Anda di halaman 1dari 31

RESUME ASWAJA

Dosen pengampu

TGH. Lalu Sohimun Faisol,

DISUSUN OLEH

NAMA :

NIM :

PRODI S1 FARMASI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA

NUSA TENGGARA BARAT

2021
BAB I

PENGERTIAN AHLUSSUNNA WAL JAMA’AH

A. Pengertian Aswaja menurut bahasa


Ada 3 kata yang memiliki istilah tersebut yaitu Ahl, As-
sunnah dan Jamaah. Ahl  secara bahasa berarti keluarga, pengikut atau
penduduk. Sedangkan As-Sunnah secara bahasa bermakna jalan, cara atau
perilaku. Sedangkan jamaah  berarti orang banyak atau sekelompok
manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Jamaah juga bisa
didefinisikan sebagai kaum yang bersepakat dalam suatu masalah, atau
orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektivitas dalam
mencapai satu tujuan.
B. Pengertian Aswaja menurut istilah
 Yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama‟ah (Aswaja) adalah
golongan atau orang-orang yang selalu setia mengikuti atau berpegang
teguh pada sunnah Rasulullah SAW sebagai yang dipraktikkan bersama
sahabat. Artinya : Apa yang aku berada di atasnya sekarang bersama
sahabat- sahabatku
BAB II
ASWAJA DAN PARA TOKOH-TOKOHNYA

A. Sejarah munculnya istilah Aswaja


Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap
faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis
Islam” yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi
Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis.
Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham
Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung
faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri,
bukan diciptakan Tuhan.
Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha
mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara
total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana
mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau
kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan
manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan.
Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa
(mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok
ini cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah
berfikir rasionalistik.
B. Aswaja dari segi aqidah beserta tokoh-tokohnya
Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut,
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-
Maturidi (W333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua
kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW kepada para sahabatnya.
Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil
jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu
diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah pengikut faham
Mu’tazilah. Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan
ditambah dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi
SAW  berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits
(al-Sunnah), bukan mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham
Mu’tazilah.
Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam
sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para
sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-
Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena
faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan istilah al-
Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun.
Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas umat
Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-
wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat
kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan
sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada
perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam
masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham
Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah.
(Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-
Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi Aswaja
secara lebih luas).
C. Aswaja dari segi fiqih beserta tokoh-tokohnya
Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat.
Seluruh ummat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa
Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad Ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid.
Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka.
Maka ahli fiqih memfatwakan bagi umat Islam wajib mengikuti salah satu
madzhab yang empat tersebut.
1. Madzhab Imam Hanafi
Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-
Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat
pada tahun 150 H.
Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits
yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan
Qiyas. Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud
dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim
pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.
Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah
pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa
pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk
menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang,
madzhab ini lahir di Kufah.
2. Madzhab Imam Maliki
Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia
dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H.
Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW
hidup di kota tersebut. Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli
Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah
daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan).
Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak
menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli
Madinah termasuk hadits mutawatir.
Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara
lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan
cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena
hormat kepada makam Rasul.
3. Madzhab Imam Syafi’i
Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-
Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H
dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan
madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari
ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar
menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab
qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.
Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an
umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir
di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.
4. Mazhab Imam Hanbali
Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin
Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H.
Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan
tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir. Menurut
beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan
yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau
tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat
banyak dan tersebar luas.
D. Ormas Aswaja
Organisasi Ahlusunnah Wal Jama’ah di Indonesia
Alkhairaat – Organisasi masyarakat (Ormas) yang terafiliasi di dalam
aliran atau paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Sunni) tidak terbatas pada
dua organisasi Islam: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Sebagai negara kepulauan dengan 88 persen dari total jumlah penduduk
270 juta jiwa merupakan Muslim, ormas Islam Sunni di Indonesia sangat
banyak.
Nyaris setiap pulau di Indonesia memiliki ormas tersendiri yang
mewakili aspirasi lokal penduduk Muslim setempat. Di antaranya :
1. Al-Jam’iyah Al-Khairiyyah atau Jami’at Khair
Jamiat Khair adalah ormas Islam pertama yang didirikan di
Indonesia pada tahun 1901, akan tetapi baru mendapatkan izin resmi
dari Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juli 1905 di Jakarta. Pada
tahun tahun 1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk
diakui sebagai sebuah organisasi atau perkumpulan dan tahun 1905
permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan
catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di Batavia.
Jamiat Khair sejatinya merupakan organisasi yang terbuka bagi
siapapun, meski mayoritas anggotanya merupakan orang-orang Arab
keturunan yang telah lahir di Indonesia. Beberapa tokoh non Arab
yang tercatat pernah menjadi anggota organisasi ini adalah K.H.
Ahmad Dahlan dan Raden Hassan Djajadiningrat.
Jamiat Khair didirikan oleh Habib Abubakar bin Muhammad
Alhabsyi, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab,
Sayid Muhammad Al-Fakir bin Abn Al Rahman Al Mansyur, Sayid
Idrus bin Ahmad Shahab, Sayid Ali bin Ahmad Shahab, Habib
Abubakar bin Abdullah Alatas, Sayid Muhammad bin Abdurrahman
Shahab dan Sayid Syechan bin Ahmad Shahab.
Kongres pertama Jamiatul Khair dilaksanakan pada tahun 1911
M. Salah satu keputusan penting hasil kongres ini adalah
mendatangkan guru-guru agama dari Timur Tengah ke Indonesia.
Selain mendirikan madrasah, pada tahun 1913 M, Jamiatul Khair
mendirikan Panti Asuhan Darul Aitam. Habib Abu Bakar Alhabsyi
bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra
(awlad) di Jl. Karet dan untuk putri (banat) di Jl. Kebon Melati dan di
cabang Jamiatul Khair di Tanah Tinggi, Senen, Jakarta. Bersamaan
dengan itu, sekolah-sekolah untuk anak-anak yatim turut dibuka.
Selain dua tokoh nasional yang telah disebutkan di atas,
organisasi Jamiatul Khair dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh
Islam, antara lain Kyai HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam),
H. Samanhudi (tokoh Sarekat Dagang Islam), H. Agus Salim, dan
Habib Idrus bin Salim Aljufri (pendiri Alkhairaat).
2. Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 18
Novermber 1912 atau bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330.
Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung
Kauman, Kota Yogyakarta.
Pada masa kepemimpinannya (1912-1923), Muhammadiyah telah
memiliki cabang di sejumlah kota di Pulau Jawa, seperti Surakarta dan
Pekalongan. Tahun 1925, cabang Muhammadiyah berkembang ke
Sumatera Barat berkat peran ayah Hamka, yaitu Haji Abdul Karim
Amrullah. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, hingga tahun 1938,
Muhammadiyah telah memiliki cabang hampir di seluruh kota besar di
Indonesia.
Fokus utama Muhammadiyah adalah meluruskan kesalah
pahaman ajaran Islam di tengah masyarakat melalui dakwah dan
pembukaan lembaga pendidikan serta usaha-usaha amal, seperti rumah
sakit dalam bidang kesehatan dan lembaga wakaf untuk
pengembangan ekonomi umat.
3. Mathla’ul Anwar
Mathla’ul Anwar (MA) adalah lembaga pendidikan yang didirkan
oleh Abdurahman bin Jamal, TB Sholeh Kananga, Kiai Yasin
kemudian Kiai Arsyad, dan Kiai Rusdi pada tahun 1916 M. Lembaga
pendidikan Mathla’ul Anwar berpusat di Banten dan berumur 10 tahun
lebih tua dari NU. Salah satu kader Mathla’ul Anwar adalah Menteri
Agama Fachrul Razi Batubara.

