Anda di halaman 1dari 10

MATERI ASWAJA

(Oleh Ali Mansur H, Ulfa Amalia, Nur Ilmi K)

A. Latar Belakang

Bagian integral dalam sistem keorganisasian PMII adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah
atau biasa disingkat dengan sebutan aswaja. Aswaja merupakan metode pemahaman dan
pengamalan terhadap keyakinan Tauhid seperti yang tersebut dalam NDP (Nilai Dasar
Pergerakan). Aswaja juga merupakan bagian praktek anggota/kader PMII di kehidupan
sehari-hari. Sehingga Aswaja sangat perlu ditanamkan dalam perilaku pengamalan serta
pemahaman dalam diri masing-masing.
Proses reformulasi Ahlussumnnah Wal Jama’ah telah berjalan hingga sampai saat ini.
KH Said Aqil Siradj pernah menyampaikan gugatan terhadap Aswaja yang diperlakukan
sebagai sebuah madzhab pada tahun 1994. Padahal Aswaja terdapat berbagai madzhab,
khususnya dalam bidang fiqih. Selain gugatan tersebut, banyak gugatan lain yang timbul
sebab perkembangan zaman yang super cepat. Banyak respon kontekstual yang segera
diperlukan. Dari berbagai penelusuran terhadap kandungan Aswaja dan latar belakang yang
telah dijelaskan tersebut, dilahirkanlah sebuah gagasan yang menghimpun rumusan-rumusan
Aswaja yakni gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai manhajul fikr (metode berpikir).
Gagasan tersebut dinilai sangat relevan denga perkembangan zaman yang pesat oleh
PMII, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang masih terkesan kurang
luwes. Sebagai sebuah manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel. Penganutnya juga lebih
leluasa menciptakan ruang kreatifitas dan menumbuhkan bibit-bibit ikhtiar terbaru mengikuti
perkembangan zaman.
Aswaja menjadi sebuah ikon yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
saangat sesuai di segala tempat dan waktu menurut PMII. Turunnya agama Islam tidak
dikhususkan untuk sebuah tempat atau sebuah waktu. Keberadaan agama Islam selalu
dibutuhkan sepanjang masa dan akan terus relevan. Namun makna dan relevansi sangat
bergantung pada pemeluk dan penganutnya, bagaimana cara memperlakukan dan
mengamalkan ajaran agama Islam. PMII melihat bahwasanya Aswaja merupakan gagasan
yang paling tepat jika diamalkan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.

B. Pengertian Aswaja

Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Ada tiga kata yang
membentuk istilah tersebut, yaitu:

1. Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut.


2. Al-Sunnah, secara bahasa bermakna al-thariqah-wa-law-ghaira mardhiyah (jalan atau
cara walaupun tidak diridhoi).
3. Al-Jama’ah, berasal dari kata jama’ah artinya mengumpulkan sesuatu, dengan
mendekatkan sebagian ke sebagian lain. Jama’ah berasal dari kata ijtima’
(perkumpulan).
Jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan dikatakan sekelompok manusia yang
berkumpul berdasarkan satu tujuan.

Secara terminologi, aswaja atau Ahlusunnah wal jama’ah merupakan golongan yang
mengikuti ajaran rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.

Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya Ziyadah at-
Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :

‫أما أهل السنة فهم أهل التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫والخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون و‬
‫المالكيون والحنبليون‬

“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli
fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan
sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama
mengatakan : Sungguh kelompok tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang
empat yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”

Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan pada
paham yang diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang
menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham Qadariyah
dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal). Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal
Jama’ah dinisbatkan pada paham Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.
Menurut KH Bisri Musthofa, definisi Aswaja yaitu, paham yang menganut pola
madzhab fikih yang empat, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki.
Selain itu, Aswaja juga disebut paham yang mengikuti Al-Asy'ari dan Al-Maturidi dalam
bidang akidah. Dalam bidang tasawuf mengikuti Al-Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali.
Sementara, menurut KH Dawam Anwar, memahami Aswaja sebagai Islam itu sendiri,
sehingga kalau ada yang mengatakan bahwa Aswaja itu tidak akomodatif, berarti sama
dengan menuduh Islam tidak akomodatif (tidak sesuai dengan perkembangan zaman).

