Anda di halaman 1dari 12

BAB 7

MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar


7. Memahami sejarah perkembangan 7.1. Menceritakan sejarah masuknya Islam di Nusantara melalui perdagangan, sosial,
Islam di Nusantara dan pengajaran
7.2. Menceritakan sejarah beberapa kerajaan Islam di Jawa, Sumatera dan Sulawesi

Para ahli sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia setelah pengaruh agama Hindu-
Buddha melalui jalur perdagangan. Pengaruh-pengaruh tersebut membawa perubahan dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya pengaruh Islam jauh lebih kuat
dari agama Hindu-Buddha.
Masuk agama Islam di Nusantara berlangsung dengan cara-cara damai. Para dai memilih
berbagai unsur lokal sebagai media komunikasi dakwahnya sehingga Islam memperoleh landasan
yang begitu luas di Nusantara.
Berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad
ke-7 M. Namun, agama Islam mulai menyebar sekitar abad ke-13 yang ditandai dengan berdirinya
Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam yang pertama.
Agama Islam berkembang di Indonesia disebarkan oleh para mubalig dari berbagai golongan
sebagai berikut :
Pedagang dari Arab yang mula-mula memperkenalkan agama Islam di Indonesia, kemudian
disusul oleh pedagang-pedagang Islam dari Mesir, Persia, dan Gujarat. Para pedagang Islam
ini sudah sejak lama mengadakan hubungan dengan India, Cina, dan Asia Tenggara. Sambil
berdagang, mereka juga turut menyiarkan Islam, sebab dalam Islam setiap muslim memiliki
tugas menyebarkan ajaran Islam sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Golongan mubalig atau guru agama Islam, yaitu golongan yang pekerjaannya memang khusus
untuk mengajarkan agama Islam.
Golongan sufi (ahli tasawuf), yang diperkirakan masuk ke Indonesia sejak abad ke-13.
Para wali menurut sumber babad, dianggap sebagai pembawa dan penyebar Islam di tanah
Jawa. Di antara sekian banyak wali, yang terkenal adalah Wali Songo (Wali Sembilan), terdiri
dari berikut ini.
1). Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang diduga berasal dari Persia
dan berkedudukan di Gresik.
2). Sunan Ngampel atau Raden Rahmat dan berkedudukan di Ngampel, Surabaya.
3). Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Raden Rahmat
(Sunan Ampel). Ia tinggal di Bonang, dekat Tuban.
4). Sunan Drajat atau Syarifuddin, juga putra dari Raden Rahmat dan berkedudukan di
Drajat, dekat Sedayu, Surabaya.
5). Sunan Giri atau Prabu Satmata atau Sultan Abdul Fakih yang semula bemama Raden
Paku dan berkedudukan di Bukit Giri, dekat Gresik.
6). Sunan Kalijaga putra Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban yang berkedudukan di
Kadilangu, dekat Demak.
7). Sunan Kudus atau Ja'far Sodiq, putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan
Ngandung di Jipang Panolan, berkedudukan di Kudus.
8). Sunan Muria atau Raden Umar Said berkedudukan di Gunung Muria, Kudus.
9). Sunan Gunung Jati dari Pasai, sebelah utara Aceh yang berkedudukan di Gunung Jati,
Cirebon.

Di samping Wali Songo, juga ada wali-wali lain yang menyebarkan Islam, misalnya Sunan Tembayat
atau Sunan Bayat yang berkedudukan di Klaten, Sunan Lawu, Syeikh Bentong, Sunan Sendang, dan
Sunan Mojoagung. Di kalangan masyarakat timbul anggapan bahwa Wali Songo hanya merupakan
julukan yang mengandung perlambang suatu dewan para wali. Angka sembilan sejak sebelum
kedatangan agama Islam dianggap sebagai angka yang keramat. Di luar Jawa, Datuk Ri Bandang dan
Datuk Sulaiman menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, serta Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang
Ri Parangan di Kutai.

A. CARA-CARA DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA

Proses penyebaran dan perkembangan agama dan kebudayaan Islam selain dilakukan melalui
perdagangan juga melalui saluransaluran sebagai berikut. :

Perkawinan
Di antara para pedagang Islam itu ada yang terus menetap di Nusantara dan membentuk
perkampungan muslim. Hingga sekarang di beberapa kota di Indonesia terdapat kampung Pekojan
yang merupakan tempat tinggal para pedagang Gujarat. Sebagian dari pedagang itu menikah dengan
wanita penduduk setempat, terutama putri raja atau bangsawan. Karena pemikahan itulah banyak
keluarga raja atau bangsawan masuk Islam. Contohnya perkawinan Raden Rahmat (Sunan Ampel)
dengan Nyai Gede Manila, putri Tumenggung Wilatikta.

Pendidikan
Para ulama atau mubalig mendirikan pondok pesantren di beberapa tempat di Nusantara. Di situlah
para santri dari berbagai daerah dan berbagai kalangan masyarakat menerima pendidikan agama Islam.
Mereka tinggal dalam pondok semacam asrama dalam jangka waktu tertentu menurut tingkatan
kelasnya. Setelah tamat, mereka pun menjadi mubalig dan mendirikan pondok pesantren di daerah
masing-masing. Melalui cara itu Islam terus berkembang menyebar di daerah-daerah yang terpencil.

