Anda di halaman 1dari 27

Inilah Raja atau Keturunanan Raja Djawadwipa Yang

Memeluk Islam Pada Abad Ke 7


Posted by Dedi E Kusmayadi Rabu, 13 Januari 2016 0 comments

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, kepemimpinan Islam
dipegang oleh para khalifah. Para pedagang muslim banyak bermukim di daerah
pesisir pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya masih menganut agama
Hindu. Sampai abad ke-8, pengaruh Islam telah menyebar ke seluruh Timur
Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol.

Pengajaran dan pendidikan Islam mulai dilakukan setelah masyarakat islam


terbentuk. Kemudian pada masa dinasti Ummayah, pengaruh Islam mulai
berkembang hingga Nusantara.

Ada juga berbagai pendapat lain menurut beberapa sejarawan, agama Islam baru
masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang
muslim. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat, tidak membeda-
bedakan si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, rakyat kecil dan penguasa, tidak
adanya sistem kasta dan menganggap semua orang sama kedudukannya dihadapan
Allah telah membuat agama Islam perlahan-lahan mulai dipeluk oleh para penduduk
lokal. Di bawah kepemimpinan para khalifah, agama Islam mulai disebarkan lebih
luas lagi. Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh terpandang yang mementaskan
wayang untuk mengenalkan agama Islam. Cerita wayang yang dipentaskan biasanya
dipetik dari kisah Mahabrata atau Ramayana yang kemudian disisipi dengan nilai-
nilai Islam. Bagi masyarakat pribumi, para pedagang muslim dianggap sebagai
kelangan yang terpandang. Wayang adalah salah satu sarana kesenian untuk
menyebarkan islam kepada penduduk lokal.

Teori Gujarat, teori ini yang dipelopori oleh Snouck Hurgronje menyatakan bahwa
agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh
para pedagang dari Kambay (Gujarat), India. Para pedagang ini mendirikan masjid
dan mendatangkan para ulama dan mubalig untuk mengenalkan nilai dan ajaran
Islam kepada penduduk lokal. Teori Persia, Teori Persia menyatakan bahwa agama
Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia karena adanya beberapa kesamaan
antara kebudayaan masyarakat Islam Indonesia dengan Persia. Teori Mekkah, Teori
ini adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di
Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh orang Gujarat. Meskipun begitu, belum
diketahui secara pasti sejak kapan Islam masuk ke Indonesia karena para ahli masih
berbeda pendapat mengenai hal tersebut.

Sejarah mencatat, kepulauan-kepulauan Nusantara merupakan daerah yang terkenal


sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak
pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke Nusantara untuk membeli rempah-
rempah yang akan dijual kembali ke daerah asal mereka. Termasuk para pedagang
dari Arab, Persia, dan Gujarat. Selain berdagang, para pedagang muslim tersebut
juga berdakwah untuk mengenalkan agama Islam kepada penduduk lokal.

Hal ini menyebabkan banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak
gadis mereka dengan para pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi
muslim terlebih dahulu. Masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dan
dilakukan dengan berbagai cara, Letak Indonesia yang strategis membuat lalu lintas
perdagangan di Indonesia sangat padat dilalui oleh para pedagang dari seluruh
dunia termasuk para pedagang muslim.

Pada abad ke-7 sudah terdapat sebuah perkampungan muslim di pantai barat
Sumatera. Proses masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dengan cara
menyesuaikan diri dengan adat istiadat penduduk lokal yang telah lebih dulu ada.
Sebuah batu nisan berhuruf Arab milik seorang wanita muslim bernama Fatimah
Binti Maemun yang ditemukan di Sumatera Utara dan diperkirakan berasal dari
abad ke-11 juga menjadi bukti bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia jauh
sebelum abad ke-13. Pada abad ke-7 itu pula tersiar kabar bahwa para saudagar dari
Srilangka mendarat di kota Pelabuhan pantai selatan pulau Jawa, kemudian
menetap di kota-kota kecil seperti Caruban dan Garut.

Dalam bukunya Futher India and Indo-Malay Archipelago, Sejarawan asal Italia
yang bernama G. E. Gerini, mencatat bahwa telah banyak masyarakat Arab
bermukim di Nusantara sekitar tahun 606-699M . Mereka masuk melalui Barusdan
Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nusantara hingga ke
China Selatan. Sekitar tahun 615 M, sahabat Rasulullah Ibnu Masud bersama kabilah
Thoiyk, datang dan bermukim di Sumatera. Di dalam catatan Nusantara, Thoiyk
disebut sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarang Aceh). (Sumber : Kesultanan Majapahit,
Realitas Sejarah Yang Disembunyikan karangan Hermanus Sinung Janutama).

Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang proses masuknya Islam
ke Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat, dan teori Persia.

Ada beberapa Alasan, mengenai pemeluk Islam Sampai Tanah Jawidwipa

1. Penganut Islam pertama, yang berasal dari Nusantara, kemungkinan adalah


Leluhur Bangsa Aceh, yang ikut serta menghantar Ibnu Masud ra. bersama
kabilahnya.

Di dalam buku Arkeologi Budaya Indonesia, karangan Jakob Sumardjo, diperoleh


informasi, berdasarkan catatan kekaisaran Cina, diberitakan tentang adanya
hubungan diplomatik dengan sebuah kerajaan Islam Ta Shi di Nusantara.

Bahasa Cina menyebut muslim sebagai Ta Shi. Ia berasal dari kata Parsi Tajik atau
kata arab untuk Kabilah Thayk (Thoiyk). Kabilah Thoiyk ini adalah kabilahnya Ibnu
Masud r.a, salah seorang sahabat Nabi, seorang pakar ilmu Alquran (Sumber :
Arkeologi Semiotik Sejarah Kebudayaan Nuswantara).

2. Penguasa Nusantara, yang pertama memeluk Islam adalah Raja Sriwijaya yang
bernama Sri Indravarman 718 M. Pada sekitar awal abad ke 7, orang-orang Persia
Muslim mulai berdomisili di Sriwijaya akibat mengungsi dari kerusuhan Kanton.
Dalam perkembang selanjutnya, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sebanyak
35 kapal perang dari dinasti Umayyah dengan hadir di Sriwijaya, dan semakin
mempercepat perkembangan Islam di Sriwijaya (Sumber : Sejarah Umat Islam;
Karangan Prof. Dr. Hamka).

Ditenggarai karena pengaruh kehadiran bangsa Persia muslim, dan orang muslim
Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Srivijaya yang bernama Sri
Indravarman masuk Islam pada tahun 718 M (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah
Islam dan Umatnya sampai sekarang, Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan
Bintang, 1979).

Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial


yang di dalamnya terdapat masyarakat Buddha dan Muslim sekaligus.

Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Syiria.
Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul
Aziz (717-720M) dengan permintaan agar kholifah sudi mengirimkan dai ke istana
Srivijaya (Sumber : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad
XVII & XVIII, Karangan Prof. Dr. Azyumardi Azra MA) (Sumber : Wikipedia :
Kerajaan Melayu Kuno dan Hadits Nabi, Negeri Samudra dan Palembang
Darussalam).