4. Nahdlatul Ulama
Sebelum berdirinya NU, K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Mas
Mansur mendirikan Nahdlatul Wathan berbeda dengan lembaga
bernama serupa yang didirikan Tuan Guru Kiai Haji (TGKH)
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Lombok, Nusa Tenggara
Timur.
Ahmad Zahro dalam buku “Tradisi Intelektual NU: Lajnah
Bahtsul Masail 1926-1999 (2004), Kiyai Wahab mendirikan Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan tanah air) pada tahun 1914.
Martin van Brulnessen dalam buku berjudul NU: Tradisi, Relasi-
relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut bahwa, boleh
dibilang, Nahdlatul Wathan merupakan sebuah lembaga pendidikan
agama bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara.
Pada tahun 1916, Nahdlatul Wathan semakin berkembang dengan
memiliki beberapa madrasah dan gedung di Surabaya, serta cabang-
cabang di daerah Malang, Semarang, Gresik, dan Jombang.
Dikutip dari buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985)
karya Choirul Anam, pada tahun 1918, K.H. Wahab Chasbullah
menggagas satu organisasi yang diberi nama Nahdlatul Tujjar atau
“kebangkitan para pedagang”.
Pada tanggal 31 Januari 1926, dikutip dari K.H. Abdul Wahab
Hasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972) karya Saifuddin Zuhri, para
kiai berkumpul di kediaman Kiai Wahab dan memutuskan membentuk
suatu organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
yang dinamakan Nahdlatul Ulama atau “kebangkitan para ulama”.
Tanggal 31 Januari 1926 ditetapkan sebagai hari lahir NU.
5. Rabithah Alawiyah
Rabitah Alawiyah adalah suatu organisasi massa Islam yang
bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Pada umumnya organisasi
ini menghimpun WNI keturunan Arab, khususnya yang memiliki
keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW.
Organisasi ini berdiri pada tanggal 27 Desember 1928 tidak lama
setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
6. Alkhairaat
Habib Idrus bin Salim Aljufri atau yang dikenal dengan panggilan
Guru Tua pernah mengajar di Jamiatul Khair dan Pondok Pesantren
Jombang, Tebu Ireng.
Kedatangan Guru Tua di Wani, Kabupaten Donggala pada tahun
1929, atas usulan saudara beliau, dan permintaan saudara beliau,
Sayyid Alwi bin Salim Al-Jufri dan masyarakat Wani yang ingin
belajar ilmu agama.
Madrasah pertama yang didirikan di Wani bernama Al-Hidayah.
Nama ini merujuk kepada madrasah Al-Hidayah milik Al-Habib Abu
bakar bin Shofi Alhabsyi yang ada di Makassar dan telah mempunyai
cabang di Kabupaten Touna, Ampana, Kabupaten Banggai, Luwuk,
Provinsi gorontalo, dan Provinsi Ternate.
Guru Tua akhirnya pindah ke Lembah Palu (Kota Palu) pada
tahun 1930. Beliau menetap di Ujuna, dan mengajar di Kampung
Baru, dirumah H. Daeng Marocca, sepupu dari istri beliau, Hj. Ince
Ami binti Daeng Sute hingga menetap di Kampung Baru.
Pada akhir tahun 1930, Guru Tua kemudian mendirikan madrasah
yang diberi nama Alkhairaat.
Hj. Ince Ami yang merupakan keluarga raja dan bangsawan
mempunyai kekerabatan dengan raja di Parigi dan Sigi. Dengan
bantuan kakaknya yang merupakan Ketua Sarekat Islam pertama di
Sulawesi Tengah, Alkhairaat pun semakin berkembang dan menjadi
organisasi yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Sosial dan
Dakwah.
Beberapa kader Alkhairaat:
Dr.H.Salim Segaf Al-Jufri,Lc.,M.A., Ketua Majelis Syuro Partai
Keadilan Sejahtera Prof.Dr.Ir. Fadel Muhammad Al-Haddar, Pimpinan
Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) periode 2019-2024.
Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, MA, Ketua MUI Pusat Bidang
Dakwah.
Sakinah Aljufri, S.Ag., Anggota DPR-RI periode 2019-2024
7. Jamiyatul Wasliyah
Jamiyatul Washliyah atau kerap disingkat Al Washliyah dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah kerap disingkat PERTI merupakan dua
Ormas Aswaja yang berdiri pada 30 November 1930 M. Pendiri
Jamiyatul Wasliyah adalah Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Ismail
Banda, dan Abdurrahman Syihab.
Jamiyatul Wasliyah dan PERTI berbasis di Sumatera. Di antara
kader Al Washliyah saat ini adalah Tengku Zulkarnaen dan Ustad
Abdul Somad Batubara.
8. Nahdlatul Wathan
Nahdlatul Wathan (NW) adalah Ormas yang didirikan pada
tanggal 1 Maret tahun 1953 Masehi atau tanggal 15 Jumadil Akhir
1372 Hijriyah oleh Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul
Majid yang dijuluki Tuan Guru Pancor.
Julukan Tuan Guru Pancor berasal dari nama daerah organisasi
ini pertama kali didrikan yaitu, Pancor, Kabupaten Lombok Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
9. Front Pembela Islam
Front Pembela Islam (FPI) adalah Ormas yang didirikan dan
dipimpin oleh Habib Muhammad Rizieq Shihab di Jakarta pada
tanggal 17 Agustus 1998 M.
Sejak pertama kali didirikan hingga saat ini FPI telah banyak
berkembang dan mempunyai massa hampir 10 juta orang.
E. Nahdlatul Ulama dan Aswaja
Nahdlatul Ulama (NU) yang berideologi ahlus sunnah wal
jama’ah (aswaja) lahir dengan alasan yang mendasar, antara lain:
 Penjajah Belanda berniat menghancurkan Islam;
 Rasa tanggung-jawab alim ulama sebagai pemimpin umat untuk
memperjuangkan kemerdekaan dan membebaskan dari belenggu
penjajahan;
 Rasa tanggung-jawab alim ulama menjaga ketentraman dan
kedamaian tanah air serta dunia.
Ajaran aswaja ini bersumber dari Al-Qur’an, sunnah,
ijma’ (keputusan-keputusan para ulama), dan Qiyas (kasus-kasus yang ada
dalam cerita al-Qur’an dan Hadits). Adapun substansi mendasar
dari aswaja ini terletak pada:
 Hukum Islam (empat madzhab, yaitu: Hanafi; Maliki; Syafi’i; dan
Hambali), NU cenderung kepada Madzhab Syafi’i.
 Ketuhanan (tauhid), NU menganut ajaran dari Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi.
 Tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran dari Imam Abu Qosim Al-
Junaidi.
Nahdlatul Ulama (NU) lahir dikala Kekhalifahan Islamiyah di seluruh
dunia diambang kehancuran. Tepatnya 31 Januari 1926 bertempat di
kediaman K.H. Wahab Chasbullah di Surabaya, pertemuan disepakati
bersama seluruh ulama dari Jawa dan Madura yang sebelumnya tergabung
