Anda di halaman 1dari 145

I

Ahlus Sunnah Wal Jamaah


A. Devinisi Ahlis-Sunnah wal-Jamaah
1. Ahlun
Dalam

kitab Al-Munjid

fil-Lughah

wal-Aalam,

kata

"ahl"

mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan


kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut
madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana
tercantum pada Al-Qamus al-Muhith.
2. As-Sunnah
Menurut Abul Baqa dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "assunnah" berarti

jalan,

sekalipun

jalan

itu

tidak

disukai.

Arti

lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabiah dan asy-syariah.


Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah
syara, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani
dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik
perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW.
Maka

dalam

hal

ini As-sunnah dibagi

menjadi

macam.

Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa


perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW
Kedua, As-Sunnah

Al-Filiyyah yakni

sunnah

Nabi

yang

berupa

perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.


Ketiga, As-Sunnah

at-Taqririyah yakni

segala

perkataan

dan

perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad


SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, assunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat
(atsarus sahabah).
2. Al-Jamaah
Menurut Qamus Al-Munjid, kata "al-jamaah" berarti segala
sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mujam al-Wasith,
al-jamaah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun

pengertian "al-jamaah" secara syara ialah kelompok mayoritas


dalam golongan Islam.
Dari pengertian di atas, maka makna Ahlussunnah wal jamaah dalam
sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti
sistem

pemahaman

mengutamakan

dalil

Islam,

baik

Al-Quran

dalam
dan

tauhid

Hadits

dan

dari

fiqih

pada

dengan

dalil

akal,

sebagaimana pernyataan Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh Abdus Syakur alSenori dalam kitab karyanya Al- Kawakib al-Lammaah fi Tahqiqi alMusamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jamaah (kitab ini telah disahkan oleh
Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi
Ahlussunnah

wal

jamaah

sebagai

kelompok

atau

golongan

yang

senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw dan thoriqoh para


sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin
(tasawwuf). Syekh Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal
jamaah sebagai berikut: Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa
yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta
ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah
adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi
SAW pada masa Khulafa ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi
hidayah Allah.
Secara historis, para imam Aswaja dibidang aqidah telah ada sejak
zaman para sahabat Nabi SAW sebelum munculnya paham Mutazilah.
Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib RA,
karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wadu wa alWaid dan

pendapat

Qodariyah

tentang

kehendak

Allah

dan

daya

manusia. Dimasa tabiin ada beberapa imam, mereka bahkan menulis


beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti Umar
bin Abd al-Aziz dengan karyanya Risalah Balighah fi Raddi ala alQodariyah. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya
teologi untuk menentang paham-paham diluar Aswaja, seperti Abu
Hanifah

dengan

kitabnya Al-Fiqhu

al-Akbar, Imam

Syafii

kitabnya Fi Tashihi al-Nubuwwah wa al-Raddi ala al-Barohimah.

dengan

Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili


oleh Abu Hasan al-Asyari (260 H 324 H), lantaran keberhasilannya
menjatuhkan paham Mutazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
aqidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi
SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh
Imam al-Asyari, tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah
berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham aqidah Aswaja
secara sistematis sehingga menjadi pedoman aqidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara
resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keIslaman. Dalam hal aqidah
pengertiannya adalah Asyariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar alHaytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang
dimaksud adalah pengikut rumusan yang di gagas oleh Imam Abu alHasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah
madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Dalam tasawuf
adalah Imam al-Ghozali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan
ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam
paham Ahlussunnah wal jamaah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil
tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari
kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara
teks-teks Hadits Aswaja adalah:

Dari Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:


Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani
menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan.
Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat: Siapakah

mereka wahai Rasulullah? Rasulullah SAW menjawab: Mereka adalah


yang mengikuti aku dan para sahabatku..HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan
Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) seperti yang
tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan
sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya.
B. Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka
ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek
aqidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja,
bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek
aqidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mutazilah dijadikan paham
keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah
kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam.
Ketika Imam al-Asyari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiranpemikiran

teologi

Islamnya

sebagi

koreksi

atas

pemikiran

teologi

Mutazilah dalam beberapa hal yang dianggap bidah atau menyimpang,


maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan
positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang
kemudian disebut dengan kelompok Asyariyah dan terinstitusikan dalam
bentuk Madzhab Asyari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan,
juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang
secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan
pemikiran teologi Asyariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian
diakui

sebagai

Imam

penyelamat

aqidah

keimanan,karena

karya

pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan
dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun
sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam
al-Thohawi (238 H 321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak
sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan
rumusan aqidah Imam Asyari dan Maturidi sebagai pedoman aqidah yang
sah dalam Aswaja.

Secara materiil banyak produk pemikiran Mutazilah yang karena


metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-Aql ala
al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan
bidah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat
menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan
pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya,
tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara
historis, term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini.
Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa Ali bin Abi
Thalib KW tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk
pada masa al-Asyari, al-Maturidi dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara
resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal aqidah
pengertiannya adalah Asyariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah
madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama
yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syariah atau fiqh, artinya paham
keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah. Sama
pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar
keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting
dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan
tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup
sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan
Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk
mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam
kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis, ruang lingkup
yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat
madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif,
ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk
hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang
dihasilkan

oleh

imam-imam

mujtahid

lainnya,

yang

mendasarkan

penggalian hukumnya melalui al-Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas, seperti,


Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran

Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ala


al-Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf.
Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq
yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd
al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga
ini

dalam

diskursus

Islam

dinilai

penting

karena

mencerminkan

faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan,


sedang

Islam

menggambarkan

syariah,

dan ihsan menggambarkan

kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon.
Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat
untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang
lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki
kepercayaan tetapi tidak menjalankan syariat, ibarat akar tanpa pohon,
artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun
tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi
ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua,
sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang
lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Pada

dasarnya

tidak

ada

perbedaan secara prinsipil

diantara

kelompok dan madzhab dalam Islam.


Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama
meyakini al-Quran dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang
berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan
Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda
dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam
manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan teks-teks sunnah.
Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj
sendiri-sendiri.

Mutazilah

disebut

kelompok

liberal

dalam

Islam.

Keliberalan Mutazilah, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai


anugerah Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang

berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan
buruk. Sementara bagi kelompok Asyariyah, akal tidak sanggup untuk
mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash.
Kelompok Maturidiyah sedikit lebih menengah dengan pernyataanya,
bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau
buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan
sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai
dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan
seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau
nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan aqidah, maka peran akal
dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan
dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan
perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau
tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual
antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup aqidah, fiqh
dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ala al-naql.
Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu
berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham
Mutazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak
terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak
memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan
makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu
untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama tidak
selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang
matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.
C. Madzhab Ahlissunnah Wal Jama'ah
Madzhab

dalam

bidang

fiqh

berlangsung

sejak

berkuasanya

Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar awal abad ke-2 Hijriyah. Rujukan
dalam menggali hukum suatu permasalahan masih tetap sama yaitu, Al
Quran, Sunnah Nabi dan Ijtihad para ahli fiqh. Pada masa itu kedudukan

ijtihad sebagai metode penggalian hukum semakin kokoh dan diterima


oleh semua komponen masyarakat.
Jumhur al ulama sepakat mengatakan bahwa madzhab saat itu ada
13 madzhab ahlissunnah wal jama'ah yaitu :
1. Madzhab Sufyan bin 'Uyainah (198 H.) di Makkah
2. Madzhab Maliki (179 H.) di Madinah
3. Madzhab Hasan Bashri (110) di Bashrah
4. Madzhab Abu Hanifah (80-150 H.) di Kufah
5. Madzhab Sufyan al Tsauriy (161 H.) di Kufah
6. Madzhab Auza'iy (157 H.) di Syam
7. Madzhab Syafi'i (150-204 H.) di Mesir
8. Madzhab Laits bin Sa'ad (175 H.) di Mesir
9. Madzhab Ishaq bin Rohawaih (238 H.) di Naisabur
10.
Madzhab Abu Tsaur (240 H.) di Baghdad
11.
Madzhab Ahmad bin Hambal (241 H.) di Baghdad
12.
Madzhab Daud al Dzahiriy (270 H.) di Baghdad
13.
Madzhab Muhammad Ibnu Jarir al Thobariy (310 H.) di
Baghdad
Dari sekian madzhab yang ada hanya empat yang masih eksis
sampai sekarang, yaitu : Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Maliki, Madzhab
Syafi'i dan Madzhab Ahmad bin Hambal, adapun madzhab-madzhab yang
lainnya

masih

dapat

kita

jumpai qoul-qoulnya

dalam

kitab-kitab

seperti hilyah al ulama fi ma'rifah aqwal al fuqoha' karya Imam al


Qoffal, bidayah

al Mujtahid karya

Ibnu

Rusyd, al Muhallakarya

Hazm, Rohmah

al

Abu

Abdilllah

Ummah karya

Shodr

al

Ibnu

Din

al

Dimasyqi, Nail al Author karya al Syaukani, bahkan dalam kitab-kitab


tersebut seringkali kita jumpai qoul-qoul Shahabat dan ulama-ulama
tabi'in.
Kelahiran beberapa madzhab tersebut menunjukkan perkembangan
hukum Islam pada masa itu. Hal ini disebabkan munculnya beberapa
problem di tengah-tengah masyarakat akibat meluasnya kekuasaan Islam
sehingga menuntut untuk menugaskan para ulama ke wilayah-wilayah
yang telah berhasil dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Dan masa ini dikenal
dengan masa pembukuan ('ashru al tadwin) dalam berbagai disiplin ilmu

D. Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia


Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia berbarengan
dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di
pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan
eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, Ahlussunnah wal Jamaah
yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang
sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat
ketika itu belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia dengan
karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU)
pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan
yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jamaah
sebagai paham keagamaan yang dianutnya.
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah
merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab al-Qnn alAssiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulam. Al-Qnn al-Assiy berisi dua
bagian pokok, yaitu :
1) Risalah

Ahlussunnah

wal

Jamaah,

yang

memuat

tentang

kategorisasi sunnah dan bidah dan penyebarannya di pulau Jawa,


dan
2) Keharusan mengikuti mazhab empat,
3) Karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran,
lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian,
dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafun
al-shlih (generasi terdahulu yang salih).
4) Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. M. Hasyim Asyari
dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyt,
mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu
tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan
yang

disukai

dan

dijalani

dalam

agama

sebagaimana

dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya,


seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq
dalam kitab Uddah al-Murd, menurut syara', bid'ah adalah

munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip


bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal
maupun hakekatnya.
5) Yang menarik dalam Qnn Assiy adalah bahwa KH. M. Hasyim
Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan
dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah
mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai
bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan
mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i
dalam risalahnya Tathr al-Fu'd min Danas al-'Itiqd, KH. M.
Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah
bagi

kaum

muslimin,

baik

salaf

maupun

khalaf.

Mereka

merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang


mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
6) Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal
Jamaah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran
yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai
paham

keagamaan

warga

NU,

Ahlussunnah

wal

Jamaah

mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian,


kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jamaah, tidak menghilangkan
makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah
diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para
sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jamaah terletak pada prinsip
dasar

ajaran

Islam

yang

bersumber

kepada

Rasulullah

dan

para

sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham


Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya adalah
KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH.
Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini,
KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua
pengertian :Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman

sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat
ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka
yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya. Kedua,
pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jamaah adalah
paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi
Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab
empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi
dalam bidang tashawuf .
7) Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah
kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah
al-khulaf al-rsyidin yang mendapat petunjuk (HR. at-Tirmidzi
dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan
sahabat yang tergolong al-khulaf al-rsyidn saja, tetapi juga
sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting
dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas
langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah
mendapat petunjuk. (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah adalah para tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan
oleh tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin) dan demikian seterusnya
yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia,
pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi
(HR. Ibn Ady)
8) Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya
adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat,
tabiin, dan generasi berikutnya. Pengertian ini didukung oleh KH.
Achmad

Siddiq

yang

mengatakan

bahwa

Ahlussunnah

wal

Jamaah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan

para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar


umat Islam
9) Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang
mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah segolongan
pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan
ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh
jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang
menyatukan

dirinya

mempraktekkan

dengan

ajaran-ajaran

para
Nabi

sahabat

di

Muhammad

Saw.,

dalam
yang

meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.


10) Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna
Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan NU lebih menyempit lagi,
yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam
mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali dalam bidang
fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur alMaturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan alGhazali dalam bidang tashawuf.
11)

Pengertian

ini

dimaksudkan

untuk

melestarikan,

mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham


Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan
mazhab-mazhab mutabar lainnya, melainkan NU berpendirian
bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan
produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang
lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang
terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan

ajaran

Islam,

supaya

tetap

tergolong

Ahlussunnah wal Jamaah.


12) Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan
pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah
orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasardasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya,
Ahlussunnah wal Jamaah harus diletakkan secara proporsional,

yakni

Ahlussunnah

wal

Jamaah

bukan

sebagai

mazhab,

melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu)


yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi
tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu
bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj alfikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan
sosio-politik yang melingkupinya.
13) Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jamiyah yang
berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam Muqaddimah
Qnn Assiy-nya, pendiri jamiyyah NU, KH. M. Hasyim Asyari
menegaskan, Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada
Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut imam
empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang
hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa
kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung
dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka
kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu
gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah
memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang
memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah
namanya! Bagi NU, landasan Islam adalah al-Quran, sunnah
(perkataan, perbuatan dan taqrr/ketetapan) Nabi Muhammad
Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan
sunnah al-khulaf al-rasyidn, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn alKhaththab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan
landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimengerti
sebagai para pengikut sunnah Nabi dan ijma para ulama. NU
menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat
dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak
seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat alQuran maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran

ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke


Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah
wa al-Jamaah yang dianut NU, :pertama, adanya keseimbangan antara
dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Quran dan al-Hadits), dengan
penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy. Kedua, berusaha
sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar
Islam. Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan
sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat
memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan mn, islm
dan

ihsn

secara

serempak,

terpadu

dan

berkesinambungan.

Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru


yang

bersifat

lokal

sepanjang

dapat

meningkatkan

intensitas

keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga


setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
E. BUDAYA AHLIS-SUNNAH WAL-JAMAAH
Berbaur dan bertebarnya berbagai kultur, menjadikan pemandangan
semu (pseudo) antara kultur yang sebenarnya ajaran Rasulullah SAW dan
kultur yang muncul setelah Rasulullah SAW wafat sehingga muncul
berbagai pertentangan. Sepertinya yang satu sebagai pembela dan
lainnya sebagai penentang. Satunya merasa tersingkir dan yang lainnya
merasa memdominasi. Terlepas dari praduga dan pretensi di atas,
Ahlussunnah wal-Jamaah tetap mempunyai karakteristik yang menonjol
diantara model-model /type-type kultur lain yang muncul karena proses
sejarah misalnya. Atau sengaja dilahirkan oleh suatu golongan untuk
mempertahankan otoritasnya.
Ciri-ciri spesifik yang menonjol dan dipertahankan Ahlussunnah walJamaah adalah banyak sekali. Sehingga ciri-ciri tersebut menjadi tanda
khusus yang membedakan Ahlussunnah dan lainnya.
Namun sebelum sampai pada penjabaran budaya Ahlussunnah, perlu
sekali

diketahui

bentuk-bentuk

tradisi

masyarakat

yang

tidak

mencerminkan

budaya

Ahlussunnah,

agar

dihindari

oleh

warga

Ahlussunnah. Di antarnya adalah:


1. Mengagung-agungkan berbagai kesenian yang munkar, seperti
seni musik, seni rupa, wayang, kethoprak, ludruk,seni tari, dsb.
2. Mencurahkan segala daya dan upaya untuk mengkaji pengetahuan
ilmu

umum sampai

menelantarkan pendidikan

agama

yang

merupakan bekal untuk meraih kesejahteraan dunia akhirat


3. Semaraknya Musabaqoh Tilawatil Quran dengan menekankan
model irama yang menghilangkan ketajwidan al-Quran dan atTadabbur. Dan celaka lagi musabaqoh tersebut dijadikan sebagai
sarana

untuk

ikhtilath

bainar

rijaal

wan

nisaa/

ajang

menampilakan alunan suara wanita


4. Ditinggalkannya pelatihan diri dan perlombaan yang mengarah
pada persiapan membela agama dan negara, seperti latihan naik
kuda, memanah (munadlolah) dan lain-lain
5. Terlalu menghabiskan waktu untuk memperhatikan perlombaan
yang sifatnya hanya gerak badan saja dan hura-hura, sampai
mengenaympingkan urusan sholat, seperti sepak bola dan lain-lai
Sedangkan budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah adalah:
1. Meramaikan bulan suci Romadlon dengan pengkajian kitab-kitab
Hadits, Tafsir maupun lainnya serta bertadarus al-Quran dan
sholat Tarawih
2. Menjalankan qunut subuh biarpun terdapat khilafiyyah antara
para Ulama dalam masalah tersebut
3. Menempatkan putra-putri sunniyyin di pondok-pondok pesantren
maupun madrasah diniyyah untuk mengkaji dan menghidupkan
ilmu agama
4. Adanya beberapa thoriqoh demi taqorrub ilalloh, namun dengan
syarat tidak terjadi ikhtilath antara lelaki dan perempuan atau
fanatik berlebihan
5. Memperhatikan jamaah sholat fardlu di Masjid dan surau-surau
pada awwal waktu, dan harus ikhlas serta khusyu didalam
menjalankanya
6. Ziarah kubur Auliya untuk bertawassul dengan tanpa adanya halhal munkar, Tahlilan, Berzanjenan dan manaqiban, namun dengan
syarat tidak berlebihan dalam Itiqodnya pada syekh Abdul Qodir,

seperti

membaca

dengan

serentak

Syekh

Abdul

Qodir

Waliyulloh setelah membaca dua kalimat Syahadat. Dan amalanamalan di atas tidaklah budaya Syiah, sebab ziarahnya orang
syiah tidak memakai bacaan ayat-ayat al-Quran, juga tidak
membaca tahlil tasbih tahmid, bisanya cuma memberi kata-kata
pujaan berlebihan pada Imam-imam mereke. Dan dalam berzanji
maupun diba disebutkan pujian terhadap sahabat Nabi SAW. Di
samping itu, Syekh ad-DzibaI mempunyai kitab hadits bernama
Taisirul Wushul yang di dalamnya disebutkan fadloilus shohabat,
dan shohabat Abu Bakar ditempatkan pada peringkat pertama.
Sedangkan Qoshidah itu adalah milik alHabib Abdulloh al-Haddad yang telah kami nukilkan aqidahnya
yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah.
7. Menyantuni anak yatim, faqir miskin maupun para janda yang
punya anak banyak, serta melindungi mereka dari penindasan
8. Bagi alumni pesantren hendaknya sering sowan kepada gurunya
untuk

konsultasi

menjalankan

dengan

dawahnya.

memohon

Demikian

petunjuk

pula

bagi

di

dalam

para

kiainya

hendaknya mengunjungi / mengecek mereka; apakah benarbenar sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
9. Takbiran pada malam hari raya ddengan tanpa diikuti penabuhan
beduk.

Sebab

mengiringi dzikrulloh dengan

bidah. Apalagiaalatul malaahi


10.
Mempermudah urusan Haji

dan

Umroh

tabuhan

adalah

sehingga

tidak

menimbulkan keresahan dikalangan kaum Muslimin


11.
Mengadakan bahtsul masail dengan dihadiri tokoh yang
benar-benar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan ruyatul hilal
untuk mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal
12.
Mendirikan
paguyuban
keluarga
demi

mempererat

persaudaraan
13. Menghafalkan al-Quran dengan memperhatikan tajwidnya, dan

lain sebagainya
semoga menambah pengetahuan dan pencerahan warga NU secara
umum, aamiin

II
Stop Menuduh Bid'ah
A. Bid'ah sebuah kata sejuta makna
Sunnah dan bidah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan
dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai ShohibusySyara (yang berwenang menetapkan hukum syariat). Sunnah dan bidah
masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali
jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak
sedikit

orang

yang

menetap-

kan batas

pengertian

bidah

tanpa

menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.


Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak
dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalildalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bidah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu
tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah
saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan
soal bidah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari
Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya
kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: Amma badu,
sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Quran) dan
petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammpstrongad saw.
Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan
setiap hal yang diada-adakan ialah bidah, dan setiap bidah adalah sesat.
(diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Masud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh
pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan

kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya


sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga (Shohih Muslim VII hal.61).
Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Masud dan dari Abu Hurairah
[ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah
pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan;
Pengertian

berdasar

kan

keumuman

lafadh,

bukan

berdasarkan

kekhususan sebab.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas
bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan
dengan bidah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi
Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits berikutnya kita
melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan
dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok
adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan
sunnah adalah Bidah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Quran Bab Sunan
hal.245 mengatakan: Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah
sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan
Rasulullah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya.
Contoh firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : Sunnatullah yang
telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan
pada Sunnatullah itu .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syariat sekalipun
berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan
tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan
kepada keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut penjelasan Ar-Raghib
Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidhaus Shiratul Mustaqim hal.76
mengata- kan: Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku
dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti

adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh
orang

banyak,

baik

mengenai

soal-soal

yang

dianggap

sebagai

peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan.


Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam
tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa
riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah,
dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga
mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam
menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu
persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak
diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orangorang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap
berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu
agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah
saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang
dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan
itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami
sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal
Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw.,
itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan
bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan
Bidah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan
lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bidah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang
dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk
kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan
oleh

beliau

itu

merupakan

petunjuk

juga

bagi

kita

untuk

dapat

mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima


kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian
yang dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada
seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan

dilakukan oleh beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih
mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang
didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita
bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu
tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak
mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan,
bahwa sesuatu yang diminta oleh syara baik yang bersifat khusus
maupun umum, bukanlah bidah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan
dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir, doa dan lain sebagainya) yang
diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya).
Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya
berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan
secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu
juga mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77:
Hendaklah

kalian

berbuat

kebajikan,

agar

kalian

memperoleh

keberuntungan .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masingmasing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena
agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang
telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya
diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang
sejalan dengan sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan
tidak bertentangan dengan syariat. Jika menyalahi ketentuan syariat
maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan
syariat, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
saw., dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut
Bidah menurut pengertian istilah syara. Nama yang tepat adalah Sunnah

Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang


lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut Bidah hanya menurut
pengertian bahasa, karena apa saja yang baru diadakan disebut dengan
nama Bidah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bidah itu hanya satu saja dengan
berdalil sabda Rasulullah saw. Setiap bidah adalah sesat (Kullu
bidatin dholalah), serta tidak ada istilah bidah hasanah, wajib dan
sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bidah, maka
hukumya haram, karena bidah dalam pandangan mereka adalah sesuatu
yang haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada haditshadits
lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang
membuktikan sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhoi
berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru diadakan) yang dilakukan
oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah
dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah
wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. Aisyah ra,
Khalifah Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana
amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan
mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bidah (baca
uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang
mengatakan bahwa sebutan bidah itu adalah otomatis haram, sesat dan
tidak ada kata bidah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bidah
itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bidah menjadi
beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafii tentang pemahaman bidah ada dua riwayat
yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nuaim;

,
















.

Bidah itu ada dua macam, bidah terpuji dan bidah tercela. Bidah
yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bidah yang terpuji sedangkan
yang menyalahi sunnah, maka dialah bidah yang tercela
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafii :












,

.



















Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara
baru yang menyalahi Al-Quran, Hadits, Atsar atau Ijma. Inilah bidah
dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung
kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan
tadi, maka bidah yang seperti ini tidaklah tercela.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bidah yang baik dan
terpuji dan ada pula bidah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para
Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafii itu. Bahkan
banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam
Nawawi, Imam Ibnu Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-Arabiy,
Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bidah itu adalah
segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah
muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski
namanya bidah, namun dari segi ketentuan hukum syariat,, hukumnya
tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada
bidah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318
sebagai berikut: Pada asalnya bidah itu berarti sesuatu yang diadakan
dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara bidah itu
dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka
jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bidah itu apabila dia termasuk
diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara, maka dia menjadi
baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh
syara, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk
bagian yang mubah. Dan terkadang bidah itu terbagi kepada hukumhukum yang lima.

Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama


pakar berikut ini
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii Amalil
Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; AzZarqooni dalam Syarah al Muwattho ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam AlQowaaid ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori dalam Syarhul
Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori,
dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini
yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidh itu dholalah/sesat
dan tidak mengakui adanya bidh hasanah/mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidh menjadi beberapa macam. Ada bidh
mukaffarah (bidh kufur), bidh muharramah (bidh haram) dan bidh
makruh (bidh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya
bidh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum
syarit,

atau

seolah-olah

bidh

diluar

bidang

ibadah

tidak

perlu

dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy AlMaliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang
berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan
Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam
Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154pen.) bidah itu dibagi menjadi
lima bagian yaitu :
1. Bidah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan
agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi
siapapun yang ingin memahami Quran dan Hadits dengan baik
dan benar.
2. Bidah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum
muslimin,

mengadakan

sekolah-sekolah,

mengumandangkan

adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat


kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah
dilakukan.
3. Bidah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan
yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-

Quran dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak


semestinya.
4. Bidah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi
warna-warna

pada

makanan

(selama

tidak

mengganggu

kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain


sebagainya.
5. Bidah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalildalil umum hukum syariat dan tidak mengandung kemaslahatan
yang dibenarkan oleh syariat.
Bila semua bidah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau
haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama
yang

belum

pernah

dilakukan

atau

diperintahkan

Rasulullah

saw.

semuanya dholalah atau haram, misalnya :


a. Pengumpulan

ayat-ayat

Al-Quran,

penulisannya

serta

pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang


dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin
Tsabit

[ra]

adalah

haram.

Padahal

tujuan

mereka

untuk

menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan


ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat AlQuran yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya
meninggal.
b. Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan
kaum muslimin dalam shalat tarawih bermamum pada seorang
imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata :
Nimatul Bidah Hadzihi/Bidah ini sungguh nikmat.
c. Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan
sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada
zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai
dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai
titel dibelakang namanya.
d. Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun
rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun
penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan
atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan

sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah


diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e. Tambahan adzan sebelum khotbah Jumat yang dilaksanakan
pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita
lihat dan dengar pada waktu sholat Jumat baik di Indonesia, di
masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam
lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah
banyaknya ummat Islam.
f. Menata ayat-ayat Al-Quran dan memberi titik pada hurufhurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan
rubunya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah,
menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap
surat dan sebagainya.
g. Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan
Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat
harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum
muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau
melarang

penggunaan

pesaw.at-pesaw.at

tempur,

tank-tank

raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan


modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bidah/masalah yang baru seperti
mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal
bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau
pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka
sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum
pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para
pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita
lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah
saw. atau para sahabat dan tabiin umpamanya; pembangunan hotel-hotel
disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang tidak
akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap)
untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji
tersebut dan lain sebagainya.

B. Bid'ah Hasanah dalam Pandangan Imam Syafi'i


Legalitas Bidah Hasanah tidak pernah menjadi permasalahan dan
perdebatan sebelum datang nya Wahabi, keberagaman penjelasan para
ulama tentang Bid'ah bukan karena perselisihan dalam memahami
hakikat Bidah, tapi karena kekayaan ilmu yang dimiliki oleh para ulama,
tapi ketika bahasa para ulama tersebut dipahami oleh kaum yang sempit
pemahaman, mulailah benih-benih perselisihan muncul dan alangkah
menyesal ketika kebodohan tersebut dijadikan senjata untuk membidahsesatkan amalan yang telah dilegalisasi oleh syara melalui dalil-dalil
dhanni atau ijtihadi, dan akhirnya kata Bid'ah menjadi senjata untuk
memecah-belah ummat ini.
1. Bagaimana

pandangan

Al-Imam

asy-Syafii

tentang

Bidah

Hasanah ?
Imam Syafii Rahimahullah berkata :








:




:













Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi
Atsar, perkara baru semacam ini adalah bidah yang sesat (Bidah
Dholalah). Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi
satu pun dari al-Quran, Sunnah, maupun Ijma, maka perkara baru
seperti ini tidak tercela (Bidah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam
kitab Manaqib asy-Syafii Jilid 1- Halaman 469).
Pernyataan Imam Syafii di atas adalah kelanjutan dari pemahaman
Imam Syafii terhadap Hadits larangan Bidah, bukan malah dihantamkan
dengan Hadits larangan Bidah, maka dapat dipahami bahwa Imam Syafii
tidak otomatis menganggap setiap perkara baru dalam Agama itu Bidah
Dholalah, tapi setiap perkara baru ada dua kemungkinan yaitu apabila
bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma maka itu

Bidah Dholalah dan inilah Bidah yang dilarang dalam Hadits Setiap
Bid'ah sesat.
Sementara bila perkara baru dalam Agama itu tidak bertentangan
dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma maka inilah Bidah Hasanah
dan ini tidak termasuk dalam Bidah yang terlarang dalam Hadits Kullu
Bidatin Dholalah.
Sangat jelas penjelasan Imam Syafii tentang legalitas Bidah
Hasanah, batasan Bidah Dholalah adalah bertentangan dengan Al-Quran,
As-Sunnah, Atsar dan Ijma, selama sesuatu yang baru dalam Agama itu
tidak bertentangan dengan 4 batasan tersebut, maka itu bukan Bidah
Dholalah dan tidak termasuk menambah atau mengada-ngada syariat
baru, karena batasan Bidah Dholalah bukan pada tidak ada nash yang
shorih, atau pada adakah rasul dan para sahabat telah melakukan nya.
2. Memahami Perkataan Imam Syafii Dalam Pembagian Bidah



baru


dua


ada
Perkara
Maksudnya : semua perkara baru baik Ibadah atau bukan Ibadah,
=

baik Aqidah atau bukan Aqidah terbagi kepada dua macam, poin yang
perlu di ingat adalah Imam Syafii sedang memisah dan memilah antara
dua macam perkara baru yang tentu saja perkara tersebut tidak di masa
Rasulullah dan para sahabat.










:

salah satunya adalah perkara baru yang menyalahi Kitab (Al-Quran),
atau Sunnah (Hadits), atau Atsar, atau Ijma.
Maksudnya : yang pertama adalah perkara baru yang menyalahi AlQuran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma, poin penting di sini adalah Yukhalifu
atau menyalahi jadi perkara baru itu sesat bukan karena semata-mata
ia baru ada dan belum ada di masa rasul dan sahabat, tapi karena
menyalahi 4 perkara di atas.

adalah


maka perkara baru ini
Bidah
Maksudnya : perkara baru yang menyalahi Al-Quran atau menyalahi
As-Sunnah atau menyalahi Atsar atau menyalahi Ijma, maka inilah Bidah
Dholalah yang terlarang dalam Hadits larangan Bidah, Bidah Dholalah

bukan sesuatu yang tidak tersebut secara khusus dalam Al-Quran atau AsSunnah atau Atsar atau Ijma, tapi harus diperiksa dulu apakah ia
menyalahi atau justru sesuai dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar
atau Ijma.











:



yang kedua, perkara baru yang baik lagi tidak menyalahi bagi salah
satu dari ini (Al-Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma)
Maksudnya : yang kedua adalah perkara baru yang baik dan tidak
menyalahi satupun dari Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma,
bukan maksud baik itu hanya dianggap baik, tapi baik di sini adalah tidak
menyalahi 4 perkara tersaebut, dan poin penting di sini juga pada Tidak
menyalahi jadi perkara baru tidak otomatis Bidah dan Sesat, tapi ketika
ia menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut, maka otomatis sesat, dan
bila tidak menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut maka otomatis
tidak

sesat,

baik

dinamai

dengan

Bidah

Hasanah

atau

Bidah

Lughawi atau dengan bermacam nama lain nya.

tidak



tersebut


dan perkara baru
Maksudnya : perkara baru yang tidak menyalahi Al-Quran atau AsSunnah atau Atsar atau Ijma adalah Bidah yang tidak tercela atau di
sebut juga dengan Bidah Hasanah.
3. Bidah Hasanah itu Syari atau Lughawi ?
Ini bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan, tidak berpengaruh
apapun terhadap legalitas Bidah Hasanah, bahkan yang lebih bodoh lagi
adalah mempermasalahkan adakah Bid'ah Hasanah ?,ulama pun berbeda
pendapat dalam hal ini, tapi satu tujuan, ini bukan alasan untuk
mengingkari Bidah Hasanah dalam Agama, karena walaupun Bidah
Hasanah itu Lughawi atau Syari tetap saja maksudnya adalah perkara
baru yang tidak bertentangan dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar
atau Ijma, permasalahan ini hanya karena berbeda dalam memaknai
Bidah pada Syara.
Maksud Bidah pada Syara menurut Imam Nawawi adalah :



mengadakan perkara baru yang belum ada di masa Rasulullah SAW,
dan ia terbagi kepada hasanah (baik), dan qabihah (buruk).
Atas definisi Bidah pada syara menurut Imam Nawawi di atas, maka
Bidah Hasanah adalah satu pembagian dari Bidah Syari, bukan Bidah
Lughawi, kerena sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah dinamakan
Bidah, tapi ada dua kemungkinan, bila sesuai dengan dalil-dalil syari
maka itu Bidah Hasanah, dan bila menyalahi dalil-dalil syari maka itu
Bidah Qabihah atau Bidah Dholalah.
Maksud Bidah pada Syara menurut Ibnu Rajab adalah :



perkara baru yang tidak ada dasar dalam syariat yang menunjuki
atas nya, dan adapun perkara baru yang ada dasar dari syara yang
menunjuki atas nya, maka ia bukan Bidah pada Syara, sekalipun Bidah
pada Lughat.
Atas definisi Bidah pada Syara menurut Ibnu Rajab, maka Bidah
Hasanah adalah bukan pembagian dari Bidah pada Syara, tapi Bidah
Hasanah adalah Bidah Lughawi, karena maksud Bidah pada Syara yang
seperti ini tidak mungkin terbagi kepada Hasanah (baik), sesuatu yang
tidak ada dasar dari Syara otomatis Buruk atau sesat.
Maka sekalipun berbeda cara memahami Bidah pada Syara dan
bereda dalam mengkategorikan Bidah Hasanah, tapi tidak berpengaruh
pada

legalitas

Bidah

Hasanah

dalam

Agama,

ini

bukan

alasan

mengingkari Bidah Hasanah, apalagi menjadikan sebagi alasan untuk


membidahkan amalan-amalan yang tidak ada di masa para salafus
sholeh, tapi ada dasar dari syara dan tidak menyalahi dalil-dali syari.
Kebesaran nama Imam Syafii tidak sanggup mereka tantang
pernyataan

sikap

Imam

Syafii

secara

langsung,

tapi

mereka

mempermainkan pendapat Imam Syafii agar sesuai selera mereka dan


cocok dengan kesalahpahaman mereka, mereka beralasan bahwa Bidah

Hasanah yang dimaksud oleh Imam Syafii adalah Bidah Lughawi, untuk
tetap bisa membidah-sesatkan amalan seperti Tahlilan, Yasinan, Maulidan
dan sebagai nya.
Padahal alasan itu tidak ada hubungan dengan pembagian Bidah
Hasanah dari Imam Syafii, karena sekalipun kita maksudkan dengan
Bidah Lughawi, tetap saja yang dimaksud Bidah Hasanah oleh Imam
Syafii adalah perkara baru dalam Agama yang tidak bertentangan
dengan

Al-Quran,

As-Sunnah,

Atsar,

dan Ijma,

inilah

yang

perlu

digarisbawahi, bahwa Bidah Hasanah adalah sesuatu yang baru (tidak


ada di masa rasulullah dan para sahabat) tetapi tidak bertentangan
dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma, biarpun tidak ada dalil yang
shorih.
C. Bid'ah Menurut Aswaja
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam
mendefinisikan

bidah.

Perbedaan

cara

pendekatan

para

ulama

disebabkan, apakah kata bidah selalu dikonotasikan dengan kesesatan,


atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Sebab
menurut bahasa, arti bidah adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal
pada zaman Rasulullah SAW. Pada intinya pengertian bidah yang sesat
secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang
bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran
Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Quran atau shalawat disertai alatalat musik yang diharamkan, keyakinan kaum Mutazilah, Qodariyah,
Syiah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini,
dan lain-lain. Imam Izzuddin bin Abdus Salam menyatakan: Apabila
pengertian bidah ditinjau dari segi bahasa, maka dapat terbagi menjadi
lima hukum. A. Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah, Mutazilah. B.
Makruh, seperti membuat lukisan-lukisan dalam masjid. C. Wajib, seperti
belajar ilmu tata bahasa arab (nahwu). D. Sunnah, seperti membangun
pesantren,

madrasah.

shalat. Walhasil,
keagamaan

kata

yang

E.

Mubah,

Imam

tidak

seperti

Izzuddin.

ditemukan

jabat

Segala

pada

zaman

tangan
sesuatu

setelah
kegiatan

Rasulullah

SAW,

hukumnya tergantung dari tercakupnya pada salah satu kaidah hukum


Islam, haram, makruh, wajib, sunnah atau mubah.
Kelompok Wahabi dan yang semisal sering mengangkat Hadits
berikut ini sebagai dasar atas kekeliruan amalan Ahlussunnah wal
jamaah:

:
.
Dari

Aisyah

RA,

ia

berkata:

Sesungguhnya

Rasulullah

SAW

bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada


perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak HR. Muslim.
Hadits yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua
bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW.
Padahal yang dimaksud tidaklah seperti itu. Para ulama menyatakan,
bahwa yang dilarang dalam Hadits itu adalah membuat-buat hukum baru
yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Quran ataupun Hadits, baik secara
eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu
bentuk ibadah murni kepada Allah SWT seolah-olah bagian dari ajaran
agama. Karena itu ulama membuat beberapa kriteria dalam persoalan
bidah ini.
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalil-dalil syari,
baik yang parsial (juzi) atau umum, maka bukan tergolong bidah. Bila
tidak ada dalill yang dapat dibuat sandaran, itulah bidah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (ulama
pada abad l, ll dan lll H.), jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki
landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan
itu bukan tergolong bidah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut
dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Quran
dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan
baru

itu

tergolong

bidah muharromah. Apabila

memiliki

kemiripan

dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan
begitu seterusnya.

Hadits lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan
yang tidak dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:

: ,
.

Dari Abdullah bin Masud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru.
Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap
perbuatan yang baru itu adalah bidah. Dan semua bidah itu sesat. HR.
Ibnu Majah.
Dalam

Hadits

ini

kalimat kullu (semua),

yang

Rasulullah
secara

SAW

tekstual

menggunakan

seolah-olah

diartikan

semuanya atau seluruhnya. Sebenarnya kalimat kullu tidak selamanya


berarti keseluruhan atau semua, adakalanya berarti sebagian. Seperti
dalam ayat al-Quan:










Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman? QS. Al-Anbiya:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti
semua benda yang ada dunia ini diciptakan dari air. Buktinya ayat alQuran yang lain berikut ini:











Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala.
QS. Ar-Rahman:15.
Maka demikian pula dengan Hadits diatas. Walaupun menggunakan
kalimat kullu, bukan berarti seluruh yang tidak ada pada masa Nabi SAW
dilarang dan sesat. Ini dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga
melaksanakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW
masih hidup. Misalnya usaha menghimpun dan membukukan al-Quran,
mengumpulkan jamaah tarawih menjadi satu didalam masjid, dan lainlain. Nah, kalau kalimat kullu diatas diartikan keseluruhan, yang berarti
semua hal-hal yang baru itu sesat dan berdosa, berarti para sahabat telah

melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama).


Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang
pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan
diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka, sungguh
tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu
agung tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan
Rasulullah SAW.
III
IJTIHAD, MADZHAB, TAQLID, DAN TALFIQ
A.

IJTIHAD
Ijtihad telah dilakukan pada masa Rasululah SAW. Beliau pernah

mengutus Muadz bin Jabal berangkat ke Yaman untuk mendakwahkan


Islam. Saat itu -dengan maksud menguji- beliau bertanya kepada Muadz
tentang bagaimana kelak dia menggali hukum untuk disampaikan kepada
umat.

:







- -

.

.




:

:





.
.- -

:




.
.



:
:







:





Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa ketika Rasulullah SAW
mengutusnya ke Yaman beliau bertanya, Apabila muncul suatu perkara,
bagaimana engkau memutuskan hukumnya? Muadz menjawab, Aku
putuskan dengan berdasarkan Kitab Allah. Beliau bertanya, Bagaimana
jika engkau tidak mendapatkannya dari Kitab Allah? Muadz menjawab,
Maka aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya
lagi, Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan keputusannya dalam
Sunnah

Rasulullah?

Muadz

menjawab,

Aku

berijtihad

dengan

menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mundur. Mendengar itu


Rasulullah menepuk dada Muadz seraya berkata, Segala puji bagi Allah

yang telah memberi taufik kepada utusan Rusulullah sehingga membuat


ridha Rasulullah.
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bahkan disunnatkannya
berijtihad. Ada banyak ayat Al Quran dan hadits yang menunjukkan
pentingnya ijtihad.
Ijtihad juga dipandang sebagai suatu tindakan terpuji, apapun
hasilnya. Hal ini ditegaskan dalam hadits :



Dari Amr bin Al Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda,
Apabila saat hakim memutuskan hukum dia berijtihad, kemudian
hasilnya benar, maka dia mendapat pahala dua. Dan apabila hasilnya
salah maka dia mendapat pahala satu.
Hadits ini secara jelas menyatakan bahwa hasil ijtihad mempunyai
dua kemungkinan, yaitu benar dan salah. Dan keduanya sama-sama
mendapatkan pahala dari Allah.
Selanjutnya perbedaan yang muncul dari ijtihad para mujtahidin
adalah merupakan suatu rahmat dan bukan sebagai sebab munculnya
pertentangan dan perpecahan umat Islam.
KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa hadits di atas menggunakan
kata Hakim, yang artinya orang yang mengerti hukum, dan bukan
menggunakan kata Rajul yang artinya orang secara umum. Ini artinya
adalah bahwa yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mengerti
hukum.
Amat disayangkan apabila ada seseorang memahami Al Quran dan
hadits dari terjemahan -karena tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu
pendukung lainnya dengan baik- kemudian mengklaim mampu melakukan
ijtihad. Padahal sebenarnya dia hanya melakukan taqlid buta terhadap
penerjemah buku-buku yang dipedomaninya itu lantaran dia sendiri tidak
mampu mengkritisi dan menilai benar-salahnya hasil terjemahan tersebut.
Pengertian ijtihad yang kami maksud di sini tidak lain adalah proses
penggalian hukum syariat dari dalil-dalilnya yang rinci dalam Al Quran,

hadits, Ijma, Qiyas dan dalil lainnya.

Imam As Suyuthi menyatakan,

Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum.


Oleh karena itu tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, karena
harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1.

Mempunyai kemampuan menggali hukum dari Al Quran, yaitu


memahami ayat-ayat terkait hukum, diantaranya mengetahui sebab
turunnya ayat (Asbabun Nuzul), Nasikh-Mansukh, Am-Khash, MujmalMubayyan, Muhkan-Mutasyabih dan lain sebagainya.

2.

Mengetahui

secara

mendalam

hadits-hadits,

terutama

yang

berkaitan dengan hukum, latar belakang munculnya hadits (Sababul


Wurud) dan pengetahuan tentang para perawi (Ilmu Rijal)
3.

Mengetahui mana hukum yang telah menjadi Ijma dan mana yang
diperselisihkan oleh para ulama

4.

Menguasai Qiyas dan mampu menerapkannya secara benar dalam


menelurkan hukum

5.

Menguasai bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya secara detail, seperti


Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya, disamping kaiahkaidah Ushul Fiqh

6.

Memahami tujuan dasar syariat Islam secara hakiki

7.

Menguasai metodologi yang representative dalam menggali hukum

8.

Memiliki ketulusan hati dan akidah yang lurus dengan tidak


berambisi mencari popularitas, kedudukan maupun materi dunia.
Niatnya semata-mata demi Allah SWT dan mencari solusi hukum bagi
kemaslahatan umat manusia.
Melihat persyaratan-persyaratan di atas tentu sulit menemukan

orang yang memenuhi seluruhnya. Masing-masing orang tentu memiliki


kelebihan dan kekurangan. Ada yang hanya memenuhi sebagian, dan ada
yang memenuhi lebih lengkap. Oleh karena itu para mujtahid terbagi
dalam beberapa tingkatan sebagai berikut:
1.

Mujtahid

Mutlaq atau Mustaqil (Mandiri)

yaitu

ulama

yang

melakukan ijtihad dan merumuskan sendiri kaidah-kaidah penggalian


hukumnya. Termasuk dalam tingkatan ini adalah

keempat Imam

Madzhab, yaitu Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H),
Imam Syafii (150-2104 H) dan Ahmad bin Hambal (164-241 H).
1.

Mujtahid Muntasib (bernisbat pada Mujtahid Mutlaq), yaitu ulama


yang mengikuti metode imam panutannya dalam menggali hukum
berbagai bidang. Misalnya adalah Al Muzaniy dan Al Buwaithiy di
lingkungan madzhab Syafii dan Muhammad bin Al Hasan dan Abu
Yusuf

di

lingkungan

madzhab

Hanafi.

Mereka

juga

disebut

sebagai Mujtahid Mutlaq (Tidak Mandiri).


2.

Mujtahid Muqayyad (Terbatas), yaitu para ulama yang menggali


hukum

pada

kasus-kasus

yang

belum

diuraikan

oleh

imam

panutannya. Misalnya adalah Al Karkhiy, As Sarkhasiy, Al Bazdawiy,


Abu Ishaq Asy Syiraziy dan lain sebagainya.
3.

Mujtahid

Madzhab atau Fatwa,

yaitu

ulama

yang

menerapkan

metode penggalian hukum imam panutannya dan hanya memilahmilah mana yang Shahih dan mana yang Dhaif dari pendapat imam
panutannya itu. Misalnya adalah Al Ghazali dan Al Juwainiy di
lingkungan madzhab Syafii.
4.

Mujtahid Murajjih, yaitu ulama yang memilah-milah pendapatpendapat suatu madzhab dengan mengambil mana yang paling
unggul dan sesuai dengan tuntutan kemashlahatan umat. Misalnya
adalah Ar Rafii dan An Nawawi di lingkungan madzhab Syafii.
Permasalahan lain

adalah

bahwa

ada

sementara

orang

yang

berpendapat bahwa saat ini pintu ijtihad telah tertutup. Menanggapi


pendapat itu kita perlu merujuk kembali bahwa ijtihad adalah proses
penggalian hukum dari Al Quran, Hadits dan dalil lainnya. Karena itu
tentu pintu ijtihad masih terus terbuka. Apalagi perkembangan jaman
demikian

pesat,

sehingga

para

mujtahid

membutuhkan

ilmu-ilmu

pendamping lainnya dalam memecahkan problematika kontemporer,


hingga kita yakin bahwa pada setiap jaman terdapat seorang mujtahid
yang mampu berijtihad memecahkan problematika hukum umat. Suatu
jaman tidak pernah kosong dari adanya mujtahid, kecuali jika Kiamat telah
tiba.

B.

MADZHAB
Dari segi bahasa Madzhab artinya adalah jalan. Sedangkan menurut

istilah,

madzhab

adalah

sekumpulan

hukum

permasalahan furuiyah (cabang) yang ditetapkan dan dipilih oleh imam


Madzhab dan berbeda dengan imam lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, madzhab tidak terbentukdari hukumhukum pasti (qathiy) yang telah disepakati para ulama, misalnya
wajibnya shalat 5 waktu, keharaman berzina dan lain sebagainya.
Madzhab muncul dan terbentuk dari kasus-kasus dimana mengenainya
para ulama berbeda pendapat, lalu dijadikan pegangan para pengikut
masing-masing. Jadi, madzhab adalah hasil kajian komprehensif yang
dilakukan oleh para ulama untuk mengetahui hukum Tuhan dalam Al
Quran, hadits dan dalil lainnya.
Semula madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas pada empat
madzhab saja. Beberapa ulama juga memiliki madzhab, misalnya Sufyan
Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Dawud Adz Dzahiri
dan Al Auzai. Lalu mengapa madzhab-madzhab yang diamalkan oleh para
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terbatas hanya pada madzhab empat
saja?
Sebenarnya hal itu lebih disebabkan oleh peranan murid-murid yang
membukukan dengan baik madzhab yang ditetapkan oleh imam mereka,
hingga

faliditas

dan

ke-mutawatiran-nya

terjamin.