Sriwijaya Pintu Masuk Islam Ke Nusantara

Nusantara adalah Kepeluan yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia.


Berdasarkan bukti-bukti historis, Islam telah berkembang di Nusantara, pada masa
abad pertama hijriah. Dan bukan hal yang mustahil, apabila Rasulullah pernah
mengirimkan surat dakwah, yang ditujukan kepada Raja Sriwijaya. Untuk
membuktikan hal tersebut, mari kita ikuti, kronologis peristiwa sebagai berikut :
Tahun 625M Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok menyebutkan, pada sekitar tahun
625M di pesisir pantai Sumatera, yang berada di dalam naungan Kerajaan Sriwijaya,
telah berdiri sebuah perkampungan Arab.

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing,
sementara dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa. Diperkirakan pada sekitar tahun
500, akar cikal bakal Kerajaan Sriwijaya sudah mulai berkembang di sekitar wilayah
Bukit Siguntang.

Dan masa ke-emasan Sriwijaya, sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara,
terjadi pada abad ke-9 M. Pada masa itu, Sriwijaya telah menguasai di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Sriwijaya juga men-dominasi
Selat Malaka dan Selat Sunda, yang menjadikan-nya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal (Sumber : Hadits Rasulullah, Negeri
Samudra dan Palembang Darussalam).

Tahun 1 H Peristiwa Hijrah Permulaan tahun Hijriah secara umum dihitung,


bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 Masehi.

Tahun 6 H Dalam masa damai, setelah perjanjian Hudaibiyah tahun 6H, Rasulullah
SAW memperkenalkan Islam melalui surat yang beliau kirimkan, kepada para
penguasa, pemimpin suku, tokoh agama nasrani, dan sebagainya. Melalui seruan
dakwah yang memikat, dengan cara-cara yang santun, telah banyak membawa
keberhasilan bagi jalan dakwah beliau.

Surat-surat Rasulullah SAW itu dibawa oleh orang-orang kepercayaan beliau di


antaranya sebagai berikut :
- Dihial bin Kalbi diutus kepada Kaisar Romawi.
- Abdullah bin Huzafah diutus kepada Kisra Persia.
- Hatib bin Abi Baltaah diutus kepada Gubernur Mesir, yang waktu itu berada di
bawah kekuasaan Romawi.
- Amar bin Umayyah diutus kepada Raja Etiopia.
- Syuja bin Wahab diutus kepada Pageran Ghassan.
- Hauzah bin Ali Hanafi diutus kepada penguasa Yamamah.

Tahun 11 H Nabi Muhammad wafat, kemudian dilanjutkan masa Khulafaur


Rasyidin.

Tahun 48 H Ditemukan beberapa makam Sahabat Nabi Muhammad SAW di


Nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah makam Syeikh Rukunuddin di
Barus (Fansur), Sumatera Utara. Pada makamnya tertulis bahwa beliau wafat pada
tahun 48 H. Tidak diketahui siapa nama Syeikh Rukunuddin sebenarnya, tapi dari
tanggal wafatnya kita bisa mengatakan bahwa kemungkinan beliau adalah salah
sorang sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu orang yang hidup sezaman dan
berjumpa dengan beliau. Para sahabat dan tabiin telah memulai gelombang awal
sejarah Islam di Bumi Nusantara.

Tahun 100 H Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri
Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Kalifah Umar bin Abdul Aziz dari
Kekhalifahan Umayyah yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan
ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat ini
bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya ini telah memeluk agama Islam, melainkan
hanya menunjukkan hasrat Sang Raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai
hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rakan perniagaan dan peradaban
yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah sementara
Ibn Abd Al Rabbih di dalam karyanya Al Iqd al Farid pula, yang dikutip oleh
Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan adanya korespodensi antara raja
Sriwijaya (Sri Indravarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada sekitar
tahun 100 H , Raja Sriwijaya berkirim surat yang isi surat tersebut adalah :
; ;
; -
12 ;-
.
.
-

Dari Raja di Raja (Malik al Amlak) yang adalah keturunan seribu raja; yang isterinya
juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah;
yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak
12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah
yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda
mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan
menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya

Dari Kronologis di atas, kita bisa dapatkan beberapa kemungkinan peristiwa sejarah
(Alternatif Historis) :

1. Surat dakwah yang disebarkan Rasulullah ke seluruh pelosok negeri, bisa jadi ada
yang ditujukan kepada Raja Sriwijaya. Mengingat telah adanya hubungan
perdagangan antara Sriwijaya dengan bangsa Arab, yang ditandai dengan
keberadaan perkampungan Arab di Sriwijaya, tahun 625M.

2. Dakwah ke Nusantara, semakin intensif dilakukan pada masa Khalifah Muawiyah


I. Dan tidak menutup kemungkinan Syeikh Rukunuddin, adalah salah seorang
sahabat Rasulullah, yang dikirim Bani Umayyah, untuk menjadi salah seorang juru
dakwah di Nusantara.

3. Ketika masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Islam sudah sangat dikenal. Kuat
dugaan, Raja Sriwijaya (Sri Indravarman), adalah seorang Muslim. Dan beliau
sangat berkeinginan untuk mempelajari Islam secara lebih mendalam.

Surat Raja Sriwijaya kepada Khalifah

Berikut kutipan dari buku Al-Iqdul Farid, Nuaym ibn Hammad said, The king of
India sent a letter to Umar ibn Abd al-Aziz, in which he said, From the king of kings
who is the son of a thousand kings and is married to the daughter of a thousand
kings, in whose stables are a thousand elephants, who has two rivers that grow aloe-
wood, aloes, coconuts, and camphor, whose scent is perceptible at a distance of
twelve miles to the king of the Arabs who does not attribute partners to God. After
this exordium, I am sending you a gift that is not a gift but a greeting. I would like
you to send me a man who would teach me Islam and explain it to me. And peace be
to you. By gift, he meant the letter.

Tercatat Raja Sriwijaya Sri indrayana pernah dua kali mengirimkan surat kepada
khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, Bagian
pembukaan dari surat pertama dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya Kitab al
Hayawan (Buku Fauna) berdasarkan 3 rantai isnad.

Kutipan surat itu berbunyi.... "(Dari Maha Raja) - yang istalnya berisi ribuan gajah,
istananya berkilau emas dan perak, dilayani oleh ribuan puteri raja, yang menguasai
dua sungai yang mengairi gaharu - untuk Muawiyah"

Muawiyah 1 sendiri hidup sekitar tahun 661 H pada masa itu tercatat oleh sejarawan
malaysia S. Fatimi.

Dan untuk surat yang ke-2 di kirimkan kepada khilafah Umar bin Abdul-Aziz. Surat
kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul
Farid.Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mampu mensejahteraan kaum
muslimin selama 2 tahun saja.

