Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

“ASMA”
Disusun untuk memenuhi tugas profesi keperawatan Departemen
Emergency

DISUSUN OLEH

DWI RETNO SELVITRIANA

NIM. 150070300011156

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
1. PENGERTIAN
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napasa yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas
dan rasa berat di dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya
bersifat revrsibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009)
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer&Bare, 2002).
Asma Bronkial adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh
spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan
penurunan ventilasi alveolus (Huddak & Gallo, 1997).
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma adalah penyakit jalan napas obstruktif
yang disebabkan oleh berbagai stimulan, yang ditandai dengan spasme otot polos
bronkiolus.

2. ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
a. Faktor predisposisi
1) Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asthma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti: debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-
obatan.
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti : perhiasan,
logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3) Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
4) Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma.
Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja
di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala
ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5) Olah raga/aktifitas jasmani yang berat.
6) Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

3. PATOFISIOLOGI
Suatu serangan akut asma akan disertai oleh banyak perubahan dijalan
nafas yang menyebabkan penyempitan: edema dan peradangan selaput lender,
penebalan membrane basa, hipersekresi kalenjar mucus dan yang lebih ringan
kontraksi otot polos. Perubahan histology yang sama dpat dijumpai pada keadaan
tanpa serangan akut akibat pajanan kronik derajat rendah ke satu atau lebih
pemicu asma. Melalui berbagai jalur, zat-zat pemicu tersebut merangsang
degranulasi sel mast dijalan nafas yang menyebabkan pembebasan berbagai
mediator yang bertanggung jawab untuk perubahan yang terjadi. Mediator yang
terpenting mungkin adalah leukotrien C, D dan E tetapi terdapat bukti bahwa
histamine, PAF, neuropeptida, zat-zat kemotaktik, dan berbagai protein yang
berasal dari eosinofil juga berperan penting dalam proses ini. obstruksi
menyebabkan peningkatan resistensi jala nafas (terutama pada ekspirasi karena
penutupan jalan nafas saat ekspirasi yang terlalu dini); hiperinflasi paru; penurunan
elastisitas dan frekuensi-dependent compliance paru; peningkatan usaha bernafas
dan dispneu; serta gangguan pertukaran gas oleh paru. Obstruksi yang terjadi tiba-
tiba besar kemungkinannya disebabkan oleh penyempitan jalan nafas besar,
dengan sedikit keterlibatan jalan nafas halus, dan biasanya berespon baik terhadap
terapi bronkodilator. Asma yang menetap dan terjadi setiap hari hampir selalu
memiliki komponen atau fase lambat yang menyebabkan penyakit jalan nafas halus
kronik dan kurang berespon terhadap terapi bronkodilator saja. Eosinofil
diperkirakan merupakan sel efektor utama pada pathogenesis gejala asma kronik,
dimana beberapa mediatornya menyebabkan kerusakan luas pada stel epitel
bronkus serta perubahan-perubahan inflmatory. Walaupun banyak sel mungkin
sitokin (termasuk sel mast, sel epitel, makrofag dan eosinofil itu sendiri) yang
mempengaruhi diferensiasi, kelangsungan hidup, dan fungsi eosinofil, sel T type
TH2 dianggap berperan sentral, karena sel ini mampu mengenali antigen secara
langsung. Obstruksi pada asma biasanya tidak sama, dan defek ventilasi-perkusi
menyebabkan penurunan PaO2. Pada eksaserbasi asma terjadi hiperventilasi yang
disebabkan oleh dispneu. pada awalnya banyak keluar dan Pa CO2 mungkin
rendah namun seiring dengan semakinparahnya obstruksi, PaCO2 meningkat
karena hipoventilasi alveolus. Efek obstruksi berat yang timbul mencakup
hipertensi pulmonaris, peregangan ventrik.