dalam beberapa organisasi, diantaranya:
a. Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air);
b. Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Pedagang);
c. Taswirul Afkar(Majelis Diskusi)
Untuk membentuk satu organisasi induk selain sebagai jalan persatuan
ulama juga agar dapat fokus dalam berjuang maka dibentuklah Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) yang kini menjadi rumah kita secara sosial
dan spiritual.
Nyatanya, agenda pertemuan ini adalah memilih ulama yang menjadi
delegasi kaum Islam Jawa-Madura (ulama-ulama ini saat itu disebut
sebagai golongan Islam Tradisional) untuk menghadiri Komite Hijaz di
Mekkah (forum internasional).
Kemudian alih-alih mengatasnamakan organisasi yang embrionya
sudah ada mereka lebih bersepakat untuk membentuk Nahdlatul Ulama,
hal ini disebabkan karena para ulama yang tergabung dalam Sarekat Islam
(SI) terpecah atas dasar ideologi maupun praktek keagamaan sedangkan
Sarekat Islam (SI) sendiri dalam prinsipnya tidak mau mencampuri urusan
hal semacam itu di antara anggotanya demi persatuan organisasi Islam kala
itu.
Ulama-ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) kemudian
menetapkan anggaran dasar di tahun 1927, adapun kegiatan pokok yang
dilaksanakan, yaitu:
 Memperkuat persatuan antara sesama ulama yang masih setia
kepada ajaran-ajaran empat madzhab;
 Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan
pada lembaga-lembaga pendidikan Islam;
 Penyebaran-penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan
Madzhab Syafi’i;
 Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasi di
dalamnya;
 Membantu pembangunan masjid, langgar, dan pondok pesantren;
 Membantu anak-anak yatim-piatu dan fakir-miskin untuk
memperoleh pendidikan.
Secara langsung NU dengan kegiatan pokok yang termaktub dalam
anggaran dasarnya bertujuan memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada
salah satu dari empat madzhab dan melakukan kegiatan-kegiatan sesuai
dengan ajaran-ajaran Islam secara sosial dan keagamaan.
Nahdlatul Ulama (NU) menekankan akan pelestarian budaya setempat
seperti halnya dakwah yang dilakukan oleh para wali. Akulturasi budaya
lokal dengan nilai-nilai Islam diharapkan dapat terwujud sebagai jalan
dakwah, sebagaimana Islam agama pembawa berkah bagi semesta alam
(makhluk dan wilayah).
Dengan memahami pluralisme masyarakat nusantara, NU
menghindari pendekatan negasional sehingga secara organisasi maupun
ajarannya tidak menimbulkan ancaman baik fisik maupun psikis bagi
komunitas lainnya. Dalam konteks pluralisme, NU hadir dengan dua hal,
yaitu:
1. Perekatan identitas kebangsaan. Seperti halnya para wali, NU masuk
melalui jalur budaya dengan membawa watak pluralis, hampir tidak
ada komunitas budaya yang merasa terancam eksistensinya. Hal ini
ada dalam kaidah hukum islam “al’adah muhakkamah” yang memberi
peluang besar pada tradisi apapun untuk dikonversi menjadi bagian
hukum Islam. Selama tidak menyangkut ibadah mahdah (shalat, puasa
dan semacamnya) aktifitas budaya sangat mungkin dinilai sebagai
kegiatan yang bermuatan agama jika memang berperan menegakkan
perinsip-prinsip yang diperjuangkan Islam. Bahkan dalam batas
minimal, aktifitas budaya tersebut tidak akan dilarang selama tidak
merusak kemaslahatan umat.
2. Pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti yang dicontohkan
Nabi Muhammad SAW bahwa penampilan Islam yang akomodatif
secara tidak langsung akan berdampak positif bagi upaya penegakan
nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan dengan sikap kolot dan kaku
dalam aktifitas beragama, pemahaman kaku akan mereduksi hak-hak
asasi dan cenderung pada eklusifitas yang berpotensi memonopoli
agama (bahkan kebenaran) serta mudah menyulut resistensi kehidupan
sosial beragama. Lain hal dengan sikap akomodatif justru muncul
sebagai bukti totalitas pemahaman terhadap agama yang diyakini
mampu menjadi rahmat bagi semesta alam. Sikap akomodatif yang
lahir dari kesadaran untuk menghargai perbedaan keberagaman
budaya merupakan tingkat kematangan pola pikir, sikap dan perilaku,
serta kedewasaan psikologis terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Struktur yang ditampilkan Nahdlatul Ulama terdiri dari para kyai yang
merupakan simbiosis ulama. Kyai (ulama) merupakan figur panutan
sekaligus guru dalam kehidupan masyarakat. Menghadapi problem utama
kemasyarakatan, seperti
kemiskinan, kebodohan, degradasi budaya, penyakit sosial,
kesewenang-wenangan penguasa, dan ketimpangan hukum maka
seyogyanya kyai harus tampil di garda depan memeranginya. Sangat naif
bilamana kyai hanya sanggup memberi contoh dalam ritual-ritual
keagamaan dan sekedar memberi tausiah semata. Sebab esensi ibadah
mencakup dua dimensi, yaitu: Dimensi ubudiyah,
hubungan individu dengan Allah SWT; Dimensi mu’amalah,
hubungan manusia dengan manusia lainnya (aspek sosial). Kedua dimensi
tersebut harus berjalan simultan tanpa condong satu sisi. Kyai (ulama)
merupakan pewaris ajaran Nabi Muhammad SAW (warasatul anbiya’ wal
mursalin) maka yang bertanggung-jawab atas permasalahan sosial di garda
depan dalam mengemban misi kenabian sepatutnya adalah para kyai
(ulama).
Hingga pada usia ke-95 tahun, Nahdlatul Ulama selayaknya di awal
pendirian masih ditopang oleh peran kyai (ulama) dan komunitas
pesantren. Namun jarang sekali diangkat yang peranannya sangat krusial
dalam pergerakan NU baik itu secara kelembagaan internal maupun politik
praktis dalam sistem bernegara, adalah masyarakat akar rumput (petani,
nelayan, dan pedagang kecil) yang kini disebut sebagai warga NU
(Nahdliyyin) secara sosial mampu menjadi basis kekuatan.
Eksistensi Nahdliyyin terpinggirkan dalam hal kesejahteraan maupun
akses hak hidup mendasar lainnya, walaupun NU sudah memiliki divisi-
divisi yang fokus mengurus hal demikian namun nyatanya kurang
maksimal dalam tataran di lapangan. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
milik umat bukan milik perseorangan/kelompok apalagi milik partai
politik seperti tertuang dalam khittah  NU 1926, selayaknya lebih
