Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan. (Al-Albani, Shahih Al-Jami AlShaghir).
Dengan demikian Rasulullah adalah al-rahmat al-uzhma (rahmat yang
paling agung) bagi umat manusia. Sedangkan Allah telah merestui kita untuk
merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah berfirman:

Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, Dengan karunia Allah (yaitu ilmu)
dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad ), hendaklah dengan itu mereka
bergembira. (Al-Hafizh Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsur, 2/308).
Allah juga berfirman:

Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisahkisah yang dengannya kami teguhkan hatimu. (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian kisah-kisah para rasul dalam Al-Quran
adalah untuk meneguhkan hati Nabi . Dan tentu saja kita yang dhaif dewasa ini
lebih membutuhkan peneguhan hati daripada beliau , melalui penyajian sirah dan
biografi beliau .
Sisi lain dari perayaan maulid Nabi adalah, mendorong kita untuk
memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau sesuai dengan firman Allah:


Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana yang dapat
mengantar pada anjuran agama, juga dianjurkan sebagaimana diakui oleh
Al-Utsaimin dalam Al-Ibda (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi
dianjurkan.
Allah juga berfirman:


Isa putera Maryam berdoa: Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada


kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya
bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami,
dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah
pemberi rezki yang paling Utama. (QS. Al-Maidah : 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya hidangan dianggap sebagai hari
raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa dan orang-orang yang datang
sesudah beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja

lahirnya Rasulullah sebagai al-rahmat al-uzhma lebih layak kita rayakan


dengan penuh suka cita daripada hidangan itu. Ibn Taimiyah mengatakan:













.(297/ ) .
Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai hari raya setiap musim,
dilakukan oleh sebagian orang, dan ia akan memperoleh pahala yang sangat
besar dengan melakukannya karena niatnya yang baik dan karena mengagungkan
Rasulullah sebagaimana telah aku sampaikan. (Ibn Taimiyah, Iqtidha AlShirath Al-Mustaqim, hal. 297).
Toh pada akhirnya, kaum Wahhabi yang mengharamkan perayaan maulid
Nabi , melakukan sesuatu yang kontraproduktif dengan ideologi mereka. Pada
saat mereka mengharamkan dan menilai syirik perayaan maulid Nabi , mereka
justru merayakan haul guru mereka, Muhammad bin Abdul Wahhab pendiri ajaran
Wahhabi, dalam suatu acara tahunan selama satu pekan yang mereka namakan
Usbu Al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (pekan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab). Selama sepekan, secara bergantian, ulama-ulama Wahhabi akan
mengupas secara panjang lebar, tentang berbagai aspek menyangkut Muhammad
bin Abdul Wahhab, dan kemudian mereka terbitkan dalam bentuk jurnal ilmiah.
Kata pepatah, al-mubthil mutanaqidh (orang yang berpaham batil, pasti
kontradiksi).
Di sisi lain, pada saat Ibn Baz bersama koleganya dalam Komisi Tetap Fatwa
Wahhabi Saudi Arabia, mengeluarkan hukum bidah perayaan maulid Nabi ,
mereka justru membolehkan perayaan hari nasional Saudi Arabia, sebagai
legitimasi hukum Wahhabi (bukan hukum Islam) terhadap kepentingan penguasa
Wahhabi di Saudi. (Lihat; Fatawa Al-Lajnah Al-Daimah, 3/88-89).
c. Penulisan () ketika menulis nama Nabi .

Di antara bidah hasanah yang disepakati oleh kaum Muslimin, bahkan oleh
kaum Wahhabi sendiri, adalah penulisan () ketika menulis nama Nabi dalam
kitab-kitab dan surat menyurat. Dan hal ini belum pernah dilakukan pada masa
Nabi dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan kepala suku
Arab. Dalam surat-surat yang beliau kirimkan pada waktu itu hanya ditulis, Dari
Muhammad Rasulullah kepada si fulan.
d. Bidah Hasanah Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ulama mujtahid yang mengakui bidah
hasanah. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan fatwa beliau kepada
muridnya. Al-Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi hafizh dan faqih bermadzhab
Hanbali - meriwayatkan dalam kitab Al-Mughni (1/802):




:



:







:



: .

:








:
.



.

:







:




.
:








:




:


.








:




. .












Al-Fahdhl bin Ziyah berkata: Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad
bin Hanbal: Aku akan mengkhatamkan Al-Quran, aku baca dalam shalat witir
atau tarawih? Ahmad menjawab: Baca dalam tarawih sehingga kita dapat
berdoa antara dua rakaat. Aku bertanya: Bagaimana caranya? Ia menjawab:
Bila kamu selesai dari akhir Al-Quran, angkatlah kedua tanganmu sebelum
ruku, berdoalah bersama kami dalam shalat, dan perpanjang berdirinya. Aku
bertanya: Doa apa yang akan aku baca? Ia menjawab: Semaumu. Al-Fahdl
berkata: Lalu aku lakukan apa yang ia sarankan, sedangkan ia berdoa sambil
berdiri di belakangku dan mengangkat kedua tangannya.

Hanbal berkata: Aku mendengar Ahmad berkata mengenai khotmil Quran:


Bila kamu selesai membaca Qul audzu birabbinnas, maka angkatlah kedua
tanganmu dalam doa sebelum ruku. Lalu aku bertanya: Apa dasar Anda
dalam hal ini? Ia menjawab: Aku melihat penduduk Mekah melakukannya, dan
Sufyan bin Uyainah melakukannya bersama mereka. (Lihat pula, Ibn AlQayyim, Jala Al-Afham, hal. 226).
Komentar: Apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal ini belum
pernah dilakukan oleh Nabi . Bahkan beliau meninggalkannya. Karena andai hal
ini dilakukan oleh Nabi , tentu para sahabat akan menyampaikannya kepada kita.
Dan tentu saja apa yang dilakukan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal ini tergolong
bidah hasanah. Beliau melakukan dan menfatwakannya kepada muridnya. Dan
sebelumnya hal ini telah dilakukan oleh Sufyan bin Uyainah bersama penduduk
Mekkah, tanpa ada dalil khusus dari Al-Quran dan Sunnah sebagai landasan
mereka. Beliau memahami, bahwa kaedah-kaedah syariat dapat menerima cara
seperti itu dalam konteks yang fleksibel.
e. Bidah Hasanah Ibn Taimiyah Dalam Berdzikir.
Sementara ini, apabila kita membicarakan bidah bersama orang-orang
Wahhabi seperti Ibn Baz, Al-Utsaimin dan Al-Albani yang dikagumi Ustadz
Mahrus Ali, nama Ibn Taimiyah akan menjadi satu-satunya figur ideal yang bersih
dan steril dari bidah. Ibn Taimiyah sendiri dalam kitabnya Iqtidha Al-Shirath AlMustaqim, mencela para ulama yang membagi bidah menjadi dua, bidah
hasanah dan bidah sayyiah. Tetapi idealisme ini akan runtuh manakala mereka
membaca biografi Ibn Taimiyah yang ditulis oleh muridnya yang mengaku
bernama Umar bin Ali Al-Bazzar dalam Al-Alam Al-Aliyyah fi Manaqib Ibn
Taimiyah (hal. 37-39):







.
















.



























.



Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia memuji kepada Allah
bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi Allahumma antassalam . . .
Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari
Nabi , lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri
dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah
yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah untuk dirinya dan jamaah serta
kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara
setelah shalat shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup
didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di
tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan
ini kebiasaannya hingga Matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku
selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering
mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku
selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku

melihatnya membaca Al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan


seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang Al-Fatihah sejak
selesai shalat shubuh hingga Matahari naik. Dalam hal itu aku merenung.
Mengapa ia hanya rutin membaca Al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku
tahu wallahu alam -, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan
dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada
saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi
daripada membaca Al-Quran, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa
dalam membaca dan mengulang-ulang Al-Fatihah ini berarti menggabungkan
antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan
kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.
Komentar: Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah
berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya
warga NU. Ia selalu menatapkan matanya ke langit. Sehabis itu, ia membaca surat
Al-Fatihah hingga Matahari naik ke atas. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Ibn
Taimiyah ini murni bidah dari dirinya. Ia menetapkan satu bacaan secara khusus,
yaitu surah Al-Fatihah, tanpa ada dalil dari Nabi . Dan ia membacanya secara
rutin pula setiap selesai shalat shubuh hingga Matahari naik tanpa ada nash dari
Nabi . Toh, walaupun apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini tidak memiliki
dalil, kecuali hasil ijtihadnya sendiri, ia masih berhak mendapat poin penghargaan
dari pendukung fanatiknya, Umar bin Ali Al-Bazzar dan orang-orang Wahhabi,
bahwa hal itu sebagai bukti kekuatan kecerdasan Ibn Taimiyah dan pandangan
hatinya yang jitu. Di sini kita bertanya-tanya, mengapa Ibn Taimiyah selalu
mendapat bonus pujian dari mereka, meskipun melakukan sesuatu tanpa ada
dasarnya secara khusus, sementara orang lain akan dikritik bidah, syirik dan
sesat, manakala rutin mengamalkan shalawat, tahlil, maulid dan lain-lain.
BAB X
IJTIHAD, MADZHAB, TAQLID, DAN TALFIQ
A. Ijtihad

Ijtihad telah dilakukan pada masa Rasululah SAW. Beliau pernah mengutus Muadz
bin Jabal berangkat ke Yaman untuk mendakwahkan Islam. Saat itu -dengan maksud
menguji- beliau bertanya kepada Muadz tentang bagaimana kelak dia menggali hukum
untuk disampaikan kepada umat.







:
:







:
:








:









:
:





:







Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke
Yaman beliau bertanya, Apabila muncul suatu perkara, bagaimana engkau
memutuskan hukumnya? Muadz menjawab, Aku putuskan dengan berdasarkan
Kitab Allah. Beliau bertanya, Bagaimana jika engkau tidak mendapatkannya dari
Kitab Allah? Muadz menjawab, Maka aku putuskan berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Beliau bertanya lagi, Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan
keputusannya dalam Sunnah Rasulullah? Muadz menjawab, Aku berijtihad
dengan menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mundur. Mendengar itu
Rasulullah menepuk dada Muadz seraya berkata, Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufik kepada utusan Rusulullah sehingga membuat ridha Rasulullah.
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bahkan disunnatkannya berijtihad. Ada
banyak ayat Al Quran dan hadits yang menunjukkan pentingnya ijtihad.
Ijtihad juga dipandang sebagai suatu tindakan terpuji, apapun hasilnya. Hal ini
ditegaskan dalam hadits :

Dari Amr bin Al Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, Apabila
saat hakim memutuskan hukum dia berijtihad, kemudian hasilnya benar, maka dia
mendapat pahala dua. Dan apabila hasilnya salah maka dia mendapat pahala
satu.
Hadits ini secara jelas menyatakan bahwa hasil ijtihad mempunyai dua
kemungkinan, yaitu benar dan salah. Dan keduanya sama-sama mendapatkan pahala
dari Allah.

Selanjutnya perbedaan yang muncul dari ijtihad para mujtahidin adalah merupakan
suatu rahmat dan bukan sebagai sebab munculnya pertentangan dan perpecahan umat
Islam.
KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa hadits di atas menggunakan kata Hakim,
yang artinya orang yang mengerti hukum, dan bukan menggunakan kata Rajul yang
artinya orang secara umum. Ini artinya adalah bahwa yang berhak melakukan ijtihad
adalah orang yang mengerti hukum.
Amat disayangkan apabila ada seseorang memahami Al Quran dan hadits dari
terjemahan -karena tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu pendukung lainnya dengan
baik- kemudian mengklaim mampu melakukan ijtihad. Padahal sebenarnya dia hanya
melakukan taqlid buta terhadap penerjemah buku-buku yang dipedomaninya itu lantaran
dia sendiri tidak mampu mengkritisi dan menilai benar-salahnya hasil terjemahan
tersebut.
Pengertian ijtihad yang kami maksud di sini tidak lain adalah proses penggalian
hukum syariat dari dalil-dalilnya yang rinci dalam Al Quran, hadits, Ijma, Qiyas dan
dalil lainnya. Imam As Suyuthi menyatakan, Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan
untuk menghasilkan hukum.
Oleh karena itu tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, karena harus
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan menggali hukum dari Al Quran, yaitu memahami ayatayat terkait hukum, diantaranya mengetahui sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul),
Nasikh-Mansukh, Am-Khash, Mujmal-Mubayyan,

Muhkan-Mutasyabih dan lain

sebagainya.
2. Mengetahui secara mendalam hadits-hadits, terutama yang berkaitan dengan
hukum, latar belakang munculnya hadits (Sababul Wurud) dan pengetahuan tentang para
perawi (Ilmu Rijal)
3. Mengetahui mana hukum yang telah menjadi Ijma dan mana yang
diperselisihkan oleh para ulama
4. Menguasai Qiyas dan mampu menerapkannya secara benar dalam menelurkan
hukum

5. Menguasai bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya secara detail, seperti Nahwu,


Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya, disamping kaiah-kaidah Ushul Fiqh
6. Memahami tujuan dasar syariat Islam secara hakiki
7. Menguasai metodologi yang representative dalam menggali hukum
8. Memiliki ketulusan hati dan akidah yang lurus dengan tidak berambisi mencari
popularitas, kedudukan maupun materi dunia. Niatnya semata-mata demi Allah SWT dan
mencari solusi hukum bagi kemaslahatan umat manusia.
Melihat persyaratan-persyaratan di atas tentu sulit menemukan orang yang
memenuhi seluruhnya. Masing-masing orang tentu memiliki kelebihan dan kekurangan.
Ada yang hanya memenuhi sebagian, dan ada yang memenuhi lebih lengkap. Oleh karena
itu para mujtahid terbagi dalam beberapa tingkatan sebagai berikut:
1. Mujtahid Mutlaq atau Mustaqil (Mandiri) yaitu ulama yang melakukan ijtihad dan
merumuskan sendiri kaidah-kaidah penggalian hukumnya. Termasuk dalam tingkatan ini
adalah keempat Imam Madzhab, yaitu Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179
H), Imam Syafii (150-2104 H) dan Ahmad bin Hambal (164-241 H).
1. Mujtahid Muntasib (bernisbat pada Mujtahid Mutlaq), yaitu ulama yang
mengikuti metode imam panutannya dalam menggali hukum berbagai bidang. Misalnya
adalah Al Muzaniy dan Al Buwaithiy di lingkungan madzhab Syafii dan Muhammad bin
Al Hasan dan Abu Yusuf di lingkungan madzhab Hanafi. Mereka juga disebut sebagai
Mujtahid Mutlaq (Tidak Mandiri).
2. Mujtahid Muqayyad (Terbatas), yaitu para ulama yang menggali hukum pada
kasus-kasus yang belum diuraikan oleh imam panutannya. Misalnya adalah Al Karkhiy,
As Sarkhasiy, Al Bazdawiy, Abu Ishaq Asy Syiraziy dan lain sebagainya.
3. Mujtahid Madzhab atau Fatwa, yaitu ulama yang menerapkan metode penggalian
hukum imam panutannya dan hanya memilah-milah mana yang Shahih dan mana yang
Dhaif dari pendapat imam panutannya itu. Misalnya adalah Al Ghazali dan Al Juwainiy
di lingkungan madzhab Syafii.
4. Mujtahid Murajjih, yaitu ulama yang memilah-milah pendapat-pendapat suatu
madzhab dengan mengambil mana yang paling unggul dan sesuai dengan tuntutan
kemashlahatan umat. Misalnya adalah Ar Rafii dan An Nawawi di lingkungan madzhab
Syafii.

Permasalahan lain adalah bahwa ada sementara orang yang berpendapat bahwa saat
ini pintu ijtihad telah tertutup. Menanggapi pendapat itu kita perlu merujuk kembali
bahwa ijtihad adalah proses penggalian hukum dari Al Quran, Hadits dan dalil lainnya.
Karena itu tentu pintu ijtihad masih terus terbuka. Apalagi perkembangan jaman
demikian pesat, sehingga para mujtahid membutuhkan ilmu-ilmu pendamping lainnya
dalam memecahkan problematika kontemporer, hingga kita yakin bahwa pada setiap
jaman terdapat seorang mujtahid yang mampu berijtihad memecahkan problematika
hukum umat. Suatu jaman tidak pernah kosong dari adanya mujtahid, kecuali jika Kiamat
telah tiba.
B.

Madzhab
Dari segi bahasa Madzhab artinya adalah jalan. Sedangkan menurut istilah, madzhab

adalah sekumpulan hukum permasalahan furuiyah (cabang) yang ditetapkan dan dipilih
oleh imam Madzhab dan berbeda dengan imam lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, madzhab tidak terbentukdari hukum-hukum pasti
(qathiy) yang telah disepakati para ulama, misalnya wajibnya shalat 5 waktu, keharaman
berzina dan lain sebagainya. Madzhab muncul dan terbentuk dari kasus-kasus dimana
mengenainya para ulama berbeda pendapat, lalu dijadikan pegangan para pengikut
masing-masing. Jadi, madzhab adalah hasil kajian komprehensif yang dilakukan oleh
para ulama untuk mengetahui hukum Tuhan dalam Al Quran, hadits dan dalil lainnya.
Semula madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja.
Beberapa ulama juga memiliki madzhab, misalnya Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin
Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Dawud Adz Dzahiri dan Al Auzai. Lalu mengapa
madzhab-madzhab yang diamalkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terbatas
hanya pada madzhab empat saja?
Sebenarnya hal itu lebih disebabkan oleh peranan murid-murid yang membukukan
dengan baik madzhab yang ditetapkan oleh imam mereka, hingga faliditas dan kemutawatiran-nya terjamin. Disamping itu, kesahihan madzhab juga dinilai dari sisi
metode pengalian hukumnya, apakah dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah
ataukah tidak.

Imam Sayyid Alawi As Saqqaf menjelaskan bahwa murid-murid Imam Syafii


menegaskan bahwa tidak boleh hukumnya bertaklid kepada selain 4 imam. Alasan
mereka, karena tidak ada jaminan bahwa suatu pendapat memang benar-benar merupakan
pendapat imam yang bersangkutan, akibat tiadanya sanad yang menjamin terhindarnya
penyimpangan dan pemalsuan. Berbeda halnya dengan 4 madzhab tersebut, dimana para
imamnya mengerahkan tenaga dalam menerbitkan pendapat dan benar atau tidaknya
pendapat itu darinya. Karena itu para pengikutnya merasa aman dari adanya
penyimpangan dan pemalsuan serta mengetahui mana pendapat yang Shahih dan mana
yang Dhaif.
Watu terus berjalan dan probematika kehidupan berkembang dengan pesat, hingga
para ulama pesantren secara terus-menerus melakukan usaha-usaha mengembangkan cara
bermadzhab. Perubahanpun menjadi hal yang tak terhindarkan agar fiqh dapat terus
memberikan pemecahan masalah dan kesulitan dalam masyarakat. Karena itu dibutuhkan
pendekatan baru demi mewujudkan prinsip bahwa Islam selalu sesuai dengan
perkembangan waktu dan tempat. Diantara usaha para ulama tersebut adalah
menggunakan pendekatan Fiqh Sosial sebagai suatu usaha untuk mengembangkan cara
bermadzhab. Dari yang semula bermadzhab secara Qouli(tekstual) kepada bermadzhab
secara Manhaji (metodologis) dalam Fiqh, sebagaimana yang digagas oleh Dr. KH
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.
Sesuai hasil halaqah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M) terdapat beberapa karakteristik konkrit dalam Fiqh Sosial tersebut.
Diantara karakteristik itu adalah:
a. menafsirkan teks-teks fiqh secara kontekstual,
b. meningkatkan cara bermadzab yang semula tekstual menjadi bemadzhab secara
Manhaji(metodologis),
c. melakukan pemilahan ajaran agama secara mendasar dengan membedakan mana
ajaran pokok (Ushuli) dan mana ajaran cabang (Furui)
d. dan mengenalkan metodologi filosofis terutama dalam permasalahan sosialbudaya.
Usaha-usaha tersebut hanya terbatas untuk mengatasi masalah-masalah sosial
(hablun min an Nas) dan tidak pada hubungan antara hamba dengan Tuhan (hablun min

Allah), sebab bidang yang terakhir ini menuntut totalitas ketundukan dan kepasrahan
hamba. As Syathibi menyampaikan kaidah, Bagi mukallaf, dalil pokok dalam ibadah
adalah penghambaan dan tanpa mempertimbangkan maksud dan tujuan. Sedangkan dalil
pokok dari adat kebiasaan adalah mempertimbangkan maksud dan tujuan.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal:
1. Madzhab adalah suatu jalan pemikiran yang ditempuh oleh para mujtahid karena
adanya perbedaan pendapat antar mereka
2. Umat Islam tidak terikat pada madzhab tertentu saja. Mereka memiliki kebebasan
penuh dalam memilih madzhab yang dinilai cocok
3. Madzhab-madzhab yang berhak diikuti terbatas hanya pada 4 madzhab, yaitu
Hanafi, Maliki,Syafii dan Hambali
4. Umat Islam harus mengembangkan cara bermadzhab yang dapat menjamin
kemaslahatan masyarakat terutama dalam masalah sosial.
C. Taqlid
Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang dengan tanpa bisa membuktikan benarsalahnya pendapat itu, meskipun mengetahui sepenuhnya bahwa bertaklid padanya boleh.
Hukum Taqlid adalah haram bagi mujtahid dan wajib bagi selain mujtahid. As
Suyuthi mengatakan, Manusia itu ada yang mujtahid dan ada yang tidak. Yang tidak
mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia orang awam maupun orang alim/pandai. Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui

Jadi kewajiban bertaqlid tidak hanya berlaku bagi orang awam saja, tetapi juga bagi
orang alim yang mengetahui dalil, selama dia belum mencapai tingkat mujtahid, karena
kemampuannya masih sebatas mengetahui dalil dan tidak sampai mengaplikasikan
metodologi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggalian hukum. Jadi orang
alimpun selama belum mencapai tingkat berijtihad sama saja dengan orang awam dalam
kewajiban bertaqlid.
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tercela hanyalah taqlid buta dimana
seseorang menerima pendapat begitu saja tanpa memahami dan berusaha mengetahui

dalilnya.

Sedangkan mengenai taqlidnya orang alim yang belum mencapai tingkat

ijtihad, maka hal itu adalah terpuji, bahkan wajib. Dan itu lebih baik daripada terus
berijtihad padahal dirinya sendiri tidak mampu.
Taqlid adalah hal pasti dan tak terhindarkan dilakukan oleh setiap umat Islam,
setidaknya ketika mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam, misalnya meletakkan kedua
tangan di dada pada waktu shalat dan mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram.
Dia tetap melakukan hal itu meskipun belum mengetahui benar-salah dalil yang
mendasarinya. Lalu ketika dia mengetahui argumentasi dan dalil pada waktu kemudian
maka saat itu berarti dia telah keluar dari lingkaran taqlid buta. Meskipun demikian tetap
saja dia seorang yang bertaqlid karena masih belum mengetahui dalil secara rinci, paling
tidak bagaimana cara menggali hukum. Masih saja dia mengikuti metode dari seorang
imam mujtahid.
Pada kenyataannya bertaqlid banyak terjadi dalam berbagai bidang kehidupan.
Misalnya ketika seorang dokter menuliskan resep bagi pasien, maka selanjutnya pasien
itu merujuk ke apotek, bukannya meracik sendiri obat-obatan itu. Cukup baginya
membeli produk dari suatu pabrik obat yang ia anggap terjamin. Demikian juga guru
mata pelajaran Geografi ketika menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu
bulat. Dia hanya mengikuti pandangan Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukannya
mengkaji dan menelitinya sendiri secara langsung.
Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana dengan pernyataan Imam Abu Dawud yang
meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Janganlah engkau bertaqlid kepadaku,
juga kepada Malik, Asy Syafii, Al Auzai maupun Ats Tsauri. Ambillah dari mana
mereka mengambil.
Mari kita cermati sungguh-sungguh pernyataan di atas. Kepada siapakah Imam
Ahmad berkata. Dia berkata kepada Imam Abu Dawud, penyusun kitab Sunan Abi
Dawud yang menghimpun 5.284 hadits berikut sanadnya, bukan kepada orang awam.
Maka tidak aneh jika Imam Ahmad mengatakan demikian kepada Abu Dawud, yang
memiliki kemampuan berijtihad.
Mengharuskan orang awam yang merupakan mayoritas umat Islam- untuk
berijtihad sendiri-sendiri sama dengan menuntut hal di luar kemampuan mereka. Dan itu
mustahil, sebab minat masing-masing mereka pada satu bidang ilmu berbeda satu sama

lain. Sedangkan yang menekuni ilmu-ilmu agama jumlahnya relatif sedikit. Jadi bagi
yang tidak berkesempatan mengkaji ilmu-ilmu agama wajib baginya bertanya dan
bertaqlid kepada yang menekuninya.
Al Quran memerintahkan agar ada sekelompok orang dari umat Islam yang
berangkat memperdalam agama dan ilmu syariat agar kelak mereka dapat memberi
peringatan dan menyampaikan fatwa yang benar. Dan itu tidak ditujukan kepada semua
umat Islam.


269

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya
Bahkan sekalipun para Sahabat Rasulullah dianugerahi kecerdasan dan daya ingat
yang kuat serta tabiat yang baik, hasilnya mereka berbeda-beda dalam menerima ilmuilmu syariat. Ada yang menjadi mujtahid dan menyampaikan fatwa dan ada yang
bertaqlid. Rasulullah SAW mengutus beberapa orang Sahabat berangkat ke beberapa
daerah untuk menyebarkan Islam dan menangani berbagai masalah, baik dalam bidang
peibadatan, muamalah maupun masalah sosial lainnya. Merekapun kemudian
menerangkan keharaman dan kehalalan suatu perkara, dan kemudian fatwa mereka itu
dikuti oleh umat.
Sedangkan mengenai istilah Ittiba ada sementara ulama yang membedakannya
dengan Taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan antara keduanya. Keduanya
memiliki arti dan maksud yang sama.
D. TALFIQ
1. Pengertian
a) Secara Bahasa
Secara bahasa, kata talfiq ( )itu bermakna adh-dhammu ( )dan al-jamu (
). Dalam bahasa Indonesia keduanya
menggabungkan.
269

QS. At Taubah(9): 122

dengan mudah

kita

maknai

sebagai

Dalam penggunakan bahasa Arab, ketika kita menyebut lafqu at-tsaubi () ,


bermakna menggabungkan dua ujung kain dengan ujung kain yang lain dengan
jahitan. Kata at-tilfaq ( )bermakna dua pakaian yang digabungkan menjadi satu.
Dan ungkapan talaafuq al-qaum ( ) bermakna bertemunya suatu kaum.270
Sehingga istilah talfiq antar mazhab bisa kita pahami secara etimologis sebagai penggabungan mazhab.
b) Secara Istilah
Secara terminologis, ternyata kita tidak menemukan definisi talfiq ini dari para
ulama fiqih klasik. Kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih klasik ternyata tidak
mencantumkan pembahasan tentang talfiq ini. Barangkali kalau kita analisa, di
masa para ulama dan kitab-kitab itu ditulis, fenomena talfiq ini belum terjadi. Kita
hanya menemukan terminologi talfiq dari ulama dan kitab-kitab yang sudah agak
jauh dari masa awal pertumbuhan ilmu fiqih. Dan itupun ternyata para ulama agak
berbeda pendapat ketika membuat definisi dari at-talfiq baina al-mazahib ini. Maka dari
itu, kita perlu sedikit menelurusi tentang bagaimana pandangan masing-masing ulama
yang mewakili masing-masing pendapat tentang hal ini, agar jangan sampai pembicaraan
kita menjadi tidak objektif .
Syeikh Muhammad Said Albani (bukan Nashiruddin Al-Albani) di dalam kitab
Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid wa At-Talfiq mendefinisikan bahwa talfiq adalah :271


Talfiq adalah Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh
para mujtahid
Sebagian ulama yang lain seringkali mendefinisikan talfiq dengan tatabu arrukhash : 272


270

Kamus Al-Muhith hal. 849


Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid wa At-Talfiq, hal. 91
272
Al-Mishbah fi Rasmi Al-Mufti wa Manahij Al-Ifta, hal. 461
271

Talfiq adalah Mencari keringanan karena hawa nafsu


Yang dimaksud dengan mencari keringanan maksudnya adalah keringan hukum atau
fatwa, di antara sekian banyak pendapat para ulama. Pendefinisian ini memang tidak
terlalu salah, namun sebenarnya mencari keringanan dengan motivasi dorongan
hawa nafsu hanyalah salah satu bentuk atau sebagian dari talfiq. Karena boleh jadi
seorang mujtahid mencari keringanan dalam hukum dengan menggunakan dalil
yang sekiranya meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya tidak selalu
harus karena hawa nafsu. Ada motivasi-motivasi yang lain yang bisa diterima secara
syariah dalam hal talfiq ini.
Definisi yang mungkin bisa dijadikan pegangan untuk sementara ini adalah :273


Talfiq adalah Taqlid yang dibentuk dari dua mazhab atau lebih menjadi satu
bentuk ibadah atau muamalah.
Definisi ini sudah jauh lebih lengkap, karena mencakup semua unsure dalam talfiq.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Taqlid :
Pada hakikatnya melakukan talfiq adalah melakukan taqlid. Namun kalau
biasanya seseorang bertaqlid kepada satu mazhab saja, dalam hal ini orang yang
melakukan talfiq itu bertaqlid kepada dua atau lebih dari mazhab fiqih. Orang yang
melakukan talfiq pada hakikatnya tidak melakukan ijtihad, karena ijtihad adalah
sebuah pekerjaan yang besar, membutuhkan keahlian yang tidak sedikit, membutuhkan
waktu, tenaga dan riset yang panjang, serta hanya mungkin dilakukan oleh mereka
yang ekspert di bidang ijtihad. 274
273

Dr. Ghazi bin Mursyid bin Khalaf Al-Atibi, At-Talfiq Baina Al-Mazahib wa Ilaqatuhu bi
Taysir Al-Fatwa, hal. 10
274
Lawan dari melakukan taqlid adalah melakukan ijtihad, yang hanya dibenarkan bila
seseorang sudah punya ilmu dan kapasitas tertentu yang diakui secara paten sebagai mujtahid. Ibarat
pekerjaan mengobati orang sakit, meski semua orang boleh saja mengusahakan penyembuhan lewat
berbagai macam cara, namun secara paten bahwa yang boleh melakukan proses penyembuhan secara
profesional hanyalah mereka yang berstatus sebagai dokter dan sudah mendapat izin praktek.
Tujuannya tentu untuk menjaga standar mutu pengobatan dan penyembuhan itu sendiri, agar tidak
terjadi kesalahan yang fatal, dengan menyerahkan suatu pekerjaan kepada mereka yang bukan
ahlinya.

Seorang yang melakukan talfiq hanya melakukan taqlid, tidak lebih dari itu. Dia
tidak menciptakan fatwa mazhab sendiri, melainkan menggabung-gabungkan fatwafatwa di dari berbagai mazhab.
- Yang Dibentuk Dari Dua Mazhab Atau Lebih :
Sumber talfiq adalah pendapat-pendapat yang ada di dalam beberapa mazhab,
minimal ada dua mazhab yang pendapat-pendapatnya diambil lalu mengalami remake
ulang.
Dalam bahasa teknologi, talfiq mirip dengan melakukan kanibalisme antara spare
part dari suatu mesin. Harddisk komputer yang sudah rusak, mungkin datanya
masih bisa diselamatkan, dan teknisnya dengan melakukan kanibalisasi dari beberapa
harddisk menjadi satu. Hanya saja talfiq mazhab dengan kanibalisasi spare part tetap
berbeda. Sebab mazhab yang dijadikan sumber talfiq tidak dalam kondisi rusak,
malah sebalinya, justru mazhab itu dalam keadaan yang paling baik. Sedangkan
kanibalisasi spare part biasanya dilakukan ketika suatu benda telah mengalami kerusakan,
bahkan sudah dinyatakan mati total. Namun oleh tukang reparasi, benda-benda yang
sudah mati itu dibongkar, lalu diakali sedemikian rupa, dipreteli spare partnya, siapa
tahu ada bagian tertentu yang masih bisa dipakai. Keberhasilan melakukan kanibalisasi
ini juga tidak pernah bisa dijamin. Kalau lagi beruntung, tentu ada manfaatnya. Tetapi
seringkali kanibalisasi tidak ada gunanya.
- Dalam Masalah Ibadah atau Muamalat:
Talfiq hanya dilakukan di wilayah praktek fiqih yang wilayah ibadah atau muamalah
fiqhiyah, bukan di wilayah aqidah dan prinsip fundamental agama.
Dalam hal ini, setiap satu jenis ibadah tertentu, pasti memiliki rukun, syarat
dan ketentuan. Dan kenyataannya, setiap mazhab merumuskan rukun dari suatu ibadah
dengan ketentuan yang berbeda-beda.
2. Batasan Talfiq
Dengan melihat definisi di atas, maka sebuah talfiq itu adalah tindakan yang
dilakukan oleh seseorang selama masih berada di dalam batas-batas tertentu. Bila
berada di luar batas itu, meski pun ada kemiripan namun tindakan itu tidak dianggap
sebagai talfiq. Dan batas-batas itu adalah :

a)

Wilayah Ijtihad

Apa yang ditalfiq itu adalah masalah-masalah yang bersifat ijtihadiyah dalam
urusan masalah fiqhiyah. Suatu masalah yang dimungkinkan para ulama memang
berbeda-beda dalam hasil ijtihad mereka, karena tidak ada dalil atau nash yang qathi
secara dilalah. Maka kita tidak mengenal istilah talfiq dalam masalah itiqadiyah
atau wilayah yang masuk ke dalam urusan fundamental aqidah. Talfiq juga tidak
dilakukan dalam masalah yang sudah qathi baik secara tsubut atau pun secara dilalah.
Misalnya masalah yang sudah menjadi ijma para ulama, seperti bahwa shalat lima
waktu itu hukumnya fardhu ain, tidak ada istilah talfiq di dalamnya.
b) Bukan Pindah Mazhab
Talfiq itu mencampur, mengaduk dan mengoplos beberapa pendapat fiqih dari
beberapa mazhab. Maka seorang yang pindah mazhab atau berganti mazhab, baik
untuk sementara atau untuk seterusnya, tidak dikatakan melakukan talfiq. Sebagai
contoh sederhana, seseorang yang bermazhab Asy-syafiiyah ketika pergi haji ke
Baitullah untuk sementara mengganti mazhabnya menjadi mazhab Al-Hanafiyah,
khususnya dalam hal sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram tanpa pelapis. Di dalam mazhab Asy-Syafiiyah, sentuhan itu membatalkan
wudhu, sementara di dalam mazhab Al-Hanafiyah sentuhan itu tidak membatalkan
wudhu. Maka orang ini tidak dikatakan melakukan talfiq, karena tidak melakukan
pencampuran mazhab, tetapi dia berpindah mazhab, meski hanya bersifat sementara
dan hanya pada satu masalah saja. Ketika Al-Imam Asy-Syafiie rahimahullah
menciptakan mazhab baru, setelah sebelumnya beliau telah menciptakan mazhab yang
lama, maka bila ada seorang pemeluk mazhab Asy-Syafiyah berpindah ke mazhab
Asy-Syafiiyah yang baru, dia tidak dikatakan melakukan talfiq. Karena dia tidak
mencampur mazhab lama dengan mazhab baru untuk digabungkan menjadi satu.
c)

Dalam Satu Masalah

Talfiq itu berarti mencampur dari dua sumber atau lebih, namun pencampuran itu
dilakukan di dalam satu masalah ibadah atau muamalah. Maka orang yang shalatnya
ikut mazhab Asy-syafiiyah tapi puasanya menganut mazhab Al-Malikiyah, tidak
dikatakan mencampur mazhab. Sebab pencampuran itu terjadi pada dua masalah
yang berbeda dan terpisah serta tidak saling berpengaruh.Talfiq hanya terjadi manakala

pencampuan itu dilakukan di dalam satu masalah yang sama, atau dua masalah tetapi
saling terkait.
3. Contoh Talfiq
Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan talqif antara mazhab
sebagaimana batasan dan syarat di atas, tidak ada salahnya Penulis memberikan
beberapa contoh yang lebih implementatif dari keseharian kita dalam beribadah atau
bermuamalah.
a)

Masalah Wudhu (1):

Dalam mazhab Asy-Syafiiyah, asalkan sebagian kepala atau beberapa helai rambut
telah basah, maka hal itu sudah dianggap sah dalam mengusap kepala sebagai rukun
wudhu. Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, yang disebut mengusap kepala itu
haruslah seluruh kepala. Sementara, di dalam mazhab Asy-Syafiiyah, seorang laki-laki
yang menyentuh kulit perempuan ajnabiyah (bukan mahram) tanpa alas atau pelapis,
dianggap telah batal

wudhunya. Sedangkan

mazhab Al-Hanabilah tidak

demikian,

karena batalnya wudhu hanya bila terjadi hubungan suami istri.


Bentuk talfiq dalam hal ini adalah ketika seseorang dalam wudhu mengambil
sebagian

mazhab Asy-Syafiiyah dan sebagian lagi dari mazhab Al-Hanabilah.

Misalnya, dia mengatakan bahwa cukuplah mengusap beberapa helai rambut sebagai
bentuk mengusap kepala (mazhab Asy-Syafiiyah), namun berpendapat bahwa sentuhan
kulit antara laki-laki dan perempuan ajnabiyah tidak membatalkan wudhu (mazhab
Al-Hanafiyah). Seandainya bentuk wudhu yang baru diciptakan ini disodorkan kepada
masing-masing mazhab, yaitu kepada mazhab Asy-Syafiiyah dan mazhab Al-Hanafiyah,
pastilah keduanya mengatakan bahwa wudhu hasil talfiq itu tidak bisa diterima.
Mazhab Asy-Syafiiyah mengatakan tidak diterima, karena orang itu telah batal
menyentuh kulit wanita tanpa alas, sedang mazhab Al-Hanafiyah mengatakan
wudhu itu tidak sah, karena tidak seluruh kepala kena air.
a)

Masalah Wudhu (2):

Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala atau dengan tanpa


menggosok-gosok anggota wudlu karena mengikuti madzhab Syafii. kemudian dia
menyentuh anjing dengan mengikuti madzhab Maliki yang berpendapat bahwa anjing
adalah binatang suci. Maka shalat yang dilakukannya tidak sah dalam pandangan kedua

madzhab tersebut, sebab di satu sisi menurut Maliki berwudlu tidak sah tanpa mengusap
seluruh kepala serta menggosok-gosok anggota wudlu, dan di sisi lain menurut Syafii
anjing adalah termasuk najis Mughalladhah(berat). Jadi apabila dia melaksanakan shalat
maka shalatnya tidak sah dalam pandangan madzhab-madzhab tersebut.
b) Masalah Rukun Nikah
Dalam mazhab Al-Hanabilah, sebuah pernikahan tidakmensyaratkan harus ada wali,
khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya. Dalam mazhab AlMalilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap sah meskipun tidak ada saksi-saksi. Dan
dalam pandangan mazhab Asy-Syafiiyah, seandainya seorang istri ridha tidak diberi
mahar, maka pernikahan tetap sah hukumnya. Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau
ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan jadi-jadian.
Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan menolak model pernikahan
seperti ini, karena dalam sudut pandang masing-masing mazhab, pernikahan itu
tidak sah. Pernikahan model begini para prinsipnya sama saja dengan sebuah perzinaan,
namun dengan mengatas-namakan pernikahan. Dan ini adalah salah satu contoh talfiq
yang unik.
c)

Masalah Talak

Istri yang ditalak untuk yang ketiga kalinya tentu tidak bisa langsung dinikahi
kembali, karena harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain. Namun dalam
pandangan mazhab Asy-Syafiiyah, bila wanita menikah dengan seorang anak laki-laki
yang baru berumur 9 tahun dan sempat melakukan hubungan suami istri, maka
hubungan suami istri itu sah sebagai hal yang menghalalkan. Dan bila digabung
dengan pendapat mazhab Al-Hanabilah, bila anak kecil itu mentalaknya, maka wanita
itu tidak membutuhkan masa iddah. Sehingga suaminya yang pertama sudah bisa
menikahinya kembali. Penggabungan dua hal ini disebut dengan talfiq.
d) Masalah Mabit di Muzdalifah
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafiiyah, jamaah haji wajib bermalam di
Musdalifah dalam arti turun dari unta atau kendaraan, hingga terbit fajar, tidak
ubahnya seperti wuquf di padang Arafah. Ibadah ini posisinya adalah kewajiban dalam
haji namun

bukan rukun. Sehingga kalau seseorang meninggalkan bermalam di

Muzdalifah itu itu, dia diharuskan membayar denda (dam), yaitu menyembelih seekor

kambing. Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, mabit di Muzdalifah itu hukumnya


sunnah, bukan wajib apalagi rukun.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh kongkrit tentang talfiq antar mazhab yang
kita saksikan di tengah masyarakat.
4. Hukum talfiq
Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum talfiq, yakni boleh atau tidaknya
seseorang berindah mazhab baik secara keseluruhan maupun sebagian, kepada tiga
pendapat. 275 Pendapat tersebut adalah sebagai berikut :
Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah
satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak
dibenarkan pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian.
Keadaan orang itu sama dengan seorang mujtahid manakala sudah memilih salah
satu dalil maka ia harus tetap beregang pada dalil itu. Sebab dalil yang dipiihnya itu
adalah dalil yang dipandangnya kuat, sebaliknya dalil yang tidak dipilihnya adalah dalil
yang dipandangnya lemah. Pertimbangan rasio dalam kondisi seperti itu menghendaki
orang yang bersangkutan untuk mengamalkan dalil yang dipandangnya kuat dan
memertahankannya. Atas dasar ini maka talfiq hukumnya haram. Golongan ini dipelopori
oleh sebagian dari ulama Syafiiyah terutama Imam Al-Quffal Syasyi.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu
mazhab boleh berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan
dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab
pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka
talfiq dapat dibenarkan. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Al-Qarafi ulama besar dari
Malikiyah.
Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu
mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain,
walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari
tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah
sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah
275

hal. 165.

Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001),

selama hal itu tidak membawa dosa. Di dalam salah satu hadisnya juga dikatakan bahwa,
beliau senang mempermudah urusan umatnya, juga ada hadis yang mengatakan bahwa
agama itu mudah.
Maka menurut pendapat ini dengan berdasarkan alasan di atas talfiq hukumnya
mubah (boleh). Golongan ini dipelopori oleh Imam Al-Kamal Humam dari ulama
Hanafiah, beliau berkata,
"Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang mudah-mudah, karena
seseorang boleh mengambil mana saja yang enteng apabila ia memperoleh jalan
untuk itu."
Menurut M. Ali Hasan dari segi kemaslahatannya, talfiq diperbolehkan
sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa alasan yaitu :
a) Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab.
b) Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
c) Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit
umat. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada
kemudahan dan kemaslahatan.
d) Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin
setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
e) Memperbolehkan talfiq tidak hanya akan membawa kelapangan, tetapi akan
membawa kepada hukum Islam yang dinamis.
f) Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan
hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior. 276
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu:
1) Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapat-pendapat
para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka
beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang ditunjukkan
syara yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut
itu jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan
untuk memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan
di kalangan umat Islam.
Contohnya seseorang berwhudu menurut syarat-syarat yang dituntut oleh
mazhab Syafii kemudian pada saat-saat yang lain dia berwudhu mengambil syaratsyarat sebagaimana yang ditentukan oleh mazhab Hanafi, ini diperbolehkan karena
bagi seorang mukallaf diizinkan mengamalkan yang lebih ringan bila memang tidak
ada jalan lainnya. Yakni ia tidak mencabut amal yang telah dikerjakannya menurut
276

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002), hal. 91.

satu mazhab untuk diganti menurut mazhab yang lain. Jelasnya wudhu pertama
menurut mazhab Syafii telah selesai dan dipergunakan untuk suatu keperluan hingga
selesai juga, kemudian wudhu kedua menurut mazhab Hanafi telah selesai dan
dipergunakan untuk keperluan yang lain. Biar masalahnya serupa tapi peristiwanya
berbeda.
2) Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapatpendapat para mujtahid dalam suatu masalah.
Contohnya seorang mengadakan akad nikah tanpa menggunakan wali
menurut mazhab Hanafi dan tanpa memakai dua saksi menurut mazhab Imam Malik.
Akad nikah yang mereka lakukan adalah fasid (batal) dari dua jurusan. Ia tidak boleh
beralasan bahwa agama itu mudah dan tidak menyakitkan. Sebab tempat kemudahan
dalam agama itu sudah diketahui oleh orang umum. Dan andaikata kemudahan itu
bertempat disembarang tempat secara meluas niscaya beban taklif manusia akan
gugur semuanya. Bagi Ulama yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah
kelompok yang berpegang teguh kepada pendapat para Imamnya yang telah
dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
5. Sebab Terjadinya Talfiq
Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang
telah melanda umat yang cukup lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan
kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di kalangan
umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh. 277
Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan di dalam kitab-kitab ulama salaf bahkan
tidak pernah dibicarakan secara serius di kalangan mereka. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah baru yang kita kenal di dalam
permasalahan fiqh dewasa ini yang sengaja dibuat oleh ulama-ulama kahalaf
(mutaakhirin), khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama-ulama Mutaakhirin yang
memproklamirkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup mengakibatkan berjangkitnya
penyakit taqlid yang mulai dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam
ketika itu.278
277 ]

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cet. 4, 2002), hal. 89.
Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001),
hal. 171-172.
278

Dari sinilah muncul pendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu
mazhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. pindah dari satu mazhab ke
mazhab lain secara sebagian inilah yang dikenal dengan istilah talfiq.
Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia Islam bukan saja diikuti
oeh orang-orang awam, tetapi juga oleh para ulamanya, Berabad-abad lamanya pendapat
ini melanda dunia Islam termasuk Indonesia sekarang ini. Dengan adanya pendapat ini
menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, wawasan Islam khususnya menjadi
sempit. Hal ini menyebabkan hukum Islam yang mestinya luwes (fleksibel) menjadi loyo,
kaku, tidak sehat, dan tidak dinamis serta tidak mampu berdiri tegak untuk menjawab
tantangan zaman. Ketidakberesan ini jelas tidak muncul dari hukum Islam melainkan
muncul dari sikap ulama Islam yang tidak tepat dalam menundukkan hukum Islam,
sebagai akibat dari adanya pendapat yang sempit sebagaimana disebutkan di atas tadi.279
Menurut Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, hal ini perlu diluruskan dengan
cara menundukkan masalah talfiq secara proporsional. Untuk itu, perlu diadakan
penelitian secara terpadu dengan mengkaji pendapat fuqaha dan para ahli ushul
berdasarkan kitab-kitab Turats, kitab-kitab hadits (modern) sehingga kita nantinya dapat
membandingkan antara pengkajian lama dengan pengkajian baru, selanjutnya kita
menarjihkan mana yang lebih rasional dan sesuai dengan perkembangan masa kini, itulah
yang kita mainkan.
6. Kesimpulan
Talfiq yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas
kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih. Fuqaha dan Ahli Ushul mengenai hukum
talfiq ini, yakni boleh atau tidaknya seseorang berindah mazhab, baik secara keseluruhan
mauun sebagian mereka terbagi keada tiga pendapat yaitu :
Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki (memilih) salah satu
mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang telah dipilihnya itu. Ia tidak dibenarkan
pindah kepada mazhab yang lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pendapat
kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh
berpindah ke mazhab yang lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan
hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab
279

Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, cet. 2, 2001),
hal. 171-172.

kedua sama-sama memandang batal (tidak sah). Atas dasar ini maka talfiq dapat
dibenarkan. Pendapat ketiga, berpendirian bahwa seorang yang telah memilih salah satu
mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain,
walaupun didorong untuk mencari keringanan. Ia dibenarkan mengambil pendapat dari
tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang, dengan alasan Rasulullah
sendiri kalau disuruh memilih antara dua perkara beliau memilih yang paling mudah
selama hal itu tidak membawa dosa dengan alasan ini maka talfiq hukumnya mubah.
Sedangkan Ulama Jumhur mengklasifikasikan talfiq kepada dua macam yaitu
pertama, Talfiq yang dibolehkan, yaitu mengambil yang teringan diantara pendapatpendapat para mujtahid (mazhab) dalam beberapa masalah yang berbeda-beda. Mereka
beralasan bahwa talfiq sesuai dengan prinsip penetapan hukum yang ditunjukkan syara
yaitu tidak menyulitkan. Tetapi kemudahan yang diberikan oleh agama tersebut itu
jangan dimudah-mudahkan. Para ulama membolehkan talfiq ini dengan tujuan untuk
memperkecil fanatisme terhadap satu mazhab atau menghindarkan perpecahan di
kalangan umat Islam. Kedua, Talfiq yang tidak dibolehkan, yaitu mengambil yang
teringan diantara pendapat-pendapat para mujtahid dalam suatu masalah. Bagi Ulama
yang tidak memperbolehkan talfiq ini mereka adalah kelompok yang berpegang teguh
kepada pendapat para Imamnya yang telah dijangkiti penyakit taqlid dan fanatik mazhab.
Talfiq merupakan istilah yang lahir sebagai reaksi dari berjangkitnya taqlid yang
telah melanda umat yang cuku lama, kemudian talfiq muncul bersamaan dengan
kebangkitan kembali umat Islam dan eksistensinya membawa pro dan kontra di kalangan
umat (fuqaha). Talfiq merupakan istilah yang relatif baru dalam lapangan fiqh.
BAB XI
AMALIYAH AHLIS-SUNNAH WAL JAMAAH
A. Pendahuluan
Sejarah diterimanya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi keagamaan
masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu, Budha), tidak bisa dilepaskan dari
cara-cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala itu yang ramah dan
bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal. Sebuah pendekatan dakwah yang
terbuka dan tidak antipati terhadap nilai-nilai normatif diluar Islam, melainkan

mengakulturasikanya dengan membenahi penyimpangan didalamnya dan memasukan


ruh-ruh keIslaman kedalam subtansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliyah dan
ritualitas Muslim Nusantara khususnya Jawa, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan
tradisi dan budaya khas lokal, seperti ritual selamatan, kenduri dan lain-lain.
Amaliyah dan ritual-ritual keagamaan yang bercorak budaya lokal dengan segala
kekhasan tradisinya seperti itu, sampai kini tetap dilestarikan oleh Muslim Nusantara
khususnya kaum Nahdliyin. Amaliyah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena
kaum nahdliyin meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal tersebut
hanyalah sebatas teknis atau bentuk luaran saja, sedangkan yang menjadi subtansi di
dalamnya murni ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, ritual-ritual yang bercorak tradisi
lokal hanyalah bungkus luar, sedangkan isinya adalah nilai-nilai ibadah yang diajarkan
oleh Islam.
Sebagai contoh, ritual selamatan atau kenduri yang dilakukan dengan seremonial
pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kebiasaan lokal yang berlaku, didalamnya diisi
dengan ibadah-ibadah yang dianjurkan Islam seperti bersedekah, dzikir, berdo`a,
membaca Al Qur`an dan lain sebagainya. Mengenai seremonial atau penentuan waktu
tersebut, tidak lebih hanyalah kemasan luar sebagai bentuk penyesuaian dengan teknis
dan kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
Dalam pandangan kaum Nahdliyin kehadiran islam yang dibawa oleh Rosulullah
SAW. Bukanlah untuk menolak tradisi yang telah berlaku dan mengakar menjadi kultur
kebudayaan masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan dan pelurusan
terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rosulullah. Budaya lokal
yang mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, maka Islam akan mengakulturasikanya bahkan mengakuinya sebagai bagian dari
budaya dan tradisi Islam itu sendiri.
Kendati demikian amaliyah dan ritual keagamaan kaum nahdliyin seperti itu sering
mengobsesi sebagian pihak untuk menganggapnya sebagai praktek-praktek mistisme,
Khurafat, Bid`ah bahkan syirik.
Anggapan demikian sebenarnya lebih merupakan subyektivitas akibat terjebak dalam
pemahaman Islam yang sempit dan dangkal serta tidak benar-benar memahami hakekat

amaliyah dan ritual kaum Nahdliyin tersebut. Pihak-pihak yang seperti itu, wajar apabila
kemudian dengan mudah melontarkan tuduhan bid`ah atau syirik terhadap amaliyah dan
ritualitas kaum Nahdliyin, seperti tahlilan, maulid Nabi, Manakib, Ziarah kubur dan
amaliyah-amaliyah lainya.
Tuduhan-tuduhan bid`ah seperti itu sangat tidak berdasar secara dalil maupun ilmiah
dan lebih merupakan sikap yang ncerminkan kedangkalan pemahaman keislaman.
B. Pujian Setelah Adzan
Sejak zaman hadulu, di sebagian masjid atau mushalla di Jawa ada kebiasan yang
tidak dilakukan di masjid atau mushalla lain, yaitu setelah adzan shalat maktubah
dibacakan pujian berupa dzikir, doa, shalawat nabi atau syair-syair yang islami dengan
suara keras. Beberapa menit kemudian baru iqamat. Akhir-akhir ini banyak dipertanyakan
bahkan dipertentangkan apakah kebiasaan tersebut mempunyai rujukan dalil syari? Dan
mengapa tidak semua kaum muslimin di negeri ini melakukan kebiasaan tersebtu?
Dengan munculnya pertanyaan seperti itu warga Nahdliyin diberi pengertian untuk
menjawab : Apa pujian itu? Bagaimana historisnya? Bagaimana tinjauan hukum syariat
tentang pujian? Dan apa fungsinya?
1. Pengertian Pujian dan Historisnya
Pujian bersal dari akar kata puji, kemudian diberi akhiran an yang artinya :
pengakuan dan penghargaan dengan tulus atas kebaikan/ keunggulan sesuatu. Yang
dimaksud dengan pujian di sini ialah serangkaian kata baik yang berbahasa Arab atau
berbahasa Daerah yang berbentuk syair berupa kalimat-kalimat yang isinya
mengagungkan asma Allah, dzikir, doa, shalawat, seruan atau nasehat yang dibaca pada
saat di antara adzan dan iqamat.
Secara historis, pujian tersebut berasal dari pola dakwah para wali songo, yakni
membuat daya tarik bagi orang-orang di sekitar masjid yang belum mengenal ajaran
shalat. Al-hamdulillah dengan dilantunkannya pujian, tembang-tembang/syair islami
seadanya pada saat itu secara berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari mereka mau
berdatangan mengikuti shalat berjamaah di masjid.
2. Pujian Ditinjau dari Aspek Syariat

Secara tekstual, memang tidak ada dalil syari yang sharih (jawa : ceplos) mengenai
bacaaan pujian setelah di kumandangkannya adzan, yang ada dalilnya adalah membaca
doa antara adzan dan iqamat. Sabda Nabi SAW :

Artinya :Doa yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab (dikabulkan oleh
Allah). Maka berdoalah kamu sekalian. (HR. Abu Yala)

Kemudian bagaimana tinjauan syariat tentang hukum bacaan pujian di masjid atau
mushalla seperti sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa membaca dzikir dan syair di
masjid atau mushalla merupakan suatu hal yang tidak dilarng oleh agama. Pada zaman
Rasulullah SAW. para sahabat juga membaca syair di masjid. Diriwayatkan dalam
sebuat hadits :

Artinya :Dari Said bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan bertemu
dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur
Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan syair di masjid yang di
dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada kamu, kemudian dia menoleh
kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan
Engkau menguatkannya dengan ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah,
benar (aku telah mendengarnya). (HR. Abu Dawud dan Nasai).
Sehubungan dengan riwayat ini syaikh Ismail Az-Zain dalam kitabnya Irsyadul
Mukminin menjelaskan : Boleh melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasehat,
pelajaran tata karama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid.
Jadi bila membaca syair seperti tersebut dengan suara keras di masjid boleh, maka
membaca dzikir tentu lebih boleh.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub hal 179 juga
menjelaskan :









.








Artinya :Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW. setelah adzan
(jawa : Pujian) para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya sunat. Dan
seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan salam itu termasuk salah

satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun membacanya dengan suara keras
dan di atas menara itu pun tidak menyebabkan keluar dari hukum sunat.
3. Pujian Ditinjau dari Aspek Selain Syariat
Apa yang dilakukan para wali di tanah jawa mengenai bacaaan pujian ternyata
mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi itu antara lain :
a)

Dari sisi syiar dan penanaman akidah.

Karena di dalam bacaan pujian ini terkandung dzikir, seruan dan nasehat, maka hal
itu menjadi sebuah syiar dinul islam dan strategi yang jitu untuk menyebarkan ajaran
Islam dan pengamalannya di tengah-tengah masyarakat.
b) Dari aspek psikologi (kejiwaan).
Lantunan syair yang indah itu dapat menyebabkan kesejukan jiwa seseorang,
menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Amaliyah berupa bacaaan pujian
tersebut dapat menjadi semacam persiapan untuk masuk ke tujuan inti, yakni shalat
maktubah lima waktu, mengahadap kepada Allah yang Maha Satu.
c)

Ada lagi manfaat lain, yaitu :


1) Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu pelaksanaan shalat
berjamaah;
2) Mencegah para santri agar tidak besenda gurau yang mengakibatkan
gaduhnya suasana;
3) Mengkonsentrasikan para jamaah orang dewasa agar tidak membicarakan
hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu sahalat jamaah dilaksanakan.

Dengan beberapa alasan sebagaimana tersebut di atas, maka membaca pujian


sebelum pelaksanaan shalat jamaah di masjid atau mushalla adalah boleh dan termasuk
amaliyah yang baik, asalkan dengan memodifikasi pelaksanaannya, sehingga tidak
mengganggu orang yang sedang shalat. Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang
itu terkait pada kebiasaan setempat. Modifikasi tersebut misalnya : dengan cara membaca
bersama-sama dengan irama yang syahdu, dan sebelum imam hadir di tempat shalat
jamaah.
Dalam berdakwah para ulama yang bijaksana selalu berusaha menggunakan strategi
agar dakwahnya dapat menyentuh hati. Diantara startegi yang digunakan adalah
membaca syair-syair berisi pujian, dzikir dan nasehat-nasehat agama sebelum

pelaksanaan shalat jamaah. Hal itu dimaksudkan untuk membangkitkan semangat dan
menyentuh perasaan melalui keindahan syair-syair yang dikumandangkan, sehingga
orang merasa nyaman berada di masjid dan tidak berbicara yang tanpa guna.
Akan tetapi membaca dzikir dengan suara keras tersebut diperbolehkan selama tidak
menggangu orang yang sedang shalat, apalagi shalat fardlu, sebagaimana disebutkan
hadits:


Janganlah orang yang membaca Al Quran dari kalian mengganggu orang yang
shalat dari kalian.
Kalau semua masalah tentang pujian sudah demikian jelasnya, maka tidak perlu ada
label Bidah Dlalalah dari pihak yang tidak menyetujuinya.
C. Dibaan Dan Shalawatan
1. Pengertian Dibaan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa para ulama salaf banyak sekali yang menulis kitab,
buku atau tulisan singkat yang berisi bacaan shalawat. Hal itu dilakukan untuk
mewujudkan sebuah bukti kecintaan mereka kepada Nabi yang disanjungnya. Bacaan
shalawat yang berbentuk buku atau kitab antara lain : shalawat Dala'il, shalawat
Bakriyah, shalawat Diba'iyyah dan lain-lain. Sedangkan yg berbentuk tulisan singkat
antara lain shalawat Nariyah, shalawat Rajabiyah, shalawat Munjiyat, shalawat Fatih,
shalawatSaadah. shalawat Badriyah dan lain- lain.
Dari sekian banyak kitab yang berisi bacaan shalawat tersebut ada yang paling
terkenal dan sering dibaca yang diadakan oleh warga Nahdliyyin, antara lain adalah
shalawat Dibaiyyah.
Jadi pengertian Dibaan adalah : membaca kitab yang berisi bacaan shalawat dan
riwayat hidup Nabi secara singkat yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahman ad-Dibai.
2. Hukum Membaca Diba'iyyah dan Shalawatan
Membaca shalawat Dibaiyyah atau shalawat yang lain menurut pendapat yang
tersohor di kalangan Jumhurul Ulama adalah sunnah Muakkadah. Kesunatan membaca
shalawat ini didasarkan pada beberapa dalil, antara lain:
a.

Firman Allah SWT


280

Artinya :Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan sampaikanlan
salatu penghormatan kepadanya.
b.

Sabda Nabi SAW.:

] ] .
Artinya :Bershalawatlah kamu untukku, karena membaca shalawat untukku bisa
mengahapus dosamu dan bisa membersihkan pribadimu. (HR. lbnu Majah)
c.

Sabda Nabi SAW. :

] ].
Artinya: Hiasilah tempat-tempat pertemuanmu dengan bacaan shalawat untukku,
karena sesungguhnya bacaan shalwat untukku itu menjadi cahaya bagimu pada hari
kiamat. (HR. Ad-Dailami).
3. Fadlilah Membaca Shalawat
Seseorang yang ahli membaca shalawat akan diberi anugerah oleh Allah, antara lain :
a.

Dikabulkan doanya


] ] .
Artinya:Setiap doa adalah terhalanh, sehingga dimulai dengan memuji kepada
Allah dan bershalawat kepada Nabi, kemudian baru berdo'a dan akan dikabulkan
doa itu. (HR. Nasai).
b. Peluang untuk mendapat syafa'at Nabi pada hari kiamat.
c. Dihilangkan kesusahan dan kesulitannya.
d. Dan lain-lain.
4. Cara Membaca Dibaiyyah dan Shalawat Nabi
Dibaca dengan kesungguhan dan keikhlasan hati serta diiringi rasa hormat dan
mahabbah/cinta kepada Rasulullah SAW.
Jelas sekali dalalah ayat Al-Quran dan Hadits Nabi tersebut bahwa kita sebagai
ummat Muhammad diperintahkan untuk membacakan shalawat kepada Nabi SAW.
dengan tujuan untuk mengagungkannya sekaligus mengharapkan barokahnya sewaktu

280

QS. AI-Ahzab(33): 56

kita masih hidup di dunia dan agar mendapat syafaatul udzma ketika kita berada di alam
mahsyar kelak.
D. Tahlilan (Kenduri Arwah-Selamatan Kematian) menurut Madzhab Imam
Syafii
1. Doa Untuk Orang Mati
Kaitan dengan doa, hal ini tidak begitu dipermasalahkan, sebab telah menjadi
kepakatan ulama ahlus sunnah wal jamaah bahwa doa bisa sampai dan memberikan
manfaat bagi orang mati. Begitu banyak dalil yang menguatkan hal ini. Diantaranya
adalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taalaa :


281

dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah
beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa taalaa memberitahukan bahwa orang-orang
yang datang setelah para sahabat Muhajirin maupun Anshar mendoakan dan
memohonkan ampun untuk saudara-saudaranya yang beriman yang telah (wafat)
mendahului mereka sampai hari qiamat.282 Mereka yang dimaksudkan adalah para tabiin
dimana mereka datang setelah masa para sahabat, mereka berdoa untuk diri mereka
sendiri dan untuk saudara mukminnya serta memohon ampun untuk mereka.283
284


dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, lakilaki dan perempuan
Ayat ini mengisyaratkan bermanfaatnya doa atau permohonan ampun oleh yang
hidup kepada orang yang telah meninggal dunia. Serta perintah untuk memohonkan
ampunan bagi orang-orang mukmin.
281
282

QS. al-Hasyr 59 ; 10
Lihat : Tafsirul Jalalain karya al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli (asy-

Syafii).
283
284

Lihat : Tafsir Maalimut Tanzil lil-Imam al-Baghawi asy-Syafii (w. 516 H).
QS. Muhammad 47 : 19


285

Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan
beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah
Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.
Allah Subhanahu wa Taalaa juga berfirman :
286


dan mendo'alah untuk mereka, sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka
Frasa shalli alayhim maksudnya adalah berdoalah dan mohon ampunan untuk
mereka,287 ini menunjukkan bahwa doa bermanfaat kepada orang lain.
























" :


"









Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada malam hari yaitu keluar pada akhir
malam ke pekuburan Baqi, kemudian Rasulullah mengucapkan Assalamualaykum
dar qaumin muminin wa ataakum ma tuaduwna ghadan muajjaluwna wa innaa
InsyaAllahu bikum laa hiquwn, Allahummaghfir lil-Ahli Baqi al-Gharqad.288

Ini salah satu ayat dan hadits yang menyatakan bahwa mendoakan orang mati
adalah masyru (perkara yang disyariatkan), dan menganjurkan kaum muslimin agar
mendoakan saudara muslimnya yang telah meninggal dunia. Banyak-ayat-ayat serupa
dan hadits-hadits yang menunjukkan hal itu.Ulama besar madzhab Syafiiyah yaitu alImam an-Nawawi dalam al-Adzkar menyebutkan :


( :
.



289


285

QS. Nuh 71 : 28
QS. at-Taubah(9) : 13)
287
Tafsir Maalimut Tanzil lil-Imam al-Baghawi asy-Syafii (w. 516 H).. Ash-Shalah menurut
bahasa adalah doa. Frasa sakanun lahum yaitu sesunguhnya doamu sebagai rahmat bagi mereka, ini
qaul Ibnu Abbas. ; Juga didalam Tafsir al-Quran al-Adhiim, Ibnu Katsir.
288
Shahih Muslim no. 1618 ; Sunan an-Nasai no. 2012 ; Assunanul Kubra lil-Imam al-Baihaqiy
(4/79) ; Musnad Abu Yala no. 4635 ; Shahih Ibnu Hibban no. 3239
289
QS. Al Hasyr(59): 10
286

:"



" :

. "



"
Bab perkataan dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi mayyit : Ulama telah berijma (bersepakat ) bahwa doa untuk orang meninggal dunia bermanfaat dan
pahalanya sampai kepada mereka. Dan Ulama berhujjah dengan firman Allah :
{Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Rabb kami,
beri ampunlah kami dan saudarasaudara kami yang telah beriman lebih dulu dari
kami dan ayat-ayat lainnya yang maknanya masyhur, serta dengan hadits-hadits
masyhur seperti doa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ya Allah berikanlah
ampunan kepada ahli pekuburan Baqi al-Gharqad, juga doa : ya Allah berikanlah
Ampunan kepada yang masih hidup dan sudah meninggal diantara kami, dan hadits
yang lainnya.290
Didalam Minhajuth Thalibin :

dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah juga doa dari ahli waris
dan orang lain 291
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir

asy-Syafii terkait doa dan shadaqah juga

menyatakan sampai.















292


Adapun doa dan shadaqah, maka pada yang demikian ulama telah sepakat atas
sampainya pahala keduanya, dan telah ada nas-nas dari syariat atas keduanya.
Syaikh an-Nawawi al-Bantani (Sayyid Ulama Hijaz) didalam Nihayatuz Zain :
293

dan doa memberikan manfaat bagi mayyit, sedangkan doa yang mengiringi
pembacaan al-Quran lebih dekat di ijabah.
Syaikh al-Allamah Zainudddin bin Abdul Aziz al-Malibari didalam Fathul Muin :

294

) :
(








.






290

Al-Adzkar li-Syaikhil Islam al-Imam an-Nawawi hlm. 150.


Minhajuth Thalibin lil-Imam an-Nawawi hlm. 193
292
Tafsirul Quran al-Adzhim li-Ibni Katsir (7/465).
293
Niyahatuz Zain fiy Irsyadil Mubtadi-in lil-Syaikh Ibnu Umar an-Nawawi al-Jawi hlm. 162
294
QS. An Najm(53): 39
291

dan memberikan manfaat bagi mayyit dari ahli waris atau orang lain berupa
shadaqah darinya, diantara contohnya adalah mewaqafkan mushhaf dan yang
lainnya, membangun masjid, sumur dan menanam pohon pada masa dia masih hidup
atau dari orang lain yang dilakukan untuknya setelah kematiannya, dan doa juga
bermanfaat bagi orag mati berdasarkan ijma, dan telah shahih khabar bahwa Allah
Taalaa mengangkat derajat seorang hamba di surga dengan istighafar (permohonan
ampun) putranya untuknya295 dan tentang firman Allah (wa an laysa lil-insaani ilaa
maa saaa) adalah dalil umum yang ditakhshish dengan hal itu, bahkan dikatakan
mansukh.296
Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi didalam Ianatuth Thalibin :
)(
Frasa (doa) mathuf atas lafadz shadaqah, yakni doa juga memberikan manfaat
bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain.297
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari didalam Fathul Wahab :



) :
(

























dan memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain
berupa shadaqah dan doa berdasarkan ijma dan hujjah lainnnya, adapun firman
Allah (wa an laysa lil-insaani ilaa maa saaa) adalah amun makhshush dengan
Ijma dan lainnya bahkan dikatakan mansukh, sebagaimana itu bermanfaat bagi
mayyit juga bermanfaat bagi person yang bershadaqah dan yang berdoa.298
Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj :

) (
)( )
(
}: .
[ 39 : { ]


dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah darinya, seperti
mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon pada
masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya, dan doa juga
bermanfaat bagi orang mati baik berasal dari ahli waris atau orang lain berdasarkan
ijma dan telah shahih didalam khabar bahwasanya Allah mengangkat derajat
295

Haditsnya terdapat dalam Shahih Muslim (1631), Ibnu Majah (3660), Musnad Ahmad (8540) dan
ad-Darimi (3464).
296
Fathul Muin bisyarhi Qurrati Ain, al-Allamah Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (hlm.
431).
297
Ianatuth Thalibin li-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi (3/256).
298
Fathul Wahab bisyarhi Minhajith Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari [w. 926 H] (2/23).

seorang hamba didalam surga dengan istighafar anaknya untuknya, keduanya (ijma
dan khabar) merupakan pengkhusus, bahkan dikatakan sebagai penasikh untuk
firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa ma saaa} jika menginginkan dhahirnya,
namun jika tidak maka kebanyakan ulama mentawilnya, diantaranya itu dibawa atas
pengertian kepada orang kafir atau maknanya tidak ada haq baginya kecuali pada
perkara yang diusahakannya.299
Imam Syamsuddin al-Khathib as-Sarbiniy didalam Mughni :

) (
)( ) (

kemudian disyariatkan tentang perkara yang bermanfaat bagi mayyit, maka
kemudian ia berkata (dan bermanfaat bagi mayyit berupa shadaqah) darinya, waqaf,
membangun masjid, menggali sumur dan seumpamanya, (juga bermanfaat berupa
doa) untuknya (baik dari ahli waris atau orang lain) sebagaimana bermanfaatnya
perkara yang ia kerjakan pada masa hidupnya.300
Al-Allamah Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi didalam As-Siraajul Wahaj :







dan shadaqah darinya bisa memberikan manfaat bagi mayyit seumpama
mewaqafkan sesuatu, juga doa dari ahli waris atau orang lain sebagaimana
bermanfaatnya sesuatu yang itu ia lakukan pada masa hidupnya dan tidak
memberikan manfaat berupa shalat dan pembacaan al-Quran akan tetapi ulama
mutaakhirin berpendapat atas bermanfaatnya pembacaan al-Quran, dan sepatutrnya
mengucapakan : ya Allah sampaikan apa apa yang kami baca untuk fulan, bahkan
ini tidak khusus untuk qiraah saja tetapi juga seluruh amal kebaikan boleh untuk
memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, sungguh orang
yang bershadaqah untuk mayyit tidak mengurangi pahalanya dirinya.301
Al-Allamah Syaikh Sulaiman al-Jamal didalam Futuhat al-Wahab :

( :

(frasa bermanfaatnya shadaqah) diantaranya yakni waqaf untuk mushhaf dan yang
lainnya, menggali sumur dan menanam pohon darinya pada masa hidupnya atau dari
299

Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [7/72].
Mughni al-Muhtaj, Imam Syamsuddin al-Khatib as-Sarbini [4/110].
301
as-Sirajul Wahaj alaa Matni al-Minhaj lil-Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344]
300

orang lain untuknya setelah kematiannya, dan doa untuknya dari ahli waris dan
orang lain berdasarkan ijma.302
Masih banyak lagi pertanyaan ulama-ulama Syafiiyah yang termaktub didalam
kitab-kitab mereka. Oeh karena itu dapat disimpulkan bahwa doa jelas sampai dan
memberikan kepada orang mati dan ulama telah berijma tentang ini. Artinya dari sini,
mayyit bisa memperoleh manfaat dari amal orang lain berupa doa. Ini adalah amal baik
dan penuh kasih sayang terhadap saudara muslimnya yang telah meninggal dunia, dan
telah menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama yang bermandzhab syafii baik di
Indonesia maupun yang lainnya, yang dikemas dalam kegiatan tahlilan.
2. Shadaqah Untuk Orang Mati
Telah diketahui sebelumnya pada kutipan-kutipan diatas bahwa pahala shadaqah juga
sampai kepada orang mati sebagaimana doa, dan memberikan manfaat bagi orang mati.
Sebagai tanbahan dari pernyataan sebelumnya maka berikut diantara hadits dan juga
pendapat ulama Syafiiyah lainnya tentang bermanfaatnya shadaqah untuk orang mati.
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :



303

Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alayhi wa sallam,
kemudian ia berkata ; Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia
(mendadak) namun ia belum sempat berwasiat, dan aku menduga seandainya sempat
berkata-kata ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku
bershadaqah atas beliau ?, Nabi kemudian menjawab ; Iya (maka bershadaqahlah,
riwayat lain).
Ketika mengomentari hadits ini, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan :

:




302

Futuhatul Wahab lil-Imam Sulaiman al-Jamal (Hasyiyatul Jamal) [4/67].


Shahih Muslim no. 1672 ( Bab sampainya pahala shadaqah dari mayyit atas dirinya) dan no. 3083
(Bab sampainya pahala shadaqah kepada mayyit), dalam bab ini Imam Muslim mencantum beberapa hadits
lainnya yang redaksinya mirip ; Mustakhraj Abi Awanah no. 4701
303

Pengertian dalam hadits ini adalah bahwa shadaqah dari mayyit bermanfaat dan
pahalanya sampai kepada mayyit, dan hal itu dengan ijma ulama, sebagaimana juga
ulama ber-ijma atas sampainya pahala doa dan membayar hutang berdasarkan nasnas yang telah warid didalam keseluruhannya, dan juga sah berhaji atas mayyit
apabila haji Islam, dan seperti itu juga ketika berwasiat haji sunnah berdasarkan
pendapat yang ashah (lebih sah), dan Ulama berikhtilaf tentang pahala orang yang
meninggal dunia namun memiliki tanggungan puasa, pendapat yang rajih (lebih
unggul) memperbolehkannya (berpuasa atas namanya) berdasarkan hadits-hadits
shahih tentang hal itu.304





Adapun mengenai yang dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan alMawardi al-Bashriy al-Faqih asy-Syafii didalam kitabnya (al-Hawiy) tentang
sebagian ahli bicara yang menyatakan bahwa mayyit tidak bisa menerima pahala
setelah kematiannya, itu adalah pendapat yang bathil secara qathi dan kekeliruan
diantara mereka berdasarkan nas-nas al-Quran, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma)
umat Islam, maka tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan.305
Banyak penjelasan kitab-kitab syafiiyah yang senada dengan hal diatas. Hal yang
juga perlu di garis bawahi disini adalah bahwa seseorang bisa memperolah manfaat dari
amal orang lain.
3. Qiraatul Quran Untuk Orang Mati
Dalam membahas masalah ini, memang ada perselisihan dalam madzhab Syafii
yang mana ada dua qaul (pendapat) yang seolah-olah bertentangan, namun kalau
dirincikan maka akan nampak tidak ada bedanya. Sedangkan Imam Tiga (Abu Hanifah,
Malik dan Ahmad bin Hanbal)306 berpendapat bahwa pahala bacaan al-Quran sampai
304

Syarah Shahih Muslim [3/444] Imam Nawawi


Syarah Shahih Muslim [1/89-90]
306
Mughni Muhtaj lil-Imam al-Khatib as-Sarbini [4/110] ;


:
: - -
( ) .
dan diceritakan oleh mushannif didalam Syarh Muslim dan al-Adzkar tentang suatu pendapat
bahawa pahala bacaan al-Quran sampai kepada mayyit, seperti madzhab Imam Tiga (Abu Hanifah, Maliki
dan Ahmad bin Hanbal), dan sekelompok jamaah dari al-Ashhab (ulama Syafiiyyah) telah memilih
pendapat ini, diantaranya seperti Ibnu Shalah, al-Muhib ath-Thabari, Ibnu Abid Dam, shahib ad-Dakhair
juga Ibnu Abi Ishruun, dan umat Islam beramal dengan hal tersebut, apa yang oleh kaum Muslimin di
pandang baik maka itu baik disisi Allah. Imam As-Subki berkata : dan yang menujukkan atas hal tersebut
adalah khabar (hadits) berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Quran apabila ditujukan (diniatkan)
pembacaannya niscaya memberikan manfaat kepada mayyit dan meringankan (siksa) dengan
kemanfaatannya. Apabila telah tsabit bahwa surah al-Fatihah ketika di tujukan (diniatkan) manfaatnya oleh
si pembaca bisa bermanfaat bagi orang yang terkena sengatan, sedangkan Nabi shallallahu alayhi wa
305

kepada orang mati. Apa yang telah dituturkan oleh para Imam syafiiyah yakni berupa
petunjuk-petunjuk atau aturan dalam permasalahan ini telah benarbenar diamalkan
dengan baik dalam kegiatan tahlilan.
Perlu diketahui, bahwa seandainya pun ada perselisihan dikalangan syafiiyah dalam
masalah seperti ini, maka itu hanyalah hal biasa yang sering terjadi ketika mengistinbath
sebuah hukum diantara para mujtahid dan bukanlah sarana untuk berpecah belah sesama
kaum Muslimin, dan tidak pula pengikut syafiiyah berpecah belah hanya karena hal itu,
tidak ada kamus yang demikian sekalipun ulama berbeda pendapat, semua harus disikapi
dengan bijak. Akan tetapi, sebagian pengingkar tahlilan selalu menggembar-gemborkan
adanya perselisihan ini (masalah furu), mereka mempermasalahkan yang tidak terlalu
dipermasalahkan oleh syafiiyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan
umat Islam terutama Syafiiyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam
syariat Islam. Mereka juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak
tuduhan-tuduhan bathil terhadap sesama muslim, seolah-olah itu telah menjadi amal dan
dzikir mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti umat Islam. Naudzubillah min
dzalik. Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam sangat benci terhadap mereka yang suka
menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam madzhab Syafiiyah
yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut didalam al-Minhaj syarah
Shahih Muslim :


:
sallam taqrir atas kejadian tersebut dengan bersabda : Dari mana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah
adalah ruqiyyah ?, jika bermanfaat bagi orang hidup dengan mengqashadkannya (meniatkannya) maka
kemanfaatan bagi mayyit dengan hal tersebut lebih utama. Selesai.
Ianathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258] ;



: - -
( : ( ): )
...... (frasa, pahala bacaaan al-Quran tidak sampai kepada mayyit) merupakan qaul yang lemah
(frasa ; dan
sebagian ashhab kami syafiiyyah- mengatakan sampai pahalanya kepada mayyit ) merupakan qaul
yang kuat atau mukmatad.Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami) [2/302] :

dan sungguh al-Hafidz As-Suyuthi telah menaqal bahwa Jumhur Salafush Shaleh dan Aimmatuts
Tsalatsah (Imam Tiga : Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal) menyatakan sampainya pahala bacaan alQuran untuk mayyit.

Dan yang masyhur didalam madzhab kami (syafiiyah) bahwa bacaan al-Quran
pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan jamaah dari ulama kami
(Syafiiyah) mengatakan pahalanya sampai, dengan ini Imam Ahmad bin Hanbal
berpendapat.307
Di halaman lainnya beliau juga menyebutkan :












Adapun pembacaan al-Quran, yang masyhur dari madzhab asy-Syafii pahalanya
tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafii (ulama
syafiiyah) mengatakan pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompokkelompok ulama juga mengatakan sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat,
puasa, pembacaan al-Quran dan selain yang demikian, didalam kitab Shahih alBukhari pada bab orang yang meninggal yang memiliki tanggungan nadzar,
sesungguhnya Ibnu Umar memerintahkan kepada seseorang yang ibunya wafat
sedangkan masih memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas ibunya,
dan diceritakan oleh pengarang kitab al-Hawi dari Atha bin Abu Ribah dan Ishaq
bin Ruwaihah bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya
untuk mayyit). Asy-Syaikh Abu Saad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu
Ishrun dari kalangan syafiiyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi)
didalam kitabnya al-Intishar ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam alMufassir Muhammad al-Baghawiy dari anshabus syafii didalam kitab at-Tahdzib
berkata ; tidak jauh (tidaklah melenceng) agar memberikan makanan dari setiap
shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya sempurna, dan dalil mereka
adalah qiyas atas doa, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu sampai berdasarkan
ijma.308
Juga dalam al-Majmu syarah al-Muhadzdzab :


.
307
308

Syarah Shahih Muslim [7/90].


Syarah Shahih Muslim [1/90].


:
Ulama berikhtilaf (berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan alQuran, maka yang masyhur dari madzhab asy-Syafii dan sekelompok ulama syafii
berpendapat tidak sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ulama
serta sebagian sahabat sy-Syafii berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdoa
setelah pembacaan al-Quran : ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang
telah aku baca, wallahu alam.309
Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni :

:

- -
310

Tahbihun : perkataan mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat
pahala selain itu (shadaqah) seperti shalat yang di qadha untuknya atau yang
lainnya, pembacaan al-Quran, dan yang demikian itu adalah qaul masyhur disisi
kami (syafiiyah), mushannif telah menuqilnya didalam Syarhu Muslim dan alFatawa dari Imam asy-Syafii radliyallahu anh- dan kebanyak ulama, pengecualian
shahiu Talkhis seperti shalat ketika thawaf
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafii didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm
ayat 39 juga menyebutkan pendapat Imam asy-Syafii :


311

Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafii rahimahullah beristinbath (melakukan
penggalian hukum), demikian juga orang yang mengikutinya bahwa bacaan alQuran tidak sampai menghadiahkan pahalanya kepada mayyit.
Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafii ada
dua pendapat yang seolah-olah berseberangan, yakni ;
a) Pendapat yang menyatakan pahala bacaan al-Quran tidak sampai, ini pendapat
Imam asy-Syafii, sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam
an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat masyhur (qaul masyhur).
b) Pendapat yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Quran, ini pendapat
badlu ashhabis Syafii (sebagian ulama Syafiiyah) ; kemudian ini di istilahkan
309

al-Majmu syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522] ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi


hlm. 165.
310
Mughni Muhtaj lil-Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini (4/110).
311
Tafsirul Quran al-Adzim lil-Imam Ibnu Katsir asy-Syafii [7/431].

oleh Imam an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat/qaul mukhtar


(pendapat yang dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan lebih kuat),
pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam
lainnya.
4. Permasalahan Qaul Masyhur
Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada orang
mati adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafii sendiri yang
menyatakan sebaliknya. Yakni berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu, seperti
perkataan beliau Imam Syafii :
312

asy-Syafii berkata : aku menyukai sendainya dibacakan al-Quran disamping


qubur dan dibacakan doa untuk mayyit
Juga disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu
Allan dan yang lainnya dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :











:



313





Imam asy-Syafii rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari
al-Quran disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qura disisi
quburnya maka itu bagus

Kemudian hal ini dijelaskan oleh Ulama Syafiiyah lainnya seperti Syaikhul Islam
al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :







314

Adapun pembacaan al-Quran, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh
Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafii bahwa pahala bacaan al-Quran
tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai,
312

Marifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.


Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu 'Allan ; alHawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafii (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi
dan lainnya.
314
Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafii [2/23].
313

dan kelompok-kelompokulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh


ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Quran dan yang lainnya.
Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila
pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya
atau meniatkannya, dan tidak mendoakannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ;
yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan
istinbath bahwa sebagian al-Quran apabila diqashadkan (ditujukan) dengan
bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah
di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah.
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah alKubraa:


315

dan perkataan Imam asy-Syafii ini (bacaan al-Quran disamping mayyit/kuburan)
memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat
masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak
mengiringinya dengan doa.
Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :

:
316

Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan


bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala
bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendoakannya untuk
mayyit.
Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul
Jumal) mengatakan pula sebagai berikut :


317

dan tahqiq bahwa bacaan al-Quran memberikan manfaat bagi mayyit dengan
memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi)
orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati
walaupun jaraknya jauh, atau mendoakan (bacaannya) untuk orang mati walaupun
jaraknya jauh juga. Intahaa.
315

al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/27].


Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].
317
Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal [2/210].
316

:
....
: ( :)
318

(Cabang) pahala bacaan al-Quran adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga
bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya,
atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut
pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,.... Frasa (adapun pembacaan alQuran sampai akhir-),Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Quran sampai
kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping
quburnya, mendoakan untuknya mengiringi pembacaan al-Quran dan meniatkan
pahalanya sampai kepada orang mati.
Imam an-Nawawi asy-Syafii rahimahullah:


:

319
Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar berdoa setelah pembacaan al-Quran : ya
Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca, wallahu alam.



320

dan pendapat yang dipilih (qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada
Allah menyampaikan pahala bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal
ini karena sesungguhnya ini doa, sebab apabila boleh berdoa untuk orang mati
dengan perkara yang bukan bagi yang berdoa, maka kebolehan dengan hal itu bagi
mayyit lebih utama, dan makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada
pembacaan al-Quran saja saja, bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan
faktanya doa, ulama telah sepakat bahwa itu bermanfaat bagi orang mati maupun
orang hidup, baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat atau tanpa wasiat.
Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :
) ( :
321

Frasa : (karena sesungguhnya


doa bermanfaat bagi mayyit),

walhasil

sesungguhnya apabila pahala bacaan al-Quran diniatkan untuk mayyit atau di


318

Ibid..., [4/67]
al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [293]
320
al-Majmu syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522].
321
Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami alaa al-Khatib) [2/303]
319

doakan menyampainya pahala bacaan al-Quran kepada mayyit mengiringi bacaan


al-Quran atau membaca al-Quran disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan
al-Quran kepada mayyit dan bagi si qari (pembaca) juga mendapatkan pahala.
Al-Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :






322

Bermanfaat bagi mayyit yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya
waqaf, dan (juga bermanfaat bagi mayyit yakni) doa dari ahli warisnya dan orang
lain, sebagaimana bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya,
namun yang lainnya tidak memberikan manfaat seperti shalat dan membaca alQuran, akan tetapi ulama mutakhkhirin menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan
al-Quran, oleh karena itu sepatutnya berdoa:ya Allah sampaikanlah pahala apa
yang telah kami baca kepada Fulan, bahkan hal semacam ini tidak hanya khusus
pembacaan al-Quran saja tetapi seluruh amal-amal kebajikan lainnya juga boleh
dengan cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, dan
sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit pahalanya tidak
dikurangi.
Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafiiyah diatas maka dapat disimpulkan
bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Quran dibaca
hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur,323 juga sampai apabila meniatkan
322

as-Sirajul Wahaj alaa Matni al-Minhaj lil-Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344]


Banyak komentar dan anjuran ulama Syafiiyyah tentang membaca al-Quran di quburan untuk
mayyit, sebagaimana yang sebagiannya telah disebutkan termasuk oleh al-Imam Syafii sendiri. Adapun
berikut diantara komentar lainnya, yang juga berasal dari ulama Syafiiyyah diantara lain : al-Imam ArRafii didalam Fathul Aziz bisyarhi al-Wajiz [5/249] :




dan sunnah agar peziarah mengucapkan : Salamun Alaykum dara qaumi Mukminiin wa Innaa
InsyaAllahu an qariibi bikum laa hiquun Allahumma laa tahrimnaa ajrahum wa laa taftinnaa badahum,
dan sepatutnya zair (peziarah) mendekat ke kubur yang diziarahi seperti dekat kepada sahabatnya ketika
masih hidup ketika mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-Thayyib ditanya tentang mengkhatamkan al-Quran
dipekuburan maka beliau menjawab ; ada pahala bagi pembacanya, sedangkan mayyit seperti orang yang
hadir yang diharapkan mendapatkan rahmat dan berkah baginya, Maka disunnahkan membaca al-Quran di
pequburan berdasarkan pengertian ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan rahmat dan berkah dari pembacaan
al-Quran) dan juga berdoa mengiringi bacaan al-Quran niscaya lebih dekat untuk diterima sebab doa
bermanfaat bagi mayyit. Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :
(
323

pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga
sampai apabila mendoakan bacaan al-Quran yang telah dibaca agar disampaikan kepada
orang yang mati.
5. Hilangnya Perselisihan Dan Penerapan Dalam Tahlilan
Setelah memahami maksud dari qaul masyhur maka marilah ketahui tentang
keluasan ilmu dan kebijaksaan ulama yang telah merangkai tahlilan. Yakni bahwa
didalam tahlilan sudah tidak ada lagi perselisihan mengenai membaca al-Quran untuk
orang mati. Sebab semua dzikir yang dibaca, shalawat hingga pembacaan al-Quran
dalam rangkaian tahlilan ; seluruhnya diniatkan untuk orang yang meninggal dunia yakni
pada permulaan tahlilan. Sedangkan diakhir rangkaian tahlilan adalah ditutup dengan
doa yang berisi pemohonan ampun untuk yang meninggal, doa-doa yang lainnya serta
doa agar pahala bacaannya disampaikan kepada mayyit, sedangkan doa sendiri
memberikan bermanfaat bagi mayyit. Jika sudah seperti ini, tidak ada khilaf
(perselisihan) lagi. Sungguh sangat bijaksana.

dan (disunnahkan ketika ziarah) membaca al-Quran dan berdoa mengiri pembacaan al-Quran,
sedangkan doa bermanfaat bagi mayyit, dan doa mengiringi bacaan al-Quran lebih dekat di ijabah
Al-Allamah Syaikh Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari didalam Fathul Muin [hal. 229] :

disunnahkan sebagaimana nas (hadits) yang menerangkan tentang hal itu- agar membaca apa yang
dirasa mudah dari al-Quran diatas qubur, kemudian berdoa untuk mayyit menghadap ke qiblat Imam
Ahmad Salamah al-Qalyubiy didalam Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah pada pembahasan terkait ziarah
qubur :
)( :

frasa (dan disunnahkan- membaca al-Quran) yakni sesuatu yang mudah dari al-Quran, kemudian
menghadiahkan pahalanya kepada satu mayyit atau bersamaan ahl qubur lainnya, dan diantara yang telah
warid dari salafush shalih adalah bahwa barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan
menghadiahkan pahalanya kepada ahl qubur maka diampuni dosanya sebanyak orang yang mati
dipekuburan itu. Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-Fiqhul Manhaji
alaa Madzhab al-Imam asy-Syafii rahimahullah [juz I, hal. 184] :
" : :
.
. .
Diantara adab ziarah qubur : apabila seorang peziarah masuk area pekuburan, disunnahkan baginya
mengucapkan salam kepada orang yang mati dengan ucapan : Assalamu alaykum dara qaumin mukminiin
wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquun, kemudian disunnahkan supaya membaca apa yang mudah dari
al-Quran disisi qubur mereka, sebab sesungguhnya rahmat akan diturunkan ketika dibacakan al-Quran,
kemudian disunnahkan supaya mendoakan mereka mengiringi bacaan al-Quran, dan menghadiahkan
pahala tilawahnya untuk arwah mereka, sebab sesungguhnya doa diharapkan di ijabah, apabila doa
dikabulkan maka pahala bacaan al-Quran akan memberikan manfaat kepada mayyit , wallahu alam.
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali didalam kitab monumentalnya yaitu Ihyaa Ulumuddin [4/492] :

tidak apa-apa dengan membaca al-Quran diatas qubur

Lebih jauh lagi, ulama bahkan mengatakan membacakan al-Quran kepada orang
mati telah menjadi Ijma sebab tidak ada yang mengingkarinya. Sebagaimana yang
disebutkan oleh al-Imam al-Hafidz Jalalauddin As-Suyuthi didalam Syarh Ash-Shuduur :
324




.



)







.