Karena Masyarakat tidak ada yang merasa berhak untuk menerima zakat. Potongan
surat tersebut berbunyi: Dari Rajadiraja; yang adalah keturunan seribu raja
kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah
yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda
mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya,
dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya. [Wikipedia]

S. Fatimi memperkirakan surat-surat itu diterima Kalifah sekitar tahun 100H/717 M,


Sederhananya adalah ketika raja sriwijaya mengirimkan surat itu adalah dalam
kondisi masyarakat yang masih menganut hindu dan kepercayaan yang lain
bernuansa supranatural.

Ada kemungkinan bahwa kejadian ini sebagai titik awal islam masuk ke Indonesia
meskipun juga bahwa raja Indrayana tahu tentang islam beserta pemerintahannya
lantaran memang ada para pedagang timur tengah berdagang di kerajaan sriwijaya.
Keberadaan surat ini. Dalam buku yang sama, mengutip MD Mansoer (1970:45),
surat yang dimaksud sekarang masih tersimpan dengan baik di Museum Madrid di
Spanyol.

Jadi untuk Teks asli surat Raja Sriwijaya kepada khalifah masih belum mencuat ke
publik, karena kalau informasi ini benar maka satu-satunya cara adalah kita bisa
mendapatkannya di Museum Madrid spanyol. Seperti itulah sejarah yang
memang masih perlu penelusuran lebih untuk membuktikan Menelusuri Jejak Surat
Raja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz Saya mengetahui adanya
dugaan korespondensi antara Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman dengan Khalifah
Umar dari artikel biografi mengenai Umar bin Abdul Aziz yang saya baca di
wikipedia. Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada
khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2
kepada Umar bin Abdul-Aziz.

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860940) dalam karyanya Al-
Iqdul Farid. Saya melakukan penelusuran di dunia maya dan berusaha mencari
artikel terkait hal tersebut.
S Fatimi, seorang sejarawan Malaysia yang menulis dan dikutip oleh Azyumardi Azra
dalam bukunya Islam Nusantara. Azyumardi menyatakan bahwa ada dua buah surat
yang kemungkinan besar ditulis oleh Raja Sriwijaya untuk Kalifah Arab.

Karena tidak mendapatkan buku Islam Nusantara yang dimaksud, saya meneruskan
penelusuran di dunia maya dan menemukan buku Sejarah dan Tamadun Bangsa
Melayu yang ditulis oleh Ahmad Jelani Halimi. Buku yang disebut terakhir
memberikan beberapa pencerahan bagi saya mengenai surat sang Raja Sriwijaya.

Buku Al-Iqdul Farid disebutkan ada raja India yang mengirim surat kepada Khalifah
Umar. Berikut kutipan dari buku Al-Iqdul Farid, Nuaym ibn Hammad said, The
king of India sent a letter to Umar ibn Abd al-Aziz, in which he said, From the king
of kings who is the son of a thousand kings and is married to the daughter of a
thousand kings, in whose stables are a thousand elephants, who has two rivers that
grow aloe-wood, aloes, coconuts, and camphor, whose scent is perceptible at a
distance of twelve miles to the king of the Arabs who does not attribute partners to
God. After this exordium, I am sending you a gift that is not a gift but a greeting. I
would like you to send me a man who would teach me Islam and explain it to me.
And peace be to you. By gift, he meant the letter.

Dari buku edisi terjemahan bahasa Inggris tersebut hanya disebutkan Raja India,
tidak spesifik menyebut nama Sriwijaya atau nama Sri Indrawarman.

Namun Ahmad Jaelani dengan mengutip SQ Fatimi menafsirkan bahwa raja India
yang dimaksud adalah Sri Indrawarman sang raja Sriwijaya. Dalam buku yang sama,
mengutip MD Mansoer (1970:45), surat yang dimaksud sekarang masih tersimpan
dengan baik di Museum Madrid di Spanyol.

Dari sini, saya mengambil kesimpulan, dengan melihat timeline sejarah Bani
Umayyah dan Sriwijaya memang ada kecocokan waktu. Terlebih lagi dari catatan
yang lain, salah satunya catatan Itsing dan Ibn Batutah banyak diketahui catatan
mengenai aktivitas perdagangan antar negara di masa lampau di perairan
Sumatra-Melayu.

Raja atau Keturunanan Raja Djawadwipa Yang Memeluk Islam Pada


Abad Ke 7

1. Pangeran Jay Sima

Hubungan komunikasi antara tanah Jawa dan Jazirah Arab, sudah terjalin cukup lama. Bahkan di
awal Perkembangan Islam, telah ada utusan-utusan Khalifah, untuk menemui Para Penguasa di Pulau
Jawa.

Pada tahun 674 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, beliau mengirimkan
utusannya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa, yakni ke Jepara (pada saat itu namanya
Kalingga). Kalingga pada saat itu, dipimpin oleh seorang wanita, yang bernama Ratu Sima. Dan hasil
kunjungan duta Islam ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam
(Sumber :
Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang. Karangan H Zainal Abidin
Ahmad, Bulan Bintang, 1979). ( Sumber : Islam di Indonesia dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe)
2. Rakeyan Sancang

Sejarawan Sunda Ir H. Dudung Fathirrohman mendapat informasi dari seorang


Ulama Mesir, bahwa Khulafaur Rasyiddin Sayidina Ali bin Abi Thalib RA dalam
pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun
kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan
bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh (Javadvipa).

Rakeyan Sancang disebutkan hidup pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Rakeyan
Sancang diceritakan, turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran
menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan
Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) (Sumber : Islam masuk ke Garut
sejak abad 1 Hijriah dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe).

Mengenai siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, menurut Pengamat


sejarah Deddy Effendie, adalah seorang Pangeran dari Tarumanegara, yang bernama
Rakeyan Sancang.

Berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islamkan oleh


Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.

Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu
Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran
pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni
permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).

Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan
bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padahal istrinya Islam.

Namun berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan
kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam
pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun
kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan
bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.

Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari
Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja
Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari
Calankayana, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak memiliki anak
sehingga menangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama
Brajagiri.

Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya


Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki
keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet samidha) Ki
Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi
Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.

Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh


hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.

Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada
suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah
dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika
melahirkan meninggal dunia.

Anaknya oleh Ki Parangdami dipanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja,


kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk
menjajal kemampuan kanuragan Syaidina Ali (42) yang dikabarkan memiliki
kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.

Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi


dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut
tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.

"Tongkat Sayyidina Ali RA yang dihadiahkan kepada Rakeyan Sancang Di Kaum


Pusaka"" (Yayasan Pusaka Muslimin, diketuai oleh saya sendiri Ucep Jamhari)
Cinunuk Garut.

Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian


meneruskan berguru kepada Syaidina Ali.

Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung/hutan Sancang


dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang
yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali.

Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman


(Saat itu semua raja Kertanegara juga disebut Siliwangi), yang dinilai bisa
mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu
Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan.

Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar
Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti
kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan
Sancang anak Sang Kretawarman.

Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang


menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.

Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali,
ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu
sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi
Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian
Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menegakkan Syariat
Islam.
Berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islamkan oleh
Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.

Ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa Sayidina Ali dan Ahlul Bait keluarga
Rasul SAW pernah beberapa tahun menetap di Pulau Jawa dan ada yang menetap
menikah dengan orang Indonesia hingga sekarang tersebar keturunannya. Cinunuk
Wanaraja Garut dan Eyang Papak dalam sejarah Sunda diyakini sebagai berikut :
- Cinunuk : Pusat Peradaban Cinekna = Padumukan/Tempat tinggal Para Wali dan
Raja/Prabu/Waliyulloh.
- Eyang Papak : Papakem = Paku = Pusat. Berjarak 7 Kilometer ke Piramida
Sadahurip Gunung Galunggung.

Adapun benda sejarah penyebaran Islam Via Rakeyan Sancang abad 7 dan Kian
Santang abad 14 yang tersimpan di Yayasan Pusaka Muslimin Cinunuk, Wanaraja
Garut, yaitu :
1. Tongkat Sayidina Ali. Yang pada kesempatan tiap perayaan Maulid Nabi SAW
diadakan pencucian bersama sama benda-benda pusaka lainnya.
2. Duhung sejenis senjata yang bertuliskan Hurup Emas bertuliskan LLH atau Laa
Iqroha Fiddin (Keris Duhung LAM LAM HA).
3. Buli-buli dan Keramik antik.
4. Kujang
5. Naskah kuno Perjalanan Rakeyan Sancang bertemu dengan Rasululloh dan
Sayidina Ali RA, dll.

3. Prabu Guru Haji Aji Putih 696 - 721 M

Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan


Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak
dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat
kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun 612 M,
sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih 696 -
721 M.

Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 732 M)
dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil
meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh
Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa
Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya
berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya.
Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah
memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil
mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil
merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam
(panyawungan) kerajaan. Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke
Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong
Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan
kepada Manarah dan Ki Balangantrang /Aria Bimaraksa pensiun sebagai patih
Galuh.
Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji
Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M .

Dalam Kitab Waruga Jagat bahwa Prabu Guru Aji Putih merupakan putra dari Ratu
Komara keturunan Baginda Sam, putra Nabi Nuh yang ke-10 dari istri mudanya.
Dalam kisah putra Nabi Nuh, ditemukan nama pada waktu kecil bernama Baginda
Syah, kemudian beliau mempunyai putra Baginda Asram, beliau berputra Babar
Buana, menurunkan putra Maha Patih, berputra Arga Larang, apuputra Bandul
Gantangan, apuputra Sayar, apuputra Radjakana, apuputra Prabu Komara
menurunkan putra :

1. Prabu Permana
2. Prabu Guru Adji Putih

Sejak kecil beliau tidak pernah mengenyam keindahan istana, karena tinggal di
Karesian, sehari-hari mendapat tempaan budi pekerti, olahan batin dan ilmu
keagamaan. Setelah tumbuh dewasa kira-kira berusia 20 tahun, diperintah olah
ayahnya bernama Prabu Komara agar mengamalkan ilmunya, maka sejak dari itu
Prabu Guru Adji Putih mengadakan perjalanan keliling ke kawasan Bagala Asih
Panyipuhan dengan melintasi Gunung Simpay, Mandalasakti, Gunung Penuh,
Sawalangsungsang, kaki Gunung Sanghiyang, kemudian tiba di sebuah dusun kecil
bernama Kampung Muara yang tidak jauh dari kali Cimanuk.

Pada awalnya Prabu Guru Aji Putih menganut ajaran Sunda Wiwitan/Agama Sunda
(Sunda = Suci) yang mengakui Sang Pencipta itu tunggal. Agama Sunda sudah
dianut oleh masyarakat Sunda kuna sebelum agama Hindu menyebar di tatar Sunda
dan sudah ada sebelum Dewarman bertahta di Salakanagara (130 168 ). Agama
Sunda/Sunda wiwitan menganut faham Monotheisme (satu tuhan) seperti
digambarkan dalam Pantun Bogor : "Nya INYANA anu muhung di ayana, aya tanpa
rupa aya tanpa waruga, hanteu kaambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di
sagala karep inyana".

Dalam Sahadat Pajajaran bahwa inti ajaran Agama Sunda hampir mirip dengan
Surat Al Ikhlas. Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia
sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Pada hakekatnya ajaran
Agama Sunda mengajarkan "Orang Sunda kudu Nyunda". Disitulah beliau mulai
mengamalkan ilmunya dengan merekrut tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang
Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi
Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.

Kerajaan yang didirikan sederhana belum mendapat dukungan atau pengakuan dari
seluruh rakyatnya, oleh karena sarana atau keperluan kerajaan belum terpenuhi.
Dalam perkembangannya meminta bantuan kepada Raja Galuh sehingga terjadilah
hubungan erat, selanjutnya menghantarkan pertemuan dengan putri Galuh bernama
Nyi Mas Dewi Nawangwulan yang bergelar Ronggeng Sadunya.

Setelah melangsungkan pernikahan, Nyi Mas Dewi Nawangwulan diboyong ke


Istana Kerajaan Tembong Agung (Tembong = tampak, Agung = tinggi), ungkapan
cita-cita bahwa kelak akan menjadi kerajaan yang besar dan berdaulat.
Perkawinan dengan Nyi Mas Dewi Nawangwulan melahirkan putra mahkota :

1. Prabu Tadjimalela (diperkirakan lahir + tahun 700 M)


2. Prabu Sokawayana
3. Prabu Harisdarma
4. Prabu Langlang Buana

Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain,


Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi
Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria
Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga
memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan
diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan
merupakan putera dari Sempakwaja.

Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela,


Prabu Guru Aji Putih menjadi resi.

Setelah putra mahkota tumbuh dewasa, Prabu Guru Adji Putih turun tahta
selanjutnya menobatkan putra sulungnya Prabu Tadjimalela pada saat terang bulan
tahun Saka atau pada tahun 721 778 M.

Sedangkan Prabu Sokawayana mendapat perintah untuk memperluas wilayah


kekuasaan ke kawasan Gunung Tampomas maka beliau mendirikan Medang
Kahiyangan.

Prabu Harisdarma mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke kawasan Garut di


sekitar kaki Gunung Haruman, beliaulah yang menurunkan para menak di kawasan
Garut.

Putra bungsu atau Prabu Langlang Buana mengadakan perluasan wilayah ke


kawasan Barat disekitar kaki Gunung Manglayang atau daerah Sukapura (Bandung).

Prabu Guru Adji Putih yang bertahta dari tahun 696 - 721 M, setelah menyerahkan
kekuasaannya kepada putranya menjadi Resi, dengan mengadakan perjalanan
keliling ke kawasan Cipeueut. Kemudian menetap di daerah tersebut, selanjutnya
mengembangkan Padepokan Bagala Asih Panyipuhan yang telah dirintis oleh
Sanghyang Resi Agung (pada abad ke-7).

