Anda di halaman 1dari 7

TUGAS INDIVIDU SKI

“SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI


INDONESIA”
D
I
S
U
S
U
N

OLEH:
NAMA: AYU LESTARI PUTRI
KELAS: IX D

MTs. BADAN AMAL UJUNGLOE


TAHUN AJARAN 2022/2023
A. Pendahuluan
Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar umat muslim di dunia. Data
sensus Penduduk 2020 menunjukkan ada sekitar 86,7% atau 231 juta jiwa dari total
266,53 juta jiwa penduduk beragama Islam. Walau Islam menjadi mayoritas, tetapi
Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam. Indonesia sendiri secara konstitusional
mengakui 6 agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Meski
tak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh sebagaimana halnya Arab Saudi dan
Qatar, napas-napas Islam tetaplah diakui dan diterima dalam hukum positif di Indonesia
dengan adanya sejumlah regulasi/undang-undang tentang perkawinan, peradilan agama,
perbankan syariah, wakaf, pengelolaan zakat, penyelenggaraan ibadah haji dan umrah,
serta yang terbaru Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

1. Sejarah Awal
Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya
Islam masuk ke Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang
Ceylon telah berdagang dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami
kemajuan pesat dalam hal perdagangan dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan
abad ke-8 orang Arab telah sampai ke Kanton. Waktu masuknya Islam di Nusantara
sudah berlangsung sejak abad ke-7 dan 8 Masehi. Namun, perkembangan dakwah baru
betul dimulai kala abad ke-11 dan 12. Artinya dakwah di Nusantara sudah merentang
selama beberapa abad pada masa-masa awal. Indonesia sendiri pada masa-masa itu,
tidaklah asing dari pandangan musafir Arab. Sulaiman at-Tajir misalnya, sampai ke
kawasan Zabij yang ada di timur India. Dilengkapi pula oleh catatan ahli geografi
sejaman, Ibnu Khurdadzbih bahwa Zabij dipimpin seorang Maharaja, yang juga disetujui
oleh pendapat Yaqut al-Hamawi dan Al-Mas'udi. Belakangan, pendapat soal negeri
Maharaja ini disetujui sejarawan Arab modern, Husain Mu'nis, bahwa ia merujuk pada
daerah yang kini ada di kawasan Indonesia modern. Mengenai tempat asal kedatangan
Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa
pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkan teori masuknya Islam dalam tiga
teori besar. Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India
melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori
Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para
pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia
melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat
sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Mereka berargumen akan fakta bahwa
banyaknya ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan
bahkan juga Jawa. Selain itu pula, temuan Marco Polo juga menyatakan sebagai dampak
interaksi orang-orang Perlak di Aceh, mereka telah mengenal Islam. Selama masa-masa
ini, dinyatakan oleh Van Leur dan Schrieke, bahwa penyebaran Islam lebih terbantu
lewat faktor-faktor politik alih-alih karena niaga. Pandangan lain dari AH Johns dan SQ
Fatimi menyebutkan penyebaran Islam bertumpu pada imam-imam Sufi yang cakap
dalam soal kebatinan, dan bersedia menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dan
mengisinya kembali dengan semangat yang lebih Islami.
Di Pulau Sulawesi, Islam menyebar melalui hubungan Kerajaan-Kerajaan
setempat dengan para ulama dari Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya pula sempat
singgah di Hadramaut untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara.
Selain itu, pengaruh dari ulama Minang di wilayah Selatan pulau Sulawesi turut
mengantarkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bone untuk memeluk agama Islam.
Sementara itu, pengaruh dari Kesultanan Ternate turut berperan penting dalam
penyebaran agama Islam di pulau Sulawesi bagian tengah dan Utara. Salah satu buktinya
adalah eksistensi Kesultanan Gorontalo sebagai salah satu Kerajaan Islam paling
berpengaruh di Semenanjung Utara Sulawesi hingga ke Sulawesi bagian Tengah dan
Timur. Selain pengaruh Kesultanan Ternate, Ulama-Ulama besar yang hijrah ke wilayah
jazirah utara dan tengah Sulawesi pun turut mempercepat penyebaran agama Islam di
wilayah ini. Selain itu, Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad
ke-17, telah berhasil melakukan upaya penyebaran agama Islam hingga mencapai
wilayah Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai
abad 13 adalah tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun
625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa
Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus). Pernyataan yang hampir
senada dikemukakan Arnold, bahwa mungkin Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-
abad awal Hijriah. Meskipun kepulauan Indonesia telah disebut-sebut dalam tulisan ahli-
ahli bumi Arab, di dalam tarikh Cina telah disebutkan pada 674 M orang-orang Arab
telah menetap di pantai barat Sumatra.

Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khalifah Islam Utsman
bin Affan (644-656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu
Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil
kunjungan duta Islam ini adalah Peta Indonesia berkisar tahun 1674-1745 oleh Katip
Çelebi seorang geografer asal Turki Utsmani. raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari
Kalingga, masuk Islam. Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi tahun 42 Hijriah atau
672 Masehi.

Pada tahun 718 M raja Sriwijaya Sri Indravarman setelah pada masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah) pernah berkirim surat dengan
Umar bin Abdul Aziz sekaligus berikut menyebut gelarnya dengan 1000 ekor gajah,
berdayang inang pengasuh di istana 1000 putri, dan anak-anak raja yang bernaung di
bawah payung panji. Baginda berucap terima kasih akan kiriman hadiah daripada
Khalifah Bani Umayyah tersebut. Dalam hal ini, Hamka mengutip pendapat SQ Fatimi
yang membandingkan dengan The Forgotten Kingdom Schniger bahwa memang yang
dimaksud adalah Sriwijaya tentang Muara Takus, yang dekat dengan daerah yang banyak
gajahnya, yaitu Gunung Suliki. Apalagi dalam rangka bekas candi di sana, dibuat patung
gajah yang agaknya bernilai di aana. Tahun surat itu disebutkan Fatemi bahwa ia
bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ, Hamka menepatkan bahwa Islam telah
datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.
Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa adanya kitab Izh-harul
Haqq fi Silsilah Raja Ferlak yang ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari
daerah Makran, Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada
225H/847M diperintah berturut-turut oleh delapan sultan.

Bukti lain memperlihatkan telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti
Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.

Untuk menjelaskan bagaimana metode penyebaran Islam di Indonesia, Arnold


mengutip catatan yang dikutip dari C. Semper bahwa para pedagang Muslim
menggunakan bahasa dan adat istiadat orang tempatan. Setelah mengadakan pernikahan
dengan orang setempat, pembebasan budak, maka ia mengadakan perserikatan dan tak
lupa tetap memelihara hubungan persahabatan dengan golongan aristokrat yang juga
telah mendukung kebebasannya. Para pedagang ini, tidaklah datang sebagai penyerang,
tidak pula memakai pedang, ataupun memakai kelas atas guna menekan kawula-kawula
rakyat. Namun dakwah dilakukan dengan kecerdasan, dan harta perdagangan yang
mereka punya lebih mereka utamakan untuk modal dakwah.

Selama masa-masa abad pertengahan ini, pedagang-pedagang Muslim turut


memberi andil dalam bertumbuhnya perdagangan dan kota-kota yang terlibat di sana.
Bersamaan dengan kegiatan dagang orang Tionghoa dari Dinasti Ming, Gresik, Malaka,
dan Makassar berubah dari kampung kecil menjadi kota-kota besar dengan penduduk 50
ribu jiwa. Begitupun untuk Aceh, Patani, dan Banten.

1). Masa Kolonial


Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke
Nusantara untuk berdagang, tetapi pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah
daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu
seluruh wilayah Nusantara dikuasainya. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan
proses penyebaran dakwah terpotong.

Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara


aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama
saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas
perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang
siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi
tumbuh dan berkembang pada abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap
penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam
yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan
penjajah Belanda.

Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh
Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar
di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka
ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang
tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti
Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun 1906,
Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun
kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.

Setidak-tidaknya dalam tren menuju masa kebangkitan nasional pada awal abad
ke-20, pergumulan umat Islam di Indonesia berlangsung dalam 3 jalan: organisasi,
konsepsi pemikiranpemikiran ortodoks, dan politik. Organisasi di Hindia Belanda dari
berbagai spektrum Keislaman muncul, tapi yang menentukan tren keumatan ke depan
sejarah kala itu adalah NU dan Muhammadiyah. Organisasi-organisasi itu bergerak
dengan beberapa cara, antaranya menghubungkan masyarakat dari pelbagai daerah,
menyuarakan persamaan gagasan komunitas umat Islam secara global dengan mengirimi
buletin perkabaran umat Islam dari penjuru bumi, ataupun mengumpulkan orang banyak
untuk kegiatan reli massa.

2). Demografi
Sebagian besar ummat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia bagian
Barat, seperti di pulau Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah
Timur, penduduk Muslim banyak yang menetap di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara
Barat, dan Maluku Utara dan enklave tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten
Alor, Fakfak, Haruku, Banda, Leihitu, Tual dan lain-lain.

a). Distribusi Geografi

Berikut merupakan persebaran umat Islam per provinsi Indonesia. Sensus


dihadirkan pada tahun 2010.