(
)

















Ulama berselisih tentang sampainya pahala bacaan al-Quran untuk orang mati.

)Pendapat jumhur Salafush shaleh dan Imam tiga (Abu Hanifah, Malik, Ahmad

324

Syarhush Shuduur bi-Ahwaalil Mawtaa wal Qubuur [1/302-303], karya al-Imam al-Hafidz
Jalaluddin As-Suyuthi rahimahullah.

menyatakan sampai, sedangkan Imam kami yakni Imam Syafii menyelisihi yang
demikian, beliau beristidlal dengan firman Allah Taalaa :
325

dan tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakan Aku mengawali jawaban
tentang ayat ini dengan berbagai sudut pandangan jawaban :
Pertama, ayat tersebut dimanshukh (hukumnya dihapus) dengan firman Allah
Taalaa :

dan orang-orang yang beriman, kami hubungkan mereka dengan keturunan-

keturunan mereka Berdasarkan ayat tersebut, anak-anak masuk surga karena


keshalihan (kebajikan) ayah-ayahnya.
Kedua, ayat tersebut hanya khusus qaum Nabi Ibrahim alayhis salaam, dan Nabi
Musaa alayhis salaam, adapun umat ini maka baginya apa yang diusahakan dan apa
yang diusahakan (orang lain) untuknya. Ikrimah telah menuturkan hal ini.
Ketiga, bahwa yang dimaksud dengan manusia (al-Insaan) pada ayat tersebut dalah
orang kafir, (maksudnya adalah tiada bagi orang kafir, kecuali apa yag diusahakan,
ket), sedangkan orang-orang beriman, maka baginya apa yang diusahakannya dan
apa yang diusahakan orang lain untuknya. Ini qaul Ar-Rabi bin Anas.
Keempat, tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan seperti dari segi keadilan,
adapun terkait keutamaan (fadlilah) maka jaiz bagi Allah Taalaa menambahkan apa
yang dikehendaki. Ini qaul al-Husain bin al-Fadll.
Kelima, huruf Lam ( )pada ladzhaf {lil-Insaan} bermakna alaa ( ) maksudnya
tiada atas manusia kecuali apa yang diusahakan.
Dan para ulama beristidllal atas sampainya (bacaan al-Quran) dengan Qiyas
terhadap perkara sebelumnya seperti doa, shadaqah, puasa, haji dan membebaskan
budak, maka tidak ada perbedaan terkait perpindahan pahala antara haji, shadaqah,
waqaf, doa dan membaca al-Quran, dan berdasarkan hadits-hadits sebelumnya yang
telah disebutkan, dimana jikalau kedudukan haditsnya memang dlaif, namun
pengumpulannya (banyak dihimpunnya hadits tersebut) itu menunjukkan bahwa yang
325

QS. an-Najm(53): 39

demikian merupakan pokok (al-Ashl) dan bahwa kaum Muslimin tidak pernah
meninggalkan amalan tersebut disepanjang masa , mereka berkumpul, mereka membaca
al-Quran untuk orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkari, maka
jadilah itu sebagai Ijma, semua itu telah dituturkan oleh al-Hafidz Syamsuddin bin
Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali pada sebagian dari beberapa masalah.
Imam al-Qurthubi berkata : Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam berfatwa bahwa
bacaan al-Quran untuk mayyit tidak sampai kepada mayyit, maka tatkala beliau wafat,
sebagian

shahabat-shahabatnya

(bermimpi)

melihatnya,

kemudian

berkata

sesungguhnya engkau pernah mengatakan bahwa pahala apa yang dibaca (bacaan alQuran) tidak sampai kepada mayyit walaupun menghadiahkannya, bagaimanakah
masalah tersebut ? kemudian ia menjawab : aku memang mengatakan demikian ketika
di dunia, dan sekarang sungguh aku telah ruju darinya tatkala aku melihat karamah Allah
tentang hal tersebut, dan sesungguhnya yang demikian itu sampai kepada mayyit.
Adapun membaca al-Quran di atas qubur. Ashhabunaa (ulama-ulama syafiiyah
kami) serta yang lainnya telah menetapkan disyariatkannya hal tersebut.
Imam Az-Zafarani berkata: aku pernah bertanya kepada Imam asy-Syafii
rahimahullah tentang pembacaan al-Quran diatas qubur, lalu beliau menjawab : tidak
apa-apa dengan yang demikian.
al-Imam

an-Nawawi

rahimahullah

didalam

Syarhul

Muhadzdzab

berkata:

disunnahkan bagi peziarah qubur agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Quran
dan berdoa untuk mereka mengiringi bacaan al-Quran, nas atasnya oleh asy-Syafii dan
Ashhabusy Syafii telah menyepakatinya, dan ditempat lain ditambahkan yakni jika
mereka mengkhatamkan al-Quran diatas qubur maka itu lebih afdlal (utama).
al-Imam Ahmad bin Hanbal awalnya mengingkari yang demikian (membaca alQuran di atas qubur) ketika belum sampai atsar terkait hal itu kepada beliau, namun
kemudian beliau ruju ketika atsar terkait hal tersebut sampai kepadanya, 326 dan diantara
yang warid tentang yang demikian yakni apa yang telah berlalu pada sebuah Bab Maa
Yuqaal Inda ad-Dafni dari hadits Ibnu al-Alaa bin al-Lajlaj secara marfu pada kalam
keduanya.
326

Kronologis tentang Imam Ahmad bin Hanbal yang awalnya mengingkari kemudian meruju
setelah sampai kepadanya sebuah atsar tentang yang demikian, ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab
Madzhab Hanbali seperti oleh pembesar Hanabilah al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisini didalam alMughni [2/422].

6. Jamuan Makan Pada Perkumpulan Kegiatan Tahlil


Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya
(makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya
berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan
tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalam
rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya
dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di
dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari dalih dalam kitab-kitab para imam untuk
mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkannya.
Pada dasarnya bahasan ini bukan mengenai tahlilan secara keseluruhan, akan tetapi
mengenai jamuan makan dari keluarga almarhum dan berkumpulnya manusia padanya
setelah kematian. Jamuan makan adalah satu hal, dan tahlilan juga satu hal. Namun,
karena jamuan makan juga ada pada kegiatan tahlilan maka pembahasannya pun terkait
dengan tahlilan. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan jamuan makan adalah tahlilan
atau tahlilan adalah jamuan makan, sebab memang bukan seperti itu. Orang yang
melarang tahlilan dengan alasan adanya jamuan makan sebagaimana disebarkan oleh
mereka yang benci tahlilan maka itu benar-benar telah keliru dan tidak merinci sebuah
permasalahan dengan tepat.
Tahlilan hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan merupakan
amaliyah-amaliyah masyru seperti berdoa, membaca dzikir baik tasybih, tahmid, takbir,
tahlil hingga shalawat, dan juga membaca al-Quran yang pahalanya untuk mayyit.
Disamping itu juga terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang dianjurkan dalam
Islam yakni shilaturahim.
Adapun jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika bukan karena
tujuan untuk kebiasaan (menjalankan adat) dan tidak memaksakan diri jikalau tidak
mampu serta bukan dengan harta yang terlarang. Maka, membuat dengan niat tarahhum
(merahmati) mayyit dengan hati yang ikhlas serta dengan niat menghadiahkan pahalanya
kepada mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah). Itu merupakan amalan yang
baik karena tujuannya adalah demikian. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

327

Sesungguh sesuatu perbuatan tergantung dengan niat

Juga sebuah qaidah menyatakan :


328

Suatu perkara tergantung pada tujuannya.

Serta, orang yang melakukannya dengan tujuan (niat) tersebut akan mendapatkan
pahala, sebab telah shahih hadits dari Ibnu Umar radliyallah anh:

















329






Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan,
kemudian menjelakan yang demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan
melakukan kebaikan namun tidak sampai melakukannya niscaya Allah akan
mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, maka jika ia berkeinginan
dengannya kemudian melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya
sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang
banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia tidak
mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna,
namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya satu macam
keburukan.
Dan juga telah tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin Umar bin al-Ash,
bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu alayhi wa sallam :




:








330











Ya Rasulullah apakah amal yang baik dalam Islam ? Nabi menjawab :
memberikan makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal dan tidak
dikenal

Lafadz itham pada hadits meliputi makan, minum, jamuan juga shadaqah dan
yang lainnya, sebab lafadz tersebut umum. Dalam sebuah hadits dari Thawus radliyallahu
anh menyebutkan :

327

Shahih al-Bukhari [1/9]


al-Asybah wa an-Nadlair lil-Imam Tajuddin Abdul Wahab As-Subki [1/54]
329
Shahih al-Bukhari no. 6491 ; Shahih Muslim no. 131 ; Musnad Ahma no. 2827.
330
Shahih al-Bukahri no. 12 ; Shahih Muslim no. 39 ; Sunan Abi Daud no. 5194 ; Sunan an-Nasaai
no. 5000 ; Sunan Ibnu Majah no. 3253 ; al-Mujam al-Kabir lil-Thabraniy no. 149.
328

331


Sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam
kubur mereka selama 7 hari, maka mereka (keluarga) dianjurkan untuk memberi
jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit selama masa 7 hari tersebut.

Imam al-Hafidz As-Suyuthi mengatakan bahwa lafadz kanuu yustahibbuna,


memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi shallallahu
alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir atas hal itu. Namun,
dikatakan juga sebatas berhenti pada pada sahabat saja dan tidak sampai pada
Rasulullah.332
Berdasarkan hal diatas, maka memberikan makanan yang pahalanya untuk orang
mati merupakan amalan yang memang dianjurkan. Adapun melakukannya setelah
kematian juga tidak masalah selama diniatkan untuk menshadaqahkan dalam rangka
merahmati mayyit.
7. Penjelasan Terkait Hadits Keluarga Jafar
Nabi shallallahu alayhi wa sallam bersabda:
333

hidangkanlah makanan untuk keluarga Jafar, sebab sesungguhnya telah tiba


kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.
Imam asy-Syafii rahimahullah didalam al-Umm beristidlal dengan hadits diatas
terkait anjuran memberi makan untuk keluarga almarhum :

334










Aku mengajurkan bagi tetangga almarhum atau kerabat-kerabatnya agar
membuatkan makanan pada hari kematian dan malamnya, sebab itu merupakan
sunnah, dzikr yang mulya yaitu ketika datang berita kematian Jafar, maka
Rasulullah saw. Bersabda: buatlah makanan untuk keluarga Jafar, sungguh ia
termasuk perbuatan ahlul khair sebelum kita dan sesudah kita.
Demikian juga dengan Imam Asy-Syairazi didalam al-Muhadzdzab :
331

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan Abu Nuaim didalam al-Hilyah.
al-Hawi lil-Fatawi lil-Imam as-Suyuthi [2/377],
333
Sunan Abi Daud no. 3132 ; Sunan Ibnu Majah no. 1610, hadits ini dikatakan shahih.
334
al-Umm lil-Imam asy-Syafii [1/317]
332

:
335

sebuah fashal, yakni disunnahkan bagi kerabat-kerabat almarhum dan tetangganya
agar mengurusi keperluan makan untuk keluarga almarhum berdasarkan riwayat
tentang wafatnya Jafar bin Abi Thalib.
Berdasarkan hadits itu pula al-Imam an-Nawawi mengatakan :



336

disunnahkan bagi kerabat-kerabat mayyit dan tetangganya supaya mereka
mengurusi keperluan makan keluarga mayyit, berdasarkan riwayat bahwa tatkala
Jafar bin Abi Thalib terbunuh, Nabi shallallahu alayhi wa sallam bersabda :
hidangkanlah makanan untuk keluarga Jafar, sebab sesungguhnya telah tiba kepada
mereka perkara yang menyibukkan mereka.
Al-Imam al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni al-Muhtaj :

) (
) ( ) (
:
337
.
dan disunnahkan tetangga keluarga mayyit dan kerabat-kerabatnya yang jauh,
walaupun berada didaerah negeri lainnya agar menyiapkan makanan yang
mengenyangkan mereka pada siang dan malamnya, berdasarkan sabda Nabi
shallallahu alayhi wa sallam ketika datang berita terbunuhnya Jafar ;
hidangkanlah makanan untuk keluarga Jafar, sebab sesungguhnya telah tiba kepada
mereka perkara yang menyibukkan mereka, a-Turmidzi menghasankannya dan alHakim menshahihkannya.
Seperti ini juga komentar-komentar ulama Syafiiyah lainnya. Namun, walaupun
hadits tersebut merupakan anjuran memberi makan atau mengurusi keperluan makan
untuk keluarga almarhum, namun bukan merupakan dalil larangan bagi keluarga
almarhum membuat makanan dan mengundang masyarakat ke jamuan makan di keluarga
almarhum. Terdapat hadits lain yang dianggap merupakan larangan berbuat hal seperti
yang demikian, yakni penjelasan terkait hadits jarir bin abdullah
338

335

al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam asy-Syafii lil-Imam Abu Ishaq asy-Syairazi [1/259].


al-Majmu Syarh al-Muhadzdab , Imam an-Nawawi [5/317]
337
Mughni al-Muhtaj [2/61] lil-Imam al-Khathib asy-Syarbini
336

Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum


serta )keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari
niyahah339.
Hadits terkait para sahabat ini banyak digunakan sebagai dalil yang menghukumi
makruh bagi ahlul mayyit membuat makanan dan berkumpul dikediaman keluarga
almarhum. Kalau ditelaaah lebih mendetail, sesungguhnya frasa adalah
bermakna min asbabin niyahah,340 yakni bagian dari sebab dikhawatirkannya akan
terjadi niyahah. Oleh karena itu, bukanlah berkumpul dan membuat makanan yang
disebut sebagai niyahah, sebab jikalau itu yang disebut niyahah maka ulama akan
mengharamkannya, bukan malah hanya menghukumi makruh. Sebab niyahah ketika
terjadi mushibah kematian hukumnya haram. Hal ini telah menjadi kesepakatan,
sebagaimana yang dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah : Haramnya
Niyahah dan Pengertian Niyahah



341

Umat bersepakat atas haramnya niyahah, dan berdoa dengan seruan orang jahiliyah
serta doa dengan kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah. 53
Imam al-Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :
342

dan haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak
rambut dan mencoreng-coreng wajah.
al-Imam Ar-Rafii didalam Fathul Aziz :

demikian juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek


pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram.

Adapun pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan


adalah:
: 338
:
:
339
Musnad Ahmad bin Hanbal no. 6905. Niyahah adalah berteriak-teriak dan menangis dengan
menyebut kebaikan-kebaikan mayyit ketika terjadi mushibah kematian.
340
Khulasah al-Mardhiyyah fi Masail al-Khilafiyyah
341
al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [146].
342
al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafii lil-Imam al-Imraniy

:

:

343






Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb,
adapun an-Nadb sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau
menyebut berulangulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang
mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut
kebaikan mayyit. Ashhab kami (ulama syafiiyah kami) mengatakan : haram
menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis. Adapun menangisi
mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram.

344







Niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafii dan
Ashhabusy Syafii (ulama syafiiyah) mengatakan, menangisi orang mati boleh baik
sebelum mati atau setelah mati, akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih
utama.

Oleh karena itu, penetapan hukum bidah makruhah (bidah yang hukumnya
makruh) karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa pada niyahah.
Jika mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat dihukuminya makruh (bidah
makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka hukumnya juga berubah. Maka
pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh
kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama besar seperti para wali Allah (wali songo)
bersifat seperti itu ? Apakah tahlilan (kenduri arwah) mengarah pada niyahah atau
menjadi sebab terjadinya niyahah ?! Tentu saja tidak akan terjadi pada kegiatan tahlil
yang benar.
Lebih jauh, juga perlu di ingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah
menyeluruh dan harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait. Dalam
hal ini, ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, dari
Muhammad bin alAla dari Ibni Idris dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat
Anshar, yang redaksinya sebagai berikut :

"
:



343
344

al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147].


al-Majmu syarh al-Muhadzdzab [5/307 ] lil-Imam an-Nawawi.


345

345

Sunan Abi Daud no. 2897 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ;
Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan
al-Mulla Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih. Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan
dengan lafadz berikut :
: ()
Rasulullah menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat.
Dikatakan pula bahwa hadits ini memang bertentangan dengan yang ditetapkan sebelumnya :
( ) ()

(Kemudian sebuah kelompok meletakkan) yakni tangan mereka (kemudian mereka makan), hadits
ini (Ashim bin Kulaib) berdasarkan dhahirnya bertentangan atas apa yang telah di tetapkan oleh Ashhab
madzhab kami yaitu ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan pada hari pertama atau ke tiga
atau setelah sepekan sebagaimana didalam al-Bazaziyyah.
Juga terkait hadits Ashim bin Kulaib, dinaqal didalam Aunul Mabud [3332] :

dan didalam al-Misykah ajakan perempuannya dengan lafadz idlafah kepada dlamir, Mulla Ali alQarii berkata : yakni istri dari yang wafat.
Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Said al-Khadami al-Hanafi [3/205] :
- -
- -

Mushannif berkata didalam syarahnya dari pembesar al-Halabi sesungguhnya Rasulullah
shallallahu alayhi wa sallam ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan
wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah menelatakkan tangannya dan
di ikutilah orang rombongan (sahabat), kemudian Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam makan sesuapan
yaitu secabik daging ke mulutnya. Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan
makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai. Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah
ath-Thahthawi alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin Muhammad bin Ismail
ath-Thahthawi al-Hanafi :



... Maka hadits ini (Ashim bin Kulaib) menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menghidangkan
makanan dan mengajak manusia padanya bahkan juga di sebutkan didalam al-Bazaziyyah dari kitab alIhtihsan dan jika menghidangkan makanan untuk fuqaraa maka itu bagus. Selesai.
Sebagian ada yang mengatakan bahwa wanita yang dimaksud bukan istri yang wafat namun orang
lain. Hal ini disebutkan didalam Miratul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5/481] li-Abi al-Hasan
Ubaidillah al-Mubarakfuri dan juga didalam Tuhfatul Ahwadzi [4/67] li-Abi al-Allaa Muhammad
Abdurrahman al-Mubarakfuri.

Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam pada sebuah jenazah,
maka aku melihat Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam berada diatas kubur
berpesan kepada penggali kubur : perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan
juga luaskanlah pada bagian kepalanya, Maka tatkala telah kembali dari kubur,
seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka
Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan
dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan
(qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat
Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda:aku
mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya. Kemudian wanita
itu berkata : wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi untuk
membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus
kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku,
namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia
kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam
bersabda: berikanlah makanan ini untuk tawanan.
Hadits ini tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau
yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa hadits
ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan (jamuan) dan
mengajak manusia memakannya.
Secara dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari Ashim bin Kulaib ini,
sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka harus
dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan.346 Maka, kedua hadits diatas dapat
dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena
menjalankan adat, bukan dengan niat itham anil mayyit (memberikan makan atas nama
mayyit/shadaqah untuk mayyit) atau hal itu bisa membawa kepada niyahah yang
diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan hadits Ashim
bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan karena menjalankan adat
(kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat itham anil mayyit
atau pun ikramudl dlaif (memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan tersebut tidaklah
mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi illat hukum tersebut. Imam Ibnu Hajar alHaitami didalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan:



346

at-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh lil-Imam asy-Syairazi [1/153]

347

dan apa yang diadatkan (dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat


makanan demi mengajak manusia atasnya maka itu bidah makruhah (bidah yang
makruh), sebagaimana menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan
hadits shahih dari Jarir Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman)
keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah
pemakaman bagian dari niyahah, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni
apa yang terdapat didalamnya daripada berlebihanlebihan dengan perkara
kesedihan.

Hal ini juga disebutkan oleh al-Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi
dalam Ianatuth Thalibin.348 Maka, illat tersebut tidak terdapat pada kegiatan tahlilan
(kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memang paham mengenai
kenduri arwah (tahlilan). Jika tidak ada illat maka hukum makruh pun tidak ada, sebab
dalam kaidah syafiiyah hukum itu meliputi disertakannya illat.349 Oleh karena itu,
berkumpul (berhimpun) yang dimaksud pada hadits Jarir adalah jika bukan karena untuk
membaca al-Quran, berdoa dan dzikir-dzikir lain. Adapun jika berkumpul untuk tujuan
tersebut, maka itu tidak makruh, sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul Madzhab
Syafii yakni Imam an-Nawawi rahimahullah :
350

"Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Quran secara


berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)

Bahkan telah warid didalam hadits Nabi shallallahu alayhi wa sallam tentang
perkumpulan dzikir;

















351




Tidaklah sebuah qaum (perkumpulan) duduk berdzikir kepada Allah, melainkan
mereka dikelilingi oleh malaikat, mereka diliputi oleh rahmat serta turun atas
mereka ketetapan hati.
Juga sabda Nabi shallallahu alayhi wa sallam :
347

Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [3/207 ]


Ianathuth Thalibin lil-Allamah Asy-Sayyid al-Bakri Syatha [2/165]
349
Kifayatul Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib lil-Imam Zakariya alAnshari [3/105]
350
al-Majmu syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [2/166]
351
Sunan Abi Daud no. 2347 ; Musnad Ahmad no. 11875 ; Mujam Ibnu Asakir no. 684
348

352


:










Tidaklah sebuah qaum berkumpul berdzikir kepada Allah, karena mereka tiada
menginginkan dengan hal itu kecuali keridlaan Allah, maka malaikat akan menyeru
dari langit, bahwa berdirilah kalian dengan pengampunan bagi kalian, sungguh
keburukan kalian telah digantikan dengan kebaikan.

















353










Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan berdzikir menyebut Nama-nama Allah
kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan kepada
mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di kalangan para Malaikat yang mulia.
Allah Subhanahu wa Taalaa berfirman ;
354

(Yaitu) orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring
Ayat ini berkorelasi dengan hadits sebelumnya, 355 yakni juga bermakna majelis
dzikir. Itu karena frasayadzkuruuna atau mereka berdzikir adalah dengan lafadz jama.
Artinya berdzikir bersama-sama.
Maka dari hal ini, dapat dipahami bahwa dzikir dengan berhimpun adalah lebih
utama dari pada seorang diri. Berkumpul berdzikir meliputi segala jenis bacaan dzikir
serta dimana saja, termasuk juga dimajelis tahlil (kegiatan tahlilan), sebab tidak ada
larangan baik al-Quran maupun hadits yang melarang berdzikir seperti membaca doa
untuk mayyit, shalawat, membaca al-Quran serta dzikirdzikir lainnya yang dilakukan di
kediaman keluarga almarhum.
Bahkan lebih jauh lagi, walaupun membuat jamuan makan karena menjalankan adat
tapi jika dalam rangka menghilangkan (menangkis) ocehan orang-orang awam (dafu
alsinatil juhhal) serta untuk menjaga kehormatan dirinya, maka dalam rangka hal tersebut
tidak apa-apa, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam
Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa.356

352

Musnad Ahmad bin Hanbal no. 12453


Shahih Muslim no. 2700 ; Musnad Ahmad no. 11875
354
QS. Ali Imran )3): 191
355
Anwarut Tanzil wa Asrarut Tawil lil-Imam al-Baidlawi [2/54]
356
Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/7]
353

Oleh karena itu, komentar-komentar ulama yang mengatakan makruh bukanlah


dalam pengertian tujuan shadaqah atau itham anil mayyit, melainkan disebabkan
adanya illat. Seperti misalnya perkataan Imam Ibu Hajar diatas, juga seperti : Imam anNawawi dalam al-Majmu syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan ulama lainnya
didalam al-Majmu:



"
"
357

Persoalan pembuatan makanan oleh keluarga mayit dan mengumpukan banyak
orang, belum pernah ada keterang yang dikutip mengenai hal ini. Menurut pendapat
pengarang kitab as-Syaamil: itu adalah bid,ah yang tidak disenangi, ia menjastifikasi
pendapatnya dengan hadits riwayat Jarir bin abdillah ia berkata : Kami (sahabat
Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah
pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu
Majah telah meriwayatkan hadits ini dengan sanad yang shahih, namun dalam
riwayat Ibnu Majah tidak ada kata setelah pemakaman mayyit. 358
Al-Imam al-Khathib as-Sarbini didalam al-Iqna:












359


dan haram menyiapkan makanan untuk semisal wanita-wanita yang meratap


(melakukan niyahah) seperti menyebut-menyebut, karena hal itu sama saja
membantu kemaksiatan, Ibnu Ash-Shabbagh dan yang lainnya mengatakan : adapun
pembuatan makanan oleh keluwarga mayyit dan manusia berkumpul padanya, maka
itu bidah ghairu mustahabbah.
Al-Allamah Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam Ianathuth Thalibin
menyebutkan :


:

-

.
357

al-Majmu syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [5/320] ; Raudlatuth Thalibin (1/145).


al-Majmu syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [5/320] ; Raudlatuth Thalibin (1/145).
359
al-Iqna fi Halli Alfadh Abi Syuja [1/210] ; Mughniy Muhtaj al-Khathib As-Syarbini [2/61]
358

dimakruhkan bagi ahlul mayyit duduk untuk taziyah, menghidangkan


makananyang masyarakat berkumpul padanya, telah diriwayatkan oleh Ahmad dari
Jarir bin Abdullah al-Bajali, ia berkata ; kami memandang berkumpul pada keluarga
mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman termasuk
bagian dari niyahah. Disunnahkan bagi tetangga mayyit walaupun orang lain dan
orang yang mengetahui walaupun bukan sebagai tetangga dan kerabat-kerabatnya
yang jauh walaupun berada di negeri yang berbeda dengan mayyit supaya
menghidangkan makanan untuk keluarga mayyit yang mencukupi kebutuhan mareka
baik siang maupun malamnya, dan supaya mereka memaksa keluarga mayyit untuk
makan, dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap,
karena itu membantu kepada kemaksiatan.

dan diharamkan menyiapkan makanan untuk wanita-wanita yang meratap, karena


itu membantu kemaksiatan, dan perkara yang diadatkan (dibiasakan) seperti ahlul
mayyit membuat makanan untuk mengajak manusia padanya, itu bidah makruhah
(bidah yang hukumnya makruh) seperti menerima mereka untuk yang demikian,
karena telah shahih hadits dari Jarir radliyallahu anh : kami memandang berkumpul
pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses
pemakaman termasuk bagian dari niyahah, dan segi dianggapnya sebagai bagian
dari niyahah adalah apa yang ada didalamnya berupa perhatian yang sangat terhadap
perkara kesedihan.

:
:

360

dan didalam Hasyiyah al-Allamah al-Jamal alaa syarhil Minhaj : termasuk bida
munkarah dan makruh mengerjakannya yakni : perkara yang telah dilakukan
manusia berupa alwahsyah (duka cita), perkumpulan dan empat puluh harian, bahkan
semua itu haram jika berasal dari harta yang terlarang, atau dari harta mayyit yang
masih memiliki tanggungan hutang atau mengakibatkan terjadinya dlarar atau
semisalnya. Selesai.
Syaikh Ibnu Umar an-Nawawi al-Bantani didalam Nihayatuz Zain :

361

Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari
ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-wahsyah (berduka cita) maka itu
360

Ianatuth Thalibin Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [5/165] ; Futuhatul Wahab lil-Syaikh
Sulaiman al-Jamal [2/216]; Hasyiyah Qalyubi wa Umairah [1/414] ; Hasyiyah al-Bujairami ala syarhi alMinhaj [1/503].
361
Nihayatuz Zain li-Syaikh Ibnu Umar an-Nawawi al-Bantani asy-Syafiii

makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu
haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam.
Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal serupa,
yang intinya bukan untuk tujuan itham anil mayyit (shadaqah) ataupun tujuan mulya
lainnya, melainkan tujuan-tujuan yang hanya menjalankan kebiasaan semata atau yang
lainnya, yang kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum dan melakukannya
secara terpaksa hanya karena rasa malu atau sebagainya. Sehingga tentunya, berbeda
apabila memberikan makanan itu dengan suka rela (keikhlasan hati), paham maksud dan
tujuannya yakni seperti motivasi ingin menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk
mayyit maka ini hukumnya sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan
bermanfaat bagi mayyit berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan
shadaqah maka terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah
itu sendiri.
Demikian juga jika keluarga almarhum memiliki motivasi lain yakni penghormatan
kepada tamu-tamu (ikramudldlayf) yang hadir yang telah bersedia meluangkan waktu
untuk mendoakan dan membaca al-Quran untuk salah satu keluarga yang meninggal
dunia. Maka ini terkait dengan hukum memulyakan tamu, dimana Nabi Shallallahu
alayhi wa sallam pernah bersabda :

362




Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti
tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir bmaka
hormatilah tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir
maka berkatalah yang baik atau diam (dari ucapakan yang tidak baik).
Berbagai

kutipan dari sumber kitab-kitab syafiiyah mengenai perjamuan

makan oleh keluarga mayit pada acara selamatan di atas, maka hukumnya dapat
simpulkan sebagai berikut:
a)

Haram : apabila jamuan makan (hidangan makan) dalam tahlilan tersebut


berasal dari harta mayyit yang mayyit masih memiliki tanggungan
hutang yang belum diselesaikan.

362

Shahih Bukhari no. 6018 ; Shahih Muslim no. 47 ; Sunan Abi Daud no. 5154 ; dan lain-lain.

berasal dari harta anak yatim.


berasal dari harta mayyit sedangkan ahli warisnya bukan orang yang
berhak (tidak dibenarkan oleh syariat) untuk mengurus harta mayyit,
seperti anak-anak atau seumpamanya.
berasal dari harta mayyit tanpa ada izin (persetujuan) dari ahli-ahli
warisnya.
jamuan diadakan untuk niyahah atau jamuan diberikan kepada wanita
yang meratap.
b) Makruh : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) didalam tahlilan
diadakan.
untuk menghilangkan kesunyian dan perasaan duka cita samata.
jamuan makan diadakan tanpa ada tujuan apa-apa atau hanya karena
mengikuti kebiasaan setempat dan hari hari tertentu dan lain sebagainya.
c)

Mubah bahkan Sunnah : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan)


diadakan.
untuk tujuan mendoakan (merahmati) yang mati dan mempererat
shilaturahim, yang mana ini memotivasi diri dan mendorong hati untuk
mendoakan (merahmati) untuk mayyit.
tujuan / niat untuk shadaqah yang pahalanya untuk mayyit, ini hukumnya
sunnah (mustahab) dan pahalanya sampai kepada mayyit. Shadaqah tidak
selalu berupa jamuan makan melainkan juga bisa dalam bentuk yang
lainnya.

Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam alHafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafii rahimahullah (salah satu pengarang kitab
tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum
Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
8. Sejak Dahulu Kala Dan Terjadi Di Makkah Juga Madinah




Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku
bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni

masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini
tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa alHafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah
mengambil amalan ini dari salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan
manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan
membaca al-Quran.363
Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan
Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-Allamah al-Jalil asySyaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas
kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni Kasyful Astaar dengan mengutip perkataan
Imam As-Suyuthi :


1947
. 1958
. .
: .





.
Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi
kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7
hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun
1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu
memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan
mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa
awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit
perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : disyariatkan memberi makan
(shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan
sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu
sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya
dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat,
kebegisannyaa dan gertakannya. 364Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat
shahih dari Thawus sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. 365 Yang mana
363

al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.


Kasyful Astaar lil-Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama
besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi
Abbas al-Maliki, Syaikh Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin
Muhammad Yasiin al-Fadani.
365
Oleh karena itu, keliru jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya
karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari segi asasnya pun sudah berbeda.
Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu
boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu bisa di
364

sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah,
sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada
masa Rasulullah.
9. Pengharaman Tahlilan Diluar Akal Sehat
Tidak pernah ditemukan satu dalil pun yang menyatakan pengharaman terhadap
kegiatan tahlilan. Sebaliknya yang ada adalah anjuran untuk merahmati orang yang
meninggal dengan doa, permohonan ampun, bacaan al-Quran serta dzikir-dzikir lain.
Semua ini tidak pernah diharamkan oleh para imam sekali pun.
lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu.
Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri
merupakan kewajiban, menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Quran dengan menetapkan semisal satu
hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban (bab tartib), dan lain
sebagainya. Demikian juga
mendoakan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa
saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan
tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafii
mengatakan ketika mengomentari sebuah hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai
berikut ;

Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz)
pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan)
melakukannya.
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih,
dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah
mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti shalat fardlu dan lainnya.
Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal
tersebut telah menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan al-Adaat.
Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dan daidai Islam lainnya dengan hanya menggiring dan
mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam
berdasarkan pertimbangan dengan kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan
makanan sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut,
maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah atas nama orang mati yang diberikan
kepada orang yang
masih hidup, dan orang mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Taalaa,
inilah yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat Islam bahkan
sesuai dengan syarit Islam ketika digantinya budaya Jahiliyyah seperti melumuri kepala bayi dengan darah
hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak zafaraan, sebagaimana hadits
shahih yang tercantum didalam Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi
[9/509] :
: :



Dari Abdullah bin Buraidah, ia berkata : aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika
kami masih di masa Jahiliyyah, apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami,
menyembelih seekor kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka
tatkala Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya namun
melumuri kepalanya dengan minyak zafaraan. A
sy-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/16 ] dan disebutkan juga didalam Aunul Mabu )
833( dikomentari sebagai berikut :
) ( :

Apabila alasannya karena ada perkumpulan dikediaman keluarga almarhum maka ini
sudah tidak tepat sebagai dalih untuk pengharaman tahlilan sebab ;
Pertama ; seandainya memang yang dimaksud ulama adalah seperti kegiatan tahlilan
sekalipun, kebanyakan ulama hanya menghukumi makruh bukan haram.
Kedua, yang dianggap makruh adalah perkumpulan jamuan makan, sedangkan
tahlilan bukanlah kegiatan yang semata-mata untuk itu, melainkan untuk merahmati
mayyit, sehingga tidak bisa di dikatakan jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan
adalah jamuan makan, sebab masing-masing adalah satu hal.
Ketiga, -seandainya memang yang dimaksud ulama adalah tahlilan- itu hanya unsur
tahlilan yang tidak mutlak, sebab tahlilan tidak harus dilakukan di kediaman keluarga
almarhum melainkan bisa juga dilakukan ditempat yang lainnya, misalnya mushalla,
masjid atau tempat-tempat lain. Adanya unsur yang semisalnya diagggap memang kurang
tepat bukan berarti harus menggusur seluruhnya melainkan cukup unsur yang kurang
tepat tersebut yang dibenahi.
Keempat, tahlilan bukan hanya dilakukan pada pasca kematian melainkan kapan saja
atau dengan menentukan waktu seperti pada malam Jumat demi mendapatkan
keutamaan, disamping pada hari tersebut memang dianjurkan untuk memperbanyak
dzikir juga shalawat.
Oleh karena itu, akal yang sehat akan mengatakan bahwa kegiatan berkumpul
bukanlah sesuatu yang haram pada sendirinya (muharram fi-nafsihi) sebaliknya
merupakan hal yang biasa (lumrah) dimanapun itu, baik di rumah, masjid, mushalla,
perkantoran, sekolah dan tempat-tempat lainnya. Hal itu mubah-mubah saja, apalagi jika
kegiatan berkumpul tersebut di isi dengan hal-hal kebajikan. Seperti itu juga tahlil,
didalamnya berisi amaliyah-amaliyah yang baik mulai dari kalimat thayyibah hingga
shalawat, apalagi bisa mempererat kasih sayang (shilaturahim) antar kaum muslimin.
Segelintir orang ada juga yang secara membabi buta mengharamkan tahlilan dengan
menyamakan dengan niyahah (meratap). Tentu saja, ini jelas-jelas kekeliruan yang fatal,
sebab telah diketahui bahwa pengertian niyahah adalah menyaringkan suara atau
berteriak-teriak sambil menyebut-nyebut kebaikan mayyit. Hal semacam ini diharamkan,
Frasa : (dan kami melumurinya dengan minyak zafaraan), padanya merupakan dalil atas
disunnahkannya melumuri kepala bayi dengan minyak zafaraan atau yang lainnya sebagaimana
didalam hadits Aisyah yang telah disebutkan. Wallhu Alam.

karena seolah-olah tidak ridla dengan takdir Allah Taalaa atas kematian si mayyit atau
menyesali kematian si mayyit dan bisa menyebabkan mayyit semakin tersiksa. Namun,
jika hanya menangis berlinang air mata- maka itu tidak haram, sebagaimana yang
dituturkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah :
10. Bolehnya Menangisi Mayyit
366

adapun menangisi mayyit tanpa disertai nadb (menyebut-nyebut kebaikan mayyit)


dan tanpa niyahah (meratapi mayyit), maka itu tidak haram.
Imam asy-Syafii mengatakan sebagaimana disebutkan didalam Mukhtashar alMuzanni :

:
367

Imam Syafii rahimahullah berkata : aku memberikan rukhshah dalam dalam
menangis tanpa disertai an-nadb dan niyahah, karena didalam niyahah mengandung
unsur memperbaharui kesedihan, mencegah kesabaran dan mengandung dosa yang
besar.
Al-Imam al-Imrani didalam al-Bayan juga mengatakan :

368

adapun menangis tanpa disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit juga tanpa


adanya niyahah maka itu boleh.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pun pernah berlinang air mata, ketika
wafatnya putri beliau yang pada saat itu dibawa ke pangkuan Rasulullah. Saad (sahabat)
pun bertanya : air mata apa ini wahai Rasulullah ?. Rasulullah pun menjawab :















369


Ini (airmata) kasih sayang yang Allah Taalaa telah menjadikannya di setiap hati
hamba-Nya, sesungguhnya Allah Taalaa mengasihi hama-hamba-Nya yang penuh
kasih sayang.
Juga didalam Fathul Qarib karangan al-Imam Syamsuddin al-Ghazzi :

366

al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147]


Mukhtashar al-Muzanni [8/134]
368
al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafii, Imam al-Imraniy [3/120]
369
Shahih al-Bukhari no. 1284 ; Muslim no. 923
367

( (
370
) (
tidak apa-apa menangisi mayyit yaitu boleh menangisi mayyit sebelum maut juga
setelahnya, akan tetapi meninggalkan menangis setelahnya itu lebih utama, dan
tangisan tersebu tanpa disertai niyahah yaitu menyaringkan suara (berteriak-teriak)
dengan menyebut-nyebut kebaikan mayyit.
Dengan memahami tentang niyahah diatas, maka akan diketahui bahwa tahlilan
(kenduri arwah) justru bertolak belakang dengan niyahah, sebab tahlilan adalah kegiatan
merahmati mayyit dengan berbagai dzikir untuknya sehingga akan meringankan siksa
atas dirinya, tentu saja ini sangat jauh dari unsur niyahah.
11.Matam371 Versus Tahlilan (Kenduri Arwah) ?
Tahlilan juga berbeda dengan matam. Perbedaan ini sebenarnya nampak jelas baik
dari prakteknya, sebab pokok yang melatar belakangi juga tujuan masing-masing.
Namun, kadang masih saja ada yang melarang bahkan mengharamkan tahlilan dengan
beralasan matam. Walaupun ini tidak tepat apalagi dengan membawa-bawa qaul Imam
Syafii. Istilah matam sebenarnya muncul karena perempuan berkumpul padanya dan
matam sendiri didalam kamus arab372 didefinisikan antara lain :


matam merupakan setiap perkumpulan baik laki-laki maupun perempuan didalam
hal kesedihan atau pun kegembiraan.

370

Fathul Qaribul Mujib fiy syarhi Alfadh at-Taqrib [55]


matam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan. Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di
keluarga mereka maka mereka membayar para penangis untuk meratap dirumah mereka, semacam adat
istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar
372
Lisanul Arab Ibnu Mandhur al-Anshari al-Ifriqii [12/3-4]. Dan didalam kitab Fiqh Maliki yaitu
Mawahibul Jalil karya al-Hathib ar-Ruayni [2/241 ] menyebutkan masalah matam dengan cukup jelas :
: :
: . :
: :
Faidah : berkumpulnya manusia pada kematian dinamakan matam. Didalam an-Nihayah : matam
pada asalnya merupakan berkumpulnya perempuan dan laki-laki didalam hal kegembiraan dan kesedihan,
kemudian dengannya hanya di khususkan bagi perkumpulan perempuan pada kematian. Didalam AshShihhah : matam menurut orang arab adalah perempuan yang berkumpul didalam hal kebaikan dan
keburukan, umumnya pada mushibah, mereka mengatakan : kami berada di matam fulan, yang benar
seharusnya di katakan ; kami berada di tempat ratapannya fulan. Selesai.
371

matam pada asalnya merupakan perkumpulan laki-laki dan perempuan didalam


kesedihan atau pun kegembiraan, kemudian pengertiannya hanya dikhususkan pada
perkumpulan perempuan pada kematian"

: .
" Al-Jauhari mengatakan bahwa matam menurut orang-orang arab adalah
perempuan yang mereka berkumpul dalam hal kebaikan dan keburukan.

:

Ibnu Barri mengatakan : tidak bisa dihindari untuk memahami matam dengan
pengertian perempuan-perempuan yang meratap, kesedihan, ratapan dan tangisan,
karena semua inilah yang menyebabkan para perempuan berkumpul, dan kesedihan
merupakan sebab adanya perkumpulan.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshariy asy-Syafii terkait matam
mengatakan:
373

matam adalah sebuah perkumpulan (jamaah) perempuan pada terjadinya mushibah.


Ucapan Imam Syafii rahimahullah yang kadang dijadikan dalil untuk melarang
tahlilan bahkan mengharamkan tahlilan yaitu sebagaimana tercantum dalam kitab alUmm:

:

374

Aku benci (menghukumi makruh, red) matam, dan adalah sebuah kelompok
(jamaah), walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, karena yang
demikian memperbaharui kesedihan, dan membebani biaya bersamaan perkara yang
sebelumnya pernah terjadi (membekas) padanya
Imam Syafii rahimahullah sama sekali tidak memaksudkan kegiatan seperti tahlilan.
Oleh karena itu sama sekali tidak tepat jika membawanya pada pengertian tahlilan, yang
kemudian dengan alasan tersebut digunakan untuk melarang tahlilan. Karena tahlilan
memang berbeda dengan matam. Penghukuman makruh oleh al-Imam Syafii diatas
dengan mempertimbangkan illat yang beliau sebutkan yaitu yujaddidul huzn
(memperbaharui kesedihan), sehingga apabila illat tersebut tidak ada maka hukum
makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah ushul mengatakan :
373
374

Asnal Mathalib ; al-Anshari [3/336] Imam Zakariyya al-Anshari


al-Umm, al-Imam asy-Syafii [1/318 ].

375

ketahuilah bahwa illat didalam syariat adalah bermakna yang menunjukkan


hukum
Sedangkan maksud ucapan Imam Syafii tersebut adalah duduk-duduk untuk
taziyah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi didalam al-Majmu :


376

dan adapun ucapan Imam Syafii rahimahullan didalam al-Umm : aku


memakruhkan matam dan adalah sebuah kelompok, walaupun tidak ada tangisan
pada kelompok tersebut, maka maksudnya adalah duduk-duduk untuk taziyah, dan
sungguh telah berlalu penjelasannya.
E. Peringatan Haul
1. Pengertian Haul
Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi peringatan haul
maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan
wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh
agama/ulama kenamaan.
2. Tujuan Diadakannya Peringatan Haul
Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang
jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan
agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para haba'ib dan ulama besar lainnya,
untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus.
3. Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haul
a)

Ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah thayyibah
serta membaca Al-Quran secara berjamaah dan doa bersama di makam;

b) Diadakan majlis ta'lim, mau'idzoh hasanah dan pernbacaan biografi sang


tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau habaib;
c)

375
376

Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan niat selamatan/shodaqoh


anil mayit.

-Luma fiy Ushul Fiqh [1/104] Imam Asy-Syairazii


al-Majmu syarh al-Muhadzdzab [5/308] Imam an-Nawawi

4. Hukum Mengadakan Peringatan Haul


Selama dalam peringatan haul itu tidak ada hal yang menyimpang dari tujuan
sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi atau yang difatwakan oleh para ulama, maka
haul hukumnya jawaz(boleh). Jadi, salah besar jika ada orang yang mengatakan bahwa
secara mutlak peringatan haul itu hukumnya haram atau mendekati syirik.
5. Dalil diperbolehkannya Peringatan Haul
Berikut ini ada beberapa dalil syari yang berkaitan dengan masalah peringatan haul
dengan serangkaian mata acaranya.
a.

Hadits riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam kitab Nahjul

Balaghoh hal. 399


:
.
.
Artinya:Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada Uhud pada setiap
tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau mengucapkan
dengan suara keras semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu berkat
kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat kesudahan. Kemudian Abu Bakar,
Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi
tersebut.
b.

Hadits riwayat Imam Thabrani dan Imam Baihaqi :


.
Artinya :Tiada suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir
kepada Allah kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada mereka
bubarlah kamu, sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu dan kejahatankejahatanmu telah diganti dengan kebaikan-kebaikan. (HR. Thabarani dan Baihaqi)
c.

Hadits riwayat Imam Dailami :


377
.
Artinya :Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para
shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti
bersedekah dan mengingat alam kuburitu bisa mendekatkan kamu dari surga. (HR.
Dailami)
377

Al-Jami as-Shaghiir..hlm. 158

d.

Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman al-Jaziri) dalam kitabnya al-fiqih ala

madzahibil arbaah :


378
.
Artinya :Sangat dianjurkan bagi orang yang berziarah kubur untuk bersungguhsungguh mendoakan kepada mayit dan membaca Al-Quran untuk mayit, karena
semua itu pahalanya akam bermanfaat bagi mayit. Demikian itu menurut pendapat
ulama yang paling shahih.
Memang begitulah doktrin Ahlussunnah wal Jamaah tentang ziarah kubur dan haul.
Kedua-keduanya merupakan salah satu dari sekian banyak cabang amalan qurbah yang
dianjurkan dalam agama. Namun dibalik itu ada hal yang patut disayangkan karena di
dalam pelaksanaannya sering terjadi kemaksiatan yang sangat mencolok yang dilakukan
oleh warga kita sewaktu menghadiri acara tadi, yakni berbaurnya kaum laki-laki dan
perempuan dalam satu tempat : di sarean sewaktu mereka berziarah kubur, berjubel-jubel
dalam satu ruangan sewaku hadir pada acara haul atau berjejal-jejal dalam satu kendaraan
(truk) yang mengangkat sewaktu mereka berangkat dan pulang dari tempat acra dll.
Maka alangkah bijaknya jika masing-masing oknum, baik panitian atau warga yang
hadir mau memperhatikan fatwa ulama klasikk yang menaruh rasa saying kepada umat
dengan maksud agar amaliyh mereka ini tidak tercemar denan noda-noda kemaksiatan.
Tersebut dalam kitab Al-Fatawil Kubro juz II hal 24 :

) (

: )(
: ...