C. Sejarah Kelahiran Aswaja

Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW. Jadi
bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang
dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi)
oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi
(Wafat : 944 M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang
aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh para sahabat, dan
bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Aswaja lahir untuk meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh golongan lain agar
sesuai dengan paham yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Paham-
paham menyimpang yang kala itu banyak berkembang antara lain lain seperti Khawarij,
Syiah, Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah.
Awalnya penyimpangan-penyimpangan itu lahir karena faktor politik yang melibatkan
Mu’awiyah, Ali bin Abi Thalib, dan kelompok yang netral. Kelompok netral ini dipelopori
oleh Abdullah bin Umar. Namun kelompok netralis ini ditendang oleh Mua’wiyah.
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam
Abu Sa'id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan
nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang
bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih.
Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang
berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan
pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu,
mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam
pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama
setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu'man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas
(w. 179 H), Imam Syafi'i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H),
hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy'ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.
333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan;
meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad
sebelumnya.
Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok
Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini
mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis.
Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani.
Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang
mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan.
Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu faham
ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham
kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat
dengan kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan
terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini
cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik.
Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-
Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban
untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu
diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah pengikut faham Mu’tazilah. Karena
adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya
bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW berkata kepadanya bahwa yang benar adalah
mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham
Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai
dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan
mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah
(argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan
istilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun.
Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat)
seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau murid-murid tabiín)
seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah.
Sepanjang sejarah perjalanannya, prinsip jalan tengah yang ditempuh Aswaja, yang
mewujud dalam karakter tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang)
membuat Aswaja mampu hidup dan berkembang di wilayah mana saja dan mampu melebur
dengan kebudayaan setempat, serta senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman (dinamis).
Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, dai-dai Aswaja awal di Nusantara
seperti Wali songo tak mengalami benturan dengan kebudayaan masyarakat Nusantara.
Pasalnya, kata Clifford Gertz, dalam menyebarkan agama Islam mereka tidak hanya berperan
sebagai pendakwah yang menyiarkan agama Islam, akan tetapi sebagai cultural broker,
makelar budaya.

D. Kontekstualisasi Aswaja sebagai Manhajul Fikr

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia telah menetapkan Aswaja sebagai manhaj al-
fikr semenjak tahun 1995/1997. Buku saku berjudul Membaca Ulang Aswaja yang ditulis
oleh Sahabat Chatibul Umam Wiranu telah diterbitkan oleh percetakan PB PMII pada tahun
1997. Isi dari buku tersebut adalah hasil Simposium Aswaja di Tulungagung yang telah
dirangkum. Gagasan KH Said Aqil Siradj yang menuai kontroversi mengenai penafsiran
ulang Aswaja untuk memberi keluasaan bagi para intelektual dan ulama supaya merujuk
kembali kepada para ulama dan pemikir utama dalam Aswaja merupakan hal yang tidak
dapat terlepas dari konsep dasar Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.
Aswaja adalah golongan pengikut setia pada As-Sunnah wal Jama’ah yaitu ajaran
agama Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya
pada zamannya. Aswaja bukanlah suatu reaksi yang timbul dari beberapa aliran yang
menyimpang dari ajaran murni seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan sebagainya. Aswaja
sudah ada sebelum semuanya itu timbul 1. Aswaja bukanlah sebuah madzhab, akan tetapi
sebuah metode atau manhaj yang mengajak berpikir dalam memecahkan persoalan agama
sekaligus urusan sosial. PMII beranggapan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah orang-
orang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan
berlandaskan atas moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran.