mengedepankan perjuangan untuk kemaslahatan umat dan menciptakan
ketentraman berbangsa-bernegara sesuai ahlus sunnah wal
jama’ah (aswaja).
Di hari lahir Nahdlatul Ulama yang dalam situasi serba kompleks era
ini semoga mampu untuk tetap menyebarkan aswaja dan meneguhkan
komitmen kebangsaan. Terima kasih kepada semua Nahdliyyin yang telah
menguatkan dan mengupayakan cita-cita NU demi kejayaan Islam dan
keberkahan Indonesia.
BAB III
DASAR-DASAR ASWAJA
A. Dasar Aswaja Akidah
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep
Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam,
masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita
(tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum
yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk
pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan
ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan
serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan
dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan
firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.
Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah: Di antara nama-nama
‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1. Al-Iman ‘Aqidah
Disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan
dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal
yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam
sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril
Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut
istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.[5]
2. ‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan
istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam
kitab-kitab mereka.[6].
3. Tauhid ‘Aqidah
Dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar
seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah,
Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian
ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya.
Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara
umum menurut ulama Salaf.[7]
4. As-Sunnah As-Sunnah
Artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para
penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di
dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur
(populer) pada tiga generasi pertama.[8].
5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah Ushul
Artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-
masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para
ulama.[9]
6. Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul
Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]
7. Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk,
terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah
‘aqidah).[11]
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling
terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan
‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah,
seperti sebagian aliran Asyaa’irah(Asy’ariyyah), terutama para ahli
hadits dari kalangan mereka.
B. Dasar Aswaja Fiqih
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal
Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam
pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang
merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk
berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-
Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang
kafir”. Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama
manusia “Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut
apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang
fasik”. Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-
larangan Allah.
2. Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah
SAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan
Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-
Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-
Hasyr ayat 7, sebagai berikut “Dan kami turunkan kepadamu Al-
Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah
menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
3. Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu
hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa
hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali
kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan
kepada para sahabatnya dan para Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2
macam :
 Ijma’ Bayani
Ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya
baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan
kesepakatannya.
 Ijma’ Sukuti
Ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya
dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju,
bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk
diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan.
Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi
ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’
Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam
maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan
mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (‫االمر منكم‬VV‫اولى‬  )
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-
Nya dan Ulil Amri di antara kamu”. Dan para Sahabat pernah
melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada
dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W.
Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika
mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat
Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai
sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal
466. “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas
kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka
apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau
berpihak kepada golongan yang terbanyak”.
4. Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata
itu berasal dari kata Qasa (‫ا س‬VVV‫ق‬  ). Yang disebut Qiyas ialah
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena
adanya sebab yang antara keduanya.
Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-
sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti
disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu
al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-
Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab
atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya,
sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib
dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama
beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai
makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam
syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman : “Ambilah
ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan”. (Al-Hasyr : 2)
. “Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW
mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau
menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz
menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah?
Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi
bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan
dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan
pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka
Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata;
Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan
Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas
dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an : “Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu
sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang
seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua
orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih
mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka
dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’
dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
C. Dasar Taswuf Aswaja
Dalam bidang tasawuf, golongan Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja)
memegang teguh prinsip-prinsip dari dua tokoh besar sufi, yaitu Imam al
Junaid al Baghdadi dan Imam al Ghazali. Namun dalam hal ini, penulis
akan memaparkan empat alasan mengapa aliran Aswaja mengambil
konsep sufistik dari imam besar al Junaid al Baghdadi yang
dijuluki Syaikh at Tha’ifah as Sufiyyah wa Sayyiduha (Tuan Guru dan
pemimpin kaum sufi).
Nama lengkapnya adalah Abu al Qasim al Junaid bin Muhammad bin
al Junais al Khazzaz al Qawariri al Nahawandi al Baghdadi. Dari namanya
bisa diketahui bahwa Imam Junaid berasal dari Baghdad dan diketahui
wafat  pada 297 H/910 M. Dalam kesehariaannya Imam Junaid bekerja
sebagai pedagang kain sutera. Ia mendapat kedalaman ilmu di bidang
tasawuf dari gurunya, yaitu Sari bin al Mughallis al Saqathi (w. 253 H/876
M), seorang tokoh sufi terkemuka yang juga saudara kandung dari ibunya,
alias pamannya.
Sejak usia 20 tahun ia mampu mengeluarkan fatwa, dan bahkan jauh
sebelum itu, ketika berusia tujuh tahun, ketika ditanya tentang definisi
syukur, secara tepat ia menjawab: “Jangan sampai anda berbuat maksiat
dengan nikmat yang diberikan Tuhan.”
Menurut sejarawan, terdapat empat faktor mengapa madzhab sufi
yang dibangun Imam al Junaid dijadikan sebagai acuan dan standar dalam
konsep tasawuf ahlussunnah waljama’ah. Diantaranya (1) konsistensi
terhadap Al Quran dan as Sunnah (2) konsistensi terhadap syari’at (3)
kebersihan dalam akidah (4) ajaran tasawuf yang moderat.
 Pertama, konsistensi terhadap Al Quran dan as Sunnah.
Kecerdasannya di bidang studi ilmu Al Quran, hadis dan fikih
memang tidak perlu diragukan lagi. Ia membawa pengaruh positif
terhadap perkembangan ilmu keagamaan pada saat itu. Di antara
perkataan al Junaid yang terkenal dan dijadikan kaidah kalangan sufi
adalah kalimatnya yang berbunyi: “Ilmu kami ini (tasawuf) dibangun
dengan pondasi al Kitab dan Sunnah. Barangsiapa yang belum hafal
Al Quran, belum menulis hadis dan belum belajar ilmu agama secara
mendalam, maka ia tidak bisa dijadikan panutan dalam tasawuf.”
 Kedua, konsistensi terhadap syari’at. al Junaid membangun konsep
tasawufnya di atas pondasi konsistensi terhadap syari’at yang selalu
dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, tasawuf
tidak bisa diikuti sebagian saja sementara sebagian yang lain tidak.
Tasawuf harus diikuti secara komprehensif.
Konsistensi pada syari’at juga dicontohkan sendiri oleh al Junaid. Abu
bakar al ‘Athawi berkata, “Al Junaid tidaklah berhenti shalat dan
membaca Al Qu’an, sedang beliau dalam keadaan sakit keras, hingga
pada waktu beliau menghembuskan nafas yang terakhir, telah
dibacanya 70 ayat dari surat al Baqarah sebagai ulangan membaca
Al Quran kesekian kalianya dalam keadaan sakit.”
 Ketiga, kebersihan akidah. Imam al Junaid membangun madzhab di
atas pondasi akidah yang bersih, yakni akidah Ahlussunnah
Waljama’ah. Tidak sedikit orang pada masanya yang terjerumus pada
akidah menyimpang seperti akidah hululiyah (tuhan menempati
makhluk-Nya), akidah mubahiyyah (membolehkan semua larangan
syari’at, yang luarnya Islam namun batinnya menyimpang dari pokok-
pokok agama).
Akidah yang diajarkan dalam tasawuf al Junaid merupakan ajaran
akidah yang simpel, mudah dicerna, dan bersih dari tajsim, tasybih,
hulul dan ibahi. Salah satu pernyataan al Junaid yang populer dalam
soal akidah adalah salah satunya ketika ditanya tentang tauhid, ia
menjawab, “Tauhid ialah membedakan Dzat yang tidak mempunyai
permulaan dari menyerupai makhluk-Nya yang baru.” Jawaban ini
mengisyaratkan bahwa akidah Ahlussunnah
Waljama’ah  menganut tanzih (menyucikan Tuhan dari menyerupai
makhluk-Nya) dan jauh dari tajsyim dan tasybih.
 Keempat, Tasawufnya yang moderat. Tasawuf yang dibangunnya
ialah tasawuf moderat, yang merupakan ciri khas ajaran Ahlussunnah
Waljama’ah. Dalam hadis dikatakan, “Sebaik-baiknya perkara
adalah yang moderat (khair al umur ausathuha)”. Sayyidina Ali bin
Abi Thalib ra juga mengatakan: “Ikutilah kelompok yang bersikap
moderat, yang dapat diikuti orang-orang dibelakangnya dan menjadi
rujukan orang-orang yang berlebihan (ekstrim).”
Berdasarkan keempat alasan tersebut, menunjukkan bahwa tasawuf
Aswaja dari tasawufnya Imam al Junaidtidak hanya berkonsentrasi pada
perlakuan syariat saja, namun juga berkontribusi aktif dalam memberikan
kemanfaatan kepada sesama manusia.
BAB IV