.

.
Artinya :Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kubur para wali pada saat
tertentu dan menuju ke kuburan itu, apakah itu diperbolehkan, sedangkan di situ
terjadi banyak mafsadah/kemaksiatan, seperti berbaurnya kaum laki-laki dan
perempuan, menyalakan lampu dalam jumlah yang banyak dan lain sebaigainya.
Beliau menjawab : ziarah kubur para wali adalah suatu amal kebaikan yang
dianjurkan .. sampai kata-kata kiyai mushonnif : apa yang diisyaratkan oleh si
penanya berupa tindakan bidah atau hal-hal yang diharamkan, jangan menjadi
378

Al-Fiqh Ala Madzahib al-Arbaah 1/540

sebab ditinggalkannya kebaikan tersebut. Bagi seseorang tetaplah melakukannya


dan ingkar/benci terhadap pelanggaran dan menghilangkannya, kalau memang
memungkinkan. Para fuqaha menyebutkan mengenai thawaf sunat apalagi thawaf
wajib agar dilakukan walaupun di situ ada banyak perempuan demikian pula larilari kecil. Namun mereka memerintahkan agar menjauh dari para perempauan
tersebut. Demikian pula ziarah kubur tetap dilakukan akan tetapi jauhilah
(berdesak-desakan dengan) kaum wanita dan cegahlah dan kalau bisa hilangkanlah
hal-hal yang diharamkan seperti keterangan yang telah lewat.
6. Subtansi Haul Ulama
Tujuan 'mengenang' kembali seorang ulama dalam biografi ataupun tradisi yang
sering dilakukan oleh warga Nahdliyin dalam mengadakan haul ulama dengan
menyebutkan kisahnya selama hidupnya adalah untuk 'meneladani keshalehannya'. Hal
ini sudah dilakukan sejak zaman sahabat:














)1195 )
"Diriwayatkan dari Sa'd bahwa Abdurrahman bin Auf suatu hari disuguhi makanan.
Ia dalam keadaan sedang berpuasa lalu Ia berkata: "Mush'ab bin Umair telah
terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain
selimut. Hamzah juga telah terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada yang dapat dibuat
kafan untuknya kecuali kain selimut. Sungguh saya kuatir amal kebaikan-kebaikan
kami segera diberikan di kehidupan dunia ini". Kemudian Abdurrahman bin Auf
menangis" (imam Bukhari meriwayatkan hadits ini sendiri)
Dalam hal ini al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari ahli hadis:













)354 /7 )

"Ibnu Baththal telah berkata: Dalam riwayat ini dianjurkan menyebut kisah-kisah
orang saleh dan kesederhanannya terhadap duniawi. Tujuannya agar tidak cinta
dunia" (Fathul Bari 7/354)
Abdullah Ibn Mubarak berkata:




) :














} :



(










...[120:{ ]





)







(28 /5
Abdullah bin Mubarak berkata: "Sejarah orang-orang shaleh adalah salah satu
pasukan Allah, yang dapat mengokohkan hati hamba-hamba Allah. Sebagaimana
dalam firman Allah: Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu,
ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman [Hud: 120] Seseorang butuh untuk berkunjung kepada sosok manusia
yang dapat membuatnya menangis. Jika tidak menemukannya di kalangan yang
masih hidup, maka pelajarilah dari sejarah orang-orang yang telah wafat" (Syaikh
Hasan asy-Syanqithi)
Dalam riwayat hadis disebutkan:




:






.( )






Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa: "Mengingat para Nabi adalah bagian dari
ibadah. Mengingat orang shaleh menjadi sebab terhapusnya dosa. Mengingat mati
adalah sedekah. Dan mengingat kubur dapat mendekatkan kalian ke surga" (HR
Dailami, sanadnya dlaif)
Sufyan bin Uyainah berkata:





(
"Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat" (Sufyan bin Uyainah
dikutip oleh Ibnu Jauzi dalam Muqaddimah Shifat ash-Shafwah)
Ibnu Taimiyah juga berkata:

/2 )







(269
"Orang-orang beriman merasakan nikmat dengan mengenal Allah dan mengingatNya, bahkan mereka merasa nikmat dengan mengingat para Nabi dan orang Shaleh.
Karenanya ada ungkapan 'Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya
rahmat'. Hal ini disebabkan adanya semangat di dalam hati untuk mencintai
kebaikan, termotifasi dan rasa senang terhadapnya" (Ibnu Taimiyah, kitab ashShafadiyah 2/269)
F. Isyhad (kesaksian) baik kepada janazah
1. Dalil-dalil Isyhad
Ada yang mamberi sambutan dalam rangka mengantar jenazah dengan mengatakan:
Jenazah ini baik atau tidak baik hadirin?. Atau Jenazah ini isi syurga atau isi neraka ?

Kemudian para hadirin serempak menjawab baik! atau Isi syurga Biasanya bahkan
diulang sampai tiga kali. Persaksian semacam ini masih sering kita dengar di kalangan
masyarakat kita. Mengenai isyhad yang kita bicarakan ini. Dasar hukumnya adalah :
a)

Dari Anas bin Malik berkata :

379


Artinya : Orang-orang melewati jenazah (di hadapan Nabi ), lalu mereka
memujinya dengan kebaikan. Lantas Nabi bersabda, Pasti. Kemudian mereka
melewati jenazah lain, tapi mereka mengucapkan keburukan atasnya. Maka, beliau
bersabda, Pastilah.. Kemudian Umar ibnul Khatab bertanya kepada beliau,
'Apakah yang pasti itu?' Beliau menjawab, 'Ini kamu puji dengan kebaikan, maka
pastilah surga baginya. Sedangkan, ini yang kamu katakan buruk atasnya, maka
pastilah neraka baginya. Kalian adalah saksi Allah di bumi.

b) Dari Abu al-Aswad berkata :

380













Artinya : Aku datang di Madinah dan di situ sedang terjangkit penyakit yang
mengenai orang banyak. Aku lalu duduk di dekat Umar ibnul Khatab. Kemudian ada
jenazah lewat, lalu jenazah itu dipuji. Umar berkata, "Pastilah." Kemudian lewat
lagi jenazah lain, jenazah itu juga dipuji orang, maka Umar berkata : Pastilah.
Kemudian setelah itu, lewat jenazah lain lagi, jenazah itu dicaci, Umar berkata :
Pastilah. Lalu Abul Aswad bertanya kepada Umar ibnul Khatab, "Wahai Amirul
Mu'minin, apa yang pasti?" Umar ibnul Khatab berkata, "Aku mengatakan
sebagaimana yang di katakan Nabi SAW yang bersabda, 'Muslim mana pun yang
disaksikan oleh empat orang bahwa dia baik, maka Allah memasukkannya ke surga.'
Kami bertanya, 'Tiga orang?' Beliau menjawab, 'Ya, tiga orang.' Kami bertanya,
'Dua orang?' Beliau menjawab, 'Ya, dua orang.' Kemudian kami tidak menanyakan
tentang seorang.
379
380

Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 97, No. Hadits : 1367
Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. II, Hal. 97, No. Hadits 1368

c)

Dari imam Abi Dawud Nabi saw. bersabda :


381

Artinya : Sebutlah kebaikan seorang yang meninggal dunia dan hindari membuka
aibnya.
d) Dari imam an-Nasai Nabi saw. bersabda :


"

"













382





Mayit siapa saja yang kalian saksikan sebagai orang baik maka waijb masuk
sorga, dan mayit siapa saja yang kalian saksikan sebagai orang jahat maka wajib
masuk neraka, malaikat adalh saksi-saksi Allah di langit sedangkan kalian adalah
saksi-saksi Allah di muka bumi x3.

Lebih `ekstrim` lagi jika membaca hadits Nabi yang diriwayatkan Abu al-Aswad adDaili dari Umar bin al-Khathab, Nabi bersabda :
383

Apabila ada seorang muslim meninggal dunia, dan ada 4 orang memberikan
kesaksian baik kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga
2. Analisa dalil-dalil isyhad
Kehidupan di alam kubur adalah cerminan bagi kondisi mayit di akherat kelak. Jika
kehidupan alam kubur seseorang itu baik, maka kelak akan menempati sorga dengan baik
pula, sebaliknya jika seseorang itu disiksa di alam kubur, maka di akherat-pun akan
mendapatkan siksa neraka, tentunya melalui proses tertentu yang pembahasannya cukup
panjang.
Nah, dengan memahami hadits ini, ternyata memberi pengertian bahwa amalan
orang yang masih hidup itu, dapat mempengaruhi kondisi orang yang sudah meninggal
dunia, sekalipun antara para saksi dengan mayit, tidak ada hubungan kekerabatan dan
tanpa adanya wasiat sedikitpun dari si mayit.
Setiap orang, jika dalam keadaan berjamaah, maka persaksiannya dapat merubah
nasib mayit, baik di dalam kubur maupun di akherat nanti. Yang semestinya si mayit
381

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 692, No. Hadits : 4900 Turmidzi,
Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 242, No. Hadits : 1024
382
Sunan an-Nasai, Kitab al-Janaiz Bab. As-Tsana juz. 4 hlm. 50 No: 1932
383
Shahih al-Bukhari 1/460 No: 1302

mendapatkan siksa, namun berkat persaksian baik dari orang-orang yang masih hidup,
maka si mayit-pun akan diselamatkan dari siksa kubur, maupun siksa akherat nanti.
Upaya persaksian yang baik untuk mayit ini, tentunya dapat dilakukan dengan
beberapa metode, antara lain beberapa orang bersaksi secara langsung saat mendapati
jenazah berada di depannya.
Atau dengan mengadakan upacara pelepasan jenazah dari rumah duka, kemudian ada
seorang tokoh yang bertanya : Apakah mayit ini termasuk orang yang baik menurut
kalian ? Masyarakat muslim yang hadir menjawab : Yaa orang baiiiik ! Si tokoh
melanjutkan : Antum syuhadaa-ullahi fil ardli (kalian adalah saksi Allah di muka bumi).
Tentunya, segala metode asalkan tidak bertentangan dengan syariat, maka dianggap
baik untuk dilaksanakan dalam upaya persaksian bagi si mayit. Sedangkan persaksian
yang bertentangan dengan syariat, misalnya disertai dengan minum arak, atau bersaksi
dengan melantunkan lagu disertai alat musik gitar, seperti yang dilakukan oleh beberapa
penyanyi saat melayat ke kuburan temannya sesama penyanyi, jelas persaksiannya haram
karena dicampur dengan kemaksiatan dan persaksiannya tidak diterima oleh Allah.
Ilustrasi seseorang berziarah kubur untuk mendoakan si mayit maka hukumnya
sunnah. Demikian juga seseorang yang datang ke kuburan dengan membawa bunga sekar
untuk alasan tabur bunga, maka hal itu telah dicontohkan oleh Nabi SAW, dalam amalan
Beliau ber-tancap dahan pelepah korma di beberapa kuburan dengan alasan, Beliau
berharap agar Allah meringankan siksa kubur bagi si mayit selagi pelepah itu masih
segar.
Namun mengirim atau meletakkan sesajen di kuburan angker untuk tujuan meminta
kesaktian, pesugihan, pelancar jodoh, penaikan status pangkat, maka amalan ini
diharamkan karena telah melenceng dari ajaran syariat Nabi Muhammad SAW.
Adapun waktu bersaksi bagi si mayit itu tidak diatur secara rinci oleh syariat, jadi
boleh dilakukan kapan saja, baik saat hari kewafatannya, maupun keesok harinya, atau ke
tiga harinya, ke empat harinya, ke lima harinya, ke tujuh harinya, ke sepuluh harinya dan
seterusnya setelah kewafatan mayit, jadi bebas-bebas saja. Karena tujuan utama adalah
memohon agar persaksiannya baik bagi mayit ini diterima oleh Allah. Sehingga
diharapkan si mayit mendapatkan ampunan, dan digolongkan sebagai hamba-hamba
Allah yang shalih.

Karena itu, betapa pentingnya umat Islam mengundang atau memberitahu tetangga
kanan dan kiri, sanak dan famili, serta handai dan taulan untuk ikut menyaksikan
pelepasan dan pemberangkatan mayit, agar dapat menjadi saksi kebaikan bagi si mayit.
Adapun bagi masyarakat yang mempunyai kesempatan luang, maka hendaklah
persaksiannya itu bisa dilanjutkan pada esok harinya dan seterusnya, baik dilakukan di
kuburan mayit,maupun mengadakan persaksian di rumah duka, yang sekaligus dapat
menghadiri majlis dzikir. Untuk majlis dzikir yang dimaksud, umumnya digelar oleh
warga se tempat beserta sanak famili dari mayit. Sedangkan untuk ahli waris yang masih
dalam kondisi berduka, tidak banyak dilibatkan dalam kepanitiaan pelaksanaan majlis
dzikir ini.
Pelaksanaan majlis dzikir inipun umumnya ditempatkan di rumah duka, atau di
rumah tetangga, dan yang sibuk bekerja dalam menerima dan menjamu para tamu adalah
para tetangga dan sanak famili si mayit.
Belum lagi para tetangga dan sanak famili ini, tanpa ada perintah atau permintaan,
mereka secara suka rela menyumbangkan sembako untuk keperluan ikramud dhaif
(penghormatan bagi para tamu).
Umumnya, majlis dzikir yang dilaksanakan di saat seperti itu, adalah membaca surat
Alfatihah, membaca surat Yasin, surat Al-ikhlas, mu\`awwidzatain, membaca kalimat
thayyibah lailaha illah muhammadur rasulullah, membaca shalawat Nabi, membaca
subhanallah, dll, serta diadakan ceramah agama untuk mengamalkan hadits udzkuruu
mahaasina mautaakum (sebut-sebutlah amalan kebaikan para mayit kalian).
Dalam majlis dzikir ini, setiap satu persatu dari amalan yang dilakukannya secara
runtut, adalah didasari oleh sunnah-sunnah Nabi SAW, yang dirangkum dalam sebuah
rentetan acara bersama, demi mempermuda untuk persaksian yang baik bagi si mayit,
sekalipun tanpa dilisankan.
Karena itu, dzikir semacam ini tidak akan pernah dilakukan oleh umat Islam
Ahlussunnah wal Jamaah jika yang meninggal itu adalah orang kafir, karena dia itu tidak
ada kebaikannya sama sekali
G. Talqin Mayit

Sebetulnya masalah TALQIN dengan segala macam persoalannya itu sudah dikupas
oleh para ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhirin dalam berberapa kitab/karya
tulisnya dan selalu diamalkan oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.
Akan tetapi amaliyah warga kita tadi menjadi terancam kelangsungannya sejak
munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum wahabi yang sangat berlebihan dalam
usaha memurnikan ajaran Islam, sampai-sampai mereka itu melarang amalan-amalan
umat Islam yang bersifat furuiyah, misalnya : tahlilan, bancakan, dan talqin untuk mayit.
Di bawah ini uraian yang sebenarnya tentang Talqin menurut Ahlussunnah wal
Jamaah.
1. Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.
Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan kembali
kepada orang yang sedang naza atau kepada mayit yang baru saja dikubur dengan
kalimah-kalimah tertentu.
2. Hukum Talqin
Orang dewasa atau anak yang sudah mumayyiz yang sedang naza (mendekati
kematian) itu sunat ditalqin dengan kalimat syahadat, yakni kalimat laa ilaaha illallah.
Dan sunat pula mentalqin mayit yang baru dikubur, walaupun orang itu mati syahid,
apabila meninggalnya sudah baligh, atau orang gila yang sudah pernah mukallaf sebelum
dia gila.
Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa Mendengar Ucapan Orang yang
Mentalqin?
Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit ditalqin.
Alasan mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di kuburan itu tidak mampu lagi
mendengarkan ucapan orang yang ada di alam dunia. Mereka mengemumakan dalil dari
Al-Qur'an
384


Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar


385

384
385

QS. An-Naml(27) : 80
QS. Fathir(35): 22

Artinya :Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur
dapat mendengar
Kepada mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang berkenaan dengan
masalah Talqin.
a. Di dalam ajaran Islam itu ada hal-hal yang berdasarkan tauqifi (petunjuk dari
Nabi). Artinya walau pun secara rasional hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena
Nabi SAW. memberi petunjuk bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib
menerimanya. Sebagaimana perkataan syaikh Ahmad al-Marzuqi dalam kitab
Aqidatul-Awam


.Semua hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW
.maka hal itu harus dibenarkan dan diterima

b. Kedua ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan tentang larangan
talqin mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang kafir itu telinga hatinya sudah
mati, berpaling/tidak menerima apa-apa yang didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir Munir :

:

[2/133 ] .
Artinya :Firman Allah yang artinya : sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikam orang-orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang
yang tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah berpaling jelasnya karena
kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang didakwahkan kepada mereka, maka
mereka itu seperti orang yang sudah mati.

:
[2/202 ] .
Artinya:Firman Allah yang artinya : dan kamu sekali-kali tidak sanggup
menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar jelasnya : hai
Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi pengertian
kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. tidak dapat memberi petunjuk kepada
orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
3. Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqin

a) Dalil tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang sedang naza


adalah hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri dalam kitab
Ianatut Thalibin juz II hal. 138 :


:
. :

Artinya :Disunatkan mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih


mumayyiz menurut pendapat yang kuat dengan kalimat syahadat, karena ada hadits
Nabi riwayat Imam Muslim talqinlah orang Islam di antara kamu yang akan
meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah dan hadits shahih Barang
siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha Illallah, maka dia masuk
surga, yakni bersama orang-orang yang beruntung.
b) Sedangkan dalil disunatkannya talqin mayit yang baru dikubur adalah :
Firman Allah, seperti keterangan dalam kitab Ianatut Thalibin juz II hal.
140

) (
[ 55 : ]
.
Artinya:Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid
setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman Allah :
dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman (QS. Ad-Dzariyat : 55).
Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti ini.
Hadits riwayat Thabarani :




.

. .
Artinya :Apabila salah seorang di antara saudaramu telah meninggal dan
penguburannya telah kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka berdirilah
salah seorang di penghujung kuburnya, dan berkatalah : hai fulan bin fulanah
maka dia bisa mendengarnya. Kemudian berkatalah hai fulan bin fulanah maka
dia duduk dengan tegak. Berkatalah lagi hai fulan bin fulanah maka dia berkata
berilah saya petunjuk, semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Akan tetapi

kamu sekalian tidak mengerti. Seterusnya katakanlah kepadanya ingatlah apa yang
kamu pegangi sewaktu keluar dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan
bahwa kamu rela Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad
sebagai Nabi mu dan Al-Quran sebagai imam mu. Maka sesungguhnya malaikat
Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan mereka berdua.
Hadits Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Ianatut Thalibin :

:
] .
[2/140
Artinya :Disunatkan mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena
ada hadits : Ketika mayit telah ditempatkan di kuburnya dan teman-temannya
sudah pergi meninggalkannya sehingga dia mendengar suara sepatu mereka, maka
datanglah dua malaikat kepadanya.
Dari keterangan ayat dan hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :
1. Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat bagi si mayit.
2. Mayit yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau suara-suara
yang ada di alam dunia ini.
3. Karena jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin adalah sunat
tidak bidah dan tidak dilarang seperti apa yang dituduhkan oleh kaum
wahabi.
H. Menyuguhkan Makanan Pada Tamu Yang Bertakziyah
Menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakziyah hukumnya boleh. Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu Umar:

Seseorang bertanya kepada Rasulullah, Islam seperti apa yang paling baik?
Beliau menjawab, Yaitu jika engkau memberi makan dan mengucapkan salam
kepada orang yang engkau kenal maupun tidak engkau kenal.

Al Ahnaf bin Qais menyebutkan bahwa ketika Umar bin Al Khatthab ditikam (yang
kemudian menjadi sebab kematiannya), dia memerintahkan Shuhaib untuk shalat
bersama orang-orang sebanyak tiga kali. Umar juga memerintahkan menyuguhkan
makanan.
Demikian juga hadits :

. :


.-
.
Dari seorang Anshar, dia berkata, Kami keluar bersama Rasulullah dalam rangka
mengantar satu jenazah. Lalu aku lihat beliau sedang berada di atas kubur- berpesan
pada pengggali kubur, Lebarkanlah dari arah kedua kakinya. Lebarkanlah dari
arah kepalanya. Setelah beliau pulang seorang utusan istri si Mayit mengundang
beliau. Beliau penuhi undangan itu. Kamipun menyertai beliau. Kemudian
disuguhkan makanan. Beliau meletakkan tangan kemudian orang-orang juga
meletakkan tangan, lalu mereka semua makan.
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW diundang istri atau keluarga mayit.
Kemudian beliau bersama para Sahabat berkumpul di rumah duka. Saat itu adalah setelah
penguburan mayit. Beliau dan yang lain makan makanan yang disuguhkan. Rasulullah
SAW juga memerintahkan memberikan makanan itu kepada para tawanan perang, sebab
beliau juga khawatir dagingnya membusuk.
Berdasarkan hadits di atas hukumnya boleh keluarga orang yang meninggal
menyuguhkan makanan atau mengundang orang untuk berkumpul di rumahnya, apalagi
jika yang diundang adalah orang-orang fakir miskin. Kecuali apabila diantara ahli waris
terdapat anak yang masih kecil, maka jangan sampai untuk keperluan itu diambilkan dari
harta peninggalan orang yang meninggal.
Berdasarkan apa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW tersebut menyuguhkan
makanan kepada tamu yang bertakiyah hukumnya boleh.
I.

Nyekar (tabur bunga di kuburan)


1. Pengertian Nyekar
Nyekar atau istilah umumnya tabur bunga di kuburan merupakan tradisi yang hingga

saat ini sudah menjamur di Indonesia. Bahkan sudah menjadi ritual khusus yang tidak
bisa ditinggalkan. Nyekar dan tabur bunga itu sendiri sebenarnya tidak hanya terjadi di
Indonesia saja, dinegara-negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, bahkan hingga
Mesirpun ada tradisi untuk menabur bunga bagi orang yang telah meninggal.
Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan orang yang
diziarahinya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati, dan bunga lainnya yang

beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan sanak keluarga, namun tak
jarang pula kuburan orang lain yang dikenalnya.
2. Pendapat Ulama yang membolehkan (mensunahkan) nyekar
Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatu az-Zain menerangkan bahwa hukum
menyiram kuburan dengan air dingin adalah sunnah. Tindakan ini merupakan sebuah
pengharapan (tafaul) agar kondisi mereka yang dalam kuburan tetap dingin.









Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini

dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga
tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat
senang pada aroma yang harum.
Pada halaman lain masih dalam kitab Nihayah al-Zain, beliau mengatakan :








Artinya : "Disunnatkan meletak sesuatu yang masih segar atas kuburan, seperti

pelepah kurma yang masih hijau dan tumbuhan-tumbuhan yang harum, karena itu
meminta keampunan bagi mayat selama ia dalam keadaan segar".
Begitu pula yang termaktub dalam kitab al-Bajuri

...



Disunnahkan menyiram kubur dengan air, terutama air dingin sebagaimana pernah
dilakukan Rasulullah saw. terhadap pusara anaknya, Ibrahim. Hanya saja hukumnya
menjadi makruh apabila menyiraminya menggunakan air mawar dengan alasan menyianyiakan (barang berharga). Meski demikian, menurut Imam Subki tidak mengapa kalau
memang penyiraman air mawar itu mengharapkan kehadiran malaikat yang menyukai
bau wangi.....
Dalam Kitab Fath al-Muin, Zainuddin al-Malibary mengatakan sebagai berikut :












Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena

hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad saw. dan dapat meringankan beban si mayat
karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan
dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau
yang masih segar.
3. Dalil-dalil pendukung nyekar
Masalah ini sebenarnya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah saw.


Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menyiram (air) di atas kubur Ibrahim,

anaknya, dan meletakkan kerikil diatasnya.


Begitu juga dengan meletakkan karangan bunga ataupun bunga telaseh yang
biasanya diletakkan di atas pusara ketika menjelang lebaran. Hal ini dilakukan dalam
rangka Itba (mengikuti) sunnah Rasulullah saw. sebagaimana diterangkan dalam hadits










.
















:





)








) :



Dari Ibnu Umar, ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah

dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam
kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat Kedua orang (yang ada dalam kubur ini)
sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing, sedang
yang lainnya lagi karena sering mengadu domba. Kemudian Rasulullah menyuruh
sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian
dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya,
kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah
meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering.
(HR. Bukhari dari kitab Sahih al-Bukhari, hlm. 1361)
Juga diperkuat oleh hadits Nabi SAW :





:






)) .

Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, Nabi SAW melewati dua perkuburan,

maka Nabi mengatakan, Kedua-duanya sedang disiksa, tetapi bukan karena dosa besar,
yang seorang buang air kecil tidak bersuci dan seorang lagi tukang fitnah. Kemudian
Nabi mengambil pelepah kurma yang masih hijau dan dibelah dua. Kemudian masingmasing ditanam pada setiap perkuburan. Ada yang bertanya, Ya Rasulullah kenapa
engkau lakukan ini ? Jawab beliau, Mudah-mudahan keduanya dapat meringankan
siksaannya selama belum kering.(Muttafaqun alaihi)
4. Dalil-Dalil lain
Setelah mayit atau jenazah dimasukkan ke liang lahat, dihadapkan ke arah kiblat, lalu
pocongnya dibuka dan sudah diadzani, lantas liang ditutup rata dengan tanah. Setelah itu
ditaburkan bunga di atasnya. Bunga tadi disiram air agar tidak cepat layu, namun bukan
ditujukan sesuatu yang berbau mistik.
Sebenarnya tidak harus bunga, pelepah atau ranting-ranting pun boleh, yang penting
masih basah atau segar. Hal ini senafas dengan ayat al-Qur'an surat At-Taghabun ayat 1:

Bahwa semua makhluk, termasuk hewan dan tumbuhan, bertasbih kepada Allah swt.

Akan tetapi, mengenai cara masing-masing membaca tasbih, hanya Allah saja yang
tahu. Dan terkait dengan tabur bunga tadi, dihimbau penabumya memilih bunga-bunga
yang masih segar agar bisa memberi manfaat bagi si mayit, sebab bunga-bunga tadi
akan bertasbih kepada Allah swt.
Hal ini berdasar pada, pertama penjelasan dari kitab Kasyifatus Syubhat hlm. 131:
Bahwa disunnahkan meletakkan pelepah daun yang masih hijau di atas kubur/makam
karena mengikuti sunnah Nabi (hadits ini sanadnya shahih). Dijelaskan bahwa pelapah
seperti itu dapat meringankan beban si mayit berkat bacaan tasbihnya. Untuk
memperoleh tasbih yang sempurna, sebaiknya dipilih daun yang masih basah atau segar.
Analog dengan meletakkan pelepah tadi ialah mencucurkan bunga atau sejenisnya.
Pelepah atau bunga yang masih segar tadi haram diambil karena menjadi hak si mayit.

Akan tetapi, kalau sudah kering, hukumnya boleh lantaran sudah bukan hak si mayit lagi
(sebab pelapah, bunga, atau sejenisnya tadi sudah tidak bisa bertasbih).
Dalil kedua yakni hadits Ibnu Hibban dari Abu Hurairah yang mengatakan:
Kami berjalan bersama Nabi melewati dua makam, lalu beliau berdiri di atas
makam itu, kami pun ikut berdiri. Tiba-tiba beliau menyingsingkan lengan bajunya, kami
pun bertanya: Ada apa ya Rasul? Beliau menjawab: Apakah kau tidak mendengar?
Kami menjawab heran: Tidak, ada apa ya Nabi? Beliau pun menerangkan: Dua lelaki
sedang
J.

Walimatul Hamli
Di kalangan masyarakt jawa khususnya yang ada di pedesaan masih dilestarikan

suatu

tradisi

apabila

si

perempuan

hamil

maka

keluarganya

mengadakan

selamatan/walimahan, mereka menyebutnya tingkepan, sementara para santri


menyebutnya walimatul hamli.
Kata tingkepan/tingkep berasal dari bahasa daerah/jawa : sing dienti-enti wis
mathuk jangkep(yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna). Waktu pelaksanaan
selamatan tingkepan ini antara daerah satu dengan daerah lain tidak sama. Di sebagian
daerah dilaksanakan pada saat usia janin empat bulan, sedangkan di daerah lain
dilaksanakan pada saat usia janin tujuh bulan. Dalam upacara tingkepan yang mereka
anggap sakral itu dihidangkan beberapa jenis menu makanan khas, di samping itu
disajikan juga secama sesajen yang beraneka ragam.
Apakah upacara tingkepan (walimatul hamli) ini termasuk salah satu amalan
sunnah atau tidak? Ada dalil dari hadits nabi atau pendapat ulama salaf atau tidak?
Persoalan inilah yang menjadi faktor penyebab timbulnya pro dan kontra antara
kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim yang lain. Sebagian dari
kelompok muslim di Indonesia ada yang apriori, tidak mau malakukan bahkan ada yang
bersikap ekstrim menolak dan berusaha untuk memberantasnya. Mereka berargumentasi
bahwa tradisi tersebut termasuk adat istiadat jahiliyah (salah satu peninggalan Budha
klasik). Oleh karena itu tidak pantas hal tersebut diamalkan oleh umat muslim. Mereka
mengemukakan sebuah dalil berupa hadits Nabi saw. :














. .








5
Artinya :Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga :
1. Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram;
2. Orang yang sudah memeluk Islam, akan tetapi masih mengamalkan tradisi kaum
jahiliyah;
3. Orang yang menuntut darah orang lain agar orang lain itu dialirkan darahnya
(yakni menuntut hukum bunuh tanpa alasan yang benar).
Adapun kelompok sunni (umumnya warga nahdliyin) menyikapi budaya tingkepan
ini dengan fleksibel/lentur, mau menerima tidak apriori mau melakukan bahkan
melestarikannya, namun tidak serta-merta menerimanya secara total, akan tetapi
bertindak selektif, yang dilihat bukan tradisi atau budayanya tetapi nilai-nilai yang
dikandungnya.
Sebagaimana di sebut di awal bahwa dalam upacara tingkepan -biasanya dilakukan
oleh orang awam- itu ada hidangan khusus dan ada lagi sajian lain. Jika hal itu tidak
dipenuhi -menurut kepercayaan mereka- akan timbul dampak negatif bagi ibu yang
sedang hamil atau janin yang dikandungnya. Hidangan atau sajian dimaksud antara lain :
1. Nasi tumpeng;
2. Panggang ayam;
3. Buceng/nasi bucu tujuh buah;
4. Telur ayam kampung yang direbus tujuh butir;
5. Takir pontang yang berisi nasi kuning;
6. Nasi liwet yang masih dalam periok;
7. Rujak, yang bahannya dari beraneka ragam buah-buahan;
8. Pasung yang dibungkus daun nangka;
9. Cengkir (buah kelapa gading yang masih muda).
10. Sehelai daun talas yang diberi air putih;
11. Seser (alat jaring untuk menangkap ikan);
12. Sapu lidi;
13. Pecah kendi di halaman rumah;

14. Dan lain-lain.


Dengan melihat praktek dalam acara tingkepan yang demikian itu, maka wajarlah
kiranya ada kelompok yang besikeras, seratus persen menolaknya.
Bagi kelompok yang setuju, tidak langsung menolaknya, akan tetapi dengan sikap
selektif dan akomodatif, mereka menerima pelaksanaan acara selamatan tingkepan
asalkan di dalamnya tidak ada hal-hal yang berseberangan dengan syariat (hal yang
haram) dan tidak pula merusak akidah (berbau syirik).
Shahibul walimah seharusnya mengerti bahwa :
1. Semua yang dihidangkan, baik yang berupa makanan yang dimakan di tempat
atau yang berupa berkatan jangan diniati yang bukan-bukan, akan tetapi berniatlah
menjamu para tamu dan bersedekah dengan harapan semoga dengan wasilahshadaqah
ini, Allah SWT. memberikan keselamatan kepada segenap anggota keluarga, khususnya
janin yang berada dalam kandungan serta sang suami dan isteri yang sedang mengandung
(selameto ingkang dipun kandut, selameto ingkang ngandut lan selameto ingkang
ngandutaken).
Bagi kita semua pasti sudah sama-sama faham bahwa yang namanya shadaqah
dengan segala macam bentuknya asalkan dengan niat yang ikhlas dan bahan-bahannya
halal, secara umum Rasulullah SAW. sangat menganjurkannya dan beliau jelaskan pula
fadlilahnya, sebagaimana sabda beliau :
a. Hadits riwayat Imam Rafii :





).






(264 :
Artinya :Setiap sesuatu itu ada alat pencucinya, pencuci untuk rumah/tempat
tinggal adalah menjamu para tamu. (HR. Imam Rafii).
b. Hadits riwayat Imam Thabarani :

Artinya :Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan. (HR.
Imam Thabarani).
c. Hadits riwayat imam Khatib :

Artinya :Bersedekah itu bisa menolak tujuh puluh macam mala petaka/bala.
(HR. Imam Khatib)

2. Walimatul hamli/selamatan tingkepan adalah salah satu wujud tahadduts bin


nimahyakni memperlihatkan rasa syukur atas kenikmatan/ kegembiraan yang
dianugerahkan oleh Allah SWT. berupa jabang bayi yang berada dalam janin yang
selama ini menjadi dambaan pasangan suami dan isteri.
Ulama salaf memfatwakan : setiap ada suatu kenikmatan/kegembiraan disunatkan
mengadakan selamatan/bancaan mengundang sanak tetangga dan teman-teman
sebagaimana yang ditulis oleh syaikh Abd. Rahman Al-Juzairi dalam kitabnya al-fiqhu
alal madzahibil arbaah juz II hal. 33 :

Artinya :Ulama Syafiiyyah (pengikut madzhab Syafii) berpendapat : disunatkan


membuat makanan dan mengundang orang lain untuk makan-makan, sehubungan
dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan, baik itu acara temantenan,
khitanan, datang dari bepergian dan lain sebagainya.
Wal-hasil, para warga yang hendak mengadakan walimatul hamli sudah barang tentu
harus menata hatinya dengan niatan yang benar dan mempunyai sikap arif dan bijak
dalam memilih dan memilah di antara beberapa hidangan dan sajian tersebut, mana yang
bisa diselaraskan dengan syariat dan mana yang tidak, mana yang masih dalam koridor
akidah islamiyah dan mana yang tidak.
I.

Tradisi Ruawatan
1. Pengertian Ruwat/Ruwatan
Kata ruwat mempunyai arti terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa.
Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan seseorang yang

menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, dengan cara melaksanakan suatu
upacara dan tata cara tertentu.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat (jawa: Gugon Tuhon) bahwa sebagian
orang yang mempunyai kriteria tertentu itu dalam hidupnya di dunia ada yang akan
tertimpa nasib buruk.
2. Asal Muasal Adanya Ruwatan
Dalam cerita pewayangan ada seorang tokoh yang bernama "BETHORO GURU"
atau "SANG YANG GURU", dia beristrikan dua orang istri. Dari istri pademi dia

menurunkan seorang anak laki-laki bernama WISHNU. setelah dewasa Wishnu menjadi
orang yang berbudi pekerti baik, sementara dari istri selir dia juga menurunkan seorang
anak laki-laki bernama BETHORO KOLO. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang
jahat, konon kesurupan setan. Dia sering mengganggu jalma manusia untuk dimakan.
Maka sang ayah memberi nasehat ''Jangan semua jalma kamu mangsa, akan tetapi
pilihlah jalma seperti dibawah ini:
1.

Untang-Anting yakni anak tunggal laki-Iaki.

2.

Unting-Unting yakni anak tunggal perempuan.

3.

Kedono-Kedini yakni dua anak laki-Iaki dan perempuan.

4.

Kembang Sepasang yakni dua anak perempuan.

5.

Uger-Uger Lawang yakni dua anak laki-laki.

6.

Pancuran Keapit Sendang yakni tiga anak, perempuan, laki-laki dan

perempuan.
7.

Sendang Keapit Pancuran yakni tiga anak, laki-laki, prempuan dan laki-laki.

8.

Cukit-Dulit yakni tiga anak laki-Iaki.

9.

Sarombo yakni empat anak laki-Iaki.

10.

Pandowo yakni lima anak laki-laki.

11.

Gotong Mayit yakni tiga anak perempuan.

12.

Sarimpi yakni empat anak perempuan.

13.

Ponca Gati yakni lima anak perempuan.

14.

Kiblat Papat yakni empat anak laki-laki dan perempuan.

15.

Pipilan yakni lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki.

16.

Padangan yakni lima anak, satu perempuan em pat laki-laki.

17.

Sepasar yakni Lima anak laki-laki dan perempuan.

18.

Pendowo Ngedangno yakni tiga anak laki-laki dan satu perempuan.

Dalam metos orang Jawa, cerita diatas secara turun temurun masih diyakini
kebenarannya, sehingga menurutShohibur riwayah agar Bethoro Kolo yang jahat itu
tidak memangsa jalma seperti tersebut diatas, dicarikan solusi yaitu harus diadakan
"RUWATAN" untuk anak yang bersangkutan.
3. Acara "Ruwatan" Dalam Tradisi Jawa

Ruwatan yang diyakini oleh kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak
yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, adalah suatu upacara yang acaranya
sebagai berikut:
a. Mengadakan pagelaran wayang;
b.

Sebagai pemandu pagelaran ini, dipilih seorang "DALANG SEJATI";

c. Lakon yang dipentaskan, lakon khusus "MURWO KOLO";


d.

Menyajikan sesaji khusus untuk memuja Bethoro Kolo;

e. Pada acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan mantra-mantra


dengan iringan gamelan, langgam dan gending tertentu. Konon mantra-mantra tersebut
untuk tolak balak (mengusir BETHORO KOLO yang jahat itu).
4. Acara Ruwatan yang Islami.
Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus berlaku di
kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil seleksi para wali di dalam upacara dan
acara ruwatan ala Jawa tersebut ada unsur-unsur yang menyimpang dari syariah, dan ada
juga unsur-unsur yang merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif
lain dengan cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang Islami.
Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada mbah wali untuk
diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru, yaitu :
a) Amalan yang asalnya berbau Khurafat (Gugon Tuhon) diarahkan kepada perilaku
yang bertendensi kepada syariah;
b) Amalan yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid;
c) Amalan yang asalnya berbau bidah, diarahkan kepada Sunnah.
Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif untuk melakukan
amalan-amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan syariah dan berpegang pada
aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut antara lain :
a) Membaca surat Yasin dengan cara berjama'ah;
b) Membaca kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;
c) Memanjatkan do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga yang
bersangkutan terhindar dari mara bahaya, diberi keselamatan di dunia dan akhirat;
d) Diadakan sekedar selamatan, shadaqahan, yang dihidangkan kepada para peserta
upacara ruwatan.

5. Hukum Ruwatan
Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang tersebut dalam
keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita kaum muslimin, bahwa hal tersebut tidak
diperbolehkan, karena didalamnya ada unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama
Islam.
Nah, sekarang bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan mambaca surat
Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a dan selamatan ala kadarnya?
Jawaban masalah tersebut, bisa diuraikan sebagai berikut:
a) membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar tercapai apa yang
dituju, terlepas dari kesulitan dan terhindar dari bermacam-macam kejahatan, hal itu
termasuk amalan yang dibenarkan dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi
dalam kitabnya "Idlohu Mafahimis Sunnah" menerangkan :

















.

.







11 :
Artinya :" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam Al-Qur'an
karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta bendanya dan
kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan orang tersebut telah
menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan menganggap adanya anjuran
syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan orang itu membaca surat Yasin
tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus kali, bahkan bacalah AI-Qur'an seluruhnya
secara ikhlas karena Allah serta memohon agar terpenuhi hajatnya, tercapai
maksudnya, dihilangkan kesusahannya, dilapangkan kesempitannya, disembuhkan
penyakitnya dan terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan tersebut? Toh
Allah menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu sampai
dengan urusan garam untuk dimakan atau memperbaiki tali sandal. Adapun orang
tersebut sebelum berdoa membaca surat Yasin atau membaca sholawat Nabi hal itu
hanyalah merupakan tawassul dengan amal shalih dan tawassul dengan Al-Qur'an.
Disyari'atkannya Tawassul ini disepakati oleh para ulama.

Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman 317 juga
meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:

.



.






















.
.....





:

.







317
Artinya:''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi syafa'at kepada
pembacanya dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya, ingatlah surat itu
adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut AL MUIMMAH.
Ditanyakan : apa itu Al-Muimmah Ya Rasul ? Rasu!ullah menjawab : artinya surat
yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan di dunia dan tertolaknya
kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini disebut juga AD-DAFI'AH dan
Al-QODLIYAH. Ditanyakan : bagaimana demikian itu Ya Rasul ? Rasulullah
menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala keburukan dan meyebabkan
tercapainya
segala
hajat
bagi
pembacanya, .... sampai
dengan
sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja yang diniatkan oleh pembacanya. Adapun
hikmahnya para ulamaus Sholihin memilih membacanya dengan berulang-ulang,
empat kali, tujuh kali atau empat puluh satu kali dan lain sebagainya, hal itu karena
adanya penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka dengan dibaca berulangulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati kita dan menjadi lunaklah
tabi'atnya.
b) Beristighatsah dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon kepada Allah
mengenai segala urusan, baik urusan yang kecil atau yang besar, adalah termasuk hal
yang diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam Tafsir Showi juz IV halaman 13 diterangkan :


.









:







.













.

13
Artinya:''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku
perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah memohon dan
merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala kebutuhan duniawi dan ukhrowi,
kebutuhan yang besar atau kecil. Ada anjuran untuk berdo'a dalam riwayat
hadits : Silahkan salah satu dari kamu sekalian memohon kepada Tuhannya
mengenai semua kebutuhannya sampai dengan tali sandalnya yang putus. Firman
Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah) akan memperkenankan kamu mengenai
apa yang kamu mohonkan kepadaKu.

c) Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para peserta upacara


ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung banyak fadlilah/keutamaan,
antara lain : menyebabkan orang yang bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam
balak, mushibah dan mara bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas,
bahwa Nabi SAW bersabda :


.







190 .
Artinya:'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak (mushibah). HR.
Khotib
Dengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin, shalawat Nabi dan
lain sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk rnendekatkan diri kepada Allah dan
bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur,
jika dimaksud untuk menyembah selain Allah.
Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam hasil keputusan
bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :













.


Artinya:''Apabila menshodaqohkan makanan tersebut dengan tujuan mendekatkan
diri (taqarrub) pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin, maka tidak haram
karena tidak ada taqarrub kepada selain Allah. Apabila ditujukan pada jin, maka
haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan mengagungkan dan menyembah pada
selain Allah, maka hal itu menjadikan kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam
masalah penyembelihan (dzabhi).
J.

Tradisi kupatan
1. Pengertian Kupatan
Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan

sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata
Bhada di ambil dari bahasa Arab bada yang artinya : sudah. Sedangkan riyoyo berasal
dari bahasa Indonesia ria yang artinya riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata

lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah
sudah selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan Syawwal/Idul
Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut riyaya karena umat Islam merasa bersuka cita
sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang predikat kembali ke
fitrah/asal kesucian.
Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras dibungkus dengan
selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat
(diagonal), kemudian direbus. Pada umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim
bersamaan dengan hari ke delapan yang biasa di sebut dengan Kupatan atau Riyaya
Kupat.
2. Asal Usul Tradisi Kupatan
Rasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang sejarah/asal muasal
kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat jawa mempercayai bahwa sunan
Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam hal mentradisikan kupat beserta makna
filosofis yang terkandung dalam makanan khas ini.
Secara filosofis, makanan khas Kupat ini memiliki banyak makna. Di antara
makna itu adalah :
a) Kata kupat berasal dari bahasa jawa ngaku lepat (mengakui kesalahan). Ini
suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah melakukan kesalahan
kepada sesama. Maka dengan budaya kupatan setahun sekali ini kita diingatkan
agar sama-sama mengakui kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk
saling memaafkan. Nah, dengan sikap saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini
kita akan merasakan kedamaian, ketenangan dan ketentraman.
b) Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini melambangkan kondisi
umat muslim setelah mendapatkan pencerahan cahaya selama bulan suci
Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali kepada kesucian/jati diri
manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda serta bebas dari dosa.
c) Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun karena butir-butir
beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur dan rela direbus sampai
masak, maka jadilah sebuah menu makanan yang mengenyangkan dan enak
dimakan. Ini satu simbol persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan.

Dan yang demikian itu merupakan sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela
saling menjalin persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim.
3. Bidah Dlalalah kah Tradisi Kupatan?
Meskipun riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan dilakukan di
berbagai daerah, namun bukan berarti semua umat muslim mau melakukannya. Ada yang
menganggapnya bidah dan bahkan menuduh sesat, karena termasuk mengada-ada dalam
masalah ibadah.
Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan berpuasa. Pada
hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) untuk melakukan
puasa selama enam hari, baik secara langsung dan berurutan, sejak tanggal dua Syawwal
atau secara terpisah-pisah asalkan masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW



).














(307
Artinya :Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa
enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun. (HR.
Imam Muslim)
Setelah puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi tertentu. Maka
ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal itu disebut bidah (suatu hal
yang baru). Di sinilah terjadi perbedaan persepsi di antara umat muslim. Sebagian ada
yang mau melakukannya dan sebagian yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah
interpretasi makna bidah itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo kupat.
Pertama, pendapat yang mendifinisikan bidah secara mutlak, yaitu segala hal
yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan
ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah bidah dan haram dilakukan. Nah,
karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat
dengan tata cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal itu
dianggap mengada-ada dan itu bidah. Setiap bidah adalah dlalalah. Sabda Rasulullah
SAW. :




).