1 Muhammad Fahmi, ‘Pendidikan Aswaja NU Dalam Konteks Pluralisme’, Jurnal Pendidikan Agama Islam
(Journal of Islamic Education Studies), 1.1 (2013), 161–79.
Nilai-nilai Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dianggap sesuai oleh PMII dengan
Islam di Indonesia sebab di dalamnya terdapat prinsip-prinsip atau nilai-nilai Tawassuth
(moderat), Tawazun (seimbang), Tasamuh (toleran) dan I’tidal (tegak lurus) sebagai pondasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk seperti Indonesia. Selain itu,
Aswaja adaptif terhadap tradisi lokal masyarakat Indonesia dengan semboyan Al-muhafadzah
ala al qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid al ashlah (Menjaga tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Moderat tercermin dalam cara pengambilan hukum (istinbath) yakni memeperhatikan
porsi akal di samping memperhatikan porsi nash. Aswaja memberi posisi yang setara antara
rujukan nash (Al-qur’an dan Hadis) dengan penalaran akal. Prinsip moderat ini merujuk pada
beberapa perpecahan yang terjadi pada awal masehi antara golongan mu’tazilah yang sangat
mengedepankan akal namun mengesampingkan nash dengan golongan fatalis.
Sementara sifat tawazun (netral) yang dikehendaki adalah sikap dalam berpolitik.
Aswaja memandang kehidupan pemerintahan dari sisi kriteria dan pra-syarat yang semestinya
dipenuhi oleh suatu rezim. Pandangan tawazun dalam Aswaja tidak hanya terkerucut pada
kubu yang mendukung atau menolak sebuah rezim. Oleh karena itu, PMII tidak
membenarkan kelompok yang berkeinginan untuk merusak kewibawaan sebuah
pemerintahan yang telah disepakati oleh masyarakat, namun tidak berarti juga mendukung
pemerintahan tersebut. Kandungan dari sikap tawazun dalam Aswaja adalah cara
memperhatikan sebuah kehidupan sosial dan politik dapat berjalan sesuai dengan kaidah. Ahl
al-Sunnah Wa al- Jama’ah tidak terlalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrim). Akan
tetapi, jika berhadapan dengan penguasa yang zalim, mereka tidak segan-segan mengambil
jarak dan mengadakan aliansi. Dengan kata lain, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu
saat bisa lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawazun 2.
Seimbang (ta’adul) dan toleran (tasamuh) direfleksikan dalam kehidupan sosial
bermasyarakat, bagaimana perilaku bergaul sesuai dengan kondisi sosial. Keseimbangan dan
toleransi mengacu cara bergaul PMII sebagai seorang muslim dengan masyarakat sesama
muslim dan pemeluk agama lain. Sikap toleran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah tampak dalam
pergaulan dengan sesama muslim yang tidak mengkafirkan Ahl al-qiblat serta senantiasa ber-
tasamuh terhadap sesama muslim maupun umat manusia pada umumnya 3. Pmii memandang
realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, baik dalam budaya, etnis, ideologi, politik, dan
agama bukan hanya sebagai realita sosial namun juga realitas teologis. Pengertiannya Allah
SWT telah sengaja menciptakan manusia yang berbeda-beda dari segala sisi. Sehingga tidak
ada sikap yang paling tepat selain menjunjung tinggi keseimbangan dan toleransi.
Menurut Kiai Said Aqil Siradj Ahlussunnah wal Jama’ah adalah manhaj al-fikr (metode
berpikir) dalam segala bidang kehidupan tidak hanya terbatas pada akidah, syariat, dan
tasawuf namun juga mengedepankan tawasut, tasamuh, tawazun, dan i’tidal. Misalnya dalam
bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, maupun yang berhubungan dengan
HAM. Sebagai contoh dalam ekonomi harus seimbang tidak kapitalis dan tidak terlalu
sosialis mengakui barang pribadi dan mengakui barang milik umum.