Disamping

itu,

kesahihan madzhab juga dinilai dari sisi metode pengalian hukumnya,


apakah dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah ataukah tidak.
Imam Sayyid Alawi As Saqqaf menjelaskan bahwa murid-murid Imam
Syafii menegaskan bahwa tidak boleh hukumnya bertaklid kepada selain
4 imam. Alasan mereka, karena tidak ada jaminan bahwa suatu pendapat
memang benar-benar merupakan pendapat imam yang bersangkutan,
akibat tiadanya sanad yang menjamin terhindarnya penyimpangan dan
pemalsuan. Berbeda halnya dengan 4 madzhab tersebut, dimana para
imamnya mengerahkan tenaga dalam menerbitkan pendapat dan benar
atau tidaknya pendapat itu darinya. Karena itu para pengikutnya merasa

aman dari adanya penyimpangan dan pemalsuan serta mengetahui mana


pendapat yang Shahih dan mana yang Dhaif.
Watu terus berjalan dan probematika kehidupan berkembang dengan
pesat, hingga para ulama pesantren secara terus-menerus melakukan
usaha-usaha mengembangkan cara bermadzhab. Perubahanpun menjadi
hal yang tak terhindarkan agar fiqh dapat terus memberikan pemecahan
masalah

dan

kesulitan

dalam

masyarakat.

Karena

itu

dibutuhkan

pendekatan baru demi mewujudkan prinsip bahwa Islam selalu sesuai


dengan perkembangan waktu dan tempat. Diantara usaha para ulama
tersebut adalah menggunakan pendekatan Fiqh Sosial sebagai suatu
usaha untuk mengembangkan cara bermadzhab. Dari yang semula
bermadzhab

secara Qouli(tekstual)

kepada

bermadzhab

secara Manhaji (metodologis) dalam Fiqh, sebagaimana yang digagas oleh


Dr. KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.
Sesuai hasil halaqah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M) terdapat beberapa karakteristik konkrit
dalam Fiqh Sosial tersebut. Diantara karakteristik itu adalah:
a. menafsirkan teks-teks fiqh secara kontekstual,
b. meningkatkan cara bermadzab yang semula tekstual menjadi
bemadzhab secara Manhaji(metodologis),
c. melakukan pemilahan ajaran agama secara mendasar dengan
membedakan mana ajaran pokok (Ushuli) dan mana ajaran
cabang (Furui)
d. dan
mengenalkan

metodologi

filosofis

terutama

dalam

permasalahan sosial-budaya.
Usaha-usaha tersebut hanya terbatas untuk mengatasi masalahmasalah sosial (hablun min an Nas) dan tidak pada hubungan antara
hamba dengan Tuhan (hablun min Allah), sebab bidang yang terakhir ini
menuntut totalitas ketundukan dan kepasrahan hamba. As Syathibi
menyampaikan kaidah, Bagi mukallaf, dalil pokok dalam ibadah adalah
penghambaan

dan

tanpa

mempertimbangkan

maksud

dan

tujuan.

Sedangkan dalil pokok dari adat kebiasaan adalah mempertimbangkan


maksud dan tujuan.

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal:


1. Madzhab adalah suatu jalan pemikiran yang ditempuh oleh para
mujtahid karena adanya perbedaan pendapat antar mereka
2. Umat Islam tidak terikat pada madzhab tertentu saja. Mereka
memiliki kebebasan penuh dalam memilih madzhab yang dinilai
cocok
3. Madzhab-madzhab yang berhak diikuti terbatas hanya pada 4
madzhab, yaitu Hanafi, Maliki,Syafii dan Hambali
4. Umat Islam harus mengembangkan cara bermadzhab yang dapat
menjamin kemaslahatan masyarakat terutama dalam masalah
sosial.
C.

TAQLID
Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang dengan tanpa bisa

membuktikan

benar-salahnya

pendapat

itu,

meskipun

mengetahui

sepenuhnya bahwa bertaklid padanya boleh.


Hukum Taqlid adalah haram bagi mujtahid dan wajib bagi selain
mujtahid. As Suyuthi mengatakan, Manusia itu ada yang mujtahid dan
ada yang tidak. Yang tidak mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia
orang awam maupun orang alim/pandai. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT






Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui
Jadi kewajiban bertaqlid tidak hanya berlaku bagi orang awam saja,
tetapi juga bagi orang alim yang mengetahui dalil, selama dia belum
mencapai

tingkat

mujtahid, karena

kemampuannya

masih

sebatas

mengetahui dalil dan tidak sampai mengaplikasikan metodologi dan


segala sesuatu yang berhubungan dengan penggalian hukum. Jadi orang
alimpun selama belum mencapai tingkat berijtihad sama saja dengan
orang awam dalam kewajiban bertaqlid.
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tercela hanyalah taqlid buta
dimana seseorang menerima pendapat begitu saja tanpa memahami dan

berusaha mengetahui dalilnya.

Sedangkan mengenai taqlidnya orang

alim yang belum mencapai tingkat ijtihad, maka hal itu adalah terpuji,
bahkan wajib. Dan itu lebih baik daripada terus berijtihad padahal dirinya
sendiri tidak mampu.
Taqlid adalah hal pasti dan tak terhindarkan dilakukan oleh setiap
umat Islam, setidaknya ketika mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam,
misalnya meletakkan kedua tangan di dada pada waktu shalat dan
mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram. Dia tetap melakukan
hal itu meskipun belum mengetahui benar-salah dalil yang mendasarinya.
Lalu ketika dia mengetahui argumentasi dan dalil pada waktu kemudian
maka saat itu berarti dia telah keluar dari lingkaran taqlid buta. Meskipun
demikian tetap saja dia seorang yang bertaqlid karena masih belum
mengetahui dalil secara rinci, paling tidak bagaimana cara menggali
hukum. Masih saja dia mengikuti metode dari seorang imam mujtahid.
Pada kenyataannya bertaqlid banyak terjadi dalam berbagai bidang
kehidupan. Misalnya ketika seorang dokter menuliskan resep bagi pasien,
maka selanjutnya pasien itu merujuk ke apotek, bukannya meracik sendiri
obat-obatan itu. Cukup baginya membeli produk dari suatu pabrik obat
yang ia anggap terjamin. Demikian juga guru mata pelajaran Geografi
ketika menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat. Dia
hanya mengikuti pandangan Galileo Galilei dan Thomas Copernicus,
bukannya mengkaji dan menelitinya sendiri secara langsung.
Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana dengan pernyataan Imam
Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hambal,
Janganlah engkau bertaqlid kepadaku, juga kepada Malik, Asy Syafii, Al
Auzai maupun Ats Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.
Mari kita cermati sungguh-sungguh pernyataan di atas. Kepada
siapakah Imam Ahmad berkata. Dia berkata kepada Imam Abu Dawud,
penyusun kitab Sunan Abi Dawud yang menghimpun 5.284 hadits berikut
sanadnya, bukan kepada orang awam. Maka tidak aneh jika Imam Ahmad
mengatakan demikian kepada Abu Dawud, yang memiliki kemampuan
berijtihad.

Mengharuskan orang awam yang merupakan mayoritas umat Islamuntuk berijtihad sendiri-sendiri sama dengan menuntut hal di luar
kemampuan mereka. Dan itu mustahil, sebab minat masing-masing
mereka pada satu bidang ilmu berbeda satu sama lain. Sedangkan yang
menekuni ilmu-ilmu agama jumlahnya relatif sedikit. Jadi bagi yang tidak
berkesempatan mengkaji ilmu-ilmu agama wajib baginya bertanya dan
bertaqlid kepada yang menekuninya.
Al Quran memerintahkan agar ada sekelompok orang dari umat
Islam yang berangkat memperdalam agama dan ilmu syariat agar kelak
mereka dapat memberi peringatan dan menyampaikan fatwa yang benar.
Dan itu tidak ditujukan kepada semua umat Islam.










Tidak

sepatutnya

bagi

orang-orang

yang

mukmin

itu

pergi

semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap


golongan di antara

mereka

beberapa

orang untuk memperdalam

pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan


kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya
Bahkan sekalipun para Sahabat Rasulullah dianugerahi kecerdasan
dan daya ingat yang kuat serta tabiat yang baik, hasilnya mereka
berbeda-beda dalam menerima ilmu-ilmu syariat. Ada yang menjadi
mujtahid dan menyampaikan fatwa dan ada yang bertaqlid. Rasulullah
SAW mengutus beberapa orang Sahabat berangkat ke beberapa daerah
untuk menyebarkan Islam dan menangani berbagai masalah, baik dalam
bidang

peibadatan,

muamalah

maupun

masalah

sosial

lainnya.

Merekapun kemudian menerangkan keharaman dan kehalalan suatu


perkara, dan kemudian fatwa mereka itu dikuti oleh umat.
Sedangkan

mengenai

istilah Ittiba ada

sementara

ulama

yang

membedakannya dengan Taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan


antara keduanya. Keduanya memiliki arti dan maksud yang sama.
D.

TALFIQ

Menurut bahasa Talfiq artinya melipat atau merangkap. Sedangkan


menurut syariat, Talfiq adalah melakukan suatu ibadah atau muamalah
secara

rangkap

yaitu

dengan

menyomot

pendapat-pendapat

dari

madzhab yang berlainan sehingga muncul suatu praktik yang keluar dari
madzhab-madzhab itu.
Contoh:
1.

Seseorang melakukan wudlu dengan mengikuti madzhabSyafii,


yaitu dengan mengusap sebagian kepala (kurang dari ), kemudian
menyentuh wanita lain (ajnabiyah). Kemudian dia melaksanakan
shalat dengan mengikuti madzhab Abu Hanifah yang berpendapat
bahwa bersentuhan dengan wanita ajnabiyah tidak membatalkan
wudlu.

Maka

praktek

demikian

disebut

Talfiq,

sebab

dia

menggabungkan pendapat Syafii dan pendapat Abu Hanifah dalam


masalah wudlu, dimana akhirnya yang dilakukannya itu keluar dari
kedua

madzhab

itu.

Di

satu

sisi

bersentuhan

kulit

dengan ajnabiyah menurut Syafii membatalkan wudhu dan di sisi


lain menurut Abu Hanifah berwudlu tidak sah hanya dengan
mengusap sebagian kepala.
2.

Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala atau


dengan tanpa menggosok-gosok anggota wudlu karena mengikuti
madzhab Syafii. kemudian dia menyentuh anjing dengan mengikuti
madzhab Maliki yang berpendapat bahwa anjing adalah binatang
suci. Maka shalat yang dilakukannya tidak sah dalam pandangan
kedua madzhab tersebut, sebab di satu sisi menurut Maliki berwudlu
tidak sah tanpa mengusap seluruh kepala serta menggosok-gosok
anggota wudlu, dan di sisi lain menurut Syafii anjing adalah
termasuk najis Mughalladhah(berat). Jadi apabila dia melaksanakan
shalat maka shalatnya tidak sah dalam pandangan

madzhab-

madzhab tersebut.
Talfiq sebagaimana kami sebutkan haram dilakukan. Dan tujuan
pelarangan ini adalah agar seseorang tidak mencari yang serba mudah
dan mempermainkan hukum.

Demi menghindarkan talfiq yang terlarang itu dalam mencari solusi


hukum perlu dilakukan pemilihan hukum-hukum dari madzhab tertentu
dari keempat madzhab, dimana madzhab tersebut sesuai dengan situasi
dan kondisi keindonesiaan. Misalnya dengan memilih madzhab Syafii
dalam bidang shalat mulai dari syarat, rukun hingga yang membatalkandan memilih madzhab Abu Hanifah dalam masalah-masalah sosial
kemayarakatan. Dengan demikian disamping Talfiq dapat dihindarkanhukum-hukum yang telah dirumuskan para ulama madzhab itu dapat
diterapkan dan tidak hanya tertulis dalam lembar-lembar kitab saja
IV
PUJIAN SETELAH ADZAN
Sejak zaman hadulu, di sebagian masjid atau mushalla di Jawa ada
kebiasan yang tidak dilakukan di masjid atau mushalla lain, yaitu setelah
adzan shalat maktubah dibacakan pujian berupa dzikir, doa, shalawat
nabi atau syair-syair yang islami dengan suara keras. Beberapa menit
kemudian baru iqamat. Akhir-akhir ini banyak dipertanyakan bahkan
dipertentangkan apakah kebiasaan tersebut mempunyai rujukan dalil
syari? Dan mengapa tidak semua kaum muslimin di negeri ini melakukan
kebiasaan tersebtu? Dengan munculnya pertanyaan seperti itu warga
Nahdliyin diberi pengertian untuk menjawab : Apa pujia itu? Bagaimana
historisnya? Bagaimana tinjauan hukum syariat tentang pujian? Dan apa
fungsinya?
A. Pengertian Pujian dan Historisnya
Pujian bersal dari akar kata puji, kemudian diberi akhiran an yang
artinya : pengakuan dan penghargaan dengan tulus atas kebaikan/
keunggulan

sesuatu.

Yang

dimaksud

dengan

pujian

di

sini

ialah

serangkaian kata baik yang berbahasa Arab atau berbahasa Daerah yang
berbentuk syair berupa kalimat-kalimat yang isinya mengagungkan asma
Allah, dzikir, doa, shalawat, seruan atau nasehat yang dibaca pada saat
di antara adzan dan iqamat.
Secara historis, pujian tersebut berasal dari pola dakwah para wali
songo, yakni membuat daya tarik bagi orang-orang di sekitar masjid yang

belum mengenal ajaran shalat. Al-hamdulillah dengan dilantunkannya


pujian, tembang-tembang/syair islami seadanya pada saat itu secara
berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari mereka mau berdatangan
mengikuti shalat berjamaah di masjid.
B. Pujian Ditinjau dari Aspek Syariat
Secara tekstual, memang tidak ada dalil syari yang sharih (jawa :
ceplos) mengenai bacaaan pujian setelah di kumandangkannya adzan,
yang ada dalilnya adalah membaca doa antara adzan dan iqamat. Sabda
Nabi SAW :


.









Artinya :
Doa yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab (dikabulkan
oleh Allah). Maka berdoalah kamu sekalian. (HR. Abu Yala)
Kemudian bagaimana tinjauan syariat tentang hukum bacaan pujian
di masjid atau mushalla seperti sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa
membaca dzikir dan syair di masjid atau mushalla merupakan suatu hal
yang tidak dilarng oleh agama. Pada zaman Rasulullah SAW. para sahabat
juga membaca syair di masjid. Diriwayatkan dalam sebuat hadits :

















:











.
.








Artinya :
Dari Said bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan
bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di
masjid.

Umar

menegur

Hassan,

namun

Hassan

menjawab

aku

melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih


mulia dari pada kamu, kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah.
Hassan melanjutkan perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau

menguatkannya dengan ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah,


benar (aku telah mendengarnya). (HR. Abu Dawud dan Nasai).
Sehubungan dengan riwayat ini syaikh Ismail Az-Zain dalam kitabnya
Irsyadul Mukminin menjelaskan : Boleh melantunkan syair yang berisi
puji-pujian, nasehat, pelajaran tata karama dan ilmu yang bermanfaat di
dalam masjid.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub hal 179
juga menjelaskan :
























.











Artinya :
Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW. setelah adzan
(jawa : Pujian) para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya
sunat. Dan seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan
salam itu termasuk salah satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun
membacanya dengan suara keras dan di atas menara itu pun tidak
menyebabkan keluar dari hukum sunat.
C. Pujian Ditinjau dari Aspek Selain Syariat
Apa yang dilakukan para wali di tanah jawa mengenai bacaaan pujian
ternyata mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi itu antara lain :
1.

Dari sisi syiar dan penanaman akidah.

Karena di dalam bacaan pujian ini terkandung dzikir, seruan dan


nasehat, maka hal itu menjadi sebuah syiar dinul islam dan strategi yang
jitu untuk menyebarkan ajaran Islam dan pengamalannya di tengahtengah masyarakat.
2.

Dari aspek psikologi (kejiwaan).

Lantunan syair yang indah itu dapat menyebabkan kesejukan jiwa


seseorang, menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Amaliyah
berupa bacaaan pujian tersebut dapat menjadi semacam persiapan untuk

masuk ke tujuan inti, yakni shalat maktubah lima waktu, mengahadap


kepada Allah yang Maha Satu.
3.

Ada lagi manfaat lain, yaitu :


Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu pelaksanaan
shalat berjamaah;
Mencegah para santri

agar tidak

besenda

gurau yang

mengakibatkan gaduhnya suasana;


Mengkonsentrasikan para jamaah orang dewasa agar tidak
membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu
sahalat jamaah dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan sebagaimana tersebut di atas, maka
membaca pujian sebelum pelaksanaan shalat jamaah di masjid atau
mushalla adalah boleh dan termasuk amaliyah yang baik, asalkan dengan
memodifikasi pelaksanaannya, sehingga tidak mengganggu orang yang
sedang shalat. Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang itu
terkait pada kebiasaan setempat. Modifikasi tersebut misalnya : dengan
cara membaca bersama-sama dengan irama yang syahdu, dan sebelum
imam hadir di tempat shalat jamaah.
Dalam berdakwah para ulama yang bijaksana selalu berusaha
menggunakan strategi agar dakwahnya dapat menyentuh hati. Diantara
startegi yang digunakan adalah membaca syair-syair berisi pujian, dzikir
dan nasehat-nasehat agama sebelum pelaksanaan shalat jamaah. Hal itu
dimaksudkan untuk membangkitkan semangat dan menyentuh perasaan
melalui keindahan syair-syair yang dikumandangkan, sehingga orang
merasa nyaman berada di masjid dan tidak berbicara yang tanpa guna.
Diantara dalil yang bisa digunakan adalah apa yang dilakukan
penyair Hassan bin Tsabit yang menyenandungkan syair-syair pujiannya di
dalam masjid di hadapan Rasulullah SAW dan para Sahabat.

Dari

Said

bin

Musyayyab,

dia

berkata,

Pada

suatu

saat Umar berjalan bertemu Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan
sebuah syair indah di masjid, lalu Umar menegurnya, namun Hasan
menjawab, Aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada
seseorang yang

lebih mulia daripada kamu. Kemudian ia menoleh

kepada Abu Hurairah. Hasan melanjutkan perkataannya, Bukankah kamu


telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, jawablah dariku, Ya Allah,
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh Al Qudus? Umar
menjawab, Ya Allah, benar (aku sudah mendengarnya).
Jadi bila membaca syair seperti tersebut dengan suara keras di
masjid boleh, maka membaca dzikir tentu lebih boleh.
Akan

tetapi

membaca

dzikir

dengan

suara

keras

tersebut

diperbolehkan selama tidak menggangu orang yang sedang shalat,


apalagi shalat fardlu, sebagaimana disebutkan hadits:


Janganlah orang yang membaca Al Quran dari kalian mengganggu
orang yang shalat dari kalian.
Kalau semua masalah tentang pujian sudah demikian jelasnya, maka
tidak perlu ada label BIDAH DLALALAH dari pihak yang tidak
menyetujuinya.

DIBAAN DAN SHALAWATAN


A. Pengertian Dibaan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa para ulama salaf banyak sekali
yang menulis kitab, buku atau tulisan singkat yang berisi bacaan
shalawat. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan sebuah bukti kecintaan
mereka kepada Nabi yang disanjungnya. Bacaan shalawat yang berbentuk
buku

atau

kitab

antara

lain

shalawat Dala'il,

shalawat Bakriyah,

shalawat Diba'iyyah dan lain-lain. Sedangkan yg berbentuk tulisan singkat

antara lain shalawat Nariyah,

shalawat

Rajabiyah, shalawat Munjiyat,

shalawat Fatih, shalawatSaadah. shalawat Badriyah dan lain- lain.


Dari sekian banyak kitab yang berisi bacaan shalawat tersebut ada
yang

paling terkenal

dan

sering

dibaca

yang

diadakan

oleh

warga Nahdliyyin, antara lain adalah shalawat Dibaiyyah.


Jadi pengertian Dibaan adalah : membaca kitab yang berisi bacaan
shalawat dan riwayat hidup Nabi secara singkat yang ditulis oleh Syaikh
Abdurrahman ad-Dibai.
B. Hukum Membaca Diba'iyyah dan Shalawatan
Membaca shalawat Dibaiyyah atau shalawat yang lain menurut
pendapat yang tersohor di kalangan Jumhurul Ulama adalah sunnah
Muakkadah. Kesunatan membaca shalawat ini didasarkan pada beberapa
dalil, antara lain:
a.

Firman Allah SWT.

Artinya :
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi
dan sampaikanlan salatu penghormatan kepadanya. (QS. AI-Ahzab : 56)
b.

Sabda Nabi SAW.:


[ ] .

Artinya :
Bershalawatlah kamu untukku, karena membaca shalawat untukku
bisa mengahapus dosamu dan bisa membersihkan pribadimu. (HR. lbnu
Majah)
c.

Sabda Nabi SAW. :

].
[
Artinya:

Hiasilah tempat-tempat pertemuanmu dengan bacaan shalawat


untukku, karena sesungguhnya bacaan shalwat untukku itu menjadi
cahaya bagimu pada hari kiamat. (HR. Ad-Dailami).
C. Fadlilah Membaca Shalawat
Seseorang yang ahli membaca shalawat akan diberi anugerah oleh
Allah, antara lain :
a.

Dikabulkan doanya


[ ] .
Artinya:
Setiap doa adalah terhalanh, sehingga dimulai dengan memuji
kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi, kemudian baru berdo'a dan
akan dikabulkan doa itu. (HR. Nasai).
b.

Peluang untuk mendapat syafa'at Nabi pada hari kiamat.

b.

Dihilangkan kesusahan dan kesulitannya.

c.

Dan lain-lain.

D. Cara Membaca Dibaiyyah dan Shalawat Nabi


Dibaca dengan kesungguhan dan keikhlasan hati serta diiringi rasa
hormat dan mahabbah/cinta kepada Rasulullah SAW.
Jelas sekali dalalah ayat Al-Quran dan Hadits Nabi tersebut bahwa
kita sebagai ummat Muhammad diperintahkan untuk membacakan
shalawat kepada Nabi SAW. dengan tujuan untuk mengagungkannya
sekaligus mengharapkan barokahnya sewaktu kita masih hidup di dunia
dan agar mendapat syafaatul udzma ketika kita berada di alam mahsyar
kelak.
VI

BERSHADAQAH DAN BERTAHLIL UNTUK MAYIT

A. Pengertian Shodaqoh untuk Mayit


Shodaqoh untuk mayit adalah suatu istilah yang disebut juga oleh
orang jawa selametan, yaitu dengan cara menghidangkan makanan dan
minuman dengan niat bersedekah yang lazimnya dikaitkan dengan
pembacaan tahlil setelah wafatnya seseorang.
B. Pengertian Bertahlil/Tahlilan
Bertahlil atau dalam bahasa Iawa disebuttahlilan, pada hakekatnya
adalah pembacaan kalimat thayyibah, tasbih, tahmid, istighfar, sebagian
ayat-ayat Al-Qur'an dan shalawat Nabi yang
dengan

doa/permohonan

amalan/bacaan

kita

tersebut

ke

hadirat

diterima

kemudian
Allah

di

SWT.

diakhiri

agar

sisiNya, kemudian

semua
Allah

berkenan melimpahkan pahala dari amalan-amalan tersebut kepada


mayityang kita tahlilkan.
C. Bermanfaatkah Pahala Sedekah atau Tahlil/ Do'a bagi Si
Mayit?
Jika ada orang bertanya : Mungkinkah sedekah dan bacaan tahlil/doa
itu bermanfaat untuk mayit? padahal Allah telah berfirman :

Artinya:
Dan

bahwasanya

manusia

tidak

akan

mendapatkan

pahala

melainkan dari usaha yang telah dikerjakan. (QS. An-Najm : 39)


Kalau sudah jelas demikian masalahnya, mengapa kita masih juga
bersedekah atau bertahlil untuk orang yang mati? toh ... hanya sia-sia
amalan kita tersebut?
Maka untuk menjawab pertanyaan itu, mari bersama-sama kita kaji
keterangan di bawah ini, baik yang bersumber dari Al-Quran, al-Hadits
atau fatwa ulama.
a. Firman Allah SWT.

Artinya :
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata : Hai Tuhan
kami, beri ampulah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami. (QS. Al-Hasyr : 10)
b.

Firman Allah SWT.


Artinya :
Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. Muhammad : 19
c.

Firman Allah SWT.

Artinya :
Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. (QS. Nuh : 28)
Ketiga ayat di atas, jelas menunjukkan bahwa do'a dan istighfar dari
seorang yang masih hidup dapat berguna untuk orang yang telah mati
dari kalangan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
d. Hadits Nabi SAW.

:

[ ] . :
Artinya :
Dari Aisyah ra. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW.
bahwasanya ibuku telah mati secara mendadak, dan saya mengira
andaikan dia sempai berbicara (sebelum mati) pasti dia bersedekah.

Adakah

dia

memperoleh

pahala

andaikan

saya

bcrsedekah untuknya? Jawab beliau : ya. (Muttafaq Alaih)


e.