(296
Artinya :Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang
tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak (HR. Imam Baihaqi)

Dan sabda Rasulullah SAW. :

).

.




(87
Artinya :Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal
tersebut adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara
baru dalam agama.
Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bidah menjadi dua : bidah hasanah (baik) dan
bidah sayyiah (buruk). Karena tradisi kupatan dikategorikan sebagai ibadah ghairu
mahdlah (ritul tidak murni) yang perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya
disesuaikan dengan situasi, maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu
yang dianggap baik).
Pendapat kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani pendapat
pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan pemahaman yang lebih luas.
Maksudnya tidak semua didah itu dlalalah (sesat) akan tetapi ada bidah itu yang
hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang
dari syariat.
As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya al-ihtifal bidzikro
maulidin nabi menyatakan :

.




Artinya :Imam Syafii berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan
dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijmaus shahabah
atau atsaratut tabiin, itulah yang dikategorikan bidah dlalalah/sesat atau tercela.
Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu
dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji.

Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi) menyimpulkan
pendapat Imam Syafii tersebut sebagai berikut :



















.





Artinya :Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syari dan
mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syariat serta tidak
mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk ad-din (urusan agama).

Dengan demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat dari substansi
masalahnya,

yakni

ajaran

silaturrahim,

saling

memaafkan

dan

pemberian

shadaqah/sedekah yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syari, sementara
teknisnya bisa dilakukan dengan beragam cara.
Dalil syari tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi :

Artinya :Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan
dan silaturrahim.
Dalil syari tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :

.22 : .
















Artinya :Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada,
apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha
pengampun lagi maha penyayang. (QS. An-Nur : 22)
Dalil syari tentang memberikan sedekah antara lain :
.




Artinya :Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma (HR. Ibnu
Mubarak).
Hadits riwayat Ibnu Ady :


.







Artinya :Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan hadiah
berupa makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan rizkimu (HR. Ibnu
Ady)
Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bidah atau tambahan dalam
beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang memiliki keterkaitan dengan
syariat Islam. Maka dari itu kupatan tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi
tindakan sesat (dlalalah).
K. Ngalap Berkah (at-Tabarruk)
Fatwa haram, bidah bahkan syirik dalam masalah mencari berkah (tabarruk, ngalap
berkah) kembali ramai didengungkan oleh mereka yang mengaku paling sehat dari
penyakit TBC (Takhayyul, Bidah dan Churafat) ketika makam Gus Dur ramai diziarahi,
bahkan ada beberapa peziarah yang mengambil tanah di area makam tersebut.
Sebagaimana yang disebarkan oleh Ust Hartono Jais dan kawan-kawannya yang

sebenarnya tidak memiliki kapasitas dalam masalah ini, dan hanya bertaklid buta kepada
Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Albani dan sebagainya.
Ulama-ulama mereka dengan membabi-buta menvonis syirik kepada semua bentuk
tabarruk, dengan tanpa sedikitpun mendudukkan makna tabarruk secara proporsional
maupun mengungkap dalil dan argument tabarruk yang sudah dilakukan sejak Rasulullah
Saw masih hidup.
1. Makna Berkah dan Mencari Berkah
al-Barakat dan derivasinya memiliki makna bertambah dan berkembang.
Sedangkan Tabarruk adalah

: . :
(
: : .
)13/408 :
mencari berkah terhadap sesuatu, mencari tambahan dengan metodenya (Ibnu
Mandzur, Lisan al-Arab 13/408)
2. al-Quran Tak Menafikan Berkah
Di dalam al-Quran banyak disebutkan kalimat berkat dengan berbagai macam
kalimat bentukannya. Ini menunjukkan bahwa ada banyak sosok maupun tempat yang
diberkahi oleh Allah. diantaranya:

Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan
Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama
aku hidup (Maryam: 31)

Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. dan diantara anak cucunya
ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan
nyata. (ash-Shaffaat: 113)

Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?
(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, Hai
ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." " (Huud: 73)
a) tempat-tempat yang diberkati dalam al-Quran ::

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah)


manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi
petunjuk bagi semua manusia (Ali Imraan: 96)

Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847]
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (al-Israa: 1)

Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Lut ke sebuah negeri (Palestina) yang Kami
telah memberkahinya untuk sekalian manusia (al-Anbiyaa: 71)

dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan
berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara
negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. berjalanlah kamu di kota-kota itu pada
malam hari dan siang hari dengan dengan aman (Saba: 18)
b) benda-benda ciptaan Allah juga dianugerahi keberkahan dalam al-Quran:

. kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang


dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya (an-Nuur: 35)

Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir
lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu. (al-Qashash: 30)

Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya (berkah)... (Qaaf: 9)

sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Quran) pada suatu malam yang


diberkahi (ad-Dukhaan: 3)
3. Mencari Berkah Telah Dilakukan Sejak Masa Nabi Terdahulu
Tepatnya adalah Nabi Yaqub As ketika ditimpa penyakit tak bisa melihat lantaran
lama berpisah dengan putranya, Nabi Yusuf. Untuk mengobatinya ternyata Nabi Yaqub
maupun Nabi Yusuf tidak langsung berdoa kepada Allah, dan Allah juga kuasa jika
langsung menyembuhkannya. Namun kesembuhan itu melalui proses berkah
sebagaimana diabadikan dalam al-Quran:

Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah
ayahku, nanti ia akan melihat kembali. (Yusuf: 93)
Tampak jelas sekali bahwa Allah menjadikan kesembuhan itu melalui berkah baju
gamis Nabi Yusuf.

Makam Nabi Yunus juga dijadikan tempat mencari berkah Allah:


:


) - / 8 (271

Desa Hulhul antara Quds dan Khalil ada makam Yunus As. Para penduduknya

mencari berkah disana dan meyikini makamnya Nabi Yunus (adz-Dzahabi, Tarikh
)al-Islam 8/271
4. Mencari Berkah Di Masa Hidup Rasulullah Saw
a) Rambut Rasulullah




- -


..













) (3212









Rasulullah r menyuruh tukang pangkas rambutnya, untuk mencukur rambut bagian
kanan dan kirinya, lalu rambut-rambut itu dibagi-bagikannya kepada para sahabat
)(HR Muslim No 3212





.

) - / 4 (279
Sahabat Khalid bin Walid bertabaruk dengan rambut ubun-ubun Rasulullah SAW,
ditaruh di dalam kopiahnya (songkok). Kholid berkata: Saya tidak pernah
mendatangi perang dengan membawa songkok tersebut (yang berisi rambut
Rasulullah), kecuali setiap peperangan saya selalu diberi kemenangan (HR Thabrani
)dan Abu Yala, para perawinya adalah perawi hadis sahih
b) Air Ludah Rasulullah

- -









) 70 (2731








Miswar dan Marwan berkata: Demi Allah Setiap Rasulullah rberdahak, pasti dahak
beliau jatuh ke tangan salah seorang sahabat, lalu ia gosokkan ke wajah dan
)kulitnya. (HR Bukhari No 70 dan 2731



-


- -




) (688

-



Diriwayatkan dari Aisyah bahwa bayi-bayi didatangkan kepada RAsulullah Saw


kemudian beliau mendoakan berkah dan memamah makanan kepada mereka (HR
Muslim No 688)



.
).
(37 / 2 -
Para sahabat y bertabaruk dengan air sumur Budhaah di Madinah, yang pernah
diludahi oleh Nabi r (HR Thabrani, para perawinya terpercaya)











(
)




. .








(6561 4328 )



Rasulullah Saw menyuruh kepada Abu Musa dan Bilal untuk mengambil tempat air,
lalu beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya dan memuntahkan air kumur ke
wadah tersebut dan beliau bersabda: Minumlah oleh kalian, siramkan ke wajah dan
leher kalian, dan bersenanglah. Kemudian dua sahabat itu melakukannya (HR
Bukhari 4328 - Muslim No 6561)


(300 / 1 - )




al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Tujuan diatas karena adanya berkah dari ludah
Rasulullah yang mengandung berkah (Fath al-Baari 1/300)
c) Keringat Rasulullah Saw






- -





-


..




(6201 )







Sahabat Ummu Sulaim mengambil keringat Nabi r dan menaruhnya ke dalam botol,
sebagai minyak wangi. Setelah ditanya oleh Rasulullah, Ummu Sulaim menjawab:
Ini adalah keringatmu. Kami jadikan minyak wangi kami. Dan keringat itu adalah
minyak yang paling harum (Muslim No 6201)
d) Air Sisa wudlu Rasulullah
Hadis yang menjelaskan masalah ini sangat banyak sekali, diantaranya:












- -



)












(1151 187
Rasulullah mendatangi kami di Hajirah, kemudian beliau disediakan air wudlu dan
beliau berwudlu, kemudian para sahabat mengambil sisa wudlu beliau (HR Bukhari
187 dan Muslim 1151)
e)

Tempat Minum Rasulullah Saw









)
Dari Kabsyah al-Anshariyah bahwa Rasulullah e datang kepadanya dan di
sebelahnya atau tempat air minum yang digantung, kemudian beliau meminum-nya
dengan posisi berdiri. Kabsyah lalu memotong (bekas) tempat minum Rasulullah
tersebut untuk mendapatkan berkah dari mulut Rasulullah e. (HR. Ibnu Majah dan
)Turmudzi, ia berkata: Hadits ini Hasan Sahih Gharib
Kain Kafan Dari Rasulullah

)f


.












.
.







. .



) (2093





Rasulullah Saw diberi kain bergaris (burdah) oleh seorang wanita. namun kain
tersebut diminta oleh orang lain untuk dijadikan kafan bagi dirinya. Rasulullah
)memberikannya (HR Bukhari No 2093
g) Jubah Rasulullah Saw

:
:



:
:
) / 1
(482
Seorang sahabat meminta potongan dari jubah Rasulullah Saw, beliau memberinya.
Muhammad bin Jabir berkata: Bapak saya menceritakan bahwa potongan jugah
tersebut kami cuci untuk orang sakit, mengharap kesembuhan darinya (al-Hafidz
)Ibnu Hajar, al-Ishabah 1/482
h) Air Seni Rasulullah Saw


.
(20 / 4 - )
Barokah, pelayan Ummu Salamah (istri Nabi r), bertabaruk dengan menimun air
seni Nabi r yang akan menjadi pelindungnya dari api neraka (Diriwayatkan oleh
Thabrani, para perawinya sahih)
5. Mencari Berkah Setelah Rasulullah Saw Wafat
Dalam masalah ini Imam Bukhari membuat Bab Khusus dari benda-benda
peninggalan Rasulullah yang dicari berkahnya oleh para Sahabat, bahkan para Khalifah
yang mendapat jaminan masuk surga. Imam Bukhari mencantumkan beberapa hadis
terhitung dari No 3106 3112:

- ) .






(204 / 11
Bab yang yang menyebutkan tentang baju perang Nabi saw, tongkatnya, pedangnya,
tempat minumnya, dan cintinnya.dan yang dipakai oleh para khalifah setelah beliau
wafat,yang terdiri dari hal-hal yang tidak disebut pembagiannya, juga tentang rambut
Nabi saw, sandalnya, dan wadah makanannya yang berupa benda-benda yang dicari
berkahnya oleh para sahabat dan lainnya setelah Nabi wafat (Shahih al-Bukhari:
11/104)
a) Asma Binti Abu Bakar dengan Jubah Nabi

(









)



















5530 ) .

(
Asma binti Abu Bakar berkata: Jubah ini (pada mulanya) dipegang oleh Aisyah
sampai ia wafat. Setelah wafat saya ambil jubah tersebut. Rasulullah ememakai
jubah ini. Kami membasuhnya untuk orang-orang yang sakit, kami mengharap
kesembuhan melalui jubah tersebut. (HR. Abu Dawud dan Muslim. Sedangkan
riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dijelaskan bahwa Rasulullah memakai
jubah tersebut untuk menemui tamu dan salat Jumat)
b) Ummi Salamah dengan Rambut Nabi Saw






- -

(5896 )



Ummi Salamah memiliki rambut Rasulullah Saw. Jika orang yang terkena penyakit,
maka mendatang Ummi Salamah dengan membawa wadah (untuk mengobati). dan
)saya melihat di dalamnya ada beberapa rambut merah (HR Bukhari No 5896
c) Muawiyah Dengan Jubah, Sarung, Serban dan Rambut Nabi Saw

) (


) - / 59 (61
Muawiyah memiliki gamis Rasulullah, sarungnya, serbannya dan rambutnya.
Muawiyah berwasiat agar benda-benda ia dijadikan kain kafan baginya (al-Hafidz
)Ibnu Asakir, 56/61
d) Muhammad bin Sirin Dengan Rambut Nabi Saw

) (170









Saya berkata kepada Abidah bahwa kami memiliki rambut Rasulullah, kami
mendapatkannya dari Anas atau keluarga Anas. ia berkata: Sungguh saya memiliki 1
helai rambut Rasulullah lebih saya senangi daripada dunia dan isinya (HR Bukhari
)170
e) Umar bin Abd Aziz Dengan Tempat Minum Nabi Saw

- -
-





. .
.




-








. .













.










) 5637 ( 5354


Sahal bin Sad memiliki tempat minum yang pernah dipakai oleh Nabi. kemudian
(masa berikutnya), tempat minum itu diminta oleh Umar bin Abdul Aziz dan ia
)memberikannya (HR Bukhari 5637 dan Muslim 5354
f) Asma binti Yazid Dengan Sisa Minuman Nabi Saw

" " : :

: .

(104 / 4 - ) .
Sisa minuman Rasulullah saya gunakan untuk membasahi rambut saya. Juga kami
minumkan kepada orang-orang sakit, dan kami meminumnya, untuk mengharap
berkah (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah 1/482)
g) Anas bin Malik Dengan Tongkat Kecil Nabi Saw


(109 / 9 - ) .
Anas memiliki tongkat kecil dari Rasulullah Saw, ia memerintahkan agar dikubur
bersamanya (al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah 9/109)
h) Imam Ahmad bin Hanbal Dengan Rambut Nabi Saw


:
.
(2/357 : 337 / 11 - ) .
Imam Ahmad diberi 3 helai rambut saat di penjara, itu adalah rambut Rasulullah
Saw. Imam Ahmad berwasiat agar ketika meninggal 2 rambut diletakkan di matanya,
1 rambut lagi di mulutnya. maka wasiat itupun dilakukan ketiaka ia wafat (alHafidz adz-Dzahabi dalam Siyar Alam an-Nubalaa 11/337 dan al-Hafidz Ibnu alJauzi dalam Shifat ash-Shafwah 2/357)
6. al-Hafidz Ibnu Hajar dan Istidlal Ngalap Berkah


)





(278 / 1 al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 166: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dari rambut Rasulullah Saw, dan bolehnya
mengoleksinya (Fath al-Baarii 1/278)

(145 / 2 )
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 407: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan tempat-tempat yang dilakukan salat olen Nabi
Saw dan yang beliau injak (Fath al-Baarii 2/145)
(318 / 4 - )


al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 1198: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan peninggalan orang-orang shaleh (Fath al)Baarii 4/318

) - / 10 (386


al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 3316: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan makanan para wali dan orang-orang shaleh
)(Fath al-Baarii 10/386
7. Mencari Berkah Allah dengan Berziarah
a) Makam Rasulullah Saw



) / 2



492 (3243
"Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang
memegang mimbar Nabi Saw, mencari berkah dengan memegangnya dan
menciumnya. Ia juga melakukannya dengan makam Rasulullah seperti diatas dan
sebagainya. Ia lakukan itu untuk mendekatkan dir kepada Allah. Imam Ahmad
)menjawab: Tidak apa-apa" (Ahmad bin Hanbalal-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243
Imam Nawawi menjelaskan tatacara dan etika dalam berziarah dan bertawassul di
makam Rasulullah Saw:






) (274 / 8


"Kemudian hendaknya peziarah kembali ke tempat semula seraya menghadap kearah
Rasulullah Saw, bertawassul kepada beliau untuk dirinya dan meminta syafaatnya
kepada Allah. Dan diantara yang paling baik untuk dibaca saat ziarah adalah bacaan
dari al-Utbi sebagaimana disampaikan oleh al-Mawardi, al-Qadi Abu al-Thayyib dan
seluruh ulama Syafi'iyah, mereka semua menilainya baik" (Imam al-Nawawi
)dalam al-Majmu' VIII/274

...


...












)








/ 3 347 / 2
217 / 8 201
556 / 3 498
497 / 3
(30 / 5
"Golongan para ulama diantaranya Ibnu al-Shabbagh dalam kitab al-Syamil,
menyebutkan kisah yang masyhur dari 'Utbi. Ia berkata: Saya duduk di samping
makam Rasulullah Saw, kemudian datang seorang A'rabi dan berkata: Salam
sejahtera atasmu wahai Rasulullah. Saya mendengar bahwa Allah berfirman:
""Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (alNisa': 64). Saya datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan
memohon pertolongan kepada Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair:
"Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Disana terdapat kesucian, kemurahan dan kemulian"
Lalu A'rabi itu pergi. Kemudian saya tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah Saw
dan beliau berkata: Wahai 'Utbi, kejarlah si A'rabi tadi, sampaikan kabar gembira
kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya" (Tafsir Ibnu Katsir
II/347, Tafsir al-Wasith karya Guru Besar al-Azhar, Muhammad al-Thanthawi
III/291, al-Majmu' VIII/217 dan al-Idlah 498 karya Imam al-Nawawi, alMughni III/556 dan al-Syar al-Kabir III/497 karya Ibnu Qudamah al-Hanbali
danKisyaf al-Qunna' V/30 karya al-Bahuti)




(












/ 3 265 / 5 )

45 / 1 694
(390 / 12
"Dari Ali, ia berkata: Seorang A'rabi datang kepada kami setelah 3 hari kami
menguburkan Rasulullah Saw. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke makam
Rasulullah Saw dan menaburkan debu ke kepalanya sambil berkata: Engkau berkata
wahai Rasullah lalu kami mendengar perkataanmu. Engkau menerima ajaran dari
Allah, dan kami menerima darimu, dan diantara yang diturunkan Allah kepadamu
adalah: "Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu,

lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang (al-Nisa': 64). Sungguh saya telah menganiaya diri sendiri dan saya
datang kepadamu agar engkau mohonkan ampunan bagiku. Lalu laki-laki A'rabi itu
dijawab dari dalam makam Rasullah Saw bahwa: Kamu telah diampuni" (Tafsir alQurthubi V/250,al-Bahr al-Muhith III/694 karya Abu Hayyan, Khulashat alWafa I/45 karya al-Sumhudi dan Subul al-Huda wa al-Rasyad XII/390 karya Shalihi
)al-Syami


) 121 / 3






473 / 31 (818
"Ibnu al-Muqri berkata: Saya berada di Madinah bersama al-Hafidz al-Thabrani dan
al-Hafidz Abu al-Syaikh. Waktu kami sangat sempit hingga kami tidak makan sehari
semalam. Setelah waktu Isya' tiba, saya mendatangi makam Rasulullah, lalu saya
berkata: Ya Rasulallah, kami lapar. Al-Thabrani berkata kepada saya: Duduklah, kita
tunggu datangnya rezeki atau kematian. Saya dan Abu al-Syaikh berdiri, tiba-tiba
datang laki-laki Alawi (keturunan Rasulullah Saw) di depan pintu, lalu kami
membukakan pintu. Ternyata ia membawa dua orang budaknya yang membawa dua
keranjang penuh dengan makanan. Alawi itu berkata: Apakah kalian mengadu
kepada Rasulullah Saw? Saya bermimpi Rasulullah dan menyuruhku membawa
makanan untuk kalian" (Diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tadzkirah
al-Huffadz III/121 dan Siyar A'lam al-Nubala' XXXI/473, dan oleh Ibnu al-Jauzi
)dalam al-Wafa' bi Ahwal al-Musthafa 818








) 2632



284 / 4 / 1
281 (161 / 66
"Abu al-Khair al-Aqtha' berkata: Saya datang ke kota (Madinah) Rasulullah Saw
dalam keadaan lapar dan saya menetap selama lima hari. Lalu saya datang ke makam
Rasulullah Saw, saya mengucap salam pada Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar, dan
saya berkata: Wahai Rasulullah, Saya bertamu kepadamu malam ini. Lalu saya agak

menjauh dan tidur di belakang mimbar. Maka saya bermimpi melihat Rasulullah
Saw, Abu Bakar berada di sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau dan Ali
berada di depan. Lalu Ali membangunkan saya dan berkata: Bangun, Rasulullah
telah datang. Saya bangun dan mencium beliau. Beliau memberi roti pada saya dan
saya makan separuhnya. Saya pun terbangun, ternyata di tangan saya ada separuh
roti tadi" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam 2632, Ibnu al-Jauzi
dalamShifat al-Shafwah IV/284, al-Hafidz al-Sulami dalamThabaqat alShufiyah I/281 dan Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasyqi 66/161)
b) Makam Para Ulama dan Auliya'
Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh
dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

/) ( ) .



(//) ( /) (
. . :
Dari Ibn Abbas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu. (HR. Ibn
Hibban (1912), Abu Nuaim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak
(1/62) dan al-Dhiya dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini
shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut
mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa taala dari orang-orang besar
dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian
besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula,
besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.
Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa taala
adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan
tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah)
dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah
dari Allah subhanahu wa taala dengan cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah
tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa taala dan tidak
menjauhkannya dari Allah subhanahu wa taala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah
wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-

Quran maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin
al-Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:





:

..





Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci
sejauh satu lemparan dengan batu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak
makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-Iraqi berkata:

Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk


dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan
tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang dikenal
masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang
ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:








.

.(/)

..

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Dulu aku melarang kamu


ziarah kubur. Sekarang ziarahlah. (HR. Muslim). Dalam satu riwayat,
Barangsiapa yang hendak ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat
mengingatkan kita pada akhirat. (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah
kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya
makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa taala dengan berziarah ke
makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka,
namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila
mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah
itu kepada Allah subhanahu wa taala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

:



. .

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Para nabi itu hidup di alam
kubur mereka seraya menunaikan shalat. (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya,
.

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat
mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

. .




Dari Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku
dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku
wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat
amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah. (HR. al-Bazzar,
[1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum
salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam
kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah
disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:























.(/ ) .

Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa
yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam
Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Said bin alMusayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada
malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan
yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut.
Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa

seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu


mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu
orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk
mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa dengan
masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali
terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.
(Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah
dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka
Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:



) .












:/ /
/ / : .
./ /
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar
al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada
kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya
mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari alAmasy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin
al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah
Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi
makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: Hai Rasulullah,
mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benarbenar telah binasa. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: Sampaikan salamku
kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan
kepadanya bersungguh-sungguhlah melayani umat. Kemudian sahabat tersebut
datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang
dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: Ya Allah, saya akan kerahkan
semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh
Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami al-Masanid juz i,
hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam alIrsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Istiab, juz 2, hal. 464 serta
dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa
sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu anhu tersebut datang ke makam
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan
mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar
radhiyallahu anhu, ternyata Umar radhiyallahu anhu tidak menyalahkannya. Sayidina
Umar radhiyallahu anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, Perbuatanmu ini
syirik, atau berkata, Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam
untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu.
Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke
makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabiin dan
penerusnya
8. Makam Ulama atau auliya yang sering diziarahi dengan tujuan tabarruk antara
lain :
a) Makam Imam Abu Hanifah 386













123 / 1 )

(519 / 2
"Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar Syafi'i berkata bahwa: Saya
mencari berkah dengan mendatangi makam Abu Hanifah setiap hari. Jika saya
memiliki hajat maka saya salat dua rakaat dan saya mendatangi makam Abu
Hanifah. Saya meminta kepada Allah di dekat makam Abu Hanifah. Tidak lama
kemudian hajat saya dikabulkan"
b) Makam Yahya bin Yahya

















261 / 11 )

(1756
"al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali al-Naisaburi berkata bahwa saya berada
dalam kesulitan yang sangat berat, kemudian saya bermimpi melihat Rasulullah Saw
386

al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/123 dan Ibnu Abi Wafa dalam Thabaqat alHanafiyah II/519

seolah beliau berkata kepada saya: Pergilah ke makam Yahya bin Yahya, mintalah
ampunan dan berdolah kepada Allah, maka hajatmu akan dikabulkan. Pagi harinya
saya melakukannya dan hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib
al-Tahdzib XI/261 dan al-Hafidz al-Dzhabi dalam Tarikh al-Islam 1756)
c) Makam Ma'ruf al-Kurkhi


404 / 13 343 / 9 )


(324 / 2
"Diriwayatkan dari Ibrahim al-Harabi, ia berkata: Makam Ma'ruf al-Kurkhi adalah
laksana obat yang mujarab. Yang ia maksud terkabulnya doa orang yang
membutuhkan di dekat makam tersebut. Sebab tempat-tempat yang diberkati
diharapkan doanya terkabulkan, sebagaimana doa saat waktu sahur dan setelah salat
lima waktu dan di masjid. Bahkan doa orang yang membutuhkan dikabulkan di
tempat manapun" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Siyar A'lam al-Nubala' IX/343
danTarikh al-Islam XIII/404, dan Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah II/324)


(









)

!


47 / 1 )

(232 / 5
"Penduduk Baghdad meminta hujan kepada Allah dengan pelantara Ma'ruf alKurkhi, dan mereka berkata: Makam Ma'ruf adalah obat yang mujarab. Abdurrahman
al-Zuhri berkata: Makamnya dikenal untuk terkabulnya kebutuhan. Dikatakan bahwa
barangsiapa membaca al-Ikhlas 100 kali di dekat makam Ma'ruf al-Kurkhi dan
meminta kepada Allah, maka Allah mengabulkannya. Begitu pula di makam Asyhab
dan Ibnu Qasim, murid Imam Malik. Keduanya dimakamkan di satu tempat di
Qarafah Mesir. Konon peziarahnya jika dating ke dua makam tersebut dengan
menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah, maka akan dikabulkan dan sudah
terbukti mujarab. Saya sudah menziarahinya dan membaca al-Ikhlas 100 kali di
dekatnya, saya berdoa kepada Allah dengan harapan sesuatu yang menimpa saya
hilang, dan ternyata hilang" (Ibnu al-Mulaqqin dalam Thabaqat al-Auliya' I/47 dan
Ibnu Khalkan dalam Wafiyat al-A'yan V/232)
d) Makam Musa bin Ja'far al-Kadhim


) / 1




(120
"Diriwayatkan dari Ali al-Khallal (pemuka Madzhab Hanbali), ia berkata: Saya tidak
pernah mengalami masalah lalu saya datang ke makam Musa bin Ja'far dan
bertawassul dengannya, kecuali Allah memudahkan kepada saya hal-hal yang saya
)inginkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/120
e) Makam Ali bin Musa al-Ridla
















) (339 / 7







"Abu Bakar bin Muammal berkata: Kami berangkat bersama pemuka ahli hadis Abu
Bakar bin Khuzaimah dan rekannya, Abu Ali al-Tsaqafi, beserta rombongan guru
kami untuk berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridla di Thus. Abu Bakar bin
Muammal berkata: Saya melihat ke-ta'dzim-an belia (Ibnu Khuzaimah) terhadap
makam itu dan sikap tawadlu' terhadapnya dan doa beliau yang begitu khusyu',
sampai membuat kami bingung" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al)Tahdzib VII/339
f) Imam Syafii Meminum Air Cucian Jubah Imam Ahmad

) (2/36

-


-















:

:




:








:












.


:











:





:



387


Dalam kitab Tarikh Dimasy-qi, diceritakan bahwa Imam Syafii bertabarruk pada
gamis Imam Ahmad. Rabi Berkata : Se-sungguhnya Imam Syafii pergi ke Mesir

Manaqib Ahmad ibn Hanbal: 455 dan Al Bidayah wa an Nihayah; Ibnu Katsir,10/331 dari al

387

Baihaqi

bersamaku,lalu berkata kepadaku: Wahai Rabi, ambil surat ini dan serahkan kepada
Imam Ahmad bin Hanbal, selanjutnya datanglah kepadaku dengan membawa
jawabannya!, Ketika memasuki kota Baghdad kutemui Imam Ahmad sedang shalat
subuh, maka aku pun shalat di belakang beliau. Setelah beliau hendak beranjak dari
mihrab, aku serahkan surat itu, Ini surat dari saudaramu Imam Syafii di Mesir,
kataku. Kau telah membukanya? tanya Imam Ahmad. Tidak, wahai Imam
Beliau membuka dan membaca isi surat itu, sejenak kemudian kulihat beliau
berlinang air mata. Apa isi surat itu wahai Imam? tanyaku. Isinya menceritakan
bahwa Imam Syafii bermimpi Rasulullah SAW, Beliau berkata: Tulislah surat
kepada Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Kabarkan padanya
bahwa dia akan mendapatkan cobaan, yaitu dipaksa mengakui bahwa al-Quran
adalah mahluk, maka janganlah diikuti, Allah akan meninggikan benderanya hingga
hari kiamat, tutur Imam Ahmad Ini suatu kabar gembira, kataku. Lalu beliau
menuliskan surat balasan seraya memberikan padaku qamis yang melekat di
kulitnya. Aku pun mengambil surat itu dan menyerahkannya kepada Imam Syafii.
Apa yang diberikan Imam Ahmad padamu? tanya Imam Syafii. Gamis yang
melekat dengan kulit beliau, jawabku. Lalu Imam syafii berkata:

Kami tidak akan merisaukanmu, tapi basahi gamis ini dengan air, lalu berikan
kepadaku air (bekas basuhan gamis) itu supaya aku bertabarruk dengannya."
Apa yang dilakukan imam syafii kepada air bekas basuhan gamis imam ahmad,

merupakan bentuk tabarruk, tabarrukan, mengambil berkah atau orang jawa mengatakan
"Ngalap berkah" dari orang-orang sholeh.
Ada sebagian orang yang menuduh dengan penuh kesombongan dan apriori (merasa
benar sendiri) bahwa hal tersebut merupakan bid'ah bahkan syirik. Tidaklah Mereka
mengatakan seperti itu kecuali karena ketidaktahuan mereka akan agama mereka kecuali
sedikit saja.

M. Memperingati Ulang Tahun Kelahiran


Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam yang didakwahkan oleh
para wali memiliki budaya bancaan/selamatan. Bancaan yang mereka laksanakan di
samping pada acara tingkepan sebagaimana yang disebutkan dalam bab yang telah lalu
ada lagi bancaan-bancaan yang lain, di antaranya :
1)
2)
3)
4)
5)

Bancakan pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.


Bancakan pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.
Bancakan pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.
Bancakan pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane bayi.
Bancakan pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane bayi.

6) Bancakan pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.


Ada juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari ulang anaknya.
Mereka menyebutnya bancaan tiron. Sebagian warga kita ada yang ikut-ikutan
mengadakan peringatan ulang tahun dengan acara dan upacara yang dikemas secara
khusus untuk kegiatan itu.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab sehubungan dengan masalah ini adalah :
a) Apakah ada dasar berupa dalil dari syara mengenai acara peringatan hari ulang
tahun kelahiran?
b) Kalau tidak ada, bagaimana hukumnya orang Islam mengadakan acara ulang
tahun itu?
Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap
proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa di dalam selamatan itu ada unsur-unsur
kebaikan, di antaranya: menyampaikan tahniah/ucapan selamat kepada sesama muslim,
mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana sedekah dan
bersyukur kepada Allah, serta mendoakan si anak semoga menjadi anak yang shalih dan
shalihah. Ini semua tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam.
Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara mengenai peringatan ulang tahun
kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil qiyas, yakni mengqiyaskan masalah ini dengan
perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa sewaktu sahabat Kaab bin
Malik menerima kabar gembira dari nabi saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka
sahabat Thalhah bin Ubaidillah menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahniah).
Berdasarkan riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang tahun adalah mubah,
bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan : selama
tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang
gambar patung (walaupun berukuran kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau
alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut termasuk
syiar orang-orang non muslim atau syiar orang fasik.
Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab aliqna juz I hal. 162 :

.








Artinya : Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari
salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun
tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan
tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang
selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahniah itu
mubah, tidak sunnah dan tidak bidah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah
masalah itu mengatakan bahwa tahniah itu disyariatkan, dalilnya yaitu bahwa
Imam Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : Maa
ruwiya fii qaulin nas dan seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits dan
atsar yang dlaif-dlaif. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan
dalil tentang tahniah. Secara umum, dalil dalil tahniahbisa diambil dari adanya
anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan
kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari
hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Kaab bin Malik
sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima
kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka
sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat
kepadanya.

N. Kupas Tuntas Legalitas Tawassul


Banyak kita dapati orang bertanya-tanya tentang masalah tawassul. Masalah ini
sebenarnya sudah dibahas secara tuntas oleh para ulama sejak dahulu dan diabadikan
dalam kitab-kitab mereka. Namun sayangnya, di zaman ini banyak orang jahil berfatwa
di sana-sini tanpa ilmu, bahkan tak sedikit yang mengkafirkan sesama muslim secara
massal karena permasalahan yang sebenarnya tidak sampai level takfir. Lalu bagaimana
sebenarnya?
Tulisan ini berusaha memaparkan penjelasan secara ringkas beserta dalil-dalil dari Al
Quran dan Sunnah beserta nukilan-nukilan perkataan para ulama Ahlussunnah tentang
masalah tawassul demi menyingkap kabut yang selama ini menyelimuti akal sebagian
orang.

1. Apa itu tawassul?


Tawassul secara bahasa artinya mendekat (taqarrub) atau menjadikan sesuatu sebagai
perantara untuk mendekatkan diri ke sebuah tujuan tertentu. Secara istilah, tawassul
berarti menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah SWT untuk mendekatkan diri
kepada-Nya. Perantara itu disebut wasilah. (lihat: Lisanul Arab, Asasul Balaghoh dan
Tartib Qamus Al Muhith: wa-sa-la)
Firman Allah SWT:




Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah
(jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya
kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 35)

Tawassul juga bisa bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara doa
dari orang lain, misalnya kita mengatakan kepada seseorang, Mohon doakan saya.
Berarti kita sedang bertawassul kepada Allah dengan doa orang itu.
Tawassul juga bisa bermakna berdoa kepada Allah secara langsung dengan
menyertakan wasilah dalam doa. Wasilah itu bisa berupa hal-hal berikut ini:
a) Amal shalih, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Misalnya kita mengatakan,
Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan shalat, puasa dan haji
yang aku lakukan, berikanlah aku kesembuhan.
b) Nama-nama Allah yang indah (asmaul husna) dan sifat-sifatNya yang tinggi
(shifatul ulya), misalnya, Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan
nama-namaMu yang mulia dan indah dan dengan sifat-sifatMu yang agung dan
tinggi, berikanlah kami hujan.
c) Nama-nama para nabi dan orang-orang shalih terdahulu misalnya, Ya Allah, aku
memohon kepadaMu dengan perantaraan nabi-nabiMu yang Engkau muliakan
dan orang-orang shalih yang Engkau cintai serta wali-waliMu yang Engkau
istimewakan, berikanlah kami keselamatan.
d) Arsy (kerajaan) Allah, misalnya, Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan
keagungan ArsyMu, berikanlah kami rezeki.
2. Mengapa harus bertawassul dan apa hukumnya?

Perlu diketahui bahwa bertawassul tidaklah wajib. Seandainya seseorang ingin


berdoa kepada Allah secara langsung tanpa menjadikan sesuatu apapun sebagai perantara,
maka hal itu tak mengapa. Namun, sebagai makhluk yang penuh dengan dosa dan
kemaksiatan, kita membutuhkan perantara yang dapat mengantarkan kita kepada tujuan
kita, Allah SWT. Perantara itu bisa berupa amal shalih atau doa orang shalih yang masih
hidup, sehingga kita sering meminta doa dari orang-orang yang kita anggap shalih
dengan harapan agar Allah berkenan mengabulkan doanya. Bukan karena kita tidak
percaya diri dengan doa kita, tapi untuk lebih menguatkan doa itu agar lebih mudah
diijabah oleh Allah. Hal ini lumrah dilakukan oleh setiap muslim.
Dalam ayat yang kita sebutkan di atas, Allah SWT memerintahkan kita untuk
mencari perantara agar dapat mempermudah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Ibnu Taimiah menganggap bertawassul dengan keimanan dan amal shalih sebagai
sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik ketika Rasulullah SAW masih hidup maupun
setelah beliau wafat, karena menurutnya, seseorang tak dapat selamat dari api neraka
kecuali dengan keimanan dan amal shalih. Oleh karena itu, bertawassul dengan kedua hal
itu adalah wajib hukumnya. (Qaidah Jalilah hal. 5, Mausuah Fiqhiyah Kuwaitiyah)
Dalam Al Quran, Allah juga memuji hamba-hambaNya yang bertawassul
kepadaNya.









Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah (jalan)
kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu
adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al Israa: 57)

Sejak zaman Nabi SAW hingga berabad-abad setelahnya, umat Islam terbiasa dengan
amalan yang dinamakan tawassul tersebut tanpa ada pengingkaran dari seorang pun.
Mereka terbiasa mencari-cari wasilah (perantara) yang dianggap dapat mengantarkan doa
mereka kepada Allah, misalnya dengan mendatangi orang shalih yang masih hidup untuk
dimintai doa, atau yang sudah mati untuk mengambil berkah kuburannya, atau bisa juga
menyertakan nama-nama orang shalih dalam doa mereka, misalnya, Ya Allah, dengan
kemuliaan Fulan, kabulkanlah doa kami.
3. Dalil-dalil Tawassul

Berikut ini dalil-dalil mengenai disyariatkannya tawassul.


a) Tawassul Dengan Nama Allah (Asmaul Husna)

Allah berfirman, Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al Araaf: 180)
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk bertawassul dengan asmaul husna.
Dalam hadis riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW
mengajarkan doa berikut ini:
388

Wahai Tuhan Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya),
dengan rahmatMu aku memohon pertolongan.
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah:

389
Tidak ada kesedihan dan kesusahan yang menimpa seseorang, kemudian ia berdoa
Ya Allah sesungguhnya aku hambamu, putra hambamu, putra amatmu, ubunubunku di tanganmu, hukum telah berlaku pada diriku, keadilan putusanmu ada
pada dirikuaku memohon kepadaMu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang
dengannya Engkau namai diriMu sendiri, atau yang Engkau turunkan di dalam
kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hambaMu, atau
yang Engkau istimewakan dalam ilmu ghaib milikMu agar engkau menjadikan alQuran bersemi di hatiku, bersinar didadaku, menglangkan kesusahanku dan
melenyapkan kesedianku kecuali Allah akan menghilangkan kesedihan dan
kesusahannya serta mengantikan dengan kegembiraan dan kebahagiaan
Dalam hadis riwayat Imran bin Hushain ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda:

388

HR. Tirmidzi, Nasai, Ibnus Sunni, Hakim, Baihaqi dalam Syuabul Iman dan Dhiya. Lihat: Al
Jami Al Kabir
389
HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Hakim dari Ibnu Masud. Lihat: Al Jami Al Kabir




390


Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah
dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang
membaca Al Quran lalu mereka meminta kepada manusia dengan Al Quran itu.
b) Tawassul Dengan Amal Shalih
Para ulama telah bersepakat (ijma) bahwa tawassul dengan amal shalih
diperbolehkan. Bahkan para ahli tafsir telah menafsirkan kata al-wasilah dalam QS Al
Maidah 35 dan Al Israa: 57 dengan amal shalih.
Dalam surat Al Fatihah ayat 5 dan 6 disebutkan amal shalih terlebih dahulu sebelum
disebutkan doa:

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Ayat itu memberi isyarat bahwa sebelum berdoa sebaiknya seseorang beramal shalih
telebih dahulu.
Serupa dengan ayat itu ada ayat-ayat berikut ini:

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah


beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa
neraka, (QS. Ali Imran: 16)




Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia:
Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama)
Allah? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: Kami lah penolongpenolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami
telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul,
karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi
(tentang keesaan Allah).

Dalam hadis riwayat Buraidah bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar seorang
lelaki berdoa:

390

HR. Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami Al Kabir

391













Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan (kesaksian) bahwa
Engkau adalah Allah, tiada tuhan selain Engkau, Tuhan Yang Tunggal dan segala
sesuatu bergantung kepadaNya, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak
ada satu pun yang setara denganNya.
Lalu Rasulullah SAW bersabda:










Sungguh kau telah memohon kepada Allah dengan perantara namaNya yang
paling agung, yang jika Dia diminta dengan nama itu Dia pasti memberi, dan jika
dipanggil dengan nama itu Dia pasti menjawab.(HR. Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah,
)Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban

Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar tentang tiga orang yang terjebak dalam gua
juga disebutkan tawassul dengan amal shalih. Hadis itu diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim sebagai berikut:









)

-






-



(











)





















(
)









)





(









391 985
^ 3475 3857 394 /4 7619 64 /38 22965
485 /2 4178 3/163 1640


: )














Rasulullah SAW bersabda: Ketika tiga orang pemuda sedang berjalan, tiba-tiba
turunlah hujan lalu mereka pun berlindung di dalam sebuah gua yang terdapat di
perut gunung. Sekonyong-konyong jatuhlah sebuah batu besar dari atas gunung
menutupi mulut gua yang akhirnya mengurung mereka. Kemudian sebagian mereka
berkata kepada sebagian yang lain: Ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan
untuk Allah, lalu mohonlah kepada Allah dengan amal tersebut agar Allah berkenan
menggeser batu besar itu. Salah seorang dari mereka berdoa: Ya Allah,
sesungguhnya dahulu aku mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia,
seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil di mana akulah yang
memelihara mereka. Setelah aku mengandangkan hewan-hewan ternakku, aku
segera memerah susunya dan memulai dengan kedua orang tuaku terdahulu untuk
aku minumkan sebelum anak-anakku. Suatu hari aku terlalu jauh mencari kayu
(bakar) sehingga tidak dapat kembali kecuali pada sore hari di saat aku menemui
kedua orang tuaku sudah lelap tertidur. Aku pun segera memerah susu seperti biasa
lalu membawa susu perahan tersebut. Aku berdiri di dekat kepala kedua orang tuaku
karena tidak ingin membangunkan keduanya dari tidur namun aku pun tidak ingin
meminumkan anak-anakku sebelum mereka berdua padahal mereka menjerit-jerit
kelaparan di bawah telapak kakiku. Dan begitulah keadaanku bersama mereka
sampai terbit fajar. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk
mengharap keridaan-Mu, maka bukalah sedikit celahan untuk kami agar kami dapat
melihat langit. Lalu Allah menciptakan sebuah celahan sehingga mereka dapat
melihat langit. Yang lainnya kemudian berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu aku
pernah mempunyai saudara seorang puteri paman yang sangat aku cintai, seperti
cintanya seorang lelaki terhadap seorang wanita. Aku memohon kepadanya untuk
menyerahkan dirinya tetapi ia menolak kecuali kalau aku memberikannya seratus
dinar. Aku pun bersusah payah sampai berhasillah aku mengumpulkan seratus dinar
yang segera aku berikan kepadanya. Ketika aku telah berada di antara kedua
kakinya (selangkangan) ia berkata: Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan
janganlah kamu merenggut keperawanan kecuali dengan pernikahan yang sah
terlebih dahulu. Seketika itu aku pun beranjak meninggalkannya. Jika Engkau
mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mencari keridaan-Mu, maka
ciptakanlah sebuah celahan lagi untuk kami. Kemudian Allah pun membuat sebuah
celahan lagi untuk mereka. Yang lainnya berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku
pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah enam belas ritel beras (padi).
Ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya, ia berkata: Berikanlah upahku! Lalu

aku pun menyerahkan upahnya yang sebesar enam belas ritel beras namun ia
menolaknya. Kemudian aku terus menanami padinya itu sehingga aku dapat
mengumpulkan beberapa ekor sapi berikut penggembalanya dari hasil padinya itu.
Satu hari dia datang lagi kepadaku dan berkata: Takutlah kepada Allah dan
janganlah kamu menzalimi hakku! Aku pun menjawab: Hampirilah sapi-sapi itu
berikut penggembalanya lalu ambillah semuanya! Dia berkata: Takutlah kepada
Allah dan janganlah kamu mengolok-olokku! Aku pun berkata lagi kepadanya:
Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, ambillah sapi-sapi itu berikut
penggembalanya! Lalu ia pun mengambilnya dan dibawa pergi. Jika Engkau
mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap keridaan-Mu, maka
bukakanlah untuk kami sedikit celahan lagi yang tersisa. Akhirnya Allah
membukakan celahan yang tersisa itu.
c) Tawassul Dengan Nabi SAW
Tawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon kepada Nabi SAW
agar mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada Allah dengan menyertakan nama
beliau dalam doa. Adapun yang pertama, yaitu memohon doa dari Nabi SAW, hal itu
sering dilakukan oleh para sahabat ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam
Al Quran:







Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS.
An Nisaa: 64)

Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin Hunaif
disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar mendoakan dirinya supaya
diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai
berikut:











Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan wajahku
kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur Rahmah. Wahai
Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan perantaraanmu kepada
Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia
pemberi syafaatku. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)

Hadis riwayat Anas bin Malik: Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari
Jumat dari pintu searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri
berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu berkata: Ya
Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada
Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan. Rasulullah saw. mengangkat kedua
tangannya dan berdoa: Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah
hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Kata Anas: Demi Allah,
di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung
tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk
melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan
perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan.
Demi Allah, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat berikutnya.
Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah
di sebut di atas ketika Rasulullah saw. sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau
sambil berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata
pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah berkenan
menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa: Ya Allah, di
sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di
pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan. Hujan pun reda dan kami dapat
keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (Shahih Muslim No.1493)
d) Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau Wafat
Permasalahan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat menjadi perdebatan
panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini. Jumhur ulama membolehkannya, di
antaranya adalah Malikiyah, Syafiiyah, Mutaakhirin Hanafiyah dan Mazhab Hambali,
sedangkan Ibnu Taimiah melarang sebagian dan membolehkan sebagian, dan Al Albani
melarang

seluruhnya.

Masing-masing

pendukung

membela

pendapatnya

serta

melemahkan pendapat lainnya.