2 Muhamad Umam, Strategi Intelektualisasi Progesifitas Manhajul Al Fikr Kader An-Nahdliyah, 2018
<https://doi.org/10.17605/OSF.IO/MZDBY>.
3 Umam.
Manifestasi prinsip dan karakter Ahlussunnah wal Jama’ah tampak dari segala bidang
ajaran agama Islam, dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya.
Penerapan Aswaja dalam bidang agama Islam dapat dikemukakan seperti di bawah ini:
1. Bidang akidah:
a. Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasional) dengan dalil naqli
(nash Al-Quran dan Al-Hadits) dengan pengertian bahwa dalil aqli dipergunakan dan
ditempatkan di bawah dalil naqli.
b. Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran akidah dari luar
Islam.
c. Tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis musyrik, kufur, dan sebagainya atas
mereka yang karena satu atau lain hal belum dapat memurnikan tauhid atau aqidahnya
secara murni.
2. Bidang syari’ah:
a. Selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah dengan menggunakan metode
dan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan serta melewati jalur yang wajar.
b. Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sharih dan qath’i (tegas dan pasti) tidak
boleh ada campur tangan pendapat akal.
c. Pada masalah dzonniyyat (tidak pasti) dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat
selama tidak bertentangan dengan prinsip agama.
3. Bidang tasawuf atau akhlaq:
a. Tidak mencegah bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran
Islam dengan riyadlah dan mujadalah menurut kaifiyah yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip hukum dan ajaran Islam.
b. Mencegah ekstrimisme dan sikap berlebihan (al-Ghuluw) yang dapat menjurumuskan
orang kepada penyelewangan aqidah dan syari’ah.
c. Berpedoman bahwa akhlaq yang luhur selalu berada di antara dua ujung (tatharruf);
misalnya Syaja’ah (berani) adalah sikap diantara jubn (penakut) dan sembrono (at-
tahawur), tawadlu’ (rendah hati) adalah sikap diantara takabbur (sombong) dan
tadzallul (rendah diri), jud atau karom (dermawan) adalah sikap diantara bukhl (kikir)
dan israf (boros).
4. Bidang muasyarah (pergaulan) antar golongan:
a. Mengakui watak tabiat manusia yang selalu senang berkelompok dan bergolongan
berdasarkan atar unsur pengikatnya masing-masing.
b. Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasarkan saling mengerti dan saling
menghormati.
c. Permusuhan terhadap suatu golongan hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang
nyata memusuhi agam Islam dan umat Islam, tidak boleh ada sikap lain kecuali sikap
tegas.
5. Bidang kehidupan bernegara:
a. Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan
dipertahankan eksistensinya.
b. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang
terhormat dan ditaati selama tidak menyeleweng atau memerintah ke arah yang
bertentangan dengan hukum Allah.
c. Jika terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui
tatacara yang sebaik-baiknya.
6. Bidang kebudayaan:
a. Kebudayaan termasuk di dalamnya adalah adat istiadat, tata pakaian, kesenian, dan
sebagainya adalah hasil budidaya manusia yang harus ditempatkan pada kedudukan
yang wajar dan bagi pemeluk agama, kebudayaan harus dinilai dan diukur dengan
norma-norma hukum dan ajaran agama.
b. Kebudayaan yang baik dalam arti menurut norma agama, dari manapun datangnya
dapat diterima dan dikembangkan. Sebaliknya, yang tidak baik harus ditinggalkan, hal
lama yang baik bisa dipelihara dan juga dikembangkan, hal baru yang lebih baik
dicari dan dimanfaatkan (Almukhafadhu ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadid al
aslakh).
c. Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru
atau sebaliknya selalu menerima yang baru dan menolak yang lama.
7. Bidang dakwah:
a. Berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk berbuat menciptakan keadaan yang
lebih baik, terutama menurut ukuran ajaran agama. Tidak mungkin orang berhasil
mengajak seseorang dengan cara yang tidak mengenakkan hati yang diajak.
b. Berdakwah harus dilakukan dengan sasaran tujuan yang jelas, tidak hanya sekedar
mengajak berbuat saja menurut selera.
c. Berdakwah harus dilaksanakan dengan keterangan yang jelas dengan petunjuk yang
baik, sebagaimana seorang dokter atau perawat yang berbuat baik kepada pasien.
Kalau terdapat kesulitan itu harus ditanggulangi dan diatasi dengan cara yang sebaik-
baiknya.4