Kesibukan mengajar para catriknya, tak menjadi perintang dalam mengembangkan


niaganya. Beliau dikenal sebagai saudagar rempah-rempah yang mempunyai
hubungan dengan Kerajaan Sunda Galuh.

Pada abad itu pula tersiar kabar bahwa para saudagar dari Srilangka mendarat di
pantai selatan pulau Jawa, kemudian menetap di kota-kota kecil seperti Garut dan
Cirebon. Saudagar tersebut mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Islam
yang telah disebut-sebut dalam wangsit leluhurnya.

Kedatangan mereka mendorong Prabu Guru Adji Putih melakukan pengkajian


wangsit-wangsit leluhurnya (amanah), diantaranya : Hiji waktu jalan kaarifan baris
molongpong ti panto Mekah nepi ka Pulo Tutung (Afrika), jalma antay-antayan
neangan kaarifan, tapi maranehna teu nyaho nu disebut arif. Artinya : Suatu saat
jalan kaarifan akan membujur dari pintu Mekah sampai ke Pulau Hitam (Afrika),
mereka berbondong-bondong mencari kearifan, tetapi mereka tidak tahu apa yang
disebut arif.

Wangsit itu mendorong untuk membuka hubungan niaga dengan saudagar rempah-
rempah dari Teluk Persia yang menetap di Cirebon Girang. Hubungan kerjasama
niaga menghantarkan Prabu Guru Adji Putih berlayar menuju negeri Mekah, dengan
tujuan mengembangkan niaga.

Di Kota Mekah bertemu dengan Syekh Ali keturunan Pangeran Baghdad. Sejak
itulah Prabu Guru Adji Putih mulai mengenal ajaran Islam, bahkan secara ikhlas
masuk agama Islam. Kemudian sepulangnya dari Mekah, diperintahkan agar
mendirikan tempat wudhu tujuh muara, setelah itu diharuskan mendirikan Mesjid
Jami (Rumah Allah).

Setibanya di tanah air, beliau mendirikan tempat wudhu tujuh muara, dikenal
dengan nama-nama yang menggunakan bahasa ibunya, seperti : (1) Cikahuripan, (2)
Cikajayaan, (3) Cikawedukan, (4) Cikatimbulan, (5) Cisundajaya, (6) Cimaraja, (7)
Cilemahtama.

Cikahuripan
Maknanya adalah barangsiapa yang berwudhu di situ, maka akan memperoleh
kemulyaan hidup, ditemukan di sekitar kaki Gunun Lingga kawasan Desa Cimarga
Kecamatan Darmaraja.

Cikajayaan
Maknanya adalah simbol dari keinginan, barang siapa yang berwudhu disitu, akan
memperoleh keunggulan (kejayaan) termasuk disegani dan awet muda. Ditemukan
di kawasan Paniis kampong Cieunteung Desa Sukanagara Kecamatan Darmaraja.

Cikawedukan
Maknanya barang siapa yang berwudhu dan mandi disitu, dilandasi keyakinan, akan
memperoleh kekuatan lahir batin, atau tidak akan tembus senjata tajam.

Cikatimbulan
Maknanya adalah barang siapa yang melakukan marifat. Kemudian berwudhu dan
mandi disitu maka akan mampu menghilang (halimunan) atau dapat tembus
pandang, timbul tenggelam adalah khasiat yang sangat utama.

Cisundajaya
Maknanya adalah barang siapa yang meyakini ilmu-ilmu leluhur Sunda, kemudian
berwudhu dan mandi disitu, akan memperkuat kejayaan Kisunda. Sunda dalam
pandangan Prabu Guru Adji Putih, (Sun = bagus, Da = Dawa artinya panjang,
terbagus dan terpanjang dalam rentang kejayaan).

Cimaraja
Maknanya adalah barang siapa yang mempelajari ilmu kepemimpinan, kemudian
mandi dan berwudhu di situ, akan memperoleh kharisma dalam memimpin rakyat.
Raja adalah pemimpin utama yang menentukan arah kehidupan rakyatnya.
Cilemahtama
Maknanya barang siapa yang menderita penyakit lahir maupun batin, kemudian
mandi dan berwudhu di situ, akan disembuhkan dari bencana penyakit. Situs
tersebut ditemukan di Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan.

Darmaraja.
Setelah menyelesaikan tempat-tempat wudhu tersebut, Prabu Guru Adji Putih
berniat mendirikan Mesjid Jami, dengan memilih tempat di kawasan Nagrog yang
terletak di kaki Gunung Lingga. Akan tetapi rencana tersebut gagal karena tidak
mendapat dukungan dari rakyat. Sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan
Gunung Masigid.

Selanjutnya beliau kembali ke Keresian Bagala Asih Panyipuhan, bahkan lebih


memusatkan kepada syiar agama, dengan memanfaatkan pendekatan adat tradisi
budaya, kesenian dan pendekatan sosial kemasyarakatan.

Pandangan-pandangan Budaya
Prabu Guru Adji Putih setelah pergi ke Mekah dinobatkan sebagai Haji Darmaraja
atau disebut Haji Purwa Sumedang (sosok yang pertama kali gelar haji di Darmaraja
atau Sumedang), dengan gelar Prabu Guru Haji Adji Putih.

Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam)
yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat
menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih
dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang
berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji.

Selain Resi yang cukup dikenal, juga sebagai ahli fikir/tarekat yang merangkai
pandangan-pandangan budaya yang mengunakan landasan Islam. Beliau
menciptakan Syahadat dan ilmu Kacipakuan, artinya Pengakuan atau Ikrar
kesaksian terhadap leluhurnya, yang berbunyi : Sir budi cipta rasa, Sir rasa papan
raga, dzat marifat wujud kula.

Kemudian disempurnakan oleh anak cucunya menjadi Sir budi cipta rasa, Sir rasa
papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Prabu Purbawisesa, Prabu Teras
Wisesa, Eyang Haji Darmaraja, maring Ingsun. Artinya: "Getaran jiwa menciptakan
perasaan, getaran perasaan menjembatani jasad, dzat (ruh) untuk mengetahui diri
sendiri, dekatlah dengan Prabu Purbawisesa, Prabu Teras Wisesa, Haji Darmaraja,
masuklah ke dalam jiwaku.

Selanjutnya disempurnakan lagi oleh anak cucunya : "Sir budi cipta rasa, sir rasa
papan raga, dzat marifat wujud kula, maring Purbawisesa, Terah wisesa, ratu galuh,
galih kula aji putih, ngamupuk aji putih, ngabanyu aji putih, ngaraga sukma tembong
aji sajati agung, sajatining diri tembong agung, marifat jati keursaning Allah. La ilaha
illallah, Muhammaddarosullullah".

(Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan


jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan
pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati
nurani, Cahaya Hati/ Nurani.).