SIFAT 20 DAN ASMAUL HUSNA

A. Sifat 20
a. 20 Sifat Wajib Bagi Allah
Dalam buku Asmaul Husna & 20 Sifat Allah (2004:5), sifat wajib bagi
Allah artinya sifat yang harus ada pada Allah. .Berikut adalah 20 sifat
wajib bagi Allah dan artinya dalam ajaran Islam.
1. Wujud, artinya ada.
2. Qidam, artinya awal.
3. Baqa’, artinya kekal.
4. Mukholafatul Lilhawaditsi, artinya berbeda dengan ciptaan-
Nya.
5. Qiyamuhu Binafsihi, artinya dapat berdiri sendiri dan tidak
bergantung pada siapapun.
6. Wahdaniyah, artinya esa atau tunggal.
7. Qudrat, artinya berkuasa atas segala sesuatu.
8. Iradat, artinya berkehendak.
9. ‘Ilmun, artinya maha mengetahui.
10. Hayat, artinya maha hidup.
11. Sama’, artinya maha mendengar.
12. Basar, artinya maha melihat.
13. Qalam, artinya berfirman.
14. Qadiran, artinya berkuasa.
15. Muridan, artinya berkehendak.
16. ‘Aliman, artinya mengetahui.
17. Hayyan, artinya hidup.
18. Sami’an, artinya mendengar.
19. Bashiran, artinya melihat.
20. Mutakalliman, artinya berkata atau berfirman.
b. 20 Sifat Mustahil Bagi Allah
Menurut buku Bunga Rampai (2010:146), sifat mustahil adalah sifat
yang tiada ada dzat-Nya. Berikut arti 20 sifat mustahil bagi Allah.
1. Adam, artinya tiada.
2. Huduth, artinya baru.
3. Fana’, artinya binasa.
4. Mumatsalatu lilhawaditsi, artinya menyerupai makhluknya.
5. Qiyamuhu bighayrihi, artinya berdiri dengan yang lain.
6. Ta’addud, artinya lebih dari satu.
7. Ajzun, artinya lemah.
8. Karahah, artinya terpaksa.
9. Jahlun, artinya bodoh.
10. Mautun, artinya mati.
11. Shamamun, artinya tuli.
12. ‘Umyun, artinya buta.
13. Bukmun, artinya bisu.
14. Kaunuhu ‘Ajizan, artinya zat yang lemah.
15. Kaunuhu Karihan, artinya zat yang terpaksa.
16. Kaunuhu Jahilan, artinya zat yang bodoh.
17. Kaunuhu Mayyitan, zat yang mati.
18. Kaunuhu Asshama, artinya zat yang tuli.
19. Kaunuhu ‘Ama, artinya zat yang buta.
20. Kaunuhu Abkama, artinya zat yang bisu.
c. Sifat Jaiz Bagi Allah
Syekh Thahir Al-Jazairi dalam kitab Al Jawahirul Kalamiyah Fi
Idhahil A’qidah Al Islamiyyah menjelaskan makna dari sifat ini. Menurut
beliau, sifat jaiz bagi Allah adalah “melakukan hal-hal yang mungkin dan
(atau) meninggalkannya, seperti dijadikannya manusia itu kaya atau
miskin, sehat atau sakit, dan lain sebagainya”.
Sifat jaiz Allah hanya ada satu, yakni fi'lu kulli mumkinin au tarkuhu
yang artinya Allah mungkin mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya.
Allah SWT menciptakan segala sesuatu tanpa paksaan, sebab Ia
memiliki sifat Qudrat (kuasa) dan Iradath (kehendak). Maka boleh-boleh
saja bagi Allah untuk meniadakan sesuatu sesuai kehendak-Nya.
B. Asmaul Husna
Agama Islam mengajarkan bahwa Allah Swt. memiliki 99 nama
sebagaimana tercantum dalam Al-Quran. Setiap nama tersebut
menjelaskan sifat Allah Swt. yang baik dan indah, sehingga membuat
umat Islam lebih mudah memahami. Allah Swt. mempunyai 99 nama
yang disebut Asmaul Husna. Hal tersebut dijelaskan dalam dalam Al-
Quran surat Al-A’Raf ayat 180.
yang artinya
“Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asmaul Husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyalah artikan nama-nama-Nya.
Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. 7:180)
Dapat disimpulkan, arti Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang
paling baik dan bagus. Dari situs Kementerian Agama, Asmaul Husna
dijelaskan sebagaimana sabda Rasulullah saw. berikut: "Sesungguhnya
Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu,
barangsiapa menghafalnya masuklah dia ke surga." (HR.Bukhari dan
Muslim)Dari Abu Hurairah
1. Al Rahman: Yang Maha Pengasih ُ‫الرَّحْ َمن‬
2. Ar Rahiim: Yang Maha Penyayang ‫ال َّر ِحي ُم‬
3. Al Malik: Yang Maha Merajai atau Memerintah ‫ك‬ ُ ِ‫ْال َمل‬