E. Karakter Aswaja Dalam Kehidupan

Setiap organisasi, kelompok, faham ataupun aliran tertentu pasti memiliki ciri khas dan
karakter tertentu yang membedakan dengan yang lainnya. Begitu pula dengan faham
Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang bersandar kepada Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi’in,
tentu memiliki karakter yang berbeda dengan faham-faham yang lainnya. Ahlussunnah wal-
Jama’ah memiliki empat karakter pokok, diantaranya adalah :
• Tawassuth
Tawassuth merupakan sikap tengah-tengah atau sedang-sedang diantara dua sikap yang
saling berlawanan. Sikap tawassuth merupakan sikap yang tidak terlalu keras (fundamentalis)
ataupun terlalu bebas (liberalisme). Dengan sikap inilah Islam bisa diterima di berbagai
lapisan masyarakat. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 143:
“Dan demikianlah kami menjadikanmu (umat Islam), umat yang adil (tengah-tengah)
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas perbuatan kamu. (QS al-Baqarah : 143)
Jadi, dalam faham Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak dibenarkan untuk membuat alasan
atas nama agama dan berjihad semena-mena tanpa pertimbangan mudhorot kepada yang

4 Fahmi.
lainnya. Faham Aswaja menghendaki sikap yang lemah lembut terhadap sesama manusia
pada umumnya dan pada sesama muslim pada khususnya. Tidak dibenarkan asal
mengkafirkan dan menuding orang, ataupun kelompok lain bersalah tanpa hukum yang jelas
dan prosedur yang jelas.

• Tawazun
Tawazun artinya tidak menghendaki kebebasan yang melampaui batas (liberalisme)
yang mana mengagungkan kebebasan ideologi dan bahkan membenarkan semua agama dan
semua Tuhan. Yang dikehendaki dari sikap tawazun adalah sikap ditengah-tengah antara
keduanya.
Tawazun adalah sikap seimbang dalam segala hal, baik dalam ibadah yang
berhubungan langsung dengan Allah Swt (hablun min Allah) ataupun hubungan dengan
sesama (hablun min an-nas). Termasuk juga keseimbangan di dalam menggunakan dalil akal
(aqli) dan dalil syara’ (naqli). Karakter tawazun (keseimbangan) sangat penting dalam upaya
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban setiap manusia dengan Tuhannya, manusia
dengan sesamanya, manusia dengan makhluk yang lain seperti hewan, tumbuh-tumbuhan,
dan lainnya. Karakter ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat al-Hadid ayat 25:
“Sesungguhnya kami telah mengutus para Rasul kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan timbangan (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS.. al-Hadid: 25)

• I’tidal
I’tidal merupakan sikap adil, jujur, dan apa adanya. Ahlussunnah wal-Jama’ah selalu
menegakkan dan menjalankan keadilan kepada siapapun, dimanapun, kapanpun dan dalam
kondisi apapun berdasarkan pertimbangan kemaslahatan bersama. Dengan sikap I’tidal
diharapkan terwujudnya, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran sesuai dengan dasar
Indonesia, Pancasila. Sehingga pada gilirannya akan tercipta masyarakat yang adil dan
makmur. Sikap ini merupakan sebuah kewajiban dari ajaran syari’at Islam. Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 8:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)

• Tasamuh
Tasamuh merupakan sikap saling menghargai, dan menghormati (toleransi). Artinya,
dalam kehidupan, Ahlussunnah wal-Jama’ah selalu bersikap menghargai dan menghormati
orang atau kelompok lain yang berbeda pandangan, karena perbedaan merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dihindari. sikap Tasamuh bukan berarti membenarkan segala
perilaku orang lain atau kelompok lain yang berbeda, akan tetapi semuanya harus tetap
berada pada jalan yang telah ditetapkan oleh Syari’at. Artinya mengatakan kebenaran jika hal
itu dinilai benar dan mengatakan salah jika hal itu dinilai salah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah Swt dalam QS.Thaha :44.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha : 44)