Dakwah di Kalangan Masyarakat


Penyebaran Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dengan peranan Wali Songo atau Wali Sembilan.
Wali adalah sebutan bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkat pengetahuan dan penghayatan
agama Islam yang sangat dalam dan sanggup berjuang untuk kepentingan agama.

Kesenian
Penyebaran agama Islam dengan menggunakan sarana kesenian disesuaikan dengan keadaan di
Indonesia karena waktu itu kebudayaan Hindu-Buddha dan kepercayaan asli masih berakar kuat.
Para penyebar agama Islam tidak mengubah kesenian tersebut, bahkan mereka menggunakan seni
budaya tersebut sebagai sarana menyebarkan Islam. Cabangcabang seni yang berpengaruh dalam
proses Islamisasi antara lain seni bangun, seni pahat, seni ukir, dan seni tari. Dalam seni bangun
masjid, mimbar dan ukiran-ukirannya masih menunjukkan
motif-motif seperti yang terdapat pada candi-candi Hindu atau buddha. Hal-hal tersebut dapat dilihat
pada Masjid Demak, Sendang Duwur, Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten,
dan Masjid Baiturrahman di Aceh. Demikian juga pertunjukan wayang kulit yang disisipka dengan
nilai-nilai Islam dalam penyebaran Islam.

B. KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA, JAWA, DAN SULAWESI

1. Kerajaan Samudera Pasai

Aceh merupakan daerah di Indonesia yang pertama kali mendapatkan dakwah Islam. Para mubalig
yang menyebarkan Islam di sana tidak hanya terdiri dari pedagang India dari Gujarat, tetapi juga
terdiri dari mubalig-mubalig Islam dari bangsa Arab.
Jalur perdagangan antara Cina dan Arab adalah melalui jalan darat dan jalan laut. Berdasarkan cerita
adalah peta-peta yang ditinggalkan oleh para penulis sejarah yang lampau dari bangsa Arab atau
bangsa Barat, jalan laut selalu melalui Selat Malaka. Kedatangan orang-orang Islam di Asia Tenggara,
khususnya Selat Malaka sekitar abad ke-7 hingga abad ke-10, pada awalnya mungkin belum terasa
dampaknya bagi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di sekitar kawasan tersebut karena para pedagang
Islam itu baru pada tahap menjelajahi masalah-masalah di bidang pelayaran dan perdagangan.
Namun, seiring dengan kemunduran Kerajaan Sriwijaya, pedagang-pedagang Islam yang mungkin
pula disertai pula oleh mubalig-mubalignya, lebih berkesempatan untuk mendapat keuntungan dagang
dan politik. Mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul dan yang menyatakan dirinya
sebagai kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Samudra Pasai yang lokasinya diduga di pesisir timur laut
Aceh, Kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh Utara sekarang.
Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam yang pertama di Indonesia diperkirakan mulai abad
ke-13. Hal itu mungkin hasil proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pemah disinggahi para
pedagang Islam sejak abad ke-7, termasuk daerah Aceh di ujung utara Pulau Sumatra. Kawasan Aceh
yang strategis dan berada di pintu masuk Selat Malaka menjadikan Aceh sebagai tempat pertemuan
para pedagang dari berbagai daerah di Nusantara dan para pedagang dari luar negeri, khususnya para
pedagang Islam, sehingga tidak mengherankan kalau pengaruh Islam sangat kuat di Aceh dan
diwujudkan dalam bentuk munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai.

2. Kerajaan Aceh

Aceh semula menjadi daerah taklukan Kerajaan Pedir. Namun, dengan jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis (tahun 1511) dan makin surutnya pengaruh Kerajaan Samudra Pasai, maka para pedagang di
Selat Malaka beralih ke pelabuhan Aceh (Olele). Aceh segera berkembang dengan cepat, dan akhimya
melepaskan diri dari kekuasaan Pedir.
Nama Aceh menanjak dengan cepat pada abad ke-17. Sejak itu seluruh Aceh berada di bawah
naungan Aceh Besar yang berpusat di Kutaraja. Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus
sebagai pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Pada masa
pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan mencapai kemakmuran yang luar biasa. Bandar Aceh dibuka
menjadi bandar intemasional dengan jaminan pengamanan gangguan laut dari kapal perang Portugis.
Penaklukan demi penaklukan tidak hanya dilakukan terhadap tanah Aceh dan sekitamya, tapi juga
meluas jauh ke luar Aceh sehingga kekuasaan Aceh membentang dari daerah Deli sampai dengan
Semenanjung Malaka . Namun, usaha Aceh untuk menguasai Malaka yang diduduki oleh Portugis
berulang kali mengalami kegagalan. Pada masa Sultan Iskandar Muda itulah disusun suatu undang-
undang tentang tata pemerintahan yang disebut Adat Makuta Alam.
Bidang sastra dan filsafat di Aceh juga mengalami kemajuan. Pada zaman itu tampillah Hamzah
Fansuri, seorang ulama besar yang mengajarkan ilmu tasawuf dan pengarang buku tentang filsafat
agama Islam dan syiar keagamaan. Setelah beliau meninggal dunia, ajarannya disebarluaskan oleh
salah seorang muridnya, yaitu Syamsuddin Pasai. Di sisi lain ada seorang ulama besar lagi yang
bemama Nuruddin Ar-Raniri, pengarang buku sejarah Aceh yang sangat menentang ajaran Hamzah
Fansuri. Di dalam buku Sejarah Aceh yang diberi nama Bustanussalatin (Taman Segala Raja)
menguraikan tentang adat istiadat suku Aceh dan ajaran agama Islam. Hasil kesusastraan Aceh itu
tidak ditulis dalam Bahasa Aceh, tetapi dalam Bahasa Melayu.
Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 dan digantikan oleh menantunya, yaitu Sultan Iskandar
Tani (1636-1641). Masa pemerintahannya tidak lama karena ia tidak memiliki kepribadian dan
kecakapan yang kuat seperti Sultan Iskandar Muda. Penggantinya adalah permaisurinya sendiri, yaitu
putri Sultan Iskandar Muda yang bemama Syafiatu'ddin.
Sejak Sultan Iskandar Muda wafat, Aceh terus menerus mengalami kemunduran. Hal itu disebabkan
antara lain oleh faktor-faktor sebagai berikut.
Kekalahan Aceh melawan Portugis di Malaka dalam perang tahun 1629 membawa korban jiwa
dan harta benda serta kapal-kapal yang cukup besar.
Tidak adanya tokoh yang cakap memerintah sepeninggal Sultan Iskandar Muda.
Daerah-daerah taklukan yang jauh dari pemerintah pusat mulai melepaskan diri dari pengaruh
Aceh, seperti Johor, Perlak, Pahang, Minangkabau, dan Siak.