4. Al Quddus: Yang Maha Suci ُ‫القُ ُّدوس‬ ْ
5. As Salaam: Yang Maha Memberi Kesejahteraan ‫ال َّسالَ ُم‬
6. Al Mu’min: Yang Maha Memberi Keamanan ُ‫ْٱل ُم ْؤ ِمن‬
7. Al Muhaimin: Yang Maha Pemelihara ُ‫ْال ُمهَ ْي ِمن‬
8. Al Aziiz: Yang Maha Gagah ‫ْال َع ِزي ُز‬
9. Al Jabbar: Yang Maha Perkasa ‫ْال َجبَّا ُر‬
10. Al Mutakabbir: Yang Maha Megah ‫ْال ُمتَ َكبِّر‬
11. Al Khaliq: Yang Maha Pencipta ‫ق‬ ُ ِ‫ْال َخال‬
12. Al Baari: Yang Maha Membuat, Membentuk,
Menyeimbangkan ‫ئ‬ ُ ‫ار‬
ِ َ ‫ب‬ ْ
‫ال‬
13. Al Mushawwir: Yang Maha Membentuk Rupa ‫ص ِّو ُر‬ َ ‫ْال ُم‬
14. Al Ghaffar: Yang Maha Pengampun ‫ال َغفا ُر‬ َّ ْ
15. Al Qahhaar: Yang Maha Memaksa ‫ْالقَهَّا ُر‬
16. Al Wahhaab: Yang Maha Pemberi ُ‫ْال َوهَّاب‬
17. Ar Razzaaq: Yang Maha Pemberi Rezeki ‫ق‬ ُ ‫ال َّر َّزا‬
18. Al Fattaah: Yang Maha Pembuka Rahmat ‫ْالفَتَّا ُح‬
19. Al 'Aliim: Yang Maha Mengetahui ‫اَ ْل َعلِ ْي ُم‬
20. Al Qaabidh: Yang Maha Menyempitkan ُ‫ْالقَابِض‬
21. Al Baasith: Yang Maha Melapangkan ُ‫اسط‬ ِ َ‫ْالب‬
22. Al Khaafidh: Yang Maha Merendahkan ُ‫ْالخَافِض‬
23. Ar Raafi: Yang Maha Meninggikan ‫الرَّافِ ُع‬
24. Al Mu'izz: Yang Maha Memuliakan ‫ْال ُم ِع ُّز‬
25. Al Mudzil: Yang Maha Menghinakan ُّ‫ْٱل ُم ِذل‬
26. Al Samii’: Yang Maha Mendengar ‫ال َّس ِمي ُع‬
27. Al Bashiir: Yang Maha Melihat ‫صي ُر‬ ِ َ‫ْالب‬
28. Al Hakam: Yang Maha Menetapkan ‫ْال َح َك ُم‬
29. Al Adl: Yang Maha Adil ‫ْال َع ْد ُل‬
30. Al Lathiif: Yang Maha Lembut ُ‫اللَّ ِطيف‬
31. Al Khabiir: Yang Maha Mengetahui Rahasia ‫ْال َخبِي ُر‬
32. Al Haliim: Yang Maha Penyantun ‫ْال َحلِي ُم‬
33. Al 'Azhiim: Yang Maha Agung ‫ْال َع ِظي ُم‬
34. Al Ghafuur: Yang Maha Pengampun ‫ْال َغفُور‬
35. As Syakuur: Yang Maha Pembalas Budi ‫ال َّش ُكو ُر‬
36. Al Aliy: Yang Maha Tinggi ‫ْال َعلِ ُّي‬
37. Al Kabiir: Yang Maha Besar ‫ْال َكبِي ُر‬
38. Al Hafizh: Yang Maha Menjaga ُ‫ْال َحفِيظ‬
39. Al Muqiit: Yang Maha Pemberi Kecukupan ‫ال ُمقيِت‬
40. Al Hasiib: Yang Maha Membuat Perhitungan ُ‫ْالح ِسيب‬
41. Al Jaliil: Yang Maha Mulia ‫ْال َجلِي ُل‬
42. Al Kariim: Yang Maha Pemurah ‫ْال َك ِري ُم‬
43. Ar Raqiib: Yang Maha Mengawasi ُ‫ال َّرقِيب‬
44. Al Mujiib: Yang Maha Mengabulkan ُ‫ْٱل ُم ِجيب‬
45. Al Waasi: Yang Maha Luas ‫ْال َوا ِس ُع‬
46. Al Hakiim: Yang Maha Bijaksana ‫ْال َح ِكي ُم‬
47. Al Waduud: Yang Maha Pencinta ‫ْال َودُو ُد‬
48. Al Majiid: Yang Maha Mulia ‫ْال َم ِجي ُد‬
49. Al Baa'its: Yang Maha Membangkitkan ‫ث‬ ُ ‫اع‬ ِ َ‫ْالب‬
50. As Syahiid: Yang Maha Menyaksikan ‫ال َّش ِهي ُد‬
51. Al Haqq: Yang Maha Benar ‫ق‬ ُ ‫ْال َح‬
52. Al Wakiil: Yang Maha Memelihara ‫ْال َو ِكي ُل‬
53. Al Qawiyyu: Yang Maha Kuat ‫ي‬ ُ ‫ْالقَ ِو‬
54. Al Matiin: Yang Maha Kokoh ُ‫ْال َمتِين‬
55. Al Waliyy: Yang Maha Melindungi ‫ْال َولِ ُّي‬
56. Al Hamiid: Yang Maha Terpuji ‫ْال َح ِمي ُد‬
57. Al Mushii: Yang Maha Mengkalkulasi ‫صي‬ ِ ْ‫ْال ُمح‬
58. Al Mubdi: Yang Maha Memulai ‫ئ‬ ْ
ُ ‫ال ُم ْب ِد‬
59. Al Mu'id: Yang Maha Mengembalikan Kehidupan ‫ْٱل ُم ِعي ُد‬
60. Al Muhyii: Yang Maha Menghidupkan ‫ْال ُمحْ يِي‬
61. Al Mumiitu: Yang Maha Mematikan ‫يت‬ ُ ‫اَ ْل ُم ِم‬
62. Al Hayyu: Yang Maha Hidup ‫ال َح ُّي‬ ْ
63. Al Qayyuum: Yang Maha Mandiri ‫ْالقَيُّو ُم‬
64. Al Waajid: Yang Maha Penemu ‫ْال َوا ِج ُد‬
65. Al Maajid: Yang Maha Mulia ‫ْال َما ِج ُد‬
66. Al Wahiid: Yang Maha Esa ‫ْالوا ِح ُد‬
67. Al Ahad: Yang Maha Esa ‫اَالَ َح ُد‬
68. As Samad: Yang Maha Dibutuhkan, Tempat Meminta ‫ص َم ُد‬ َّ ‫ال‬
69. Al Qaadir: Yang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan
‫ْالقَا ِد ُر‬
70. Al Muqtadir: Yang Maha Berkuasa ‫ْال ُم ْقتَ ِد ُر‬
71. Al Muqaddim: Yang Maha Mendahulukan ‫ْال ُمقَ ِّد ُم‬
72. Al Mu'akkhir: Yang Maha Mengakhirkan  ‫ْال ُم َؤ ِّخ ُر‬
73. Al Awwal: Yang Maha Awal ‫األ َّو ُل‬