Selain itu beliau menciptakan simbol alif yang dinukilkan kedalam bentuk pusara
atau batu nisan (tunggul kuburan), menunjukkan bahwa Tuhan itu satu. Jika alif
dijabar bunyinya a, artinya akal, jika alif dijeer bunyinya i artinya iman, jika dipees
artinya u artinya usaha.

Tiga unsur itulah merupakan sumber kekuatan hidup. Akal hade, usaha getol lamun
teu iman, rea jalma beunghar tapi dunyana (pakaya) teu mangfaat. Iman hade, akal
hebat tapi embung usaha hirupna ngayuni tatangkalan. Usaha hade, iman hade, tapi
teu boga akal, rea jalma pinter kabalinger, temahna nyempitkeun ilmu agama.

Menjelang akhir hayatnya, beliau melakukan marifat di Cipeueut (menyempurnakan


ilmunya) hingga meninggal dunia.

Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di di Pajaratan Landeuh
Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja
Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya
Eyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya.
========
Catatan :
Jikalau kita lihat wangsit leluhurnya sebelum prabu aji putih menjadi menjadi resi
islam kita bisa lihat dalam kitab hindu berikut ini :
- Manu (Nuh) sebagai nabi juga memiliki hukum, yang oleh umat Hindhu disebut
Manusmriti (Law of Manu). Dalam Atharvaveda Book 20 Hymn 127 verses 1-13
dikatakan tentang datangnya nabi Muhammad, mengatakan: Dia adalah Resi yang
naik Onta.
- Tidak mungkin itu orang India karena Reshi India (Brahman) tidak boleh naik
Onta berdasarkan Sacred Book of the east, Volume 25, Law of Manu page 472.
Menurut Manu Smirti Bab 11 ayat 202 Seorang Brahman dilarang menaiki Onta
atau Keledai.

4. Prabu Borosngora

Priangan Timur abad ke-7 masehi berdiri kerajaan Panjalu yang diperintah prabu
Cakradewa. Dari hasil perkawinan dengan putri Sari Kidang Pananjung, lahirlah
enam putra yang salah satunya bernama Prabu Borosngora.

Beberapa Versi Silsilah Prabu Sanghyang Boros Ngora/Syekh Panjalu

VERSI GALUH :
Maha Raja Adi Mulya/Raja Galuh Ajar Sukaresi menikah dengan Dewi
Naganingrum/Nyai Ujung Sekarjingga, berputra : Prabu Ciung Wanara, berputra :
Sri Ratu Purba Sari, berputra : Prabu Lingga Hiang, berputra : Prabu Lingga Wesi,
berputra : Prabu Susuk Tunggal, berputra: Prabu Banyak Larang, berputra : Prabu
Banyak Wangi, berputra : Prabu Sanghyang Boros Ngora/Sanghiyang Buni
Sora/Suradipati/Prabu Kuda Lelean adiknya Prabu Lingga Buana, dan paman Prabu
Wastu Kencana.

VERSI PANJALU :
Dari Gunung bitung :
Sanghyang tunggal ratu galuh nyakrawati ing nusa jawa, berputra: Batara babar
buana, berputra : Ratu galuling sajagat, berputra : Prabu Sanghyang cipta permana
dewa, berputra : Sanghyang ratu permana dewi , berputra : Prabu sanghyang lembu
sempulur panjalu luhur 1 gunung 3 panuusan, berputra : Prabu sanghyang
cakradewa di panjalu, berputra : Prabu Sanghyang Boros ngora/Sanghyang jampang
manggung.

VERSI PANJALU :
Dari Karantenan Gunung Syawal :
Prabu Tisna jati anta putih, berputra : Batara Layah, berputra : Karimun putih,
berputra : Marangga sakti, berputra : Rangga gumilang, berputra : Prabu sanghyang
lembu sempulur panjalu luhur 1 gunung 3 panuusan, berputra : Prabu sanghyang
cakradewa di panjalu, berputra : Prabu Sanghyang Boros ngora/Sanghyang jampang
manggung
=================
Sumber : Raden Pamanah Sari IX (H.M.A.Sufyan) dan Raden Brajayudha III (Drs.
Ki H.Ihwan Natapraja)

Cakradewa adalah seorang Prabu, Raja yang sakti, tetapi yang menonjol adalah ia
seorang yang mengingkari keberadaan dewa-dewa, oleh karena itulah ia bergelar
Prabu Sanghyang Cakradewa, saat itu ia beragama sunda wiwitan, secara maknawi
cakra berarti menolak, dan Sanghyang berarti wafat tak meninggalkan jasad.
(Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu).

Prabu Sanghyang Cakradewa anak dari Prabu Sanghyang Lembu Sampulur Panjalu
Luhur I, Neneknya Sanghyang Ratu Permana Dewi, Ratu kerajaan Panjalu yang
menikah dengan Raja Rangga Gumilang dari kerajaan karangtenan Gunung Sawal.

Dengan demikian kerajaan Panjalu adalah gabungan antara kerajaan gunung bitung
(Soko Galuh) dan kerajaan karangtenan Gunung Sawal, karena Ratu Permana Dewi
anak dari Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa, Raja kerajaan Gunung Bitung.

Menurut Sejarah Panjalu Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh


bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak yaitu:
1. Sanghyang Lembu Sampulur II,
2. Sanghyang Boros ngora,
3. Sanghyang Panji Barani,
4. Sanghyang Anggarunting,
5. Ratu Mamprang Kancana Artaswayang, dan
6. Ratu Pundut Agung (diperisteri Maharaja Sunda).

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang
raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah
kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja menyampaikan
keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi
atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat
putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota,
sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk
menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang).
Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para
brahmana, petapa, resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk
mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Borosngora inilah yang disiapkan menjadi raja Panjalu di masa mendatang. Sejak
muda Borosngora sangat berbakat mendalami ilmu kedigjayan.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan


disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon
Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan
puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut. Dalam suatu acara, sang prabu
meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam
olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu
Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran
itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi
betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang
menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Kesaktiannya luar biasa, berjalan di tanah dan air tak ada bedanya. Iapun tidak
pernah tahu warna darahnya sendiri karena kekebalan tubuhnya, kisah kuncen
Bumi Alit Panjalu, museum tempat barang-barang pusaka Panjalu di alun-alun kota.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena


ilmu itu tidak sesuai dengan 'Anggon-anggon Kapanjaluan' (falsafah hidup orang
Panjalu) yaitu "mangan kerana halal, pake kerana suci, tekad-ucap-lampah
sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya". Sang Prabu segera
memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan
segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan.

Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai 'ilmu sajati' atau
belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya
diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air. Apabila sang
pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung
berlubang-lubang tersebut.

Al kisah, tak ada satu mahlukpun yang mampu mengalahkan Borosngora. Ayahnya
cemas akan kesaktian putranya. Ia takut sang putra manyalahgunakan ilmunya.
Diceritakan, tak ada satupun Wiku (pendeta Hindu) yang bisa melunturkan ilmu
Borosngora. Maka disuruhlah Borosngora berkelana mencari Ilmu Sajati di negeri
yang jauh.