3. Kerajaan Demak

Kerajaan Demak mulai berdiri sekitar tahun 1478. Hal itu didasarkan pada saat jatuhnya Majapahit
yang diperintah oleh Prabu Kertabumi. Para wali kemudian sepakat untuk menobatkan Raden Patah
menjadi Sultan Demak Bintoro yang pertama.
Raden Patah adalah putra Prabu Kertabumi. Setelah takhta ayahnya jatuh ke tangan Girindra
Wardhana dari Keling (Daha) dan Demak menjadi terancam, maka terjadilah peperangan antara
Demak dan Majapahit yang dipimpin oleh Girindra Wardhana dan keturunannya, Prabu Udara, hingga
tahun 1518. Majapahit mengalami kekalahan dan pusat kekuasaan bergeser ke Demak. Sejak itu
Demak berkembang menjadi besar dan menguasai jalur perdagangan di Nusantara. Wilayah
kekuasaan Demak cukup luas, yaitu meliputi daerah sepanjang pantai utara Pulau Jawa, sedangkan
daerah pengaruhnya sampai ke Palembang, Jambi, Banjar, dan Maluku.
Pada tahun 1518 Raden Patah digantikan oleh putranya yang bemama Pati Unus. Sebelum menduduki
takhta, Pati Unus pemah memimpin armada laut Demak dalam menyerang Portugis di Malaka pada
tahun 1513. Namun, penyerangan itu gagal. Sekembalinya dari Malaka ia mendapat gelar Pangeran
Sabrang Lor. Setelah Pati Unus naik takhta, ia tidak mencoba lagi menyerang Malaka, tetapi
tetapmemperkuat pertahanan lautnya agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Sikap permusuhan Demak
terhadap Portugis temyata sangat merugikan Portugis dan Bandar Malaka sebab Demak tidak lagi
mengirimkan barang-barang dagangannya ke Malaka. Para pedagang dari negara lain juga enggan
datang berdagang ke Bandar Malaka.
Pati Unus meninggal pada tahun 1521 dan digantikan oleh adiknya yang bemama Raden Trenggono.
Setelah naik takhta, Sultan Trenggono melakukan usaha membendung masuknya Portugis ke Jawa
Barat. Pada tahun 1522 gubemur Portugis di Malaka, Jorge di Albuquerque telah mengirimkan
Henrique Lame kepada Raja Samiam di Sunda. Utusan itu diterima baik, bahkan Portugis diberi izin
untuk mendirikan kantor dagangnya di Sunda Kelapa. Mendengar kabar itu, Sultan Trenggono
mengutus Fatahillah (Faletehan) beserta pasukannya untuk menguasai Jawa Barat agar Portugis tidak
dapat masuk ke sana.
Faletehan adalah seorang guru besar agama Islam dari Pasai dan seorang panglima militer yang cakap.
Dengan semangat juang yang tinggi, Banten dapat ditaklukkan dan berhasil dikuasai seluruhnya pada
tahun 1527, kemudian menyusul Sunda Kelapa yang jatuh ke tangan pasukan Demak. Tentara
Portugis yang baru saja tiba dari Malaka dan akan memberikan bantuan kepada pasukan Sunda, dapat
dihancurkan pula. Atas kemenangannya itu, Sunda Kelapa diubah namanya menjadi Jayakarta. Setelah
itu menyusul Cirebon dapat dikuasai Demak pada tahun 1528. Akhimya, seluruh pantai utara Jawa
mulai dari Banten sampai Gresik berada di bawah kekuasaan Demak. Atas jasanya yang besar itu,
Fatahillah dikawinkan dengan adik Sultan Trenggono dan diangkat menjadi raja di Cirebon.
Pasukan Demak terus bergerak ke daerah pedalaman dan berhasil menundukkan Pajang dan Mataram.
Setelah itu Madura jatuh pula ke dalam kekuasaan Demak. Untuk memperkuat kedudukannya, putri
Sultan Trenggono dikawinkan dengan Pangeran Langgar, bupati Madura. Kemudian Jaka Tingkir,
putra bupati Pengging, diambil menantu oleh Sultan Trenggono dan diangkat menjadi adipati di
Pajang.
Sementara itu, kawasan Pasuruan di Jawa Timur sedang berkembang sebagai kota pelabuhan dan
pusat perdagangan yang mempunyai hubungan dagang dengan Bali, pulau-pulau di Indonesia bagian
tengah dan timur serta dengan bangsa Portugis. Hal itu jelas merupakan saingan bagi Demak sehingga
pada tahun 1546 Demak menyerang Pasuruan dengan dipimpin langsung oleh Sultan Trenggono dan
Fatahillah. Terjadilah pertempuran dahsyat yang sampai menewaskan Sultan Trenggono. Setelah
rajanya gugur, pasukan Demak patah semangat dan seluruh pasukan ditarik mundur kembali ke
Demak.
Wafatnya Sultan Trenggono menimbulkan kekacauan politik yang hebat di keraton Demak. Negeri-
negeri bagian (kadtpaten) berusaha melepaskan diri dan tidak mengakui lagi kekuasaan Demak. Di
Demak sendiri timbul pertentangan di antara para ahli waris yang saling berebut takhta. Orang yang
seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggono adalah Pangeran Sekar Sedo ing Lepen.
Namun, ia dibunuh oleh Sunan Prawoto yang berharap dapat mewarisi takhta kerajaan. Adipati Jipang
yang bemama Arya Penangsang, anak laki-laki Pangeran Sekar Sedo ing Lepen, tidak tinggal diam
karena ia merasa lebih berhak mewarisi takhta Demak. Sunan Prawoto dengan beberapa
pendukungnya berhasil dibunuh dan Arya Penangsang berhasil naik takhta. Akan tetapi, Arya
Penangsang tidak berkuasa lama karena ia kemudian dikalahkan oleh Jaka Tingkir. Pusat kerajaan
kemudian dipindahkan ke Pajang dan berakhirlah kekuasaan Kerajaan Demak pada tahun 1568
4. Kerajaan Pajang (1568-1586)
Jaka Tingkir menjadi raja pertama Kerajaan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya
yang disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati di seluruh Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Demak kemudian hanya menjadi kadipaten yang dipimpin oleh Arya Pangiri, putra
Sunan Prawoto.
Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan diangkat menjadi bupati di
Mataram (sekitar Kota Gede Yogyakarta) sebagai imbalan atas keberhasilannya menumpas Aria
Penangsang. Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya.
Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di
Mataram. Senopati temyata tidak puas menjadi bupati karena ia ingin menjadi raja yang menguasai
seluruh Jawa. Ia mulai memperkuat sistem pertahanan Mataram, baik jumlah dan kualitas prajurit
maupun persenjataannya. Hadiwijaya yang mengetahui hal itu segera mengirimkan pasukannya ke
Mataram. Peperangan sengit terjadi pada tahun 1582, namun prajurit Pajang menderita kekalahan
besar. Sultan Hadiwijaya menderita sakit dan akhimya wafat. Setelah itu, terjadilah perebutan
kekuasaan di antara para bangsawan.
Pangeran Pangiri (menantu Hadiwijaya yang menjabat Bupati Demak) datang menyerbu Pajang untuk
merebut takhta. Hal itu ditentang keras olah para bangsawan Pajang yang bekerja sama dengan
Sutawijaya dari Mataram. Akhimya, Pangeran Pangiri beserta pengikutnya dapat dikalahkan dan
diusir dari Pajang.
Setelah suasana aman, Pangeran Benowo (putra Hadiwijaya) menyerahkan takhta kepada Sutawijaya.
Sutawijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Mataram (1586). Sejak itu berdirilah
Kerajaan Mataram. Sutawijaya kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin
Panatagama, sedangkan Pangeran Benowo diangkat menjadi bupati Pajang.