Syaikh Abdul Wahhab asy-Syaroni memberikan keterangan

dalam kitabnya Mizan Kubra :

.
] .
[1/218
Artinya:
Dan
doa untuk

teluh sepakat
mayit,

para

sedekah,

ulama

bahwa

memerdekakan

bacaan

istighfar

dan

budak, menghajikannya,

semua dapat bermanfaat untuknya.Demikianlah yang saya temukan di


antara masalah-masalah hukum yang telah disepakati oleh para imam
madzhab yang empat.
Bersedekah adalah termasuk tindakan yang disyariatkan agama dan
berpahala. Bersedekah juga mencerminkan kepedulian sosial antar umat
Islam. Dalam hadits Amr bin Abasah disebtkan:










Aku bertanya, Apa Islam itu? Beliau menjawab, Berkata yang baik
dan memberi makan.
Sedekah juga dapat berupa bacaaan tasbih, takbir, tahmid dan tahlil.
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan:


















[2]












Sekelompok orang Sahabat Rasulullah bertanya kepada beiau,
Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu bias pergi dengan membawa
pahala. Mereka shalat sebagaimana

kai shalat, mereka

berpuasa

sebagaimana kami juga berpuasa. Namun mereka bias bersedekah


dengan kelebihan harta mereka? Beliau menjawab, Bukankah Allah
telah menjadikan

bagi

kalian apa

yang

bias

kalian sedekahkan?

Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah sedekah. Setiap bacaan takbir

adalah sedekah. Setiap bacaan tahmid adalah sedekah. Dan Setiap


bacaan tahlil adalah sedekah.
Termasuk dalam hadits di atas adalah bersedekah atas nama orang
yang telah meninggal. Sedekah ini adalah boleh. Pada masa Rasulullah
SAW sedekah tidak hanya teratas pada makanan saja, bahkan kebun
kurma

dan

dihadiahkan

segala

sesuatu

kepada

orang

yang
yang

nilainya
telah

mahal

lalu

meninggal.

pahalanya

Dalam

hadits

disebutkan:












Dari Ibnu Abbas dia berkata, Seorang laki-laki bertanya kepada
Rasululah, Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal. Apakah akan
bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas nama dia? Beliau
menjawab, Ya, benar Laki-laki itu berkata, Aku memiliki sebuah
keranjang.

Maka

aku

persaksikan

kepada

engkau

bahwa

aku

mensedekahkannya atas nama dia.


Bahkan sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang
telah meninggal termasuk amal mulia. Dari sekian banyak bentuk
sedekah yang paling utama diantaranya adalah memerdekakan budak,
sedekah,

memintakan

menghajikannya.

ampunan

Membaca

Alquran

dan

mendoakannya

dengan

tanpa

upah

serta
dan

menghadiahkan pahala bacaan itu kepada mayit juga dapat sampai.


Sedangkan mengenai anggapan bahwa suguhan makanan kepada
orang yang hadir dalam tahlilan selama 7 hari berturut-turut sepeninggal
mayit adalah tradisi agama Hindu dan Budha adalah angapan keliru. Yang
benar adalah bahwa tradisi ini jika dipilah-pilah masing-masing sebagai
menyuguhkan makanan, majlis dzikir dan mendoakan mayit adalah hal
yang dianjurkan syariat. Sedangkan melaksanakannya pada hari-hari
tertentu misalnya hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu dan
setiap tahun dan seterusnya hanyalah adat kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan syariat.
Bahkan ImamAhmad bin Hambal menyebut itu sebagai tradisi salaf
yang sunat dipraktekan

Dalil seperti di atas itulah yang dijadikan rujukan/referensi oleh kaum


Ahlussunnah wal Jamaah untuk keyakinan mereka bahwa menghadiahkan
pahala bacaan Al-Quran, dzikir, shalawat, atau sedekah itu bisa sampai
dan bermanfaat bagi mayit. Dan semua hal tersebut sudah barang tentu
atas izin Allah SWT.
Adapun ketentuan hukum yang ada pada ayat 39 An-Najm tersebut
adalah berlaku bagi umat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Sedangkan bagi
umat Muhammad, mereka bisa mendapat pahala dari amalnya sendiri dan
bisa juga mendapat pahala dari amal orang lain. Hal ini sesuai dengan
bunyi ayat sebelumnya :


Artinya :
Apakah belum

diberitakan

kepadanya

apa

yang

ada

dalam

lembaran-lembaran Musa?Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu


menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain, Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm : 36-39)
Pemahaman yang demikian ini sesuai dengan keterangan dalam
kitab tafsir Khozin juz IV hal. 268 :


[6/268 ] .
Artinya :
Adapun yang demikian itu adalah bagi kaum Ibrahim dan kaum
Musa. Sedangkan untuk umat ini (umat Muhammad SAW), maka mereka
dapat memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari amal
kebajikan orang lain.

Ada juga penafsiran versi lain mengenai ayat 39 surat an-Najm tadi,
yaitu menurut as-Syaikh Ibnul Qoyyim al-Jauziyah yang dikutip dan
diterjemahkan oleh al-Mukarrom KH. Muhyiddin Abd. Shomad dalam
bukunya Hujjah NU hal 85, sebagai berikut :
Jawaban yang baik tentang ayat ini, bahwa menusia dengan
amalnya sendiri dan juga karena pergaulannya sendiri dan juga karena
pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak
teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta
menyintai sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya
tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya
(ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan
hasil usahanya sendiri.
Berdasarkan keterangan yang akurat dari beberapa dalil syari di
atas, warga kita pasti bisa menjawab pertanyaan dari si penanya dengan
jawaban tegas bahwa :
a. Menghadiahkan pahala amal kebaikan kepada ahli kubur yang
sama-sama muslim, baik ada hubungan kekerabatan atau tidak
antara yang menghadiahkan dengan si mayit yang di hadiahi, itu
menurut doktrin Ahlussunnah wal Jamaah bisa sampai pada mayit
tadi;
b. Ukhuwwah Islamiyah itu tidak terputus karena kematian. Oleh
karenanya menolong ahli kubur dengan doa yang diwujudkan
dalam bentuk tahlilan dan sebagainya itu akan manfaat bagi
mereka.

VII
PERINGATAN HAUL
A. Pengertian Haul
Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi
peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan
setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan

oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama


kenamaan.
B. Tujuan Diadakannya Peringatan Haul
Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting
yaitu mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah
air, bangsa serta umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan
haul wali songo, para haba'ib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan
suri tauladan oleh generasi penerus.

C.

Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haul


a.

Ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah

thayyibah serta membaca Al-Quran secara berjamaah dan doa bersama


di makam;
b.

Diadakan majlis ta'lim, mau'idzoh hasanah dan pernbacaan

biografi sang tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau habaib;


c.

Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan niat

selamatan/shodaqoh anil mayit.


D.

Hukum Mengadakan Peringatan Haul


Selama dalam peringatan haul itu tidak ada hal yang menyimpang

dari tujuan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi atau yang difatwakan
oleh para ulama, maka haul hukumnya jawaz(boleh). Jadi, salah besar jika
ada orang yang mengatakan bahwa secara mutlak peringatan haul itu
hukumnya haram atau mendekati syirik.
E.

Dalil diperbolehkannya Peringatan Haul


Berikut ini ada beberapa dalil syari yang berkaitan dengan masalah

peringatan haul dengan serangkaian mata acaranya.


a.

Hadits riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam

kitab Nahjul Balaghoh hal. 399


. :

[ ] .
Artinya:Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada Uhud
pada setiap tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud
beliau

mengucapkan

dengan

suara

keras

semoga

kesejahteraan

dilimpahkan kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya


tempat kesudahan. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman
bin Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut.
b.

Hadits riwayat Imam Thabrani dan Imam Baihaqi :


[ ] .
Artinya :
Tiada suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir
kepada Allah kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada
mereka bubarlah kamu, sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu
dan kejahatan-kejahatanmu telah diganti dengan kebaikan-kebaikan.
(HR. Thabarani dan Baihaqi)
c.

Hadits riwayat Imam Dailami :


158 : ] [ .
Artinya

:Menyebut-nyebut

para

Nabi

itu

termasuk

ibadah,

menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat


kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kuburitu
bisa mendekatkan kamu dari surga. (HR. Dailami)
d.

Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman al-Jaziri) dalam kitabnya al-

fiqih ala madzahibil arbaah :


[1/540 ] .
Artinya :Sangat dianjurkan bagi orang yang berziarah kubur untuk
bersungguh-sungguh mendoakan kepada mayit dan membaca Al-Quran
untuk mayit, karena semua itu pahalanya akam bermanfaat bagi mayit.
Demikian itu menurut pendapat ulama yang paling shahih.
Memang begitulah doktrin Ahlussunnah wal Jamaah tentang ziarah
kubur dan haul. Kedua-keduanya merupakan salah satu dari sekian
banyak cabang amalan qurbah yang dianjurkan dalam agama. Namun
dibalik

itu

ada

hal

yang

patut

disayangkan

karena

di

dalam

pelaksanaannya sering terjadi kemaksiatan yang sangat mencolok yang


dilakukan

oleh

warga

kita

sewaktu

menghadiri

acara

tadi,

yakni

berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan dalam satu tempat : di sarean


sewaktu mereka berziarah kubur, berjubel-jubel dalam satu ruangan
sewaku hadir pada acara haul atau berjejal-jejal dalam satu kendaraan
(truk) yang mengangkat sewaktu mereka berangkat dan pulang dari
tempat acra dll.
Maka alangkah bijaknya jika masing-masing oknum, baik panitian
atau warga yang hadir mau memperhatikan fatwa ulama klasikk yang
menaruh rasa saying kepada umat dengan maksud agar amaliyh mereka
ini tidak tercemar denan noda-noda kemaksiatan.
Tersebut dalam kitab Al-Fatawil Kubro juz II hal 24 :

)(

: )(
: ...

.

.

Artinya :Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kubur para wali
pada saat tertentu dan menuju ke kuburan itu, apakah itu diperbolehkan,
sedangkan

di

situ

terjadi

banyak

mafsadah/kemaksiatan,

seperti

berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan, menyalakan lampu dalam


jumlah yang banyak dan lain sebaigainya. Beliau menjawab : ziarah kubur
para wali adalah suatu amal kebaikan yang dianjurkan .. sampai katakata kiyai mushonnif : apa yang diisyaratkan oleh si penanya berupa
tindakan bidah atau hal-hal yang diharamkan, jangan menjadi sebab
ditinggalkannya
melakukannya

kebaikan
dan

menghilangkannya,

tersebut.

ingkar/benci
kalau

memang

Bagi
terhadap

seseorang

tetaplah

pelanggaran

memungkinkan.

Para

dan

fuqaha

menyebutkan mengenai thawaf sunat apalagi thawaf wajib agar dilakukan


walaupun di situ ada banyak perempuan demikian pula lari-lari kecil.
Namun mereka memerintahkan agar menjauh dari para perempauan
tersebut. Demikian pula ziarah kubur tetap dilakukan akan tetapi jauhilah
(berdesak-desakan dengan) kaum wanita dan cegahlah dan kalau bisa
hilangkanlah hal-hal yang diharamkan seperti keterangan yang telah
lewat.
F.

Subtansi Haul Ulama


Tujuan 'mengenang' kembali seorang ulama dalam biografi ataupun

tradisi yang sering dilakukan oleh warga Nahdliyin dalam mengadakan


haul ulama dengan menyebutkan kisahnya selama hidupnya adalah untuk
'meneladani keshalehannya'. Hal ini sudah dilakukan sejak zaman
sahabat:





















(1195 )






"Diriwayatkan dari Sa'd bahwa Abdurrahman bin Auf suatu hari
disuguhi makanan. Ia berkata: "Mush'ab bin Umair telah terbunuh, ia lebih
baik dariku, tak ada yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain
selimut. Hamzah juga telah terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada yang

dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain selimut. Sungguh saya kuatir
amal kebaikan-kebaikan kami segera diberikan di kehidupan dunia ini".
Kemudian Abdurrahman bin Auf menangis" (Riwayat Bukhari No 1195)
Dalam hal ini al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari ahli hadis:












(354 /7 )

"Ibnu Baththal telah berkata: Dalam riwayat ini dianjurkan menyebut
kisah-kisah

orang

saleh

dan

kesederhanannya

terhadap

duniawi.

Tujuannya agar tidak cinta dunia" (Fathul Bari 7/354)


Abdullah Ibn Mubarak berkata:






) :















} :




(


























...[120: { ]






)





(28 /5
Abdullah bin Mubarak berkata: "Sejarah orang-orang shaleh adalah
salah satu pasukan Allah, yang dapat mengokohkan hati hamba-hamba
Allah. Sebagaimana dalam firman Allah: Dan semua kisah dari rasul-rasul
Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami
teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran
serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hud:
120] Seseorang butuh untuk berkunjung kepada sosok manusia yang
dapat membuatnya menangis. Jika tidak menemukannya di kalangan
yang masih hidup, maka pelajarilah dari sejarah orang-orang yang telah
wafat" (Syaikh Hasan asy-Syanqithi)
Dalam riwayat hadis disebutkan:





:







.( )







Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa: "Mengingat para Nabi adalah
bagian dari ibadah. Mengingat orang shaleh menjadi sebab terhapusnya

dosa. Mengingat mati adalah sedekah. Dan mengingat kubur dapat


mendekatkan kalian ke surga" (HR Dailami, sanadnya dlaif)
Sufyan bin Uyainah berkata:





(
"Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat" (Sufyan
bin Uyainah dikutip oleh Ibnu Jauzi dalam Muqaddimah Shifat ashShafwah)
Ibnu Taimiyah juga berkata:





























(269 /2 )





"Orang-orang beriman merasakan nikmat dengan mengenal Allah
dan mengingat-Nya, bahkan mereka merasa nikmat dengan mengingat
para Nabi dan orang Shaleh. Karenanya ada ungkapan 'Mengingat orang
shaleh menjadi sebab turunnya rahmat'. Hal ini disebabkan adanya
semangat di dalam hati untuk mencintai kebaikan, termotifasi dan rasa
senang terhadapnya" (Ibnu Taimiyah, kitab ash-Shafadiyah 2/269)

VIII
TALQIN MAYIT
Sebetulnya masalah TALQIN dengan segala macam persoalannya itu
sudah dikupas oleh para ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhirin
dalam berberapa kitab/karya tulisnya dan selalu diamalkan oleh kaum
Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.
Akan

tetapi

amaliyah

warga

kita

tadi

menjadi

terancam

kelangsungannya sejak munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum


wahabi yang sangat berlebihan dalam usaha memurnikan ajaran Islam,

sampai-sampai mereka itu melarang amalan-amalan umat Islam yang


bersifat furuiyah, misalnya : tahlilan, bancakan, dan talqin untuk mayit.
Di bawah ini uraian yang sebenarnya tentang Talqin menurut
Ahlussunnah wal Jamaah.
A. Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara
lisan.
Sedangkan

menurut

istilah, talqin adalah : mengajar

dan

mengingatkan kembali kepada orang yang sedang naza atau kepada


mayit yang baru saja dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.
B. Hukum Talqin
Orang dewasa atau anak yang sudah mumayyiz yang sedang naza
(mendekati kematian) itu sunat ditalqin dengan kalimat syahadat, yakni
kalimat laa ilaaha illallah. Dan sunat pula mentalqin mayit yang baru
dikubur, walaupun orang itu mati syahid, apabila meninggalnya sudah
baligh, atau orang gila yang sudah pernah mukallaf sebelum dia gila.
Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa Mendengar Ucapan
Orang yang Mentalqin?
Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju
mayit ditalqin. Alasan mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di
kuburan itu tidak mampu lagi mendengarkan ucapan orang yang ada di
alam dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an


[80 : ]

Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati


mendengar (QS. An-Naml : 80)

[22 : ]
Artinya :

Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam


kubur dapat mendengar(QS. Fathir : 22)
Kepada mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang
berkenaan dengan masalah Talqin.
a.

Di

dalam

ajaran

Islam

itu

ada

hal-hal yang

berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinyawalau pun secara rasional


hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi petunjuk
bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib menerimanya.
]

Artinya :
Semua hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus
dibenarkan dan diterima.
b.

Kedua ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan

tentang larangan talqin mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang
kafir itu telinga hatinya sudah mati, berpaling/tidak menerima apa-apa
yang didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir
Munir :

:
.
[2/133 ]
Artinya :
Firman Allah yang artinya : sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikam

orang-orang

yang

mati

mendengar

dan

tidak

pula

menjadikan orang yang tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah


berpaling jelasnya karena kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang

didakwahkan kepada mereka, maka mereka itu seperti orang yang sudah
mati.

:
[2/202 ] .
Artinya:
Firman Allah yang artinya : dan kamu sekali-kali tidak sanggup
menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar jelasnya : hai
Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi
pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. tidak dapat memberi
petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqin
a.

Dalil tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang

sedang naza adalah hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid
Bakri dalam kitab Ianatut Thalibin juz II hal. 138 :


:
. :
Artinya :
Disunatkan mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih
mumayyiz menurut pendapat yang kuat dengan kalimat syahadat, karena
ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim talqinlah orang Islam di antara
kamu yang akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah dan
hadits shahih Barang siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La
Ilaha Illallah, maka dia masuk surga, yakni bersama orang-orang yang
beruntung.
b.
adalah :

Sedangkan dalil disunatkannya talqin mayit yang baru dikubur

Firman Allah, seperti keterangan dalam kitab Ianatut Thalibin juz II


hal. 140

) (
[ 55 : ]
.
Artinya:
Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati
syahid setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena
firman Allah : dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman (QS. AdDzariyat : 55). Dan seorang hamba sangat membutuhkan peringatan
adalah saat-saat seperti ini.

Hadits riwayat Thabarani :




.

. .
Artinya :
Apabila salah seorang di antara saudaramu telah meninggal dan
penguburannya telah kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka
berdirilah salah seorang di penghujung kuburnya, dan berkatalah : hai
fulan bin fulanah maka dia bisa mendengarnya. Kemudian berkatalah
hai fulan bin fulanah maka dia duduk dengan tegak. Berkatalah lagi hai
fulan bin fulanah maka dia berkata berilah saya petunjuk, semoga Allah
memberi rahmat kepadamu. Akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti.
Seterusnya katakanlah kepadanya ingatlah apa yang kamu pegangi
sewaktu keluar dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan

bahwa kamu rela Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu,
Muhammad sebagai Nabi mu dan Al-Quran sebagai imam mu. Maka
sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan
mereka berdua.

Hadits Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Ianatut


Thalibin :

:
[2/140 ] .
Artinya :
Disunatkan mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya,
karena ada hadits : Ketika mayit telah ditempatkan di kuburnya dan
teman-temannya sudah pergi meninggalkannya sehingga dia mendengar
suara sepatu mereka, maka datanglah dua malaikat kepadanya.
Dari

keterangan

ayat

dan

hadits

Nabi

tersebut,

kita

bisa

menyimpulkan :
1. Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat bagi si mayit.
2. Mayit yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau
suara-suara yang ada di alam dunia ini.
3. Karena jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin
adalah sunat tidak bidah dan tidak dilarang seperti apa yang
dituduhkan oleh kaum wahabi.
IX
Menyuguhkan Makanan Pada Tamu Yang Bertakziyah
Menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakziyah hukumnya
boleh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:









Seseorang bertanya kepada Rasulullah, Islam seperti apa yang
paling baik? Beliau menjawab, Yaitu jika engkau memberi makan dan

mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak


engkau kenal.
Al Ahnaf bin Qais menyebutkan bahwa ketika Umar bin Al Khatthab
ditikam

(yang

kemudian

menjadi

sebab

kematiannya),

dia

memerintahkan Shuhaib untuk shalat bersama orang-orang sebanyak tiga


kali. Umar juga memerintahkan menyuguhkan makanan.
Demikian juga hadits :

:
.

-
. .
Dari seorang Anshar, dia berkata, Kami keluar bersama Rasulullah
dalam rangka mengantar satu jenazah. Lalu aku lihat beliau sedang
berada di atas kubur- berpesan pada pengggali kubur, Lebarkanlah dari
arah kedua kakinya. Lebarkanlah dari arah kepalanya. Setelah beliau
pulang seorang utusan istri si Mayit mengundang beliau. Beliau penuhi
undangan

itu.

Kamipun

makanan.

Beliau

menyertai

meletakkan

tangan

beliau.

Kemudian

kemudian

disuguhkan

orang-orang

juga

meletakkan tangan, lalu mereka semua makan.


Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW diundang istri atau
keluarga mayit. Kemudian beliau bersama para Sahabat berkumpul di
rumah duka. Saat itu adalah setelah penguburan mayit. Beliau dan yang
lain

makan

makanan

yang

disuguhkan.

Rasulullah

SAW

juga

memerintahkan memberikan makanan itu kepada para tawanan perang,


sebab beliau juga khawatir dagingnya membusuk.
Berdasarkan hadits di atas hukumnya boleh keluarga orang yang
meninggal menyuguhkan makanan atau mengundang orang untuk
berkumpul di rumahnya, apalagi jika yang diundang adalah orang-orang
fakir miskin. Kecuali apabila diantara ahli waris terdapat anak yang masih
kecil, maka jangan sampai untuk keperluan itu diambilkan dari harta
peninggalan orang yang meninggal.

Berdasarkan apa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW tersebut


menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakiyah hukumnya boleh.
X
WALIMATUL HAMLI
Di kalangan masyarakt jawa khususnya yang ada di pedesaan masih
dilestarikan suatu tradisi apabila si perempuan hamil maka keluarganya
mengadakan selamatan/walimahan, mereka menyebutnya tingkepan,
sementara para santri menyebutnya walimatul hamli.
Kata tingkepan/tingkep berasal dari bahasa daerah/jawa : sing dientienti wis mathuk jangkep(yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna).
Waktu pelaksanaan selamatan tingkepan ini antara daerah satu dengan
daerah lain tidak sama. Di sebagian daerah dilaksanakan pada saat usia
janin empat bulan, sedangkan di daerah lain dilaksanakan pada saat
usia janin tujuh bulan. Dalam upacara tingkepan yang mereka anggap
sakral itu dihidangkan beberapa jenis menu makanan khas, di samping itu
disajikan juga secama sesajen yang beraneka ragam.
Apakah upacara tingkepan (walimatul hamli) ini termasuk salah satu
amalan sunnah atau tidak? Ada dalil dari hadits nabi atau pendapat ulama
salaf atau tidak? Persoalan inilah yang menjadi faktor penyebab timbulnya
pro dan kontra antara kelompok muslim yang satu dengan kelompok
muslim yang lain. Sebagian dari kelompok muslim di Indonesia ada yang
apriori, tidak mau malakukan bahkan ada yang bersikap ekstrim menolak
dan berusaha untuk memberantasnya. Mereka berargumentasi bahwa
tradisi tersebut termasuk adat istiadat jahiliyah (salah satu peninggalan
Budha klasik). Oleh karena itu tidak pantas hal tersebut diamalkan oleh
umat muslim. Mereka mengemukakan sebuah dalil berupa hadits Nabi
saw. :
















. .






5
Artinya :

Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga :


1. Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram;
2. Orang

yang

sudah

memeluk

Islam,

akan

tetapi

masih

mengamalkan tradisi kaum jahiliyah;


3. Orang yang menuntut darah orang lain agar orang lain itu
dialirkan darahnya (yakni menuntut hukum bunuh tanpa alasan yang
benar).
Adapun kelompok sunni (umumnya warga nahdliyin) menyikapi
budaya tingkepan ini dengan fleksibel/lentur, mau menerima tidak apriori
mau melakukan bahkan melestarikannya, namun tidak serta-merta
menerimanya secara total, akan tetapi bertindak selektif, yang dilihat
bukan tradisi atau budayanya tetapi nilai-nilai yang dikandungnya.
Sebagaimana di sebut di awal bahwa dalam upacara tingkepan
-biasanya dilakukan oleh orang awam- itu ada hidangan khusus dan ada
lagi sajian lain. Jika hal itu tidak dipenuhi -menurut kepercayaan merekaakan timbul dampak negatif bagi ibu yang sedang hamil atau janin yang
dikandungnya. Hidangan atau sajian dimaksud antara lain :
1. Nasi tumpeng;
2. Panggang ayam;
3. Buceng/nasi bucu tujuh buah;
4. Telur ayam kampung yang direbus tujuh butir;
5. Takir pontang yang berisi nasi kuning;
6. Nasi liwet yang masih dalam periok;
7. Rujak, yang bahannya dari beraneka ragam buah-buahan;
8. Pasung yang dibungkus daun nangka;
9. Cengkir (buah kelapa gading yang masih muda).
10. Sehelai daun talas yang diberi air putih;
11. Seser (alat jaring untuk menangkap ikan);
12. Sapu lidi;
13. Pecah kendi di halaman rumah;
14. Dan lain-lain.