4. Pendapat Malikiyah
Al Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika ditanya oleh
Abu Jafar Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas, Wahai Abu Abdillah (Imam

Malik), apakah saya harus menghadap Rasulullah lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu
berdoa?
Imam Malik menjawab, Mengapa kau memalingkan wajahmu darinya (Rasulullah)
padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapakmu Adam AS kepada Allah
pada hari Kiamat? Menghadaplah ke arahnya, lalu minta kepada Allah dengannya, Dia
akan menjadikannya pemberi syafaat bagimu.
Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam kitabnya, Fadhoil
Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang tak ada masalah. Juga
disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa melalui jalurnya dari para
pembesar masyayikhnya yang terpercaya.
5. Pendapat Syafiiyah
Imam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW, Kemudian orang
yang berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah Nabi SAW lalu bertawassul
dengannya dan memohon syafaat dengannya kepada Allah. (Al Majmu8/274)
Izzuddin bin Abdissalam berkata, Sebaiknya hal ini hanya berlaku untuk Rasulullah
SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam (manusia).
As Subki berkata, Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan meminta
syafaat dengannya kepada Allah SWT.
Dalam Ianat at Thalibin disebutkan, Aku telah datang kepadamu dengan
beristighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Tuhanku.
(Lihat: Faidhul Qadir 2/134/135, Ianat at Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash
Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib Al Bugho)
6. Pendapat Hanabilah
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, Disunnahkan bagi yang memasuki
masjid untuk mendahulukan kaki kanan kemudian anda masuk ke kubur lalu berkata
Aku telah mendatangimu dengan beristighfar dari dosa-dosaku dan memohon syafaat
denganmu kepada Allah.
Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.
7. Pendapat Hanafiyah
Adapun Hanafiyah, para ulama Mutaakhirin mereka telah membolehkan bertawassul
dengan Nabi SAW.

Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah kubur
Rasulullah SAW, kemudian dia berkata pada posisinya: Assalamualaika ya
rasulallah (salam bagimu wahai Rasulullah) dan memohon kepada Allah hajatnya
dengan bertawassul kepada Allah dengan Hadrat NabiNya SAW.
Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, Kami datang dari negeri yang jauh dan
memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami kemudia berkata: dengan memohon
syafaat dengan NabiMu kepadamu.
Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath Thahawi
terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, Kami telah datang mendengar
firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat dengan NabiMu kepadaMu.
8. Pendapat Imam Syaukani
Imam Syaukani berkata, Dan bertawassul kepada Allah dengan para nabiNya dan
orang-orang shalih. (Tuhfatu Adz Dzakirin karangan Syaukani 37)
9. Pendapat Ibnu Taimiah
Ibnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW tidak
diperbolehkan, karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW mengandung 3
kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam, yaitu beriman kepada Nabi
Muhammad SAW dan menaatinya, ini hukumnya boleh. Kedua, tawassul dengan doa
Nabi SAW, ini juga boleh sebagaimana Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW
dan paman Nabi, maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul dalam
arti bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak boleh.
10. Munaqasyah (Adu Argumentasi)
Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa juz 1 hal. 432 hadits no. 963 disebutkan:

Amr Ibn Ali memberitahukan kepada kami, dia mengatakan bahwa Abu Qutaiba
memberitahukan kepada kami, dia mengatakan bahwa Abdul Rahman bin Abdullah
bin Dinar memberitahukan kepada kami dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar
Ibn 'Umar melantunkan syiir Abi Thalib, yaitu:
Semoga awan putih disiramkan dengan pertolongan wajahnya.
Untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi janda janda.

Dari sanad yang muallaq dari Ibnu Umar, ia berkata, Sering saya mengingat
perkataan seorang penyair sambil saya melihat wajah Rasulullah memohon hujan, dan
beliau tidak turun sehingga tiap-tiap saluran (selokan) mengalir, Semoga awan putih
disiramkan (dijadikan hujan dengan pertolongan) wajahnya, untuk menolong anak-anak
yatim dan melindungi para janda. Syair itu adalah perkataan Abu Thalib.
Dari hadis di atas, jelas bahwa dahulu sebagian sahabat berdoa kepada Allah sambil
membayangkan wajah Rasulullah SAW dengan harapan agar doanya dikabulkan. Ini
adalah salah satu bentuk tawassul, yaitu dengan menjadikan bayangan wajah Rasulullah
SAW sebagai perantara (wasilah) dikabulkannya doa.
Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa juz 1 hal. 342 hadis no. 946 juga disebutkan:

Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar bin Al Khatthab apabila terjadi kemarau
panjang, dia selalu memohon hujan dengan wasilah (perantaraan) Abbas bin Abdul
Muthalib, lalu Umar berkata, Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu selalu
bertawassul dengan Nabi kami, kemudian Engkau turunkan hujan. Sesungguhnya
kami sekarang bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.
Anas berkata, Lalu mereka diberi hujan.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari berkomentar:






Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul (mengambil perantara)
dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa
memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan
kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW
sebagai perantara. Ibnu Rusyaid berkata, Mungkin yang dimaksud oleh penulis
(Imam Bukhari) dalam menulis judulnya adalah beliau ingin berargumen dengan
metode Al-Awla. Artinya, jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan
perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk
permintaan. (Fathul Bari 2/495)
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa dahulu Umar bin Khattab bertawassul
dengan Abbas, paman Nabi, dengan harapan agar doanya mudah dikabulkan. Beliau

menyebutkan nama Rasulullah kemudian Abbas dalam doanya. Ini juga merupakan salah
satu bentuk tawassul, yaitu menyertakan nama orang shalih dalam doa.
Dalam hadis riwayat Anas disebutkan doa Nabi SAW untuk Fathimah binti Asad:

392






Ya Allah yang menghidupkan dan yang mematikan, dan yang maha hidup tidak
akan pernah mati, Ampunilah dosa ibuku, Fathimah binti Asad, bimbinglah dia
mengucapkan hujjahnya, luaskankah tempat masuknya, dengan perantara hak
NabiMu dan para Nabi yang sebelumku, sesungguhnya Engkau Yang Paling
Pemurah.
Dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 hal. 256 hadis no. 778 disebutkan:



:
,

"
:

Artinya: Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa


keluar dari rumahnya menuju salat lalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku
memintamu dengan perantara orang-orang yang memintaMu dan dengan hak
jalanku, aku keluar tidak dengan rasa sombong, takabbru, riya dan sum,ah,
melainkan untuk untuk menghindari murkamu, dan mengharapkan ridlamu, aku
memohon kepadamu selamatkanlah aku dari nerakamu, ampuni semua dosa-dosaku,
sesungguhmua tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali kamumaka Allah
mengirimkan 70,000 malaikatnya untuk memintakan ampun atas dosa-dosanya, dan
Allah dengan wajahnya menghadap kepadanya sehingga ia merampungkan
shalatnya
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad juz 3 hal. 21 hadis no.
11172:











:





:


:





:
:

"











392

HR. Thabrani dan Abu Nuaim, di dalamnya terdapat perawi bernama Rauh bin Shalah, ditsiqohkan
oleh Ibnu Hibban, selebihnya perawinya adalah perawi shahih













Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa salah seorang sahabat mulia, yaitu Abu

Said Al Khudri bertawassul dengan manusia dan amal ibadahnya sebagai perantara
dikabulkannya doa.
Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW
mengajari salah seorang sahabat yang buta untuk membaca doa berikut ini:




:


:


:










:










"
" :



:


" :

:















Dari Ustman bin Hunaif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang
lelaki yang tertimpa musibah (buta matanya) kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu
mengatakan kepada Rasulllah; Berdoalah kepada Allah untukku agar Dia (Allah
swt) menyembuhkanku!. Kemudian Rasulallah ber- sabda: Jika engkau
menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika
engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu). Kemudian dia (lelaki tadi)
berkata: Mohonlah kepada-Nya (untukku)!. Rasulallah memerintahkannya untuk
mengambil air wudhu. kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat
dua rakaat. Kemudian ia (lelaki tadi) membaca doa tersebut: Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang meng- hampiri-Mu, demi
Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku
telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini
agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafaat bagiku.
Utsman bin Hunaif berkata; Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum
lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa
melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya..
Hadis di atas diriwayatkan oleh:
1. Imam Bukhari dalam Tarikh Kabirnya secara ringkas.
2. Imam Tirmidzi dalam Jaminya lalu beliau berkomentar, Ini adalah hadis shahih
gharib yang tidak kami ketahui kecuali melalui jalur ini. Syaikh Albani juga
menshahihkannya.

3. Ibnu Majah dalam Bab Shalat Hajat dari Sunnah-Sunnahnya dan dishahihkan oleh
Abu Ishaq. Syaikh Albani juga menshahihkannya.
4. Imam Nasai dalam kitabnya, Amalul Yaumi wal Lailah.
5. Imam Abu Nuaim dalam kitabnya, Marifatus Shahabah.
6. Imam Baihaqi dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah.
7. dll.
Hadis ini dishahihkan oleh sejumlah huffazh yang setidaknya jumlah mereka
mencapai 15 orang, sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari
dalam kitabnya Muhiqqu At Taqawwul. Mereka adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al
Hakim, Ath Thabrani, Abu Nuaim, Al Baihaqi, Al Mundziri, dll. Bagi yang ingin meneliti
sanad hadis ini silahkan baca buku yang saya tunjukkan tersebut.
Dalam hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah mengajarkan doa yang berisi
tawassul kepada beliau. Mengkhususkan doa tersebut untuk sebelum Rasulullah SAW
meninggal merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis dari Abu
Nuaim Al Asbahani dalam kitabnya,Dalailun Nubuwwah:

" :

:
- -
."
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir sebelum
diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah memohon kemenangan
terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan, Ya Allah, sesungguhnya kami
memohon pertolongan-Mu dengan (perantara) kemuliaan Nabi yang Ummi,
menangkanlah kami terhadap mereka. Lalu mereka pun menang. Namun ketika
orang yang mereka ketahui itu, yakni Muhammad, telah datang, mereka ingkar
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak sebelum
diutusnya Rasulullah SAW. Hadis di atas juga menjadi dalil diperbolehkannya
bertawassul dengan para nabi.
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam
Suyuthi menukil hadis lain dari penulis yang sama dan kitab yang sama:


:

:

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Mustadrak Al Hakim juz 2 hal 298 hadis no.
3042:



:
:

:


:

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 1 hal
461 hadis no. 411:

: :
: :

:
:

. : .
:
:
.
Dalam kitab Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 8 hal. 91 hadis no. 2974
disebutkan:



:

:







393

Malik Ad Dar berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab,
lalu datanglan seorang lelaki ke kubur Nabi SAW lalu berdoa: Wahai Rasulullah,
mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa.
Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda,
Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan
kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian..dst.
lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut.
Umar pun menangis kemudian berkata, Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali
dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
11. Syubhat seputar tawassul dan Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat seputar tawassul beserta jawabannya.
a) Syubhat pertama: Tawassul dengan orang mati tidak boleh???
Sebagian orang menuduh orang yang melakukan tawassul dengan orang mati

sebagai penyembah berhala, musyrik, dan lain-lain. Mereka membedakan antara


tawassul dengan orang yang masih hidup dengan yang sudah mati. Mereka lalu
menakwilkan hadis-hadis yang secara jelas, tegas dan lugas menyebutkan bolehnya
bertawassul dengan orang yang sudah mati. Sebenarnya mereka tak memiliki sandaran
yang kuat kecuali hadis Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun mereka menafsirkannya dengan
penafsiran yang kurang tepat dan menakwilkan teks tersebut dengan penakwilan yang
tidak pada tempatnya.
Di antara penafsiran tersebut adalah, menganggap bahwa Umar bin Khattab
bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, disebabkan Nabi telah meninggal dunia. Ini
adalah penafsiran batil sebagaimana akan kita jelaskan nanti. Adapun penakwilan
mereka adalah, menakwilkan perkataan Umar, Dahulu kami bertawassul dengan Nabi
kami dan Sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, mereka
menyisipkan tambahan kata yang tidak semestinya disisipkan, yaitu kata doa
sehingga bunyi perkataan Umar menjadi, Dahulu kami bertawassul dengan (doa)
Nabi SAW dan Sekarang kami bertawassul dengan (doa) paman Nabi. Jadi, mereka

(2/495) (7/92) (7/47) 393

menganggap bahwa Umar bertawassul dengan doa Nabi dan doa Abbas, bukan dengan
zat mereka berdua.
Adapun penafsiran mereka bahwa Umar bertawassul dengan Abbas dikarenakan
Nabi telah meninggal dunia, ini merupakan penafsiran yag tak berdasarkan dalil,
karena kata kunna (dahulu kami selalu) bermakna istimrar (berkelanjutan), artinya
dahulu mereka selalu bertawassul dengan Nabi, baik sebelum meninggal maupun
setelah meniggal. Kemudian baru ketika datang musim paceklik (Tahun Ramadah),
mereka memanggil paman Nabi untuk bertawassul dengan beliau, karena peristiwa
tersebut terjadi pada Tahun Ramadah. Mengkhususkan makna dahulu kami selalu
dengan dahulu (sebelum mati) kami selalu merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Jadi, tidak ada penunjukkan sama sekali bahwa tawassul yang dilakukan oleh para
sahabat hanya ketika Nabi belum meninggal saja.
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang yang lebih
rendah kedudukannya (paman Nabi) di samping orang yang lebih tinggi
kedudukannya (Nabi SAW). Namun kendatipun demikian, Umar tetap menyebutkan
nama Rasulullah SAW dalam doanya, baru kemudian menyebutkan nama paman Nabi
setelah itu. Itulah maksud perkataan Ibnu Rusyaid, Jika mereka dahulu meminta
kepada Allah dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka
mendahulukan beliau untuk permintaan.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah disebabkan oleh kedudukan
Abbas di sisi Nabi, yaitu kedekatan hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga
bertawassul dengannya sama dengan bertawassul dengan Nabi sendiri.
Adapun penakwilan bahwa yang dimaksud tawassul dengan Nabi dan Abbas di
situ adalah tawassul dengan doa mereka, ini adalah penakwilan batil. Karena tawassul
tidak selalu bermakna memohon doa. Memang adakalanya seseorang memohon doa
kepada orang lain untuk dirinya, tapi ini bukan satu-satunya makna tawassul
sebenarnya. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengomentari
hadis di atas beliau berkata, Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul
dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon
hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya,
yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara.

Artinya, tawassul yang dilakukan oleh Umar adalah tawassul dengan zat Nabi
dan zat paman Nabi, bukan dengan doa mereka. Mengkhususkan makna tawassul
hanya dengan doa merupakan pengkhususan tanpa dalil.
b) Syubhat kedua: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik Ad
Dar munkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya.?
Jawabnya, memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada. Imam Bukhari sering
meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya beliau
sering meringkas riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat
lain. Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu
Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu
Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh
sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.
c)

Syubhat ketiga: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh Imam
Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi.???

Jawabnya, tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu disebut
majhul. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat
Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Jika memang majhul, tidak mungkin Dua Hafizh
itu berani menshahihkan sanadnya.
d) Syubhat keempat: Bertawassul dengan orang mati merupakan perbuatan
orang musyrik sebagaimana disebutkan dalam QS Az Zumar: 3.???
Jawabnya, mari kita baca tafsir ayat itu dengan cermat. Ibnu Katsir berkata
dalam tafsirnya, Sesungguhnya yang telah menggiring mereka (musyrikin) ke arah
penyembahan berhala itu adalah karena mereka menjadikan berhala-berhala yang
diukir serupa malaikat menurut keyakinan mereka, sebagai sesembahan, mereka
menyembah berhala-berhala itu sebagai bentuk penyembahan terhadap malaikat agar
para malaikat itu dapat menolong mereka di sisi Allah nanti.
Pernyataan Ibnu Katsir di atas jelas menunjukkan bahwa sejak awal orang
musyrik memang tidak menyembah Allah saja, melainkan juga menyembah malaikat
yang diukir menjadi berhala-berhala itu. Inilah yang dinamakan syirik, yaitu
menyekutukan Allah dengan sesembahan lain. Berbeda dengan tawassul, orang yang

bertawassul memohon kepada Allah dengan menjadikan benda lain sebagai perantara.
Oleh karena itu, Umar mengawali doanya dengan kata, Ya Allah.
?12. Apakah masalah tawassul ini sampai pada level takfir
Mari kita simak nasihat Ibnu Taimiah. Setelah menyebutkan perbedaan pendapat
dalam masalah ini beliau berkata:








:







.



:

{





}


Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil pendapat
pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena masalah ini
adalah masalah khilafiyah, dalil-dalilnya tidak jelas dan terang. Kekufuran hanyalah
)bagi orang yang mengingkari perkara-perkara yang sudah maklum (diketahui
merupakan bagian dari agama secara pasti atau mengingkari hukum yang sudah
)mutawatir dan disepakati (ijma) atau semisal itu. (Majmu Fatawa 1/106
Analisa Hadis Malik Ad Dar Tentang Tawassul
Naskah Hadis




Telah mengabarkan kami Abu Muawiyah dari Al Amasy dari Abu Shalih dari Malik
Ad Dar ia berkata ia dahulu adalah bendahara Umar untuk urusan logistik, ia
berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan
seorang lelaki ke kuburan Nabi SAW lalu berdoa: Wahai Rasulullah, mintalah
hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa. Lalu lelaki
itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, Datanglah
kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa
kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian bersikap bijaksana,

hendaknya kalian bersikap bijaksana. Lalu lelaki itu mendatangi Umar dan
menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata,
Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu
melakukannya.
Studi Sanad
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (6/236 no.
32002), Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah (8/91 no. 2974) dan Al Khaliliy dalam Al
Irsyad (1/313-314). Tentang riwayat Al Baihaqi, Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan
Nihayah (7/105) berkata, Sanad hadis ini shahih. Sedangkan tentang riwayat Ibnu Abi
Syaibah, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/495) berkata, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar. Imam Bukhari dalam
At Tarikh Al Kabir (7/204 no. 1295) meriwayatkan dari Malik bin Iyadh bagian akhir
hadis ini, yaitu perkataan Umar, Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa
yang aku tidak mampu melakukannya.
Kesimpulan Hukum
Para ulama bersepakat mengenai bolehnya bertawassul dengan Nabi SAW, baik
ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat berdasarkan atsar di atas dan hadis-hadis
lainnya. Baca: Kupas Tuntas Masalah Tawassul
Syubhat Beserta Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat yang beredar tentang hadis Malik Ad Dar beserta
jawabannya.
Syubhat pertama: Di dalam riwayat tersebut terdapat perawi mudallis bernama Al
Amasy dan dia meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal an (dari). Padahal, seorang
mudallis tidak diterima hadisnya kecuali jika ia berkata haddatsana (ia telah
memberitahu kami), akhbarona (ia telah mengabarkan kami) dan semisalnya, bukan
qola (ia telah berkata) atau an (dari), karena kemungkinan ia mengambil hadis itu
dari perawi dhaif sehingga dapat menjadikan hadis itu menjadi lemah sebagaimana telah
maklum dalam Mustholahul Hadis.
Jawaban: Benar bahwa Al Amasy adalah seorang mudallis. Akan tetapi, tidak semua
ananahnya ditolak. Ananah Al Amasy dari Abu Shalih diterima dan dianggap
muttashil oleh para ulama. Ini adalah satu kekhususan dan keistimewaan ananah Al

Amasy dari Abu Shalih. Oleh karena itu, Imam Bukhari memasukkannya dalam
Shahihnya.
Syubhat kedua: Tidak diketahui apakah Abu Shalih pernah mendengar hadis dari
Malik Ad Dar atau tidak, karena Malik Ad Dar tidak diketahui kapan tahun wafatnya.
Jawaban: Pernyataan tersebut keliru, sebab penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad
Dar telah diketahui oleh para ahli hadis. Al Khalili berkata, Dikatakan bahwasannya Abu
Shalih As Sammaan telah mendengar hadis ini dari Malik Ad Dar, dan yang lain
mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya. (Al Irsyaad: 1/313). Pernyataan Al
Khalili tersebut jelas menunjukkan bahwa penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar
adalah maruf dan tidak diragukan lagi. Yang diragukan adalah penyimakannya tentang
hadis ini, bukan penyimakan secara umum dalam hadis-hadis lain. Perhatikan kata hadis
ini dalam pernyataan Al Khalili di atas, kata tersebut mengkhususkan keumuman
penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar dalam hadis-hadis lain. Lagipula, Abu Shalih
bukan seorang mudallis yang suka mengecoh orang lain dengan kata an untuk hadis
yang tidak ia dengar, sebagaimana kebiasaan para mudallisin.
Syubhat ketiga: Abu Shalih membawakannya dengan ananah, sehingga ada
kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus (munqathi).
Jawaban: Pernyataan itu juga keliru. Kemungkinan terputus itu sangat kecil bahkan
mendekati nol, karena Abu Shalih bukan seorang mudallis. Riwayat ananah
dipermasalahkan jika berasal dari perawi yang mudallis. Jadi ananah Abu Shalih
diterima dan dianggap muttashil karena Abu Shalih tsiqoh. Imam Bukhari juga
memasukkan ananah Abu Shalih ke dalam Shahihnya sebagaimana ananah Al Amasy
dari Abu Shalih.
Syubhat keempat: Orang yang mendatangi kubur Nabi SAW itu tidak diketahui
identitasnya (mubham).
Jawaban: Kemubhaman orang tersebut tidak berpengaruh apa-apa, karena yang
menjadi hujjah adalah sikap (taqrir) Umar. Beliau tidak mengingkari perbuatan lelaki
tersebut. Seandainya perbuatan itu keliru, pasti Umar sudah mengingkarinya.
Syubhat kelima: Malik Ad Dar bukan termasuk sahabat.
Jawaban: Tidak berpengaruh apakah dia sahabat atau bukan, karena yang menjadi
hujjah adalah sikap Umar terhadap perbuatan orang yang menemuinya itu.

Syubhat keenam: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik Ad Dar
mungkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Tarikhnya.
Jawabnya: Memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada atau mungkar. Imam Bukhari
sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya
beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat
lain. Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu
Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu
Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh
sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.
Syubhat ketujuh: Ibnu Hajar tidak menshahihkan sanad hadis itu secara keseluruhan,
melainkan hanya sampai Abu Shalih saja.
Jawaban: Ini adalah sebuah kecerobohan dan tuduhan yang tidak benar terhadap Ibnu
Hajar. Pernyataan Ibnu Hajar diselewengkan dari makna sebenarnya. Seandainya sanad
itu hanya shahih sampai Abu Shalih saja, pasti pernyataan Ibnu Hajar adalah seperti ini,
dengan sanad shahih sampai Abu Shalih, bukan dengan sanad shahih dari
riwayat Abu Shalih. Kata dari riwayat hanyalah penjelasan mengenai sumber riwayat
itu, bukan pembatasan bahwa yang shahih hanya sampai Abu Shalih saja. Berbeda
dengan kata sampai yang menunjukkan pembatasan. Hal itu maklum diketahui oleh
siapapun yang pernah membaca Fathul Bari secara keseluruhan dan mengamati istilahistilah yang digunakan oleh Ibnu Hajar di dalamnya.
Analisa: Hadis Utsman bin Hunaif Tentang Tawassul
Permasalahan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat menjadi perdebatan
panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini. Jumhur ulama membolehkannya, Ibnu
Taimiah melarang sebagian dan membolehkan sebagian, sedangkan Al Albani melarang
seluruhnya. Masing-masing pendukung membela pendapatnya serta melemahkan
pendapat lainnya.
Salah satu dalil yang membolehkan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Utsman
bin Hunaif tentang seorang buta yang mendatangi Nabi SAW untuk minta didoakan,
kemudian Nabi SAW mendoakan untuknya dan akhirnya ia bisa melihat. Dalam lafal doa
tersebut terdapat tuntunan bertawassul dengan Nabi SAW. Dalil kedua lebih tegas lagi,

hadis yang juga diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif setelah Nabi SAW wafat tentang
seorang lelaki yang mendatangi Utsman bin Affan untuk suatu keperluan namun ia
diabaikan, setelah itu ia mendatangi Utsman bin Hunaif (perawi hadis), kemudian oleh
Utsman bin Hunaif, lelaki itu diberi saran untuk melakukan amalan yang dahulu
diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada orang buta, lalu keinginan lelaki itu pun terkabul,
hadis ini menjadi dalil terkuat bagi pendapat yang membolehkan tawassul dengan Nabi
SAW setelah beliau wafat, dengan alasan bahwa hadis itu diriwayatkan setelah Nabi
SAW wafat dan yang meriwayatkannya adalah perawi yang sama dengan hadis pertama
yang disepakati kesahihannya oleh kedua belah pihak. Namun, dalil kedua ini
dipermasalahkan kesahihannya oleh Al Albani, kendatipun sejatinya tidak ada yang perlu
dipermasalahkan, sebab hadis itu juga disahihkan oleh salah seorang perawinya
sebagaimana akan kita bahas.
Berikut ini penjelasan mengenai kedua hadis di atas beserta takhrij dan statusnya.
Semoga dengan penjelasan ini kita dapat melihat permasalahan ini dengan jernih, objektif
dan jauh dari fanatisme kelompok tertentu. Selamat membaca.
Hadis ke-1394
Naskah Hadis
Redaksi dalam Musnad Ahmad:















Redaksi dalam Sunan At Tirmidzi:
394 , ,
, , ,
, , , ,

:






Redaksi dalam Sunan An-Nasai:

:





:




:





Redaksi dalam Sunan Ibnu Majah:

:
.
. .
.
. .

Redaksi dalam Shahih Ibn Khuzaimah:

:
: :
: :

Dari pernyataan Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa tindakan sebagian orang jahil
yang mengkafirkan sesama muslim karena permasalahan semacam ini tidaklah dapat
dibenarkan. Hal itu tak lain disebabkan oleh ketidakmampuan dirinya dalam
mendatangkan argumentasi ilmiah yang mampu bertahan di panggung dialog dan diskusi.
Akhirnya, mereka menggunakan senjata ampuh untuk melumpuhkan lawan diskusinya
yaitu dengan menjatuhkan vonis kafir, stempel bidah, cap musyrik dan sebagainya.
13. Bantahan Atas Argumen Lemah Dan Syubhat Wahabi Dalam Hal Tawassul
Melalui Orang Yang Telah Mati !!?
Salah satu landasan kaum Wahabi yang dijadikan dalil untuk melarang tawassul
adalah bahwa tawassul disamakan dengan meminta kepada orang yang telah mati, dan
hal itu adalah perbuatan syirik. Untuk memperkuat pemahamannya mereka sodorkan
surat an Naml ayat 80:

"Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang yang mati mendengar dan tidak
pula menjadikan orangyang tuli mendengar panggilan apabila mereka sudah
berpaling."
Ayat diatas menyamakan kaum musyrikin dengan orang yang telah mati. Apabila
orang yang mati tidak mampu mendengar ajakan kebenaran maka hal itu juga tidak akan
didengar oleh kaum musyrikin. Apabila orang yang telah mati dan orang yang tuli
mampu mendengar otomatis kaum musyrikinpun juga akan mampu mendengar seruan.
Dalil lain yang disodorkan oleh kaum wahabi adalah surat Fathir ayat 22 :


"Dan tiadalah sama orang yang hidup dan orang yang mati. Allah menjadikan siapa
saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah engkau menjadikan orang
yang di dalam kubur itu bisa mendengar."
Dengan ayat diatas kaum wahabiyyin berkeyakinan bahwa memohon sesuatu kepada
orang mati sama maka hukumnya sama dengan memohon sesuatu kepada benda mati.
Guna menangkis pendapat yang lemah dan syubhat diatas maka kita sampaikan
bahwa sangat disayangkan kelompok Wahabi dengan gampangnya mendistorsi makna
ayat suci al-Quran. Ayat-ayat yang dijadikan argumentasi tersebut sesungguhnya ingin

menyatakan bahwa tubuh tanpa nyawa yang terbaring dikubur sudah tidak bisa lagi
memahami sesuatu.
Sedangkan dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permohonan kita kepada
tubuh yang sudah tidak mempunyai nyawa, namun kepada ruh pemilik jasad tersebut
yang sudah hidup di alam kubur (barzakh). Dan dengan jelas Quran menyatakan, mereka
itu hidup.
Ringkasnya, kita bertawassul kepada mereka yang dinyatakan hidup oleh Quran,
bukan kepada benda mati.
Golongan wahabi menganggap bahwa sesudah manusia mati, ruh akan stagnasi
seiring sirnanya tubuh kasarnya. Oleh sebab itu, mereka menolak dengan keras adanya
kehidupan ruh para nabi dan lainnya sesudah kematian mereka.
Mereka juga menyatakan jika seseorang telah mati tidak bisa beramal lagi sebab
amalnya telah terputus selain tiga hal. Maka kita jawab : itu maksudnya mereka tidak bisa
beramal dalam arti tidak menerima taklif hukum sehingga tidak bisa mendapatkan pahala.
Buktinya dalam Hadits shahih para Nabipun melakukan shalat dikubur mereka. Ini
membuktikan bahwa mereka bisa beramal walau tanpa beban taklif.
Sehingga dalam Hadits/atsar shahihpun Nabi Saw yang sudah wafat juga mampu
mendo'akan kepada Allah bagi Umatnya yang saat itu kekeringan sehingga
diturunkannyalah hujan oleh Allah dengan sebab ada seorang sahabat yang telah
melakukan tawassul dengan Nabi yang sudah wafat.
Para ulama aswaja menolak pandangan Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul
Wahab yang mengingkari bolehnya tawassul dengan orang yang dekat dengan Allah
sesudah matinya.
Kholil Ahmad dari madzhab Hanafi mengatakan:
"Kami dan para ulama kami meyakini bahwa diperbolehkan bertawassul dalam
berdoa dengan para Nabi, solihin, auliya dan syuhada baik ketika mereka masih hidup
maupun sesudah meninggal.
Dan pendapat diatas juga disepakati oleh mayoritas umat Islam, hanya wahabi dan
variannyalah yang menyelisihinya.
14. Penutup

Demikianlah ringkasan penjelasan mengenai masalah tawassul. Bagi yang ingin


memperdalam dan menelaah lebih lanjut mengenai masalah ini silahkan baca
kitab Muhiqqu At Taqawwul fi Masalati At Tawassul karangan Syaikh Imam Muhammad
Zahid Al Kautsari (semoga Allah merahmati beliau). Kitab ini sudah dicetak,
disebarluaskan dan dijual secara bebas di toko-toko buku di Timur Tengah. Penulisnya
adalah salah seorang ulama yang hidup di zaman Kekhalifahan Turki Utsmani, seorang
ahli hadis, fikih, ushul dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Anda juga bisa mendapatkan
keterangan mengenai masalah ini dalam kitab Mausuah Fiqhiyah Kuwaitiyah
(Ensiklopedi Fiqh Kuwait). Wallahu alamu bis showab.
Semoga petunjuk Allah atas mereka !!.
N. Manaqib
1. Makna Manaqib
Kata manaqib adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya
adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya
seseorang. Oleh sebab itu kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia:
manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir
al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau
ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib Abu Lahab dan lain sebagainya.
2. Hukum Membaca Manaqib
Benar memang cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terkesan
terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi
dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah
berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau membaca cerita-cerita yang tidak masuk akal (khariqul-Adat), sebaiknya
jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi kita
teruskan. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai
Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit
yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra Miraj,
cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar darinya
unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan

orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak
masuk akal (khariqul-Adat).
Kalau yang keluar dari Nabi Allah itu memang mukjizat, padahal Abdul Qodir alJilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi
Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya
tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Taala
menghendaki, apakah kita dapat menghalang-halangi?
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya
mukjizat, sedangkan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah. Adakah dalil yang
menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat diberi kemampuan untuk mewujudkan halhal yang menyimpang dari adat?
Mari kita baca kisah-kisah dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman
yang diberi kemampuan dapat memindah Arsy Balqis (QS An-Naml(27): 40)



395

"berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab396: "Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman
melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia
Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmatNya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".
Memang di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani terdapat juga kata-kata memanggil
kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai
pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati
atau kepada orang tua kita yang masih hidup dengan penuh itikad bahwa pribadi wali
atau pribadi orang tua kita itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan
pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Taala itu hukumnya syirik. Akan tetapi
kalau dengan itikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Taala, maka itu tidak ada
395
396

Zabur.

QS An-Naml(27): 40
Al kitab di sini Maksudnya: ialah kitab yang diturunkan sebelum Nabi Sulaiman ialah Taurat dan

halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan kepada para wali itu
maksudnya adalah bertawassul minta dimohonkan kepada Allah Taala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Taala dengan langsung atau dengan
perantaraan (tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Taala itu Maha
Mengetahui dan Maha Mendengar. kita jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah
Taala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan kita memohon kenaikan pangkat
kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor kita. Pengertian tawassul yang
demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang dituju
(pihak atasan), kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan
terhadap kekuasaan pihak atasan, kita juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara.
Tawassul kepada Allah Taala tidak seperti itu.
Contoh sederhana tawassul kepada Allah Taala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali
itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu
tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah taala berfirman dalam al Quran al Karim
397

Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu.


398

Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya,...


399

Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah....
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa. kesemuanya itu sama sekali tidak melarang
tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah diterangkan tadi. Coba kita buat
perumpamaan berikut ini:
Kita mempunyai majikan yang kaya raya, perusahaannya besar, kita sudah kenal baik
dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. ada teman kita ingin
diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, ia mengajak kita
menghadap kepada majikan bersama-sama, dan ia pun berkata, Bapak pimpinan
perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin
397

QS.Al Mukmin(40): 60
QS.Al Mukmin(40): 14
399
QS.Al- Furqon(25): 68
398

saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya
ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang
baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak.
Coba kita perhatikan! kepada siapa ia memohon? Kemudian adakah gunanya ia
mengajak kita menghadap majikan besar itu?
Contoh lain, ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi
dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu
dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang
lebih mendapat empati (belas kasihan).? Tentu kita akan menjawab yang membawa anak
yang kecil-kecil itulah yang lebih mendapat empati. Kalau begitu adakah gunanya
pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah
pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu
meminta?
Salah satu budaya mengenang sejarah dan autobiographi wali adalah manaqib.
Manaqiban atau membaca manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk terus-menerus
menyambung tali silaturahmi dengan Syekh Abdul Qadir al Jailany yang dikenal dengan
sultanul aulia. Bagaimana dan apa di seputar manaqib itu.
Ayat di bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di belakang
orang-orang yang selalu berada dalam jalan kembali kepada Allah SWT.

400

"Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah
kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan."
Bersyukur kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa mendengar tausiah
atau nasehat para ulama yang tidak bosan-bosannya mendorong manusia agar
meningkatan kualitas iman ruhaninya. Bukan sekedar kata-kata, prilaku dan contoh
kehidupannya merupakan pelajaran yang amat berharga yang semestinya dijadikan
teladan bagi para murid-muridnya atau para simpatisannya. Semoga upaya para ulama ini
dapat kita ikuti baik yang mengaku murid-muridnya atau yang menyukai perjalan ruhani
menuju Mahabbah kepada Allah.

400

QS Luqman(31): 15

Salah satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah mengamalkan
manaqib. Manaqib yang dibaca adalah seputar prikehidupan Syeikh Abdul Qodir al Jilany
yang dikenal dengan Sulthanul Auliya. Dan dalam pembacaan manaqib ini biasanya salah
seorang memimpin bacaan yang terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya
dengan khusu mendengarkan secara aktif dengan memuji Allah dengan kalimat-kalimat
yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang mengerti bacaannya dapat menyelami
lebih dalam maksud dan pelajaran-pelajaran dari isi kitab tersebut. Sebab di dalamnya
berisi perikehidupan, kebiasaan dan kelebihan-kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak
mengerti akan diterangkan oleh gurunya.
Pembacaan manaqib ini mempengaruhi tingkat kerohanian para pengamal thareqah.
Karena dengan membaca manaqib diharapkan dapat mendapatkan limpahan kebaikan
dari Allah SWT (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul Qadir
Al Jilani terdapat autobiographi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di dalamnya
terdapat sejarah, nasihat, prilaku yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir
3. Pengertian dan Manfaat Manaqib
Menurut kamus Munjib dan Kamus Lisanul Arab, Manaqib adalah ungkapan kata
jama yang berasal dari kata Manqibah artinya At-thoriqu fi al jabal jalan menuju gunung
atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahuan tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul
karimah. Dari pengertian ini manaqib dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatkan
limpahan kebaikan dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan-kebaikan para
kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan para wali sangat
cinta kepada Allah. (Yuhibbuunallah wa yubibbuhum).
Sebagaimana ditulis dalam quran:



401

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah

401

QS. Al Maidah (5): 54

karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Ensiklopedi Islam mengartikan manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman
spiritual seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat cerita-cerita, ikhtisar
hikayat, nasihat-nasihat serta peristiwa-peristiwa ajaib yang pernah dialami seorang
syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumnya dan dirangkum
dari cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya, keluarga dan
sahabat-sahabatnya.402
Jadi, manakib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat hagiografis
(menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan teladan bagi pembacanya
disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat perantara
pembaca dengan Allah).
4. Manaqib adalah Tawasul
Mengenai masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdlan al-Buthi menyampaikan
bahwa tawassul dan tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul
Fiqh disebut dengan tanqihul manaath, dengan menjadikan bagian-bagian kecil
(tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut. Namun, alButhi dengan tegas mengatakan bahwa tawassul adalah tindakan sunnah dengan bukti
banyaknya dalil nash hadits yang shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah
bahwa beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau
simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah Nabi.403
Pada masa Rasulullah saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah
saw. pernah menyuruh Sahabat Umar ra untuk menemui Uways al Qarny r.a untuk
memintakan ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan
menjadi salah satu raja di surga.
Lebih jelasnya mengenai tawassul baca buku ini di bab kajian tawassul
5. Dalil Manaqib
Mendekati Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: .... dan ikutilah jalan orang

402
403

Ensiklopedi Islam: 152


Fiqh al-Sirah:177-178

yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan


kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Tafsir al Qurthuby mengartikan anaba ilayya kembali kepada-Ku (Allah SWT)
yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan demikian maka
mengikuti jalan orang-orang sholeh apalagi para ulama dan aulia merupakan anjuran
Allah dan Rasul-Nya. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yunus: 62)
Jadi dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah merupakan salah satu jalan
tempuh untuk memperoleh rakhmat dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan
manaqib ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami karakter serta sifat-sifat
wali Allah yang tujuan akhirnya adalah untuk diteladani.
Kalau Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup
setelahnya patut kita contoh. Salah satunya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany (Allah
telah mensucikan sir-nya) yang dikenal dengan sulthanul auliaa (Penghulu para wali).
Sebenarnya manaqib itu ada dalam Alquran seperti manaqib, ashabul kahfi,
Manaqib Raja Dzul Qurnain, Manaqib Lukman dan lain sebagainya. Adapun dalil yang
digunakan hujjah untuk memperbolehkan praktek manaqib yaitu dalam kitab Bughyat alMustarsyidin, hlm. 97.

.



"Tersebut dalam atsar: Rasulullah pernah bersabda: Siapa membuat sejarah orang
mukmin (yang sudah meninggal ) sama saja menghidupkan kembali; siapa
memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia sedang, siapa yang mengunjunginya,
Alloh akan memberikan surga".
Dalam kitab Jalauzh-Zhulam alaAqidatul awam dijelaskan



) .










)
"Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan,
agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya doa dan turunnya rahmat
didepan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka, baik masih hidup
ataupun sudah mati, dikuburan mereka ketika mengingat mereka, dan ketika orang

banyak berkumpul dalam berziarah kepada mereka, dan pembacaan riwayat hidup
mereka".
Diantara para pembaca manakib ada yang mengamalkan pembacaan manaqib ini
secara berkala mingguan, bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendaki. Atau dalam
moement-moment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir anak atau acara
walimahan. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh keberkahan dalam kehidupan
jasmani dan rohani dunia wal akhirat. Jadi tunggu apalagi, manakiban yuk Wallahu
alam
O. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW
1. Pengertian
Secara bahasa maulud adalah waktu kelahiran. Secara istilah diartikan sebagai:
Perayaan sebagai rasa syukur dan gembira atas kelahiran Rasul SAW yang biasanya
dilakukan pada bulan rabiul awal atau Mulud (Jawa).
2. Dalil-dalil perayaan Maulid Nabi SAW
a) Dalil Pertama,
Walaupun dalam kenyataannya tata cara perayaan Maulid Nabi SAW berbedabeda, Namun esensi dari peringatan Maulid Itu sama yaitu Marasa gembira dan
bersyukur atas kelhiran Rasululloh SAW yang mana kelahiran Rasululloh SAW
adalah sebuah anugerah Alloh kepada kita yang harus disyukuri, sebagaimana firman
Alloh SWT:
404


Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Alloh (kepada kalian),
maka bergembiralah mereka.
Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi
SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran,
405


Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Didalam Tafsir Ruuhul Maaani juz VIII halaman 41, karya Syeikh Al Alusi
(wafat tahun 1270 H) :
404
405

QS.Yunus(10):58
QS Al-Anbiya(21): 107











Imam Abusysyeikh mengeluarkan (meriwayatkan) dari shahabat Ibnu Abbas
radliyallaahu Taaalaa anhumaa :Sesungguhnya AL FADHL (karunia Allah)
adalah ilmu dan sesungguhnya ARRAHMAH (rahmat Allah) adalah Nabi
Muhammad shallallaahu alaihi wasallam.
Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan
shalawat itu diperintahkan oleh Allah Taala,

406

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai


orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah
salam sejahtera kepadanya.
Perayaan Maulid Nabi yang mulia adalah sebagai salah satu ungkapan wujud
kegembiraan dan kebahagiaan karena diutusnya Beliau. Bukankah berbahagia dan
bergembira karena kelahiran Beliau telah memberikan kemanfaatan kepada Abu
Lahab yang ekspresi kegembiraannya ketika kelahiran Rosululloh SAW, ia
memerdekakan budak perempuannya (Tsuwaybah) dan ia jelas-jelas kafir,
sebagaimana Hadits riwayat Imam Bukhory :


Imam Urwah bekata: Tsuwaibah adalah hamba sahaya Abu Lahab. Dia
memerdekakan Tsuwaibah, kemudian Tsuwaibah menyusui Nabi shallallaahu alaihi
wasallam.Ketika Abu Lahab meninggal, salah satu keluarganya bermimpi melihat
dia dalam keadaan yang buruk. Sebagian keluarganya tersebut bertanya: Apa yang
engkau temui?. Ia menjawab, Setelah meninggalkan kamu, aku tidak menemui
kebaikan kecuali aku diberi minuman didalam ini karena aku memerdekakan
Tsuwaibah.
Dalam Kitab Arf ut-Tarif bil Maulidisysyarif halaman 21, karya al-Hafizh
Syamsuddin bin al-Jazari (wafat tahun 823 H) :









:





406

QS. Al-Ahzab(33): 56

diriwayatkan bahwasanya Abu Lahab diperlihatkan di dalam mimpi setelah ia


mati, ditanyakan kepadanya, Bagaimana keadaanmu?. Ia menjawab, Di dalam
neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin. Aku menghisap air
diantara jari jemariku sekadar ini ia menunjuk ujung ibu jarinya-. Itu aku
dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar
.gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad



Jika Abu Lahab yang kafir, kecamannya disebutkan dalam al-Quran, ia diberi
balasan di dalam neraka karena gembiranya pada malam kelahiran Nabi
Muhammad shallallaahu alaihi wasallam, Lalu bagaimana dengan orang Islam
yang bertauhid dari umat Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wasallam, yang
mana dia gembira dengan kelahiran Nabi Muhammad shallallaahu alaihi
wasallam, dan memberikan sekedar kemampuannya karena kecintaan kepada
beliau, saya yakin balasannya di sisih Allah dengan anugerahnya Allah akan
memasukkan ke dalam surga

Adapun orang yang bermimpi bertemu dengan Abu Lahab adalah shahabat Abbas
radhiyallaahu anhu. Dalam kitab al Bidayah wa an Nihayah juz III halaman 407,
karya Al Hafizh Ibnu Katsier (wafat tahun 774 H) dijelaskan:




Imam Suhaili dan yang lainnya menuturkan bahwa orang yang bermimpi bertemu
Abu Lahab adalah saudaranya, shahabat Abbas. Hal itu terjadi setelah setahun
wafatnya Abu Lahab usai perang Badar. Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh
Imam Muslim dikatakan bahwa Rasululloh SAW mensyukuri hari kelahirannya
dengan berpuasa. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

) (



Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasululloh pernah ditanya
tentang puasa senin, maka beliau menjawab: Pada hari itulah aku dilahirkan dan
wahyu diturunkan kepadaku.(HR.Muslim:1977)
b) Dalil Kedua,


















.















Ustadz Imam al-Hafidz al-Musnid DR. Habib Abdullah Bafaqih mengatakan
bahwa hadis man azhzhama maulidy kuntu syafingan lahu yaum al-qiyamati
seperti diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh, juz 1,hlm 60, menurut Imam
Dzaraby sahih sanadnya.
c) Dalil ketiga,
Dalam kitab Madarij As-shuud Syarah al-Barzanji, hlm 15:



.














Rasululloh bersabda : Siapa menhormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan
syafaat kepadanya dihari Kiamat.
d) Dalil keempat,
Dalam Madarif as-Shuud, hlm.16














.




Umar mengatakan : siapa menghormati hari lahir Rosululloh sama artinya
menghidupkan Islam.
Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Shuyuthi (849-910 H/1445-1505
M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi SAW. Di dalam alHawi li al-Fatawi beliau menjelaskan: Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan
Maulid Nabi Saw pada bulan Rabiul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara.
Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala
ataukah tidak? Beliau menjawab, Jawabannya menurut saya bahwa semula
perayaan Maulid Nabi Saw,yaitu manusia berkumpul, membaca al- Quran dan
kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya.
Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setalah itu mereka
pulang. Hanya itu yang dilakukan,tidak lebih. Semua itu termasuk Bidah hasanah.
Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan darejat Nabi SAW,
manampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW,
yang mulia.(Al-Hawi li al-Fatawi,juz1,hal.251-252).