Tawasuth merupakan bagian dari karakter nasionalisme yang konsepnya memiliki


kesamaan dengan jujur dan disiplin. Sikap Tawasuth dapat membentuk karakter seorang
mahasiswa dalam berperilaku sehari-hari. Jujur merupakan nilai-nilai pembentuk karakter
bangsa yang meliputi perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Disamping itu,
disiplin juga merupakan nilai-nilai pembentuk karakter bangsa yang meliputi tindakan yang
menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Dalam implementasinya, sikap tawasuth akan dapat membentuk karakter nasionalisme,
seperti menghargai jasa para pendahulu, mentaati dan melaksanakan aturan, kebersamaan,
persatuan dan kesatuan, serta mensyukuri nikmat Allah. Pembentukan karakter nasionalisme
pada seseorang khususnya mahasiswa, dapat dilaksanakan dengan metode pembiasaan,
keteladanan, dan pembudayaan tradisi kampus. Metode tersebut dirasa efektif karena dapat
membentuk karakter nasionalisme, yaitu menghargai jasa para pendahulu, mentaati dan
melaksanakan aturan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan, serta mensyukuri nikmat Allah.
Sikap tawasuth yang dapat membentuk karakter nasionalisme diimplementasikan dalam
berbagai kegiatan antara lain:
• Berdo’a sebelum memulai kegiatan belajar mengajar
• Tadarus Al-Qur'an dan Khotmil Qur'an
• Shalat dhuhur berjama'ah dilanjutkan tahlilan dan yasinan
• Kesenian rabana untuk mengiringi bacaan sholawat

Tasamuh yang artinya toleran. Sikap inilah yang dijadian sebagai landasan dan bingkai
yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Karakter
ini mengatur bagaimana seseorang harus bersikap dalam hidup sehari-hari, khususnya dalam
kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran akan pluralisme
atau keragaman, yang saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.
Sikap tasamuh yang dapat membentuk karakter nasionalisme diimplementasikan dalam
berbagai kegiatan antara lain:
• Tata tertib masuk ruang kelas
• Budaya salam, senyum, sapa

Tawazun dapat diartikan sebagai keseimbangan dalam bergaul dan berhubungan, baik
yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antara negara dan rakyatnya, maupun
antara manusia dan alam.
Sikap tawazun yang dapat membentuk karakter nasionalisme diimplementasikan dalam
berbagai kegiatan antara lain:
• Sholat Dhuha berjama'ah
• Berseragam batik
REFERENSI

Fahmi, Muhammad, ‘Pendidikan Aswaja NU Dalam Konteks Pluralisme’, Jurnal Pendidikan


Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies), 1.1 (2013), 161–79
Umam, Muhamad, Strategi Intelektualisasi Progesifitas Manhajul Al Fikr Kader An-
Nahdliyah, 2018 <https://doi.org/10.17605/OSF.IO/MZDBY>
Mujtaba, Saifuddin, “Studi Islam Interdisipliner: Sebuah Keniscayaan”, jurnal At-Turas,
2015

Harianto, Budi, “Relasi teologi Aswaja dengan HAM Perspektif Kiai Said Aqil Siradj”,
humanistika: Jurnal Keislaman, 2018

Mohammad Asrori Alfa, “Menggagas Alternatif Pemikiran Aswaja di Tengah Kehidupan


Masyarakat Berbasis Pesantren”, jurnal El-Harakah, 2004

https://an-nur.ac.id/ahlussunnah-wal-jamaah-pengertian-sejarah-dan-doktrin/
https://www.nu.or.id/opini/sejarah-metode-berpikir-dan-gerakan-aswaja-m4o0B
https://jombang.nu.or.id/opini/sejarah-ahlussunnah-wal-jamaah-wtiEY
https://www.kompasiana.com/hm.syarbani.haira/59572eda7a7c8a32ba305432/aswaja-
sejarah-dan-perkembangannya?page=2&page_images=1
https://www.pecihitam.org/mengenal-ahlussunnah-wal-jamaah-sejarah-definisi-dan-
pemikirannya/
https://dakwah.unisnu.ac.id/ahlus-sunnah-wal-jamaah-dan-keindonesiaan
https://tebuireng.online/karakter-ahlu-sunnah-wa-al-jamaah/

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jess/article/view/16250/8497

Anda mungkin juga menyukai