4. KLASIFIKASI
a. Klasifikasi tingkatan penderita asma
 Tingkat 1
- Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi
paru.
- Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun
dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
 Tingkat 2
- Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru
menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
- Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
 Tingkat 3
- Tanpa keluhan.
- Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas.
- Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah
diserang kembali.
 Tingkat 4
- Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
- Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi
jalan nafas.
 Status Asmatikus
- Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa
serangan asma yang berat atau bertambah berat yang bersifat
refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.
Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang
sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu
sampai dua jam.
b. Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu:
1) Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang disebabkan
oleh faktor-faktor pencetus spesifik (alergen), seperti serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Oleh karena
itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas,
maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik. Pasien dengan asma
ekstrinsik biasanya sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi dalam keluarganya.
2) Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan
asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu
dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.
3) Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
c. Berdasarkan Derajat Penyakit
Derajat
No Gejala Gejala Malam Faal Paru Pengobatan
Asma
1 Intermitten- Gejala <1x/minggu £ 2 kali sebulan - VEP1 atau APE ³80% - Inhalasi agonis B-2
- Tanpa gejala antar serangan - Variabilitas APE <20% jangka pendek
- Serangan singkat
2 Persisten - Gejala >1x/minggu tetapi > 2 kali sebulan - VEP1 atau APE ³80% - Bronkodilator
ringan <1x/hari - Variabilitas APE 20-30% jangka pendek +
- Serangan dapat obat anti inflamasi
mengganggu aktivitas dan
tidur
3 Persisten - Gejala setiap hari > 2 kali sebulan - VEP1 atau APE 60-80% - Setiap hari
sedang - Serangan mengganggu - Variabilitas APE >30% memakai agonis B-
aktivitas dan tidur 2 jangka pendek
- Bronkodilator
jangka
pendek+kortikoster
oid
inhalasi+bronkodlat
or jangka panjang
(asma malam)
4 Persisten - Gejala terus menerus Sering - VEP1 atau APE £60%
berat - Sering kambuh - (Depkes RI, 2009; Mulia,
- Aktivitas fisik terbatas 2000)

d. Berdasarkan derajat serangan


Parameter Klinis,
Ancaman
Fungsi Faal Ringan Sedang Berat
Henti Napas
Paru,Laboratorium
Sesak (breathless) Aktivitas: Aktivitas:Berbicara Aktivitas:Istira
Berjalan Bayi : hat
Bayi : Tangis pendek dan Bayi :
Menangis lemah, kesulitan Tidak mau
keras menetek/makan makan/minu
m
Posisi Bisa Lebih suka duduk Duduk
berbaring bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Sianosis Tidak ada Ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, Sulit/tidak
sering hanya terdengar
pada akhir
ekspirasi
Penggunaan otot Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan
bantu napas tidak paradok
torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang,ditambah Dalam, Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
retraksi retraksi ditambah
interkostal suprasternal napas cuping
hidung
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi £90%
(Gina, 2006 dalam Depkes RI 2009)
5. TANDA DAN GEJALA
a. Gejala awal berupa:
- Batuk terutama pada malam atau dini hari
- Sesak napas
- Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
- Rasa berat di dada
- Dahak sulit keluar.
- Belum ada kelainan bentuk thorak
- Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
- BGA belum patologis
b. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam
jiwa atau disebut juga stadium kronik. Yang termasuk gejala yang berat
adalah:
- Serangan batuk yang hebat
- Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
- Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
- Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
- Kesadaran menurun
- Thorak seperti barel chest
- Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
- Sianosis
- BGA Pa O2 kurang dari 80%
- Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)

Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis dari


asma, diantaranya:
- Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan
asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak
dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
- Sianosis karena hipoksia
- Gejala retensi CO2 : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dijumpai napas menjadi cepat dan
dangkal, terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan
sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah
lelah untuk bernapas)
b. Pemeriksaan Fungsi Paru
1) Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa
(KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1).
Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien
sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi
dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai
VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma,
yaitu adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.Pemeriksaan spirometri tidak saja penting
untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan.
2) Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi.
Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan
perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau
setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah
pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam
yang berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%.
Cara pemeriksaan variabilitas APE
Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan
malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi.
APE malam – APE pagi
Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)
c. Pemeriksaan Tes Kulit (Skin Test)
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
d. Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.Pemeriksaan ini hanya dilakukan
pada penderita dengan serangan asma berat atau status asmatikus.

7. PENATALAKSANAAN
Posisikan pasien semi fowler
Oksigen nasal atau masker
Menghindari faktor pencetus, seperti debu, asap, bulu binatang, marah.
Menggunakan obat-obatan :
- Golongan bronkodilator : Salbutamol,albuterol,isoproternol
 Salbutamol paling sering digunakan dalam sediaan nobulasi
(ventolin),oral, dan injeksi.
- Golongan metilxantin :Aminophylin,teophylin
 Dalam bentuk oral dan injeksi.
- Kortikosteroid : Prednison, dexametason, methylpertnisolon.
 Untuk mengurangi efek inflamasi
- Long acting beta 2 adrenergic agent
 Untuk mencegah bronkospasme