Meski perintah/syarat tersebut tidak logis, tapi karena titah sang raja, Prabu
Borosngora berangkat juga untuk mencari ilmu.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali
ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang
dimaksudkan oleh ayahnya itu. Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk
bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Yang Widhi agar diberikan
petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya ia
mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan,
yaitu di tanah suci, Mekkah Jazirah Arab.
Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya
agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud.
Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia
menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir.

Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia


membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan
pena. Dalam pertemuan itu, Prabu Borosngora menyampaikan keinginannya untuk
mencari guru yang punya ilmu tinggi.

Mendengar penuturan tersebut, Borosngora diajak berjalan-jalan. Di sebuah tempat,


orang tersebut sengaja menancapkan tongkatnya dan meminta untuk diambilkan.
Borosngora awalnya menganggap keinginan orang yang baru dikenalnya sebagai hal
yang mudah. Ia mungkin berpikir, apa sulitnya mencabut sebatang tongkat yang
ditancapkan tidak begitu dalam. Tetapi, kenyataannya di luar dugaan. Meski sudah
berusaha sekuat tenaga, bahkan mencucurkan keringat, tongkat tersebut jangankan
berhasil dicabut, tongkat itu tak bergeming barang sedikitpun, seperti sudah
menyatu dengan bumi.

Orang yang mengaku salah satu sahabat Nabi itu mendekati Borosngora. Sambil
membaca Bismillah, hanya dengan satu tangan, ia dengan mudah mencabut
tongkatnya. Melihat pemandangan di luar dugaannya, Sanghyang Borosngora
segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang
sembarangan.

Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon maaf atas
kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius
itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini.

Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya
meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang
dicontohkannya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah


untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al
Islam (Agama Islam).

Menurut Atong, (RH Atong Tjakradinata), seorang keturunan Raja Panjalu yang
semasa hidupnya pernah menjabat sebagai kuwu (kepala desa) selama 40 tahun
mengungkapkan mitos dan bukti arkeologis yang mendukung mitos tersebut ketika
Pembaruan berkunjung ke kediamannya di Desa Panjalu, Ciamis. Ia
mengungkapkan, rute perjalanan Borosngora ini pernah diteliti oleh para ahli
sejarah dan berdasarkan penelitian tersebut, ia memang pergi ke Padang Arafah di
Arab Saudi. "Di sana, Borosngora bertemu Ali bin Abu Thalib yang merupakan
khalifah Nabi Muhammad SAW yang juga berstatus menantu sekaligus keponakan
Nabi. Borosngora kemudian dibawa ke Mekkah dan menjadi muslim," katanya.

Dalam penelitian tersebut, Borosngora hidup antara tahun 600-700 Masehi, sama
dengan Ali bin Abu Thalib, jadi pertemuan mereka memang menurut Atong, nyata
terjadi.

Setelah sekian lama berguru pada Baginda Ali R.A, Borosngora diminta pulang ke
negerinya, sebab Baginda Ali R.A merasa ayah dan ibu Borosngora sudah
merindukan anaknya. Borosngora sendiri menyatakan sudah ingin pulang, namun
tidak berani bila belum bisa membawa air di dalam gayung yang bolong bagian
dasarnya tersebut.

Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali
agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang
sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa
Pedang, Cis (tongkat untuk kotbah), dan baju kesultanan.

Sampai kini pedang tersebut tersimpan di Museum dan bisa disaksikan oleh
masyarakat saat akhir bulan Rabi'ul Awal atau akhir Maulid Maulid Nabi dalam
upacara Nyangku.

Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung
berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang
berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna.
Pulang berguru, Borosngora menjadi raja sekaligus menjadikan Panjalu kerajaan
Islam yang kuat.

Melihat kedigjayaan anaknya, Raja Cakradewa memerintahkan anaknya agar


membendung daerah Legok Jambu. Air zam-zam yang dibawa Sanghyang
Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan
sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang
pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis
tanaman paku yang bentuknya seperti gayung.

Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah


barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut,
Bandung, Cianjur dan Sukabumi.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia


kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan
mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan
kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan
menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.
Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara
adat 'Nyangku' yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah
prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang
setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. Acara yang
menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan
masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya
Sanghyang Borosngora.

Perjalanan sejarah ini mengandung arti penting, bahwa keislaman rakyat Panjalu
bukan didapat dari saudagar arab (hadramaut) yanag berlabuh ke Indonesia seperti
daerah-daerah lain, tapi peran aktif raja Panjalu ke tanah Arab di jaman Khalifah Ali
Bin Abi Thalib.
Prabu Borosngora punya anak bernama Prabu Hariang Kancana, yang sekarang
dikenal sebagai mbah Panjalu. Makamnya berada di tengah situ lengkong atau lebih
dikenal dengan Nusa Gede.

Untuk mencapai Nusa Gede, transportasi satu-satunya adalah rakit. Air danau yang
dipercaya berasal dari Zamzam di Tanah Hejaz (Arab) dan pemandangan Situ
Lengkong dengan kelelawar pemakan buah, tentunya jadi kenikmatan tersendiri.
Makam leluhur Panjalu yang kental nuansa magis dan sejarah kerajaan Sunda juga
jadi magnet yang mempesona.

Di pulau ini bersemayam makam para leluhur Panjalu, Mbah Panjalu yang menurut
Abdurahman Wahid (Gus Dur) adalah Sayid Ali Bin Muhammad Bin Umar dari
Pasai. Dalam buku Babad Panjalu, beliau disebut sebagai Hariang Kencana, putra
Prabu Borosngora. Versi lain menyebut yang dimakamkan adalah Wastu Kencana,
raja Galuh yang bertahta di Kawali.

Keturunan lainnya dari Prabu Hariang Kancana yaitu Parbu Hariang Kuluk Kunang
Teko, Prabu Hariang Kadali Kancana, Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya, lalu
turun lagi ke Prabu Hariang Kunang Natabaya. Makam-makam raja ini sekarang
ditemukan di beberapa tempat di daerah Panjalu.

Sehabis ziarah, silakan menyempatkan diri berkunjung ke museum Bumi Alit tempat
disimpannya benda-benda pusaka kerajaan. Paling utama ya, pedang Sayidina Ali
R.A, oleh-oleh sang guru pada Borosngora. Pedang tersebut tersimpan apik
diselubungi kain putih. Sebelum meninggal Borosngora berpesan untuk tak
menujukkan letak makamnya. Hanya pedang inilah sebagai kenang-kenangan
keturunan Panjalu sampai sekarang, terang Kuncen Bumi Alit.

Saran saya, datanglah ke wilayah ini saat perayaan Maulid Nabi SAW. Mereka
menggelar acara nyangku (mencuci benda pusaka). Jika beruntung, benda-benda
pusaka seluruh tatar ukur (Priangan) akan datang secara gaib ke Bumi Alit untuk
mandi. Katanya, museum Bumi Alit akan penuh oleh benda-benda yang berdatangan
dari daerah lain. Setelah upacara pencucian selesai, koleksi Bumi Alitpun kembali
seperti sedia kala.