Dengan melihat praktek dalam acara tingkepan yang demikian itu,


maka wajarlah kiranya ada kelompok yang besikeras, seratus persen
menolaknya.
Bagi kelompok yang setuju, tidak langsung menolaknya, akan tetapi
dengan sikap selektif dan akomodatif, mereka menerima pelaksanaan
acara selamatan tingkepan asalkan di dalamnya tidak ada hal-hal yang
berseberangan dengan syariat (hal yang haram) dan tidak pula merusak
akidah (berbau syirik).
Shahibul walimah seharusnya mengerti bahwa :
1. Semua yang dihidangkan, baik yang berupa makanan yang
dimakan di tempat atau yang berupa berkatan jangan diniati yang bukanbukan, akan tetapi berniatlah menjamu para tamu dan bersedekah
dengan

harapan

semoga

dengan wasilahshadaqah

ini,

Allah

SWT.

memberikan keselamatan kepada segenap anggota keluarga, khususnya


janin yang berada dalam kandungan serta sang suami dan isteri yang
sedang mengandung (selameto ingkang dipun kandut, selameto ingkang
ngandut lan selameto ingkang ngandutaken).
Bagi kita semua pasti sudah sama-sama faham bahwa yang namanya
shadaqah dengan segala macam bentuknya asalkan dengan niat yang
ikhlas dan bahan-bahannya halal, secara umum Rasulullah SAW. sangat
menganjurkannya dan beliau jelaskan pula fadlilahnya, sebagaimana
sabda beliau :
a. Hadits riwayat Imam Rafii :





).






(264 :
Artinya :
Setiap

sesuatu

itu

ada

alat

pencucinya,

pencuci

untuk

rumah/tempat tinggal adalah menjamu para tamu. (HR. Imam Rafii).


b. Hadits riwayat Imam Thabarani :

.









Artinya :
Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan.
(HR. Imam Thabarani).

c. Hadits riwayat imam Khatib :

.








Artinya :
Bersedekah

itu

bisa

menolak

tujuh

puluh

macam

mala

petaka/bala. (HR. Imam Khatib)


2. Walimatul

hamli/selamatan

tingkepan

adalah

salah

satu

wujud tahadduts bin nimahyakni memperlihatkan rasa syukur atas


kenikmatan/

kegembiraan

yang

dianugerahkan

oleh

Allah

SWT.

berupa jabang bayi yang berada dalam janin yang selama ini menjadi
dambaan pasangan suami dan isteri.
Ulama

salaf

memfatwakan

setiap

ada

suatu

kenikmatan/kegembiraan disunatkan mengadakan selamatan/bancaan


mengundang sanak tetangga dan teman-teman sebagaimana yang ditulis
oleh syaikh Abd. Rahman Al-Juzairi dalam kitabnya al-fiqhu alal
madzahibil arbaah juz II hal. 33 :


.











Artinya :
Ulama

Syafiiyyah

(pengikut

madzhab

Syafii)

berpendapat

disunatkan membuat makanan dan mengundang orang lain untuk makanmakan, sehubungan dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan,
baik itu acara temantenan, khitanan, datang dari bepergian dan lain
sebagainya.
Wal-hasil, para warga yang hendak mengadakan walimatul hamli
sudah barang tentu harus menata hatinya dengan niatan yang benar dan
mempunyai sikap arif dan bijak dalam memilih dan memilah di antara
beberapa hidangan dan sajian tersebut, mana yang bisa diselaraskan
dengan syariat dan mana yang tidak, mana yang masih dalam koridor
akidah islamiyah dan mana yang tidak.
XI
TRADISI RUAWATAN

A. Pengertian Ruwat/Ruwatan
Kata ruwat mempunyai arti terlepas (bebas) dari nasib buruk yang
akan menimpa.
Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan
seseorang yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, dengan
cara melaksanakan suatu upacara dan tata cara tertentu.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat (jawa: Gugon Tuhon)
bahwa sebagian orang yang mempunyai kriteria tertentu itu dalam
hidupnya di dunia ada yang akan tertimpa nasib buruk.
B. Asal Muasal Adanya Ruwatan
Dalam

cerita

pewayangan

ada

seorang

tokoh

yang

bernama

"BETHORO GURU" atau "SANG YANG GURU", dia beristrikan dua orang
istri. Dari istri pademi dia menurunkan seorang anak laki-laki bernama
WISHNU. setelah dewasa Wishnu menjadi orang yang berbudi pekerti
baik, sementara dari istri selir dia juga menurunkan seorang anak laki-laki
bernama BETHORO KOLO. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang
jahat, konon kesurupan setan. Dia sering mengganggu jalma manusia
untuk dimakan. Maka sang ayah memberi nasehat ''Jangan semua jalma
kamu mangsa, akan tetapi pilihlah jalma seperti dibawah ini:
1.

Untang-Anting yakni anak tunggal laki-Iaki.

2.

Unting-Unting yakni anak tunggal perempuan.

3.

Kedono-Kedini yakni dua anak laki-Iaki dan perempuan.

4.

Kembang Sepasang yakni dua anak perempuan.

5.

Uger-Uger Lawang yakni dua anak laki-laki.

6.

Pancuran Keapit Sendang yakni tiga anak, perempuan, laki-laki

dan perempuan.
7.

Sendang Keapit Pancuran yakni tiga anak, laki-laki, prempuan

dan laki-laki.
8.

Cukit-Dulit yakni tiga anak laki-Iaki.

9.

Sarombo yakni empat anak laki-Iaki.

10.

Pandowo yakni lima anak laki-laki.

11.

Gotong Mayit yakni tiga anak perempuan.

12.

Sarimpi yakni empat anak perempuan.

13.

Ponca Gati yakni lima anak perempuan.

14.

Kiblat Papat yakni empat anak laki-laki dan perempuan.

15.

Pipilan yakni lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki.

16.

Padangan yakni lima anak, satu perempuan em pat laki-laki.

17.

Sepasar yakni Lima anak laki-laki dan perempuan.

18.

Pendowo

Ngedangno

yakni

tiga

anak

laki-laki

dan

satu

perempuan.
Dalam metos orang Jawa, cerita diatas secara turun temurun masih
diyakini kebenarannya, sehingga menurutShohibur riwayah agar Bethoro
Kolo yang jahat itu tidak memangsa jalma seperti tersebut diatas,
dicarikan solusi yaitu harus diadakan "RUWATAN" untuk anak yang
bersangkutan.
C. Acara "Ruwatan" Dalam Tradisi Jawa
Ruwatan yang diyakini oleh kebanyakan orang jawa sebagai solusi
agar jalma/anak yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, adalah
suatu upacara yang acaranya sebagai berikut:
a.

Mengadakan pagelaran wayang;

b.

Sebagai pemandu pagelaran ini, dipilih seorang "DALANG

SEJATI";
c.

Lakon yang dipentaskan, lakon khusus "MURWO KOLO";

d.

Menyajikan sesaji khusus untuk memuja Bethoro Kolo;

e.

Pada acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan

mantra-mantra dengan iringan gamelan, langgam dan gending tertentu.


Konon mantra-mantra tersebut untuk tolak balak (mengusir BETHORO
KOLO yang jahat itu).
D.

Acara Ruwatan yang Islami.


Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus

berlaku di kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil seleksi para


wali di dalam upacara dan acara ruwatan ala Jawa tersebut ada unsurunsur yang menyimpang dari syariah, dan ada juga unsur-unsur yang
merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif lain

dengan cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang


Islami.
Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada
mbah wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara
baru, yaitu :

Amalan yang asalnya berbau Khurafat (Gugon Tuhon) diarahkan

kepada perilaku yang bertendensi kepada syariah;

Amalan yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid;

Amalan yang asalnya berbau bidah, diarahkan kepada Sunnah.

Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif untuk
melakukan amalan-amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan
syariah dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut
antara lain :
a.

Membaca surat Yasin dengan cara berjama'ah;

b.

Membaca kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;

c.

Memanjatkan do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga

yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, diberi keselamatan di


dunia dan akhirat;
d.

Diadakan sekedar selamatan, shadaqahan, yang dihidangkan

kepada para peserta upacara ruwatan.


E.

Hukum Ruwatan
Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang

tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita kaum
muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya ada
unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.
Nah, sekarang bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan
mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a
dan selamatan ala kadarnya?
Jawaban masalah tersebut, bisa diuraikan sebagai berikut:
a.

membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar

tercapai apa yang dituju, terlepas dari kesulitan dan terhindar dari
bermacam-macam kejahatan, hal itu termasuk amalan yang dibenarkan

dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya "Idlohu
Mafahimis Sunnah" menerangkan :








11 : .

Artinya :
" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam Al-Qur'an
karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta
bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya,
dan orang tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat
jangan menganggap adanya anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu.
Silahkan orang itu membaca surat Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga
ratus kali, bahkan bacalah AI-Qur'an seluruhnya secara ikhlas karena
Allah serta memohon agar terpenuhi hajatnya, tercapai maksudnya,
dihilangkan kesusahannya, dilapangkan kesempitannya, disembuhkan
penyakitnya dan terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan
tersebut? Toh Allah menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai
segala sesuatu sampai dengan urusan garam untuk dimakan atau
memperbaiki

tali

sandal. Adapun

orang

tersebut

sebelum

berdoa

membaca surat Yasin atau membaca sholawat Nabi hal itu hanyalah
merupakan tawassul dengan amal shalih dan tawassul dengan Al-Qur'an.
Disyari'atkannya Tawassul ini disepakati oleh para ulama.
Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman 317
juga meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:







.












.














.


.















:




.....





317 .



Artinya:
''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi syafa'at
kepada pembacanya dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya,
ingatlah surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut
AL MUIMMAH. Ditanyakan : apa itu Al-Muimmah Ya Rasul ? Rasu!ullah
menjawab : artinya surat yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan
di dunia dan tertolaknya kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini
disebut juga AD-DAFI'AH dan Al-QODLIYAH. Ditanyakan : bagaimana
demikian

itu

Ya

Rasul ? Rasulullah

menjawab : artinya

surat

yang

melindungi dari segala keburukan dan meyebabkan tercapainya segala


hajat bagi pembacanya, .... sampai dengan sabdanya : surat Yasin itu
untuk apa saja yang diniatkan oleh pembacanya. Adapun hikmahnya para
ulamaus Sholihin memilih membacanya dengan berulang-ulang, empat
kali, tujuh kali atau empat puluh satu kali dan lain sebagainya, hal itu
karena adanya penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka dengan
dibaca berulang-ulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati kita
dan menjadi lunaklah tabi'atnya.
b.

Beristighatsah dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon

kepada Allah mengenai segala urusan, baik urusan yang kecil atau yang
besar, adalah termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan
oleh Rasulullah SAW.
Dalam Tafsir Showi juz IV halaman 13 diterangkan :




.











: .












.

.







13
Artinya:
''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku
perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah
memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala
kebutuhan duniawi dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil. Ada
anjuran untuk berdo'a dalam riwayat hadits : Silahkan salah satu dari
kamu

sekalian

memohon

kepada

Tuhannya

mengenai

semua

kebutuhannya sampai dengan tali sandalnya yang putus. Firman Allah:


"Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah) akan memperkenankan kamu
mengenai apa yang kamu mohonkan kepadaKu.
c.

Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para

peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung
banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang
bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan
mara bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas, bahwa
Nabi SAW bersabda :


.







190 .
Artinya:
'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak (mushibah).
HR. Khotib
Dengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin,
shalawat Nabi dan lain sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk
rnendekatkan diri kepada Allah dan bersih dari hal-hal yang terlarang.
Bisa juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur,
jika dimaksud untuk menyembah selain Allah.
Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam
hasil keputusan bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :













.



















.

Artinya:
''Apabila

menshodaqohkan

makanan

tersebut

dengan

tujuan

mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin,
maka tidak haram karena tidak ada taqarrub kepada selain Allah. Apabila
ditujukan pada jin, maka haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan
mengagungkan dan menyembah pada selain Allah, maka hal itu
menjadikan kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam masalah
penyembelihan (dzabhi).

XII

TRADISI KUPATAN
A. Pengertian Kupatan
Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut
dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran
dan bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari bahasa Arab bada yang
artinya : sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari bahasa Indonesia ria
yang artinya riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata lebaran berasal
dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah
sudah selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan
Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut riyaya karena umat
Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran
menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian.
Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras
dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang
dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada
umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan dengan hari
ke delapan yang biasa di sebut dengan KUPATAN atau RIYAYA KUPAT.

B. Asal Usul Tradisi Kupatan


Rasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang
sejarah/asal muasal kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat
jawa mempercayai bahwa sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa
dalam hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis yang terkandung
dalam makanan khas ini.
Secara filosofis, makanan khas Kupat ini memiliki banyak makna. Di
antara makna itu adalah :
a.

Kata kupat berasal dari bahasa jawa ngaku lepat (mengakui

kesalahan). Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti
pernah melakukan kesalahan kepada sesama. Maka dengan budaya
kupatan setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui
kesalahan kita masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan.
Nah, dengan sikap saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan
merasakan kedamaian, ketenangan dan ketentraman.
b.

Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini

melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan


cahaya selama bulan suci Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka
kembali kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih
dari noda serta bebas dari dosa.
c.

Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun

karena butir-butir beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong


janur dan rela direbus sampai masak, maka jadilah sebuah menu
makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol
persamaan dan kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang
demikian itu merupakan sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela
saling menjalin persatuan dan kesatuan dengan sesama muslim.
C. Bidah Dlalalah kah Tradisi Kupatan?
Meskipun riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan
dilakukan di berbagai daerah, namun bukan berarti semua umat muslim

mau melakukannya. Ada yang menganggapnya bidah dan bahkan


menuduh sesat, karena termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah.
Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan
berpuasa. Pada hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah
muakkadah) untuk melakukan puasa selama enam hari, baik secara
langsung dan berurutan, sejak tanggal dua Syawwal atau secara terpisahpisah asalkan masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW :



).














(307
Artinya :
Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan
puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa
setahun. (HR. Imam Muslim)
Setelah puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi
tertentu. Maka ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal
itu disebut bidah (suatu hal yang baru). Di sinilah terjadi perbedaan
persepsi di antara umat muslim. Sebagian ada yang mau melakukannya
dan sebagian yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah
interpretasi makna bidah itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo
kupat.
Pertama, pendapat yang mendifinisikan bidah secara mutlak, yaitu
segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu
yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh
Nabi adalah bidah dan haram dilakukan. Nah, karena tradisi kupatan
dikategorikan sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat dengan
tata cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal
itu dianggap mengada-ada dan itu bidah. Setiap bidah adalah dlalalah.
Sabda Rasulullah SAW. :



).









(296
Artinya :

Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu


yang tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak (HR. Imam Baihaqi)
Dan sabda Rasulullah SAW. :

) .

.




(87
Artinya :
Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal
tersebut adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai
perkara-perkara baru dalam agama.
Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bidah menjadi dua : bidah
hasanah (baik) dan bidah sayyiah (buruk). Karena tradisi kupatan
dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (ritul tidak murni) yang
perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan
situasi, maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu
yang dianggap baik).
Pendapat

kedua

ini

bukannya

mengingkari

dua

hadits

yang

dipedomani pendapat pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut


dengan pemahaman yang lebih luas. Maksudnya tidak semua didah itu
dlalalah (sesat) akan tetapi ada bidah itu yang hasanah (bagus) yaitu
suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari
syariat.
As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya al-ihtifal
bidzikro maulidin nabi menyatakan :

















Artinya :

Imam Syafii berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru


diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul,
ijmaus shahabah atau atsaratut tabiin, itulah yang dikategorikan bidah
dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan
dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka
hal tersebut termasuk hal yang terpuji.
Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi)
menyimpulkan pendapat Imam Syafii tersebut sebagai berikut :


















.




Artinya :
Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syari dan
mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syariat serta
tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk ad-din (urusan
agama).
Dengan demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat
dari substansi masalahnya, yakni ajaran silaturrahim, saling memaafkan
dan pemberian shadaqah/sedekah yang mana hal tersebut perintahnya
ada dalam dalil syari, sementara teknisnya bisa dilakukan dengan
beragam cara.
Dalil syari tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi :

.







Artinya :
Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah
ketaatan dan silaturrahim.
Dalil syari tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :

.22 : .
















Artinya :

Dan

hendaklah

mereka

memaafkan

dan

berlapang

dada,

apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah
maha pengampun lagi maha penyayang. (QS. An-Nur : 22)
Dalil syari tentang memberikan sedekah antara lain :
.




Artinya :
Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma (HR.
Ibnu Mubarak).
Hadits riwayat Ibnu Ady :


.







Artinya :
Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan
hadiah berupa makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan
rizkimu (HR. Ibnu Ady)
Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bidah atau
tambahan dalam beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang
memiliki keterkaitan dengan syariat Islam. Maka dari itu kupatan tidak
bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah).
XIII
Ngalap Berkah
Fatwa haram, bidah bahkan syirik dalam masalah mencari berkah
(tabarruk, ngalap berkah) kembali ramai didengungkan oleh mereka yang
mengaku paling sehat dari penyakit TBC (Takhayyul, Bidah dan Churafat)
ketika makam Gus Dur ramai diziarahi, bahkan ada beberapa peziarah
yang mengambil tanah di area makam tersebut. Sebagaimana yang
disebarkan oleh Ust Hartono Jais dan kawan-kawannya yang sebenarnya
tidak memiliki kapasitas dalam masalah ini, dan hanya bertaklid buta
kepada Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Albani dan sebagainya.
Ulama-ulama mereka dengan membabi-buta menvonis syirik kepada
semua bentuk tabarruk, dengan tanpa sedikitpun mendudukkan makna

tabarruk secara proporsional maupun mengungkap dalil dan argument


tabarruk yang sudah dilakukan sejak Rasulullah Saw masih hidup.
A. Makna Berkah dan Mencari Berkah
al-Barakat

dan

derivasinya

memiliki

makna

bertambah

dan

berkembang. Sedangkan Tabarruk adalah

: . :
(
: : .
)13/408 :
mencari berkah terhadap sesuatu, mencari tambahan dengan
metodenya (Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab 13/408)
B. al-Quran Tak Menafikan Berkah
Di dalam al-Quran banyak disebutkan kalimat berkat dengan
berbagai macam kalimat bentukannya. Ini menunjukkan bahwa ada
banyak sosok maupun tempat yang diberkahi oleh Allah. diantaranya:


Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku
berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup (Maryam: 31)


Kami limpahkan keberkatan atasnya (Ibrahim) dan atas Ishak (ashShaffaat: 113)


(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas
kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah"
(Huud: 73)
1. tempat-tempat yang diberkati dalam al-Quran ::

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat


beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (Ali Imraan: 96)



Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al Masjidil haram ke Al Masjidil aksa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya (al-Israa: 1)


Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Lut ke sebuah negeri (Palestina)
yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia (al-Anbiyaa:
71)


Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri (Yaman)
yang Kami limpahkan berkat kepadanya, (Saba: 18)
2. benda-benda ciptaan Allah juga dianugerahi keberkahan dalam alQuran:


. kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya
(an-Nuur: 35)


Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari
(arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu. (alQashash: 30)


Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya (berkah)
. (Qaaf: 9)


sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Quran) pada suatu malam
yang diberkahi (ad-Dukhaan: 3)

C. Mencari Berkah Telah Dilakukan Sejak Masa Nabi Terdahulu


Tepatnya adalah Nabi Yaqub As ketika ditimpa penyakit tak bisa
melihat lantaran lama berpisah dengan putranya, Nabi Yusuf. Untuk
mengobatinya ternyata Nabi Yaqub maupun Nabi Yusuf tidak langsung
berdoa

kepada

Allah,

dan

Allah

juga

kuasa

jika

langsung

menyembuhkannya. Namun kesembuhan itu melalui proses berkah


sebagaimana diabadikan dalam al-Quran:


Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah
dia ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali. (Yusuf: 93)
Tampak jelas sekali bahwa Allah menjadikan kesembuhan itu melalui
berkah baju gamis Nabi Yusuf.
Makam Nabi Yunus juga dijadikan tempat mencari berkah Allah:

.
: .
. -

(271 / 8 - )
Desa Hulhul antara Quds dan Khalil ada makam Yunus As. Para
penduduknya mencari berkah disana dan meyikini makamnya Nabi
Yunus (adz-Dzahabi, Tarikh al-Islam 8/271)
D. Mencari Berkah Di Masa Hidup Rasulullah Saw

1. Rambut Rasulullah




- -







(3212 )






Rasulullah r menyuruh tukang pangkas rambutnya, untuk mencukur
rambut bagian kanan dan kirinya, lalu rambut-rambut itu dibagibagikannya kepada para sahabat (HR Muslim No 3212)





.

) - / 4 (279
Sahabat Khalid bin Walid t bertabaruk dengan rambut ubun-ubun
Rasulullah r, ditaruh di dalam kopiahnya (songkok). Kholid berkata: Saya
tidak pernah mendatangi perang dengan membawa songkok tersebut
peperangan saya

setiap

kecuali

Rasulullah),

rambut

berisi

(yang

selalu diberi kemenangan (HR Thabrani dan Abu Yala, para perawinya
)adalah perawi hadis sahih
2. Air Ludah Rasulullah




- -










) 70 (2731








Allah Setiap

Demi

berkata:

Marwan

dan

Miswar

Rasulullah rberdahak, pasti dahak beliau jatuh ke tangan salah seorang


sahabat, lalu ia gosokkan ke wajah dan kulitnya. (HR Bukhari No 70 dan
)2731



-



- -




-

) (688






Diriwayatkan dari Aisyah bahwa bayi-bayi didatangkan kepada
RAsulullah Saw kemudian beliau mendoakan berkah dan memamah
)makanan kepada mereka (HR Muslim No 688



.
. ) - / 2
(37

Para sahabat y bertabaruk dengan air sumur Budhaah di Madinah,


yang pernah diludahi oleh Nabi r (HR Thabrani, para perawinya
)terpercaya










(
)

.








) 4328 (6561



Rasulullah Saw menyuruh kepada Abu Musa dan Bilal untuk
mengambil tempat air, lalu beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya
dan memuntahkan air kumur ke wadah tersebut dan beliau bersabda:
Minumlah oleh kalian, siramkan ke wajah dan leher kalian, dan
bersenanglah. Kemudian dua sahabat itu melakukannya (HR Bukhari
)4328 - Muslim No 6561



) - / 1 (300




al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Tujuan diatas karena adanya berkah
)dari ludah Rasulullah yang mengandung berkah (Fath al-Baari 1/300
3. Keringat Rasulullah Saw






- -



-





.





) (6201




Sahabat Ummu Sulaim mengambil keringat Nabi r dan menaruhnya
ke dalam botol, sebagai minyak wangi. Setelah ditanya oleh Rasulullah,
Ummu Sulaim menjawab: Ini adalah keringatmu. Kami jadikan minyak
wangi kami. Dan keringat itu adalah minyak yang paling harum (Muslim
)No 6201
4. Air Sisa wudlu Rasulullah
sekali,

banyak

sangat

ini

masalah

menjelaskan

yang

Hadis

diantaranya:













- -



)











187 (1151

Rasulullah mendatangi kami di Hajirah, kemudian beliau disediakan


air wudlu dan beliau berwudlu, kemudian para sahabat mengambil sisa
)wudlu beliau (HR Bukhari 187 dan Muslim 1151
5. Tempat Minum Rasulullah Saw









)
Dari Kabsyah al-Anshariyah bahwa Rasulullah e datang kepadanya
dan di sebelahnya atau tempat air minum yang digantung, kemudian
beliau meminum-nya dengan posisi berdiri. Kabsyah lalu memotong
(bekas) tempat minum Rasulullah tersebut untuk mendapatkan berkah
dari mulut Rasulullah e. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi, ia berkata: Hadits
)ini Hasan Sahih Gharib
6. Kain Kafan Dari Rasulullah



- -
















-




.







- -







.
.









.

- -





)

.










(2093
Rasulullah Saw diberi kain bergaris (burdah) oleh seorang wanita.
namun kain tersebut diminta oleh orang lain untuk dijadikan kafan bagi
)dirinya. Rasulullah memberikannya (HR Bukhari No 2093
7. Jubah Rasulullah Saw

:
:


:

:
(482 / 1 )
Seorang sahabat meminta potongan dari jubah Rasulullah Saw,
beliau

memberinya.