5. Kerajaan Mataram Islam (abad 17-19)


Pemerintahan Senopati temyata banyak menghadapi rintangan. Para bupati di pesisir utara Jawa yang
sebelumnya tunduk kepada Demak dan Pajang, ingin melepaskan diri. Perlawanan terhadap Mataram
berpusat di Demak, Jepara, Kudus, dan Gresik-Surabaya. Kekuatan dihimpun dari Kediri, Madiun,
dan Ponorogo yang berpusat di Pajang. Panembahan Senopati dengan susah payah terus berusaha
menundukkan bupati-bupati yang menentangnya. Sepeninggal Senopati, wilayah kekuasaan Mataram
meliputi Galuh (Jawa Barat) sampai Pasuruan di Jawa Timur.
Senopati diganti oleh putranya, yaitu Mas Jolang. Pada masa pemerintahan Mas Jolang juga diwamai
dengan peperangan yang melelahkan terhadap para pemberontak terutama para bupati di daerah
pesisir. Namun, ia tidak sekuat Senopati sehingga tidak mampu memperluas wilayahnya sampai ia
wafat tahun 1613.
Sepeninggal Mas Jolang penggantinya adalah putranya, Mas Rangsang. Setelah naik takhta ia bergelar
Sultan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman Kalipatullah. Ia Raja Mataram yang pertama kali
menggunakan gelar sultan sebagai lambang keberanian dan kebesaran jiwanya dalam menghadapi
segala rintangan untuk melanjutkan citacita Panembahan Senopati. Rintangan yang harus
dihadapinya terdiri dari berikut ini.
Bupati-bupati yang tidak mau tunduk kepada Mataram, antara lain Pati, Lasem, Tuban,
Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro.
Kerajaan Cirebon dan Banten (di Jawa Barat).
Kompeni Belanda di Batavia.
Untuk menundukkan rintangan-rintangan itu Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar pasukan,
persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan mental. Persiapan itu memakan waktu
dua tahun. Mulai tahun 1615, Sultan Agung menggempur pertahanan bupati-bupati daerah pesisir.
Satu demi satu daerah-daerah seperti Semarang, Jepara, Demak, Lasem, Tuban, dan Madura dapat
ditundukkan Mataram. Kemudian daerah pedalaman seperti Madiun, Ponorogo, Blora, dan
Bojonegoro pun tunduk kepada Mataram. Perlawanan itu telah memakan waktu sembilan tahun dan
Surabaya baru berhasil ditundukkan pada tahun 1625.
Setelah Surabaya jatuh, Sultan Agung adalah raja seluruh Jawa, kacuali Banten, Batavia, Cirebon, dan
Blambangan. Karena ambisinya yang besar itu, Sultan Agung mencoba merebut Batavia dari tangan
Belanda pada tahun 1628 dan tahun 1629. Namun, usaha Sultan Agung itu mengalami kegagalan.
Kerajaan Mataram mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1645). Hal itu merupakan cerminan dari kebesaran jiwa, keberanian,
keuletan, dan kecakapan serta kuatnya kepribadian Sultan Agung. Ia adalah seorang militer yang
ulung, organisator yang berhasil, ahli politik, ahli sastra, ahli filsafat, dan sangat mementingkan urusan
agama.
Prestasi besar yang dapat dicapai oleh Sultan Agung antara lain sebagai berikut.
Memperluas daerah kekuasaannya hingga meliputi Jawa-Madura (kecuali Banten dan
Batavia), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.
Mengatur dan mengawasai wilayahnya yang luas itu langsung dari pemerintah pusatnya (Kota
Gede).
Melakukan kegiatan ekonomi yang bercorak agraris dan maritim. Mataram adalah pengekspor
beras terbesar pada masa itu.
Melakukan mobilisasi militer secara besar-besaran sehingga mampu menundukkan daerah-
daerah sepanjang pantai utara Jawa dan mampu menyerang Belanda di Batavia sampai dua
kali. Andaikata Batavia tidak dipagari tembok-tembok yang tinggi, benteng-benteng yang kuat
dan persenjataan yang modem, sudah pasti Batavia jatuh di tangan Mataram.
Mengubah perhitungan tahun Jawa Hindu (Saka) dengan tahun Islam (Hijrah) yang
berdasarkan peredaran Bulan (sejak tahun 1633).
Menyusun karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Sastra Gending.
Menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan
adat-istiadat Jawa yang disebut Surya Alam.
Pada masa pemerintahan raja-raja pengganti Sultan Agung kerajaan mengalami kemunduran.
Berangsur-angsur wilayah kerajaan makin menyempit akibat pendudukan Belanda-VOC sebagai
imbalan dari campur tangannya dalam pertentangan intem di kalangan kerajaan.
Setelah Perang Trunojoyo berakhir pada tahun 1678, Mataram harus melepaskan daerah Karawang,
sebagian Priangan, dan Semarang.
Demikian juga akibat perlawanan Untung Suropati yang berakhir pada tahun 1705, daerah Cirebon,
sebagian Priangan, dan sebagian Madura dikuasai oleh Belanda. Setelah terjadi pemberontakan Cina
yang berakhir tahun 1743, seluruh daerah pantai utara Jawa dan Pulau Madura dikuasai Belanda.
Setelah berakhimya Perjanjian Giyanti tahun 1755, Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua bagian,
yaitu Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Lewat Perjanjian Salatiga pada tahun 1757, Surakarta
terpecah lagi dengan munculnya kekuasaan Mangkunegaran, sedangkan Yogyakarta juga terpecah
lewat perjanjian tahun 1813 dengan pemerintah Inggris, yaitu dengan munculnya kekuasaan
Pakualam

6. Kerajaan Banten

Pada awalnya Banten adalah daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Ketika Pajajaran mengadakan
hubungan dengan Portugis di Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak, pada tahun
1526 Sultan Trenggono dari Demak segera mengutus Faletehan dan Pangeran Carbon (masih
mempunyai hubungan darah dengan keluarga Raja Pakuan Pajajaran yang beragama Islam) untuk
merebut Banten dan pantai Utara Jawa Barat. Usaha itu berhasil dengan gemilang, Banten, Sunda
Kelapa, dan Cirebon jatuh ke tangan Faletehan. Sejak itu Agama Islam berkembang pesat di Jawa
Barat. Banten segera tumbuh menjadi Bandar yang penting di Selat Sunda setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis (1511), sebab pedagang-pedagang dari Gujarat, India, Timur Tengah, Arab, dan
sebagainya enggan berlabuh ke Malaka.
Pada tahun 1552 Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putr anya, Hasanuddin.
Faletehan pergi ke Cirebon untuk berdakwah dan mengajarkan agama Islam sampai ia wafat (1570). Ia
dimakamkan di Desa Gunung Jati, karena itu ia lalu terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Di
bawah pemerintahan Hasanuddin (1552-1570), Banten cepat berkembang menjadi besar. Wilayahnya
meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai, karena Banten- dan Lampung
menghasilkan lada dan pala dalam jumlah yang besar. Banyak pedagang dari Cina, India, Gujarat,
Parsi, dan Arab setelah berlabuh di Aceh lalu
meneruskan pelayarannya lewat pantai barat Sumatra menuju Banten. Demikian pula pedagang-
pedagang dari Kalimantan, Makassar, Nusa Tenggara, dan Maluku banyak yang datang di Banten.
Oleh karena itu, Banten menjadi saingan berat bagi Malaka. Karena saat itu situasi politik dan
pemerintahan di Demak kacau, pada tahun 1568 Hasanuddin melepaskan diri dari kekuasaan Demak.
Hasanuddin wafat tahun 1570, kemudian digantikan oleh putranya Yusuf. Sultan memperluas daerah
kekuasaannya ke pedalaman. Padatahun 1579 kekuasaan Kerajaan Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu
kotanya direbut, dan rajanya (Prabu Sedah) tewas dalam pertempuran. Sejak itu tamatlah riwayat
kerajaan Hindu di Jawa Barat.
Sultan Yusuf wafat tahun 1580. Sesaat sebelum ia wafat, saudaranya yang mendapat didikan di istana
Kalinyamat (Jepara) datang untuk menggantikan takhta kakaknya, tetapi ditolak oleh para pembesar
kerajaan dan akhimya terjadilah pertempuran sengit. Para pengawal dari Jepara terdesak dan maksud
mereka gagal. Setelah peristiwa itu, - '-a Yusuf yaitu Maulana Muhammad yang baru berusia sembilan
tahun terus diangkat menjadi raja dengan gelar Ratu Banten di bawah perwalian Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad berlangsung dari tahun 1580-1605. Pada masa itulah
pedagang Belanda pertama kali tiba di Banten (1596) yang dipimpin oleh Comelis de Houtman.
Pada tahun 1605 Ratu Banten memimpin armadanya untuk merebut Palembang, tetapi gagal, bahkan
ia sendiri tewas dalam pertempuran di Palembang. Penggantinya adalah Abulmufakir yang masih
kanak-kanak. Ia didampingi oleh walinya yang bemama Pangeran Ranamenggala. Selama
pemerintahan Kanamenggala, perdagangan di Banten berkembang pesat. Para pedagang muslim tidak
lagi berdagang di Malaka melainkan ke Banten karena Malaka jatuh ke tangan Portugis. Setelah
Pangeran Ranamenggala wafat tahun 1624, Banten mengalami kemunduran. Banten mencapai puncak
kejayaan kembali pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa.

7. Kerajaan Banjar

Dari hikayat Banjar dapat diketahui bahwa Kerajaan Banjar beribukota di Banjarmasin. Keraton yang
didirikan di Banjarmasin merupakan keraton yang ketiga. Keraton itu didirikan oleh Pangeran
Samudra setelah berhasil menghalau serangan Nagara Daha berkat bantuan Demak. Keraton didirikan
sekitar permulaan abad ke-16 M. Sebelum Kerajaan Banjarmasin berdiri, terdapat Nagara Dipa yang
berada di sekitar Tanjung Pura, kemudian ke Muara Bahan sebagai ibukota Nagara Daha. Daerah
Banjarmasin yang terletak di muara sungai memungkinkan kapal-kapal besar dari pantai berlabuh di
sana. Raja yang pertama ialah Pangeran Samudra yang setelah menjadi raja dinobatkan menjadi Sultan
Suryanullah atau Suryansyah.

8. Kerajaan Gowa

Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16 terdapat banyak kerajaan bercorak Hindu, tetapi yang
terkenal adalah Gowa, Tallao, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Berkat adanya dakwah dari Datuk ri
Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau, pada tahun 1605 Sultan Alauddin (1591 1639) dari
Gowa secara resmi mengucapkan kalimat syahadat. Hal itu berarti bahwa sejak itu kerajaan Gowa pun
resmi menjadi kerajaan Islam . Rakyat pun segera ikut memeluk Islam. Kerajaan Gowa dan Tallo
akhimya dapat menguasai kerajaan-kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan
Makassar. Dari Makassar agamaIslam disebarkan ke berbagai daerah, bahkan sampai ke Kalimantan
Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggaran Timur.
Makassar tumbuh menjadi bandar yang ramai karena letaknya di tengah-tengah antara Maluku, Jawa,
Kalimantan, Sumatra, dan Malaka. Pertumbuhan Makassar makin cepat setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis (1511) dan Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari
Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar. Para pedagang Makassar membawa beras dan
gula dari Jawa dan daerah Makassar sendiri ke Maluku, kemudian ditukarkan dengan rempahrempah
di Maluku. Rempah-rempah lalu dijual ke Malaka dan pulangnya membawa dagangan, antara lain
kain dari India, sutera, tembikar dari Cina, dan berlian dari Banjar.
Pada pertengahan abad ke-17 Makassar atau Gowa berada pada puncak kejayaannya. Pada masa itu
dapat dikatakan bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia bagian timur mulai Pulau-pulau Sangir-
Talaud sebelah utara, Kutai di bagian barat, serta daerah Marege (Australia) di bagian selatan, sudah
merasakan pengaruh kekuasaan Kerajaan Gowa. Pemerintahan kerajaan Gowa mencapai puncaknya
terutama di bawah pemerintahan Sultan Malikussaid. Ia memerintah dari tahun 1639 sampai tahun
1653.
Raja berikutnya yaitu Sultan Hasanuddin (1654-1660) yang kemudian memperluas daerah
kekuasaannya dengan menundukkan negara-negara kecil di Sulawesi Selatan, termasuk kerajaan
Bone. Raja Bone (Aru Palaka) diusir dari negerinya.
Orang-orang Belanda pada permulaannya tidak tertarik kepada Kerajaan Gowa yang terletak di kaki
barat Sulawesi Selatan. Mereka baru mengetahui setelah berhasil menangkap sebuah kapal Portugis di
dekat perairan Malaka. Di kapal itu terdapat seorang awak kapal dari Makassar. Dari awak kapal itu
mereka mendapat inforinasi tentang keadaan kerajaan Gowa. Temyata pelabuhan kerajaan Gowa di
Sombaopu merupakan sebuah pelabuhan transito yang penting bagi kapal-kapal yang berlayar ke atau
dari Maluku.

Setelah Belanda mengetahui bahwa Bandar Makassar cukup ramai dan banyak menghasilkan beras,
maka Belanda mulai mengirimkan utusannya ke Makassar untuk membuka hubungan dagang. Utusan
itu diterima baik dan Belanda sering datang ke Makassar, tetapi hanya untuk berdagang. Setelah
Belanda sering datang ke Makassar, mereka mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk bersama-sama
menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). Belanda juga menganjurkan agar Makassar tidak menjual
berasnya kepada Portugis. Namun, semua ajakan Belanda itu ditolak.
Antara Makassar dan Belanda sering terjadi konflik karena persaingan dagang. Permusuhan Makassar
dengan Belandadiawali dengan terjadinya insiden penipuan pada tahun 1616. Saat itu para pembesar
Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi temyata mereka dilucuti
sehingga terjadilah perkelahian seru yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Sejak itu
orang-orang Makassar membenci Belanda. Suatu ketika orang-orang Makassar membunuh awak-awak