Adapun benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah :

1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk
pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam. Kabarnya pedang
pemberian Baginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan
bahwa kandungan logam dan besi yang membentuk pedang itu bukan berasal dari
jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di
Nusantara.

2. Cis, berupa tongkat yang berfungsi sebagai pelindung dan kelengkapan dalam
berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.

3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda
kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.

5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.

6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.

7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman
dahulu.

8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama
Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para
Raja Panjalu.
Categories: Kerajaan Sunda

ARTIKEL LAINNYA

Cerita Ciung Wanara, Antara Legenda dan Sejarah GaluhDahulu di negara


Galuh Pakuan, bertahtalah seorang raja bernama Sang Prabu Permana Di Kusuma.
Negar ... [readmore]

Kerajaan Sunda Galuh (Nyokrowati)Setelah berakhirnya


kekuasaan Kerajaan Tarumanagara wilayah kekuasaan Kerajaan tersebut terpecah m
... [readmore]

Babad Kerajaan PanjaluMenurut kisah dalam Babad Panjalu,


Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bij ... [readmore]
Silsilah Rundayan Raja-raja Galuh dan PadjadjaranBerdasarkan
data-data yang ada, agar terungkap Sislilah Rundayan Raja-raja Galuh dan
Padjadjaran, s ... [readmore]

Inilah Raja atau Keturunanan Raja Djawadwipa Yang Memeluk Islam


Pada Abad Ke 7Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M,
kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah ... [readmore]

Silsilah Sejarah Limbangan GarutIni merupakan kelanjutan


Seuweu Siwi Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) yang diposting sebelumny ...
[readmore]

Rakryan Sancang Jeung Agama Selam Wilujeng Sonten baraya Sunda tah
ayeuna urang ngabahas Rakryan Sancang, kumaha carita sabenerna Kia ... [readmore]

SILAHKAN DISHARE :
1

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama


Subscribe via Email
Enter email ad

POSTINGAN ACAK


Martabat Tujuh Dalam Suluk Suljinah dan Wirid Hidayat Jati

11/12/2015 - 0 Comment

Seri Amaliah TQN Suryalaya, Ibadah Shalat Fardu dan Sunnat

22/01/2017 - 0 Comment

Firman Allah Tentang Rendah Hati Kepada Nabi Musa

06/06/2016 - 0 Comment

Tarekat dan Tasawuf

16/06/2016 - 0 Comment

Antara Do'a Talqin dan Pesan Rosulullah SAW Terakhir Yang Tidak Dapat
Dimengerti

31/05/2016 - 0 Comment

KATAGORI
7 Latifah (3)
7 Nafsu (2)
Adab (2)
Akhlaq (1)
Aksara (7)
Amalan (3)
Aqidah (2)
Artikel (5)
Asma Sirrullah (2)
Asmaul Husna (2)
Assalamualaikum (1)
Baitullah (1)
Bid'ah (1)
Bidah (1)
Carita Sunda (3)
Ceramah (1)
Chakra (1)
Doa (17)
Dzikir (13)
Dzikir Meditasi (5)
Dzikirullah (6)
Filsafat (2)
Filsafat Leluhur (1)
Filsafat Sunda (2)
Firman Allah (1)
Galuh (3)
Guna-guna (1)
Guru (4)
Haji (2)
Hakekat (10)
Hisab (1)
Hizib (5)
Ibadah (6)
Ijazah (1)
Ilmu Hikmah (24)
Imam Asy-Syafii (2)
Indera Keenam (1)
Istighfar (1)
Jati Sunda (4)
Jawa (3)
Ka'bah (1)
Kacipakuan (5)
Karomah (3)
Kasyaf (2)
Kata (1)
Kata Mutiara (2)
Kawruh (1)
Kejawen (10)
Kematian (2)
Kenatian (1)
Kerajaan Sunda (7)
Kerejekian (1)
Keris (1)
Kh Muhyiddin (1)
Khidir (1)
Khurofat (2)
Kisah (1)
Kisah Islam (2)
Kisah Nabi (10)
Kitab Kuning (3)
Kitab Makrifat (4)
Kontemplasi (1)
Kujang (1)
Kunhi Dzat (1)
Laduni (1)
Lemah Sagandu (1)
Limbangan Garut (1)
Macapat (1)
Mahabbah (1)
Makam (1)
Makna Al Quran (1)
Makrifat (19)
Manakib (3)
Manaqib (2)
Marifatullah (12)
Martabat 7 (8)
Mata Batin (7)
Metoda Dzikir (1)
Misteri (1)
Mutiara Hikmah (1)
Mutiara Nasehat (6)
Nabi Khidir (1)
Nafsu (1)
Naqsyabandiyah (2)
Nasehat (1)
Naskah Darmaraja (2)
Naskah Kuno (3)
Padjadjaran (2)
Pangrajah (1)
Papat Kelima Pancer (1)
Pembalik Sihir (1)
Penangkal (2)
Pengobatan Herbal (1)
Perjalanan Manusia (1)
Poem (11)
Puasa (2)
Pupuh (2)
Pusaka (1)
Qadiriyah Wa Naqsabandiyah (5)
Qalb (1)
Qashidah (1)
Ratid Al Hadad (1)
Rijalul Ghaib (7)
Ruh (4)
Rumah Tangga (1)
Ruqyah (2)
Sabda Nabi (1)
Safinah (1)
Sahadat (4)
Sanggahan (1)
Shalat (13)
Sholawat (75)
Sihir (2)
Silsilah Raja Sunda (1)
Situs (2)
Spiritual (17)
Sufisme (8)
Suluk (8)
Sumedang Larang (3)
Sunda (4)
Sunnah (2)
Sunnat (1)
Syadziliyah (1)
Syahadat (2)
Syair (1)
Syariat (4)
Syattariyah (3)
Syekh Abdul Qodir Jailani (2)
Syekh Siti Jenar (6)
Tabbayun (1)
Tafakur (1)
Tahajud (1)
Tarekat (54)
Tasawuf (16)
Tauhid Jati (1)
Tawasul (14)
Tips (1)
Tokoh Sufi (5)
TQN (3)
Tradisi (4)
Umrah (1)
Wacana (22)
Wali Abdal (3)
Wejangan (7)
Wirid (3)
Wudhu (1)
Ziarah (8)
Zinah (1)

ARSIP
2017 (26)

2016 (339)
o Desember (3)
o November (23)
o September (4)
o Agustus (8)
o Juli (88)
o Juni (55)
o Mei (133)
o April (23)
o Januari (2)
Menemukan Aku Yang Sejati
Inilah Raja atau Keturunanan Raja Djawadwipa Yang ...

2015 (164)

Total Tayangan Laman


2029543

Copyright 2012 - 2017 Dzat Alif Satunggal All rights reserved

Anda mungkin juga menyukai