Muhammad

bin

Jabir

berkata:

Bapak

saya

menceritakan bahwa potongan jugah tersebut kami cuci untuk orang


sakit, mengharap kesembuhan darinya (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah
1/482)
8. Air Seni Rasulullah Saw




.
)
(20 / 4 -
Barokah, pelayan Ummu Salamah (istri Nabi r), bertabaruk dengan
menimun air seni Nabi r yang akan menjadi pelindungnya dari api
neraka (Diriwayatkan oleh Thabrani, para perawinya sahih)
E. Mencari Berkah Setelah Rasulullah Saw Wafat
Dalam masalah ini Imam Bukhari membuat Bab Khusus dari bendabenda peninggalan Rasulullah yang dicari berkahnya oleh para Sahabat,
bahkan para Khalifah yang mendapat jaminan masuk surga. Imam
Bukhari mencantumkan beberapa hadis terhitung dari No 3106 3112:




- 5
- -








/ 11 - ) .






(204
Bab

yang yang menyebutkan tentang baju perang Nabi saw,

tongkatnya, pedangnya, tempat minumnya, dan cintinnya.dan yang


dipakai oleh para khalifah setelah beliau wafat,yang terdiri dari hal-hal
yang tidak disebut pembagiannya, juga tentang rambut Nabi saw,
sandalnya, dan wadah makanannya yang berupa benda-benda yang dicari

berkahnya oleh para sahabat dan lainnya setelah Nabi wafat (Shahih al)Bukhari: 11/104
1. Asma Binti Abu Bakar dengan Jubah Nabi









)







.





- -



) 5530 (
Asma binti Abu Bakar berkata: Jubah ini (pada mulanya) dipegang
oleh Aisyah sampai ia wafat. Setelah wafat saya ambil jubah tersebut.
Rasulullah ememakai jubah ini. Kami membasuhnya untuk orang-orang
yang sakit, kami mengharap kesembuhan melalui jubah tersebut. (HR.
Abu Dawud dan Muslim. Sedangkan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab alMufrad dijelaskan bahwa Rasulullah memakai jubah tersebut untuk
)menemui tamu dan salat Jumat
2. Ummi Salamah dengan Rambut Nabi Saw



-








-












- -














) (5896



Ummi Salamah memiliki rambut Rasulullah Saw. Jika orang yang
terkena penyakit, maka mendatang Ummi Salamah dengan membawa
wadah (untuk mengobati). dan saya melihat di dalamnya ada beberapa
)rambut merah (HR Bukhari No 5896
3 Muawiyah Dengan Jubah, Sarung, Serban dan Rambut Nabi
Saw

) (


) - / 59 (61

Muawiyah memiliki gamis Rasulullah, sarungnya, serbannya dan


rambutnya. Muawiyah berwasiat agar benda-benda ia dijadikan kain kafan
)baginya (al-Hafidz Ibnu Asakir, 56/61
4. Muhammad bin Sirin Dengan Rambut Nabi Saw



- -













) (170






rambut

memiliki

kami

bahwa

Abidah

kepada

berkata

Saya

Rasulullah, kami mendapatkannya dari Anas atau keluarga Anas. ia


berkata: Sungguh saya memiliki 1 helai rambut Rasulullah lebih saya
)senangi daripada dunia dan isinya (HR Bukhari 170
5. Umar bin Abd Aziz Dengan Tempat Minum Nabi Saw

- -
- -









- -







-




.
.








.




- -

.


.





- -

















) 5637 ( 5354







Sahal bin Sad memiliki tempat minum yang pernah dipakai oleh
Nabi. kemudian (masa berikutnya), tempat minum itu diminta oleh Umar
bin Abdul Aziz dan ia memberikannya (HR Bukhari 5637 dan Muslim
)5354
6. Asma binti Yazid Dengan Sisa Minuman Nabi Saw

:
:
" : "


: .
) .
(104 / 4 -
Sisa minuman Rasulullah saya gunakan untuk membasahi rambut
saya.

Juga

kami

minumkan

kepada

orang-orang

sakit,

dan

kami

meminumnya, untuk mengharap berkah (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah


1/482)
7. Anas bin Malik Dengan Tongkat Kecil Nabi Saw


(109 / 9 - ) .
Anas memiliki tongkat kecil dari Rasulullah Saw, ia memerintahkan
agar dikubur bersamanya (al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Bidayah wa anNihayah 9/109)
8. Imam Ahmad bin Hanbal Dengan Rambut Nabi Saw


:
.
(2/357 : 337 / 11 - ) .
Imam Ahmad diberi 3 helai rambut saat di penjara, itu adalah
rambut Rasulullah Saw. Imam Ahmad berwasiat agar ketika meninggal 2
rambut diletakkan di matanya, 1 rambut lagi di mulutnya. maka wasiat
itupun dilakukan ketiaka ia wafat (al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar
Alam an-Nubalaa 11/337 dan al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dalam Shifat ashShafwah 2/357)
F. al-Hafidz Ibnu Hajar dan Istidlal Ngalap Berkah


- )






(278 / 1
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 166: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dari rambut Rasulullah Saw, dan bolehnya
mengoleksinya (Fath al-Baarii 1/278)



/ 2 (145
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 407: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan tempat-tempat yang dilakukan
)salat olen Nabi Saw dan yang beliau injak (Fath al-Baarii 2/145
) - / 4 (318



al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 1198: Hadis
ini diperbolehkan mencari berkah dengan peninggalan orang-orang
)shaleh (Fath al-Baarii 4/318

) - / 10 (386


al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 3316: Hadis
ini diperbolehkan mencari berkah dengan makanan para wali dan orang)orang shaleh (Fath al-Baarii 10/386
G. Mencari Berkah Allah dengan Berziarah
1. Makam Rasulullah Saw


) 492 / 2 (3243

"Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam Ahmad tentang
seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari berkah dengan
memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya dengan makam
untuk

itu

lakukan

Ia

sebagainya.

dan

diatas

seperti

Rasulullah

"mendekatkan dir kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: Tidak apa-apa


)(Ahmad bin Hanbalal-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243
Imam Nawawi menjelaskan tatacara dan etika dalam berziarah dan
bertawassul di makam Rasulullah Saw:










) (274 / 8

"Kemudian hendaknya peziarah kembali ke tempat semula seraya


menghadap kearah Rasulullah Saw, bertawassul kepada beliau untuk
dirinya dan meminta syafaatnya kepada Allah. Dan diantara yang paling
baik untuk dibaca saat ziarah adalah bacaan dari al-Utbi sebagaimana
disampaikan oleh al-Mawardi, al-Qadi Abu al-Thayyib dan seluruh ulama
Syafi'iyah, mereka semua menilainya baik" (Imam al-Nawawi dalam al)Majmu' VIII/274









}






{





















:






...

...











) / 2








347 201 / 3
217 / 8 498
556 / 3 497 / 3
(30 / 5
"Golongan para ulama diantaranya Ibnu al-Shabbagh dalam kitab alSyamil, menyebutkan kisah yang masyhur dari 'Utbi. Ia berkata: Saya
duduk di samping makam Rasulullah Saw, kemudian datang seorang
A'rabi dan berkata: Salam sejahtera atasmu wahai Rasulullah. Saya
mendengar bahwa Allah berfirman: ""Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada
Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa':
64). Saya datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan
memohon pertolongan kepada Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair:
"Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini

Sehingga

semerbaklah

tanah

dan

bukit

karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Disana

terdapat

kesucian,

kemurahan

dan kemulian"
Lalu A'rabi itu pergi. Kemudian saya tertidur dan bermimpi bertemu
Rasulullah Saw dan beliau berkata: Wahai 'Utbi, kejarlah si A'rabi tadi,
sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni
dosanya" (Tafsir Ibnu Katsir II/347, Tafsir al-Wasith karya Guru Besar alAzhar,

Muhammad

Idlah 498

karya

al-Thanthawi

Imam

III/291, al-Majmu' VIII/217

al-Nawawi, al-Mughni III/556

dan al-

dan al-Syar

al-

Kabir III/497 karya Ibnu Qudamah al-Hanbali danKisyaf al-Qunna' V/30


karya al-Bahuti)


(






)




/ 5 )










694 / 3 265
(390 / 12 45 / 1
"Dari Ali, ia berkata: Seorang A'rabi datang kepada kami setelah 3
hari kami menguburkan Rasulullah Saw. Kemudian ia menjatuhkan dirinya
ke makam Rasulullah Saw dan menaburkan debu ke kepalanya sambil
berkata:

Engkau

berkata

wahai

Rasullah

lalu

kami

mendengar

perkataanmu. Engkau menerima ajaran dari Allah, dan kami menerima


darimu,

dan

diantara

"Sesungguhnya
kepadamu,

lalu

jikalau

yang

diturunkan

mereka

memohon

ketika

ampun

Allah

kepadamu

menganiaya

kepada

Allah,

adalah:

dirinya
dan

datang

Rasulpun

memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah


Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64). Sungguh saya
telah menganiaya diri sendiri dan saya datang kepadamu agar engkau
mohonkan ampunan bagiku. Lalu laki-laki A'rabi itu dijawab dari dalam

makam Rasullah Saw bahwa: Kamu telah diampuni" (Tafsir al-Qurthubi


V/250,al-Bahr al-Muhith III/694 karya Abu Hayyan, Khulashat al-Wafa I/45
karya al-Sumhudi dan Subul al-Huda wa al-Rasyad XII/390 karya Shalihi al)Syami

) 121 / 3 / 31


473 (818
"Ibnu al-Muqri berkata: Saya berada di Madinah bersama al-Hafidz alThabrani dan al-Hafidz Abu al-Syaikh. Waktu kami sangat sempit hingga
kami tidak makan sehari semalam. Setelah waktu Isya' tiba, saya
mendatangi makam Rasulullah, lalu saya berkata: Ya Rasulallah, kami
lapar. Al-Thabrani berkata kepada saya: Duduklah, kita tunggu datangnya
rezeki atau kematian. Saya dan Abu al-Syaikh berdiri, tiba-tiba datang
laki-laki Alawi (keturunan Rasulullah Saw) di depan pintu, lalu kami
membukakan pintu. Ternyata ia membawa dua orang budaknya yang
membawa dua keranjang penuh dengan makanan. Alawi itu berkata:
bermimpi
"kalian

Saya
untuk

?Saw

Rasulullah

makanan

kepada

membawa

mengadu

menyuruhku

kalian
dan

Apakah

Rasulullah

(Diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffadz III/121


'dan Siyar A'lam al-Nubala' XXXI/473, dan oleh Ibnu al-Jauzi dalam al-Wafa
)bi Ahwal al-Musthafa 818


)










2632 284 / 4
281 / 1 (161 / 66
)"Abu al-Khair al-Aqtha' berkata: Saya datang ke kota (Madinah
Rasulullah Saw dalam keadaan lapar dan saya menetap selama lima hari.
Lalu saya datang ke makam Rasulullah Saw, saya mengucap salam pada
Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar, dan saya berkata: Wahai Rasulullah, Saya
bertamu kepadamu malam ini. Lalu saya agak menjauh dan tidur di
belakang mimbar. Maka saya bermimpi melihat Rasulullah Saw, Abu Bakar
berada di sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau dan Ali berada
di depan. Lalu Ali membangunkan saya dan berkata: Bangun, Rasulullah
telah datang. Saya bangun dan mencium beliau. Beliau memberi roti pada
saya dan saya makan separuhnya. Saya pun terbangun, ternyata di
tangan saya ada separuh roti tadi" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tarikh alIslam 2632, Ibnu al-Jauzi dalamShifat al-Shafwah IV/284, al-Hafidz alSulami dalamThabaqat al-Shufiyah I/281 dan Ibnu 'Asakir dalam Tarikh
)Dimasyqi 66/161












) (49 / 1



'2. Makam Para Ulama dan Auliya
Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan
para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang
saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:




:









. ) ( )/


( //) ( /) (
. . :
Dari Ibn Abbas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: Berkah Allah bersama orang-orang besar di
antara kamu. (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nuaim dalam al-Hilyah
(8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya dalam alMukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai
kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa
hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa
taala

dari

orang-orang

besar

dengan

memuliakan

dan

mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar


ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang
saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang
lebih tua.
Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah
subhanahu wa taala adalah ziarah makam para nabi atau para wali.
Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam
kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan
berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari
barokah dari Allah subhanahu wa taala dengan cara berziarah ke
makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan
tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah
subhanahu wa taala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu
wa taala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan
tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Quran
maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh
Waliyyuddin al-Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:


u






:









.






Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, Ya Allah, dekatkanlah aku
kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu. Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Demi Allah, seandainya aku
ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa,
yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-Iraqi
berkata:




.




Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orangorang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u
yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai
makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang
ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (Tharh al-Tatsrib,
[3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

.(/)







.


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Dulu aku
melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah. (HR. Muslim).
Dalam satu riwayat, Barangsiapa yang hendak ziarah kubur maka
ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada
akhirat. (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

Di

sini

mungkin

ada

yang

bertanya,

adakah

dalil

yang

menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan


tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna
keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa taala dengan
berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun
telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih
hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan
datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan
peziarah itu kepada Allah subhanahu wa taala. Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:



:




.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Para nabi itu
hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat. (HR. alBaihaqi dalam Hayat al-Anbiya,
.
Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah
hadits berikut ini:

.




Dari

Abdullah

bin

Masud

radhiyallahu

anhu,

Rasulullah

shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Hidupku lebih baik bagi


kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya.
Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal
perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal
baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah. (HR.
al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur
mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk
dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat.
Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam
kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul
dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut
ini:























.(/ ) .

Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama
salaf)

adalah

apa

yang

diriwayatkan

bahwa

sebagian

kaum

mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa


sallam atau makam orang-orang saleh, juga Said bin al-Musayyab
mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada
malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya
benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar
dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk
kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki
datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan
musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu
orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan
menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar
melakukan

istisqa

dengan

masyarakat.

Ini

bukan

termasuk

kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orangorang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa

sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa


seperti ini. (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim, juz.
1, hal. 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn
Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam
kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:



) .











:/ /
/ / : .
./ /
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah
dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin
Mathar

mengabarkan

kepada

kami,

Ibrahim

bin

Ali

al-Dzuhli

mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada


kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-Amasy, dari
Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin alKhaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada
masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits
al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dan mengatakan: Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah
untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa.
Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: Sampaikan salamku
kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk

mereka, dan katakan kepadanya bersungguh-sungguhlah melayani


umat. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan
memberitahukan

apa

yang

dilakukannya

dan

mimpi

yang

dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: Ya Allah, saya


akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu.
Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa alNihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn
Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili
dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Istiab, juz 2,
hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath alBari, juz 2, hal. 495).
Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan
kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu
anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam.
Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar
radhiyallahu

anhu,

ternyata

Umar

radhiyallahu

anhu

tidak

menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu anhu juga tidak


berkata kepada laki-laki itu, Perbuatanmu ini syirik, atau berkata,
Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam
untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa
bermanfaat bagimu. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk
dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu
telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabiin dan
penerusnya
H. Makam Ulama atau auliya yang sering diziarahi dengan
tujuan tabarruk antara lain :
a) Makam Imam Abu Hanifah

)











123 / 1 (519 / 2
"Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar Syafi'i berkata
bahwa: Saya mencari berkah dengan mendatangi makam Abu Hanifah
setiap hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat dua rakaat dan saya
mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta kepada Allah di dekat
makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat saya dikabulkan" (alHafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/123 dan Ibnu Abi Wafa
)dalam Thabaqat al-Hanafiyah II/519
b) Makam Yahya bin Yahya





)

















261 / 11 (1756
"al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali al-Naisaburi berkata
bahwa saya berada dalam kesulitan yang sangat berat, kemudian saya
bermimpi melihat Rasulullah Saw seolah beliau berkata kepada saya:
Pergilah ke makam Yahya bin Yahya, mintalah ampunan dan berdolah
kepada Allah, maka hajatmu akan dikabulkan. Pagi harinya saya
Hajar

Ibnu

(al-Hafidz

"dikabulkan

saya

hajat

dan

melakukannya

dalam Tahdzib al-Tahdzib XI/261 dan al-Hafidz al-Dzhabi dalam Tarikh al)Islam 1756
c) Makam Ma'ruf al-Kurkhi


)













343 / 9 404 / 13
(324 / 2
"Diriwayatkan dari Ibrahim al-Harabi, ia berkata: Makam Ma'ruf alKurkhi adalah laksana obat yang mujarab. Yang ia maksud terkabulnya

doa orang yang membutuhkan di dekat makam tersebut. Sebab tempattempat yang diberkati diharapkan doanya terkabulkan, sebagaimana doa
saat waktu sahur dan setelah salat lima waktu dan di masjid. Bahkan doa
orang yang membutuhkan dikabulkan di tempat manapun" (al-Hafidz alDzahabi dalam Siyar A'lam al-Nubala' IX/343 danTarikh al-Islam XIII/404,
dan Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah II/324)


!
(











)
























/ 1 )




(232 / 5 47
"Penduduk Baghdad meminta hujan kepada Allah dengan pelantara
Ma'ruf al-Kurkhi, dan mereka berkata: Makam Ma'ruf adalah obat yang
mujarab.

Abdurrahman

al-Zuhri

berkata:

Makamnya

dikenal

untuk

terkabulnya kebutuhan. Dikatakan bahwa barangsiapa membaca al-Ikhlas


100 kali di dekat makam Ma'ruf al-Kurkhi dan meminta kepada Allah,
maka Allah mengabulkannya. Begitu pula di makam Asyhab dan Ibnu
Qasim, murid Imam Malik. Keduanya dimakamkan di satu tempat di
Qarafah Mesir. Konon peziarahnya jika dating ke dua makam tersebut
dengan

menghadap

kiblat dan

berdoa

kepada

Allah,

maka

akan

dikabulkan dan sudah terbukti mujarab. Saya sudah menziarahinya dan


membaca al-Ikhlas 100 kali di dekatnya, saya berdoa kepada Allah dengan
harapan sesuatu yang menimpa saya hilang, dan ternyata hilang" (Ibnu
al-Mulaqqin

dalam Thabaqat

al-Auliya' I/47

dalam Wafiyat al-A'yan V/232)


d). Makam Musa bin Ja'far al-Kadhim

dan

Ibnu

Khalkan























) (120 / 1





"Diriwayatkan dari Ali al-Khallal (pemuka Madzhab Hanbali), ia
berkata: Saya tidak pernah mengalami masalah lalu saya datang ke
makam Musa bin Ja'far dan bertawassul dengannya, kecuali Allah
memudahkan kepada saya hal-hal yang saya inginkan" (al-Hafidz Khatib
)al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/120
e). Makam Ali bin Musa al-Ridla















) (339 / 7


"Abu Bakar bin Muammal berkata: Kami berangkat bersama pemuka
ahli hadis Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya, Abu Ali al-Tsaqafi,
beserta rombongan guru kami untuk berziarah ke makam Ali bin Musa alRidla di Thus. Abu Bakar bin Muammal berkata: Saya melihat ke-ta'dzim'an belia (Ibnu Khuzaimah) terhadap makam itu dan sikap tawadlu
terhadapnya dan doa beliau yang begitu khusyu', sampai membuat kami
)bingung" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib VII/339
Imam Syafii Meminum Air Cucian Jubah Imam Ahmad

) - / 1 (400
) - / 1 (265
: :
. :

. :
: :
: ! :

:
:
: : .

:
: . :
. : .
Ibnu Jawzi menuturkan sebuah kisah: bahwa pada suatau malam,
Imam SyafiIbermimpi bertemu Rasulullah saw. dan memerintahnya agar
menyampaikan salam beliau kepada Imam Ahmad ibn Hanbal. Kesokan
harinya,

Imam

agar membawakan

SyafiImemerintahkan
surat

menemui

Rab-

ImamAhmad

murid
ibn

beliau-

Hanbal.

Rab

bergegas pergi menuju kota Baghdad dan menyerahkansurat tersebut,


setelah

membacanya, Ahmad

kepadanya,

Ada

apa

di

meneteskan

air

dalamnya wahai

mata.

Abu

Rabibertanya

Abdillah?

Ahmad

menjawab Beliau menyebut bahwa beliau melihat nabi dalam mimpi dan
berkata kepadanya, Tulislah surat kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal
dan sampaikan salamku kepadanya! Dan katakan, Engkau akan diuji dan
dipaksa mengatakan bahwa Alquran itu makhluq, maka jangan engka
turuti permintaan mereka, Allah akan meninggikan derajatmu sebagai
panutan di setiap masa hingga hari kiamat. Rabi berkata, Aku berkata,
Ini kabar gembira. Lalu Ahmad melepas baju dalamnya yang menyentuh
badannya dan menyerahkannya kepadaku, akumengambilnya dan akupun
pulang menuju negeri Mesir bersama surat jawabanAhmad. Setelah aku
serahkan kepadanya, ia bertanya, Apa yang ia berikankepadamu? Aku
menjawab,

baju

gamis yang

langsung

menyentuh

badannya

SyafiI berkata kepadaku, Aku tidak ingin merampasnya darimu, tapi


basahi dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku juga dapat
mendapat berkahsepertimu. Maka, kata rabi, Aku mencucuinya, dan aku
bawakan

sisa

menyaksikan

aircuciannya
beliau

setiap

kepadanya

aku

harimengambil

telakkan
sedikit

di
air

botol, aku
darinya

dan mengusapkannya ke wajah beliau, untukmengambil keberkahan dari

Ahmad ibn Hanbal. (Manaqib Ahmad ibn Hanbal: 455 dan Al Bidayah
wa an Nihayah; Ibnu Katsir,10/331 dari al Baihaqi)

XIV
MEMPERINGATI ULANG TAHUN KELAHIRAN
Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam yang
didakwahkan

oleh

para

wali

memiliki

budaya

bancaan/selamatan.

Bancaan yang mereka laksanakan di samping pada acara tingkepan


sebagaimana yang disebutkan dalam bab yang telah lalu ada lagi
bancaan-bancaan yang lain, di antaranya :
a.
b.
c.
d.

Bancakan
Bancakan
Bancakan
Bancakan

pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.


pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.
pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.
pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane

bayi.
e. Bancakan pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane
bayi.
f. Bancakan pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.
Ada juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari
ulang anaknya. Mereka menyebutnya bancaan tiron. Sebagian warga
kita ada yang ikut-ikutan mengadakan peringatan ulang tahun dengan
acara dan upacara yang dikemas secara khusus untuk kegiatan itu.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab sehubungan dengan masalah
ini adalah :
a. Apakah

ada

dasar

berupa

dalil

dari

syara

mengenai

acara peringatan hari ulang tahun kelahiran?


b. Kalau tidak ada, bagaimana hukumnya orang Islam mengadakan
acara ulang tahun itu?
Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini
dengan sikap proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa di dalam
selamatan

itu

ada

unsur-unsur

menyampaikan tahniah/ucapan

selamat

kebaikan,
kepada

di
sesama

antaranya:
muslim,

mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana

sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendoakan si anak semoga


menjadi anak yang shalih dan shalihah. Ini semua tidak ada yang
bertentangan dengan syariat Islam.
Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara mengenai peringatan
yakni

qiyas,

dalil

yaitu

ada,

Jawabnya

?kelahiran

tahun

ulang

mengqiyaskan masalah ini dengan perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari


meriwayatkan bahwa sewaktu sahabat Kaab bin Malik menerima kabar
gembira dari nabi saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat
selamat

ucapan

kepadanya

menyampaikan

Ubaidillah

bin

Thalhah

(tahniah).
Berdasarkan riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang tahun
adalah mubah, bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya,
namun dengan catatan : selama tidak ada hal-hal yang munkar di
dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar patung
(walaupun berukuran kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau
alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal
tersebut termasuk syiar orang-orang non muslim atau syiar orang fasik.
adalah

atas

di

tersebut

seperti

hukum

pengambilan

Dasar

keterangan dari kitab al-iqna juz I hal. 162 :

.











Artinya :

Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari


salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat
ulang tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan
oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban
tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih
pendapat, menurut pendapat kami, tahniah itu mubah, tidak sunnah dan
tidak bidah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan
bahwa tahniah itu disyariatkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi
membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : Maa ruwiya
fii qaulin nas dan seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits
dan atsar yang dlaif-dlaif. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa
digunakan dalil tentang tahniah. Secara umum, dalil dalil tahniahbisa
diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya
menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar
dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan
Imam Muslim bahwa sahabat Kaab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak
mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira
bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka
sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan
selamat kepadanya.
XV
Kupas Tuntas Legalitas Tawassul
Banyak kita dapati orang bertanya-tanya tentang masalah tawassul.
Masalah ini sebenarnya sudah dibahas secara tuntas oleh para ulama
sejak

dahulu

dan

diabadikan

dalam

kitab-kitab

mereka.

Namun

sayangnya, di zaman ini banyak orang jahil berfatwa di sana-sini tanpa


ilmu, bahkan tak sedikit yang mengkafirkan sesama muslim secara
massal karena permasalahan yang sebenarnya tidak sampai level takfir.
Lalu bagaimana sebenarnya?
Tulisan ini berusaha memaparkan penjelasan secara ringkas beserta
dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah beserta nukilan-nukilan perkataan

para ulama Ahlussunnah tentang masalah tawassul demi menyingkap


kabut yang selama ini menyelimuti akal sebagian orang.
Apa itu tawassul?
Tawassul

secara

bahasa

artinya

mendekat

(taqarrub)

atau

menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk mendekatkan diri ke sebuah


tujuan tertentu. Secara istilah, tawassul berarti menjadikan sesuatu
sebagai perantara menuju Allah SWT untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Perantara itu disebut wasilah. (lihat: Lisanul Arab, Asasul Balaghoh dan
Tartib Qamus Al Muhith: wa-sa-la)
Firman Allah SWT:




Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 35)
Tawassul juga bisa bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan
perantara doa dari orang lain, misalnya kita mengatakan kepada
seseorang, Mohon doakan saya. Berarti kita sedang bertawassul kepada
Allah dengan doa orang itu.
Tawassul juga bisa bermakna berdoa kepada Allah secara langsung
dengan menyertakan wasilah dalam doa. Wasilah itu bisa berupa hal-hal
berikut ini:
1.

Amal shalih, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Misalnya kita
mengatakan, Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan
shalat, puasa dan haji yang aku lakukan, berikanlah aku kesembuhan.

2.

Nama-nama Allah yang indah (asmaul husna) dan sifat-sifatNya


yang tinggi (shifatul ulya), misalnya, Ya Allah, aku memohon kepadaMu
dengan perantaraan nama-namaMu yang mulia dan indah dan dengan
sifat-sifatMu yang agung dan tinggi, berikanlah kami hujan.

3.

Nama-nama para nabi dan orang-orang shalih terdahulu misalnya,


Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nabi-nabiMu
yang Engkau muliakan dan orang-orang shalih yang Engkau cintai serta
wali-waliMu yang Engkau istimewakan, berikanlah kami keselamatan.

4.

Arsy (kerajaan) Allah, misalnya, Ya Allah, aku memohon kepadaMu


dengan keagungan ArsyMu, berikanlah kami rezeki.
Mengapa harus bertawassul dan apa hukumnya?
Perlu diketahui bahwa bertawassul tidaklah wajib. Seandainya

seseorang ingin berdoa kepada Allah secara langsung tanpa menjadikan


sesuatu apapun sebagai perantara, maka hal itu tak mengapa. Namun,
sebagai makhluk yang penuh dengan dosa dan kemaksiatan, kita
membutuhkan perantara yang dapat mengantarkan kita kepada tujuan
kita, Allah SWT. Perantara itu bisa berupa amal shalih atau doa orang
shalih yang masih hidup, sehingga kita sering meminta doa dari orangorang yang kita anggap shalih dengan harapan agar Allah berkenan
mengabulkan doanya. Bukan karena kita tidak percaya diri dengan doa
kita, tapi untuk lebih menguatkan doa itu agar lebih mudah diijabah oleh
Allah. Hal ini lumrah dilakukan oleh setiap muslim.
Dalam ayat yang kita sebutkan di atas, Allah SWT memerintahkan
kita untuk mencari perantara agar dapat mempermudah jalan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
Ibnu Taimiah menganggap bertawassul dengan keimanan dan amal
shalih sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik ketika
Rasulullah SAW masih hidup maupun setelah beliau wafat, karena
menurutnya, seseorang tak dapat selamat dari api neraka kecuali dengan
keimanan dan amal shalih. Oleh karena itu, bertawassul dengan kedua hal
itu adalah wajib hukumnya. (Qaidah Jalilah hal. 5, Mausuah Fiqhiyah
Kuwaitiyah)
Dalam

Al

Quran,

Allah

juga

memuji

hamba-hambaNya

yang

bertawassul kepadaNya.









Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah
(jalan) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al
Israa: 57)

Sejak zaman Nabi SAW hingga berabad-abad setelahnya, umat Islam


terbiasa dengan amalan yang dinamakan tawassul tersebut tanpa ada
pengingkaran dari seorang pun. Mereka terbiasa mencari-cari wasilah
(perantara) yang dianggap dapat mengantarkan doa mereka kepada
Allah, misalnya dengan mendatangi orang shalih yang masih hidup untuk
dimintai doa, atau yang sudah mati untuk mengambil berkah kuburannya,
atau bisa juga menyertakan nama-nama orang shalih dalam doa mereka,
misalnya, Ya Allah, dengan kemuliaan Fulan, kabulkanlah doa kami.
Dalil Tawassul
Berikut ini dalil-dalil mengenai disyariatkannya tawassul.
Tawassul Dengan Nama Allah (Asmaul Husna)
Allah

berfirman, Hanya

milik

Allah

asmaul

husna,

maka

bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan


tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al Araaf: 180)
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk bertawassul dengan asmaul
husna.
Dalam hadis riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah
SAW mengajarkan doa berikut ini:


Wahai Tuhan Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya), dengan rahmatMu aku memohon pertolongan. (HR.
Tirmidzi, Nasai, Ibnus Sunni, Hakim, Baihaqi dalam Syuabul Iman dan
Dhiya. Lihat: Al Jami Al Kabir)
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah:




(Ya Allah), aku memohon kepadaMu dengan setiap nama yang
Engkau miliki, yang dengannya Engkau namai diriMu sendiri, atau yang
Engkau turunkan di dalam kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada
salah seorang dari hambaMu, atau yang Engkau istimewakan dalam ilmu

ghaib milikMu. (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Hakim dari Ibnu
Masud. Lihat: Al Jami Al Kabir)
Dalam hadis riwayat Imran bin Hushain ia berkata: aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon


kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang
sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta kepada
manusia dengan Al Quran itu. (HR. Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi
dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami Al Kabir)
Tawassul Dengan Amal Shalih
Para ulama telah bersepakat (ijma) bahwa tawassul dengan amal
shalih diperbolehkan. Bahkan para ahli tafsir telah menafsirkan kata alwasilah dalam QS Al Maidah 35 dan Al Israa: 57 dengan amal shalih.
Dalam surat Al Fatihah ayat 5 dan 6 disebutkan amal shalih terlebih
dahulu sebelum disebutkan doa:








Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Ayat

itu

memberi

isyarat

bahwa

sebelum

berdoa

sebaiknya

seseorang beramal shalih telebih dahulu.


Serupa dengan ayat itu ada ayat-ayat berikut ini:










(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya
kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah
kami dari siksa neraka, (QS. Ali Imran: 16)




Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel)
berkatalah dia: Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk

(menegakkan agama) Allah? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia)


menjawab: Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman
kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orangorang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa
yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu
masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi
(tentang keesaan Allah).
Dalam hadis riwayat Buraidah bahwa Rasulullah SAW pernah
mendengar seorang lelaki berdoa:



Ya

Allah,

sesungguhnya

aku

memohon

kepadaMu

dengan

(kesaksian) bahwa Engkau adalah Allah, tiada tuhan selain Engkau, Tuhan
Yang Tunggal dan segala sesuatu bergantung kepadaNya, Yang tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada satu pun yang setara
denganNya.
Lalu Rasulullah SAW bersabda:

Sungguh kau telah memohon kepada Allah dengan perantara
namaNya yang paling agung, yang jika Dia diminta dengan nama itu Dia
pasti

memberi,

dan

jika

dipanggil

dengan

nama

itu

Dia

pasti

menjawab.(HR. Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu
Hibban)
Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar tentang tiga orang yang
terjebak dalam gua juga disebutkan tawassul dengan amal shalih. Hadis
itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
Rasulullah SAW bersabda: Ketika tiga orang pemuda sedang berjalan,
tiba-tiba turunlah hujan lalu mereka pun berlindung di dalam sebuah gua
yang terdapat di perut gunung. Sekonyong-konyong jatuhlah sebuah batu
besar dari atas gunung menutupi mulut gua yang akhirnya mengurung
mereka. Kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:
Ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan untuk Allah, lalu
mohonlah kepada Allah dengan amal tersebut agar Allah berkenan

menggeser batu besar itu. Salah seorang dari mereka berdoa: Ya Allah,
sesungguhnya dahulu aku mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut
usia, seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil di mana
akulah yang memelihara mereka. Setelah aku mengandangkan hewanhewan ternakku, aku segera memerah susunya dan memulai dengan
kedua orang tuaku terdahulu untuk aku minumkan sebelum anak-anakku.
Suatu hari aku terlalu jauh mencari kayu (bakar) sehingga tidak dapat
kembali kecuali pada sore hari di saat aku menemui kedua orang tuaku
sudah lelap tertidur. Aku pun segera memerah susu seperti biasa lalu
membawa susu perahan tersebut. Aku berdiri di dekat kepala kedua
orang tuaku karena tidak ingin membangunkan keduanya dari tidur
namun aku pun tidak ingin meminumkan anak-anakku sebelum mereka
berdua padahal mereka menjerit-jerit kelaparan di bawah telapak kakiku.
Dan begitulah keadaanku bersama mereka sampai terbit fajar. Jika
Engkau

mengetahui

bahwa

aku

melakukan

itu

untuk

mengharap

keridaan-Mu, maka bukalah sedikit celahan untuk kami agar kami dapat
melihat langit. Lalu Allah menciptakan sebuah celahan sehingga mereka
dapat

melihat

langit.

Yang

lainnya

kemudian

berdoa:

Ya

Allah,

sesungguhnya dahulu aku pernah mempunyai saudara seorang puteri


paman yang sangat aku cintai, seperti cintanya seorang lelaki terhadap
seorang wanita. Aku memohon kepadanya untuk menyerahkan dirinya
tetapi ia menolak kecuali kalau aku memberikannya seratus dinar. Aku
pun bersusah payah sampai berhasillah aku mengumpulkan seratus dinar
yang segera aku berikan kepadanya. Ketika aku telah berada di antara
kedua kakinya (selangkangan) ia berkata: Wahai hamba Allah, takutlah
kepada Allah dan janganlah kamu merenggut keperawanan kecuali
dengan pernikahan yang sah terlebih dahulu. Seketika itu aku pun
beranjak

meninggalkannya.

Jika

Engkau

mengetahui

bahwa

aku

melakukan itu untuk mencari keridaan-Mu, maka ciptakanlah sebuah


celahan lagi untuk kami. Kemudian Allah pun membuat sebuah celahan
lagi untuk mereka. Yang lainnya berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku
pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah enam belas ritel
beras (padi). Ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya, ia berkata:

Berikanlah upahku! Lalu aku pun menyerahkan upahnya yang sebesar


enam belas ritel beras namun ia menolaknya. Kemudian aku terus
menanami padinya itu sehingga aku dapat mengumpulkan beberapa ekor
sapi berikut penggembalanya dari hasil padinya itu. Satu hari dia datang
lagi kepadaku dan berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu
menzalimi hakku! Aku pun menjawab: Hampirilah sapi-sapi itu berikut
penggembalanya lalu ambillah semuanya! Dia berkata: Takutlah kepada
Allah dan janganlah kamu mengolok-olokku! Aku pun berkata lagi
kepadanya: Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, ambillah sapisapi itu berikut penggembalanya! Lalu ia pun mengambilnya dan dibawa
pergi.

Jika

Engkau

mengetahui

bahwa

aku

melakukan

itu

untuk

mengharap keridaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit celahan


lagi yang tersisa. Akhirnya Allah membukakan celahan yang tersisa itu.
Tawassul Dengan Nabi SAW
Tawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon
kepada Nabi SAW agar mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada
Allah dengan menyertakan nama beliau dalam doa. Adapun yang
pertama, yaitu memohon doa dari Nabi SAW, hal itu sering dilakukan oleh
para sahabat ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam Al
Quran:





Sesungguhnya jika
kepadamu,

lalu

mereka

memohon

ketika

ampun

menganiaya

kepada

Allah,

dirinya
dan

datang

Rasul

pun

memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah


Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa: 64)
Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin
Hunaif disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar
mendoakan dirinya supaya diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya
berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai berikut:

Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan


wajahku kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur
Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku
dengan perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia
memenuhinya. Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku. (HR.
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
Hadis riwayat Anas bin Malik:
Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu
searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri
berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri,
lalu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata
penghidupan terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan
menurunkan hujan. Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan
berdoa: Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah
hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Kata Anas:
Demi Allah, di langit kami tidak melihat mendung atau gumpalan awan.
Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang
dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan).
Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika
berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan.
Demi Allah, kami tidak melihat matahari sedikit pun pada hari Jumat
berikutnya. Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang
datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah saw. sedang
berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata:
Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus
(karena

hujan

terus

menerus),

berdoalah

agar

Allah

berkenan

menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa:


Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas
gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat
tumbuh pepohonan. Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di
bawah sinar matahari. (Shahih Muslim No.1493)
Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau Wafat

Para ulama bersepakat bahwa tawassul dengan Nabi SAW ketika


beliau masih hidup adalah diperbolehkan. Namun mereka berbeda
pendapat mengenai tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat.
Mayoritas

(jumhur)

Malikiyah,

Syafiiyah,

ulama

membolehkannya,

Mutaakhirin

Hanafiyah

di
dan

antaranya
Mazhab

adalah
Hambali,

sedangkan sebagian Hanabilah tidak memperbolehkannya. Berikut ini


rinciannya:
1. Pendapat Malikiyah
Al Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika
ditanya oleh Abu Jafar Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas,
Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah saya harus menghadap
Rasulullah lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu berdoa?
Imam Malik

menjawab, Mengapa

kau memalingkan wajahmu

darinya (Rasulullah) padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah


bapakmu Adam AS kepada Allah pada hari Kiamat? Menghadaplah ke
arahnya, lalu minta kepada Allah dengannya, Dia akan menjadikannya
pemberi syafaat bagimu.
Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam
kitabnya, Fadhoil Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang
tak ada masalah. Juga disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya AsySyifa melalui jalurnya dari para pembesar masyayikhnya yang terpercaya.
2. Pendapat Syafiiyah
Imam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW,
Kemudian orang yang berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah
Nabi SAW lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat dengannya
kepada Allah. (Al Majmu8/274)
Izzuddin bin Abdissalam berkata, Sebaiknya hal ini hanya berlaku
untuk Rasulullah SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam
(manusia).
As Subki berkata, Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan
meminta syafaat dengannya kepada Allah SWT.
Dalam Ianat at Thalibin disebutkan, Aku telah datang kepadamu
dengan beristighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada

Tuhanku.

(Lihat: Faidhul

Qadir 2/134/135, Ianat

at

Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib


Al Bugho)
3. Pendapat Hanabilah
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, Disunnahkan bagi yang
memasuki masjid untuk mendahulukan kaki kanan kemudian anda
masuk ke kubur lalu berkata Aku telah mendatangimu dengan
beristighfar dari dosa-dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada
Allah.
Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.
4. Pendapat Hanafiyah
Adapun

Hanafiyah,

para

ulama

Mutaakhirin

mereka

telah

membolehkan bertawassul dengan Nabi SAW.


Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah
kubur

Rasulullah

SAW,

kemudian

dia

berkata

pada

posisinya: Assalamualaika ya rasulallah (salam bagimu wahai Rasulullah)


dan memohon kepada Allah hajatnya dengan bertawassul kepada Allah
dengan Hadrat NabiNya SAW.
Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, Kami datang dari negeri yang
jauh dan memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami kemudia
berkata: dengan memohon syafaat dengan NabiMu kepadamu.
Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath
Thahawi terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, Kami telah
datang mendengar firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat
dengan NabiMu kepadaMu.
5. Pendapat Imam Syaukani
Imam Syaukani berkata, Dan bertawassul kepada Allah dengan para
nabiNya

dan

orang-orang

shalih.

(Tuhfatu

Adz

Dzakirin karangan

Syaukani 37)
6. Pendapat Ibnu Taimiah
Ibnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW
tidak diperbolehkan, karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW
mengandung 3 kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam,

yaitu beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan menaatinya, ini


hukumnya boleh. Kedua, tawassul dengan doa Nabi SAW, ini juga boleh
sebagaimana Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW dan paman
Nabi, maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul
dalam arti bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak
boleh.
Munaqasyah (Adu Argumentasi)
Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa juz 1 hal. 432 hadis no. 963
disebutkan:


:
*

*

Abdullah

bin

Dinar

berkata,

Saya

mendengar

Ibnu

Umar

mempresentasikan syair Abu Thalib, Semoga awan putih disiramkan


dengan pertolongan wajahnya. Untuk menolong anak-anak yatim dan
melindungi janda janda.
Dari sanad yang muallaq dari Ibnu Umar, ia berkata, Sering saya
mengingat perkataan seorang penyair sambil saya melihat wajah
Rasulullah memohon hujan, dan beliau tidak turun sehingga tiap-tiap
saluran (selokan) mengalir, Semoga awan putih disiramkan (dijadikan
hujan dengan pertolongan) wajahnya, untuk menolong anak-anak yatim
dan melindungi para janda. Syair itu adalah perkataan Abu Thalib.
Dari hadis di atas, jelas bahwa dahulu sebagian sahabat berdoa
kepada Allah sambil membayangkan wajah Rasulullah SAW dengan
harapan agar doanya dikabulkan. Ini adalah salah satu bentuk tawassul,
yaitu dengan menjadikan bayangan wajah Rasulullah SAW sebagai
perantara (wasilah) dikabulkannya doa.
Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa juz 1 hal. 342 hadis no. 946 juga
disebutkan:


:
.


Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar bin Al Khatthab apabila
terjadi kemarau panjang, dia selalu memohon hujan dengan wasilah
(perantaraan) Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, Ya Allah,
sesungguhnya kami dahulu selalu bertawassul dengan Nabi kami,
kemudian

Engkau

turunkan

hujan.

Sesungguhnya

kami

sekarang

bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan. Anas
berkata, Lalu mereka diberi hujan.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari berkomentar:





Perkataan

Umar

bahwa

mereka

dahulu

selalu

bertawassul

(mengambil perantara) dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka


meminta Nabi untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena
mungkin juga artinya mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon
hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara. Ibnu
Rusyaid berkata, Mungkin yang dimaksud oleh penulis (Imam Bukhari)
dalam menulis judulnya adalah beliau ingin berargumen dengan metode
Al-Awla. Artinya, jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan
perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau
untuk permintaan. (Fathul Bari 2/495)
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa dahulu Umar bin Khattab
bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, dengan harapan agar doanya
mudah dikabulkan. Beliau menyebutkan nama Rasulullah kemudian Abbas
dalam doanya. Ini juga merupakan salah satu bentuk tawassul, yaitu
menyertakan nama orang shalih dalam doa.

Dalam hadis riwayat Anas disebutkan doa Nabi SAW untuk Fathimah
binti Asad:



Ampunilah dosa ibuku, Fathimah binti Asad,
bimbinglah dia mengucapkan hujjahnya, luaskankah tempat masuknya,
sebelumku,

yang

Nabi

para

dan

NabiMu

hak

perantara

dengan

sesungguhnya Engkau Yang Paling Pemurah. (HR. Thabrani dan Abu


Shalah,

bin

Rauh

bernama

perawi

terdapat

dalamnya

di

Nuaim,

ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban, selebihnya perawinya adalah perawi


)shahih
Dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 hal. 256 hadis no. 778 disebutkan:

.
. :
)
.
. .
.
(
.
.

Artinya:
Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa
keluar dari rumahnya menuju salat lalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya
aku memintamu dengan perantara orang-orang yang meminta dan
dengan perantara hewan-hewan ternak inidst.
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad juz 3
hal. 21 hadis no. 11172:

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa salah seorang sahabat


mulia, yaitu Abu Said Al Khudri bertawassul dengan manusia dan hewanhewan ternak sebagai perantara dikabulkannya doa.
Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif juga disebutkan bahwa
Rasulullah SAW mengajari salah seorang sahabat yang buta untuk
membaca doa berikut ini:




Ya

Allah,

sesungguhnya

aku

memohon

kepadaMu

dan

aku

menghadapkan wajahku kepadaMu dengan Nabiku Muhammad, Nabiyur


Rahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan wajahku
kepada Allah denganmu, supaya mengabulkan hajatku atau hajatku
kepada Fulan atau hajatku dalam urusan ini dan itudst.
Hadis di atas diriwayatkan oleh:
1. Imam Bukhari dalam Tarikh Kabirnya secara ringkas.
2. Imam Tirmidzi dalam Jaminya lalu beliau berkomentar, Ini adalah
hadis shahih gharib yang tidak kami ketahui kecuali melalui jalur
ini. Syaikh Albani juga menshahihkannya.
3. Ibnu Majah dalam Bab Shalat Hajat dari Sunnah-Sunnahnya dan
dishahihkan

oleh

Abu

Ishaq.

Syaikh

Albani

menshahihkannya.
4. Imam Nasai dalam kitabnya, Amalul Yaumi wal Lailah.
5. Imam Abu Nuaim dalam kitabnya, Marifatus Shahabah.
6. Imam Baihaqi dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah.
7. dll.

juga

Hadis ini dishahihkan oleh sejumlah huffazh yang setidaknya jumlah


mereka

mencapai

15

orang,

sebagaimana

disebutkan

oleh

Imam

Muhammad Zahid Al Kautsari dalam kitabnya Muhiqqu At Taqawwul.


Mereka adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thabrani, Abu
Nuaim, Al Baihaqi, Al Mundziri, dll. Bagi yang ingin meneliti sanad hadis ini
silahkan baca buku yang saya tunjukkan tersebut.
Dalam hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah mengajarkan doa
yang berisi tawassul kepada beliau. Mengkhususkan doa tersebut untuk
sebelum Rasulullah SAW meninggal merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis
dari Abu Nuaim Al Asbahani dalam kitabnya,Dalailun Nubuwwah:

:

:


Ibnu Abbas berkata: Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir
sebelum diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah
memohon kemenangan terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan,
Ya

Allah,

sesungguhnya

kami

memohon

pertolongan-Mu

dengan

(perantara) kemuliaan Nabi yang Ummi, menangkanlah kami terhadap


mereka. Lalu mereka pun menang. Namun ketika orang yang mereka
ketahui itu, yakni Muhammad, telah datang, mereka ingkar
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak
sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Hadis di atas juga menjadi dalil
diperbolehkannya bertawassul dengan para nabi.
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal
216, Imam Suyuthi menukil hadis lain dari penulis yang sama dan kitab
yang sama:

:

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Mustadrak Al Hakim juz 2 hal
298 hadis no. 3042:



:
:
:

] [

:
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah Imam
Baihaqi juz 1 hal 461 hadis no. 411:

: :
: :
:

:
. :
.
: ) (1
:

Dalam kitab Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 8 hal. 91 hadis no.
2974 disebutkan:

:
:

: .
: .

Malik Ad Dar berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar
bin Khattab, lalu datanglan seorang lelaki ke kubur Nabi SAW lalu berdoa:
Wahai

Rasulullah,

mintalah

hujan

kepada

Allah

untuk

umatmu,

sesungguhnya mereka telah binasa. Lalu lelaki itu didatangi oleh


Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, Datanglah kepada
Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya
bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian..dst. lalu
lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya
tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, Ya Rabb, aku tidak akan
berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
Al Hafizh Ibnu Katsir menshahihkan hadis ini dalam kitabnya, Al
Bidayah wan Nihayah juz 7 hal. 105, beliau berkata:
Sanad hadis ini

Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi


Syaibah juz 6 hal. 236 hadis no. 32002:







Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani juga menshahihkan hadis ini dalam
Fathul Bari juz 2 hal. 495, beliau berkata:





Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat
Abu Shalih dari Malik Ad Dardst.
Hadis ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Tarikh
Kabir, secara ringkas.
Tawassul Salafus Shalih
Sebagian orang mengira bahwa tawassul tidak pernah dicontohkan
oleh para salafus shalih. Berikut ini beberapa nukilan tentang tawassul
salafus shalih.
Imam Syafii Bertabarruk di kuburan Imam Abu Hanifah
Dalam kitab Tarikh Baghdad karangan Al Khathib Al Baghdadi yang
sangat populer itu, disebutkan dengan sanad shahih bahwa Imam Syafii
sering datang ke kuburan Imam Abu Hanifah untuk mengambil berkahnya
(tabarruk). Berikut ini teksnya:








Di sebelah timur terdapat kuburan Al Khaizuran,

di dalamnya

terdapat kuburan Muhammad bin Ishaq penulis Sirah, dan kuburan Abu
Hanifah Numan bin Tsabit, Imamnya ahli rayi Ali bin Maimun berkata:
Saya pernah mendengar Asy Syafii berkata: Sungguh aku benar-benar
mengambil berkah (tabarruk) dengan Abu Hanifah, aku datang ke
kuburannya setiap hari, yakni sebagai peziarah, jika aku memiliki
keinginan

(hajat)

aku

shalat

dua

rakaat

lalu

mendatangi

kuburannya dan memohon kepada Allah di situ. Tak lama kemudian


biasanya dipenuhi hajatku. (Tarikh Baghdad 1/123)
Dalam kitab yang sama juga disebutkan:

:






Bab: Berita tentang kuburan-kuburan Baghdad yang dikhususkan
untuk para ulama dan ahli zuhud di sebelah Barat. Di puncak kota
terdapat kuburan-kuburan Quraisy. Di dalamnya dimakamkan Musa bin
Jafar bin Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib dan
sejumlah tokoh-tokoh pembesar bersamanya Ahmad bin Jafar bin
Hamdan Al QathiI berkata: Aku pernah mendengar Al Hasan bin Ibrahim
Abu Ali Al Khilal berkata: Tak

pernah

aku

ditimpa

kesusahan

kemudian aku mendatangi kuburan Musa bin Jafar lalu aku


bertawassul dengannya kecuali Allah memudahkan apa yang aku
inginkan. (Tarikh Baghdad 1/120)
Dalam Manasik Imam Ahmad riwayat Abu Bakr Al Maruzi juga
disebutkan tawassul dengan Nabi SAW. Redaksi tawassul itu disebutkan
oleh Abul Wafa bin Aqil, salah seorang pembesar ulama mazhab Hambali
secara panjang lebar dalam kitab Tadzkirohnya. Al Hafizh Abdul Ghaniy Al
Maqdisi juga pernah mengusap kuburan Imam Ahmad demi memperoleh
kesembuhannya. Dan masih banyak lagi bukti-bukti sejarah bahwa
tawassul dengan orang mati sudah dipraktekkan oleh kaum muslimin
sejak dahulu kala tanpa ada pengingkaran dari seorangpun. Apakah kita
berani memvonis mereka semua kafir, syirik, penyembah berhala dan
kubur?
Syubhat dan Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat seputar tawassul beserta jawabannya.

Syubhat pertama: Tawassul dengan orang mati tidak boleh


Sebagian orang menuduh orang yang melakukan tawassul dengan
orang mati sebagai penyembah berhala, musyrik, dan lain-lain. Mereka
membedakan antara tawassul dengan orang yang masih hidup dengan
yang sudah mati. Mereka lalu menakwilkan hadis-hadis yang secara jelas,
tegas dan lugas menyebutkan bolehnya bertawassul dengan orang yang
sudah mati. Sebenarnya mereka tak memiliki sandaran yang kuat kecuali
hadis

Umar

bin

Khattab

yang

diriwayatkan

oleh

Imam

Bukhari

sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun mereka menafsirkannya


dengan penafsiran yang kurang tepat dan menakwilkan teks tersebut
dengan penakwilan yang tidak pada tempatnya.
Di antara penafsiran tersebut adalah, menganggap bahwa Umar bin
Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, disebabkan Nabi telah
meninggal dunia. Ini adalah penafsiran batil sebagaimana akan kita
jelaskan

nanti.

Adapun

penakwilan

mereka

adalah,

menakwilkan

perkataan Umar, Dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami dan


Sekarang

kami

bertawassul

dengan

paman

Nabi

kami,

mereka

menyisipkan tambahan kata yang tidak semestinya disisipkan, yaitu kata


doa sehingga bunyi perkataan Umar menjadi, Dahulu kami bertawassul
dengan (doa) Nabi SAW dan Sekarang kami bertawassul dengan (doa)
paman Nabi. Jadi, mereka menganggap bahwa Umar bertawassul dengan
doa Nabi dan doa Abbas, bukan dengan zat mereka berdua.
Adapun penafsiran mereka bahwa Umar bertawassul dengan Abbas
dikarenakan Nabi telah meninggal dunia, ini merupakan penafsiran yag
tak berdasarkan dalil, karena kata kunna (dahulu kami selalu) bermakna
istimrar (berkelanjutan), artinya dahulu mereka selalu bertawassul
dengan Nabi, baik sebelum meninggal maupun setelah meniggal.
Kemudian baru ketika datang musim paceklik (Tahun Ramadah), mereka
memanggil paman Nabi untuk bertawassul dengan beliau, karena
peristiwa tersebut terjadi pada Tahun Ramadah. Mengkhususkan makna
dahulu kami selalu dengan dahulu (sebelum mati) kami selalu
merupakan pengkhususan tanpa dalil. Jadi, tidak ada penunjukkan sama

sekali bahwa tawassul yang dilakukan oleh para sahabat hanya ketika
Nabi belum meninggal saja.
Hadis ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang
yang lebih rendah kedudukannya (paman Nabi) di samping orang yang
lebih tinggi kedudukannya (Nabi SAW). Namun kendatipun demikian,
Umar tetap menyebutkan nama Rasulullah SAW dalam doanya, baru
kemudian menyebutkan nama paman Nabi setelah itu. Itulah maksud
perkataan Ibnu Rusyaid, Jika mereka dahulu meminta kepada Allah
dengan perantara beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan
beliau untuk permintaan.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah disebabkan oleh
kedudukan Abbas di sisi Nabi, yaitu kedekatan hubungan kekerabatannya
dengan Nabi, sehingga bertawassul dengannya sama dengan bertawassul
dengan Nabi sendiri.
Adapun penakwilan bahwa yang dimaksud tawassul dengan Nabi dan
Abbas di situ adalah tawassul dengan doa mereka, ini adalah penakwilan
batil. Karena tawassul tidak selalu bermakna memohon doa. Memang
adakalanya seseorang memohon doa kepada orang lain untuk dirinya,
tapi ini bukan satu-satunya makna tawassul sebenarnya. Oleh karena itu,
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengomentari hadis di atas beliau
berkata, Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul
dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa
memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka
melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil
menjadikan Nabi SAW sebagai perantara.
Artinya, tawassul yang dilakukan oleh Umar adalah tawassul dengan
zat Nabi dan zat paman Nabi, bukan dengan doa mereka. Mengkhususkan
makna tawassul hanya dengan doa merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Syubhat kedua: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam
hadis Malik Ad Dar munkar karena tidak disebutkan oleh Imam
Bukhari dalam Tarikhnya.
Jawabnya, memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam
Bukhari dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada.

Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya,


bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang
panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan
tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi
Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan
Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar,
pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada
kita.
Syubhat

ketiga:

Malik

Ad

Dar

adalah

majhul

karena

didiamkan oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi.


Jawabnya, tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu
disebut majhul. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu
disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Jika
memang majhul, tidak mungkin Dua Hafizh itu berani menshahihkan
sanadnya.
Syubhat

keempat:

Bertawassul

dengan

orang

mati

merupakan perbuatan orang musyrik sebagaimana disebutkan


dalam QS Az Zumar: 3.
Jawabnya, mari kita baca tafsir ayat itu dengan cermat. Ibnu Katsir
berkata dalam tafsirnya, Sesungguhnya yang telah menggiring mereka
(musyrikin) ke arah penyembahan berhala itu adalah karena mereka
menjadikan

berhala-berhala

yang diukir

serupa

malaikat menurut

keyakinan mereka, sebagai sesembahan, mereka menyembah berhalaberhala itu sebagai bentuk penyembahan terhadap malaikat agar para
malaikat itu dapat menolong mereka di sisi Allah nanti.
Pernyataan Ibnu Katsir di atas jelas menunjukkan bahwa sejak awal
orang musyrik memang tidak menyembah Allah saja, melainkan juga
menyembah malaikat yang diukir menjadi berhala-berhala itu. Inilah yang
dinamakan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesembahan lain.
Berbeda dengan tawassul, orang yang bertawassul memohon kepada
Allah dengan menjadikan benda lain sebagai perantara. Oleh karena itu,
Umar mengawali doanya dengan kata, Ya Allah.
Lalu apakah masalah tawassul ini sampai pada level takfir?

menyebutkan

Setelah

Taimiah.

Ibnu

nasihat

simak

kita

Mari

perbedaan pendapat dalam masalah ini beliau berkata:








:







.















{
Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil
pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya,
karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dalil-dalilnya tidak jelas dan
terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara
yang sudah maklum (diketahui) merupakan bagian dari agama secara
pasti atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati
)(ijma) atau semisal itu. (Majmu Fatawa 1/106
Analisa Hadis Malik Ad Dar Tentang Tawassul
Naskah Hadis







Telah mengabarkan kami Abu Muawiyah dari Al Amasy dari Abu
Shalih dari Malik Ad Dar ia berkata ia dahulu adalah bendahara Umar
berkata:

ia

logistik,

urusan

untuk

Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan
seorang lelaki ke kuburan Nabi SAW lalu berdoa: Wahai Rasulullah,
mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah
binasa. Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya.
Beliau bersabda, Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku
untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan.
Katakan juga: hendaknya kalian bersikap bijaksana, hendaknya kalian
bersikap bijaksana. Lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan
apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, Ya
Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu
melakukannya.
Studi Sanad
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf
(6/236 no. 32002), Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah (8/91 no. 2974)
dan Al Khaliliy dalam Al Irsyad (1/313-314). Tentang riwayat Al Baihaqi,
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/105) berkata, Sanad hadis
ini shahih. Sedangkan tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari (2/495) berkata, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar. Imam
Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir (7/204 no. 1295) meriwayatkan dari Malik
bin Iyadh bagian akhir hadis ini, yaitu perkataan Umar, Ya Rabb, aku
tidak

akan

berpaling

kecuali

dari

apa

yang

aku

tidak

mampu

melakukannya.
Kesimpulan Hukum
Para ulama bersepakat mengenai bolehnya bertawassul dengan Nabi
SAW, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat berdasarkan
atsar di atas dan hadis-hadis lainnya. Baca: Kupas Tuntas Masalah
Tawassul
Syubhat Beserta Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat yang beredar tentang hadis Malik Ad Dar
beserta jawabannya.
Syubhat pertama: Di dalam riwayat tersebut terdapat perawi mudallis
bernama Al Amasy dan dia meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal

an (dari). Padahal, seorang mudallis tidak diterima hadisnya kecuali jika


ia berkata haddatsana (ia telah memberitahu kami), akhbarona (ia
telah mengabarkan kami) dan semisalnya, bukan qola (ia telah berkata)
atau an (dari), karena kemungkinan ia mengambil hadis itu dari perawi
dhaif sehingga dapat menjadikan hadis itu menjadi lemah sebagaimana
telah maklum dalam Mustholahul Hadis.
Jawaban: Benar bahwa Al Amasy adalah seorang mudallis. Akan
tetapi, tidak semua ananahnya ditolak. Ananah Al Amasy dari Abu
Shalih diterima dan dianggap muttashil oleh para ulama. Ini adalah satu
kekhususan dan keistimewaan ananah Al Amasy dari Abu Shalih. Oleh
karena itu, Imam Bukhari memasukkannya dalam Shahihnya.
Syubhat

kedua:

Tidak

diketahui

apakah

Abu

Shalih

pernah

mendengar hadis dari Malik Ad Dar atau tidak, karena Malik Ad Dar tidak
diketahui kapan tahun wafatnya.
Jawaban: Pernyataan tersebut keliru, sebab penyimakan Abu Shalih
dari Malik Ad Dar telah diketahui oleh para ahli hadis. Al Khalili berkata,
Dikatakan bahwasannya Abu Shalih As Sammaan telah mendengar hadis
ini dari Malik Ad Dar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah mengirsal-kannya. (Al Irsyaad: 1/313). Pernyataan Al Khalili tersebut jelas
menunjukkan bahwa penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar adalah
maruf dan tidak diragukan lagi. Yang diragukan adalah penyimakannya
tentang hadis ini, bukan penyimakan secara umum dalam hadis-hadis
lain. Perhatikan kata hadis ini dalam pernyataan Al Khalili di atas, kata
tersebut mengkhususkan keumuman penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad
Dar dalam hadis-hadis lain. Lagipula, Abu Shalih bukan seorang mudallis
yang suka mengecoh orang lain dengan kata an untuk hadis yang tidak
ia dengar, sebagaimana kebiasaan para mudallisin.
Syubhat ketiga: Abu Shalih membawakannya dengan ananah,
sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus (munqathi).
Jawaban: Pernyataan itu juga keliru. Kemungkinan terputus itu sangat
kecil bahkan mendekati nol, karena Abu Shalih bukan seorang mudallis.
Riwayat ananah dipermasalahkan jika berasal dari perawi yang mudallis.
Jadi ananah Abu Shalih diterima dan dianggap muttashil karena Abu

Shalih tsiqoh. Imam Bukhari juga memasukkan ananah Abu Shalih ke


dalam Shahihnya sebagaimana ananah Al Amasy dari Abu Shalih.
Syubhat keempat: Orang yang mendatangi kubur Nabi SAW itu tidak
diketahui identitasnya (mubham).
Jawaban: Kemubhaman orang tersebut tidak berpengaruh apa-apa,
karena yang menjadi hujjah adalah sikap (taqrir) Umar. Beliau tidak
mengingkari perbuatan lelaki tersebut. Seandainya perbuatan itu keliru,
pasti Umar sudah mengingkarinya.
Syubhat kelima: Malik Ad Dar bukan termasuk sahabat.
Jawaban: Tidak berpengaruh apakah dia sahabat atau bukan, karena
yang menjadi hujjah adalah sikap Umar terhadap perbuatan orang yang
menemuinya itu.
Syubhat keenam: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis
Malik Ad Dar mungkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
Tarikhnya.
Jawabnya: Memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam
Bukhari dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada
atau

mungkar.

Imam

Bukhari

sering

meringkas

hadis-hadis

yang

diriwayatkannya, bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas


riwayat yang panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain.
Sedangkan tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi
dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu
Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang
tambahan itu munkar, pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan
menerangkannya kepada kita.
Syubhan ketujuh: Ibnu Hajar tidak menshahihkan sanad hadis itu
secara keseluruhan, melainkan hanya sampai Abu Shalih saja.
Jawaban: Ini adalah sebuah kecerobohan dan tuduhan yang tidak
benar terhadap Ibnu Hajar. Pernyataan Ibnu Hajar diselewengkan dari
makna sebenarnya. Seandainya sanad itu hanya shahih sampai Abu
Shalih saja, pasti pernyataan Ibnu Hajar adalah seperti ini, dengan
sanad shahih sampai Abu Shalih, bukan dengan sanad shahih dari
riwayat Abu Shalih. Kata dari riwayat hanyalah penjelasan mengenai

sumber riwayat itu, bukan pembatasan bahwa yang shahih hanya sampai
Abu Shalih saja. Berbeda dengan kata sampai yang menunjukkan
pembatasan. Hal itu maklum diketahui oleh siapapun yang pernah
membaca Fathul Bari secara keseluruhan dan mengamati istilah-istilah
yang digunakan oleh Ibnu Hajar di dalamnya.
Syubhat kedelapan: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan
oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi dan tidak diketahui kejujuran
dan kekuatan hafalannya.
Jawabnya: Tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu
disebut

majhul.

Ketidaktahuan

bukan

tanda

ketiadaan

mutlak.

Ketidaktahuan seseorang dikalahkan oleh pengetahuan orang lain.


Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam
Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Mengenai kejujurannya, dua
di antara Khulafaurrasyidin, yaitu Khalifah Umar dan Ustman, telah
mempercayainya sebagai bendahara logistik. Sungguh keterlaluan jika
ada orang yang meragukan sosok yang dipercaya
Analisa: Hadis Utsman bin Hunaif Tentang Tawassul
Permasalahan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat
menjadi perdebatan panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini.
Jumhur ulama membolehkannya, Ibnu Taimiah melarang sebagian dan
membolehkan sebagian, sedangkan Al Albani melarang seluruhnya.
Masing-masing pendukung membela pendapatnya serta melemahkan
pendapat lainnya.
Salah satu dalil yang membolehkan adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Utsman bin Hunaif tentang seorang buta yang mendatangi Nabi SAW
untuk minta didoakan, kemudian Nabi SAW mendoakan untuknya dan
akhirnya ia bisa melihat. Dalam lafal doa tersebut terdapat tuntunan
bertawassul dengan Nabi SAW. Dalil kedua lebih tegas lagi, hadis yang
juga diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif setelah Nabi SAW wafat tentang
seorang lelaki yang mendatangi Utsman bin Affan untuk suatu keperluan
namun ia diabaikan, setelah itu ia mendatangi Utsman bin Hunaif (perawi
hadis), kemudian oleh Utsman bin Hunaif, lelaki itu diberi saran untuk
melakukan amalan yang dahulu diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada

orang buta, lalu keinginan lelaki itu pun terkabul, hadis ini menjadi dalil
terkuat bagi pendapat yang membolehkan tawassul dengan Nabi SAW
setelah beliau wafat, dengan alasan bahwa hadis itu diriwayatkan setelah
Nabi SAW wafat dan yang meriwayatkannya adalah perawi yang sama
dengan hadis pertama yang disepakati kesahihannya oleh kedua belah
pihak. Namun, dalil kedua ini dipermasalahkan kesahihannya oleh Al
Albani, kendatipun sejatinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, sebab
hadis itu juga disahihkan oleh salah seorang perawinya sebagaimana
akan kita bahas.
Berikut ini penjelasan mengenai kedua hadis di atas beserta takhrij
dan statusnya. Semoga dengan penjelasan ini kita dapat melihat
permasalahan ini dengan jernih, objektif dan jauh dari fanatisme
kelompok tertentu. Selamat membaca.
Hadis ke-1
Naskah Hadis
Redaksi dalam Musnad Ahmad:




























Redaksi dalam Sunan At Tirmidzi:

:






Redaksi dalam Sunan An-Nasai:

:





:




:





Redaksi dalam Sunan Ibnu Majah:

:
.
. . .
.
.
Redaksi dalam Shahih Ibn Khuzaimah:

: :
:
: :
Dari pernyataan Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa tindakan
sebagian

orang

jahil

yang

mengkafirkan

sesama

muslim

karena

permasalahan semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Hal itu tak lain
disebabkan

oleh

ketidakmampuan

dirinya

dalam

mendatangkan

argumentasi ilmiah yang mampu bertahan di panggung dialog dan


diskusi.

Akhirnya,

mereka

menggunakan

senjata

ampuh

untuk

melumpuhkan lawan diskusinya yaitu dengan menjatuhkan vonis kafir,


stempel bidah, cap musyrik dan sebagainya.
Penutup
Demikianlah ringkasan penjelasan mengenai masalah tawassul. Bagi
yang ingin memperdalam dan menelaah lebih lanjut mengenai masalah
ini

silahkan

baca

kitab Muhiqqu

At

Taqawwul

fi

Masalati

At

Tawassul karangan Syaikh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari (semoga


Allah merahmati beliau). Kitab ini sudah dicetak, disebarluaskan dan dijual
secara bebas di toko-toko buku di Timur Tengah. Penulisnya adalah salah
seorang ulama yang hidup di zaman Kekhalifahan Turki Utsmani, seorang
ahli hadis, fikih, ushul dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Anda juga bisa
mendapatkan keterangan mengenai masalah ini dalam kitab Mausuah
Fiqhiyah Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait). Wallahu alamu bis showab.
XVI

Bantahan Atas Argumen Lemah Dan Syubhat Wahabi


Dalam Hal Tawassul Melalui Orang Yang Telah Mati !!?

Salah satu landasan kaum Wahabi yang dijadikan dalil untuk


melarang tawassul adalah bahwa tawassul disamakan dengan meminta
kepada orang yang telah mati, dan hal itu adalah perbuatan syirik. Untuk
memperkuat pemahamannya mereka sodorkan surat an Naml ayat 80:


"Sesungguhnya

engkau

tak

bisa

membuat

orang

yang

mati

mendengar dan tidak pula menjadikan orangyang tuli mendengar


panggilan apabila mereka sudah berpaling."
Ayat diatas menyamakan kaum musyrikin dengan orang yang telah
mati. Apabila orang yang mati tidak mampu mendengar ajakan kebenaran
maka hal itu juga tidak akan didengar oleh kaum musyrikin. Apabila orang
yang telah mati dan orang yang tuli mampu mendengar otomatis kaum
musyrikinpun juga akan mampu mendengar seruan.
Dalil lain yang disodorkan oleh kaum wahabi adalah surat Fathir ayat
22 :


"Dan tiadalah sama orang yang hidup dan orang yang mati. Allah
menjadikan siapa saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah
engkau menjadikan orang yang di dalam kubur itu bisa mendengar."
Dengan ayat diatas kaum wahabiyyin berkeyakinan bahwa memohon
sesuatu kepada orang mati sama maka hukumnya sama dengan
memohon sesuatu kepada benda mati.
Guna menangkis pendapat yang lemah dan syubhat diatas maka kita
sampaikan

bahwa

sangat

disayangkan

kelompok

Wahabi

dengan

gampangnya mendistorsi makna ayat suci al-Quran. Ayat-ayat yang


dijadikan argumentasi tersebut sesungguhnya ingin menyatakan bahwa
tubuh tanpa nyawa yang terbaring dikubur sudah tidak bisa lagi
memahami sesuatu.
Sedangkan dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permohonan
kita kepada tubuh yang sudah tidak mempunyai nyawa, namun kepada
ruh pemilik jasad tersebut yang sudah hidup di alam kubur (barzakh). Dan
dengan jelas Quran menyatakan, mereka itu hidup.
Ringkasnya, kita bertawassul kepada mereka yang dinyatakan hidup
oleh Quran, bukan kepada benda mati.
Golongan wahabi menganggap bahwa sesudah manusia mati, ruh
akan stagnasi seiring sirnanya tubuh kasarnya. Oleh sebab itu, mereka
menolak dengan keras adanya kehidupan ruh para nabi dan lainnya
sesudah kematian mereka.
Mereka juga menyatakan jika seseorang telah mati tidak bisa
beramal lagi sebab amalnya telah terputus selain tiga hal. Maka kita
jawab : itu maksudnya mereka tidak bisa beramal dalam arti tidak
menerima taklif hukum sehingga tidak bisa mendapatkan pahala.
Buktinya dalam Hadits shahih para Nabipun melakukan shalat dikubur
mereka. Ini membuktikan bahwa mereka bisa beramal walau tanpa beban
taklif.
Sehingga dalam Hadits/atsar shahihpun Nabi Saw yang sudah wafat
juga mampu mendo'akan kepada Allah bagi Umatnya yang saat itu
kekeringan sehingga diturunkannyalah hujan oleh Allah dengan sebab ada
seorang sahabat yang telah melakukan tawassul dengan Nabi yang sudah
wafat.
Para ulama aswaja menolak pandangan Ibnu Taimiyah dan Muhamad
bin Abdul Wahab yang mengingkari bolehnya tawassul dengan orang yang
dekat dengan Allah sesudah matinya.
Kholil Ahmad dari madzhab Hanafi mengatakan:

"Kami

dan

para

ulama

kami

meyakini

bahwa

diperbolehkan

bertawassul dalam berdoa dengan para Nabi, solihin, auliya dan syuhada
baik ketika mereka masih hidup maupun sesudah meninggal.
Dan pendapat diatas juga disepakati oleh mayoritas umat Islam,
hanya wahabi dan variannyalah yang menyelisihinya.
Semoga petunjuk Allah atas mereka !!.

XVII
Manaqib
-A. Pengertian
Secara bahasa manaqib berarti meneliti, menggali secara istilah
diartikan sebagai riwayat hidup seseorang yang berisikan tentang budi
pekertinya yang terpuji ahhlaknya yang baik karomahny dan sebagainya
yang patut dijadikan suri tauladan. Maksud dari menjalankan manaqib
diantarnya untuk beertawasul, untuk memperoleh berkah, untuk lebih
mengenal orang sholih dan lebih mencintanya.
B. Dalil-dalil manaqib
Sebenarnya manaqib itu ada dalam Alquran seperti manaqib,
ashabul kahfi, Manaqib Raja Dzul Qurnain, Manaqib Lukman dan lain
sebagainya. Adapun dalil yang digunakan hujjah untuk memperbolehkan
praktek manaqib yaitu dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97.


.


Tersebut dalam surat atsar: Rosululloh pernah bersabda: Siapa
membuat sejarah orang mukmin( yang sudah meninggal ) sama saja

menghidupkan kembali; siapa memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia


sedang, siapa yang mengunjunginya, Alloh akan memberikan surga.
Dalam kitab Jalauzh Zhulam alaAqidatul awam dijelaskan

















) .




Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan


kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya doa dan
turunnya rahmat didepan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan
mereka, baik masih hidup ataupun sudah mati, dikuburan mereka ketika
mengingat mereka, dan ketika orang banyak berkumpul dalam berziarah
kepada mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka.

Anda mungkin juga menyukai