Al Hafizh Ibnu Hajar (wafat tahun 852 H) berkata, sebagaimana diterangkan oleh
al Hafizh As Suyuthi (wafat tahun 911 H) dalam kitab Al Haawi Lil Fataawi juz I
halaman 282:



)











Cukup jelas bagi saya, mengeluarkan (mendasarkan) amaliyah maulid atas
landasan yang kuat, yaitu hadits dalam hadist shahihain (shahih Bukhari dan
shahih Muslim) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang ke
Madinah, beliau menemukan orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, maka
beliau bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, Itu hari dimana Allah
menenggelamkan Firaun, menyelamatkan Musa, kami berpuasa sebagai
ungkapan syukur kepada Allah Taala.
Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana dikutip oleh Sayyid
Muhammad bin Alawi al-Maliki: Ibnu Taimiyyah berkata,Orang-orang yang
melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW, akan diberi pahala. Demikian pula yang
dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang
memperingati kelahiran Isa AS, dan ada kalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa
cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Allah SWT akan memberi pahala kepada
mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bidah yang
mereka lakukan.(Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nazhariyyah wa alTathbiq, hal 399).
Berkata Ibnu Taimiyyah :





)
)297 1
Maka mengagungkan Maulid Nabi SAW, dan menjadikannya sebagai musim raya
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia dan akan begitu adanya,
terdapat pahala yang besar didalamnya karena baiknya tujuan Mauild dan adanya
pengagungan pada Rosululloh SAW, sebagaimana yang telah aku sampaikan pada
anda. (Ibnu Taymiyyah dalam Iqtidhous Shirothil Mustaqim, Juz I hal 297)
3. Maulid-maulid dalam al-Quran

a) Maulid Nabi Isa


Dalam Al-Quran banyak tercantum maulid para nabi. Allah SWT mengisahkan
Nabi Isa A.S. secara runtun: mulai kelahirannya, lalu diutus sebagai rasul, hingga
diangkat ke langit. Coba tengok surat Ali Imran ayat 45 sampai 50. Di situ Allah SWT
memulai kronologi kisah Nabi Isa a.s. dengan firmanNya,







(ingatlah), ketika malaikat berkata: Hai Maryam, seungguhnya Allah
menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan
kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al masih Isa putera Maryam, seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan
(kepada Allah),
Dalam Surat Al Maidah ayat 110, Allah SWT lagi-lagi menegaskan sekali lagi
siapa sosok Isa a.s., Allah SWT berfirman,







(ingatlah), ketika Allah mengatakan: Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmatKu kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan dirimu dengan Ruhul
qudus. kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan
sesudah dewasa; dan (Ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah,
Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu
bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, Kemudian kamu meniup kepadanya,
lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan
(Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam
kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan
(Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup)
dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari
keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka
berkata: Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.
Ayat-ayat di atas mengurai sirah nabi Isa a.s. mulai jelang kelahirannya sampai
diangkat ke langit. Sebuah data yang tak bisa dibantah keontetikannya. Mengacu

terminologi maulid sebagai sirah, jalinan kisah di atas sah-sah saja bila diistilahkan
sebagai Maulid Nabi Isa a.s.
b) Maulid Nabi Yahya
Selain Nabi Isa a.s., Al-Quran juga mencatat biografi Nabi Zakaria dan maulid
Nabi Yahya Alaihimassalam. Dalam surat Maryam ayat 3 sampai 33, Allah
mengisahkan perjalanan hidup Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dengan panjang lebar,
dimulai dengan sebuah doa Nabiyullah Zakariya yang penuh pengharapan.




( 4)










( 5)








Ia Berkata Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku
telah ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada
Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadap mawaliku
(pengganti) sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka
anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi Aku dan
mewarisi sebahagian keluarga Yaqub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, sebagai
seorang yang diridhai.

Kemudian Allah menjawab permintaan rasul-Nya itu, sekaligus sebagai isyarat


akan lahirnya sang putra mahkota, Nabi Yahya a.s.,

Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan


(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum
pernah menciptakan orang yang serupa dengannya.

Selanjutnya, dengan bahasa yang indah, Al-Quran mengisahkan sirah Nabi


Zakaria a.s. dan putranya, Yahya a.s.. Sama seperti perjalanan hidup Nabiyullah Isa
a.s., sirah Nabi Yahya bisa pula diistilahkan sebagai Maulid Nabi Yahya karena,
hakikatnya, maulid adalah sirah. Begitu pun kisah Nabi Ibrohim, Nabi Ismail, Nabi
Ishak, Nabi Yakub, Nabi Yusuf, Nabi Musa dan lainnya.
c) Maulid Siti Maryam
Tak hanya para nabi. Al-Quran juga mendedah sejarah hidup sebagian kaum
shalihin. Salah satunya adalah Siti Maryam, sosok teladan bagi wanita sepanjang
masa. Kisah wanita mulia itu dibuka dengan sebuah nazar yang diucapkan seorang ibu
yang berhati tulus dalam surat Ali Imran ayat 35 sampai 37.










35.(ingatlah), ketika isteri Imran berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku
menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang
saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari
padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. 36. Maka tatkala isteri Imran melahirkan anaknya, diapun
berkata: Ya Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak
perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak
laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia
Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya
kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk. 37. Maka
Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: Hai Maryam dari mana kamu
memperoleh (makanan) ini? Maryam menjawab: Makanan itu dari sisi Allah.
Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa
hisab.
Dari ayat-ayat di atas bisa diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Maulid Nabi
SAW, yang memuat sirah Rasulullah SAW, adalah semacam epigon (pengikut) bagi
Al-Quranul Karim yang memuat sirah-sirah para nabi dan shalihin. Sebagai pemimpin
para nabi, sudah sepatutnya sejarah Nabi Muhammad dibukukan dan dibaca sesering
mungkin. Pentingnya mengenang perjalanan hidup Baginda Nabi SAW sangat
dirasakan umat Islam pada periode akhir-akhir ini, tatkala berbagai figur non muslim
ditawarkan oleh media-media secara gencar.
d) Hari Istimewa
Perlu diketahui, sejatinya Allah SWT juga menjadikan hari kelahiran Nabi SAW
sebagai momen istimewa. Fakta bahwa Rasul SAW terlahir dalam keadaan sudah
dikhitan407 adalah salah satu tengara. Fakta lainnya:

407

Almustadrak ala shahihain hadits no.4177

Pertama, perkataan Utsman bin Abil Ash Atstsaqafiy dari ibunya yang pernah
menjadi pembantu Aminah r.a. ibunda Nabi SAW. Ibu Utsman mengaku bahwa tatkala
Ibunda Nabi SAW mulai melahirkan, ia melihat bintang bintang turun dari langit dan
mendekat. Ia sangat takut bintang-bintang itu akan jatuh menimpa dirinya, lalu ia
melihat kilauan cahaya keluar dari Ibunda Nabi SAW hingga membuat kamar dan
rumah terang benderang (Fathul Bari juz 6/583).
Kedua, Ketika Rasul SAW lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud (Sirah
Ibn Hisyam).
Ketiga, riwayat yang shahih dari Ibn Hibban dan Hakim yang menyebutkan
bahwa saat Ibunda Nabi SAW melahirkan Nabi SAW, beliau melihat cahaya yang
teramat terang hingga pandangannya bisa menembus Istana-Istana Romawi (Fathul
Bari juz 6/583).
Keempat, di malam kelahiran Rasul SAW itu, singgasana Kaisar Kisra runtuh, dan
14 buah jendela besar di Istana Kisra ikut rontok.
Kelima, padamnya Api di negeri Persia yang semenjak 1000 tahun menyala tiada
henti (Fathul Bari 6/583).
Kenapa peristiwa-peristiwa akbar itu dimunculkan Allah SWT tepat di detik
kelahiran Rasulullah SAW?. Tiada lain, Allah SWT hendak mengabarkan seluruh alam
bahwa pada detik itu telah lahir makhluk terbaik yang pernah diciptakan oleh-Nya,
dan Dia SWT mengagungkan momen itu sebagaimana Dia SWT menebar salam
sejahtera di saat kelahiran nabi-nabi sebelumnya.
4. Hikmah maulid
a) Allah Menempatkan Raulullah Dalam Posisi Terbaik dan Ideal
Dalam kitab-kitab Tarikh (sejarah) telah disebutkan bahwa ketika perang Badar
terjadi umat Islam mengalami kemenangan. Saat itu pula ada seorang paman
Rasulullah bernama Sayidina Hamzah bin Abdul Mutallib yang telah banyak
membunuh orang-orang kafir. Diantara korban yang terbunuh adalah Abu Sufyan bin
Harb seorang suami dari Hindun binti Utbah. Ia merasa ingin membalas dendam atas
kematian suaminya dengan membunuh Hamzah. Maka saat perang Uhud, dimana
umat Islam kalah, kala itu Hindun menyewa budak bayaran bernama Wahsyi untuk
membunuh Hamzah. Ketika perang terjadi, dengan liciknya Wahsyi menghunus

tombak kearah Hamzah dari belakang hingga Hamzah pun tersungkur jatuh dan
meninggal.
Kekejaman kafir Quraisy saat mengalahkan umat Islam sangat tidak manusiawi.
Banyak korban dari Sahabat Rasulullah Saw yang dimutilasi, dipotong-potong anggota
tubuhnya, termasuk Sayidina Hamzah. Bahkan kekejaman Hindun sampai mengambil
jantung Hamzah. Dan korban meninggal umat Islam dari Muhajirin berjumlah 6 orang
dan dari Anshar sebanyak 64 orang. Melihat keadaan demikian Rasulullah dan para
sahabat merasa sedih dan marah, maka wajar jika para sahabat mengecam dan
memberi ancaman: Sungguh jika kami mengalahkan mereka, maka kami akan
membalas seperti mereka (memutilasi). Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah sedih
melihat kondisi Hamzah beliau berkata: Saya akan balaskan untukmu 70 orang dari
kafir Quraisy. Kemudian Allah menurunkan ayat yang artinya: Dan jika kamu
memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang sabar (an-Nahl: 126), kemudian Rasulullah
bersabda: Kami akan bersabar, dan tidak membalas dendam (Diriwayatkan oleh
Turmudzi, ia menilai hasan, juga oleh an-Nasai, Abdullah bin Ahmad Hanbal dalam
Zawaid Musnad, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah dan al-Hakim, ia
menilainya sahih)
Dalam riwayat ini, ada dua sisi aspek dalam diri Rasulullah. Pertama, sebagai
seorang manusia Rasulullah juga memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya, seperti
senang, marah, makan minum, menikah, memiliki anak dan sebagainya. Maka
kemarahan Rasulullah atas kejadian mengenaskan diatas adalah bagian dari diri
Rasulullah sebagai manusia, yang sahabat dan kerabatnya dibunuh secara tragis.
Kedua, sebagai utusan Allah, yang memiliki jiwa dan rohani ketuhanan yang setiap
ucapannya berupa wahyu, dalam hal ini beliau berada di atas rata-rata manusia pada
umumnya. Oleh karenanya ketika Allah memberi pilihan kepada beliau berupa Boleh
membalas dendam sesuai yang dilakukan oleh orang-orang kafir atau opsi bersabar,
maka dengan tegas dan tanpa ragu Rasulullah memilih opsi bersabar, karena disisi
Allah itu adalah pilihan terbaik.

)184 / 6 ) -



:


:
} :
{ :
. . .
. ) - / 6 )184

:

:


.
}

{ . . . .

Dan teramat banyak kisah Rasulullah Saw yang menunjukkan sifat-sifat mulia,
sehingga Allah pun memuji beliau yang artinya:
408


Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung
Karena Rasulullah Saw telah mampu menempatkan posisi yang terbaik dan ideal,
maka Allah menilai Rasulullah Saw sebagai panutan, suriteladan, dan memerintahkan
umatnya meneladani Rasulullah Saw:

409

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
)bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah
b) Mencintai Rasulullah Saw
Ketika Rasulullah telah menjadi makhluk terbaik dan pujian Allah makin
mengokohkannya, maka Rasulullah adalah orang yang layak untuk dicintai. Bahkan
Rasulullah Saw menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai kesempurnaan keimanan:
al-Qalam(68): 4
al-Ahzab(33): 21

408
409

Demi tuhan yang jiwaku di tangannya, keimanan diantara kalian tidaklah


sempurna, sehingga Aku (Muhammad) lebih ia cintai dibanding orangtua dan
anaknya (HR Bukhari dan Muslim).

Dan dalam riwayat sahih lainnya disebutkan bahwa kecintaan kepada Allah dan
Rasulnya, seseorang dapat merasakan manisnya iman. Bagaimana menumbuhkan rasa
cinta kepada Rasulullah? Cinta adalah sebuah rasa dalam hati yang selalu ingin
mendapatkan yang ia inginkan. Cinta ditimbulkan oleh fakto-faktor diluarnya yang
dapat mempengaruhi hati. Artinya, cinta ada yang bersifat watak seperti lelaki pada
wanita, dan ada yang bersifat diusahakan. Misalnya awalnya seseorang membenci
kawannya karena tidak mengetahui kepribadiannya, maka ketika kawannya tersebut
dermawan dan sering memberi uang kepadanya, maka dengan sendirinya akan timbul
rasa cinta kepadanya.
Begitu pula cinta kepada Rasulullah Saw. Umat beliau yang belum meincintainya
karena tidak ada dorongan yang bisa mewujudkan rasa cinta kepadanya. Ketika
seseorang mengetahui kepribadian Rasulullah, kesempurnaan perangainya, penerima
wahyu Allah, sosok makhluk yang diberi hak untuk memberi syafaat nanti di hari
kiamat, dan keistimewaan lainnya, maka akan menjadi pendorong dan stimulus untuk
mencintai Rasulullah saw.
c) Meneladani Rasulullah Saw
Setidaknya ada 3 bahasa dalam al-Quran terkait masalah ini, yaitu Athiuu Allah
wa Rasuulahu (Patuhilah Allah dan Rasul-Nya), Fattabiuunii (Maka ikutilah aku)
dan Fi Rasulillahi uswatun hasanatun (Dalam diri Rasulullah terdapat keteladanan
yang baik).
Kendatipun cinta bagian dari perilaku hati, maka wujud nyata dari kecintaan
adalah mematuhi mengikuti, dan meneladani. Sementara jika ketiga hal ini tidak
dilakukan, maka cintanya adalah dusta. Dan dengan tidak mematuhi Rasulullah,
berarti telah secara sadar menolak untuk masuk surga, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad Saw:


- -




"

.
.

410


"







Artinya: Semua ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan (menolak).
Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, siapa yang menolak? Rasulullah Saw
bersabda: Barangsiapa mematuhiku maka ia masuk surga, dan barangsiapa
durhaka kepadaku, maka ia telah menolak masuk surga
Mematuhi, mengikuti dan meneladani mencakup banyak hal, diantaranya
kewajiban dalam agama yang diperintah oleh Rasulullah Saw, seperti salat, juga
kesunahan-kesunahan seperti salat Dluha, menjauhi hal-hal yang makruh, haram dan
hal-hal yang dilarang, sebagaimana firman Allah

yang artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (al-Hasyr: 7)

Berdasarkan ayat ini, yang harus ditinggalkan adalah yang dilarang oleh
Rasulullah, bukan sesuatu yang tidak beliau amalkan. Hal ini diperkuat sabda beliau:

yang artinya: Apapun yang aku larang bagi kalian maka jauhilah. Dan apapun
yang aku perintahkan maka lakukanlah sesuai kemampuanmu (HR Bukhari dan
Muslim)
Sementara amaliyah yang tidak dijelaskan oleh Rasulullah tentang keharamannya
dan yang tak beliau amalkan, maka boleh dilakukan selama tidak mengarah kepada
perbuatan haram. Sebagaimana sabda Nabi Saw:




: :

















" (









)"

Apa yang telah dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya adalah halal. Apa yang
ia haramkan adalah haram. Sesuatu yang ia diamkan (tidak dijelaskan halalharamnya) adalah sebuah dispensasi, maka terimalah dispensasi dari Allah:
Tuhanmu tidaklah pelupa (HR Bazzar dan Thabrani, para perawinya
terpercaya)

410

HR Bukhari No 7280

Dengan demikian, sebuah usaha dan upaya yang menjadi media dalam berbagai
tradisi untuk mencapai kecintaan dan keteladanan kepada Rasulullah Saw adalah
diperbolehkan, sebagaimana dalam Maulid Nabi dan sebagainya. Hal ini sesuai kaidah
Lil wasaaili hukm al-Makashid (Media memiliki hukum sesuai tujuannya).
Peringatan maulid nabi SAW sarat dengan hikmah dan manfaat. Di antaranya:
mengenang kembali kepribadian Rasulullah SAW, perjuangan beliau yang penuh
pelajaran untuk dipetik, dan misi yang diemban beliau dari Allah SWT kepada alam
semesta.
Para sahabat radhiallahu anhum kerap menceritakan pribadi Rasulullah SAW
dalam berbagai kesempatan. Salah satu misal, perkataan Sad bin Abi Waqash
radhiyallahu anhu, Kami selalu mengingatkan anak-anak kami tentang peperangan
yang dilakukan Rasulullah SAW, sebagaimana kami menuntun mereka menghafal satu
surat dalam Al-Quran.
Ungkapan ini menjelaskan bahwa para sahabat sering menceritakan apa yang
terjadi dalam perang Badar, Uhud dan lainnya, kepada anak-anak mereka, termasuk
peristiwa saat perang Khandaq dan Baiatur Ridhwan.
Selain itu, dengan menghelat Maulid, umat Islam bisa berkumpul dan saling
menjalin silaturahim. Yang tadinya tidak kenal bisa jadi saling kenal; yang tadinya
jauh bisa menjadi dekat. Kita pun akan lebih mengenal Nabi dengan membaca Maulid,
dan tentunya, berkat beliau SAW, kita juga akan lebih dekat kepada Allah SWT.
Sempat terbesit sebuah pertanyaan dalam benak, kenapa membaca sirah baginda
rasulullah mesti di bulan maulid saja? Kenapa tidak setiap hari, setiap saat? Memang,
sebagai tanda syukur kita sepatutnya mengenang beliau SAW setiap saat. Akan tetapi,
alangkah lebih afdhal apabila di bulan maulid kita lebih intens membaca sejarah hidup
beliau SAW seperti halnya puasa Nabi SAW di hari Asyura sebagai tanda syukur atas
selamatnya Nabi Musa as, juga puasa Nabi SAW di hari senin sebagai hari
kelahirannya.
Nah, sudah saatnyalah mereka yang anti maulid lebih bersikap toleran. Bila perlu,
hendaknya bersedia bergabung untuk bersama-sama membaca sirah Rasul SAW. Atau,
minimal sebagai muslim hendaknya merasakan gembira dengan datangnya bulan

Rabiul Awal. Sudah sepantasnya di bulan ini kita sediakan waktu untuk mengkaji lebih
dalam sejarah hidup Rasul SAW. Jangan lagi menggugat maulid!
P. Mencium Tangan dan Sungkem
Saya takjub dengan sebagian sikap orang yang merasa paling benar sendiri terlalu
bersemangat dalam menyalahkan perbuatan kaum nahdliyin, apakah mereka menyangka
bahwa kaum nahdliyin dan para ulama itu melakukan suatu hal tanpa landasan? Jika kita
negative thinking dengan imej bahwa dunia ini telah dipenuhi khurafat dan bidah maka
belum apa-apa kita akan cenderung berprasangka bahwa perbuatan sebagian saudara kita
adalah bidah. Namun jika kita positive thinking dan berprasangka baik, maka kita akan
berusaha mengetahui lebih dahulu apa yang menjadi landasan perilaku mereka dan
berprasangka baik bahwa tindakan itu mungkin saja ada dasarnya.
1. Firman Allah Tentang Penghormatan Kepada Nabi Atau Orang Yang Sholeh
Di dalam Al-Quran diceritakan bagaimana kedua orang tua Nabi Yusuf a.s.
merebahkan diri seraya bersujud kepada Nabi Yusuf a.s. Ketika itu Nabi Yusuf a.s.
menduduki jabatan sebagai menteri keuangan negeri Mesir setelah sebelumnya dibohongi
dan dimasukkan sumur oleh saudara-saudaranya, lalu dilaporkan telah meninggal kepada
Bapaknya yaitu Nabi Yaqub a.s.

411

Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya)


merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf (khorru lahu sujjadan). Dan berkata
Yusuf: Wahai ayahku inilah tabir mimpiku yang dahulu itu.
Maka karena hormat dan takjub dengan takdir Allah yang telah menyelamatkan Nabi
Yusuf a.s. dari segala tipu daya, kedua orangtuanya merebahkan diri (khorru lahu
sujjadan). Padahal bapaknya Nabi Yusuf a.s. juga seorang Nabi, yaitu Nabi Yaqub a.s.
anak Nabi Ishaq a.s. cucu Nabi Ibrahim a.s. Maka jangankan mencium tangan dan
membungkukkan badan, bahkan tersungkur dan bersujud pun boleh karena hal itu bukan
dimaksudkan untuk menyembah makhluk melainkan sujud penghormatan.
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini tidak menafikkan makna merebahkan diri
dan bersujud itu. Ibnu Katsir berkata : maksud khorru lahu sujjadan yaitu bersujud
411

Q.S. Yusuf [12] : 100

kepada Yusuf kedua orangtuanya dan semua saudara kandungnya yang jumlahnya ada
sebelas orang.412
Di dalam ayat lain Allah memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam as.:

413

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Sujud yang dilakukan malaikat kepada Adam as. di sini berarti menghormati dan
memuliakan Adam, bukan sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan
diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
Hal ini untuk membantah kelompok puritan yang terlalu bersemangat dalam ghiroh
Islam kemudian secara berlebihan menganggap cara penghormatan dengan mencium
tangan dan membungkuk adalah sebagai pebuatan bidah bahkan syirik. Kita tidak bisa
memvonis dan menyimpulkan suatu perbuatan hanya dari melihat perilaku lahiriyah atau
tampak luarnya saja. Apakah setiap orang yang membungkuk, atau bahkan tersungkur di
hadapan sesuatu lantas dipastikan maksud tujuannya adalah menyembah sesuatu
tersebut? Tentu saja tidak. Hanya orang bodoh yang secara serampangan mengambil
kesimpulan seperti itu. Semestinya kita tanyakan dulu apa maksud Anda membungkuk
atau bersujud itu? Apakah menyembahnya?
Di hari raya Lebaran orang Jawa dan sebagian Sunda memiliki tradisi sungkeman,
yaitu memohon maaf pada orang tua dengan cara mencium lutut orang tua dan kakek
nenek. Dalam prosesi pernikahan jawa kedua mempelai sungkeman kepada kedua orang
tua, dan mempelai perempuan sambil bersalaman mencium tangan mempelai laki-laki.
Dilingkungan pesantren santri ketika bersalaman mencium tangan kyai dsb.
Sebagian kalangan muda Islam yang baru getol getolnya belajar agama dari ulama
yang tidak memiliki sanad keilmuan, dengan serta merta menolak hal itu dan
menganggap hal ini sebagai bidah atau pengkultusan pada orang tua. Memang, kadang
kala semangat seperti ini bagi sebagian darah muda terasa heroik karena nyata benar

412
413

Tafsir Ibnu Katsir Jilid 13 hal 58


QS. Al Baqarah(2): 34

bedanya antara kondisi dia setelah mengaji dengan ketika belum kenal pengajian.
Namun apakah benar Islam mengharamkan hal ini??
2. Hadits-Hadits Tentang Mencium Tangan Yang Derajatnya Shahih atau Hasan
Sebenarnya hadits-hadits yang menerangkan bahwa para sahabat mencium tangan
Nabi s.a.w. diriwayatkan oleh berbagai perawi hadits. Bahkan sebagian ulama ahli hadits
seperti Abu Bakar Ibn Al-Muqri Al- Ashbihani, menulis kitab khusus membahas masalah
mencium tangan berjudul Juz fii Taqbil Al-Yad. Berikut ini adalah beberapa hadits
shahih yang menyebutkan tentang mencium tangan dan kaki Rasulullah s.a.w.








Telah menceritakan kepada kami Muhaamad Ibnu Basysyar ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Umar, ia berkata, telah mengabarkan kepada
kami Israil dari Maisarah bin Habib dari Al Minhal bin Amru dari Aisyah binti
Thalhah dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. ia berkata, Jika Fatimah datang
menemui beliau, maka beliau berdiri, meraih tangannya, mencium dan
mendudukkannya di tempat duduknya. Dan jika beliau datang menemuinya, maka ia
akan meraih tangan beliau, mencium dan mendudukkannya di tempat duduknya.
(H.R. Abu Daud No. 4540) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih

,


,

"
:


414








Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isa bin Ath-Thabba ia berkata,
telah menceritakan kepada kami Mathar bin Abdurrahman Al Anaq ia berkata,
telah menceritakan kepadaku Ummu Aban bintil Wazi bin Zari dari kakeknya Zari
saat itu ia sedang bersama rombongan utusan Abdu al-Qais, ia berkata, Ketika
kami tiba di Madinah, kami saling berlomba memacu kendaraan kami, lalu kami
mencium tangan dan kaki beliau s.a.w.

Dan dari hadits yang Jayyid (bagus sanadnya) adalah riwayat Azzari Al-Abdi,
ketika rombongan Abdul-qais berkata : kami berebutan turun dari tunggangan kami,
dan kami mencium tangan Nabi s.a.w dan kaki beliau s.a.w.415 Hadits yang senada juga
414

H.R. Abu Daud No. 4548. At-Thabrani, 5/275. Al-Baihaqi, 7/102 Nashiruddin Al-Albani
mengatakan hadits ini hasan.
415
H.R. Abu Daud No 2271

diriwayatkan dari Mazidah Al Ashrii dengan riwayat yang sama, dan dari hadits Usamah
bin Syariik, berkata:

416

"kami berdiri untuk mencium tangan Nabi s.a.w.




"











"

Dari hadits riwayat Jabir dijelaskan:bahwa Umar bin Khathab berdiri di hadapan
Nabi saw. Kemudian mencium tangan beliau

Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai) dari
Aisyah, bahwa ia berkata:



.














Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah
dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada
Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan
Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di
tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka
Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian
mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya.

" :








:


















". 417
...... dari Abu Jahiifah r.a. : Kulihat para sahabat mengambil kedua tangan beliau
dan mengusapkannya ke wajah mereka, maka kuambil pula tangan beliau dan
kututupkan ke wajahku, maka sungguh tangan itu lebih sejuk dari es dan lebih wangi
dari misik















418




416

Menurut Ibnu Hajar di dalam kitab al-Fath, hadits ini sanadnya kuat
H.R. Bukhari No. 3311 Bab Manaqib
418
Fath al-Bari Ala Syarh al-Bukhari li al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani Juz. 11. Hlm. 48
417

"Abu Lubabah dan Kaab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot
karena tak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi s.a.w. ketika taubat
)mereka diterima oleh Allah". (H.R. Baihaqi

":



419










.....Dari Ibnu Umar ra. Menceritakan sebuah kisah yang di dalamnya terdapat
kalimat: Kemudian kami mendekatkan diri kepada Nabi s.a.w. dan mencium tangan
beliau.

Dalam hadits lainnya bahkan Nabi s.a.w. membiarkan seorang Yahudi mencium
tangan dan kakinya

) :

:



























) :







(
:











:




:



420

( . .

419

As-Sunan al-Kubra lil-Baihaqi no: 12585


420
:

.
:
:
:


:
: :



" :
101


" : " : " :


. :
101 :

" :

" " : "

" : " : "
"

: . .

Dari Shafwan bin Asal, ia berkata: seorang yahudi berkata kepada temannya
mari ikut aku pergi ke seorang nabi teman itu menjawab: anda jangan
mengatakan ia seorang nabi, sebab kalau ia mendengar ucapanmu maka matanya
akan jadi empat (ge-er). Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. Dan
menanyakan 9 ayat (larangan yang diturunkan kepada musa), kemudian nabi
menjawab yaitu (1. Jangan mentekutukan Allah. 2. Jangan mencuri. 3. Jangan
berzinan. 4, jangan membunuh. 5.jangan berjalan membawa orang yang tidak
bersalah kepada sulthan yang akan membunuhnya. 6.jangan menggunakan ilmu
sihir. 6. Jangan makan riba. 7.jangan menuduh zina orang lain yang terpelihara.
8.jangan lari dari barisan perang. 9. Khusus bagi orang yahudi, jangan melampau
batas di hari sabtu) kemudian orang yahudi itu mencium tangan dan kaki
rasulullah saw. Dan mengatakan:aku bersaksi bahwa anda adalah seorang nabi
Nabi s.a.w. lantas bertanya: Lalu apa yang menghalangi kalian berdua untuk
mengikutiku? Kedua orang itu berkata, Sesungguhnya Daud a.s. pernah berdoa
agar di antara keturunannya ada yang masih bisa menjadi Nabi. Jika kami masuk
Islam, maka kami khawatir orang-orang Yahudi akan membunuh kami. (HR. AtTirmidzi dan lainnya dengan beberapa sanad yang shahih)
Rasulullah s.a.w. tidak mengecam orang yang mencium tangan bahkan memuji orang
yang berbuat hal tersebut walaupun ia dari kalangan ahlul kitab.




" ,















421

. . "






"Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Idris dan Ghundar dan Abu Usamah dari Syubah dari Amru bin
Murrah dari Abdullah bin Salamah dari Shafwan bin Assal, bahwa sekelompok
orang Yahudi mencium tangan dan kedua kakinya Nabi s.a.w.

Dalam hadits di atas Rasulullah s.a.w. membiarkan saja seorang Yahudi mencium
tangan dan kaki Nabi s.a.w. Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dlaif namun
hal ini bisa diperdebatkan lagi, karena hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari 3
jalur berbeda yang mana semua perawinya tsiqah dan dinyatakan minimal shaduuq / jujur
oleh berbagai ulama lain (shaduuq derajatnya di bawah tsiqoh namun masih termasuk
katagori tadl /menganggap perawi adil / dapat dipercaya dan bukan pernyataan jarh /
menganggap cacat perawi). Telah mafhum di kalangan ahli hadits kalaupun benar
anggapan bahwa hadits-hadits (dari masing-masing jalur) itu dlaif, namun jika terdapat
banyak jalur yang meriwayatkannya, maka akan saling menguatkan dan menaikkan
derajat hadits tersebut menjadi hasan.
421

H.R. Ibnu Majah No. 3695

Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dlaif namun hal ini bisa ditinjau lagi,
karena Yahya bin Main dan Ibnu Hajar Asqolani men-tsiqoh-kan semua perawi dalam
hadits ini kecuali Abdullah bin Salamah bin Qanab adalah seorang Tabiin kalangan tua
dari Kufah yang dinyatakan shaduuq (jujur) oleh Ibnu Hajar Asqolani. Al Ajli dan Yaqub
bin Syaibah menyatakan ia adalah tsiqoh (terpercaya). Ibnu Adi mengatakan ia laa basa
bih (tidak mengapa). Ibnu Hibban menyebutkan biografinya pada kitab Ats-Tsiqaat
(termasuk perawi perawi yang terpercaya). Sedang Adz-Dzahabi mengatakan shuwailih
(sedikit sholih / sholih kecil). Dalam Mizanul Itidal istilah shuwailih oleh Dzahabi ini
setara dengan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al-Hadits, Shalih al-Hadits, Syaikh Wasath,
Syaikh Hasan al-Hadits, Shaduuq Insya Allah masih termasuk pada lafadz tadil
peringkat ke-empat di bawah perkataan Shaduuq, La basa bih, dan laisa bihi Basun.
Sehingga istilah shuwailih bukanlah lafadz jarh (menganggap cacat perawi) melainkan
masih termasuk katagori tadil (menganggap perawi adil / dapat dipercaya).
Sementara itu ada hadits lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salamah bin
Qanab, namun Nashiruddin Al-Albani men-shahih-kannya . Misalnya dalam hadits
berikut ini :


:




:





422



Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad berkata, telah menceritakan
kepada kami Waki berkata, telah menceritakan kepada kami Syubah dari Amru bin
Murrah dari Abdullah bin Salamah ia berkata; Aku mendengar Ali berkata;
Sebaik-baik manusia setelah Rasulullah s.a.w. adalah Abu Bakar, dan sebaik-baik
manusia setelah Abu Bakar adalah Umar. Hadits ini dinyatakan shahih oleh
Nashiruddin Al-Albani.
3. Pandangan ulama madzhab
a)

Al-Hanafiyah:
Pengarang kitab ad-Durr al-Mukhtar mengatakan:tidak ada masalah dengan
mencium tangan hakim yang relegi, sulthan yang adil dan orang alim. Bahkan
hukumnya sunah

b) As-Syafiiyah:
Imam an-Nawawi di dalam kitab raudlah at-Thalibin mengatakan:mencium
tangan orang lain kalau modusnya karena kezuhudan, keshalihan, ilmu,
kemulyaan, dan hal-hal yang bersifat agamis, maka di sunahkan, tetapi kalau
422

H.R. Ibnu Majah No. 106

modusnya karena duniawi, maka sangat dimakruhkan.Al-Mutawalli mengatakan


tidak boleh alias haram
c)

Hanabilah:
Abu Bakr al-Marwazi di dalam kitab al-Wara juz 1. hlm.144 mengatakan:aku
bertanya kepada Abu Abdullah tentang mencium tangan. Beliau menjawab tidak
apa-apa kalau modusnya agama. Dan beliau menghukumi makruh kalau
modusnya dunia
Sungguh abu Ubaidah pernah mencium tangan Rasulullah saw.

d) Al-Malikiyah:
Abu at-Thaiyib dalam kitab fi Aunil-Mabud Syarh Sunan Abi Dawud
mengatakan, al-Abhari berkata:bahwasanya Imam Malikmemakruhkan
mencium tangan kalau memang menyebabkan kesombongan, dan ketakabburan
kepada orang yang dicium tangannya. Tetapi kalau motifnya mendekatkan diri
kepada Allah seperti karena agamanya, ilmunya, maka hal itu diperbolehkan.
Mencium tangan nabi saw, itu bisa mendekatkan diri kepada Allah
4. Tinjauan culture
Bentuk mencium tangan atau memeluk/berangkulan adalah merupakan `urf/
kebiasaan yang berlaku di dalam suatu budaya atau tata nilai masyarakat tertentu.
Hukumnya

berbeda dengan mushafahah

(berjabat tangan) yang

memang

mengandung unsur tasyri` (pensyariatan). Namun meski tidak terkandung hukum tasyri`
secara langsung, bukan berarti harus ditinggalkan atau dilarang. Karena Islam sendiri
mengakui dan bahkan sering mengaitkan antara `urf dengan syariat. Tentu saja selama
`urf itu tidak bertentangan dengan asas syariat itu sendiri. Sebagai contoh, bila seorang
suami berkata kepada istrinya, Kembalilah ke rumah orang tuamu.
Secara syariat, konsekuensinya masih menggantung pada `urf atau kebiasaan yang
berlaku di negeri itu. Apakah ucapan itu secara `urf diartikan sebagai talaq atau tidak?
Bila `urf mengakui itu adalah talaq, maka jatuhlah talaq. Sebaliknya bila `urf tidak
mengakui sebagai talaq, maka tidak jatuh talaqnya.
Sehingga kita mengenal sebuah kaidah yang berbunyi:"Al-`Aadatu Muhakkamah.
Sebuah adat atau tradisi itu bisa dijadikan dasar hukum. Tentu saja adat yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri.



.








(pada dasarnya tradisi itu diperbolehkan kecuali tersirat dalil yang mengharamkan)

Memberi sesajen kepada penghuni makam keramat pada malam jumat kliwon,
dengan alasan bahwa itu adalah adat, tidak dibenarkan. Sebab adat seperti itu adalah adat
yang batil, kufur, syirik dan mungkar yang harus dibasmi, ada dalil yang mengharamkan.
Adat yang dimaksud adalah sebuah kebiasaan yang disepakati bersama oleh
masyarakat sebagai suatu konvensi atau kesepakatan tidak tertulis, namun memiliki
kekuatan hukum.
Biasanya adat seperti ini lebih banyak terkait dengan tata nilai, etika, estetika suatu
masyarakat. Sebagai contoh, memegang jenggot orang lain buat adat kita di Indonesia
termasuk tidak sopan. Tetapi di Timur Tengah orang yang dipegang-pegang jenggotnya
merasa bangga dan terhormat.
Di Indonesia, jangan sekali-kali kita memegang kepala/ubun-ubun orang lain, tapi di
Timur Tengah justru merupakan perbuatan yang baik. Ini adalah perbedaan `urf antara
dua budaya. Jangan sampai kita salah menerapkan tata nilai dan sopan santun. Istilah
yang kita kenal adalah, Masuk kandang kambing mengembek dan masuk kandang
kerbau melenguh.
`Urf di negeri kita adalah mencium tangan orang tua dan orang-orang yang terhormat
lainnya seperti kakek, paman, mertua bahkan termasuk kiyai, ulama dan lainnya.
Bila hal itu kita lakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengejawantahan dari
menyesuaikan diri dengan `urf yang dikenal masyarakat, maka hal itu baik, karena
menunjukkan bahwa kita memiliki tata etika dan sopan santun yang sesuai dengan
metode masyarakat. Jadi mencium tangan orang tua dan seterusnya memang bukan
tasyri` secara langsung, namun mausk dalam bab sopan santun dan akhlaq bergaul
dengan orang tua dan menjalankan `urf yang baik.
Wallahu a'lam bis-shawab,
Q. Melestarikan Dzikir Berjamaah Setelah Shalat
1. Pengertian dzikir
Adapun dzikir ( )- secara bahasa maknanya adalah sesuatu yang sering
diucapkan lisan423, dan terkadang dimaksudkan untuk menghapal sesuatu. Ar-Raghiib AlAsfahaaniy menjelaskan makna Adz-Dzikir dalam kitabnya Al-Mufradaat sebagai
berikut:
423

Al-Qamus Al-Muhith hlm. 507 dan Lisaanul-Arab 5/48.










:


424







Adz-Dzikr, kadangkala yang dimaksudkan adalah satu keadaan yang terjadi pada
diri seseorang yang dengannya ia bisa tenang dan merasa puas untuk menghapal
suatu pengetahuan. Istilah dzikir sama halnya dengan menghapal, hanya saja
bedanya dalam menghapal mengandung makna menyimpan, sedangkan dzikir
mengandung makna mengingat. Dan terkadang dzikir bermakna mendatangkan
sesuatu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karenanya, dzikir bisa
berarti mengingat dari kelupaan, dan dzikir (mengingat) itu tidak hanya disebabkan
karena lupa, tapi justru karena ingat maka berdzikir.
Secara istilah (terminologi), Dzikir maknanya adalah :












425



Setiap perkataan yang diungkapkan untuk menyanjung, berdoa, artinya segala
perkataan (wirid) yang kita ucapkan dalam rangka beribadah kepada Allah taala
untuk mengagungkan-Nya, menyanjung-Nya dengan menyebut nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, mengesakan-Nya, dan mensyukuri-Nya, atau dengan membaca AlQuran, atau dalam rangka memohon dan meminta kepada-Nya.
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-Asqalaaniy rahimahullah berkata :





"













"













426










Dan yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan dan memperbanyak segala
bentuk lafadh yang di dalamnya berisi tentang kabar gembira, seperti kalimat :
subhaanallaahi, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar; dan yang
semisalnya, doa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan termasuk juga dzikir kepada
Allah adalah segala bentuk aktifitas amal shalih yang hukumnya wajib ataupun
sunnah, seperti membaca Al-Quran, membaca Hadiits, belajar ilmu agama, dan
melakukan shalat-shalat sunnah.
424

Al-Mufradaat, hlm. 328.


Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah, 21/220 dan Al-Futuuhaat Ar-Rabbaniyyah, 1/18.
426
Fathul-Baariy, 11/209.
425

Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :

427











Contohnya adalah berbagai macam jenis dzikir seperti tasbiih, takbiir, tahmiid,
tahliil, istighfaar, bershalawat kepada Nabi shallallaahu alaihi wa sallam; begitu
pula membaca Al-Quran, berjalan menuju masjid, duduk di dalamnya untuk
menunggu shalat ditegakkan, dan mendengarkan bacaan Al-Quran.

Di belahan dunia Islam, dzikir berjamaah paling banyak dilakukan oleh muslim
Indonesia yang mayoritas Nahdhatul Ulama dan pengikut thariqah. Begitu juga di
Malaysia, Singapura, Brunai, India, Yaman, dan sebagian di Jazirah Arabiyah. Sebagian
lagi berpendapat bahwa dzikir bareng-bareng (berjamaah) setelah sholat fardu itu tidak
diperbolehkan, karena bisa mengganggu orang lain. Pendapat ini masih bisa diterima dan
masuk akal, karena menganggu orang lain itu memang tidak diperbolekan agama. Tetapi,
bukan berarti dzikir berjamaah itu dilarang (bidah).
Sebagian lagi berpendapat bahwa dzikir berjamaah itu bidah (mengada-ngada), dan
hukumnya tersesat (al-Dlalalah), dan sesuatu yang tersesat itu masuk neraka. Alasanya
ialah, Nabi SAW tidak pernah memerintahkan dan juga tidak pernah mengerjakanya.
Sementara hadis yang selalu dan selalu dipergunakan sebagai berikut:






: ) (




.




Dari Aisyah ra, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah SAW:barangsiapa
mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari padanya,
maka perbuatannya itu tertolak (Muslim ). Dalam riwayat Muslim lainnya,
Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak
berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak (HR Muslim).

Hadis ini bagi kelompok tertentu, dalam hal ini (wahabi salafi) memiliki multi guna
untuk men-justifikasi kelompok yang tidak sesuai dengan akidahnya. Tidak main-main,
justifikasi itu bernama bidah tersesat dan masuk Neraka. Tidak peduli orang mukmin
itu rajin sholat lima waktu dengan berjamaah, puasa, haji dan mengeluarkan zakat.
Semua itu tidak ada gunanya, jika masih melakukan bidah, seperti; dzikir berjamaah,
427

Jaamiul-Ulum wal-Hikam hlm. 325.

tahlilan, dan dzikir istighasahan. Seolah-olah hadits tentang bidah itu menjadi satusatunya kunci untuk mengirimkan sesama muslim masuk Neraka.
Hampir semua amalan yang tidak sesuai dengan sunnah dikategorikan dengan bidah
dhalalah (meng-ada-ada), seperti; dzikir berjamaah setelah sholat, melafadzkan niat
sholat (usolli), menambhan lafadz sayyidina Muhammad di dalam sholat, dzikir
menggunakan tasbih, tahlilan, istighosahan, merayakan maulid Nabi Muhammad SAW,
membaca dalail khoirat. Mereka tidak peduli dengan pendapat ulama sekelas Imam Syafii
bahwa bidah itu adakalanya bidah hasanah dan bidah madzmumah.
Jangankan Imam Syafii, Imam Nawawi, dan imam lainya, penulis Shohih AlBukhori-pun tidak luput dari seranganya. Imam Al-Bukhori penulis dan penghafal hadis
Rosulullah SAW ketika memaknai ayat Al-Quran setiap sesuatu rusak, kecuali
wajhahu (QS. Al-Qoshos (28:88) Imam Bukhori memaknai Wajahahu dengan
Mulkahu ( ) begitu juga dengan Mufassir Imam Al-Bagawi di dalam ktab tafsirnya.
Sedangkan Ibn Hajar Al-Asqolani menjelaskan dalam Sarah Shohih Al-Bukhori bahwa
Abu Ubaidah meng-artikan Wajhahu dengan Jalalahu.
Dengan lantang, Syekh Al-Bani membantah dengan mengatakan:ini bukan
perkataan seorang muslim yang ber-iman. Hal ini tidak ada dalam kitab Bukhori tidak
ada tawil seperti ini.428 Lebih lanjut Syekh Al-Bani mengatakan:kami membersihkan
Imam Bukhori mentawil ayat ini, Imam Bukhori adalah Imam Hadis, dan akidahnya
adalah Salafi. Padahal, realitasnya Imam bukhori itu akidahnya Al-Asyaari, dan juga
mentakwil. Dengan demikian, tidak satu-pun ulama hadis, tafsir, fikih, yang selamat dari
api nereka, kecuali yang diselamatkan oleh kelompok wahabisme salafi.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara luas tentang dalil-dalil shahih seputar bolehnya
dzikir berjamaah setelah sholat. Berdzikir berjamaah itu bukan bidah (mengada-ngada)
sebagaimana yang dituduhkan oleh wahabisme. Mengingat Allah SWT (dzikrullah) wajib
bagi setiap mukmin dimana saja berada, baik dalam kondisi sepi maupun ramai, baik
sendirian atau berjamaah. Dzikir setelah sholat itu juga bisa dilakukan secara sendirisendiri, atau bisa dilakukan secara berjamaah.
Istilah paling populer dzikir berjamaah usai sholat lima waktu dalam masyarakat kita
disebut dengan wiridan. Membaca wiridan setelah sholat lima waktu hukumnya sunnah.
428

Lihat fatawa Al-Al-Bani, hlm 523

Artinya, akan mendapatkan pahala bagi yang melakukan dan tidak apa-apa bagi yang
meninggalkanya.
2. Dalil-Dalil Yang Menjadi Sandaran Hujjah Dzikir Berjamaah Setelah Shalat
Fardhu.
a) (QS. An Nuur(24): 36)


(Cahaya itu) di rumrh-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk
memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menycikan) nama-Nya
pada waktu pagi dan petang.
b) (QS. Al-Baqarah(2): 114)



Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam
masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya?
Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah).
Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat adzab yang berat.
c) Hadits Abu Hurairah radliyallaahu anhu:

429







Dari Abi Hurairah ra. ia berkata : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
: Allah azza wa jalla- berfirman : Aku menurut prasangka hamba-Ku padaKu, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam
hatinya maka Aku mengingatnya, dan jika ia mengingat (menyebut)Ku dalam
keramaian maka Aku menyebutnya dalam kelompok yang lebih baik, dan jika ia
mendekat pada-Ku sejengkal maka Aku mendekatinya satu dzira, dan jika
mendekat pada-Ku satu dzira maka Aku mendekat padanya sedepa, jika ia
mendatangi-Ku seraya berjalan maka Aku mendatanginya sambil bergegas.