kapal yang mendarat di Sumba. Orang-orang Belanda pun juga sering menyerang perahu-perahu
Makassar yang berdagang ke Maluku. Keadaan semakin meruncing dan akhimya pecah menjadi
perang terbuka. Dalam peperangan tersebut Belanda sering mengalami kesulitan dalam menundukkan
Makassar sehingga Belanda memperalat Aru Palaka (raja Bone) untuk mengalahkan Makassar.

9. Kerajaan Temate

Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan Temate yang ibu kotanya terletak di Sampalu
(Pulau Temate). Selain Kerajaan Temate di Maluku, juga telah berdiri kerajaan-kerajaan lain, yaitu
Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan-kerajaan itu, Kerajaan Temate yang paling maju.
Kerajaan Temate banyak menghasilkan rempah-rempah sehingga Temate banyak dikunjungi oleh
pedagang-pedagang dari Jawa, Melayu, Cina, dan Arab. Selain did atangi para pedagang, Temate juga
memiliki kapal-kapal dagang yang sering berlayar ke daerah-daerah lain.
Menurut catatan orang Portugis, raja di Maluku yang mula-mula memeluk agama Islam adalah raja
Temate, yaitu Gapi Baguna atau Sultan Marhum yang masuk Islam karena menerima pengaruh
dakwah dari Datuk Maulana Husin. Ia memerintah tahun 1465-1485. Setelah wafat, beliau digantikan
oleh putranya, Zainal Abidin. Pada tahun 1495 Zainal Abidin mewakilkan pemerintahannya kepada
keluarganya karena ia memperdalam pengetahuan agama Islam kepada Sunan Giri dan kemudian ke
Malaka. Setelah kembali ke Temate, Zainal Abidin sangat giat menyebarkan agama Islam ke pulau-
pulau di sekitamya, bahkan sampai ke Filipina Selatan.
Zainal Abidin hanya memerintah sampai tahun 1500, dan yang kemudian memerintah di Temate
secara berturut-turut adalah Sultan Sirullah, Sultan Khairun, dan Sultan Baabullah. Sejak
pemerintahan Sultan Khairun, di Maluku telah berdatangan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Di
antara mereka terjadi persaingan yang ketat sehingga akhimya terjadi konflik. Bangsa Portugis
berhasil mendirikan benteng di Temate, yaitu Benteng Sao Paulo dengan dalih bahwa benteng tersebut
dibangun untuk melindungi Temate dari serangan Tidore yang bersekutu dengan Spanyol. Namun,
lambat laun bangsa Portugis melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan kebencian rakyat
Temate, misalnya melakukan kegiatan monopoli perdagangan, bersikap angkuh dan kasar, serta ikut
campur masalah in tem Kesultanan Temate.
Penguasa Temate yang menentang Portugis adalah Sultan Khairun yang memerintah pada tahun 1550
sampai 1570. Ia secara tegas menolak kehadiran para misionaris Portugis di Temate. Hal itu membuat
Portugis khawatir akan terusir dari bumi Temate sehingga dengan dalih mengadakan perjanjian
perdamaian Portugis di bawah pimpinan De Mesqiuta, membunuh Sultan Khairun pada tahun 1570.
Rakyat Temate di bawah pimpinan putra Sultan Khairun, yaitu Sultan Baabullah, akhimya
mengangkat senjata melawan bangsa Portugis. Setelah benteng Portugis dikepung selama lima tahun,
pada tahun 1575 Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Temate.
Di bawah pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Temate mencapai masa kejayaannya. Wilayah
dan pengaruhnya sangat luas meliputi dari Mindanau (Filipina), seluruh kepulauan di Maluku, Papua,
dan Timor. Karena wilayahnya yang luas serta pelayaran dan perdagangannya yang maju, Sultan
Baabullah mendapat gelar Yang Dipertuan di 72 pulau. Untuk menjaga keamanan wilayahnya,
Temate memiliki 100 kapal kora-kora. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
Kerajaan Temate telah
berhasil membangun armada laut yang cukup kuat sehingga mampu melindungi wilayahnya yang
cukup luas tersebut.