No. Provinsi Muslim %


1. Aceh 4.413.244 98,2%
2. Sumatera Utara 8.579.830 60,4%
3. Sumatera Barat 4.721.924 97,4%
4. Riau 4.872.873 88%
5. Jambi 2.950.195 95,4%
6. Sumatera Selatan 7.218.951 96,9%
8. Bengkulu 1.669.081 97,3%
9. Lampung 7.264.783 95,5%
10. Bangka Belitung 1.088.791 89%
11. Kepulauan Riau 1.332.201 77,5%
12. DKI Jakarta 8.200.796 83,4%
13. Jawa Barat 41.763.592 97%
14. Jawa Tengah 31.328.341 96,7%
15. Daerah Istimewa Yogyakarta 3.179.129 91,9%
16. Jawa Timur 36.113.396 96,4%
17. Banten 10.065.783 94,7%
18. Bali 520.244 13,4%
19. Nusa Tenggara Barat 4.341.284 96,5%
20. Nusa Tenggara Timur 423.925 9%
21. Kalimantan Barat 2.603.318 59,2%
22. Kalimantan Tengah 1.643.715 74,3%
23. Kalimantan Selatan 3.505.846 96,7%
24. Kalimantan Timur 3.033.705 85,4%
25. Sulawesi Utara 701.699 30,9%
26. Sulawesi Tengah 2.047.959 77,7%
27. Sulawesi Selatan 7.200.938 89.6%
28. Sulawesi Tenggara 2.126.126 95,2%
29. Gorontalo 1.017.396 97,8%
30. Sulawesi Barat 957.735 82,6%
31. Maluku 776.130 49,6%
32. Maluku Utara 771.110 74,3%
33. Papua Barat 292.026 38,4%
34. Papua 450.096 15,9%
TOTAL 207.176.162 87,2%

3). Budaya
a). Bahasa & Adat Istiadat
Di Indonesia, telah diketahui bahwa Islam sampai ke Kepulauan Nusantara
sejak abad ke-7 dan berkembang pada abad ke-12 dan kemudian ke-16. Pada masa
ini, selain kata serapan, sistem aksara yang disebut huruf Jawi dan aksara daerah
juga tercipta, suatu hal yang sebelumnya tidak ada. Pada masa ini, bahasa Melayu
sebagai lingua franca berpadu mengembangkan kebudayaan Islam di jazirah ini.
Pengaruh Islam, lewat bahasa Arab, juga memengaruhi perkembangan daerah di
Indonesia, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bima, bahasa Bugis, bahasa
Lampung dan bahasa Sasak.

b). Arsitektur
Islam sangat banyak berpengaruh terhadap arsitektur bangunan di
Indonesia. Rumah Betawi salah satunya, adalah bentuk arsitektur bangunan yang
banyak dipengaruhi oleh corak Islam. Pada salah satu forum tanya jawab di situs
Era Muslim, disebutkan bahwa Rumah Betawi yang memiliki teras lebar, dan ada
bale-bale untuk tempat berkumpul, adalah salah satu ciri arsitektur peradaban Islam
di Indonesia.

4). Pendidikan
Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia
dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendidikan paling tua di
Indonesia.

5). Politik
Dengan mayoritas berpenduduk Muslim, politik di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh dan peranan umat Islam. Kebangunan akan kesedaran berpolitik ini diawali
kalangan kaum haji yang membawa kabar-kabar akan serangan Prancis terhadap
Maroko, umat Islam Libya diserang, dan gerakan nasionalis Mesir melawan imperialis
Inggris. Ini juga membentuk perasaan setia kawan sesama kaum Muslimin, dan
membangkitkan ketidaksukan terhadap kolonialisme dan imperialisme Eropa. Walau
demikian, Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam, tetapi ada daerah yang
diberikan keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam, seperti Aceh.

Seiring dengan reformasi 1998, di Indonesia jumlah partai politik Islam kian
bertambah. Pada Pemilu 1999, 17 partai Islam—yaitu 12 partai Islam dan 5 partai lain
berazaskan Islam dan Pancasila—ikut berlaga dalam pemilihan tersebut. Kesiapan
mereka dalam hal administrasi— terkecuali PPP yang memang sudah tua—
mengagumkan mengingat mereka dapat mengikuti segala syarat pemilu yang cukup
ketat, serupa bahwa setiap partai harus punya cabang sekurangnya di 14 provinsi.
Namun demikian, seluruh partai Islam itu kalah jauh dari PDI yang meraup sekitar
34% suara. Dalam Pemilu tersebut, PPP meraih 11.329.905 suara (10,7 persen) dan
bercokol pada peringkat ketiga, karena itu Partai Persatuan Pembangunan meraih 5
besar. Partai Bulan Bintang mampu membentuk fraksi sendiri walau cuma 13 anggota,
dan Partai Keadilan hanya memperoleh 7 kursi DPR saja. Bila sebelumnya hanya ada
satu partai politik Islam, yakni Partai Persatuan Pembangunan-akibat adanya kebijakan
pemerintah yang membatasi jumlah partai politik, pada pemilu 2004 terdapat enam
partai politik yang berasaskan Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, Partai Amanat Nasional, Partai
Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai