Anda di halaman 1dari 10

AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

PERTEMUAN 01

A. Pengertian dan Sejarah Aswaja


1. Pengertian Aswaja :
a.Menurut Etimologis (Bahasa)
Ahlussunnah wa al-Jama’ah, terbentuk dari tiga kata, yaitu:
Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut.
Al-Sunnah, jalan atau cara walaupun tidak diridhoi).
Al-Jama’ah, artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian
ke sebagian lain.

b.Menurut Terminologi,
Sunnah berarti metode Nabi Muhammad.
Sedangkan menurut jumhur ulama, sunnah adalah sebuah jalan yang ditempuh
oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang selamat dari kesurupan ( syubhat).
Sedangkan jamaah secara istilah menurut Syekh Abdul Qodir Al Jaelani adalah
segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah SAW pada masa
Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT.

Pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah


- Menurut Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, bahwa sunnah adalah segala sesuatu
yang diajarkan oleh Rasulullah SAW meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau.
- Menurut Syekh Muhammad Faqih mengartikan bahwa Jamaah adalah metode
para sahabat. hal ini didasarkan pada hadis nabi ketika menjawab pertanyaan
sahabat tentang akan terjadinya kehancuran umat manusia akibat adanya
perpecahan menjadi 73 golongan, dan yang selamat hanyalah satu golongan saja
yaitu Al-jamaah.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Tirmidzi dan Al-Hakim bahwa Rasulullah
SAW pernah bersabda: Barangsiapa yang ingin mendapatkan kehidupan yang damai di
surga nanti, hendaklah dirinya mengikuti Al-jamaah, yaitu kelompok yang menjaga
kebersamaan.
Dari semua definisi di atas bisa kita simpulkan bahwa:
• Ahlussunnah Wal Jamaah bukan merupakan aliran baru yang muncul sebagai
reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang Hakiki, namun
justru merupakan Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan serta diamalkan
oleh para sahabatnya.

2. Sejarah Ahlussunnah wal Jama'ah


Aswaja itu adalah Islam itu sendiri, konsistensi berIslam ala Rasulullah dan para
sahabatnya. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa Aswaja itu adalah paham baru sebagai
respons atas tantangan aliran lain. Sebelum era Imam Abul Hasan al Asy'ari (w. 324 H)
pun telah ada Aswaja dengan para imamnya, dengan pengertian pemahaman Islam yang
mengikuti komunitas mayoritas setiap masa.

1
Tiga Komunitas Awal Terbaik;
Masa Salaf Komunitas pertama dalam Islam adalah komunitas para sahabat.
Komunitas ini dipuji oleh Rasulullah dan dijadikan sebagai landasan kebenaran. Karena
itu Rasulullah dalam riwayat yang dikutip Imam as Syahrastany (w. 548 H) menyebut
Ahlussunnah wal Jama'ah itu adalah "ma ana alaihi wa ashhaby" (golongan yang
mengikuti sunnahku dan sunnah para sahabatku). Rasulullah juga memuji tiga komunitas
pertama itu sebagai generasi terbaik, yaitu era sahabat, era tabiin, dan era tabiut tabiin,
yang disebut juga era salaf, atau 300 tahun pertama.

B. Siapakah yang Tergolong Ahlussunnah wal Jamaah?


KH Hasyim Asyari dan juga KH Bisri Musthofa menerangkan bahwa definisi aswaja, yaitu:
• Dalam bidang fikih mengikuti 4 mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
• Dalam bidang akidah mengikuti Al-Asy'ari dan Al-Maturidi.
• Dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali.

C. CIRI-CIRI ahlussunnah wal jamaah


1. Ahlussunnah wal jamaah (aswaja) membedakan antara:
- teks wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah), penafsiran, dan penerapannya
dalam tahqīq manāth (memastikan kecocokan sebab hukum pada kejadian) dan
takhrīj manāth (memahami sebab hukum).
2. Ahlussunnah wal jamaah merupakan mayoritas (al-‘amah) umat Islam
sepanjang masa dan zaman.
3. Menekankan pentingnya memastikan kesesuaian antara sebab hukum dan
realitas kejadian
4. Ahlussunnah wal jamaah melakukan tata cara memanifestasikan atau menerapkan
teks wahyu yang absolut kepada realitas kejadian yang bersifat relatif.
5. Ahlussunnah wal jamaah tidak mengafirkan siapa pun, kecuali orang yang
mengakui bahwa ia telah keluar dari Islam, juga orang yang keluar dari barisan umat
Islam.
6. Aswaja menerima perbedaan dan menjelaskan dalil-dalil setiap permasalahan
serta menerima kemajemukan dan keragaman dalam akidah, fikih, atau
tasawuf.

D. AJARAN POKOK Ahlussunnah Wal Jamaah


1. Iman
Iman adalah keyakinan hati seorang mukmin terhadap kebenaran ajaran-
ajaran Islam. Baik itu meliputi hal-hal tentang ketuhanan, tentang kenabian, dan
tentang hal-hal gaib yang telah dijelaskan dalam Alquran dan Al-Hadits.
2. Islam (Ilmu Fikih)
Islam dapat terwujud dengan melaksanakan hukum dan aturan fikih yang
telah ditetapkan oleh Alquran dan Al-Hadits dengan berbagai perangkat pemahamannya.
3. Ihsan (Tasawuf)
Tasawuf adalah usaha untuk menjaga hati agar dalam berperilaku dan
bertingkah laku selalu menuju satu harapan, yakni mengharap ridha Allah SWT sebagai
wujud dari ihsan.

2
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
PERTEMUAN 02

A. Madzhab Qauli (bermadzhab secara tekstual)


• Madzhab yang difahami sebagai pendapat, fatwa seorang mujtahid atau mufti dalam
memutuskan hukum fiqhiyah.
• Produk hukum yang dihasilkan oleh seorang mujtahid yang kemudian dikokohkan
sebagai pedoman oleh para pengkutnya.

B. Madzhab Manhaji (bermadzhab secara metodologis)


Madzhab manhaji adalah memecahkan problem hukum dengan berpedoman kepada metode
istiqra’ (penelitian hukum) yang digunakan dalam suatu madzhab. Contohnya adalah
penggunaan istihsan sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah. Ulama Hanafi sepakat Istihsan sebagai salah satu dalil yang disepakati para ulama
dalam menerima hukum qiyas jali. (Nasnya bisa ditemukan, Contoh Hukum menyakiti
kedua orang tua)
Sedangkan Imam Syafi„i tidak menggunakan istihsan dalam menentukan hukum.
Karena menurutnya orang yang berdalil dengan istihsan adalah orang yang menyia-nyiakan
diri mereka dengan mewujudkan hukum yang mereka inginkan.

C. Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi


Pada tataran aplikasi hokum (tathabiq al-syar’iyah) terkait proses penyusunan
RUU/Raperda mungkin pilihan jatuh pada kreasi mengembangkan asasasas ijtihad yang
dikenal pada jajaran ulama sunni. Misalnya : ‘Umumu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul
Tabi’in, Mura’atu al-Khilaf, Kondisi Dharurat, asas ‘Urf/Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah,
Istihsan, Syar’u al-Dzara’i, Istishhab, Mashalih Mursalah, Maqashid al-Syari’ah, Siyasah
Syar’iyah dan lain sebagainya.
Operasionalisasi asas-asas ijtihad tersebut perlu didukung kearifan mengenali bobot
masalah ijtihadiyah terutama: Frame (bingkai) masalah, Konteks (keterkaitan) dengan
kepentingan individu atau kebijakan publik, dampak pada sektor aqidah dan ghirah
diniyah, kadar kesulitan dalam pelaksanaan, membuka peluang hilah hukum dan resiko
berjangka panjang.
Oleh karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusan
hokum yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jama’iy) dan
terjamin taat kaidah istidlal.

D. Proses Penyebaran Agama Islam Aswaja di Indonesia


• Proses penyebaran islam di indonesia berlangsung dengan cara damai, bijaksana,
lemah lembut, dan tanpa kekerasan.
• Pada taraf permulaan saluran islamisasi adalah kegiatan perdagangan (antara
arab, india, dan cina).
• Kota perdagangan di pesisir utara pulau sumatera menjadi pusat kegiatan
perekonomian yang pada akhirnya mendukung penyebaran agama islam. Kegiatan

3
dakwah Islamiyah selanjutnya dilakukan oleh sebuah misi para muballigh dari arab,
terutama dari Makkah, Yaman, Dan Lain-lain.
• Mereka berhasil mengislamkan para penguasa di Nusantara, sehingga dalam waktu
relatif singkat, agama islam sudah menjadi agama sebagian besar masyarakat.
• Dakwah islam di Indonesia dilakukan dengan sikap moderat (AtTawassuth), toleran
(At-Tasamuh), dan Seimbang (At-Tawazun), yang ketiga-tiganya merupakan karakteristik
(Ciri khas) para penganut Ahlussunnah wal Jamaah.
• Pada abad 9 Masehi Dinasti Abbasiyah mengirimkan muballigh ke wilayah Sumatera
Utara, yang terdiri dari para ulama Ahlussunnah wal Jamaah bermadzhab Syafi'i.
• Kerajaan samudera Pasai pada Abad 16 Masehi. Ia mengatakan bahwa agama Islam
sudah hampir satu abad lamanya berkembang di wilayah kerajaan tersebut. Rajanya yang
bernama Al Malikudz Dzahir II dikenal sebagai orang yang ahli ibadah, rendah hati, dan
penganut Madzhab Syafi'i.
• Dialog antara Sunan Gunung Jati dengan Raden Panjunan dalam masalah-
masalah hukum islam dengan bermadzhab Syafi’i.
• Primbon Sunan Bonang terdapat ilmu-ilmu Fikih, Tauhid, dan Tasawuf yang disusun
berdasarkan paham Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah.

4
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
PERTEMUAN 03

A. KONSEP AQIDAH ASY’ARIYAH


Konsep aqidah asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) diantara kelompok-kelompok
keagamaan yang berkembang dimasa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah yang
dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya saling
berseberangan.
- Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah
dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sehingga kekuasaan Allah adalah
mutlak.
- Qadariyah memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu
sendiri terlepas dari Allah. Jadi, kekuasaan Allah terbatas.
- ASY’ARIYAH:
 Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan
dalam perbuatannya. Kasb (upaya) memiliki makna kebersamaan kekuasaan
manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna kearifan dan bahwa
manusia bertanggungjawab atas perbuatannya.
 Sikap tasamuh (toleransi) dalam konsep kekuasaan mutlak Tuhan.
 Bagi Mu’tazilah, Tuhan wajib berlaku adil dalam memperlakukan makhluk_Nya. Tuhan
wajib memasukkan orang baik ke dalam surge dan memasukkan orang jahat ke neraka.
Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah. Alasannya, kewajiban berarti telah menjadi pembatasan
terhadap kekuasaan Tuhan, padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang
bisa membatasi kehendak dan kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam al qur’an Allah
berjanji akan memasukkan orang yang baik dalam surge dan orang jahat ke dalam
neraka, namun tidak berarti kekuasaan Allah terbatasi. Segala keputusan tetap ada
pada kekuasaan Allah. Jika dalam paham Mu’tazilah posisi akal diatas wahyu, Asy’ariyah
berpendapat wahyu diatas akal. Moderasi ditunjukkan oleh Asy’ariyah. Ia berpendapat
bahwa meskipun wahyu diatas akal, namun akal tetap diperlukan dalam memahami
wahyu. Jika akal tidak mampu memahami wahyu, maka akal harus tunduk dan
mengikuti wahyu. Karena kemampuan akal terbatas, maka tidak semua yang terdapat
dalam wahyu dapat dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan sesuai pendapat akal.
Dengan demikian, bagi Asy’ariyah rasionalitas tidak ditolak. Kerja-kerja rasional
dihormati sebagai penerjemahan dan penafsiran wahyu dalam rangka untuk
menentukan langkah-langkah ke dalam pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni
bagaimana pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah
pengejewantahan dari pesan al qur’an bahwa risalah Islam adalah RAHMATAN LIL
‘ALAMIN. Namun, agar aspek-aspek rasionalitas itu tidak menyimpang dari wahyu,
manusia harus mengembalikan seluruh kerja rasio dibawah control wahyu. Masalah
adanya sifat Allah, Mu’tazilah hanya mengakui sifat wujud Allah. Sementara Asy’ariyah
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Walaupun sifat tidak sama dengan dzat_Nya,
tetapi sifat adalah qadim dan azali. Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan
pengetahuan_Nya, akan tetapi dengan sifat ilmu_Nya. Dalam mehami sifat Allah yang
qadim ini, Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam, satu missal, adalah sifat Allah yang

5
qadim dan azali, karena itu al qur’an sebagai kalam Allah adalah qadim, al qur’an bukan
makhluk. Jadi ia tidak diciptakan.

B.Konsep Aqidah Maturidiyah


Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasan dengan aqidah
Asy’ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara memahami agama yang tidak secara ekstrem
sebagaimana Mu’tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya adalah masalah madzhab
fiqhnya, Asy’ariyah menggunakan madzhab Syafi’I dan Maliki, sedangkan Maturidiyah
menggunakan madzhab Hanafi. Asy’ariyah berhadapan langsung dengan kelompok
Mu’tazilah sedangkan Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak.
Diantara kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujasimah,
Qaramithah dan Jahmiyah. Juga kelompok agama lain seperti Yahudi, Majusi dan
Nasrani.
Sikap tawasuth yang ditunjukkan Maturidiyah adalah upaya pendamaian antara
an naqli dan al ‘aqli (nash dan akal). Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kesalahan
apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga salah
apabila kita larut tidak terkendali menggunakan rasio (‘aql). Menggunakan ‘aql sama
pentingnya dengan menggunakan naql. Sebab akal yang dimiliki oleh manusia juga
berasal dari Allah, karena itu dalam al Qur’an Allah memerintahkan umat Islam untuk
menggunakan akal dalam memahami tanda-tanda (al ayat) kekuasaan Allah yang
terdapat di alam raya.
Dalam al Qur’an misalnya ada kalimat “liqaumin yatafakkarun, liqaumin
ya’qilun, liqaumin yatadzakkarun, la’allakum tasykurun, la’allakum tahtadun” dan lain
sebagainya. Artinya bahwa penggunaan akal itu, semuanya diperuntukkan agar
manusia memperteguh iman dan taqwanya kepada Allah SWT. Yang sedikit
membedakan dengan Asy’ariyah adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal
terhadap wahyu. Menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima panuh. Tapi jika terjadi
perbedaan antara wahyu dan akal, maka akal harus berperan mentakwilkannya.
Terhadap ayat-ayat tasjim (Allah bertubuh) atau tasybih (Allah serupa makhluk) harus
ditafsirkan dengan arti majazi (kiasan). Contoh seperti lafal “yadullah” yang arti aslinya
“tangan Allah” ditakwil menjadi “kekuasaan Allah”. Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan
Asy’ariyah samasama menerimanya. Namun, sifat-sifat itu bukan sesuatu yang berada
diluar dzat_Nya. Sifat tidak sama dengan dzat, tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya,
Tuhan Maha Mengetahui bukanlah dengan dzat_Nya, tetapi dengan pengetahuan
(‘ilm)_Nya (ya’lamu bi ‘ilmihi).
Dalam persoalan “kekuasaan” dan “kehendak” (qudrah dan iradah) Tuhan,
Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh
Tuhan sendiri. Jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan tuhan tidak dapat paksa
atau terpaksa berbuat apa yang dikehendaki_Nya. Misalnya Allah menjanjikan orang
baik masuk surge, orang jahat masuk neraka, maka Allah akan menepati janji-janji
tersebut. Tapi dalam hal ini, manusia diberikan kebebasan oleh Allah menggunakan
daya untuk memilih antara yang baik dan yang buruk. Itulah keadilan Tuhan. Karena
manusia diberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, maka menurut Maturidiyah,
perbuatan itu tetap diciptakan oleh Tuhan. Sehingga perbuatan manusia sebagai
perbuatan bersama antara manusia dan Tuhan. Allah yang mencipta dan menusia

6
meng-kasab-nya. Dengan begitu manusia yang dikehendaki adalah manusia selalu
kreatif, tetapi kreatif itu tidak menjadikan makhluk sombong karena merasa mampu
menciptakan dan mewujudkan. Tetapi manusia yang kreatif dan pandai bersyukur.
Karena kemampuannya melakukan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah.

C. Spirit Ajaran Asy’ariyah dan Maturidiyah


Munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan upaya pendamaian antara
kelompok Jabariyah yang fatalistik dan Qadariyah (yang dilanjutkan oleh Mu’tazilah)
yang mengagung-agungkan manusia sebagai penentu seluruh kehidupannya. Sikap
moderatisme keduanya merupakan ciri utama dari kaum Ahlussunnah wal Jama’ah
dalam beraqidah.
Sikap Tawasuth ini diperlukan dalam rangka untuk merealisasikan amar ma’ruf
nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak. Yang prinsip bagi
Aswaja adalah berhasilnya nilai-nilai syari’at Islam dijalankan oleh masyarakat, sedang
cara yang dilakukan harus menyesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat
setempat. Aswaja menolak ajaran-ajaran aqidah yang dimiliki oleh garis keras. Seperti
Mu’tazilah yang memaksakan ajarannya kepada orang lain dengan cara keras. Apabila
orang lain tidak sepaham, dituduh musyrik dan harus dihukum. Contoh, kasus mihnah.
Pada kasus itu, pemaksaan orang-orang Mu’tazilah kepada kaum muslimin untuk
mengakui bahwa AlQur’an itu baru atau hadits. Karena itu, apabila terdapat kelompok
garis keras, seperti FPI, yang suka menyelesaikan persoalan kemungkaran publik
dengan kekerasan dan pemaksaan bahkan dengan pengrusakan, itu bukanlah tabiat
kaum Aswaja an-Nahdliyah.
Ajaran Aswaja juga menolak kelompok-kelompok yang menutup diri dari
golongan mayoritas kaum muslimin (jama’atul muslimin), seperti yang ditunjukkan oleh
kelompok Syi’ah dan Khawarij. Sekarang terdapat kelompok tertentu, seperti LDII, dan
sebagainya yang selalu menutup diri dari mayoritas umat Islam, itu bukanlah tabiat
kaum Aswaja anNahdliyah. Sebab kaum Aswaja adalah kaum yang selalu diikuti oleh
mayoritas dan dapat menerima masukan-masukan dari dalam dan luar untuk mencapai
kebaikan yang utama. Prinsipnya adalah al-muhafadzatu ‘alal qadimi alshalih wa al-
akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik).

D. Strategi Dakwah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia


Penyebaran agama Islam di Indonesia pada masa permulaan itu benar-benar
murni berdakwah. Aktivitas dakwah yang mereka lakukan semata-mata termotivasi oleh
seruan agama dan panggilan Nurani bahwa setiap muslim adalah mubaligh bagi
agamanya. Mereka tidak mendapatkan imbalan materi sehingga mereka berdakwah
sambil berdagang untuk menghidupi diri dan keluarganya. Dalam melakukan kegiatan
dakwah, mereka juga dibekali ilmu agama yang cukup matang disertai dengan metode
dakwah yang variatif dan luwes.
Ada beberapa strategi dan upaya yang dilakukan untuk mencapai keberhasilan
dakwah, sambil memahami karakter dan budaya bangsa Indonesia. Dalam
menyebarkan agama Islam, para mubaligh tidak enggan menggunakan
produk-produk seni dan budaya lokal. Bentuk-bentuk seni dan budaya lokal

7
itu dijadikan sebagai salah satu sarana dakwah agar masyarakat dapat
memahami ajaran Islam melalui apa yang selama ini menjadi kegemarannya.
Diantara produk seni dan budaya lokal yang digunakan sebagai media dakwah
adalah Wayang Purwo yang sangat disukai oleh masyarakat Jawa pada masa itu.
Inisiatif menggunakan wayang purwo sebagai media dakwah muncul dari
Sunan Kalijaga. ide cerdas ini kemudian disepakati para Wali Songo, karena
dimodifikasi baik bentuk maupun isi cerita (lakon)nya, agar tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh Sunan Kalijaga, wayang Purwo tersebut
dimodifikasi menjadi wayang kulit dengan isi cerita yang bernafaskan Islam. misalnya,
dalam cerita Jimat Kalimosodo diungkapkan bahwa setiap orang yang memiliki Jimat
Kalimosodo Niscaya akan selamat hidupnya di dunia maupun di akhirat. Jimat
Kalimosodo merupakan ungkapan simbolis tentang dua kalimat syahadat.
Para mubaligh menggubah gending-gending yang syair-syairnya
bernuansa Islami, bermuatan pendidikan dan falsafah kehidupan, dan lain-
lain. sebagai contoh, Sunan Giri menggubah Gending Asmarandana, Pucung, dan
Lir-Ilir. Sunan Kudus mengubah Gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Muria
menggubah Gending Sinom dan Kinanti. Sunan Drajat menggubah Gending Pangkur
yang sebagian alat musiknya masih disimpan di Museum Sunan Drajat, Lamongan Jawa
Timur.
Di samping seni dan budaya, Proses Islamisasi di Indonesia juga
dilakukan dengan menggunakan pendekatan tradisi dan adat istiadat
setempat. tradisi kenduri dan selamatan untuk orang-orang yang telah
meninggal dunia tetap dilestarikan, karena tidak bertentangan secara
diameter dengan syariat Islam.
Islam itu sebagai agama rahmatan lil ‘alamin,Sehingga mesti
bersikap luwes terhadap unsur-unsur budaya lokal yang telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat sejak mereka dilahirkan.
Strategi lain yang digunakan oleh para mubaligh di Indonesia adalah
penyebaran Islam melalui pendekatan tasawuf, terutama bagi mereka yang sebelumnya
telah memiliki dasar-dasar ajaran kebatinan, apalagi jika dilihat dari sifat dan watak
para ahli tasawuf yang lebih kompromistis, telaten, ramah, dan penuh rasa kasih
sayang.
Dalam upaya mengajarkan agama Islam, strategi dakwah yang dilakukan oleh
para mubaligh adalah kegiatan pendidikan. tidak diketahui secara pasti Bagaimana
pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia pada masa permulaan beberapa literatur
sejarah pendidikan Islam menginformasikan bahwa pendidikan Islam di Indonesia pada
masa permulaan berlangsung sangat sederhana, yakni pengajaran agama diberikan
dengan sistem halaqoh di tempat-tempat ibadah dan di rumah-rumah para mubaligh.
Materi pembelajaran dimulai dari hal-hal yang paling mudah, kemudian dilanjutkan
dengan pengenalan rukun Islam, cara ibadah yang benar, dan baca tulis Alquran. Model
pembelajaran inilah yang secara berangsur-angsur telah membentuk masyarakat
muslim Indonesia yang mampu memahami, menghayati, dan dan mengamalkan ajaran
agamanya, sehingga Islam menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia.

8
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
PERTEMUAN 04

1. Biografi KH. M. Hasyim Asy’ari


M. Hasyim Asy’ari adalah salah satu ulama besar Indonesia yang dikenal sebagai
pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Pesantren Tebuireng Jombang. Beliau juga merupakan
pahlawan nasional yang berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Latar Belakang Keluarga dan Keturunan


M. Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 (24 Dzulqaidah 1287H) di Pesantren
Gedang, Tambakrejo, Jombang . Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara dari
pasangan KH. Asy’ari pemimpin Pesantren Keras, Jombang dan Nyai Halimah . Dari nasab
ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah. Beliau
juga merupakan keturunan dari Sunan Giri, salah satu wali penyebar Islam di Jawa . Dari
nasab ibunya, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan dari Raja Brawijaya VI (Lembu
Peteng), raja terakhir Kerajaan Majapahit yang kemudian masuk Islam dan berganti nama
menjadi Pangeran Benawa atau Jaka Tingkir . Dengan demikian, KH. Hasyim Asy’ari
mewarisi darah biru (ningrat) dan darah putih (ulama) dalam dirinya.

Pendidikan dan Perjalanan Ilmiah


Sejak masa kanak-kanak, KH. Hasyim Asy’ari hidup dalam lingkungan pesantren
tradisional. Beliau belajar dasar-dasar agama Islam dari ayahnya di Pesantren Keras. Pada
usia 15 tahun, beliau mulai merantau untuk menuntut ilmu di berbagai pesantren ternama
di Jawa, seperti Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pesantren Tambakberas (Jombang),
Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Cepoko (Ngawi), dan Pesantren Sarang (Rembang) .
Pada usia 21 tahun, KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah, putri dari Kiai Ya’qub
Siwalan Panji . Tidak lama kemudian, beliau bersama istri dan mertuanya berangkat ke
Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Di sana, beliau melanjutkan belajar kepada ulama-
ulama terkemuka, seperti Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Muhammad Salih
al-Samarqandi, Syaikh Thahir alJa’fari, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, dan Syaikh Muhammad
Mahfuzh al-Tarmasi . Selama di Makkah, KH. Hasyim Asy’ari juga mengajar di Masjidil
Haram dan mendapat gelar Syaikhul Haram. Beliau juga menulis beberapa karya ilmiah,
seperti Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Al-Imam al-Ghazali wa Arauhu al-Kalamiah.
Setelah 4 tahun di Makkah, beliau kembali ke tanah air dan mendirikan Pesantren Tebuireng
pada tahun 1899 .

Peran dan Perjuangan


Hasyim Asy’ari tidak hanya dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai bidang
ilmu, tetapi juga sebagai pejuang yang gigih membela agama dan bangsa. Beliau aktif
menghadapi penjajahan kolonial Belanda dengan cara-cara yang sesuai dengan syariat
Islam. Salah satu perjuangan KH. Hasyim Asy’ari adalah mendirikan organisasi Nahdlatul
Ulama (NU) pada tahun 1926 . Organisasi ini bertujuan untuk menjaga kemurnian ajaran
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, mempererat persatuan umat Islam, dan menggalang
perlawanan terhadap penjajah.

9
NU kemudian berkembang menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan
jutaan anggota dan ratusan ribu pengurus di seluruh pelosok negeri. Selain itu, KH. Hasyim
Asy’ari juga turut serta dalam pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Beliau menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
merupakan lembaga legislatif pertama Republik Indonesia. Beliau juga mengeluarkan fatwa
jihad untuk melawan agresi militer Belanda pada tahun 1948. Fatwa ini menjadi semangat
bagi para pejuang kemerdekaan untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.

Wafat dan Warisan


Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 (7 Jumadil Akhir 1366H) di
Surabaya karena sakit . Jenazah beliau dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng yang
menjadi saksi bisu perjuangan dan pengabdian beliau selama hidupnya . Hasyim Asy’ari
meninggalkan warisan berupa karya-karya ilmiah yang mencapai ratusan judul dalam
berbagai bidang ilmu. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Al-Imam al-Ghazali wa
Arauhu alKalamiah, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, Nadzom al-Ibanah ‘an Usul al-
Diyanah, Al-Tahrir fi Usul al-Fiqh, dan Nadzom Jawahir alTauhid.
Selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga meninggalkan warisan berupa generasi-generasi
ulama dan pemimpin bangsa yang lahir dari Pesantren Tebuireng dan NU. Beberapa di
antaranya adalah KH. Wahid Hasyim (putra beliau yang menjadi menteri agama RI
pertama), KH. Abdurrahman Wahid (cucu beliau yang menjadi presiden RI ke-4), KH. Sahal
Mahfudz (mantan ketua PBNU), KH. Mustofa Bisri (mantan rais aam PBNU), dan masih
banyak lagi.
Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama yang patut dicontoh dan diteladani oleh umat
Islam Indonesia. Beliau telah memberikan sumbangsih besar bagi agama dan bangsa
dengan ilmu, amal, dan jihadnya.

10

Anda mungkin juga menyukai