Anda di halaman 1dari 3

MASUKNYA ISLAM DI iNDONESIA

Penyebaran Islam menurut sejumlah catatan

Peta persebaran Islam di Indonesia

Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya Islam masuk ke
Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang Ceylon telah berdagang
dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami kemajuan pesat dalam hal perdagangan
dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan abad ke-8 orang Arab telah sampai ke Kanton.
[1]
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para
sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkan teori
masuknya Islam dalam tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang
dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13
M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui
jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di
Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat
sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Mereka berargumen akan fakta bahwa banyaknya
ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan bahkan juga Jawa.[2]
Selain itu pula, temuan Marco Polo juga menyatakan sebagai dampak interaksi orang-orang
Perlak di Sumatra Utara, mereka telah mengenal Islam. Selama masa-masa ini, dinyatakan oleh
Van Leur dan Schrieke, bahwa penyebaran Islam lebih terbantu lewat faktor-faktor politik alih-
alih karena niaga.[3] Pandangan lain dari AH Johns dan SQ Fatimi menyebutkan penyebaran
Islam bertumpu pada imam-imam Sufi yang cakap dalam soal kebatinan, dan bersedia
menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dan mengisinya kembali dengan semangat
yang lebih Islami.[4]
Peta Indonesia berkisar tahun 1674-1745 oleh Katip Çelebi seorang geografer asal Turki
Utsmani.

Di Pulau Sulawesi, Islam menyebar melalui hubungan Kerajaan-Kerajaan setempat dengan para
Ulama dari Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya pula sempat singgah di Hadramaut untuk
menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, pengaruh dari Ulama
Minang di wilayah Selatan pulau Sulawesi turut mengantarkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan
Bone untuk memeluk agama Islam.[5] Sementara itu, pengaruh dari Kesultanan Ternate turut
berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Sulawesi bagian tengah dan Utara.
Salah satu buktinya adalah eksistensi Kesultanan Gorontalo sebagai salah satu Kerajaan Islam
paling berpengaruh di Semenanjung Utara Sulawesi hingga ke Sulawesi bagian Tengah dan
Timur.[6] Selain pengaruh Kesultanan Ternate, Ulama-Ulama besar yang hijrah ke wilayah
jazirah utara dan tengah Sulawesi pun turut mempercepat penyebaran agama Islam di wilayah
ini. Selain itu, Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, telah
berhasil melakukan upaya penyebaran agama Islam hingga mencapai wilayah Semenanjung
Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah
tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah
Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di
pantai Barat Sumatra (Barus).[7] Pernyataan yang hampir senada dikemukakan Arnold, bahwa
mungkin Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad awal Hijriah. Meskipun kepulauan
Indonesia telah disebut-sebut dalam tulisan ahli-ahli bumi Arab, di dalam tarikh Cina telah
disebutkan pada 674 M orang-orang Arab telah menetap di pantai barat Sumatra.[8]

Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-
656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa
yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay
Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.[9] Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi
tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.[10]

Pada tahun 718 M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah pada masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah) pernah berkirim surat dengan Umar bin Abdul Aziz
sekaligus berikut menyebut gelarnya dengan 1000 ekor gajah, berdayang inang pengasuh di
istana 1000 putri, dan anak-anak raja yang bernaung di bawah payung panji. Baginda berucap
terima kasih akan kiriman hadiah daripada Khalifah Bani Umayyah tersebut.[11] Dalam hal ini,
Hamka mengutip pendapat SQ Fatimi yang membandingkan dengan The Forgotten Kingdom
Schniger bahwa memang yang dimaksud adalah Sriwijaya tentang Muara Takus, yang dekat
dengan daerah yang banyak gajahnya, yaitu Gunung Suliki. Apalagi dalam rangka bekas candi di
sana, dibuat patung gajah yang agaknya bernilai di aana. Tahun surat itu disebutkan Fatemi
bahwa ia bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ, Hamka menepatkan bahwa Islam telah
datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.[12]

Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa adanya kitab Izh-harul Haqq fi
Silsilah Raja Ferlak yang ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari daerah Makran,
Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada 225 H/847 M diperintah berturut-
turut oleh delapan sultan.[13]

Bukti lain memperlihatkan telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan
Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.[14]

Umat Islam Indonesia tengah membaca Al Quran setelah menunaikan salat di Masjid Istiqlal,
Jakarta. Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia

Untuk menjelaskan bagaimana metode penyebaran Islam di Indonesia, Arnold mengutip catatan
yang dikutip dari C. Semper bahwa para pedagang Muslim menggunakan bahasa dan adat
istiadat orang tempatan. Setelah mengadakan pernikahan dengan orang setempat, pembebasan
budak, maka ia mengadakan perserikatan dan tak lupa tetap memelihara hubungan persahabatan
dengan golongan aristokrat yang juga telah mendukung kebebasannya.[8] Para pedagang ini,
tidaklah datang sebagai penyerang, tidak pula memakai pedang, ataupun memakai kelas atas
guna menekan kawula-kawula rakyat. Namun dakwah dilakukan dengan kecerdasan, dan harta
perdagangan yang mereka punya lebih mereka utamakan untuk modal dakwah.[8]

Selama masa-masa abad pertengahan ini, pedagang-pedagang Muslim turut memberi andil dalam
bertumbuhnya perdagangan dan kota-kota yang terlibat di sana. Bersamaan dengan kegiatan
dagang orang Tionghoa dari Dinasti Ming, Gresik, Malaka, dan Makassar berubah dari kampung
kecil menjadi kota-kota besar dengan penduduk 50 ribu jiwa. Begitupun untuk Aceh, Patani, dan
Banten.[15]

Anda mungkin juga menyukai