74. Al Aakhir: Yang Maha Akhir ‫اآل ِخ ُر‬
75. Az Zhaahir: Yang Maha Nyata ‫الظَّا ِه ُر‬
76. Al Baathin: Yang Maha Ghaib ُ‫ْالبَا ِطن‬
77. Al Waali: Yang Maha Memerintah ‫ْال َوالِي‬
78. Al Muta'aalii: Yang Maha Tinggi ‫ْال ُمتَ َعالِي‬
79. Al Barri: Yang Maha Penderma ُّ‫ْالبَر‬
80. At Tawwaab: Yang Maha Penerima Tobat ُ‫التَّ َواب‬
81. Al Muntaqim: Yang Maha Penyiksa ‫ْال ُم ْنتَقِ ُم‬
82. Al Afuww: Yang Maha Pemaaf ‫ال َعفُ ُو‬
83. Ar Ra'uuf: Yang Maha Pengasih ُ‫ال َّرؤُوف‬
84. Malikul Mulk: Yang Maha Penguasa Kerajaan Semesta ‫ك‬ ُ ِ‫َمال‬
‫ك‬ ْ ْ
ُ ‫ٱل ُمل‬
85. Dzul Jalaali Wal Ikraam: Yang Maha Pemilik Kebesaran dan
ْ ‫ُذ‬
Kemuliaan ‫وال َجالَ ِل َواإل ْك َر ِام‬
86. Al Muqsith: Yang Maha Adil ُ‫ْال ُم ْق ِسط‬
87. Al Jamii': Yang Maha Mengumpulkan ‫ْال َجا ِم ُع‬
88. Al Ghaniyy: Yang Maha Berkecukupan ‫َني‬ ُّ ‫ْٱلغ‬
89. Al Mughnii: Yang Maha Memberi Kekayaan ‫ْٱل ُم ْغنِ ُّي‬
90. Al Maani: Yang Maha Mencegah ‫اَ ْل َمانِ ُع‬
91. Ad Dhaar: Yang Maha Memberi Derita ‫الضَّا َر‬
92. An Nafii': Yang Maha Memberi Manfaat ‫النَّافِ ُع‬
93. An Nuur: Yang Maha Bercahaya ‫النُّو ُر‬
94. Al Haadii: Yang Maha Pemberi Petunjuk ‫ْالهَا ِدي‬
95. Al Baadii: Yang Maha Pencipta ‫ْالبَ ِدي ُع‬
96. Al Baaqii: Yang Maha Kekal ‫اَ ْلبَاقِي‬
97. Al Waarits: Yang Maha Pewaris ‫ث‬ ُ ‫ار‬ ِ ‫ْال َو‬
98. Ar Rasyiid: Yang Maha Pandai ‫ال َّر ِشي ُد‬
99. As Shabuur: Yang Maha Sabar ‫صبُو ُر‬ َّ ‫ال‬
C. Persamaan dan Perbedaan Sifat 20 dan Asmaul Husna
1. Persamaan
 Sama-sifat mulia Allah SWT
 Sama-sama wajib diimani
 Baik asmaul husna maupun sifat 20 itu tidak membatasi sifat-
sifat Allah dan asma-Nya karena Allah itu maha sempurna.
2. Perbedaan
a. Perbedaan dari segi jumlah
 Sifat 20 ada 20
 Asmaul husna ada 99
b. Sifat 20 ada pembagian-pembagiannya, ada yang wajib, mustahil
dan jaiz. Sedangkan asmaul husna tidak ada yang mustahil (yang
wajib saja).
c. Sifat 20 sudah ada dalam asmaul husna
BAB V
TAUSIAH ULAMA ASWAJA
A. Tausiyah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib
“sesungguhnya Allah menciptakan arsy itu sebagai bukti konkret
kekuasaan-Nya, bukan sebagai tempat bagi zat-Nya.”
Beliau juga berkata Allah atau ada tanpa tempat dan sekarang
sebagaimana adanya dahulu.( Imam Abu Manshur Abdul Qohir Al-
bagdadi. Dalam kitab Al-Farqu bainal Firaq halaman 333)
B. Tausiyah Ja’far As-sadiq( guru Imam Hanafi)
“ Barangsiapa yang menganggap Allah ada pada suatu atau dari
sesuatu atau diatas ssesuatu,, sungguh iatelah syirik sebab jika Allah ada
pada sesuatu berarti Allah itu dikurung, jika Allah berasal dari seuatu
maka Allah itu baharu (makhluk) dan jika Allah ada diatas sesuatu berarti
Allah itu dijunjung atau dipikul.Kitab Risalatul Qusyairiyah karya Imam
Qusyairi
C. Tausiyah Syekh Nawawi Al-Bantani
Apa kata Syaikh Nawawi Al-Banteni tentang aswaja dalam kitabnya
Kasyifatussaja ?
“Barang siapa yang meninggalkan 4 kalimat, maka akan sempurna
imannya”. Diantaranya :

‫أين‬ )a

‫كم‬ )b

‫كيف‬ )c

‫متي‬ )d

1. Jika ada yang bertanya kepadamu “Dimana Allah itu ?”, maka
jawablah : “Allah itu tidak bertempat dan tidak dilintasi zaman
(waktu)”
2. Jika ada yang bertanya kepadamu “Berapa Allah itu ?”, maka
jawablah : “Allah itu esa, tidak dari yang sedikit dan tidak berbilang
(angka)”
3. Jika ada yang bertanya kepadamu “Bagaimana Allah itu ?”, maka
jawablah : “Allah itu tidak ada satupun yang menyamai-Nya”
4. Jika ada yang bertanya kepadamu “Kapan adanya Allah itu ?”, maka
jawablah : “Allah itu tidak berawal tapi tidak berpermulaan dan
berakhir tapi tidak berkesudahan”
Mustahil Allah bersifat “Qidam (terdahulu)”, karena
 Allah itu wajib ada-Nya dan mustahil tidak ada (Wajibul
Wujud), sedangkan
 Makhluk itu bisa ada dan bisa tidak ada (Mumkinul Wujud)

Anda mungkin juga menyukai