10. Kerajaan Tidore

Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Temate. Menurut silsilah raja-raja Temate dan Tidore, raja
Tidore pertama adalah Syahadati alias Muhammad Naqal yang naik takhta sekitar tahun 1081 dan
baru pada raja yang ke-9, yaitu Cirililiati yang kembali ingin memeluk agama Islam, berkat dakwah
Syekh Mansur dari Arab. Setelah masuk Islam bersama para pembesar kerajaan lainnya, ia mendapat
gelar Sultan Jamaluddin. Putra sulungnya juga masuk Islamnya mansur. Agama Islam masuk pertama
kali di Tidore sekitar tahun 1471 (menurut catatan Portugis).
Pada tahun 1521 Raja Jailolo juga sudah masuk - Islam lalu mengganti namanya menjadi Sultan
Hasanuddin.
Setelah Temate berhasil meluaskan wilayahnya dan membentuk dalam persekutuan yang disebut Uli
Lima, Kerajaan Tidore juga berhasil memperluas pengaruhnya ke Halmahera, Pulau Raja Ampat,
Seram Timur, dan Papua yang dipersatukan dalam persekutuan Uli Siwa. Demikian juga Kerajaan
Bacan dan Jailolo juga tenggelam dalam pengaruh Kerajaan Tidore.
Kerajaan Tidore merupakan penghasil cengkih yang besar dan sangat laku di pasaran Eropa sehingga
banyak bangsa Eropa yang datang ke Tidore untuk mencari cengkih, misalnya bangsa Portugis,
Spanyol, dan Belanda.
Pada awalnya Kerajaan Temate dan Tidore dapat hidup berdampingan dan tidak pemah terjadi
konflik. Namun, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Maluku, mulailah terjadi pertentangan
karena Temate dan Tidore bersaing menawarkan harga rempah-rempah dan pendirian benteng yang
dihadiahkan kepada partner dagang sebagai penghargaan.
Pada tahun 1512 bangsa Portugis dan Spanyol memasuki Maluku. Portugis pada saat itu memilih
bersahabat dengan Temate, sedangkan Spanyol yang datang kemudian bersahabat dengan Sultan
Tidore. Sejak saat itulah benih-benih permusuhan mulai timbul.
Pada tahun 1529 Portugis yang dibantu oleh Temate dan Bacan menyerang Tidore dan Spanyol.
Dalam peperangan ini Portugis mengalami kemenangan sehingga Portugis dapat menguasai
perdagangan rempah-rempah di seluruh Maluku.
Setelah Maluku berhasil dikuasai oleh Portugis, maka Portugis mulai melakukan tindakan sewenang-
wenang terhadap rakyat Maluku. Kedua kerajaan tersebut akhimya sadar bahwa keduanya harus
bersatu untuk mengusir penjajahan Portugis di Maluku. Berkat kerja sama kedua kerajaan tersebut
akhimya Portugis mengalami kekalahan tahun 1575 dan menyingkir ke Ambon. Pada tahun 1605
Belanda berhasil mendesak Portugis di Ambon dan menguasainya.
Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1789-1805),
yaitu seorang penguasa yang berani dan cerdas. Pada tahun 1801 beliau menyerang Temate sehingga
Temate dan Tidore berhasil dipersatukan. Di samping itu, Sultan Nuku berhasil mengadu domba
antara Belanda dan Inggris sehingga Belanda dapat diusir dari Tidore. Setelah Belanda kalah serta
terusir dari Tidore dan Temate, Inggris tidak mendapatkan apa-apa kecuali hubungan dagang biasa.
Sejak itu Tidore dan Temate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda maupun Inggris
sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Pelayaran dan perdagangan maju pesat sehingga
waktu itu Maluku mengalami zaman keemasan dan tidak terikat oleh bangsa mana pun. Wilayahnya
cukup luas yaitu meliputi Seram, Halmahera, Kepulauan Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku
adalah adiknya sendiri, Zainal Abidin (1805-1810).

Anda mungkin juga menyukai