8. KOMPLIKASI
1. Atelektasis
2. Pneumothoraks
3. Emfisema
4. Gagal nafas
9. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
1) Riwayat kesehatan masa lalu :
Riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Keluhan sesak napas, keringat dingin.
3) Status mental :
Lemas, takut, gelisah
4) Pernapasan :
Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
5) Gastro intestinal :
adanya mual, muntah.
6) Pola aktivitas :
Kelemahan tubuh, cepat lelah
b. Pemeriksaan Fisik
1) Dada
a) Contour, Confek, tidak ada defresi sternum
b) Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal
c) Keabnormalan struktur Thorax
d) Contour dada simetris
e) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna
merata
f) RR dan ritme selama satu menit.
2) Palpasi
a) Temperatur kulit
b) Premitus : fibrasi dada
c) Pengembangan dada
d) Krepitasi
e) Massa
f) Edema
3) Auskultasi
a) Vesikuler
b) Broncho vesikuler
c) Hyper ventilasi
d) Rochi
e) Wheezing
f) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri
b) Tes provokasi
c) Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
d) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
e) Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
f) Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
g) Pemeriksaan sputum.

10. DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Pola Napas Tidak Efektif
b. Bersihan Jalan Napas Tidak efektif
c. Kerusakan Pertukaran Gas
d. Resiko Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh

11. INTERVENSI KEPERAWATAN


a. Diagnosa 1 : pola napas tidak efektif
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam pola napas klien kembali efektif
Kriteria Hasil:
- Klien tidak mengeluh sesak
- RR 16-20 x/menit
- Wajah rileks
- Tidak ada penggunaan otot bantu napas
NOC : Resporatory status
NIC : Respiratory monitoring, oxygen therapy
Intervensi
1) Kaji frekuensi nafas, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
2) Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
3) Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
4) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan
5) Kolaborasi pemberian obat
Bronkodilator golongan B2, Nebulizer (via inhalasi) dg golongan
terbutaline 0,25 mg, fenoterol HBr 0,1% solution, orciprenaline sulfur
0,75 mg.

b. Diagnosa 2 : bersihan jalan napas tidak efektif


Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi bersihan
jalan nafas kembali efektif
Kriteria Hasil:
- Dapat mendemonstrasikan batuk efektif
- Dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi
- Tidak ada suara nafas tambahan
- Pernafasan klien normal (16-20x/mnt) tanpa ada penggunaan otot
bantu nafas
NOC : Respiratory status: airway patency
NIC : Airway management, suctioning
Intervensi:
1) Kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum
2) Atur posisi semi flowler
3) Ajarkan cara batuk efektif
4) Bantu klien latihan nafas dalam
5) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak
diindikasikan
6) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik postural drainase, perkusi, &
fibrasi dada

c. Diagnosa 3 : gangguan pertukaran gas


Tujuan: Klien akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi
adekuat.
Kriteria Hasil:
- Frekuensi nafas 16 – 20 kali/menit
- Frekuensi nadi 60 – 120 kali/menit
- Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan GDA dalam batas normal
NOC : Respiratory status: gas exchange, electrolyte: acid base balance
NIC : Acid base balance: respiratory alkalosis, acid base balance:
respiratory acidosis
Intervensi
1) Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil GDA, pemasukan dan
haluaran
2) Tempatkan klien pada posisi semi fowler
3) Berikan terapi intravena sesuai anjuran
4) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt selanjutnya sesuaikan
dengan hasil PaO2
5) Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda
– tanda toksisitas

d. Diagnosa 4 : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam intake dan output
cairan seimbang setelah dilakukan intervensi.
Kriteria Hasil:
- Frekuensi BB meningkat
- Nafsu makan (+)
- Malnutrisi (-)
- Intake dan output dalam batas normal
NOC : Nutritional status: food and fluid intake
NIC : Nutritional monitoring
Intervensi:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini.
2) Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus
untuk sekali pakai.
3) Auskultasi bising usus
4) Timbang berat badan sesuai indikasi
5) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi
6) Konsul dengan ahli gizi mengenai kebutuhan nutrisi pasien
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Indonesia.


Hudack&Gallo. 1997. Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta. EGC.
Direktorat BIna Farmasi dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Asma.616.238 Ind P. Departemen Kesehatan RI.
Doengoes, Marilyn E, et al. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning,
Individualizing, and Documenting Client Care 3th Edition . Philadelphia: F.
A. Davis Company
Mulia, J Meiyanti. 2000. Perkembangan Patogenesis Dan Pengobatan Asma
Bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti Vol 19 No. 3. Bagian Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Smeltzer & Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2001

Anda mungkin juga menyukai