429

HR. Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675

Sisi pengambilan dalil (istidlal) dari hadits diatas dalam konteks dzikir berjamaah
setelah shalat fardhu adalah; adanya anjuran berdzikir baik dalam kesendirian atau
berjamaah (di keramaian)
d) Riwayat lain juga dari Abu Hurairah radliyallaahu anhu:

:





:


:

:

:



:



:
:





430

:
:
......

Dari Abu Hurairah radliyallaahu anhu, dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam,
bahwasannya beliau bersabda : Sesungguhnya Allah tabaaraka wa taaalaa
mempunyai beberapa malaikat yang terus berkeliling mencari majelis dzikir.
Apabila mereka telah menemukan majelis yang di situ disebut nama Allah, maka
mereka duduk bersama orang-orang tersebut, mereka mengelilingi jamaah itu
dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruang antara mereka dan langit
dunia. Jika orang-orang tersebut telah selesai, maka mereka naik ke langit. Nabi
berkata : Kemudian Allah azza wa jalla bertanya kepada para malaikat tersebut
dan Allah lebih tahu tentang apa yang mereka lakukan - : Dari mana kamu
sekalian ?. Mereka menjawab : Kami datang dari hamba-hamba-Mu di bumi,
mereka sedang mensucikan-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu, dan memohon
kepada-Mu. Allah bertanya : Apa yang mereka minta ?. Para malaikat
menjawab : Mereka memohon surga-Mu. Allah bertanya : Apakah mereka
pernah melihat surga-Ku ?. Para malaikat menjawab : Tidak wahai Rabbku.
Kata Allah : Betapa seandainya mereka pernah melihat surga-Ku. Para malaikat
berkata : Mereka juga berlindung kepada-Mu. Allah bertanya : Dari apa mereka
berlindung kepada-Ku?. Para malaikat menjawab : Dari neraka-Mu wahai
Rabbku. Allah bertanya : Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?. Para
malaikat menjawab : Tidak. Kata Allah : Betapa seandainya mereka pernah
melihat neraka-Ku
e) Dalam riwayat lain Nabi saw. juga bersabda












.....


















431





430
431

HR. Al-Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689


HR, Muslim No: 4867

...Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk


membaca Al Qur'an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, &
dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikatmalaikat yg berada di sisi-Nya
f) Hadits Muawiyyah radliyallaahu anhu :














432
.
Dari Abu Said Al-Khudriy radliyallaahu anhu, ia berkata : Muawiyyah
radliyallaahu anhu pernah melewati suatu halaqah di masjid. Lalu ia bertanya :
Majelis apakah ini ?. Mereka menjawab : Kami duduk untuk berdzikir kepada
Allah taala. Muawiyyah bertanya lagi : Demi Allah, benarkah kalian duduk
hanya untuk itu ?. Mereka menjawab : Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu.
Kata Muawiyyah selanjutnya : Sungguh aku tidak menyuruh kalian bersumpah
karena mencurigai kalian, sebab tidak ada orang yang menerima hadits dari
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam lebih sedikit daripada aku. Sesungguhnya
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam pernah melewati satu halaqah para
shahabatnya, lalu beliau bertanya : Majelis apakah ini ?. Mereka menjawab :
Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah. Kami memuji-Nya atas hidayah-Nya
berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami. Beliau bertanya lagi : Demi
Allah, apakah kalian duduk untuk itu ?. Mereka menjawab : Demi Allah, kami
duduk hanya untuk itu. Beliau pun kemudian bersabda : Sungguh, aku tidaklah
menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, tetapi karena aku didatangi
Jibril alaihis-salaam yang memberitahukan bahwa Allah azza wa jalla
membanggakan kalian di depan para malaikat.
3. Dalil-Dalil Yang Menjadi Sandaran mengeraskan suara ketika berdzikir
a) Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:





:
:









"


432

HR. Muslim no. 2701

























433

"









Dari Abi Zubair, sesungguhnya ia pernah mendengar Abdulloh bin Zubair
berkata : Adalah Rosululloh shollallohu alaihi wasallam jika selesai salam dari
sholatnya, beliau berkata dengan suaranya yang tinggi (keras) Laa ilaaha
illallohu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ala
kulli syaiin qodiir. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaahi wa laa nabudu ilaa
iyyaahu, lahun nimatu wa lahul fadhlu wa lahuts tsanaaul hasanu, laa ilaaha
illallohu mukhlishina lahud diina walau karihal kaafiruun.
b) Hadits riwayat Ibnu Abas ra.:









Bahwasannya Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma- mengkhabarkan kepadanya :
Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai dari sholat
maktubah adalah terjadi sejak masa Nabi shollallohu alaihi wasallam, Ibnu
Abbas berkata : aku mengtahui bahwa jika mereka selesai sholat melakukan
demikian karena aku mendengarnya. (HR, Bukhori, Muslim)
Dalam konteks hadits di atas Al Hafizh An Nawawi menjelaskan :



,















434


Ini adalah dalil bagi pendapat sebagian salaf : Bahwasannya disunnahkan
mengeraskan suara bacaan takbir, dzikir ( dzikir berjamaah setelah shalat fardhu
). Dan diantara para ulama dari kalangan mutaakhkhirin yang menganjurkan
hal tersebut adalah Ibnu Hazm Azh Zhohiri.

Membaca (dzikir) selain bisa dilakukan sendiri-sendiri, bisa juga dilakukan bersamasama (berjamaah). Yang tidak boleh ialah, mencela atau menyesatkan orang yang
berdzikir, bahkan berani menjustifikasi orang-orang yang istiqomah berdzikir berjamaah
masuk nereka.
Salah satu tujuan membaca dzikir dengan suara keras (keras) ialah untuk
memperbanyak orang berdzikir supaya hati mereka condong untuk ikut berdzikir
mengingat Allah SAW. Hanya saja dianjurkan supaya tidak terlalu kencang-kencang,
433
434

HR, As Syafiiy dalam musnadnya


Syarah Nawawi Ala Muslim, vol 5, hal 85

karena bisa menganggu orang lain. Dalam bahasa Arab yang sangat populer ialah
sebaik-baik perkara itu sedang-sedang saja (HR Al-Baihaqi).
Allah SWT juga berfirman terkait dengan tata cara dizikr agar tidak keras, dan juga
tidak terlalu lirih.
435


Artinya:Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu
Ayat ini menjelaskan tentang etika berdoa. Syekh Ismail ulama Makkah berpendapat
di dalam kitabnya:Maka, suara yang sedang (tidak keras dan tidak lirih) adalah yang
tengah-tengah dan cara untuk terus-menerus dalam berdzikir.
Terlepas dari dzikir sendirian atau bersama-sama (berjamaah), setiap dzikir yang
diucapkan karena Allah SWT memiliki keutamaan, dengan catatan Ihlas. Secara khusus,
dzikir yang dilakukan secara keras (jahar) juga memiliki kelebihan dan keutamaan,


)










(










Syekh Ismail Al-Marhum ulama Makkah yang menjadi guru santri-santri Indonesia
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Dzikir dalam kelompok yang mulia adalah
dzikir dengan suara keras.
Oleh karena itulah, kelompok dzikir, seperti; Arifin Ilham yang terkumpul dalam
komunitas Al-Dzikro, Majilis Rasulullah-Jakarta, Riyadul Jannah, Al-Ridwan- Malang,
dan majlis-majlis dzikir diseluruh pelosok nusantara sudah sesuai dengan tuntunan
Rasulullah SAW.
Dengan demikian, jika ada yang mengatakan bahwa dzikir berjamaah itu bidah
(mengada-ngada), sementara Rasulullah SAW tidak pernah melarang. Justru Rasulullah
SAW memberikan teladan dengan istilah Masjis Dzikir, maka sesungguhnya orang itu
telah menentang ajaran sunnah Rasulullah SAW.









))
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan
435

QS Al-Isra(17):110

senang. Para sahabat bertanya,Apakah taman-taman surga itu? Beliau


menjawab,Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir. (HR Tirmidzi).
Secara umum mengerjakan dzikir dengan suara keras atau lirih, baik sendiri maupun
bersama-sama, adalah dianjurkan dan disyariatkan, serta tidak dibatasi jumlah dzikir atau
waktunya, sesuai dengan kemampuanya. Namun demikian, ada dzikir-dzikir tertentu
yang telah disebutkan waktu dan jumlahnya, seperti setelah sholat lima waktu.
Diantara waktu-waktu yang ada adalah setelah salat wajib. Maka boleh melakukan
dzikir dengan keras setelah salat, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas ra ini:
















) )



Sesungguhnya mengeraskan (bacaan) dzikir setelah para sahabat selesai
melakukan salat wajib sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Ibnu Abbas
berkata: Saya mengetahui yang demikian setelah mereka melakukan salat wajib
dan saya mendengarnya (HR Bukhori)

Dalil ini mengisyaratkan atas disyariatkannya dzikir berjamaah secara keras setelah
shalat dan keutamaannya. Dengan demikian, dzikir bersama, atau sendirian, baik keras
atau lirih, tidak bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw. Justru orang-orang yang
mengatakan bahwa dzikir berjamaah setelah sholat itu dilarang adalah bidah (mengadangada).
R. Hukum Bersalaman Setelah Shalat
1. Fenomena bersalaman setelah shalat
Pada dasarnya bersalaman setelah shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru),
tidak akan kita temukan tentang hal itu dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma, baik dalam
bentuk kata perintah wajib atau mustahab (sunah). Sedangkan, wajib dan sunah adalah
perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang
menyangka baik sebuah perbuatan.
Di sisi lain, bersalaman adalah perbuatan yang secara mutlak memang dianjurkan
dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa
tertentu. Kita dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri,
duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu dan

berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapan pun, termasuk juga setelah shalat,
sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakannya.
Namun, masalah mulai timbul ketika bersalaman setelah shalat

telah menjelma

menjadi adat dan tradisi baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya,
mereka merasa ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram
dihati ketika bersalaman.
Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat kasuistis dan kondisional, tidak
dibenarkan secara mutlak dan tidak disalahkan secara mutlak pula. Sebab, memang ada
orang yang bersalaman setelah shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia
mengucapkan salam langsung sibuk memutar badan kanan kiri dan belakang untuk
bersalaman.
2. Dalil-Dalil Umum Bersalaman
Dari Bara bin Azib Radhialllahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:



:

":








436

Dari Abi Ishaq, dari al-Bara, ia berkata, Rasulullah saw. Bersabda:Tidaklah dua
orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka
berdua sebelum mereka berpisah.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, katanya:




,
:





: :

437

: , " "

. "

"
:

Dari Anas bin Malik ia berkata, Kami bertanya: Ya Rasulullah! Apakah kami mesti
membungkuk satu sama lain? Beliau menjawab; Tidak. Kami bertanya: Apakah
saling berpelukan? Beliau menjawab: Tidak, tetapi hendaknya saling bersalaman.
Dari Anas pula:

" :


438

436

HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al
dalam berbagai kitabnya, Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami No. 5777, dan Albani lainnya
437
HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Yaala No. 4287.
438
HR. Ath Thabarani, Al Mujam Al Awsath, No. 97.. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para
perawinya) rijal hadits shahih. Lihat Majma Az Zawaid, 8/36

Dari Syubah, dari Qatadah, dari Anas ia berkata:Adalah sahabat Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka
datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.
Dari Kaab bin Malik Radliallahu Anhu, katanya:



:










-

439


-









Kaab bin Malik berkata: Saya masuk ke masjid, ketika bersama Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam datanglah menghampiri saya Thalhah bin Ubaidillah
tergesa-gesa sampai dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepada
saya.
Berkata Qatadah Radliallahu Anhu:

:













440


:

Dari Qatadah ra. Aku bertanya kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para
sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: Ya.
Dan masih banyak lainnya.
Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru-nya bersalaman bagi
sesama muslim yakni pria dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak
kapan saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah
shalat berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak
membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil aam (umum) dan muthlaq (tidak
terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khash
(spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam
bersalaman ini dalil-dalil bersifat aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk
bersalaman kapan saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.
3. Pandangan Para Ulama Bersalaman sesudah shalat
a)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafii Rahimahullah


Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:








441













439

HR. Bukhari No. 4156, Abu Daud No. 2773, Ahmad No. 15789
HR. Bukhari No. 5908
441
Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut - Libanon
440

Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan jika yang shalat di belakangnya
adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama
mereka, dan setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam
agar
manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat. ( Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut Libanon)
b) Imam Izzuddin (Al Izz) bin Abdussalam Asy Syafii Rahimahullah (w.
660H)
Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ashar sebagai bidah
yang boleh (bidah mubahah). Berikut perkataannya:

. 442


Bidah-bidah mubahah (bidah yang boleh) contoh di antaranya adalah:
bersalaman setelah subuh dan ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam
hal-hal yang nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
melebarkan pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.
c)

Imam An Nawawi Asy Syafii Rahimahullah (w. 676H)

Beliau juga berpendapat mirip dengan Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun,
beliau menambahkan dengan beberapa rincian. Berikut perkataannya:


443




Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ashar,
maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah
menyebutkan bahwa itu termasuk bidah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai
perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya
yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang
bersalaman (setelah shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat
maka itu boleh sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman
dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena
bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma, sesuai hadits-hadits
shahih tentang itu.
442
443

Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173


Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/325. 1423H-2003M. Dar Aalim Al Kitab

Dalam kitabnya yang lain beliau mengatakan;

444



.









Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan
apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan
ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak
mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka
menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada
banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari
bersalaman yang ada dalam syara. (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi Ruh Al Islam) Lihat juga
dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ilmiyah)

d) Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafii (w. 974H)


Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun
shalat id. (Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah Ala Madzhab Al Imam Asy Syafii,
4/224-225. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut - Libanon)
Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:














445







Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ashar, tetapi itu tidak
mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari
(pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu.
e)

Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafii Rahimahullah

Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya


adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:
Dari Abu Juhaifah Radliallahu Anhu, katanya:

446














Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas
menuju Al Bath-ha, beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan
444

(Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi Ruh Al Islam) Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth
Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ilmiyah)
445
Tuhfatul Muhtaj, 39/448-449. Syamilah
446
HR. Bukhari No. 3360, Ad Darimi No. 1367, Ahmad No. 17476

ashar dua rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak. Syubah mengatakan,
dan Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata:
Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut
tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu
Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku,
aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.
Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;



447

Demikian itu disukai, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman
dengannya setelah melakukan shalat berjamaah, apalagi ashar dan maghrib, hal
ini jika persentuhannya itu memiliki tujuan baik, berupa mengharapkan berkah dan
kasih sayang atau semisalnya.
f)

Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafii Rahimahullah Dalam kitab Fatawanya tertulis:









)


(






(

)








448


(Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat,
apakah itu sunah atau tidak? (Beliau menjawab): Sesungguhnya apa yang
dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi
itu tidak mengapa.

g) Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah Beliau berkata


ketika membahas tentang shalat Id:















449




Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan
pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan pandangan
dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu
minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al
Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat
seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang
utama.
447

Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362. Maktabah Al Misykah


Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah
449
MajmaAl Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har, A2/59. Mawqi Al Islam
448

h) Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah Beliau mengatakan;


:

:
450

Yaitu sebagaimana dibolehkannya bersalaman, karena itu adalah sunah sejak
dahulu dan mutawatir, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:
Barangsiapa yang bersalaman dengan saudaranya muslim dan menggerakan
tangannya maka dosanya akan berguguran. Penulis telah memutlakan kebolehannya
sebagaimana pengarang Al Kanzu, Al Wiqayah, An Niqayah, Al Majma, Al Multaqa
dan selainnya, yang membolehkan bersalaman secara mutlak walau setelah ashar,
dan perkataan mereka: bidah, artinya adalah boleh lagi baik sebagaimana yang
dijelaskan An Nawawi dalam Al Adzkarnya. (Imam Al Hashfaki, Ad Durul Mukhtar,
5/699. Mawqi Yasub)
i)

Syaikh Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)

Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang
muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa dijadikan
hujjah. Namun

bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah

Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu beliau memaparkan perbedaan
ulama tentang masalah ini, antara yang membidahkan, menyunnahkan, dan
membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu Taimiah, Imam Al Izz bin Abdissalam,
Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:



. 451
Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah
termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Taala
akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan
terus menerus diributkan.
Dan masih banyak ulama lainnya.
jika mereka tdk setuju dengan rujukan ini maka akan timbul dari kita pertanyaan
,lebih faham dan alim manakah mereka dengan ulama yang di sebut di atas???
Semoga bermanfa'at amiin..
450
451

Imam Al Hashfaki, Ad Durul Mukhtar, 5/699. Mawqi Yasub


Fatawa Dar Al Ifta Al Mishriyah, 8/477. Syamilah

S. Kearifan Lokal Antara Budaya Dan Agama


1. Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk
kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Misalnya, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mufakat, dan tepa selira
(toleransi). Hadirnya kearifan lokal ini tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai religi yang
dianut masyarakat Indonesia sehingga nilai-nilai kearifan lokal ini makin melekat pada
diri mereka. Tak mengherankan, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tak semata-mata
untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia, tetapi juga menjadi bentuk
pengabdian manusia kepada Sang Pencipta.
Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk
Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan
tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada Tahlil, para
penjajah sangat ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan,
acara maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat jamiyah, karena melalui
acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga musyawarah atau sekedar
diskusi yang itu akan memunculkan ide-ide kemerdekaan.
Basuswasta, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menjelaskan bahwa
kearifan lokal berkaitan dengan nilai-nilai yang dipegang dalam kultur lokal. Yang
dimaksud lokal itu bisa mencakup wilayah kabupaten, kota, provinsi, bahkan nasional.
Apabila konteksnya global, kearifan lokal yang dimaksud adalah kultur Indonesia atau
nasional. Kultur Indonesia itu sendiri terdiri dari banyak subkultur. Subkultur, bisa
didasarkan pada suku, bisa pula didasarkan pada lingkup yang lebih luas, yaitu generasi452
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing
sering juga dikonsepkan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan
setempat local knowledgeatau kecerdasan setempat local genious.
452

Rachmanto Aris D. Berawal dari Kearifan Lokal dalam http://swa.co.id/2010/02/berawal-darikearifan-lokal/ diakses 14 Juli 2011

Kerifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi
dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan
yang sakral sampai yang profane (biasa). Di samping itu kearifan lokal dapat didekati
dari nilai-nilai yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis,
intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka kekayaan
kearifan lokal menjadi lahan yang cukup subur untuk digali.
Peranan agama tidak bisa dipandang sebelah mata dalam hubungan sosial,
kebudayaan, maupun peradaban. Agama menempati tempat yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, khususnya Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang religius.
Kenyataan pluralitas agama di Indonesia menunjukkan adanya dinamisasi sekaligus
problematic yang dihadapi bangsa Indonesia untuk hidup berdampingan dalam
kebersamaannya. Baik secara teoritis maupun faktual masalah ini bukanlah persolan
sederhana yang hanya dapat diselesaikan dalam peta konsep teoritis dan sloganitas
kerukunan umat beragama.453
Sikap inklusif dalam arti menerima dan menyadari kehadiran agama lain dalam
kehidupan bersama dan bernegara tidak menjadikan pemeluk-pemeluk agama kehilangan
jati diri, eksistensi dan penganutnya. Apabila hal itu disadari masing-masing pihak
sebagai kenyataan dan keniscayaan pluralitas, maka problematika substansial antar
pemeluk agama telah selesai. Oleh karenanya inklusifitas justeru menjadi jaminan
terhadap keharmonisan masing-masing agama untuk tetap eksis dalam satu kesatuan
pluralitas. Sebaliknya sikap eksklusif dalam arti menutup diri terhadap kenyataan
pluralitas dan mengedapankan idealitas serta egois sepihak, justeru menimbulkan
ketidakseimbangan dan disharmonitas antar pemeluk agama-agama. Eksklusifitas
tersebut merupakan langkah mundur peradaban manusia sekaligus pengingkaran
pluralitas yang merupakan sunnatullah.454
Bagi Kalangan Pesantren, Wali songo merupakan tokoh penting

yang sangat

dihormati karena jasanya menyebarkan Islam di Indonesia melalui jalan tengah dan
moderat.

Dakwah yang di jalankan Wali Songo adalah dakwah dengan akulturasi

453

Said Agil Husain. Al-Munawar. Fikih Hubungan Antar Agma., Jakarta : Ciputat Press 2003. Hlm.

454

Ibid..., hlm. 94-95

99

budaya, Wali Songo dalam menjalankan dakwahnya sangat menghormati kearifan lokal,
Sunan Kali Jaga misalnya, dalam salah satu dakwahnya adalah melalui media wayang
kulit, beliau mengganti cerita agama Hindu dan digantikan dengan cerita Agama Islam.
Begitu juga dengan wali yang lain.
KH. Abdurahman Wahid menggagas Islam pribumi untuk menjawab problem
radikalisme Islam. Dalam Pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran
yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal
dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi
pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktek keagamaan masyarakat
Muslim di Timur Tengah. Bukankah arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan
budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal
ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan
budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti
Pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama
dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai
dengan konteks lokalnya, dalam wujud Islam Pribumi sebagai jawaban dari Islam
Otentik atau Islam Murni yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap
komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. Islam Pribumi justru memberikan
keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama (Islam) di setiap
wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,
melainkan beraneka ragam. Tidak lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai
Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas
yang terus berlanjut. Pemurnian ajaran Islam akhir akhir ini tidak bisa 100% diterima,
karena bagaimanapun juga pemurnian Islam tersebut lebih cenderung kepada Arabisasi
ketimbang perjuangan nilai untuk menegakan nilai nilai Islam di bumi nusantara ini.455
2. Tinjauan Umum Tentang Kearifan Lokal
a) Pengertian kearifan local
Secara etimologi, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris-Indonesia Purwono Sastro
455

Juli 2011

http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&task=view&id=270&Itemid=147 21

Amijoyo dan Robert K. Cunningham, local berarti setempat 456, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan457. Secara umum makna local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakat. Bisa dikatakan kearifan lokal (local wisdom) adalah kebenaran yang
telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan
antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa
lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai
lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada
bagian lain, secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan
kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan
perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang
dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan
bahkan melembaga.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini
merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Unsur budaya
daerah berpotensi sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
mampu bertahan terhadap budaya luar
memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli
mempunyai kemampuan mengendalikan
mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan local
456
457

Purwono Sastro Amijoyo.. Kamus Inggris-Indonesia. Semarang: Widya Karya 2007.hlm. 226
Ibid...,hlm.354

merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
dianggap sangat universal.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika,
kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena
bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat
maka fungsinya menjadi bermacam-macam.458
b) Dasar hukum kearifan local
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW diperuntukkan bagi
seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam dikenal sebagai agama
yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Anbiya(21) ayat
107:

Artinya : dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat
bagi semesta alam.
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Masud
disebutkan :

Artinya : Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun
baik.

Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi
masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam dapat
dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh). Dari hadis
tersebut lahir kaidah fiqh:459
Artinya : Suatu adat kebiasaan bisa dijadikan pedoman hukum.

Apabila suatu urf bertentangan dengan Kitab atau Sunnah seperti kebiasaan
masyarakat melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan semisal meminum arak
atau memakan riba, maka urf mereka tersebut ditolak (mardud) 460.Urf yang
458

Elly Burhainy Faizal dalam http://www.papuaindependent.com diakses 21 Juli 2011


Abdu al-Rahman bin Abi Bakr Al-Suyuthi. t.t. Al-Asbah wa al-Nadhoir. ttp: Daar al-Ihya al-Kutub
al-Arabiyah. hlm. 63.
460
Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta : Pustaka Firdaus 2008, hlm. 418
459

dimaksud di sini adalah urf khas, yaitu urf yang dikenal berlaku pada suatu negara,
wilayah atau golongan masyarakat tertentu, seperti urf yang berhubungan dengan
perdagangan, pertanian dan lain sebagainya.461
Pentingnya posisi urf atau adat kebiasaan dalam teori hukum Islam merupakan
kesepakatan para ulama ushul. Posisi urf ini menjadi penting karena dalam
kenyataannya urf itulah yang menjadi the living law (hukum yang hidup) dalam
masyarakat. Membiarkan dalil-dalil hukum Islam menjauh dari kenyataan social
sama maknanaya dengan mengebiri hukum Islam itu sendiri. Karena itulah makna
teks dan konteks dipertemukan, dalil hukum dan illat hukum diteliti, serta kebiasaan
yang berjalan baik diakomodasi sebagai bagian dari hukum. Itulah makna kaidah
al-Adah muhakkamah.
Al-Qarafi memberikan ulasan bagus tentang tradisi ulama sebelumnya dengan
pernyataannya : Aplikasi hukum yang bersumber dari adat kebiasaan harus berubah
mengikuti perubahan adat itu sendiri, bahkan segala sesuatu dalam syariat
mengikuti adat kebiasaan. Hukumnya berubah mengikuti perubahan adat yang baru.
Dalam Ushul Fiqih ada kaidah. : Al-muhafadhatu Ala qodim as-shaalih Wal
Akhdzu bi al-jadid al-Ashlah (melestariakan sesuatu yang baik dan menggali nilai
baru yang lebih baik. Dalam kitabnya al-muwafaqat, al-Syatibi memperhitungkan
akibat hukum atau hasil akhir suatu perbuatan merupakan tujuan yang dikehendaki
syara. Ketelitian dalam hal ini menjadi penting sebab kadangkala perbuatan yang
diangap baik berakhir dengan kemafsadatan, sebalikmya perbuatan yang dianggap
jelek ternyata melahirkan kemaslahatan.462
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik,
karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan
mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik
oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus.
Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau
mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.
461

Ibid..., hlm. 419

462

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, Yogyakarta : LKiS 2010, hlm. 150.

c) Ragam Kearifan local Di Indonesia


Sebenarnya, hampir semua -kalau tidak bisa dikatakan seluruh- masyarakat
memiliki kebijakan lokal (local wisdom) sendiri-sendiri yang bersumber dari
kebudayaan masing-masing. Beberapa contoh Kearifan lokal di daerah:
Kearifan lokal di Ambon ada yang disebut Pela, yaitu suatu tatanan
kebersamaan mirip dengan gotong royong di Jawa. Pela ini bisa menembus
batasan agama, marga, ataupun suku. Ketika Pela ini terkait dengan mata
pencarian, maka bila suatu kelompok nelayan akan melaut, mereka akan
mengajak anggota satu Pelanya untuk bahu-membahu menghasilkan ikan yang
lebih banyak daripada jika menangkap sendiri.
Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung
Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai
bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya
alam secara hati-hati.
Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan
terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan
tradisi tanam tanjak.
Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana ulen. Kawasan hutan
dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan
dilindungi oleh aturan adat.
Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan
kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan
mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan
rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga
penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah
lingkungan.
Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat.
Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan
hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. Bali
dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig.463
Jawa Tengah (khususnya di wilayah-wilayah keraton). Satu Muharam, yaitu
peringatan tahun baru Hijriah, dirayakan dengan upacara adat. Pusaka-pusaka
463

2011

Sartini, Menggali Kearifan Lokal, dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php, diakses 14 Juli

keraton digelar, sesajen kepada leluhur disajikan. Doa-doanya, lafal Alquran,


masyarakat yang shalat dan yang tidak shalat, tuamuda, besar-kecil, sama-sama
berebut sesajen,ngalap berkah dari Sinuwun. Mereka tidak pernah berpikir
tentang kemusyrikan ketika saling berebut sesajian itu,yang penting berkah.
Minang. Etnik ini mempunyai ungkapan : Adat basandi syarak,syarak,syarak
basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Artinya : adat tidak bisa
dilepaskan dari agama (Islam), apalagi saling bertentangan. Mereka sangat
yakin itu, dan tidak ada yang ambil pusing bahwa sistem matrilineal 464 dalam
adat Minang bertentangan dengan syariat Islam yang patrilineal465
d) Simbolisasi kearifan local
Studi tentang aneka macam materi dalam ritus keagamaan bisa dimaknai sebagai
upaya memahami budaya materi yang memiliki maksud umum bahwa benda juga
mengkomunikasikan arti seperti halnya bahasa.466 Dalam bentuk lain benda materi
bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, melainkan juga mempunyai
makna, bertindak sebagai tanda-tanda makna dalam hubungan sosial, yang
sesungguhnya bagian dari fungsi yang penuh makna. 467 Dengan kata lain bahwa
materi adalah Merupakan sebuah simbol yang biasanya mengandung sesuatu yang
bersifat implisit seperti keinginan-keinginan, maksud-maksud, maupun tujuan-tujuan
dari masyarakat penggunanya.468 George Herbert Mead membedakan antara tandatanda alamiah (natural sign) dan simol-simbol yang mengandung makna (significant
symbols). Tanda-tanda alamiah bersifat naluriah serta menimbulkan reaksi yang
sama bagi setiap orang, sedangkan symbol yang mengandung makna tidak harus
menimbulkan reaksi yang sama bagi setiap orang. 469 Artinya bahwa sebuah materi
tidak saja dipahami sebagai suatu tanda alamiah yang memiliki makna lahir sesuai
dengan manfaat dan fungsinya, tetapi juga dapat dipahamai sebagai suatu symbol
464

Atau disebut juga matriakal, yaitu ibu punya power yang lebih dibanding bapak. Anak-anak
menurut kepada ibunya
465
Wirawan Sarwono Sarlito (Guru Besar Fakultas Psikologi UI). Kearifan Lokal. dalam
http://suara.okezone.com/read/2011/07/10/58/478015/kearifan-lokal diakses 14 Juli 2011.
466
Tilley. 2001. Hlm. 258.
467
Tilley. C. Ethnograph and Material Culture dalam Atkinson et al (ed) Handbook of Ethnography.
London: Sage Publication. 2001 hlm:16
468
Irwan Abdullah,. Dkk.. Agama dan KearifanLokal dalam Tantangna Global. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar 2008. hlm: 189
469
Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press. 1992:hlm. 64

yang memiliki banyak makna yang berbeda, yang pemaknaan ini tergantung pada
tujuan dan maksud dari penggunanya.
Berikut ini penulis mencoba memberikan makna/tawil terhadap beberapa ritual
kearifan lokal yang mengiringi Upacara pemberangkatan jenazah dan Selamatan
memasang kap/atap rumah.
1) Upacara pemberangkatan jenazah
Beberapa amaliah yang lazim dilaksanakan dalam upacara pemberangkatan
jenazah adalah memayungi keranda, menghias keranda dengan bunga,
surupan/brobosan, menyiram nisan dengan air degan (kelapa muda), bendera,
sapu, nisan, beras kuning & uang receh, sesaji, damar (lampu sentir).
Memayungi keranda
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada tiga orang yang akan mendapatkan
iyub-iyub / payung (perlindungan) dari Allah besok di hari kiamat, yaitu : orang
yang menyambung tali silaturrahmi, perempuan yang ditinggal mati suaminya dan
mempunyai anak yatim, dan dia mampu menjaga dan memelihara anak yatim
tersebut, dan orang yang diberi kelebihan rejeki (makan) dan dia mau
membagikan sebagian rejekinya kepada anak yatim dan orang-orang miskin.
Maksud dari jenazah dipayungi adalah semoga dia termasuk orang yang mendapat
paying/perlindungan besok di hari kiamat.
Menghias keranda dengan bunga
Ada pepatah mengatakan Gajah mati meninggalkan gading, macan mati
meninggalkan belang manusia mati meninggalkan budi. Bunga adalah perkara
yang indah / mempunyai bau harum, harapannya si mayit meninggalkan budi
pekerti yang baik sehingga namanya menjadi harum.
Surupan/brobosan
Surupan dilakukan ketika keranda telah dipikul sebelum diberangkatkan,
biasanya yang melakukan brobosan ini adalah keluarga si mayit sambil
menggendong anak yang masih kecil. Surupun ini berasal dari kata sumurupono
(ketahuilah). Ritual ini sebetulnya sebagai itibar untuk para pentakziah agar
sumurupono (ketahuilah) bahwa mereka suatu saat nanti juga akan dipikul,

seakan-akan ada perintah ketahuilah bahwa kamu pun pasti akan dipikul seperti
jenazah ini sehingga mereka mau mencari bekal kematian.
Menyiram nisan dengan degan (kelapa muda)
Setelah selesai proses pengurukan liang lahat biasanya disiram dengan air
kelapa muda (degan). Kita beriman bahwa di dalam alam kubur ada proses tanya
jawab yang dilakukan oleh malaikat Munkar Nakir terhadap mayit . Semua pasti
terkejut dan deg-degan dengan kedatangan malaikat Munkar Nakir kecuali orang
yang benar-benar kuat imannya. Degan adalah sebagai lambang doa semoga si
mayit tidak deg-degan dalam menjawab semua pertanyaan malaikat, sehingga
selamat menjawab semua pertanyaan.
Bendera
Bendera biasanya dibawa ketika jenazah diberangkatkan ke liang kubur.
Orang-orang yang membawa bendera biasanya di depan/mendahului jenazah.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa besok di akherat manusia akan
dikelompokkan sesuai dengan amalnya sewaktu di dunia, Ada kelompok syuhada,
kelompok orang yang sudah haji, kelompok orang-orang alim kelompok orangorang dermawan (loman), dll. Setiap kelompok ada pimpinan dan benderanya
sendiri-sendiri. Diharapkan si mayit masuk ke dalam salah satu dari ke empat
kelompok tersebut.
Nisan/paesan
Nisan atau paesan berasal dari bahasa Jawa yang berarti tempat ngilo atau
bercermin, maksudnya adalah bahwa setiap orang yang ziarah agar bercermin
terhadap keadaan jenazah sekarang sehingga akan timbul kesadaran bahwa suatu
saat dia juga pasti akan dikubur dan dipasangi nisan. Pemasangan nisan juga ada
tata caranya, yaitu saling berdekatan dan saling condong satu dengan yang
lainnya, harapannya keluarga yang ditinggalkan saling berdekatan dan saling
condong satu dengan yang lain tidak saling berjauhan dan bercerai berai.
Beras Kuning & uang receh
Beras kuning dan uang receh ini ditabur-taburkan selama perjalanan dari rumah
mayit menuju ke kuburan. Sejarah asal muasal beras kuning adalah pada zaman
tabiin adalah

sedikit sekali pentakziyah yang mau mengantarakan jenazah

sampai ke kuburan, maka ada beberapa orang yang berkreasi seperti tersebut di
atas, dengan harapan orang-orang mau mengantar jenazah sampai ke kuburan.
Sesaji & Damar (lampu sentir)
Semenjak meninggal sampai beberapa hari biasanya keluarga menaruh sesaji
dan menghidupkan damar dalam suatu kamar tertentu dan diusahakan jangan
sampai mati. Ini adalah bentuk doa untuk mayit semoga dia di alam kubur
mendapatkan nikmat kubur dan terang benderang alam kuburnya.
2) Selamatan memasang kap/atap rumah.
Dalam pembangunan rumah juga terdapat beberapa ritual, biasanya diadakan
ketika tahapan masang kap/atap, antara lain sebagai berikut :
Menggantung Padi.
Padi yang masih dalam tangkainya diikat beberapa ikat terus dipasang di
blandar, ini adalah doa yang diungkapakan dengan barang, semoga penghui
rumah selalau diberi rejeki kesejahteraan pangan.
Kelapa
Hampir sama dengan padi maksudnya adalah doa yang diwujudkan barang.
Kelapa termasuk salah satu bumbu masak, harapannya semoga pemilik rumah
tidak kekurangan dalam urusan dapur.
Tebu
Tebu adalah bahan dasar (gula) air minum, harapannya semoga pemilik rumah
selalu diberi kesejahteraan air minum, karena air minum adalah kebutuhan paling
pokok manusia..
Pisang raja
Tafaulnya adalah semoga pemilik rumah tidak kekurangan buah-buahan, yang
dipilih buah pisang raja karena termasuk buah yang awet, meskipun kulitnya
sudah rusak tapi buahnya masih bagus.
Bendera merah Putih
Tafaulnya adalah menumbuhkan sifat nasionalisme, agar pemilik rumah
mencintai tanah air dan bangsanya, sesuai dengan perkataan hubbul wathon
minal iman cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Sapu tangan untuk setiap tiang (soko)


Sapu tangan adalah jenis kain yanmg melengkapi kebutuhan sandang,
harapannya semoga pemilik rumah tidak kekurangn dalam hal pakaian.
Jajan pasar (rakan)
Jajan pasar adalah makanan-makanan kecil (camilan) yang biasa dijual di
pasar-pasar terdiri dari berbagi macam jenis, harapannya semoga pemilik rumah
selalu sejahtera dalam urusan makanan/bisa pergi berbelanja ke pasar.
Bubur abang putih & suruh
Abang melambangkan darah putih melambangkan tulang, sendoknya pun pakai
daun pisang (suruh) harapannya semoga pemilik rumah menjadi orang yang
lemah lembut seperti bubur abang putih dan suruh daun pisang.
Ayam ingkung
Harapannya adalah si pemilik rumah makmur/sejahtera, mempunyai banyak
hewan piaraan (rojo koyo) dan tidak kekurangan vitamin hewani.
3. Analisis Hukum Kearifan Lokal
Salah satu yang paling penting dalam ranah pluralisme social adalah sesuatu yang
terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat . Pluralitas agama sangat
berperan mewarnai sejarah kehidupan social, tidak terkecuali mayarakat kontemporer,
baik dalam skala kecil maupun skala besar, terutama di Negara-negara yang sangat
mengedepankan religiusitas seperti Indonesia Dalam masyarakat Indonesia ditemukan
perbedaan kepercayaan dan agama yang dianut penduduknya, sepeti Islam, Kristen,
Budha dan Hindu yang masing-masing pemeluknya mengakui kebenaran agamanya.
Perbedaan ini adalah bagian dari konsekwensi pluralitas agama yang terkait dengan
sejarah masyarakat Indonesia dalam relevansinya masyarakat dunia. Keragamn agama
sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa, juga dipahami dalam satu perspektif
kemanusian yang hidup berdampingan dengan kekhasannya membangun kehidupan
bersama. Indonesia menjadi lebih unik dengan keunikan keunikan agama yang dianut
oleh penduduknya tersebut. Keunikan-keunikan ini bukanlah ancaman terhadap pemeluk
agama yang satu bagi eksistensi agama yang lainnya, tetapi akan lebih memperjelas

keunikan tersendiri. Agama yang dianut oleh seorang pemeluknya menjadi identitas
pribadinya sekaligus cerminan kesucian agamanya.470
Kaidah dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal,
yaitu: Hifdzu Din (memelihara kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan
nalar berpikir), Hifdzu Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu Nafs (memelihara
hak hidup), Hifdzu Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan). Acuan
moral dalam penerapan fiqih muamalah ini, pada dasarnya merupakan ciri dari sebuah
ke-universalitas-an agama Islam. Kearifan local yang berjalan turun temurun tidak serta
merta menafikan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Diskursus perbedaan keberislaman itu juga sering dikaitkan dengan perbedaan
simbolik yang didasarkan pada corak ormas kegamaan dengan gaya khas lokal Indonesia
dan ormas dengan corak yang bersifat internasional (transnasional). Islam lokal
merupakan Islam yang lahir dan mengekspresikan Islam keindonesiaan, sedangkan Islam
Transnasional merupakan Islam yang lahir dan mengekspresikan budaya luar Indonesia
(Timur Tengah) khususnya pada simbol-simbol keagamaannya. Wacana Islam lokal dan
Transnasional merupakan konsekuensi dari globalisasi yang mengandaikan persentuhan
nilai-nilai budaya, politik, ekonomi termasuk system keyakinan yang tanpa batas antara
satu negara dengan negara lainnya.
Dalam pandangan

NU perjuangan pembumian syariat Islam adalah kewajiban

agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang
paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum
agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip tujuan dan
cara pencapaianya (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara
pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi
cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman.
Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam
berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum
kontemporer (al-waqiiyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang
pada kaidah al-Muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah

470

Al-Munawar, Fikih hlm 94-95

yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru
yang lebih baik.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk
budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan
system

budaya

local.

Lahirnya

berbagai

ekspresi-ekspresi

ritual

yang

nilai

instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius


Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak
menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.
Dalam satu riwayat diterangkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah lewat sebuah
kuburan, tiba-tiba nabi berhenti dan mengambil pelepah kurma yang masih basah. Oleh
Nabi pelepah kurma tersebut dibelah/dibagi menjadi 2 bagian dan masing-masing
diletakkan di atas 2 kuburan. Apakah perbuatan Nabi tersebut termasuk syirik?. Melihat
Nabi berbuat seperti itu ada salah seorang sahabat penasaran terus bertanya kepada Nabi
kenapa beliau berbuat seperti itu? Kemudian nabi menjelaskan bahwa siksa orang yang
ada dalam kubur akan diringankan selama pelepah kurma masih hijau/belum mengering.
Ternyata perbuatan Nabi adalah simbolisasi sebuah makna.
Menurut KH. Akhmad Chalwani471 dalam beberapa kali ceramahnya beliau
menerangkan bahwa kita tidak diperbolehkan tergesa-gesa memberikal label syirik
terhadap suatu perkara, apabila masih bisa diberi tawil maka sebaiknya kita berikan
tawil terlebih dahulu terhadap perkara tersebut. Kalau ada orang yang mengatakan
kearifan lokal adalah perbuatan syirik atau bidah sebetulnya orang itulah yang kurang
bisa menakwilkan atau memaknai kearifan local tersebut. Seperti contoh mengapa
slametan472 sedekah bumi diletakkan di perempatan jalan? Takwil yang benar adalah
karena perempatan jalan merupakan lalu lalangnya orang banyak, pemberi sedekah
mengharapkan sedekahnya diambil/dimanfaatkan banyak orang, jadi siapapun yang lewat
boleh mengambil sedekah tersebut. Menurut Ilmu Tafsir takwil dibagi menjadi tiga :
a) Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)

471

Mursid Kamil thariqah Qadiriyyah Naqsabandiyyah Berjan


Slametan berasal dari bahasa Jawa slamet yang berarti selamat atau terhindar dari bahaya dan
malapetaka yang menimpanya
472

Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa
Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya'
adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
b) Ta'wil Amr
yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadis riwayat Aisyah
Radhiyallah 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan
sujudnya banyak membaca :
473

Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku
Sebagai ta'wil dari firman Al-Qur'an QS. An-Nashr: 3.

Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
c)

Ta'wil Ikhbar

yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, contohnya seperti


firman Allah QS. Al-A'raf : 53.

Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya
kebenaran) Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran
pemberitaan Al Quran itu,
Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu
ta'wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
d) Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi
perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali
bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.
e)

473

Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi).

HR. Bukhari, kitab Adzan, bab tasbih dan do'a dalam sujud, no. 871 dan Muslim, kitab shalat, bab
bacaan dalam ruku' dan sujud, no.746.

Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub
kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam dalam QS. Yusuf : 6, dan sebaliknya pada
ayat: 100.
Dari penjelasan tentang pembagian takwil di atas dapat disimpulkan bahwa ritual
kearifan local dapat ditakwili sebagaimana pentakwilan terhadap perbuatan sahabat nabi
Musa as.474
Kelompok yang kontra menuduh bahwa kearifan local adalah perbuatan bidah dan
bahkan ada yang lebih ekstrim lagi sebagai perbuatan syirik. Mayoritas kaum muslimin
membagi bid'ah menjadi dua:
Bid'ah yang terpuji (mahmudah)
Bid'ah yang tercela (madzmumah)
Imam Syafii membagi bid'ah menjadi dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang
bertentangan dengan perintah al-Qur'an, hadist atau ijma disebut bid'ah sesat (dhalalah),
Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur'an, hadist atau
ijma itu disebut bid'ah tidak tercela (hasanah). Bahkan al-Imam al-Syafii menafikan
nama bidah terhadap sesuatu yang mempunyai landasan dalam syara meskipun belum
pernah diamalkan oleh salaf. Beliau berkata : Setiap sesuatu yang mempunyai dasar
dari dalil-dalil syara, maka bukan termasuk bidah meskipun belum pernah dilakukan
oleh salaf475
Al-Imam Izzuddin bin Abdussalam membuat kategori bid'ah476 menjadi lima bagian
sebagai berikut :
1) Bidah wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang
belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran
agama, seperti kodifikasi al-Qur'an misalnya.
2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqahhalaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid.
3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya,
474

ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah nabi Khidir as.
Tim Bahtsul Masail PCNU Jember. 2008. Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU
menggugat Sholawat & Dzikir Syirik. Surabaya: Khalista, hlm 71.
476
Untuk lebih jelas tentang pembagian dan pembahasan bidah silahkan baca buku Membongkar
Kebohongan Buku Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik.
475

4) Bid'ah makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar


5) Bid'ah yang mubahah, menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat,
pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan
lain sebagainya.477
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah
ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk
dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan
mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan
perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak
membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada
perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam
masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang
kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah mengklaim dirinya dan
pendapatnya yang paling benar.
Perbedaan di antara kaum muslimin itu sesuatu yang wajar, akan tetapi
penyimpangan akidah itu yang tidak boleh dibiarkan. Sebab, semua ulama Ahlus Sunnah
sepakat dalam perkara-perkara ushul, tapi berbeda dalam furu. Mereka memperbolehkan
berbeda dalam urusan fiqhiyyah tapi tidak bisa didiamkan jika berdebat dalam urusan
aqaidiyyah. Oleh sebab itu, seorang Sunni tidak membesar-besarkan urusan furuiyyah.
Jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada di
sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi.
Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW
bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah
pahala dan (juga mendapatkan) pahala orang yang turut melakukannya'. Makna 'aktifitas
yang baik' secara sederhananya adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman
kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lainlainnya.

477

Al-Imam Izzudin bin Abdis Salam. Qowaiidul Ahkam. Juz 2. Hal 133 dalam Tim Bahtsul Masail
PCNU Jember. 2008. Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir
Syirik. Surabaya: Khalista, hal 74-76.

Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam
jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan
berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada
titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang
yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya
pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak
menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai
warisan. Wallahu Alam bis-Shawab

Anda mungkin juga menyukai